Anda di halaman 1dari 34

TUGAS 1

IDENTIFIKASI VEKTOR NYAMUK

DISUSUN OLEH:
DIANA ARUM SARI
P2.31.33.1.12.010
D4 TINGKAT 2

POLTEKKES KEMENTERIAN KESEHATAN JAKARTA II


2013
A. Nyamuk Anopheles
1. Klasifikasi Nyamuk Anopheles
Urutan penggolongan klasifikasi nyamuk Anopheles seperti
binatang lainnya adalah sebagai berikut:
Phylum : Arthropoda
Classis : Hexapoda / Insecta
Sub Classis : Pterigota
Ordo : Diptera
Familia : Culicidae
Sub Famili : Anophellinae
Genus : Anopheles

Spesies Anopheles
Ada beberapa spesies Anopheles yang penting sebagai vektor malaria
di Indonesia antara lain :
a. Anopheles sundauicus
Spesies ini terdapat di Sumatra, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, dan
Bali. Jentiknya ditemukan pada air payau yang biasanya terdapat
tumbuhtumbuhan enteromopha, chetomorpha dengan kadar
garam adalah 1,2 sampai 1,8 %. Di Sumatra jentik ditemukan pada
air tawar seperti di Mandailing dengan ketinggian 210 meter dari
permukaan air laut dan Danau Toba pada ketinggian 1000 meter.
b. Anopheles aconitus
Di Indonesia nyamuk ini terdapat hampir di seluruh kepulauan,
kecuali Maluku dan Irian. Biasanya terdapat dijumpai di dataran
rendah tetapi lebih banyak di daerah kaki gunung pada ketinggian
4001000 meter dengan persawahan bertingkat. Nyamuk ini
merupakan vektor pada daerahdaerah tertentu di Indonesia,
terutama di Tapanuli, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Bali.
c. Anopheles barbirostris
Spesies ini terdapat di seluruh Indonesia, baik di dataran tinggi
maupun di dataran rendah. Jentik biasanya terdapat dalam air yang
jernih, alirannya tidak begitu cepat, ada tumbuhtumbuhan air dan
pada tempat yang agak teduh seperti pada tempat yang agak teduh
seperti pada sawah dan parit.
d. Anopheles kochi
Spesies ini terdapat diseluruh Indonesia, kecuali Irian. Jentik
biasanya ditemukan pada tempat perindukan terbuka seperti
genangan air, bekas tapak kaki kerbau, kubangan, dan sawah yang
siap ditanami.
e. Anopheles maculatus
Penyebaran spesies ini di Indonesia sangat luas, kecuali di Maluku
dan Irian. Spesies ini terdapat didaerah pengunungan sampai
ketinggian 1600 meter diatas permukaan air laut. Jentik ditemukan
pada air yang jernih dan banyak kena sinar matahari.
f. Anopheles subpictus
Spesies ini terdapat di seluruh wilayah Indonesia. Nyamuk ini dapat
dibedakan menjadi dua spesies yaitu :
1) Anopheles subpictus subpictus
Jentik ditemukan di dataran rendah, kadangkadang ditemukan
dalam air payau dengan kadar garam tinggi.
2) Anopheles subpictus malayensis
Spesies ini ditemukan pada dataran rendah sampai dataran tinggi.
Jentik ditemukan pada air tawar, pada kolam yang penuh dengan
rumput pada selokan dan parit.
g. Anopheles balabacensis
Spesies ini terdapat di Purwakarta, Jawa Barat, Balikpapan,
Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan. Jentik ditemukan pada
genangan air bekas tapak binatang, pada kubangan bekas roda
dan pada parit yang aliran airnya terhenti.
2. Morphologi
Malaria merupakan penyakit yang dapat bersifat akut maupun
kronik, malaria disebabkan oleh protozoa dari genus plasmodium
ditandai dengan demam, anemia dan splenomegali. Sampai
sekarang dikenal 4 jenis plasmodium, yaitu : .[10]
plasmodium falciparum sebagai penyebab Malaria Tropika.
plasmodium vivaks sebagai penyebab penyakit Malaria Tertiana.
plasmodium malariae sebagai penyebab penyakit Malaria
Quartana.
plasmodium ovale yang menyebabkan penyakit Malaria yang
hampir serupa dengan Malaria Tertiana.
Dalam daur hidupnya Plasmodium mempunyai 2 hospes, yaitu
vertebrata dan nyamuk. Siklus aseksual didalam hospes vertebrata
dikenal sebagai skizogoni dan siklus seksual yang terbentuk
sporozoit disebut sebagai sporogoni.
Skizogoni
Sporozoit infektif dari kelenjar ludah nyamuk Anopheles, dimasukkan
kedalam aliran darah hospes vertebrata (manusia) melalui tusukkan
nyamuk, dalam waktu 30 menit memasuki sel parenkim hati, mulai
stadium eksoeritrositik dari daur hidupnya. Di dalam sel hati parasit
tumbuh skizon.

