Anda di halaman 1dari 41

BAB III

DOSA DALAM PANDANGAN AGAMA


ISLAM DAN AGAMA BUDDHA

A. Dosa Dalam Agama Islam

1. Asal Mula Dosa

Dalam bahasa Arab, dosa disebut dengan ungkapan -

-. Keempat term tersebut secara lughawi mengandung arti


mengerjakan sesuatu yang tidak dibolehkan () dan
keempat term tersebut digunakan semuanya dalam al-Qur'an.1 Selain itu, al-
Qur'an menyebut jenis perbuatan dosa dengan term lain, yaitu
seperti yang tersebut dalam Q.S. al-Syura/42:37, Q.S. al-A'raf/7:33) yang
mengandung arti perbuatan keji, ( Q.S. al-Nisa'/4:112) yang berarti

kebohongan, dan yang artinya perbuatan menyembunyikan


kesaksian (Q.S. al-Baqarah/2:283).2
Term sendiri disebut dalam al-Qur'an sebanyak 48 kali dalam
berbagai kata bentukannya. Para mufasir berbeda pendapat tentang
perbedaan makna dan . Dalam al-Nisa': 15




, fakhisyah dapat dipahami sebagai perbuatan keji yang berhubungan
dengan penyimpangan seksual seperti yang tersebut dalam surat Q.S. al-
Nisa'/4:22, 25, Q.S. al-Isra'/17:32, Q.S. al-Naml/27:54 dan Q.S. al-Ankabut/
29:28, sementara ism dipahami sebagai perbuatan dosa yang berhubungan
dengan minuman keras seperti yang terdapat surat al-Baqarah/2:219:

1
Term jirm dalam berbagai kata bentukannya disebut 66 kali, misalnya pada Q.S.
Thaha/20:73, Q.S. al-An'am/6:55, 147, term dzanb-dzunub disebut 37 kali seperti pada Q.S. al-
A'raf/7:100, Q.S. al-Anfal/8:52-54, dan term ma'shiyah disebut 32 kali, misalnya pada Q.S. al-
Tahrim/66:6, Q.S. al-Ahzab/33:36.
2
Acmad Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern: Jiwa dalam al-Qur'an,
(Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 96 97

26
27

(






) dan syirik seperti dalam
surat al-Nisa'/4:48 (


) . Al-Qur'an juga
memberi sifat kepada dosa, seperti dosa besar, dalam surat Q.S. al-
Baqarah/2:219, Q.S. al-Syura/42:37, Q., s. al-Najm/ 53:32, dan dosa yang
sangat besar dalam surat Q,S al-Nisa'/4:48, dosa yang nyata
dalam surat Q.S. al-Nisa'/ 4:20,50,112, dan Q., s. al-Ahzab/33:58), dosa luar
dan dosa dalam , dalam surat Q., s. al-An'am/6:120).

Jadi term dalam al-Qur'an digunakan untuk menyebut semua jenis


dosa besar, yang tampak maupun yang disembunyikan, yang berkaitan
dengan manusia maupun dosa yang berkaitan dengan Tuhan. Sedangkan
dosa kecil, al-Qur'an menyebutnya dengan istilah al-lamam ( )seperti
yang tersebut dalam; Najm/53:32.3
Sedangkan menurut terminologi, dosa ialah segala sesuatu yang
bertentangan dengan perintah Allah SWT., baik yang berkaitan dengan
melakukan sesuatu ataupun meninggalkannya.4 TM Hasbi Ash Shiddieqy
merumuskan dosa adalah pelanggaran terhadap sesuatu ketentuan Tuhan.
Ketentuan Tuhan di sini ialah ketentuan Tuhan yang hukumnya wajib
dikerjakan atau wajib ditinggalkan. Jadi bukan ketentuan Tuhan yang
hukumnya hanya Sunat, Makruh atau Mubah.5
Secara lebih terperinci Sayyid Hasyim Ar-Rasuli Al-Mahallati
mengemukakan bahwa dalam Al-Qur'an kata dosa disebut beberapa kali
dalam kalimat yang berbeda-beda. Setiap kata itu menjelaskan macam-
macam akibat dosa atau aneka ragam bentuk dosa. Ada 17 kata yang
disebutkan oleh Al-Qur'an mengenai dosa:

3
Ibid, hlm. 97 98
4
Imam Al-Ghazali, Rahasia Taubat, terj. Muhammad Bagir, (Bandung: Mizan Media
Utama, 2003), hlm. 61.
5
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Islam I, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm.
468.
28

1. Al-Dzanb: Artinya akibat, karena setiap amal-salah mempunyai


akibatnya sebagai balasan, baik di dunia maupun di akhirat. Kata ini
muncul 35 kali dalam Al-Qur'an.
2. Ma'shiyah: Berarti pembangkangan atau keluar dari perintah Tuhan.
Kata ini menjelaskan bahwa manusia sudah keluar dari batas abdi Tuhan
('ubudiyyah) jika melakukannya. Kata ini disebut 33 kali dalam Al-
Qur'an.
3. Itsm: Artinya kealpaan dan tidak mendapatkan pahala. Jadi pendosa
sebenarnya orang yang alpa tapi menganggap dirinya sadar atau pintar.
Kata ini disebut 48 kali.
4. Sayyi'ah: Berarti pekerjaan jelek yang mengakibatkan kesedihan, lawan
kata hasanah yang berarti kebaikan dan kebahagiaan. Disebut 165 kali.
Kata Su' juga berasal dari kata ini disebut sebanyak 44 kali.
5. Jurm: Arti harfiahnya memetik (melepaskan) buah dari pohonnya, atau
berarti rendah. Kata jarimah atau jara'im berasal dari kata ini. Jurm
adalah perbuatan yang melepaskan atau menjatuhkan manusia dari
tujuan, proses penyempurnaan, kebenaran dan kebahagiaan. Kata ini
tercantum 61 kali dalam Al-Qur'an.
6. Haram: Berarti larangan atau ketidak-bolehan. Pakaian ihram adalah
pakaian yang dikenakan oleh jemaah haji yang membuat mereka
terlarang untuk mengerjakan beberapa hal. Bulan haram adalah bulan di
mana umat Islam dilarang untuk berperang. Masjid Al-Haram adalah
masjid yang memiliki kesucian dan penghormatan khusus, sehingga
kaum musyrikin tidak berhak untuk memasukinya. Kata ini disebut
sekitar 75 kali dalam Al-Qur'an.6
7. Khathi'ah: Kebanyakan berarti dosa yang tidak disengaja. Kadang-
kadang juga digunakan untuk dosa besar, seperti dalam surah Al-
Baqarah 81 dan surah Al-Haqqah 37. Kata ini pada mulanya berarti
keadaan yang menimpa manusia setelah ia melakukan dosa . atau

6
Sayyid Hasyim Ar-Rasuli Al-Mahallati, Akibat Dosa, Terj. Bahruddin Fannani,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hlm. 10
29

perasaan yang timbul akibat dosa tersebut, dan yang membuat ia


terlepas dari pertolongan, dan yang menutup pintu masuk cahaya
hidayah ke kalbu manusia. Kata ini disebut 22 kali dalam Al-Qur'an.
8. Fisq: Pada asalnya berarti keluarnya butiran kurma dari kulitnya.
Dengan melakukan fisq, pendosa keluar dari ketaatan dan pengabdian
kepada Tuhan. Seperti pecahnya kulit kurma, pendosa dengan
perbuatannya ini memecahkan benteng perlindungan Tuhan, sehingga ia
akhirnya tidak dijaga sama sekali. Kata ini muncul 53 kali dalam Al-
Qur'an.
9. Fasad: Artinya melewati batas kesetimbangan. Akibatnya kesusahan
dan hilangnya potensi-potensi manusia. Disebut 50 kali.
10. Fujur: Berarti tersingkapnya tirai rasa malu, kehormatan dan agama
yang akan menyebabkan kehinaan. Kata ini hanya muncul 6 kali dalam
Al-Qur'an.
11. Munkar: Berasal dari kata inkar yang berarti tidak kenal atau ditolak,
karena dosa ditolak oleh fitrah dan akal sehat. Akal dan fitrah
menganggapnya asing dan jelek. Kata ini disebut sebanyak 16 kali
dalam Al-Qur'an dan kebanyakan dipaparkan dalam bagian Nahy 'an al-
munkar.
12. Fahisyah: Perkataan atau perbuatan buruk yang dalam keburukannya
tidak ada keraguan lagi. Dalam beberapa hal berarti pekerjaan yang
sangat kotor, memalukan dan tabu. Disebut 24 kali dalam Al-Qur'an.
13. Khabth: Berarti tidak adanya keseimbangan ketika duduk dan bangun.
Menjelaskan bahwa dosa adalah sebuah gerakan yang tidak seimbang,
yang diiringi oleh kelimbungan dan kecondongan untuk jatuh.
14. Syarr: Perbuatan jelek yang seluruh manusia mempunyai rasa tidak
senang terhadapnya dan kebalikannya, khair, berarti pekerjaan baik
yang disukai oleh masyarakat. Dosa adalah tindakan yang bertentangan
dengan fitrah dan lubuk hati manusia yang paling dalam. Kata ini
disebut seringkali berhubungan dengan kesusahan dan kesulitan. Tapi
30

juga kadang-kadang disebut berhubungan dengan dosa. Seperti apa yang


tercantum dalam surah Al-Zilzalah 8.
15. Lamam: Artinya dekat dengan dosa. Juga berarti barang-barang yang
sedikit dan langka. Digunakan dalam penjelasan tentang dosa-dosa
kecil. Kata ini hanya disebut satu kali dalam Al-Quran, di dalam surah
Al-Najm 32.
16. Wizr: Berarti beban. Kebanyakan disebutkan perihal orang yang
menanggung atau memikul dosa orang lain. Wazir (perdana menteri)
adalah orang yang mempunyai beban dan tugas yang berat. Pendosa
adalah orang lalai yang memikulkan beban berat pada pundaknya
sendiri. Disebut 26 kali dalam Al-Qur'an. Dalam Al-Qur'an juga
disebutkan kata lain yang sama artinya yaitu tsiql, dan disebut dalam
hubungannya dengan dosa. Seperti dinyatakan dalam surah Al- 'Ankabut
13.
17. Hints: Pada asalnya berarti kecenderungan dan kemauan seseorang
untuk melakukan perbuatan-perbuatan batil atau salah. Kebanyakan
disebut dalam dosa-dosa yang berkaitan dengan pembatalan janji atau
sumpah. Atau penyelewengan dan pengkhianatan terhadap 'ahd (janji).
Kata ini disebut dua kali dalam Al-Qur'an.7
Rincian di atas tidak jauh berbeda dengan rincian Abu Ahmadi yang
menyatakan bahwa Al-Qur'an mengistilahkan perbuatan dosa yang
mengakibatkan turunnya siksaan Tuhan dengan istilah yang berbeda dan
bermacam-macam: 1). Al-Khatiah (penyelewengan), 2). Adzdzanb
(perbuatan salah), 3). as-sayyiah (perbuatan jelek), 4). al itsm (perbuatan
dosa), 5). al-fusuq (fasik), 6). al-'ishyan (maksiat), 7). al-'utuw. (sombong).
dan 8). al-fasad (perbuatan merusak). Al-Qur'an menyebutkan semua istilah
tersebut dengan pengertian yang hampir bersamaan. Di samping itu, Al-
Qur'an juga menerangkan siksaan-siksaan yang akan menimpa pelaku dosa-
dosa tersebut, baik di dunia maupun di akhirat kelak.8

