Bahan Asal Mula Dosa Dalam Agama Budha
Bahan Asal Mula Dosa Dalam Agama Budha
1
Term jirm dalam berbagai kata bentukannya disebut 66 kali, misalnya pada Q.S.
Thaha/20:73, Q.S. al-An'am/6:55, 147, term dzanb-dzunub disebut 37 kali seperti pada Q.S. al-
A'raf/7:100, Q.S. al-Anfal/8:52-54, dan term ma'shiyah disebut 32 kali, misalnya pada Q.S. al-
Tahrim/66:6, Q.S. al-Ahzab/33:36.
2
Acmad Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern: Jiwa dalam al-Qur'an,
(Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 96 97
26
27
(
) dan syirik seperti dalam
surat al-Nisa'/4:48 (
) . Al-Qur'an juga
memberi sifat kepada dosa, seperti dosa besar, dalam surat Q.S. al-
Baqarah/2:219, Q.S. al-Syura/42:37, Q., s. al-Najm/ 53:32, dan dosa yang
sangat besar dalam surat Q,S al-Nisa'/4:48, dosa yang nyata
dalam surat Q.S. al-Nisa'/ 4:20,50,112, dan Q., s. al-Ahzab/33:58), dosa luar
dan dosa dalam , dalam surat Q., s. al-An'am/6:120).
3
Ibid, hlm. 97 98
4
Imam Al-Ghazali, Rahasia Taubat, terj. Muhammad Bagir, (Bandung: Mizan Media
Utama, 2003), hlm. 61.
5
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Islam I, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm.
468.
28
6
Sayyid Hasyim Ar-Rasuli Al-Mahallati, Akibat Dosa, Terj. Bahruddin Fannani,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hlm. 10
29
7
Ibid, hlm. 10-11
8
Abu Ahmadi, Dosa Dalam Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 6-7
31
9
Yusuf al-Qardhawy, Taubat, terj. Kathur Suhardi, (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar,
2000), hlm.6.
10
Hamzah Yakub, Tingkat Ketenangan Dan Kebahagiaan Mumin: Uraian Tasawuf dan
Takorub, (Bandung: PT. Al-Maarif, 1978), hlm. 201
11
Imam Al-Ghazali, Bimbingan Untuk Mencapai Tingkat Mukmin, (Bandung:
CV.Diponegoro, 1975), hlm. 872-873
32
2. Jenis-Jenis Dosa
12
Abdul Aziz Dahlan, dkk (Ed.). Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru van
Hoeve, 1997), hlm. 281-282
33
oleh seberapa jauh ia terhindar atau bersih dari dosa dan kesalahan, ataupun
sampai seberapa banyak ketaatan dan kebaikan yang diperbuatnya.
Sebaliknya penderitaan, kesengsaraan dan ketidakbahagiaan manusia
banyak pula ditentukan oleh seberapa banyak dosa dan kesalahan yang telah
dilakukannya. Orang-orang yang berbuat dosa dan kesalahan diancam Allah
dengan hukuman berat, balk di dunia maupun di akhirat. Sebaliknya orang
yang berbuat taat dan kebaikan dijanjikan dan diberikan Allah pahala yang
besar, baik di dunia maupun di akhirat.13
Dosa itu dalam ajaran Islam dapat dikelompokkan dalam tiga
kelompok yaitu: (a) dosa besar yang tidak terampuni; (b) dosa besar yang
masih bisa diampuni; (c) dosa kecil yang terhapus karena rajin ibadah atau
karena banyak berbuat kebajikan.14 Menurut Imam Ghazali, bahwa dosa
menurut sifat dasarnya dapat dibagi atas tiga bagian. Pertama yang
berhubungan dengan sifat manusia dan terdiri atas empat sifat, yaitu sifat
rububiyat, syaithaniyat, bahimiyat dan subu'iyat. Kedua berhubungan
dengan obyeknya dan dapat pula dibagi atas tiga, yaitu dosa antara manusia
dengan Allah, dosa yang berhubungan dengan hak-hak masyarakat dan
lingkungan, dan dosa yang berhubungan dengan diri manusia sendiri. Dan
ketiga dosa ditinjau dari segi bahaya dan mudaratnya terdiri pula atas dua,
yaitu dosa kecil dan dosa besar.15
Contoh dari perbuatan dosa bagian pertama adalah dari sifat
rububiyat (ketuhanan) manusia, antara lain adalah sifat sombong, bermegah-
megah, gila pujian dan berlagak tuhan, seperti mengatakan: "Akulah
Tuhanmu Yang Maha Tinggi." Dari sifat syaithaniyat seperti sifat dengki,
permusuhan, menyuruh berbuat keji dan mungkar, dan mengajak kepada
kesesatan dan bid'ah. Dari bahimiyat seperti penyimpangan seksual,
pencurian, memakan harta anak yatim dan mengumpulkan harta untuk
kepentingan hawa nafsu. Dan dari sifat subu'iyat seperti sifat marah, sadis
13
Yahya Jaya, Peranan Taubat dan Maaf Dalam Kesehatan Mental, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1995), hlm. 30-35
14
Hasbullah Bakry, Pedoman Islam di Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1988), hlm. 29.