Sporogoni
Sporogoni terjadi didalam nyamuk. Gemetosit yang masuk bersama
darah, tidak dicernakan bersama selsel darah lain. Pada Mikrogametosit
jantan titik kromatin membagi diri menjadi 68 inti yang bergerak ke
pinggir parasit. Di pinggir beberapa filamen dibentuk seperti cambuk dan
mempunyai gerakan aktif, yaitu yang menjadi 68 mikrogametber inti
tunggal, didesak keluar akhirnya lepas dari sel induk. Proses ini disebut
sebagai aksflagelasi. Sementara makrogametosit betina menjadi matang
sebagai makrogamet terdiri atas sebuah badan dari sitoplasma yang
berbentuk bulat dengan sekelompok kromatin ditengah. Pembuahan
(fertilisasi) terjadi karena masuknya satu mikrogamet kedalam mikrogamet
untuk membentuk Zigot.

3. Distribusi Geografik

Penularan malaria secara ilmiah berlangsung melalui gigitan


nyamuk Anopheles betina. Hanya spesies nyamuk Anopheles
tertentu yang mampu menularkan penyakit malaria dan spesies
tersebut disebut sebagai vektor. Lebih dari 400 spesies Anopheles
didunia, hanya sekitar 67 yang terbukti mengandung sporozoit dan
dapat menularkan malaria. Di Indonesia telah ditemukan 24
spesies Anopheles yang menjadi vektor malaria. Penyebaran
geografik vektor malaria di Indonesia adalah sebagai berikut:

An. Aitkenii : ditemukan di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan


Sulawesi.
An. Umbrosus : terdapat di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan
Sulawesi.
An. Beazai : pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.
An. Letifer : terdapat di pulau Sumatera dan Kalimantan.
An.roperi : Sumatera dan Kalimantan.
An. Barbirostris : terdapat di Irian Jaya, Jawa, Sumatera,
Kalimantan dan Sulawesi
An.vanus : di temukan di pulau Kalimantan dan Sulawesi.
An.bancrofti : terdapat di pulau Irian Jaya.
An.sinensis : di pulau Sumatera.
An.nigerrimus : di temukan di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan
dan Sulawesi.
An.kochi : Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.
An.tesselatus : Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.
An.leucosphyrus : terdapat di pulau Sumatera dan Kalimantan.
An.balabacensis : terdapat di Jawa, dan Kalimantan.
An.punctulatus : saat ini hanya terdapat di Irian Jaya.
An.farauti : di temukan di Irian Jaya.
An.koliensis : Irian Jaya.
An.aconitus : terdapat di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan
Sulawesi.
An.minimus : di temukan Jawa, Sumatera, Kalimantan dan
Sulawesi.
An.flavirostris : Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.
An.sundaicus : Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.
An.subpictus : Irian Jaya, Jawa, Sumatera, Kalimantan dan
Sulawesi.
An.annularis : Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.
An.maculatus : Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi.