7
Ibid, hlm. 10-11
8
Abu Ahmadi, Dosa Dalam Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 6-7
31

Status manusia berbeda dengan malaikat yang penuh dengan


kesucian dan kemuliaan dengan tabiatnya yang selalu patuh dan taat kepada
Tuhan. Tetapi hakikat manusia juga berlainan dengan iblis yang statusnya
durhaka selama-lamanya. Manusia berada di antara keduanya, yang
sewaktu-waktu dapat naik ke jenjang kemuliaan dan kesucian tetapi juga
sewaktu-waktu terjerumus ke dalam lembah kehinaan dan kedurhakaan bila
berkawan dengan iblis.
Setiap orang Mukmin sangat memerlukan dua perkara ini, yaitu
pengampunan dosa dan penghapusan kesalahan. Sebab tidak ada seorang
pun yang terlepas dari dosa dan kesalahan, selaras dengan kontruksi
kemanusiaannya, yang di dalam dirinya terkandung dua unsur yang saling
berbeda: Unsur tanah bumi dan unsur ruh langit. Yang satu membelenggu
untuk dibawa ke bawah, dan satunya lagi melepaskannya untuk dibawa ke
atas. Yang pertama memungkinkan untuk menurunkannya ke kubangan
binatang atau bahkan lebih sesat lagi jalannya, sedangkan yang kedua
memungkinkan untuk mengangkatnya ke ufuk alam malaikat atau bahkan
lebih baik lagi. Karena itu setiap manusia mempunyai peluang untuk
melakukan keburukan dan berbuat dosa.9
Manusia dianugerahi sejumlah keistimewaan tertentu dibandingkan
dengan makhluk-makhluk lainnya, namun juga kelemahan-kelemahan.
Salah satu kelemahannya ialah apabila dirayu oleh iblis dengan bujukan
yang manis kadang-kadang dapat tergoda dan terperosok mengikutinya.10
Di dalam diri manusia ada empat macam sifat yang menjadi asal mula
timbulnya dosa. Menurut Imam Ghazali, empat macam sifat ini ialah: (1)
sifat-sifat Rububiah (sifat-sifat Ketuhanan); (2) sifat-sifat Syaitaniah (sifat-
sifat kesyaithanan); (3) sifat-sifat Bahimiah (sifat-sifat Kebinatangan); (4)
sifat-sifat Sabu'iah (sifat-sifat kebuasan).11

9
Yusuf al-Qardhawy, Taubat, terj. Kathur Suhardi, (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar,
2000), hlm.6.
10
Hamzah Yakub, Tingkat Ketenangan Dan Kebahagiaan Mumin: Uraian Tasawuf dan
Takorub, (Bandung: PT. Al-Maarif, 1978), hlm. 201
11
Imam Al-Ghazali, Bimbingan Untuk Mencapai Tingkat Mukmin, (Bandung:
CV.Diponegoro, 1975), hlm. 872-873
32

Menurut fukaha, bentuk-bentuk perbuatan dosa antara lain adalah:


(1) sengaja melakukan perbuatan salah; (2) melanggar hukum yang telah
digariskan Allah SWT; (3) melanggar hak-hak Allah SWT dan hak manusia;
(4) menyiksa diri sendiri, jiwa, dan raga; (5) melakukan kesalahan berulang-
ulang; dan (6) melarikan diri dari kenyataan yang ada. Semua bentuk
perbuatan dosa tersebut, menurut fukaha, sama sekali tidak berasal dari
fitrah manusia. Manusia menurut fitrahnya lebih condong berbuat kebajikan
daripada kejahatan. Bila suatu ketika manusia dihadapkan pada pemilihan
alternatif mengerjakan dosa atau kebajikan, maka menurut fitrahnya pasti ia
akan memilih kebajikan, karena pada dasarnya manusia bersifat suci atau
baik. Tetapi kalau ia memilih berbuat dosa. pasti fitrahnya sudah
dipengaruhi oleh sesuatu yang berasal dari luar dirinya.12

2. Jenis-Jenis Dosa

Perbuatan dosa merupakan sebab utama kesengsaraan manusia.


Perbuatan dosa dilarang di dalam agama karena mengandung bahaya bagi
pelakunya, baik kesehatannya, akalnya atau pekerjaannya. Di samping
bahaya yang menimpa pelakunya sendiri, perbuatan dosa juga
membahayakan masyarakat yang mengakibatkan hilangnya nilai persatuan
dan melahirkan keguncangan serta keributan. Karena adanya perbuatan
dosa, pasti akan mendatangkan marah Tuhan. Kemudian Tuhan akan
menurunkan siksaannya terhadap umat manusia. Siksaan tersebut terkadang
berupa bencana alam, seperti banjir, kelaparan, angin topan dan gempa
bumi. Kadang-kadang, siksaan itu berupa revolusi berdarah sehingga
mengakibatkan kehancuran total.
Dosa dan kesalahan merupakan masalah penting dalam Islam,
karena keduanya menyangkut hubungan balk antara manusia dengan Allah,
dengan masyarakat dan lingkungannya serta dengan dirinya sendiri.
Ketenteraman, kesejahteraan dan kebahagiaan manusia banyak ditentukan

12
Abdul Aziz Dahlan, dkk (Ed.). Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru van
Hoeve, 1997), hlm. 281-282
33

oleh seberapa jauh ia terhindar atau bersih dari dosa dan kesalahan, ataupun
sampai seberapa banyak ketaatan dan kebaikan yang diperbuatnya.
Sebaliknya penderitaan, kesengsaraan dan ketidakbahagiaan manusia
banyak pula ditentukan oleh seberapa banyak dosa dan kesalahan yang telah
dilakukannya. Orang-orang yang berbuat dosa dan kesalahan diancam Allah
dengan hukuman berat, balk di dunia maupun di akhirat. Sebaliknya orang
yang berbuat taat dan kebaikan dijanjikan dan diberikan Allah pahala yang
besar, baik di dunia maupun di akhirat.13
Dosa itu dalam ajaran Islam dapat dikelompokkan dalam tiga
kelompok yaitu: (a) dosa besar yang tidak terampuni; (b) dosa besar yang
masih bisa diampuni; (c) dosa kecil yang terhapus karena rajin ibadah atau
karena banyak berbuat kebajikan.14 Menurut Imam Ghazali, bahwa dosa
menurut sifat dasarnya dapat dibagi atas tiga bagian. Pertama yang
berhubungan dengan sifat manusia dan terdiri atas empat sifat, yaitu sifat
rububiyat, syaithaniyat, bahimiyat dan subu'iyat. Kedua berhubungan
dengan obyeknya dan dapat pula dibagi atas tiga, yaitu dosa antara manusia
dengan Allah, dosa yang berhubungan dengan hak-hak masyarakat dan
lingkungan, dan dosa yang berhubungan dengan diri manusia sendiri. Dan
ketiga dosa ditinjau dari segi bahaya dan mudaratnya terdiri pula atas dua,
yaitu dosa kecil dan dosa besar.15
Contoh dari perbuatan dosa bagian pertama adalah dari sifat
rububiyat (ketuhanan) manusia, antara lain adalah sifat sombong, bermegah-
megah, gila pujian dan berlagak tuhan, seperti mengatakan: "Akulah
Tuhanmu Yang Maha Tinggi." Dari sifat syaithaniyat seperti sifat dengki,
permusuhan, menyuruh berbuat keji dan mungkar, dan mengajak kepada
kesesatan dan bid'ah. Dari bahimiyat seperti penyimpangan seksual,
pencurian, memakan harta anak yatim dan mengumpulkan harta untuk
kepentingan hawa nafsu. Dan dari sifat subu'iyat seperti sifat marah, sadis

13
Yahya Jaya, Peranan Taubat dan Maaf Dalam Kesehatan Mental, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1995), hlm. 30-35
14
Hasbullah Bakry, Pedoman Islam di Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1988), hlm. 29.
15
Al-Ghazali, op. cit, hlm. 62-65
34

dan ingin menghancurkan orang lain. Contoh dari perbuatan dosa pada
bagian kedua antara lain adalah : pertama dosa antara manusia sendiri dan
Allah, seperti meninggalkan shalat dan puasa; kedua, dosa dalam
hubungannya dengan hak-hak masyarakat, seperti meninggalkan zakat,
membunuh orang, menyelewengkan harta, mencela kehormatan dan
merebut hak orang lain; dan ketiga, dosa dalam hubungannya dengan diri
sendiri, seperti dosa yang kedudukannya terletak antara manusia dengan
Allah, asalkan tidak berbentuk syirik, dan bisa diharapkan diampuni dan
dimaafkan.16
Mengenai dosa dan kesalahan ditinjau dari segi bahaya dan mudarat
pada bagian ketiga, yaitu dosa kecil dan dosa besar, para ulama berbeda
pendapat tentang definisi dan jumlahnya. Tentang definisi atau pengertian
dosa besar dan dosa kecil, ada yang mengatakan bahwa dosa besar adalah
kesalahan besar terhadap Allah karena melanggar aturan pokok yang
diancam dengan hukuman berat, dunia dan akhirat, contohnya dosa syirik,
zina dan durhaka kepada kedua ibu-bapak. Dan dosa kecil adalah kesalahan
ringan terhadap Allah berupa pelanggaran ringan mengenai hal-hal yang
bukan pokok yang hanya diancam dengan siksaan ringan. Contohnya
ucapan yang kurang baik dan melihat wanita dengan penuh syahwat. Bagi
Mu'tazilah yang dikatakan dosa besar ialah setiap perbuatan maksiat yang
ada ancamannya dari Allah, dan dosa kecil setiap perbuatan maksiat yang
tidak ada ancamannya. Sedangkan bagi Ja'afar bin Mubasysyir yang
dikatakan dosa besar itu ialah setiap niat yang digunakan untuk melakukan
perbuatan dosa dan setiap orang yang melakukan perbuatan maksiat dengan
sengaja adalah dosa besar.17
Jadi pengertian dosa besar di sini bergantung pada niat dan
kesengajaan. Imam Harmain, Al-Ghazali dan Al-Razy mengemukakan
bahwa dosa besar ialah setiap sesuatu perbuatan yang ada unsur
penghinaannya terhadap agama dan ketiadaan mempedulikan larangan dan
16
Ibid, hlm. 62-63
17
Lutpi Ibrahim, Konsep Dosa Dalam Pandangan Islam, Studia Islamika No. 13/1980,
hlm. 16.
35

