Anda di halaman 1dari 9

Dampak dan Implikasi Liberalisasi Perdagangan terhadap Hak Asasi

Manusia, Korporasi dan tantangan Penegakan Hak Asasi Manusia


Kontemporer 1

Oleh Abdul Hakim G. Nusantara SH, LLM. MCIArb

Judul makalah ini berasal dari panitia seminar dan kepada saya tidak
diberikan suatu kerangka acuan yang jelas. Saya menafsirkan maksud panitia
seminar, yaitu, bahwa liberalisasi yang ditandai dengan berkurangnya kontrol
negara atas arus barang, jasa, modal, teknologi, informasi, dan sumberdaya
manusia dari berbagai penjuru ke berbagai destinasi di dunia ini telah
memberikan dampak baik dalam arti positif maupun negatif terhadap hak asasi
manusia (HAM). Dampak positif mewujud terbukanya akses yang makin lebar
dan luas bagi penduduk dunia, dimanapun ia berada, dari manapun kelas sosial
asalnya untuk memperoleh barang, jasa, informasi dan lain sebagainya. Saya
katakan terbukanya akses yang melebar dan meluas tidak dengan sendirinya
tiap-tiap orang dapat dengan mudah menggunakan akses tersebut. Bagi
sebagian penduduk yang berpunya atau yang berada dalam strata sosial tengah
dan atas tentu mempunyai kemudahan yang lebih besar untuk memanfaatkan
akses yang luas dan lebar itu untuk mendapatkan tidak saja informasi, tapi juga
modal dan teknologi. Bagi sebagian lainnya tentu masih harus berjuang keras
untuk memanfaatkan akses itu guna mendapatkan barang dan jasa yang
diperlukan.

Namun demikian, secara umum penduduk dunia sekarang ini, di manapun


dia berada dan dari kelas sosial apapun asalnya, apapun warna kulitnya, serta
apapun agama atau kepercayaannya dapat memperoleh informasi tentang

1
MakalahinidisampaikandalamSeminarELSAM,3Agustus2010

1
barang dan jasa yang ditawarkan oleh produsen kepada publik melalui berbagai
media massa, baik cetak maupun eletronik. Informasi tentang barang atau jasa
itu merupakan pengetahuan yang tentu saja berpengaruh terhadap penduduk
tersebut. Perkembangan teknologi media massa telah membuka peluang bagi
penduduk untuk memperoleh informasi tentang berbagai peristiwa yang terjadi di
berbagai tempat di dunia. Perkembangan teknologi media massa telah membuka
peluang bagi penduduk untuk memperoleh informasi tentang hukum dan HAM
yang dengan begitu membantu membentuk pemahaman dan kesadaran
masyarakat tentang hukum, HAM, dan Negara. Disitu dapat kita lihat dampak
positif liberalisasi di mana arus bebas informasi membuktikan dapat
menyebarkan pengetahuan, pengalaman, dan membentuk kesadaran hukum
dan HAM, serta turut membentuk dan mematangkan sikap masyarakat dalam
kehidupan yang berkemajemukan.

Liberalisasi telah membuka peluang luas bagi pergerakan arus modal,


sumberdaya manusia, teknologi dan investasi dari berbagai penjuru ke arah
berbagai destinasi. Tidak hanya satu arah dari negara maju ke negara
berkembang, tapi juga dari negara berkembang ke negara yang lebih maju, dari
negara maju ke negara maju. Dari negara berkembang ke negara berkembang.
Tentu saja pergerakan bebas arus modal, sumberdaya manusia, teknologi dan
investasi itu telah membuka lapangan kerja, peluang penduduk untuk
meningkatkan tidak hanya pengetahuan dan pengalaman, tapi juga income.
Pergerakan modal, sumberdaya manusia, teknologi, dan investasi itu semuanya
memperebutkan tempat dan peluang yang menguntungkan (Profit). Persaingan
untuk mengejar maksimalisasi profit inilah yang kemudian kalau tidak di atur
dengan baik oleh negara dapat melahirkan berbagai dampak negatif yang
merugikan masyarakat dan negara, seperti, degradasi ekologis, pelanggaran
HAM. Apalagi, jika dalam intervensinya untuk mengatur dan mengawasi jalannya

2
liberalisasi perdagangan itu Negara bertindak tidak adil, yakni lebih berpihak
kepada kepentingan kapital.