4. Bionomi
a. Perilaku saat menghisap darah dan mekanisme penularan
penyakit.
Hanya nyamuk betina yang sering menghisap darah nyamuk
Anopheles sering menghisap darah diluar rumah dan suka
menggigit diwaktu senja sampai dini hari (Eksofagik) serta
mempunyai jarak terbang sejauh 1,6 Km sampai dengan 2 Km.
Waktu antara nyamuk menghisap darah yang mengandung
Gametosit sampai mengandung sporozoit dalam kelenjar liurnya,
disebut masa tunas ekstrinsik. Sporozoit adalah bentuk infektif.
Infeksi dapat terjadi dengan 2 cara yaitu :
Alamiah (Natural Infaction)
Bila orang sehat digigit nyamuk malaria yang telah terinfeksi oleh
plasmodium. Pada saat mengigit sporozoit yang ada dalam tubuh
nyamuk masuk ke dalam darah manusia. Kemudian orang sehat
menjadi sakit dan dalam tubuhnya terjadi siklus hidup parasit
malaria.
Induksi (Induced)
Bila stadium aseksual dalam eritrosit secara tidak sengaja masuk
dalam badan manusia melalui darah, misalnya transfusi, suntikan,
atau secara kongenital (bayi baru lahir mendapat infeksi dari ibu
yang menderita malaria melalui darah placenta), atau secara
sengaja untuk pengobatan berbagai penyakit (sebelum perang
dunia ke 2) demam yang timbul dapat menunjang pengobatan
berbagai penyakit seperti lues dan sindrum nefrotik.
Untuk terjadi penularan penyakit malaria harus ada empat faktor yaitu:

1. Parasit (agent / penyebab penyakit malaria)


2. Nyamuk Anopheles (vektor malaria)
3. Manusia (host intermediate)
4. Lingkungan (environment)
b. Perilaku pada waktu hinggap dan beristirahat
Nyamuk Anopheles lebih suka menghinggap dibatang batang
rumput, dialam atau luar rumah (Eksofilik) yaitu tempat-tempat
lembab, terlindung dari sinar matahari, gelap.
c. Perilaku pada saat berkembang biak (Breeding Place)
Nyamuk Anopheles dapat berkembang biak ditempat tempat yang
airnya menggenang seperti Sawah, Irigasi yang bagian tepinya
banyak ditumbuhi rumput dan tidak begitu deras airnya.

B. Pengendalian Nyamuk Anopheles


Pengendalian yang mungkin dan sudah di lakukan.
Nyamuk Anopheles dewasa ini banyak sekali metode
pengendalian vektor dan binatang pengganggu yang telah dikenal
dan dimanfaatkan oleh manusia. Dari berbagai metode yang telah
dikenal dapat dikelompokkan sebagai berikut
o Pengendalian dengan cara menghindari/mengurangi kontak
atau gigitan nyamuk Anopheles.
Penggunaan kawat kasa pada ventilasi.
Dimana keadaan rumah ventilasi udara dipasangi atau tidak
dipasangi kawat kasa ini berfungsi untuk mencegah nyamuk masuk
ke dalam rumah.
Menggunakan kelambu pada waktu tidur.
Kebiasaan menggunakan kelambu pada tempat yang biasa di
pergunakan sebagai tempat tidur dan di gunakan sesuai dengan
tata cara penggunaan kelambu untuk tempat tidur dan waktu
penggunaan kelambu saat jam aktif nyamuk mencari darah.
Menggunakan zat penolak (Repellent).
Untuk kebiasaan penggunaan repellent yang digunakan pada saat
atau waktu nyamuk menggigit atau pada waktu akan tidur malam
atau pada waktu lain di malam hari.
o Pengendalian dengan cara genetik dengan melakukan
sterelisasi pada nyamuk dewasa.
o Pengendalian dengan cara menghilangkan atau mengurangi
tempat perindukan, yang termasuk kegiatan ini adalah :
a) Penimbunan tempat-tempat yang dapat menimbulkan genangan
air.
b) Pengeringan berkala dari satu sistem irigasi.
c) pengaturan dan perbaikan aliran air.
d) Pembersihan tanaman air dan semak belukar.
e) Pengaturan kadar garam misalnya pada pembuatan tambak ikan
atau udang.

o Pengendalian Cara Biologi.