suruhan agama serta tidak menghormati taklif agama.18 Sebagian ulama lain
mengatakan: "Apabila ingin mengetahui perbedaan antara dosa besar
dengan dosa-dosa kecil, maka bandingkanlah kerusakan-kerusakan yang
diakibatkan oleh dosa-dosa tersebut dengan dosa besar yang sudah ada nash-
nya. Apabila pada kenyataannya kerusakan yang ditimbulkan itu hanya
sedikit, maka yang demikian itu adalah dosa kecil. Tetapi apabila kerusakan
yang ditimbulkannya itu seimbang atau lebih besar, maka yang demikian itu
adalah dosa besar.19
Pengertian dosa besar dan dosa kecil yang terakhir ini ditekankan
pada kerusakan yang ditimbulkannya, dibandingkan dengan dosa yang telah
ada nash-nya dalam Islam. Dari uraian tentang pengertian dosa di atas dapat
diambil suatu kesimpulan bahwa para ulama pada umumnya menyetujui
pembagian dosa itu atas dasar besar dan kecil. Dosa besar mengandung
bahaya dan mudarat yang lebih besar, dan dosa kecil mendatangkan bahaya
dan mudarat yang lebih ringan.
Adapun mengenai jumlah dosa besar para ulama berbeda pendapat.
Ada di antara mereka yang mengatakan jumlahnya 7, 17, 70 dan ada pula
yang mengatakan jumlahnya 700. Semua pendapat ini ada argumennya, baik
argumen akal maupun naqal. Pendapat jumlah dosa besar 17 dikemukakan
oleh Abu Thalib al-Makki. Setelah mengumpulkan berbagai hadis Nabi
Muhammad s.a.w. tentang dosa besar ia menyimpulkan, bahwa dosa besar
itu ada 17 dengan rincian sebagai berikut:
Empat terdapat di hati, yaitu:
1. Syirik.




{48}

18
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, op. cit, hlm. 470.
19
Afif Abdullah Fattah Thabbarah, Dosa Dalam Pandangan Islam, terj. Bahrun Abubakar
dan Anwar Rasyidi, (Bandung: Risalah, 1980), hlm. 4.
36

Artinya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan


Dia mengampuni segala dosa yang selain dari itu, bagi siapa
yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan
Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar (Q.S.
an-Nisa': 48).

2. Senantiasa berbuat maksiat kepada Allah.



{14}

Artinya: Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya


dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah
memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di
dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (Q.S. an-
Nisa': 14).

3. Merasa selamat dari genggaman Allah atau merasa bebas dari balasan
Allah.

{99}

Artinya: Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah? Tiada
yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang
yang merugi. (Q.S. Al-A'raf: 99)

4. Merasa putus asa dari rahmat Allah.



{87}

Artinya: Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita
tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus
asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa
37

dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir". (Q.S.


Yusuf: 87)

Empat di lidah, yaitu:


5. Memberi saksi palsu.

{72}

Artinya: Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu,
dan apabila mereka bertemu dengan yang mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui
dengan menjaga kehormatan dirinya. (Q.S. Al-Furqan: 72)

6. Membuat tuduhan zina terhadap perempuan yang beriman.







{23}
{24}
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-
baik, yang lengah lagi beriman , mereka kena la'nat di
dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar, pada
hari, lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas
mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. (Q.S.
Annur: 23-24).

7. Membuat sumpah palsu.






{77}
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji Allah dan
sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit,
38

mereka itu tidak mendapat bahagian di akhirat, dan Allah


tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan
melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak akan
mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih. (Q.S.
Ali Imran : 77)

8. Berkata bohong.




{28}
Artinya: Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-
pengikut Fir'aun yang menyembunyikan imannya berkata:
"Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia
menyatakan: "Tuhanku ialah Allah padahal dia telah datang
kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari
Tuhanmu. Dan jika ia seorang pendusta maka dialah yang
menanggung dustanya itu; dan jika ia seorang yang benar
niscaya sebagian yang diancamkannya kepadamu akan
menimpamu". Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-
orang yang melampaui batas lagi pendusta. (Q.S. Ghofir: 28)

Tiga di perut, yaitu:


9. Minum khamar dan minuman keras
10. Memakan harta anak yatim.
11. Memakan harta riba
Dua di kemaluan, yaitu:
12. Berzina.
13. Homoseks/lesbian
Dua di badan khususnya pada tangan, yaitu:
14. Melakukan pembunuhan.
15. Melakukan pencurian.
Satu di kaki, yaitu:
39

16. Lari dari peperangan.


Satu lagi letaknya di seluruh badan, yaitu;
17. Tidak menghormati kedua ibu bapak.20
Adz-Dzahabi, pengarang kitab al-Kaba'ir menyebutkan tujuh
puluh buah dosa besar:
1. Menserikatkan Allah dan riya dalam amal perbuatan;
2. sengaja menghilangkan nyawa seseorang mukmin;
3. mengamalkan sihir;
4. meninggalkan salat;
5. enggan mengeluarkan zakat;
6. sengaja berbuka di hari bulan Ramadhan;
7. tidak menunaikan ibadah haji, padahal mempunyai kesanggupan
menunaikannya;
8. durhaka kepada kedua orang tua;
9. memutuskan hubungan silaturrahim;
10. berzina;
11. homoseksualitas;
12. makan riba;
13. makan harta anak yatim secara zhalim;
14. berdusta terhadap Allah dan Rasul-Nya;21
15. melarikan diri dari medan perang padahal kekuatan musuh tidak
melebihi kekuatan pasukan muslimin, kecuali mundur untuk mencari
tempat. bertahan yang lebih baik atau menggabungkan diri dengan
barisan muslimin lainnya;
16. menipu dan menganiaya rakyat yang dilakukan oleh para pemimpin;
17. takabur, bermegah-megah, sombong, dan 'ujub;
18. menjadi saksi palsu;
19. minum khamar;
20. berjudi;
20
Yahya Jaya, op. cit, hlm. 33-34
21
Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Usman Az-Zahabi, Dosa-Dosa Besar,
Terj. Mu'amal Hamidy, dkk, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993), hlm. 5.
40

21. menuduh perempuan baik-baik (muhshanat), berzina;


22. korupsi, mengambil harta ghanimah yang belum dibagi-bagikan
kepada yang berhak; mengambil sesuatu dari baital mal tanpa izin dari
yang berhak atau mengambil sesuatu dari zakat yang dikumpulkan
untuk para fuqara;
23. mencuri;
24. merampok, membegal, dan mengadakan pengacauan;
25. sumpah palsu untuk mengambil hak orang lain;
26. memakan harta orang lain dengan cara memaksa atau memperlambat
membayar hutang oleh orang yang berpunya;
27. memungut pajak terhadap orang asing yang melewati perbatasan
dengan cara paksa (pungutan liar);
28. makan barang yang haram dan mencari kekayaan secara tidak halal;
29. bunuh diri;
30. selalu berbohong;
31. tidak menghukum dengan hukum-hukum yang benar;
32. makan suap dalam mengadili perkara;
33. perempuan menyerupakan dirinya dengan laki-laki, dan laki-laki
menyerupakan dirinya dengan perempuan;
34. tidak merasa cemburu dan membiarkan orang lain berbuat cabul
terhadap keluarganya;
35. cinta buta;
36. tidak membersihkan diri dari kemih;22
37. riya';
38. belajar semata-mata karena dunia dan menyembunyikan ilmu
pengetahuan;
39. berkhianat;
40. mengungkit-ungkit sesuatu pemberian (sedekah) yang telah diberikan
kepada seseorang;
41. tidak percaya kepada qadar;

22
Ibid, hlm. 7-45
41

42. mencari-cari keaiban seseorang dan memata-matainya;


43. suka mengadu domba dan membawa fitnah untuk merusakkan
hubungan orang;
44. mengutuk;
45. menipu, tidak menepati janji;
46. membenarkan tukang tenung;
47. durhaka istri terhadap suami;
48. membuat gambar timbul pada kain, batu dan sebagainya;
49. memukul-mukul dada, menampar-nampar pipi, mencabik-cabik kain
dan meminta kecelakaan ketika ada musibah.
50. menganiaya sesuatu golongan;
51. berlaku kasar terhadap fakir miskin, kaum kerabat, pembantu rumah
tangga dan lain-lain;
52. menyakiti tetangga;
53. memaki dan menyakiti kaum muslimin
54. memberi melarat kepada hamba Allah dan berlaku kasar terhadap
mereka;
55. memanjang-manjangkan secara berlebihan kain sarung, celana, atas
dasar sombong, angkuh, dan 'ujub;
56. memakai sutra dan emas oleh laki-laki;
57. lari hamba dari tuannya;
58. menyembelih untuk selain Allah;
59. membangsakan diri kepada bukan bapanya, sedang ia mengetahuinya;
60. mengadakan jidal, mira', khusumat untuk memperlihatkan kebodohan
orang lain;
61. tidak mau memberikan kelebihan air;
62. mengurangi sukatan, timbangan, dan ukuran;
63. merasa diri selamat dari hukuman Allah;
64. tidak takut mendapat azab di hari akhirat, dan tidak mengharap
ampunan dari Allah;
65. meninggalkan berjamaah, dan sembahyang sendirian tanpa uzur;
42

66. kekal meninggalkan shalat Jum'at dan jamaah tanpa uzur;