15
Al-Ghazali, op. cit, hlm. 62-65
34
dan ingin menghancurkan orang lain. Contoh dari perbuatan dosa pada
bagian kedua antara lain adalah : pertama dosa antara manusia sendiri dan
Allah, seperti meninggalkan shalat dan puasa; kedua, dosa dalam
hubungannya dengan hak-hak masyarakat, seperti meninggalkan zakat,
membunuh orang, menyelewengkan harta, mencela kehormatan dan
merebut hak orang lain; dan ketiga, dosa dalam hubungannya dengan diri
sendiri, seperti dosa yang kedudukannya terletak antara manusia dengan
Allah, asalkan tidak berbentuk syirik, dan bisa diharapkan diampuni dan
dimaafkan.16
Mengenai dosa dan kesalahan ditinjau dari segi bahaya dan mudarat
pada bagian ketiga, yaitu dosa kecil dan dosa besar, para ulama berbeda
pendapat tentang definisi dan jumlahnya. Tentang definisi atau pengertian
dosa besar dan dosa kecil, ada yang mengatakan bahwa dosa besar adalah
kesalahan besar terhadap Allah karena melanggar aturan pokok yang
diancam dengan hukuman berat, dunia dan akhirat, contohnya dosa syirik,
zina dan durhaka kepada kedua ibu-bapak. Dan dosa kecil adalah kesalahan
ringan terhadap Allah berupa pelanggaran ringan mengenai hal-hal yang
bukan pokok yang hanya diancam dengan siksaan ringan. Contohnya
ucapan yang kurang baik dan melihat wanita dengan penuh syahwat. Bagi
Mu'tazilah yang dikatakan dosa besar ialah setiap perbuatan maksiat yang
ada ancamannya dari Allah, dan dosa kecil setiap perbuatan maksiat yang
tidak ada ancamannya. Sedangkan bagi Ja'afar bin Mubasysyir yang
dikatakan dosa besar itu ialah setiap niat yang digunakan untuk melakukan
perbuatan dosa dan setiap orang yang melakukan perbuatan maksiat dengan
sengaja adalah dosa besar.17
Jadi pengertian dosa besar di sini bergantung pada niat dan
kesengajaan. Imam Harmain, Al-Ghazali dan Al-Razy mengemukakan
bahwa dosa besar ialah setiap sesuatu perbuatan yang ada unsur
penghinaannya terhadap agama dan ketiadaan mempedulikan larangan dan
16
Ibid, hlm. 62-63
17
Lutpi Ibrahim, Konsep Dosa Dalam Pandangan Islam, Studia Islamika No. 13/1980,
hlm. 16.
35
suruhan agama serta tidak menghormati taklif agama.18 Sebagian ulama lain
mengatakan: "Apabila ingin mengetahui perbedaan antara dosa besar
dengan dosa-dosa kecil, maka bandingkanlah kerusakan-kerusakan yang
diakibatkan oleh dosa-dosa tersebut dengan dosa besar yang sudah ada nash-
nya. Apabila pada kenyataannya kerusakan yang ditimbulkan itu hanya
sedikit, maka yang demikian itu adalah dosa kecil. Tetapi apabila kerusakan
yang ditimbulkannya itu seimbang atau lebih besar, maka yang demikian itu
adalah dosa besar.19
Pengertian dosa besar dan dosa kecil yang terakhir ini ditekankan
pada kerusakan yang ditimbulkannya, dibandingkan dengan dosa yang telah
ada nash-nya dalam Islam. Dari uraian tentang pengertian dosa di atas dapat
diambil suatu kesimpulan bahwa para ulama pada umumnya menyetujui
pembagian dosa itu atas dasar besar dan kecil. Dosa besar mengandung
bahaya dan mudarat yang lebih besar, dan dosa kecil mendatangkan bahaya
dan mudarat yang lebih ringan.