Pengendalian dengan cara ini dapat dilakukan dengan
memanfaatkan musuh alaminya (predator) atau dengan
menggunakan protozoa, jamur dan beberapa jenis bakteri serta
jenis-jenis nematoda.
o Pengendalian Cara Fisika-Mekanik.
Pengendalian dengan Fisika-Mekanik ini menitik beratkan
usahanya pada penggunaan dan memanfaatkan faktor-faktor iklim
kelembaban suhu dan cara-cara mekanis.
o Pengendalian dengan cara pengolaan lingkungan (Environmental
management).
Dalam pengendalian dengan cara pengelolaan lingkungan dikenal
dua cara yaitu .
a) Perubahan lingkungan (Environmental Modivication).
Meliputi kegiatan setiap pengubahan fisik yang permanen
terhadap tanah, air dan tanaman yang bertujuan untuk mencegah,
menghilangkan atau mengurangi tempat perindukan nyamuk tanpa
menyebabkan pengaruh yang tidak baik terhadap kuwalitas
lingkungan hidup manusia. Kegiatan ini antara lain dapat berupa
penimbunan (filling), pengertian (draining), perataan permukaan
tanah dan pembuatan bangunan, sehingga vektor dan binatang
penganggu tidak mungkin hidup.
b) Manipulasi Lingkungan (Environment Manipulation)
Sehingga tidak memungkinkan vektor dan binatang pengganggu
berkembang dengan baik. Kegiatan ini misalnya dengan merubah
kadar garam (solinity), pembersihan tanaman air atau lumut dan
penanaman pohon bakau pada pantai tempat perindukan nyamuk
sehingga tempat itu tidak mendapatkan sinar matahari.

o Pengendalinan Dengan Cara Kimia (Chemical Control).


Pengendalian dengan cara kimia (Chemical Control) ini disebut
juga pengendalian dengan menggunakan pestisida. Pestisida
adalah suatu zat kimia yang dapat membunuh vektor dan binatang
pengganggu. Disamping pengendalian secara langsung kepada
vektor, pengendalian secara kimiawi juga bisa dilakukan terhadap
tanaman yang menunjang kehidupan vektor dan binatang
penggangu dengan menggunakan herbisida. Penggunaan pestisida
untuk mengendalikan vektor dan binatang pengganggu memang
sangat efektif tetapi dapat menimbulkan masalah yang serius
karena dapat merugikan manusia dan lingkungannya.

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/113/jtptunimus-gdl-anisajamil-5649-3-
babii.pdf
Karakteristik Nyamuk Aedes aegypti
Klasifikasi Nyamuk Aedes aegypti
Menurut Richard dan Davis (1977) yang dikutip oleh Seogijanto (2006),
kedudukan nyamuk Aedes aegypti dalam klasifikasi hewan adalah
sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Bangsa : Diptera
Suku : Culicidae
Marga : Aedes
Jenis : Aedes aegypti L. (Soegijanto, 2006)

Morfologi Nyamuk Aedes aegypti


Menurut Gillot (2005), nyamuk Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) disebut
black-white mosquito, karena tubuhnya ditandai dengan pita atau garis-
garis putih keperakan di atas dasar hitam. Panjang badan nyamuk ini
sekitar 3-4 mm dengan bintik hitam dan putih pada badan dan kepalanya,
dan juga terdapat ring putih pada bagian kakinya. Di bagian dorsal dari
toraks terdapat bentuk bercak yang khas berupa dua garis sejajar di
bagian tengah dan dua garis lengkung di tepinya. Bentuk abdomen
nyamuk betinanya lancip pada ujungnya dan memiliki cerci yang lebih
panjang dari cerci pada nyamuk-nyamuk lainnya. Ukuran tubuh nyamuk
betinanya lebih besar dibandingkan nyamuk jantan (Gillot, 2005).

Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti


Menurut Soegijanto (2006), masa pertumbuhan dan perkembangan
nyamuk Aedes aegypti dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu telur,
larva, pupa, dan nyamuk dewasa, sehingga termasuk metamorfosis
sempurna atau holometabola (Soegijanto, 2006).
1. Stadium Telur
Menurut Herms (2006), telur nyamuk Aedes aegypti berbentuk ellips atau
oval memanjang, berwarna hitam, berukuran 0,5-0,8 mm, dan tidak
memiliki alat pelampung. Nyamuk Aedes aegypti meletakkan telur-
telurnya satu per satu pada permukaan air, biasanya pada tepi air di
tempat-tempat penampungan air bersih dan sedikit di atas permukaan air.
Nyamuk Aedes aegypti betina dapat menghasilkan hingga 100 telur
apabila telah menghisap darah manusia. Telur pada tempat kering (tanpa
air) dapat bertahan sampai 6 bulan. Telur-telur ini kemudian akan
menetas menjadi jentik setelah sekitar 1-2 hari terendam air (Herms,
2006).
2. Stadium Larva (Jentik)
Menurut Herms (2006), larva nyamuk Aedes aegypti mempunyai ciri khas
memiliki siphon yang pendek, besar dan berwarna hitam. Larva ini
tubuhnya langsing, bergerak sangat lincah, bersifat fototaksis negatif dan
pada waktu istirahat membentuk sudut hampir tegak lurus dengan
permukaan air. Larva menuju ke permukaan air dalam waktu kira-kira
setiap -1 menit, guna mendapatkan oksigen untuk bernapas. Larva
nyamuk Aedes aegypti dapat berkembang selama 6-8 hari (Herms, 2006).