67. membuat wasiat yang memelaratkan ahli waris;
68. menipu dan mengicuh;
69. memata-matai muslimin dan memberitahukan tentang keadaan mereka
kepada musuh;
70. mencela sahabat Nabi SAW.23
Walau bagaimanapun kecilnya dosa-dosa itu, ia dapat saja dengan
segera menjadi dosa besar. Dosa kecil dapat menjadi dosa besar antara
lain disebabkan:
a. Karena dosa kecil itu dikerjakan terus menerus atau dikekalkan saja
mengerjakannya tanpa ada hentinya.
b. Karena memandang kecil perbuatan dosa. Sebab dosa itu apabila
dipandang kecil (enteng), maka ia dipandang besar oleh Allah dan
apabila kita pandang besar, maka niscaya dipandang kecil oleh Allah.
c. Karena gembira berbuat dosa kecil itu dan tidak merasakan, bahwa
dosa dapat menjadi sebab kecelakaannya.
d. Merasa aman dari tipu daya Allah.24
Jadi pengertian kecil dan besarnya dosa itu sangat relatif, seperti
dosa kecil yang dilakukan secara terus menerus bisa berubah menjadi dosa
besar. Dari uraian di atas jelas bahwa sumber dan penyebab timbulnya
dosa dan kesalahan pada diri seseorang adalah usaha dan perbuatan
manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, ia pulalah yang bisa
mempertanggungjawabkan dosa dan kesalahannya ataupun yang bisa
mengusahakan dosa dan kesalahannya itu hapus. Dosa dan kesalahan
seorang bapak tidak akan dapat dihapuskan oleh usaha dan perbuatan
anaknya, dan begitu pula sebaliknya. Penghapusan dosa dan kesalahan
hanya bisa terwujud, kalau orang-orang yang berdosa dan bersalah itu
sendiri berusaha untuk menghilangkannya.

23
Ibid, hlm. 45-402
24
Humaidi Tatapangarsa, Akhlaq Yang Mulia, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1980), hlm. 64-
43

3. Akibat Dosa

Allah SWT., berkehendak, jika manusia menjauhkan dirinya dari


faktor-faktor yang dapat mendekatkan dirinya dari dosa-dosa besar,
niscaya Allah SWT., akan memberikan balasan bagi tindakannya itu
dengan menganugerahkannnya penghapusan dan pengampunan dosa-dosa
kecilnya.25 Sehubungan dengan itu menurut Isa Selamat yang mengutip
Syahminan Zaini mengemukakan bahwa akibat dari berbuat dosa itu ada
17 perkara:
1. Melanggar janji.
Dalam Islam manusia ketika masih di alam roh sudah pernah
mengadakan suatu perjanjian dengan Allah, melalui wahyunya yang
termuat dalam Al-Qur'an. Namun setelah manusia lahir ke dunia ini,
manusia lupa akan perjanjiannya tersebut. Karena manusia memang
pelupa apalagi perjanjian yang dilakukan manusia dengan Allah itu
terjadi sebelum mereka dilahirkan. Tinggal sejauh mana manusia
berusaha untuk mengetahui akan perjanjiannya itu melalui firman
Allah di dalam Al-Qur'an. Semuanya tergantung kepada manusia itu
sendiri dalam memahami ajaran Islam sekaligus berusaha
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya Allah
menurunkan para Rasul dalam rangka memberi peringatan kepada
umat manusia agar mengetahui akan tujuan dari kehidupannya di dunia
ini. Tegasnya perjanjian manusia dengan Allah itu merupakan suatu
bukti bahwa manusia telah lahir ke dunia dengan mengikuti segala
ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Mematuhi segala
perintah-Nya dan meninggalkan segala larangannya. Dengan jalan
menyembah Allah itu adalah merupakan suatu usaha bahwa manusia
tersebut telah mematuhi semua perintah-Nya dan menjauhi semua
larangan-Nya. Jika manusia tidak mematuhi perintah Allah kemudian
mengerjakan segala dosa-dosa dan maksiat berarti dia telah melangar

25
M.Mutawalli Asy-Sya'rawi, Dosa-Dosa Besar, terj. Abdul Hayyie al-Kattani dan
Fithriah Wardie, (Jakarta: Gema nsani Press, 2000), hlm. 11
44

janji yang pernah dibuat dulu dengan Allah SWT. Pelanggaran


terhadap janji yang pernah dibuat itu tentu akan menerima balasan
kelak dari Allah SWT.
2. Merusak Iman
Banyak berbuat dosa dan melakukan pekerjaan yang dilarang
oleh Allah juga mengakibatkan rusaknya iman seseorang. Iman
merupakan rahmat dan anugerah dari Allah SWT yang sangat istimewa
dan sangat tinggi nilainya. Iman hanya terdapat pada orang-orang yang
mendapat keridhaan Allah SWT yang sanggup menegakkan nilai-nilai
kebenaran di mana saja mereka berada. Baik dalam lingkungan
keluarga, masyarakat dan negara.
3. Merusak hubungan manusia dengan Allah
Manusia kapanpun dan di manapun berada ia akan selalu
berhubungan dengan Allah Yang Maha Pencipta. Jika hubungan
manusia dengan pencipta-Nya terputus karena kelalaian dan tidak mau
menuruti perintah-Nya maka akan datang kepada mereka suatu
kehinaan dan bencana dari Allah SWT.
4. Merusak hubungan manusia dengan manusia
Di dalam kehidupan sehari-hari, tidak ada seorangpun merasa
senang apabila dirinya dikhianati, ditipu, miliknya dicuri,
kehormatannya diganggu dan sebagainya. Kemaksiatan dan dosa yang
dilakukan itu baik dalam kaitannya dengan agama maupun dengan
hubungan sesama manusia akan menimbulkan kesan yang tidak baik
dari pihak lain. Dengan sendirinya hubungan dengan sesama manusia,
juga hubungan dengan keluarga, sahabat, teman sekerja, dan
sebagainya itu akan menjadi rusak akibat dari kekeliruan dan
kezaliman yang dilakukan.
5. Merusak kebahagiaan hidup
Kebahagiaan hidup tidak akan dapat dirasakan bagi orang yang
kosong jiwanya dan tidak mau mengingat Allah bahkan gemar
melakukan maksiat dan dosa. Sehingga mereka hidup dalam keluh-
45

kesah dan keresahan, walaupun secara lahiriah terlihat mereka senang


dan bahagia dengan tumpukan harta yang banyak namun itu semua
bagaikan fatamorgana yang menipu kehidupan mereka sendiri.
6. Merusak moral
Kejahatan dan kemaksiatan akan melemahkan akhlak atau
moral seseorang. Secara nyata manusia dapat melihat orang yang rusak
moralnya karena tidak menghiraukan segala perintah Allah dan dengan
mudah melakukan dosa-dosa.
7. Menimbulkan penyakit rohani
Orang yang berbuat dosa hatinya akan selalu dalam keresahan
dan fikirannya tidak tenteram seolah-olah bagaikan dikejar-kejar oleh
dosa yang dilakukan-nya itu. Penyakit rohani ini mengganggu
kebahagiaan manusia, menghalanginya untuk mendapatkan keridhaan
Allah SWT malah mendorong orang yang berdosa itu untuk terus
melakukan kemaksiatan. Allah menciptakan manusia itu dari dua unsur
yaitu unsur jasmani dan unsur rohani. Keduanya merupakan bagian
dari kehidupan manusia yang tidak dapat dipisahkan antara satu sama
lain dalam menjalankan aktivitas di dunia ini. Keduanya memiliki
tanggungjawab yang berhubungan erat.
8. Mengotori kesucian manusia
Dosa dan maksiat dapat mengotori kesucian manusia. Karena
pada dasarnya menurut ajaran Islam bahwa manusia itu pada mulanya
suci dan bersih dari dosa. Perbuatan dosa itu disebabkan dari dirinya
sendiri karena terpengaruh oleh beraneka kemaksiatan di
sekelilingnya.
9. Menjatuhkan martabat manusia
Di dalam Al-Qur'an, Allah meletakkan manusia sebagai
"makhluk yang sanggup menerima beban dan tangungjawab. Setidak-
tidaknya makhluk yang memiliki martabat, sebagai makhluk yang
terbaik, sebagai makhluk yang dipercaya, sebagai makhluk yang
termulia, yang tersayang dan sebagai makhluk yang pandai.
46

Seandainya di dalam diri manusia itu dipengaruhi oleh hawa nafsunya


maka segala martabat yang dianugerahkan oleh Allah itu akan menjadi
runtuh. Akhirnya manusia tersebut sama dengan binatang yang tidak
mampu menghargai anugerah yang diberikan oleh Allah SWT
kepadanya.
10. Mengundang kemarahan Allah
Berbuat maksiat dan dosa mengundang kemarahan Allah SWT.
Umpamanya dosa karena membunuh, musyrik, munafik, bakhil, orang
miskin yang sombong, orang kaya yang zalim dan sebagainya.
11. Mengundang malapetaka atau bencana
Bencana itu datang lantaran umat manusia membuat kezaliman,
kemaksiatan dan dosa, penganiayaan, membunuh sesama mereka
dengan tanpa memiliki perasaan perikemanusiaan. Mereka tidak
mampu menolak bencana yang didatangkan oleh Allah SWT
melainkan Allah SWT yang Maha Kuasa atas segalanya. Tegasnya
bencana itu datang lantaran manusia tidak mau menjalankan kebenaran
yang disampaikan Allah kepadanya. Mereka memiliki hati namun
tidak mampu menganalisa kebenaran Illahi, mereka mempunyai mata
namun tidak sanggup melihat kekuasaan Allah, mereka juga
inempunyai telinga namun tidak digunakan untuk mendengar seruan
Illahi, akhirnya mereka harus menerima bencana yang pedih dari Allah
SWT.
12. Menyebabkan ditolaknya doa
Setiap pribadi muslim harus selalu bertanggungjawab terhadap
dirinya sendiri dalam usaha memenuhi panggilan Allah SWT. Bila
manusia, tidak melakukan segala perintahnya maka setiap doa tidak
akan dikabulkannya.
13. Memberikan kemenangan kepada nafsu dan syaitan
Hawa nafsu yang tidak mendapat bimbingan akan senantiasa
menjadi perhatian syaitan yang selalu berusaha sekuat tenaga untuk
mempengaruhi manusia berbuat kejahatan dan dosa. Jika manusia
47