Globalisasi perekonomian dunia yang ditandai dengan liberalisasi di


berbagai sektor kegiatan ekonomi telah memunculkan peran penting yang
menentukan dari perusahaan-perusahaan multinasional atau Trans Nasional
Corporation (TNC) dalam mengarahkan dan menggerakkan perekonomian
dunia. TNC-TNC ini berpengaruh tidak hanya pada arah dan tujuan serta
kebijakan negara-negara tempat mereka beroperasi, tapi TNC-TNC ini
berpengaruh pula pada organisasi-organisasi ekonomi multilateral seperti, IMF,
World Bank, ADB, WTO, dan lain sebagainya. Bekerjasama dengan korporasi-
korporasi nasional para TNC itu mampu mempengaruhi kebijakan ekonomi dan
sosial suatu negara. Tidak hanya di sektor manufaktur, pertambangan, keuangan
saja. Tapi mereka telah masuk pada wilayah usaha utilitas publik, seperti, listrik,
air, pelayanan kesehatan, dan bahkan transportasi. Mereka yang masuk wilayah
utilitas publik ini sangat berkepentingan untuk mengupayakan agar kebijakan
negara dalam utilitas publik ini tetap menguntungkan mereka. Tentu saja mana
ada perusahaan yang mau rugi. Persoalannya bukan soal tidak boleh rugi.
Persoalannya adalah kewajaran dan keadilan bagi publik. Gerak operasi TNC
dan korporasi-korporasi lokal ini pada satu sisi telah membuka peluang bagi
penduduk untuk memperoleh pekerjaan, pengalaman dan pengetahuan,
peningkatan pendapatan, ketersediaan barang-barang dan jasa bagi
masyarakat. Tapi pada sisi yang lain Para TNCs dan korporasi lokal telah pula
melahirkan berbagai dampak negatif terhadap HAM dan Ekologi, seperti, dalam
kasus-kasus pencemaran lingkungan, pengingkaran hak masyarakat atas air,
bahkan TNC-TNC dan korporasi lokal yang beroperasi di berbagai negara,
khususnya di negara-negara otoriter terlibat dalam pelanggaran HAM, seperti,
penculikan, penghilangan, dan penganiayaan. Timbul pertanyaan apakah TNC
dan korporasi lokal sebagai legal entity dapat dimintai tanggungjawab ?

3
4

Upaya untuk meminta pertanggungjawaban korporasi, terutama para TNC


dalam pemajuan dan perlindungan HAM harus bersifat internasional. Karena
mata rantai kegiatan para TNC dari mulai pembuatan kebijakan sampai pada
kegiatan operasi di lapangan melintasi batas-batas negara. Upaya di tingkat
nasional dengan menggunakan pendekatan hukum pidana nasional jelas tidak
memadai. Penggunaan hukum pidana nasional barangkali bisa saja menjerat
dan menghukum individu officer korporasi yang mungkin terlibat dalam
pelaksanaan suatu kebijakan. Namun pada umumnya pendekatan seperti itu
gagal untuk meminta pertanggungjawaban para TNC dan korporasi nasional
sebagai legal entity. Walaupun kasus Bopal yang panjang itu akhirnya
menghukum TNC untuk membayar ganti rugi kepada para korban gas beracun
tersebut.

Dampak negatif yang ditimbulkan oleh operasi korporasi dalam mengejar


profit telah mengundang keprihatinan banyak pihak, tidak hanya dari kalangan
para aktifis sosial, tapi juga kalangan masyarakat luas dan pemerintah.
Keprihatinan itu telah melahirkan berbagai gagasan seperti, tanggungjawab
sosial perusahaan (Corporate social responsibility), Corporate governance, dan
lain sebagainya. Gagasan ini di nilai sebagai sesuatu yang bersifat karitatif dan
dianggap tidak memadai untuk mengikat tanggungjawab korporasi atas dampak-
dampak negatif yang ditimbulkannya. Untuk mengatasi kelemahan pendekatan
karitatif dan pendekatan etis dalam konteks tanggungjawab korporasi itu,
masyarakat, utamanya kalangan ahli dan aktifis berpaling kepada pendekatan
Standar Hak Asasi Manusia (HAM). Standar HAM dinilai tepat dan adil persis
karena sifatnya yang lintas sektoral dan internasional.

