DISUSUN OLEH :
Di era globalisasi dan pasar bebas WTO dan GATT yang akan berlaku tahun
2020 mendatang, kesehatan dan keselamatan kerja merupakan salah satu prasyarat
yang ditetapkan dalam hubungan ekonomi perdagangan barang dan jasa antar
negara yang harus dipenuhi oleh seluruh negara anggota, termasuk bangsa
Indonesia. Untuk mengantisipasi hal tersebut serta mewujudkan perlindungan
masyarakat pekerja Indonesia; telah ditetapkan Visi Indonesia Sehat 2010 yaitu
gambaran masyarakat Indonesia di masa depan, yang penduduknya hidup dalam
lingkungan dan perilaku sehat, memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu
secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi bagi
pekerja dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses produksi secara
menyeluruh, merusak lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada
masyarakat luas. Untuk mengetahui proses dan identifikasi kecelakaan kerja di
tempat kerja maka penulis mengambil judul analisis penggunaan JSA pada proses
pembuatan meubel.
TUJUAN
IDENTIFIKASI BAHAYA
Pada proses pembuatan meubel ini,pada saat awal, karena meubel ini bergerak
dengan usaha awal sudah barang setengah jadi, maka berbeda dengan meubel
seperti biasanya, yaitu tidak merakit dan langsung pada proses perakitan komponen
yang kurang, penghalusan dan memperjelas ukiran yang ada, memplitur/ pernis dan
siap untuk di jual
Jadi secara garis besar proses pembuatan meubel ini ada beberapa tahapan
yang harus dilalui yaitu :
a. Mendatangkan bahan rakitan yang telah dipesan/ telah ada di meubel tersebut.
b. Proses menghaluskan
Pada proses ini, menghaluskan barang dengan alat grinda dan amplas. Grinda pada
tahap ini cukup berbahaya apabila tidak digunakan dengan hati- hati, misal dapat
mengenai tangan pekerja saat menghaluskan barang. Sedangkan ampelas
cenderung tidak berbahaya. Dari proses penghalusan menghasilkan debu,
kebisingan. Barang- barang yang ada di haluskan untu selanjutnya di pernis atau
dicat.
c. Penyemprotan
Tahapan yang dilakukan adalah mengecat atau belapisi pernis ke barang meubel
yang sudah halus tadi proses ini menghasilkan kebisingan, uap cat yang dapat
mengganggu pernafasan pekerja jika tidak menggunakan masker.
d. Penjemuran
Setelah meubel dicat dan dipernis, meubel tersebut dijemur hingga kering sebelum
dirakit seperti diberi spon untuk sofa, kaca untuk lemari, dan lain-lain.
e. Finishing
Uraian pekerjaan
Uraian pekerjaan
1 Mengambil - -
ampelas dari
wadah
Uraian pekerjaan
2 Memasukkan
1. Pernis tercecer Menggunakan alas saat
pernis ke di lantai 2 4 8 memasukkan pernis ke alat
dalam alat seperti plastic dll
penyemprot
Uraian pekerjaan
1 Mendiamkan - -
meubel yang
telah dipernis
3. Apabila mengantuk,
istirahat sejenak
2 Memasang spon - -
dan kain pada
meubel
a. Kebisingan
Suara bising yang terdapat dalam industri meubel berasal dari peralatan yang
digunakan, seperti compressor,alat penghalus / grinda, alat bor, Palu, Gergaji.
Semua kebisingan yang ditimbulkan oleh peralatan tersebut di atas tidak akan
mengganggu kenyamanan serta tidak akan merusak pendengaran jika tidak melebihi
dari nilai ambang batas.
b. Debu
Debu adalah zat padat yang dihasilkan oleh manusia atau alam dan merupakan
hasil dari proses pemecahan suatu bahan. Debu adalah zat padat yang berukuran
0,125 mikron. Debu termasuk kedalam golongan partikulat. Yang dimaksud dengan
partikulat adalah zat padat/cair yang halus, dan tersuspensi diudara, misalnya embun,
debu, asap, fumes dan fog. Partikel debu yang dihasilkan dari industri meubel
biasanya berasal dari proses penggeregajian dan pengamplasan.