terdorong melakukan dosa-dosa itu maka hawa nafsu dan syaitan akan
merasa menang karena dapat mengendalikan manusia menurut
kehendaknya.
14. Menyampaikan cita-cita orang kafir
Keinginan orang kafir terhadap orang-orang yang beriman ialah
agar orang-orang yang beriman itu tersesat dan tidak mendapat rahmat
dari Allah SWT. Bahkan mereka berharap orang-orang yang beriman
itu keluar dari agamanya dan bersama-sama mengikuti mereka. Dalam
upaya tercapainya cita-citanya ini, mereka berusaha membuat berbagai
kemudahan maksiat. Dengan sendirinya orang-orang Islan yang lemah
imannya akan terjerumus ke lembah kehinaan. Mereka membuat
kemudahan untuk orang dengan senang dan puas, mereka berkunjung
ke tempat pelacuran, tempat judi, night club, pergaulan bebas dan
sebagainya. Sehingga banyak terlihat orang Islam sendiri yang
mengunjungi tempat-tempat yang penuh dengan dosa itu.
15. Merusak ketetapan alam dan manusia sendiri
Telah diungkapkan bahwa dosa dan maksiat yang dilakukan
oleh manusia di dunia ini akan mengundang bencana. Semuanya
terjadi karena hasil dari kerja manusia itu sendiri, yang hanya
mementingkan diri sendiri dan hawa nafsu.
16. Mempengaruhi tingkah laku manusia
Dosa mempengaruhi Tingkah Laku Manusia Jika seseorang
sering melakukan dosa baik itu dosa besar atau dosa kecil, akan
tergambar dari sikapnya dan dari tingkah lakunya seperti sesuatu yang
menunjukkan keburukan akhlak dan budi pekerti. Betapapun kadang-
kadang orang tersebut ingin menutupi kesalahannya, namun masih
dapat dibaca oleh orang lain dari sikapnya itu. Sifat kemunafikan akan
ditemukan pada orang-orang yang senang berbuat dosa. Apa yang
dilakukan tidak sesuai dengan apa yang dikatakannya. Dengan
sendirinya tingkah lakunya menggambarkan apa yang ia kerjakan.
48

17. Menyebabkan masuk neraka.26

Hanya orang-orang yang penuh dengan dosa dan suka


mengerjakan maksiat yang menjadi penghuni neraka kecuali mereka
sempat bertaubat memohon ampun akan dosa dan kesalahannya
kepada Allah SWT.
Perbuatan dosa dapat berakibat kepada diri pribadi pelakunya
(Q.S. al-Jaatsiah 45: 15). Artinya seseorang yang melakukan perbuatan
dosa atau melanggar hukum syariat, di akhirat akan dijerumuskan dalam
api neraka. Apabila yang dilakukan itu perbuatan pidana, maka di dunia
orang tersebut akan mendapatkan sanksi sesuai dengan tindak pidana yang
dilakukannya, seperti hukuman kisas (Pembunuhan), potong tangan, dera,
dan lain-lain.27
Fukaha dan sufi berpendapat bahwa secara psikologis orang yang
melakukan dosa tidak merasa aman dan tenteram hidupnya, karena ia
berusaha menutup-nutupinya, khawatir dosanya akan diketahui oleh orang
lain. Selain itu, perbuatan dosa juga berdampak kepada masyarakat atau
lingkungan. Semua bentuk kejahatan atau dosa, baik langsung maupun
tidak langsung, akan merusak kemaslahatan masyarakat. seperti
pencurian. Pembunuhan, kebohongan, pengumpatan, prasangka. tuduh
menuduh, marah, dengki, ria, tamak, sombong, iri hati, dan sebagainya.
Apabila perbuatan dosa telah merajalela, yaitu pelanggaran telah terjadi di
segala sektor kehidupan manusia, akibatnya terjadi kekacauan dan
kehancuran. Banyak contoh pada masa lain yang menunjukkan bahwa
kehancuran sebuah negeri atau kerajaan terjadi karena penyimpangan dan
penyelewengan atau perbuatan dosa yang merajalela. Allah SWT bukan
hendak menganiaya manusia, melainkan mereka yang menganiaya diri
mereka sendiri dengan mengerjakan kejahatan sampai melampaui batas

26
Isa Selamet, Dosa Bagaikan Madu yang Beracun, (Jakarta: Lintas Pustaka, 2002), hlm.
26-27
27
Abdul Aziz Dahlan, dkk (Ed.). Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru van
Hoeve, 1997), hlm. 281
49

sehingga mereka memikul akibatnya (QS. Al-Baqarah 2:57, al-A'raf


7:160, dan at-Taubah 9:70).28
Menurut Maulana Asyraf Ali Tsanwi, bahwa akibat buruk karena
perbuatan dosa adalah pertama, orang yang berbuat dosa terjauh dari ilmu
yang hak, karena ilmu yang hak adalah nur bagi hati nurani dan cahaya
ruhaniahnya akan keluar apabila seseorang melakukan perbuatan maksiat.
Imam Malik suatu ketika berkata kepada Imam Syafii, "Sesungguhnya
aku melihat bahwa Allah Ta'ala menyinari harimu dengan nur (cahaya
ilmu ilahi). Oleh karena itu, engkau jangan sampai membiarkan nur itu
menghilang karena digelapkan oleh kemaksiatan. Kedua, di dunia ini,
orang yang berbuat maksiat akan menderita kekurangan rezeki. Ketiga,
hati orang yang berbuat dosa senantiasa tersiksa oleh perasaan jauh dari
Allah - sebuah keadaan yang dengan mudah dapat dirasakan oleh orang-
orang yang menghargai pengalaman ini suatu ketika, seseorang datang
kepada seorang Sufi dan Arif. Kemudian, orang tersebut mengeluh
tentang perasaannya yang resah dan jauh dari Allah; Sufi itu berkata,
"Apabila dosamu telah membuat dirimu takut dan menyebabkan perasaan
resah dan jauh dari Kehadiran-Nya yang Abadi maka bertaubatlah dan
bersihkanlah dosa-dosamu. Kamu akan menjadi dekat dengan-Nya. 29
Keempat, orang yang berbuat maksiat juga merasa resah apabila
berada di tengah-tengah orang lain, dan perasaan aneh, yakni takut kepada
orang lain menghantui mereka, terutama mereka merasa resah apabila
berada di tengah-tengah orang shalih. Semakin bertambah keresahannya,
semakin jauh mereka dari majelis orang-orang shalih sehingga mereka
kehilangan berkah dari majelis orang-orang shalih. Seorang sufi besar
pernah berkata, "Apabila aku melakukan perbuatan maksiat, aku melihat
akibatnya pada tingkah laku istriku dan binatang piaraanku yang tidak
mau mematuhiku. Orang yang melakukan dosa menghadapi kesulitan
dalam menyelesaikan tugas sehari-hari. Orang-orang yang takut kepada
28
Ibid, hlm. 282
29
Maulana Asyraf Ali Tsanwi, Pahala dan Azab atas Perbuatan Manusia, alih bahasa:
Supriyanto Abdullah, (Yogyakarta: Cahaya Hikmah, 2003), hlm. 11-13
50

Allah dibimbing oleh-Nya dalam menempuh jalan keberhasilan. Orang-


orang yang berdosa, jalan menuju keberhasilan tertutup baginya. Kelima,
sebuah kegelapan menutupi orang yang berbuat maksiat Gelapnya dosa ini
dapat dilihat oleh orang lain dengan sedikit memperhatikan saja. Apabila
kegelapan telah menguasai hati, maka orang itu akan mengalami semacam
kebingungan, yakni ia kurang memiliki kemampuan untuk membedakan
antara yang benar dan yang salah, dan ia terjerumus ke dalam kejahilan
dan bid'ah (yakni melakukan hal- hal yang tampaknya merupakan perintah
agama, tetapi sesungguhnya bukan), dan akhirnya, ia mengalami
kebinasaan. Kegelapan hati ini kemudian tercermin dalam mata dan wajah
orang yang berbuat dosa yang dapat dilihat oleh hampir sedap orang.
Wajah orang yang berbuat dosa, bagaimanapun tampannya ia, tidak
menunjukkan kecerahan. Abdullah bin Abbas r.a. berkata:
Amal shalih menumbuhkan cerahnya wajah dan nur pada hati.
Demikian pula rezekinya juga bertambah, memperkuat tubuh, dan
menyebabkan hati orang lain cinta kepadanya. Sebaliknya, kemaksiatan
menjauhkan nur dari wajah, menyebabkan hatinya dan kuburnya (setelah
mati) gelap, menyebabkan kemalasan, mengurangi rezeki, dan
30
menyebabkan hati orang lain benci kepadanya.
Keenam, kemaksiatan menyebabkan lemahnya hati dan tubuh.
Lemahnya hati tampak pada tidak adanya kecenderungan untuk beramal
shalih. Mengenai lemahnya tubuh, jelaslah bahwa kekuatan jasmani
adalah sebagai akibat yang wajar dari kuatnya hati. Ingatlah, betapa
kuatnya orang-orang kafir dari Romawi dan Persia. Tetapi, mereka tidak
dapat bertahan dari serangan para sahabat Rasulullah saw. Keenam, orang
yang berbuat maksiat sulit mengerjakan perbuatan taat lainnya. Hari demi
hari, yang dilaluinya kosong dari amal shalih. Dengan demikian, sebagai
akibat dari dosanya, ia tidak memiliki kemampuan untuk beramal shalih
bagaikan seseorang yang memakan makanan lezat tetapi makanan tersebut
menyebabkan timbulnya penyakit yang membahayakan sehingga ia tidak