Adapun mengenai jumlah dosa besar para ulama berbeda pendapat.
Ada di antara mereka yang mengatakan jumlahnya 7, 17, 70 dan ada pula
yang mengatakan jumlahnya 700. Semua pendapat ini ada argumennya, baik
argumen akal maupun naqal. Pendapat jumlah dosa besar 17 dikemukakan
oleh Abu Thalib al-Makki. Setelah mengumpulkan berbagai hadis Nabi
Muhammad s.a.w. tentang dosa besar ia menyimpulkan, bahwa dosa besar
itu ada 17 dengan rincian sebagai berikut:
Empat terdapat di hati, yaitu:
1. Syirik.
{48}
18
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, op. cit, hlm. 470.
19
Afif Abdullah Fattah Thabbarah, Dosa Dalam Pandangan Islam, terj. Bahrun Abubakar
dan Anwar Rasyidi, (Bandung: Risalah, 1980), hlm. 4.
36
{14}
3. Merasa selamat dari genggaman Allah atau merasa bebas dari balasan
Allah.
{99}
Artinya: Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah? Tiada
yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang
yang merugi. (Q.S. Al-A'raf: 99)
{87}
Artinya: Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita
tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus
asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa
37
{72}
Artinya: Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu,
dan apabila mereka bertemu dengan yang mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui
dengan menjaga kehormatan dirinya. (Q.S. Al-Furqan: 72)
{23}
{24}
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-
baik, yang lengah lagi beriman , mereka kena la'nat di
dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar, pada
hari, lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas
mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. (Q.S.
Annur: 23-24).
{77}
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji Allah dan
sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit,
38
8. Berkata bohong.
{28}
Artinya: Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-
pengikut Fir'aun yang menyembunyikan imannya berkata:
"Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia
menyatakan: "Tuhanku ialah Allah padahal dia telah datang
kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari
Tuhanmu. Dan jika ia seorang pendusta maka dialah yang
menanggung dustanya itu; dan jika ia seorang yang benar
niscaya sebagian yang diancamkannya kepadamu akan
menimpamu". Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-
orang yang melampaui batas lagi pendusta. (Q.S. Ghofir: 28)
22
Ibid, hlm. 7-45
41
23
Ibid, hlm. 45-402
24
Humaidi Tatapangarsa, Akhlaq Yang Mulia, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1980), hlm. 64-
43
3. Akibat Dosa
25
M.Mutawalli Asy-Sya'rawi, Dosa-Dosa Besar, terj. Abdul Hayyie al-Kattani dan
Fithriah Wardie, (Jakarta: Gema nsani Press, 2000), hlm. 11
44
terdorong melakukan dosa-dosa itu maka hawa nafsu dan syaitan akan
merasa menang karena dapat mengendalikan manusia menurut
kehendaknya.
14. Menyampaikan cita-cita orang kafir
Keinginan orang kafir terhadap orang-orang yang beriman ialah
agar orang-orang yang beriman itu tersesat dan tidak mendapat rahmat
dari Allah SWT. Bahkan mereka berharap orang-orang yang beriman
itu keluar dari agamanya dan bersama-sama mengikuti mereka. Dalam
upaya tercapainya cita-citanya ini, mereka berusaha membuat berbagai
kemudahan maksiat. Dengan sendirinya orang-orang Islan yang lemah
imannya akan terjerumus ke lembah kehinaan. Mereka membuat
kemudahan untuk orang dengan senang dan puas, mereka berkunjung
ke tempat pelacuran, tempat judi, night club, pergaulan bebas dan
sebagainya. Sehingga banyak terlihat orang Islam sendiri yang
mengunjungi tempat-tempat yang penuh dengan dosa itu.
15. Merusak ketetapan alam dan manusia sendiri
Telah diungkapkan bahwa dosa dan maksiat yang dilakukan
oleh manusia di dunia ini akan mengundang bencana. Semuanya
terjadi karena hasil dari kerja manusia itu sendiri, yang hanya
mementingkan diri sendiri dan hawa nafsu.