Nilai Ambang Batas (NAB) adalah standar faktor-faktor lingkungan kerja yang
dianjurkan di tempat kerja agar tenaga kerja masih dapat menerimanya tanpa
mengakibatkan penyakit gangguan kesehatan, dalam pekerjaan sehari-hari untuk
waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. Kegunaan NAB ini sebagai
rekomendasi pada praktek higiene perusahaan dalam melakukan penatalaksanaan
lingkungan kerja sebagai upaya untuk mencegah dampaknya terhadap kesehatan
(SE.01/Men/1997).
Untuk debu kayu keras seperti debu kayu mahoni telah ditetapkan oleh
Depnaker dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No:SE 01/Men/1997 tentang
Nilai Ambang Batas Debu Kayu di Udara Lingkungan Kerja adalah sebesar 5
mg/m3. Konsekuensi patologis dan klinis akibat eksposure terhadap debu sangat
bervariasi dan tergantung dari sifat debu, intensitas dan durasi eksposure serta
kerentanan dari individu. Bagian dari alat pernafasan yang terkena dan respon
eksposure tergantung dari sifat kimia, fisika dan toksisitasnya.
Debu dapat diinhalasi dalam bentuk partikel debu solid, atau suatu campuran
dan asap. Partikel yang berukuran kurang atau sama dengan 5 dapat mencapai
alveoli, sedangkan partikel yang berukuran 1 memiliki kapabilitas yang tinggi untuk
terdeposit di dalam alveoli. Meskipun batas ukuran debu respirabel adalah 5 , tetapi
debu dengan ukuran 5-10 dengan kadar berbeda dapat masuk dalam alveoli. Debu
yang berukuran lebih dari 5 akan dikeluarkan semuanya bila jumlahnya kurang dari
10 partikel per millimeter kubik udara. Bila jumlahnya 1000 partikel per millimeter kubik
udara maka 10% dari jumlah itu akan tertimbun dalam paru.
Akibat debu yang masuk dalam jaringan alveoli sangat tergantung dari solubility
dan reaktivitasnya. Semakin tinggi reaktivitas suatu substansi yang dapat mencapai
alveoli dapat menyebabkan reaksi inflamasi yang akut dan oedema paru. Pada reaksi
sub akut dan kronis ditandai dengan pembentukan granuloma dan fibrosis interstitial.
Hampir semua debu yang mencapai alveoli akan diikat oleh makrofag, dikeluarkan
bersama sputum atau ditelan dan mencapai interstitial. Mekanisme clearance alveoli
sangat efisien dan efektif dalam mengeleminasi debu. Kelainan paru karena adanya
deposit debu dalam jaringan paru disebut pnemokoniasis. Menurut definisi dari
International Labor Organization (ILO) pnemokoniosis adalah akumulasi debu dalam
jaringan paru dan reaksi jaringan paru terhadap adanya akumulasi debu tersebut.
Bila pengerasan alveoli telah mencapai 10% akan terjadi penurunan elastisitas
paru yang menyebabkan kapasitas vital paru akan menurun dan dapat
mengakibatkan berkurangnya suplai oksigen ke dalam jaringan otak, jantung dan
bagian-bagian tubuh lainnya.
Identifikasi hazard pada tahap pembuatan meubel pada industri ini sebagian besar
beresiko tangan teriris, terpukul, tergores, dan terpotong yang diakibatkan oleh
masing-masing peralatan yang memiliki potensi bahaya.
Hazard fisika : serbuk kayu, bahaya tertimpa kayu, penerangan yang kurang,
bahaya tertusuk, tergores, dan tangan terpotong.
Hazard kimia: tidak ada bahaya kimia karena di tempat kerja tersebut tidak
tersedia bahan kimia yang digunakan dlam bentuk apapun.
Hazard biologis: vektor, misalnya nyamuk.
Hazard fisiologis: keergonomisan pada lingkungan kerja yang kurang
diperhatikan.
SARAN