4
Standar HAM meliputi tugas atau kewajiban untukmenghormati hak-hak
orang lain (Duty to Respect the Rights of Others). Tugas ini berangkat dari
pemahaman, bahwa seseorang yang mempunyai kekuasaan atau kekuatan
untuk mempengaruhi hak-hak orang lain (liyan) menjalankannya tanpa
melanggar atau melemahkan hak-hak itu. Tugas untuk menghormati hak-hak
orang lain ini tidak saja dibebabkan kepada para pejabat publik tapi juga kepada
setiap orang, termasuk korporasi yang mempunyai kuasa atau kekuatan untuk
mempengaruhi hak liyan. Perlu diingat bahwa hubungan-hubungan antar individu
selalu dapat melahirkan akibat-akibat yang berpengaruh pada penikmatan HAM.
Oleh karena itu tiap-tiap orang, termasuk korporasi sebagai entitas hukum
mempunyai tugas umum untuk menghormati hak-hak liyan. Tugas untuk
menghormati hak- hak liyan berlaku untuk semua katagori HAM, termasuk hak-
hak Sipil, Politik, ekonomi, sosial dan budaya serta hak-hak atas pembangunan.
Dalam konteks yang lebih spesifik misalnya korporasi wajib menghormati hak
hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan kejam dan tak
bermartabat, hak bersrikat dan lain sebagainya.

Standar HAM membebani tiap orang, termasuk korporasi untuk tidak


menghalangi perlindungan HAM (Duty Not Impede Protection of Human Rights).
Tugas ini sesungguhnya lebih merupakan kewajiban yang bersifat negatif yang
dibebankan kepada tiap orang, termasuk korporasi. Tugas ini lahir dan
merupakan akibat wajar dari tugas terdahulu, yaitu tugas untuk menghormati hak
liyan. Tugas untuk menghormati hal liyan menjadi percuma jika tidak disertai
dengan tugas untuk tidak menghalangi perlindungan HAM. Difahami dan
disadari, bahwa adanya berbagai tanggungjawab dan tuntutan yang bersaing
membuat tidak mudah untuk menjalankan dua tugas tersebut, khususnya bagi
korporasi. Menurut Michael K. Ado dua tugas tersebut dalam proses
implementasinya meninggalkan korporasi dalam ketidak-pastian berkenaan
dengan arah kebijakannya. Namun demikian, asas-asas efektifitas,
proporsionalitas, dan marjin apresiasi (margin of appreciation) dapat menuntun

5
korporasi untuk menetapkan kebijakan yang menyeimbangkan tuntutan-tuntutan
yang bersaing (competing claims) yang dihadapinya.

Standar HAM internasional yang tertuang dalam berbagai kovenan


internasional, antara lain seperti, kovenan internasional hak-hak sipil dan politik,
kovenan internasional hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, kovenan
internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial, kovenan
internasional hak anak, berbagai kovenan internasional International Labour
Organization (ILO), dan lain sebagainya merupakan dasar dan acuan yang tepat
untuk menetapkan tanggungjawab korporasi, berkenaan dengan pemajuan dan
perlindungan HAM. Standar-standar HAM itu berlaku menembus batas-batas
wilayah negara tempat di mana para TNCs dan korporasi lokal beroperasi.
Karena itu sifat universalnya dan cross borders itulah Standar HAM internasional
mampu menangkap dan mengikat tanggungjawab TNCs dan korporasi lokal atau
nasional berkenaan dengan pemajuan dan perlindungan HAM. Akan tetapi
efektifitas pelaksanaan Standar HAM internasional itu sangat tergantung pada
peran pemerintah nasional, utamanya kesungguhan pemerintah nasional untuk
menjalankan kewajibannya di bawah perjanjian internasional HAM. Banyaknya
negara yang menandatangani dan meratifikasi kovenan-kovenan internasional
HAM merupakan pertanda positif, yakni adanya penerimaan banyak negara
terhadap nilai dan norma HAM internasional. Namun keikut-sertaan suatu negara
dalam kovenan internasional HAM tidak serta merta menjamin efektifitas
pelaksanaan Standar HAM internasional. Banyak negara karena pertimbangan-
pertimbangan politik dan ekonomi justeru malah sengaja tidak melaksanakan
Standar HAM internasional. Demi kepentingan memperbutkan modal dan
investasi asing negara-negara berlomba menurunkan Standar HAM
internasional, antara lain melonggarkan Standar HAM internasional bagi
perlindungan hak-hak anak, upah pekerja, pengambil-alihan tanah dan
sumberdaya alam milik masyarakat, dan lain sebagainya. Disini kita melihat

6
kepentingan pemajuan dan perlindungan HAM harus bersaing melawan
kepentingan-kepentingan ekonomi dari para pemodal dan kepentingan lainnya.
Dalam persaingan itu acap kepentingan pemajuan dan perlindungan HAM
dikalahkan.