16. Mempengaruhi tingkah laku manusia
Dosa mempengaruhi Tingkah Laku Manusia Jika seseorang
sering melakukan dosa baik itu dosa besar atau dosa kecil, akan
tergambar dari sikapnya dan dari tingkah lakunya seperti sesuatu yang
menunjukkan keburukan akhlak dan budi pekerti. Betapapun kadang-
kadang orang tersebut ingin menutupi kesalahannya, namun masih
dapat dibaca oleh orang lain dari sikapnya itu. Sifat kemunafikan akan
ditemukan pada orang-orang yang senang berbuat dosa. Apa yang
dilakukan tidak sesuai dengan apa yang dikatakannya. Dengan
sendirinya tingkah lakunya menggambarkan apa yang ia kerjakan.
48
26
Isa Selamet, Dosa Bagaikan Madu yang Beracun, (Jakarta: Lintas Pustaka, 2002), hlm.
26-27
27
Abdul Aziz Dahlan, dkk (Ed.). Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru van
Hoeve, 1997), hlm. 281
49
30
Ibid, hlm. 13-14
51
31
Ibid, hlm. 14-16
52
orang yang berbuat dosa tidak lagi memandang bahwa perbuatan dosa
adalah sesuatu yang membahayakan. Ia menganggap remeh terhadap
dosa-dosanya dan tidak merasa khawatir apabila orang lain melihat
perbuatan dosanya. Yang lebih parah lagi, ia merasa bangga dengan
perbuatan dosanya. Bahkan, membangga-banggakan perbuatannya
tersebut kepada orang lain. Orang semacam ini semakin jauh dari
ampunan Allah Ta'ala. Kadangkala terjadi bahwa seorang yang melakukan
dosa, karena menganggap remeh akan perbuatan dosa yang dilakukannya,
menyebabkan dirinya terjerumus ke dalam kekufuran. Kesepuluh, setiap
dosa yang dilakukannya menyebabkan dirinya menjadi pewaris musuh-
musuh Allah Demikianlah, dengan melakukan suatu dosa, orang yang
mengerjakannya menjadi salah satu pewaris dari orang-orang yang telah
dilaknat Allah. Misalnya orang yang melakukan homosex/lesbian menjadi
pewaris kaum Luth a.s., orang yang mengurangi timbangan menjadi
pewaris kaum Su'aib a.s., orang yang berbuat sewenang-wenang dan
berbuat korupsi menjadi pewaris Fir'aun dan rakyatnya, kesombongan dan
kekejaman adalah warisan kaum Nabi Hud a.s.. Dengan demikian,
seorang yang melakukan dosa telah meniru-niru salah satu atau semua
musuh Allah dalam perbuatan dan sifat-sifatnya.
Akibat buruk lainnya adalah bahwa orang yang bermaksiat
menjadi hina dan tidak berharga dalam pandangan Allah Ta'ala. Apabila
seseorang telah hina di hadapan Penciptanya maka ia tidak dapat
memerintahkan makhluk untuk memuliakannya. Allah Ta'ala berfirman,
32
Depag RI, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan
Terjemahnya, 1986, hlm. 514
53
Setiap manusia hidup di dunia ini tidak terlepas dari berbuat dosa.
Ada orang yang melakukan perbuatan dosa secara sengaja dan ada pula
yang tanpa disadari atau memang tidak tahu sama sekali. Maka dalam hal
ini Allah SWT memberi jalan kepada manusia untuk memilih tetap dalam
dosa atau ingin mendapatkan ampunan. Jika manusia memilih mendapat
ampunan, maka Allah telah memberi kesempatan kepada manusia untuk
bertaubat. Jika seseorang mendapat penyakit yang disebabkan oleh dosa-
dosa yang diperbuatnya, maka ia harus bertaubat. Itulah cara pengobatan
yang Allah SWT berikan kepada mereka yang mendapat penyakit secara
metafisik. Karenanya jalan keluar bagi orang yang berdosa hanya
bertaubat.33
Menurut jumhur ulama, Allah SWT tidak menentukan berapa
jumlah dosa dalam Al-Qur'an, namun dosa dapat diklasifikasikan menjadi
dua, yaitu dosa besar (kabair) dan dosa kecil. Allah SWT berfirman: "Jika
kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu
mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan (dosa-dosamu
yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga) (QS.