Berdasarkan data dari Depkes RI (2005), ada empat tingkat (instar) jentik
sesuai dengan pertumbuhan larva tersebut, yaitu:
1. Instar I : berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm

2. Instar II : 2,5-3,8 mm

3. Instar III : lebih besar sedikit dari larva instar II

4. Instar IV : berukuran paling besar, yaitu 5 mm (Depkes RI, 2005)

3. Stadium Pupa
Menurut Achmadi (2011), pupa nyamuk Aedes aegypti mempunyai bentuk
tubuh bengkok, dengan bagian kepala dada (cephalothorax) lebih besar
bila dibandingkan dengan bagian perutnya, sehingga tampak seperti
tanda baca koma. Tahap pupa pada nyamuk Aedes aegypti umumnya
berlangsung selama 2-4 hari. Saat nyamuk dewasa akan melengkapi
perkembangannya dalam cangkang pupa, pupa akan naik ke permukaan
dan berbaring sejajar dengan permukaan air untuk persiapan munculnya
nyamuk dewasa (Achmadi, 2011).
4. Nyamuk dewasa
Menurut Achmadi (2011), nyamuk dewasa yang baru muncul akan
beristirahat untuk periode singkat di atas permukaan air agar sayap-sayap
dan badan mereka kering dan menguat sebelum akhirnya dapat terbang.
Nyamuk jantan dan betina muncul dengan perbandingan jumlahnya 1:1.
Nyamuk jantan muncul satu hari sebelum nyamuk betina, menetap dekat
tempat perkembangbiakan, makan dari sari buah tumbuhan dan kawin
dengan nyamuk betina yang muncul kemudian. Setelah kemunculan
pertama nyamuk betina makan sari buah tumbuhan untuk mengisi tenaga,
kemudian kawin dan menghisap darah manusia. Umur nyamuk betinanya
dapat mencapai 2-3 bulan (Achmadi, 2011).

Bionomik Nyamuk Aedes aegypti


Tempat Perindukan atau Berkembang biak
Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun
2005 yang dikutip oleh Supartha (2008), tempat perkembangbiakan utama
nyamuk Aedes aegypti adalah tempat-tempat penampungan air bersih di
dalam atau di sekitar rumah, berupa genangan air yang tertampung di
suatu tempat atau bejana seperti bak mandi, tempayan, tempat minum
burung, dan barang-barang bekas yang dibuang sembarangan yang pada
waktu hujan akan terisi air. Nyamuk ini tidak dapat berkembang biak di
genangan air yang langsung berhubungan dengan tanah (Supartha,
2008).
Menurut Soegijanto (2006), tempat perindukan utama tersebut dapat
dikelompokkan menjadi: (1) Tempat Penampungan Air (TPA) untuk
keperluan sehari-hari seperti drum, tempayan, bak mandi, bak WC,
ember, dan sejenisnya, (2) Tempat Penampungan Air (TPA) bukan untuk
keperluan sehari-hari seperti tempat minuman hewan, ban bekas, kaleng
bekas, vas bunga, perangkap semut, dan sebagainya, dan (3) Tempat
Penampungan Air (TPA) alamiah yang terdiri dari lubang pohon, lubang
batu, pelepah daun, tempurung kelapa, kulit kerang, pangkal pohon
pisang, dan lain-lain (Soegijanto, 2006).