30
Ibid, hlm. 13-14
51

mampu merasakan nikmatnya makanan lezat lainnya. Ketujuh, orang yang


berbuat dosa menjadi pendek dan hidupnya terjauh dar rahmat Ilahi
(apabila kehidupan seseorang dirahmati Allah maka la memiliki
kemampuan untuk menyelesaikan tugas-tugas berat dalam waktu yang
sangat singkat). Amal shalih dapat memperpanjang umur seseorang,
sedangkan perbuatan dosa dapat memperpendek umur. Barangkali muncul
pertanyaan di sini, karena umur seseorang telah ditakdirkan maka umur
tersebut tidak dapat diperpanjang dan diperpendek. Apabila direnungkan
dengan sungguh-sungguh, tampaknya hal itu tidak masuk akal. Karena
sebagaimana umur, semua keadaan manusia dan keberuntungannya,
misalnya kekayaannya dan kemiskinannya, sehat dan sakitnya, telah
ditakdirkan oleh Allah Ta'ala. Dan karena tak seorang pun yang
berkeberatan dengan pendapat bahwa untuk memperoleh kesehatan atau
menghilangkan kesengsaraan tentu perlu ditempuh usaha, tentunya juga
tidak ada yang berkeberatan bahwa untuk memperpanjang umur tentu juga
diperlukan usaha. Kenyataannya adalah bahwa semuanya ini telah
ditakdirkan, tetapi pada waktu yang sama, hal itu juga ada hubungannya
dengan usaha yang ditempuh melalui hubungan sebab-akibat. Kedelapan,
perbuatan maksiat cenderung kepada perbuatan maksiat lainnya, dan
seterusnya, dengan demikian dosa yang dikerjakannya semakin
bertumpuk-tumpuk dan orang yang berbuat dosa dikitari oleh dosa-dosa di
sekelilingnya. Dengan demikian, ia semakin ketagihan berbuat dosa dan
sulit untuk menghentikannya. Kemudian, sampailah ia ke suatu tahap
dimana orang yang berbuat dosa mengerjakan dosa karena ia tidak dapat
menahan diri dari perbuatan tersebut karena khawatir akan menyebabkan
kegelisahan dan sakit pada dirinya. Tetapi, pada tahap ini perbuatan dosa
juga tidak mampu memberikan kenikmatan badaniah lagi. 31
Kesembilan, melemahnya kemauan untuk bertaubat, sedemikian
parahnya sehingga ia sama sekali tidak ada niat untuk bertaubat hingga
mati dalam keadaan berdosa. Beberapa hari setelah melakukan dosa,

31
Ibid, hlm. 14-16
52

orang yang berbuat dosa tidak lagi memandang bahwa perbuatan dosa
adalah sesuatu yang membahayakan. Ia menganggap remeh terhadap
dosa-dosanya dan tidak merasa khawatir apabila orang lain melihat
perbuatan dosanya. Yang lebih parah lagi, ia merasa bangga dengan
perbuatan dosanya. Bahkan, membangga-banggakan perbuatannya
tersebut kepada orang lain. Orang semacam ini semakin jauh dari
ampunan Allah Ta'ala. Kadangkala terjadi bahwa seorang yang melakukan
dosa, karena menganggap remeh akan perbuatan dosa yang dilakukannya,
menyebabkan dirinya terjerumus ke dalam kekufuran. Kesepuluh, setiap
dosa yang dilakukannya menyebabkan dirinya menjadi pewaris musuh-
musuh Allah Demikianlah, dengan melakukan suatu dosa, orang yang
mengerjakannya menjadi salah satu pewaris dari orang-orang yang telah
dilaknat Allah. Misalnya orang yang melakukan homosex/lesbian menjadi
pewaris kaum Luth a.s., orang yang mengurangi timbangan menjadi
pewaris kaum Su'aib a.s., orang yang berbuat sewenang-wenang dan
berbuat korupsi menjadi pewaris Fir'aun dan rakyatnya, kesombongan dan
kekejaman adalah warisan kaum Nabi Hud a.s.. Dengan demikian,
seorang yang melakukan dosa telah meniru-niru salah satu atau semua
musuh Allah dalam perbuatan dan sifat-sifatnya.
Akibat buruk lainnya adalah bahwa orang yang bermaksiat
menjadi hina dan tidak berharga dalam pandangan Allah Ta'ala. Apabila
seseorang telah hina di hadapan Penciptanya maka ia tidak dapat
memerintahkan makhluk untuk memuliakannya. Allah Ta'ala berfirman,

(18 :) ... ...


Artinya: Dan barangsiapa yang dihinakan Allah maka tidak
seorangpun yang memuliakannya." (Al-Hajj: 18).32

32
Depag RI, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan
Terjemahnya, 1986, hlm. 514
53

Dengan demikian dapat dikatakan, apabila seseorang yang


terhormat menolak untuk menundukkan kepalanya di hadapan Allah, ia
telah kehilangan kehormatannya dan kehormatan tersebut tidak dapat
diraih kembali ke mana pun ia pergi. Meskipun tampaknya orang-orang
menghormatinya karena takut akan kekejaman dan kejahatannya yang
mungkin ia lakukan, tetapi penghormatan yang diberikan orang-orang
tersebut tidak muncul dari lubuk hatinya.

4. Cara Menghapus Dosa

Setiap manusia hidup di dunia ini tidak terlepas dari berbuat dosa.
Ada orang yang melakukan perbuatan dosa secara sengaja dan ada pula
yang tanpa disadari atau memang tidak tahu sama sekali. Maka dalam hal
ini Allah SWT memberi jalan kepada manusia untuk memilih tetap dalam
dosa atau ingin mendapatkan ampunan. Jika manusia memilih mendapat
ampunan, maka Allah telah memberi kesempatan kepada manusia untuk
bertaubat. Jika seseorang mendapat penyakit yang disebabkan oleh dosa-
dosa yang diperbuatnya, maka ia harus bertaubat. Itulah cara pengobatan
yang Allah SWT berikan kepada mereka yang mendapat penyakit secara
metafisik. Karenanya jalan keluar bagi orang yang berdosa hanya
bertaubat.33
Menurut jumhur ulama, Allah SWT tidak menentukan berapa
jumlah dosa dalam Al-Qur'an, namun dosa dapat diklasifikasikan menjadi
dua, yaitu dosa besar (kabair) dan dosa kecil. Allah SWT berfirman: "Jika
kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu
mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan (dosa-dosamu
yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga) (QS.
An-Nisa 4:31).
Dosa-dosa kecil itu dapat dihapuskan oleh ibadah-ibadah seperti
salat lima waktu, salat Jumat, dan puasa Ramadan. Jumhur ulama

33
Maimunah Hasan, Al-Quran dan Pengobatan Jiwa, Bintang Cemerlang, Yogyakarta,
2001, hlm. 41.
54

berpendapat bahwa dosa besar tidak bisa terhapus hanya dengan


melaksanakan perbuatan-perbuatan baik, tetapi dosa-dosa kecil bisa
terhapus dengan ibadah dan amal saleh. Ulama sepakat bahwa dosa-dosa
besar hanya bisa dihapus dengan tobat. Pendapat ini didasarkan atas
firman Allah SWT yang artinya: "...Allah menyukai orang-orang yang
melakukan kebajikan. Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan
perbuatan keji (dosa besar) atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat
akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka; dan siapa
lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah; dan mereka tidak
meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui" (QS. Al-
Imran 3:134135).
Dalam melakukan taubat ada syarat-syarat yang harus ditempuh
oleh setiap orang yang ingin membersihkan diri, misalnya menurut Imam
al-Nawawi bahwa taubat itu wajib dari tiap dosa, karenanya jika maksiat
itu hanya antara manusia dengan Allah, tidak ada hubungannya dengan
manusia, maka ada tiga syarat untuk melakukan taubat: (1) Harus
menghentikan maksiat; (2) harus menyesal atas perbuatan yang telah
terlanjur dilakukannya; (3) niat sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi
perbuatan itu. Sedangkan apabila dosa itu ada hubungan dengan hak
manusia maka taubatnya harus ditambah dengan syarat yang keempat
yaitu: (4) menyelesaikan terlebih dahulu urusannya dengan orang yang
berhak, apakah dengan memohon maaf atau meminta dihalalkan atau
mengembalikan apa yang menjadi hak orang itu. 34
Dalam konteks ini Imam al-Ghazali dalam bukunya menguraikan
masalah taubat dengan berbagai liku-liku permasalahan secara jelas dan
lengkap. la mengatakan berbagai kezaliman yang dilakukan seseorang
terhadap sesamanya, termasuk juga dalam dosa pembangkangan dan
tindak pidana terhadap hak Allah SWT. maka orang tersebut tidak bisa

34
Al- Nawawi, Riyadus-Salihin, (Bandung: PT. al-Ma'arif, 1986), hlm. 12.
55

hanya bertaubat kepada Allah SWT, akan tetapi ia harus menyelesaikan


terlebih dahulu dengan orang yang ia aniaya.35
Dalam Al-Quran surat al-Furqan ayat 71 ditegaskan:

(71 : )

Artinya: Dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal


saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan
taubat yang sebenar-benarnya.(Q.S. al-Furqan 25:71).36

Dalam tafsir Al-Quranul Majid An-Nur, T.M.Hasbi Ash


Shiddieqy menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut:
Barangsiapa bertaubat dari sesuatu dosa yang telah dikerjakan, dan
menyesali keterlanjurannya serta mengheningkan jiwanya dengan
amalan-amalan yang saleh, maka berartilah dia bertaubat kepada
Allah taubat yang benar, taubat yang menghapuskan siksa dan
menghasilkan pahala. Inilah syarat diterimanya taubat. 37
Sesungguhnya manusia yang melakukan taubat menunjukkan
bahwa ia menyadari akan segala kesalahannya. Oleh sebab itu Allah SWT
mewajibkan setiap orang yang mengaku muslim atau muslihat bertaubat.
Allah SWT sangat mencintai orang yang bertaubat sebagaimana
firmannya:

(222 : )



...