An-Nisa 4:31).
Dosa-dosa kecil itu dapat dihapuskan oleh ibadah-ibadah seperti
salat lima waktu, salat Jumat, dan puasa Ramadan. Jumhur ulama
33
Maimunah Hasan, Al-Quran dan Pengobatan Jiwa, Bintang Cemerlang, Yogyakarta,
2001, hlm. 41.
54
34
Al- Nawawi, Riyadus-Salihin, (Bandung: PT. al-Ma'arif, 1986), hlm. 12.
55
(71 : )
(222 : )
...
35
Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, Rahasia Taubat, terj, Muhammad al-Baqir,
(Bandung: Karisma, 2003), hlm. 130
36
Yayasan Penyelenggara dan Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan
Terjemahnya, DEPAG, 1979, hlm. 569
37
T.M.Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir al-Quranul Majid an-Nur jilid 4 PT Pustaka Rizki
Putra, Semarang, 1995, hlm. 2821
38
Yayasan Penyelenggara dan Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, op. cit, hlm 31.
56
39
Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986), hlm. 226-227
57
40
Romdhon, et al., Agama-Agama di Dunia, IAIN Sunan Kalijaga Press, Yogyakarta,
1988, hlm. 125.
41
Ibid.
58
Nirwana ada bahagia? Sebab, bukankah semua panca indera dan otak
sudah berhenti bekerja dan karena itu tak mungkin ada cita rasa lagi?"
Pertanyaan ini dijawab oleh sang guru, "Justru dalam ketiadaan cita rasa
inilah adanya kebahagiaan keadaan itu.44
Dalam hal ini Budha sendiri telah memberikan peringatan kepada
murid-muridnya tak lama sebelum meninggal dunia sebagai berikut:
Mungkin tuan akan berfikir nanti, kata-kata Guru adalah sesuatu
dari masa silam; kita tidak mempunyai Guru lagi. Tetapi kata-kata
seperti itu tidak benar. Ajaran dan peraturan-peraturan (dharma)
yang telah saya berikan kepada tuan; itulah Gum tuan setelah saya
pergi.45
44
Ibid, hlm. 55
45
HM. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, (Jakarta: PT Golden
Terayon Press, 1990), hlm. 100
46
Kitab Tripitaka pada Sutta Pitaka dalam Majjhima Nikaaya III
60
2. Akibat Dosa
47
Ibid, hlm. 100-101.
61
48
Syahrin Harahap, Sejarah Agama-Agama Sejarah, Agama, dan Perkembangan,
(Medan: Pustaka Widyasarana, 1994), hlm. 147
49
Ibid, hlm. 148
50
Josoef Sou'yb, Agama-Agama Besar di Dunia, (Jakarta: PT Al-Husna Zikra, 1996),
hlm. 79.
62
(3). Moksha, yakni satu-satunya jalan bagi membebaskan diri dari karma
dan samsara itu ialah memurnikan kehidupan duniawi dengan
mengenali Dia dan menyatukan diri ke dalam Dia.51
Hidup setiap orang senantiasa berada dalam lingkaran karma dan
samsara itu. Kelahiran kembali pada masa berikutnya mungkin pada
tingkatan makhluk lebih rendah dan mungkin pula pada tingkatan
makhluk lebih tinggi. Semuanya itu tergantung pada karma kehidupan
duniawi dari seseorang dan merupakan penderitaan yang terus menerus
menjelang tercapai kebebasan sepenuhnya dari karma dan samsara itu.
Lingkaran kehidupan serupa itu disebabkan purusharta, yakni
tujuan-tujuan kehidupan yang dikejar seseorang. Pada garis-besarnya
purusharta itu terbagi atas tiga macam :
1. Artha, yakni mengejar kekayaan dan kemakmuran dalam hidupnya
bagi kesenangan duniawi.
2. Kama, yakni mengejar kepuasan segala ragam keinginan, kepuasan
segala macam kesenangan syahwati.