Perilaku Menghisap Darah


Berdasarkan data dari Depkes RI (2004), nyamuk betina membutuhkan
protein untuk memproduksi telurnya. Oleh karena itu, setelah kawin
nyamuk betina memerlukan darah untuk pemenuhan kebutuhan
proteinnya. Nyamuk betina menghisap darah manusia setiap 2-3 hari
sekali. Nyamuk betina menghisap darah pada pagi dan sore hari dan
biasanya pada jam 09.00-10.00 dan 16.00-17.00 WIB. Untuk
mendapatkan darah yang cukup, nyamuk betina sering menggigit lebih
dari satu orang. Posisi menghisap darah nyamuk Aedes aegypti sejajar
dengan permukaan kulit manusia. Jarak terbang nyamuk Aedes aegypti
sekitar 100 meter (Depkes RI, 2004).

Perilaku Istirahat
Berdasarkan data dari Depkes RI (2004), setelah selesai menghisap
darah, nyamuk betina akan beristirahat sekitar 2-3 hari untuk
mematangkan telurnya. Nyamuk Aedes aegypti hidup domestik, artinya
lebih menyukai tinggal di dalam rumah daripada di luar rumah. Tempat
beristirahat yang disenangi nyamuk ini adalah tempat-tempat yang lembab
dan kurang terang seperti kamar mandi, dapur, dan WC. Di dalam rumah
nyamuk ini beristirahat di baju-baju yang digantung, kelambu, dan tirai.
Sedangkan di luar rumah nyamuk ini beristirahat pada tanaman-tanaman
yang ada di luar rumah (Depkes RI, 2004).
Penyebaran
Menurut Depkes RI (2005), nyamuk Aedes aegypti tersebar luas di daerah
tropis dan sub tropis. Di Indonesia, nyamuk ini tersebar luas baik di
rumah-rumah maupun tempat-tempat umum. Nyamuk ini dapat hidup dan
berkembang biak sampai ketinggian daerah 1.000 m dari permukaan air
laut. Di atas ketinggian 1.000 m nyamuk ini tidak dapat berkembang biak,
karena pada ketinggian tersebut suhu udara terlalu rendah, sehingga tidak
memunginkan bagi kehidupan nyamuk tersebut (Depkes RI, 2005).

Variasi Musim
Menurut Depkes RI (2005), pada saat musim hujan tiba, tempat
perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti yang pada musim kemarau
tidak terisi air, akan mulai terisi air. Telur-telur yang tadinya belum sempat
menetas akan menetas. Selain itu, pada musim hujan semakin banyak
tempat penampungan air alamiah yang terisi air hujan dan dapat
digunakan sebagai tempat berkembangbiaknya nyamuk ini. Oleh karena
itu, pada musim hujan populasi nyamuk Aedes aegypti akan meningkat.
Bertambahnya populasi nyamuk ini merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan peningkatan penularan penyakit dengue (Depkes RI, 2005).

Nyamuk Aedes aegypti Sebagai Vektor DBD


Pengertian Demam Berdarah Dengue (DBD)
Berdasarkan data dari Depkes RI (2004), penyakit demam berdarah
dengue (DBD) merupakan penyakit endemis di Indonesia. Sejak pertama
sekali ditemukan pada tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta, jumlah kasus
terus meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit,
dan secara sporadis selalu terjadi KLB setiap tahun. KLB yang terbesar
terjadi pada tahun 1998 di mana dilaporkan dari 16 propinsi diperoleh IR =
35,19 per 100.000 penduduk dengan CFR 2,0%. Pada tahun 1999, IR
menurun menjadi 10,17%. Akan tetapi, pada tahun-tahun berikutnya IR
cenderung meningkat, yaitu 15,99% tahun 2000, 21,66% tahun 2001,
19,24% tahun 2002, dan 23,87% pada tahun 2003. Penyebab
meningkatnya jumlah kasus dan semakin bertambahnya wilayah terjangkit
disebabkan oleh peningkatan sarana transportasi penduduk dari satu
wilayah ke wilayah lain sehingga mempermudah mobilisasi dalam waktu
singkat, adanya pemukiman-pemukiman baru, adanya tempat-tempat
penyimpanan air tradisional yang masih dipertahankan, perilaku
masyarakat terhadap pembersihan sarang nyamuk yang masih kurang,
vektor nyamuk yang terdapat di seluruh pelosok tanah air (kecuali di
ketinggian >1000m dari permukaan air laut) dan adanya empat serotipe
virus yang bersirkulasi sepanjang tahun (Depkes RI, 2004).
Menurut Kementrian Kesehatan RI (2010), penyakit demam berdarah
dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue adalah virus
penyebab Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue (DBD) dan
Dengue Shock Syndrome (DSS), yang termasuk dalam kelompok B
Arthropod Virus (Arbovirosis), yang sekarang dikenal sebagai genus
Flavivirus, famili Flaviviride, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: Den-1,
Den-2, Den-3, Den-4. DBD ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypti yang terinfeksi virus dengue. (Kementrian Kesehatan RI,
2010).
Menurut Soedarto (2009), virus penyebab demam berdarah dengue
(DBD) yaitu virus dengue mempunyai ukuran virion virus 40 nm dan
terbungkus oleh kapsid. Virus ini dapat berkembang biak pada berbagai
macam kultur jaringan, misalnya sel mamalia dan sel artropoda seperti
Aedes aegypti cell (Soedarto, 2009).
Menurut Sembel (2009), vektor utama penularan DBD adalah nyamuk
Aedes aegypti, yang biasanya aktif pada pagi dan sore hari dan lebih suka
menghisap darah manusia daripada darah hewan. Nyamuk ini
berkembang biak dalam air bersih pada tempat-tempat penampungan air
yang tidak beralaskan tanah. Sampai saat ini penyebaran DBD masih
terpusat di daerah tropis disebabkan oleh rata-rata suhu optimum
pertumbuhan nyamuk adalah 25-270C. Namun, dengan adanya
pemanasan global, DBD diperkirakan akan meluas sampai ke daerah-
daerah beriklim dingin (Sembel, 2009).