Artinya: Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat


dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri (Q.S.Al-
Baqarah: 222).38

35
Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, Rahasia Taubat, terj, Muhammad al-Baqir,
(Bandung: Karisma, 2003), hlm. 130
36
Yayasan Penyelenggara dan Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan
Terjemahnya, DEPAG, 1979, hlm. 569
37
T.M.Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir al-Quranul Majid an-Nur jilid 4 PT Pustaka Rizki
Putra, Semarang, 1995, hlm. 2821
38
Yayasan Penyelenggara dan Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, op. cit, hlm 31.
56

B. Dosa Dalam Agama Buddha

1. Asal Mula Dosa

Agama Buddha mengajarkan, bahwa penderitaan manusia di


dalam dunia ini disebabkan oleh keinginan (trsna) atau kehausan (tanha),
sedang keinginan atau kehausan itu pada akhirnya disebabkan oleh awidya
atau ketidak-tahuan. Yang dimaksud dengan ketidak-tahuan atau awidya
ini adalah semacam ketidak-tahuan yang kosmis, yang menjadikan
manusia dikaburkan pandangannya, Ketidak-tahuan ini utamanya adalah
mengenai tabiat asasi alam semesta ini, yang memiliki tiga ciri yang
menyolok, yaitu bahwa alam semesta adalah penuh dengan penderitaan
(dukha), bahwa alam semesta adalah fana (anitya) dan bahwa tiada jiwa di
dalam dunia ini (anatman). Demikianlah awidya menjadi sebab adanya
dosa.39
Manusia selalu berada dalam dukkha karena hidup menurut ajaran
Buddha selalu dalam keadaan dukkha, sebagaimana diajarkan dalam Catur
Arya Satyani tentang hakikat dari dukkha. Menurut ajaran ini, dukkha
dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
1. Dukkha sebagai derita biasa (dukkha-dukkha) yaitu segala macam
derita yang dialami dalam hidup ini seperti dilahirkan, usia tua,
berpisah dengan orang atau benda yang dikasihi dan sebagainya.
2. Dukkha sebagai akibat dari perubahan-perubahan (viparinamadukkha),
yaitu dukkha yang terjadi akibat adanya perubahan, baik yang berupa
fisik maupun mental. Pada hakikatnya, perubahan selalu terjadi dan
akan dialami oleh manusia sehingga manusia akan selalu mengalami
dukkha.
3. Dukkha sebagai keadaan yang saling bergantung (sankharadukkha),
yaitu dukkha yang terjadi akibat adanya hal-hal yang saling

39
Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986), hlm. 226-227
57

bergantungan. Karena manusia terdiri dari unsur-unsur yang saling


bergantung, maka manusia juga akan selalu mengalami dukkha.40
Untuk menghilangkan dukkha manusia harus mengetahui dan
memahami sumber dukkha yang disebut dukkhasamudaya, yang ada
dalam diri manusia itu sendiri, yaitu berupa tanha (kehausan) yang
mengakibatkan kelangsungan dan kelahiran kembali serta keterikatan
pada hawa nafsu. Tetapi tanha bukan merupakan satu-satunya sebab atau
sebab pertama dari dukkha, karena agama Buddha tidak mengenal sesuatu
yang berdiri sendiri. Demikianlah, diajarkan bahwa tanha timbul karena
adanya phassa atau kontak yang timbul karena adanya indra. Indra timbul
karena adanya nama dan rupa, begitu seterusnya. Agama Buddha hanya
menyatakan bahwa, tanha adalah sumber terdekat atau terpenting dari
dukkha, yang berakar pada lobha (ketamakan), moha (kegelapan) dan
dosa (kebencian). Tiga yang tersebut akhir dikenal dengan akusala, tiga
akar kejahatan.41
Seorang penganut Budha di dunia ini baru dapat "memperoleh
kelepasan apabila dia dapat membebaskan diri dari semua nafsu jasmaniah
dan mencapai keadaan bahagia dari seorang yang mengetahui, seorang
suci, dengan jalan semedi yang tepat. Jika dihubungkan dengan peristiwa
meditasi yang dilakukan oleh Budha pada malam waktu pikirannya mulai
terbuka dahulu, oleh agama Budha kemudian diciptakan suatu teknik
meditasi sebagai upaya untuk membawa seseorang secara bertingkat-
tingkat ke dalam keadaan apatis yang bahagia dan ke dalam keadaan
bebas dari keduniawian yang menimbulkan penderitaan ini. Dalam hal ini
adalah pada tempatnya, apabila ada yang mengatakan bahwa proses ke
arah keselamatan jiwa seorang penganut Budha itu memperlihatkan
persamaan-persamaan dengan jalan keselamatan jiwa yang dianut oleh

40
Romdhon, et al., Agama-Agama di Dunia, IAIN Sunan Kalijaga Press, Yogyakarta,
1988, hlm. 125.
41
Ibid.
58

seorang mistikus, yang menginginkan kemanunggalan dengan Tuhan.42


Memang di sini dapat dikatakan tentang adanya semacam "
persatuan mistis dari ruh manusia dengan sesuatu yang gaib. Bentuk
teknik meditasi adalah sesuatu yang sulit dan ada tiga macam, yang hanya
dapat kita gambarkan dengan cara sebagai berikut.
1. Empat tingkatan samadi, yaitu samadi tentang penderitaan yang
diikuti oleh perasaan hati yang mula-mula merasa gembira bahagia,
kemudian mengheningkan pikiran dalam segala ketenangan dan
akhirnya mengosongkan diri dari seluruh pikiran itu sampai dicapai
suatu keadaan dingin, hampa, dan tak perduli pada segala sesuatu.
2. Meditasi yang diekspresikan dengan membentuk sikap tanpa pamrih
(sepi ing pamrih), sehingga yang tampak adalah sikap keramahan,
belas kasihan, turut gembira, dan ketenangan perilaku.
3. Meditasi dengan menempuh berbagai tingkat samadi, di mana seluruh
pikiran dipusatkan pada sesuatu yang gaib yang tak jelas wujud dan
bentuknya. Namun sedemikian pemusatan pikiran terfokus kepada
yang tidak ada itu, sehingga dalam beberapa saat kemudian yang
tinggal terasa adalah gambaran hampa dari ruang yang tak terbatas.43
Dengan teknik-teknik meditasi yang digambarkan di atas, seorang
penganut agama Budha melatih diri dengan mengharapkan dapat
mencapai keadaan bahagia yang sempurna. Seorang penganut agama
Budha percaya bahwa dengan datangnya mati terjadilah kelepasan yang
terakhir yang sempurna, karena setelah itu seorang Budhis akan masuk
dalam Nirwana, suatu pengertian yang biasanya ditafsirkan sebagai nyala
kehidupan 'yang padam'. Inilah keadaan yang tak dapat digambarkan
dengan apa pun. Dengan mencoba menentukan Nirwana lebih lanjut, kita
akan mudah terjerumus dalam ucapan-ucapan yang bertentangan, seperti
ternyata dari percakapan antara seorang guru Budhis dan muridnya.
Dalam percakapan itu si murid bertanya, "Bagaimana mungkin dalam
42
C.J. Bleeker, Pertemuan Agama-agama Dunia Menuju Humanisme Relijius dan
Perdamaian Universal, Pustaka Dian Pratama, Yogyakarta, 2004, hlm. 54-55
43
Ibid, hlm. 55
59

Nirwana ada bahagia? Sebab, bukankah semua panca indera dan otak
sudah berhenti bekerja dan karena itu tak mungkin ada cita rasa lagi?"
Pertanyaan ini dijawab oleh sang guru, "Justru dalam ketiadaan cita rasa
inilah adanya kebahagiaan keadaan itu.44
Dalam hal ini Budha sendiri telah memberikan peringatan kepada
murid-muridnya tak lama sebelum meninggal dunia sebagai berikut:
Mungkin tuan akan berfikir nanti, kata-kata Guru adalah sesuatu
dari masa silam; kita tidak mempunyai Guru lagi. Tetapi kata-kata
seperti itu tidak benar. Ajaran dan peraturan-peraturan (dharma)
yang telah saya berikan kepada tuan; itulah Gum tuan setelah saya
pergi.45

Dalam kitab Tripitaka khususnya pada Sutta Pitaka yang berisi


khutbah-khutbah Buddha Gautama dan murid-muridnya yang terkenal
ditegaskan bahwa Budha mensinyalir, sumber dari segala penderitaan
(dukha) itu adalah apa yang disebut TANHA yaitu nafsu keinginan
manusia. Salah satu khutbahnya berbunyi sebagai berikut:
Para rahib; kelahiran adalah penderitaan; penyakit adalah
penderitaan; mati, bersatu dengan orang yang tidak kita cintai
adalah penderitaan; tidak mendapatkan apa yang kita harapkan
adalah penderitaan. Pokoknya kelima unsur kehidupan tersebut
adalah penderitaan. Inilah wahai rahib; kebenaran murni dari
timbulnya penderitaan adalah keinginan akan penjelmaan kembali;
keinginan bersatu dengan kenikmatan dan nafsu untuk mencari
kenikmatan di mana-mana; adalah nafsu keinginan untuk
mengecap kenikmatan dan kehidupan serta kekuasaan.46

Jelaslah bahwa sumber penderitaan itu ialah nafsu keinginan tetapi


apa sebabnya sampai manusia menderita karena nafsu keinginan tersebut?
Maka pertanyaan ini dapat dijawab bahwa hal itu disebabkan karena
mereka dirundung oleh "kebodohan" (awidya). Adapun awidya tersebut
terjadi dalam kehidupan yang berhubungan dengan' sebab akibat yang
dirumuskan sebagai 12 dasar proses hidup manusia yang berlangsung

44
Ibid, hlm. 55
45
HM. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, (Jakarta: PT Golden
Terayon Press, 1990), hlm. 100
46
Kitab Tripitaka pada Sutta Pitaka dalam Majjhima Nikaaya III
60

sebagai berikut : bahwa umur tua, kematian, kesedihan dan penderitaan


(12), kesemuanya akibat daripada: (1l) kelahiran; (10) pertumbuhan; (9)
kematian; (8) kehausan; (7) cita-rasa; (6) persentuhan antara panca indra
dan daerahnya; (5) keenam panca indra; (4) nama dan bentuk atau pun roh
dan badan . (3) kesadaran; (2) arah kemauan (1) kebodohan atau awidya.
Oleh karenanya menurut Budha, bilamana awidya tersebut dapat
dihilangkan berarti sumber sebab akibat penderitaan akan berhenti bekerja
yang berarti akan mengakhiri penderitaan manusia dari samsara.
Oleh karenanya pengikut-pengikut Budha di kemudian hari, sering
menggambarkan rentetan sebab akibat tersebut sebagai sirnbol Dharma
dengan sebuah gambar lingkaran yang berbentuk roda cakra. Pada titik
sumbu dari roda tersebut terdapat gambar merpati atau ayam jantan, ular
atau babi hutan sebagai lambang nafsu-nafsu, kebencian, dan waham.
Sedang di antara jari-jari roda tergambar daerah perpindahan roh-roh yang
dibagi dalam ketiga daerah yaitu daerah Dewa-Dewa; raksasa, dan
manusia yang terletak di bagian sebelah atas. Kecuali itu dalam roda cakra
tersebut digambarkan ketiga daerah yaitu daerah binatang, jiwa yang
disiksa dan para penghuni neraka yang ditaruh di bagian bawah lingkaran
yang terdapat dalam roda.47

2. Akibat Dosa

Khotbah pertama Budha Gautama di Isipathana bertemakan uraian


secara rinci mengenai Empat Kebenaran Utama dan delapan jalan
kebajikan yang kemudian dijadikan doktrin atau pokok ajaran agama
Budha.
Keempat Kebenaran Utama itu adalah:
1. Dukkha (Penderitaan). Doktrin ini menegaskan bahwa hidup adalah
penderitaan.