3. Dharma, yakni mengutamakan di dalam pekerjaan-pekerjaan penuh
kebajikan dan kebaktian.52
51
Ibid, hlm. 53
52
Ibid, hlm. 53-54
53
Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2001),
hlm. 69
63
anitya (tidak kekal), atman (tidak ada roh), dukkha (derita); (4) Hukum
Perilaku (Karma) dan Tumimbal Lahir; (5) Hukum Sebab Musabab yang
Saling Berkaitan; (6) Kebebasan Penderitaan (Nibbana atau Nirwana).54
Ajaran Budha tersimpul dalam kesaksian keimanan yang disebut
dengan "TRI RATNA "(Tiga rangkaian Ratna mutu manikam). Kesaksian
ini berbentuk credo (syahadat) yang berbunyi sebagai berikut: 55
a. Budham Saranam gacchami : Saya mencari perlindungan kepada Sang
Budha.
b. Dharman Saranam gacchami: Saya mencari perlindungan kepada
Dharma (hukum-hukum agama).
c. Sangham Saranam gacchami: Saya mencari perlindungan kepada
Sangha (orde pendeta).
Jadi dalam kesaksian tersebut, nampak adanya sikap penyerahan
diri kepada Budha, kepada Dharma (hukum-hukum yang diberikan oleh
Budha) dan kepada Sangha yaitu golongan pendeta yang hidupnya
memelihara kelangsungan upacara agama yang pada umumnya tinggal di
biara-biara.
Pengakuan kepada Dharma berarti mempercayai kebenaran
hukum-hukumnya dengan kewajiban menjalankan dasar-dasar ajaran
kelepasan hidup serta peraturan-peraturan lainnya. Dasar-dasar ajaran
kelepasan tersebut adalah yang disebut Aryasatyani (Arya: utama,
Satyani: kebenaran) yang terdiri dari 4 kenyataan hidup sebagai berikut:
1). Bahwa dalam kehidupan di dunia ini penuh dengan hal-hal yang
menyedihkan dan kesengsaraan, maka disimpulkan bahwa hidup itu
menderita.
2). Bahwa manusia berada oleh karena mempunyai nafsu keinginan untuk
berada (hidup). Keadaan hidupnya itu adalah penderitaan karena
terikat oleh samsara (menjelma berkali-kali).
54
Djam'annuri, Agama Kita Perspektif Sejarah Agama-Agama (Sebuah Pengantar),
Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2000), hlm. 68
55
HM. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, (Jakarta: PT Golden
Terayon Press, 1990), hlm. 96
64
3). Jika tidak lagi punya nafsu keinginan; maka penderitaan samsara
dapat dihilangkan yaitu dengan memadamkan nafsu keinginan
tersebut (tresna).
4). Cara menghilangkan nafsu keinginan itu ialah melakukan 8 jalan
kebenaran (disebut dengan Astavidha). Kedelapan jalan kebenaran ini
dapat mengendalikan dan menjinakkan nafsu keinginan yang buruk.
Kedelapan jalan kebenaran ini terdiri dari:
a. Mengikuti pelajaran yang benar.
b. Melaksanakan niat (keinginan) yang baik.
c. Mengucapkan perkataan yang baik dan tepat.
d. Menjalankan usaha yang baik (halal).
e. Melakukan pekerjaan yang baik.
f. Memusatkan perhatian dengan baik.
g. Mencari nafkah dengan baik.
h. Melakukan tafakur dengan baik.
Dengan dasar Aryasatyami tersebut dapat diketahui bahwa agama
Budha mendidik pengikut-pengikutnya untuk berhati-hati serta
bersungguh-sungguh dalam menjalankan sesuatu kewajiban atau
pekerjaan mengingat bahwa dunia sekitar manusia ini dianggap penuh
dengan hal-hal yang dapat mencelakakan karena adanya 3 anasir
kedunaiwiaan yaitu:
1). Adanya kama, yakni nafsu cinta.
2). Adanya dwesa, yakni rasa benci kepada orang lain.
3). Adanya moha, yakni mabuk (dalam segala bentuknya).56
Ketiga anasir itulah yang dipandang dapat merusak usaha baik
manusia, oleh karena itu anasir tersebut harus diberantas dengan 8
kebenaran tersebut di atas (astavidha). Untuk menegakkan Dharma, maka
pengikut-pengikut Budha pada umumnya wajib menjauhi larangan-
larangan dalam hal-hal sebagai berikut:
56
Ibid, hlm. 97-98
65
59
Ibid