Uraian di atas menunjukkan efektifitas pelaksanaan Standar HAM


internasional tidak bisa sepenuhnya digantungkan kepada kemauan negara.
Upaya yang terus-menerus dari kalangan masyarakat sipil seperti, LSM,
Organisasi kemasyarakatan dan keagamaan, kalangan profesi hukum, para
politisi, organisasi pekerja, serta komunitas politik untuk menekan pemerintah
baik pada tataran nasional dan internasional dapat mendesak negara untuk
menjalankan Standar HAM internasional. Dalam beberapa kasus di mana TNC
menggugat negara di Forum Arbitrase Bank Dunia untuk mematuhi
kewajibannya di bawah bilateral investment agreement Standar HAM digunakan
oleh wakil pemerintah untuk menolak tuntutan TNCs tersebut. Sebuah
konsorsium korporasi yang berinvestasi di sektor penyediaan air (utilitas publik)
di Argentina menggugat pemerintah Republik Argentina di badan Arbitrase World
Bank, atas alasan karena pemerintah Argentina selama beberapa tahun
membekukan harga tarif air. Pemerintah Argentina menolak gugatan konsorsium
korporasi tersebut, dengan mengemukakan alasan, bahwa pemerintah Argentina
di bawah kovenan internasional hak-hak ekonomi, sosial dan budaya terikat
kewajiban untuk melindungi hak-hak rakyat untuk memperoleh air. Bila tarif air
dibiarkan melambung tinggi banyak rakyat yang akan kehilangan akses untuk
memperoleh air. Pemerintah Argentina menyatakan kewajibannya di bawah
HAM internasional dapat mengesampingkan kewajibannya di bawah perjanjian
investasi bilateral. Ini adalah suatu contoh dalam suatu momen tertentu bisa saja
kewajiban internasional HAM digunakan oleh suatu negara untuk
mengesampingkan kewajiban internasional lainnya di bawah pakta ekonomi
internasional. Momen itu terjadi ketika Argentina sedang menghadapi krisis

7
ekonomi. Oleh karena itu efektifitas pelaksanaan Standar HAM internasional
pada suatu momen tertentu terjadi karena bertemunya kepentingan pemerintah
dengan kepentingan masyarakat.

Dewasa ini pelaksanaan Standar HAM internasional belum mencapai


efektifitas seperti yang di harapkan. Namun upaya-upaya untuk menangkap dan
mengikat tanggungjawab TNC dan korporasi lokal atau nasional berkenaan
dengan pemajuan dan perlindungan HAM terus dilakukan. Dalam kaitannya
dengan hal itu the Global Compact PBB menegaskan 9 (sembilan) prinsip
sebagai berikut :

Principle 1 : Business should support and respect the protection of international


human rights within their sphere of influence; and
Principle 2 : Make sure their own corporations are not complicit in human rights
abuses.
Principle 3 : Business should uphold the freedom of association and the effective
recognition of the right to collective bargaining;
Principle 4 : The elimination of all forms of forced and compulsory labour;
Principle 5 : The effective abolition of child labour; and
Principle 6 : The elimination of discrimination in respect of employment and
occupation.
Principle 7 : Businesses should a precautionary approach to environmental
challenges;
Principle 8 : Undertake initiatives to promote greater environmental
responsibility; and
Principle 9 : Encourage the development and diffusion of environmentally
friendly technologies.

Jakarta, 2 Agustus 2010

8
Bahan Rujukan :
1. Michael K Addo HUMAN RIGHTS STANDARDS AND THE
RESPONSIBILITY OF TRANSNATIONAL CORPORATIONS, KLUWER
LAW INTERNATIONAL, 1999;
2. RADU MARES BUSINEASS AND HUMAN RIGHTS A Compilation of
Documents, Martinus Nijhoff Publishers, 2004 ;
3. UU HAM/UU No. 39 Tahun 1999

Anda mungkin juga menyukai