47
Ibid, hlm. 100-101.
61

2. Samodaya (Sebab). Keinginan kepada hidup menyebabkan orang


dilahirkan kembali, sebab haus akan kesenangan.
3. Nirodha (Pemadaman). Keinginan itu mesti dipadamkan agar lepas
dari kesengsaraan.
4. Magga atau Marga (Jalan Kelepasan). Pemadaman keinginan itu
adalah dengan delapan jalan.48
Sedangkan delapan jalan tersebut adalah:
1. Percaya yang benar. Ini disebut Sradha (Iman)
2. Maksud yang benar.
3. Perkataan yang benar
4. Perbuatan yang benar
5. Hidup yang benar
6. Usaha yang tenar
7. Ingatan yang benar (dari poin 2 sampai poin 7 disebut Sila
8. Samadhi yang benar.49
Buddha Gautama menerima dan melanjutkan ajaran agama
Brahma/Hindu tentang Karma, Samsara dan Moksha.50 Oleh sebab itu
dalam pandangan ajaran agama Buddha bahwa akibat dosa maka manusia
akan merasakan lingkaran Karma dan Samsara. Sebagaimana diketahui
bahwa hidup setiap manusia di dunia menurut ajaran agama
Brahma/Hindu dikuasai senantiasa oleh tiga kemestian:
(1). Karma, yakni memikul akibat atas setiap sikap dan laku dan perbuatan
dalam kehidupan duniawi. Setiap sesuatunya punya karma, yakni
akibat.
(2). Samsara, yakni hidup berulang kembali ke dunia disebabkan akibat
dan kehidupan duniawi pada masa sebelumnya masih saja belum
murni.

48
Syahrin Harahap, Sejarah Agama-Agama Sejarah, Agama, dan Perkembangan,
(Medan: Pustaka Widyasarana, 1994), hlm. 147
49
Ibid, hlm. 148
50
Josoef Sou'yb, Agama-Agama Besar di Dunia, (Jakarta: PT Al-Husna Zikra, 1996),
hlm. 79.
62

(3). Moksha, yakni satu-satunya jalan bagi membebaskan diri dari karma
dan samsara itu ialah memurnikan kehidupan duniawi dengan
mengenali Dia dan menyatukan diri ke dalam Dia.51
Hidup setiap orang senantiasa berada dalam lingkaran karma dan
samsara itu. Kelahiran kembali pada masa berikutnya mungkin pada
tingkatan makhluk lebih rendah dan mungkin pula pada tingkatan
makhluk lebih tinggi. Semuanya itu tergantung pada karma kehidupan
duniawi dari seseorang dan merupakan penderitaan yang terus menerus
menjelang tercapai kebebasan sepenuhnya dari karma dan samsara itu.
Lingkaran kehidupan serupa itu disebabkan purusharta, yakni
tujuan-tujuan kehidupan yang dikejar seseorang. Pada garis-besarnya
purusharta itu terbagi atas tiga macam :
1. Artha, yakni mengejar kekayaan dan kemakmuran dalam hidupnya
bagi kesenangan duniawi.
2. Kama, yakni mengejar kepuasan segala ragam keinginan, kepuasan
segala macam kesenangan syahwati.
3. Dharma, yakni mengutamakan di dalam pekerjaan-pekerjaan penuh
kebajikan dan kebaktian.52

3. Cara Menghapus Dosa

Dalam perspektif ajaran Budha, manusia dapat menghapus


dosanya dengan pengakuan kepada Dharma, dan melakukan 8 (delapan)
jalan kebenaran disebut Astavidha. Menurut Harun Hadiwijono ajaran
agama Buddha dapat dirangkumkan di dalam apa yang disebut Triratna
(tiga batu permata), yaitu Buddha, Dharma, dan Sangha.53 Djam'annuri
menyebutkan pokok-pokok ajaran Buddha terdiri dari enam unsur yakni
(1) Tiga Permata (Triratna atau Triratna (Pali); (2) Empat Kesunyatan
Mulia dan Jalan Utama Berunsur Delapan; (3) Tiga Corak Umum yaitu

51
Ibid, hlm. 53
52
Ibid, hlm. 53-54
53
Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2001),
hlm. 69
63

anitya (tidak kekal), atman (tidak ada roh), dukkha (derita); (4) Hukum
Perilaku (Karma) dan Tumimbal Lahir; (5) Hukum Sebab Musabab yang
Saling Berkaitan; (6) Kebebasan Penderitaan (Nibbana atau Nirwana).54
Ajaran Budha tersimpul dalam kesaksian keimanan yang disebut
dengan "TRI RATNA "(Tiga rangkaian Ratna mutu manikam). Kesaksian
ini berbentuk credo (syahadat) yang berbunyi sebagai berikut: 55
a. Budham Saranam gacchami : Saya mencari perlindungan kepada Sang
Budha.
b. Dharman Saranam gacchami: Saya mencari perlindungan kepada
Dharma (hukum-hukum agama).
c. Sangham Saranam gacchami: Saya mencari perlindungan kepada
Sangha (orde pendeta).
Jadi dalam kesaksian tersebut, nampak adanya sikap penyerahan
diri kepada Budha, kepada Dharma (hukum-hukum yang diberikan oleh
Budha) dan kepada Sangha yaitu golongan pendeta yang hidupnya
memelihara kelangsungan upacara agama yang pada umumnya tinggal di
biara-biara.
Pengakuan kepada Dharma berarti mempercayai kebenaran
hukum-hukumnya dengan kewajiban menjalankan dasar-dasar ajaran
kelepasan hidup serta peraturan-peraturan lainnya. Dasar-dasar ajaran
kelepasan tersebut adalah yang disebut Aryasatyani (Arya: utama,
Satyani: kebenaran) yang terdiri dari 4 kenyataan hidup sebagai berikut:
1). Bahwa dalam kehidupan di dunia ini penuh dengan hal-hal yang
menyedihkan dan kesengsaraan, maka disimpulkan bahwa hidup itu
menderita.
2). Bahwa manusia berada oleh karena mempunyai nafsu keinginan untuk
berada (hidup). Keadaan hidupnya itu adalah penderitaan karena
terikat oleh samsara (menjelma berkali-kali).

54
Djam'annuri, Agama Kita Perspektif Sejarah Agama-Agama (Sebuah Pengantar),
Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2000), hlm. 68
55
HM. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, (Jakarta: PT Golden
Terayon Press, 1990), hlm. 96
64

3). Jika tidak lagi punya nafsu keinginan; maka penderitaan samsara
dapat dihilangkan yaitu dengan memadamkan nafsu keinginan
tersebut (tresna).
4). Cara menghilangkan nafsu keinginan itu ialah melakukan 8 jalan
kebenaran (disebut dengan Astavidha). Kedelapan jalan kebenaran ini
dapat mengendalikan dan menjinakkan nafsu keinginan yang buruk.
Kedelapan jalan kebenaran ini terdiri dari:
a. Mengikuti pelajaran yang benar.
b. Melaksanakan niat (keinginan) yang baik.
c. Mengucapkan perkataan yang baik dan tepat.
d. Menjalankan usaha yang baik (halal).
e. Melakukan pekerjaan yang baik.
f. Memusatkan perhatian dengan baik.
g. Mencari nafkah dengan baik.
h. Melakukan tafakur dengan baik.
Dengan dasar Aryasatyami tersebut dapat diketahui bahwa agama
Budha mendidik pengikut-pengikutnya untuk berhati-hati serta
bersungguh-sungguh dalam menjalankan sesuatu kewajiban atau
pekerjaan mengingat bahwa dunia sekitar manusia ini dianggap penuh
dengan hal-hal yang dapat mencelakakan karena adanya 3 anasir
kedunaiwiaan yaitu:
1). Adanya kama, yakni nafsu cinta.
2). Adanya dwesa, yakni rasa benci kepada orang lain.
3). Adanya moha, yakni mabuk (dalam segala bentuknya).56
Ketiga anasir itulah yang dipandang dapat merusak usaha baik
manusia, oleh karena itu anasir tersebut harus diberantas dengan 8
kebenaran tersebut di atas (astavidha). Untuk menegakkan Dharma, maka
pengikut-pengikut Budha pada umumnya wajib menjauhi larangan-
larangan dalam hal-hal sebagai berikut:

56
Ibid, hlm. 97-98
65

1). Dilarang melakukan pembunuhan terhadap semua makhluk (misalnya


peperangan dan sebagainya).
2). Dilarang melakukan pencurian/perampokan/penyerobotan dan
sebagainya.
3). Dilarang melakukan perbuatan cabul, misalkan perzinahan.
4). Dilarang berbuat dusta/menipu orang lain.
5). Dilarang meminum minuman yang memabukkan (minuman keras).
Adapun kewajiban khusus para anggota Sangha (orde pendeta)
selain 5 macam tersebut di atas ditambah lagi dengan 5 macam larangan
yaitu:
6). Dilarang minum dan makan di waktu yang terlarang (misalnya pada
waktu berpuasa).
7). Dilarang mendatangi tempat-tempat yang dipergunakan untuk hidup
maksiat (misalnya tempat hiburan, pertunjukan-pertunjukan).
8). Dilarang menghias diri (misalnya dengan pakaian baik, memakai
perhiasan emas dan berlian dan sebagainya.).
9). Dilarang tidur diatas tempat tidur yang baik.
10) Dilarang menerima hadiah-hadiah yang berupa uang dan lain- lain
benda berharga.
Sepuluh larangan tersebut kemudian disebut dengan "DASA
SILA"(10 dasar).57
Dengan mengikuti Delapan Jalan Utama dan hidup dalam Panca
Sila Buddhis berarti melakukan tindakan cakap. Mencelakai orang lain
atau merusak lingkungan serta mengabaikan karma (sebab-akibat)
merupakan tindakan yang tidak cakap. Karena tak ada perintah yang harus
diikuti, pilihan tindakan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pribadi
setiap orang.58 Sekali orang memilih, entah sadar atau tidak sadar, arah
yang telah diambil akan diikuti. Buddha berkata, kita pergi ke mana
pikiran membawa atau menuntun kita. Maka, dengan membiarkan pikiran
57
Ibid, hlm. 98-99
58
Jully (penyunting), The Naked Buddha, (Australia: Random House Australia, 1999),
hlm. 58
66

Anda membuat keputusan cepat dan kurang konsep, serta mengambil


pertimbangan yang salah, perbantahan dan konflik dengan orang lain akan
segera timbul, diikuti reaksi yang tidak cakap yang menghendaki lebih.
Dengan begini, permusuhan dan dendam pun timbul.59

59
Ibid

Anda mungkin juga menyukai