Gambaran Klinis Demam Berdarah Dengue (DBD)


Berdasarkan data dari Depkes RI (2005), tanda-tanda dan gejala penyakit
demam berdarah dengue (DBD) antara lain:
1. Demam
Penyakit DBD didahului terjadinya demam tinggi mendadak secara terus-
menerus yang berlangsung selama 2-7 hari. Panas dapat turun pada hari
ke-3 yang kemudian naik lagi, dan pada hari ke-6 atau ke-7 panas
mendadak turun.
2. Manifestasi Perdarahan
Perdarahan dapat terjadi pada semua organ tubuh dan umumnya terjadi
pada 2-3 hari setelah demam. Bentuk-bentuk perdarahan yang terjadi
dapat berupa:
- ptechiae (bintik-bintik darah pada permukaan kulit)

- purpura

- ecchymosis (bintik-bintik darah di bawah kulit)

- perdarahan konjungtiva

- perdarahan dari hidung (mimisan atau epistaksis)

- perdarahan gusi
- hematenesis (muntah darah)

- melena (buang air besar berdarah)

- hematuria (buang air kecil berdarah)


3. Hepatomegaly atau Pembesaran Hati
Sifat pembesaran hati antara lain:
- ditemukan pada permulaan penyakit

- nyeri saat ditekan dan pembesaran hati tidak sejajar beratnya


penyakit

4. Shock atau Renjatan


Shock dapat terjadi pada saat demam tinggi yaitu antara hari ke- 3-7
setelah terjadinya demam. Shock terjadi karena perdarahan atau
kebocoran plasma darah ke daerah ekstravaskuler melalui pembuluh
kapiler yang rusak. Tanda-tanda terjadinya shock antara lain:
- kulit terasa dingin pada ujung hidung, jari, dan kaki

- perasaan gelisah

- nadi cepat dan lemah

- tekanan nadi menurun (menjadi 20 mmHg atau kurang)

- tekanan darah menurun (tekanan sistolik menjadi 80 mmHg atau kurang)


(Depkes RI, 2005)

5. Komplikasi
Menurut Sembel (2009), penyakit DBD dapat mengakibatkan komplikasi
pada kesehatan, komplikasi tersebut dapat berupa kerusakan atau
perubahan struktur otak (encephalopathy), kerusakan hati bahkan
kematian (Sembel, 2009).

Mekanisme Penularan DBD


Menurut Soedarto (2009), demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia
endemis baik di daerah perkotaan (urban) maupun di daerah pedesaan
(rural). Di daerah perkotaan vektor penular utamanya adalah nyamuk
Aedes aegypti sedangkan di daerah pedesaan oleh nyamuk Aedes
albopictus. Namun sering terjadi bahwa kedua spesies nyamuk tersebut
terdapat bersama-sama pada satu daerah, misalnya di daerah yang
bersifat semi-urban (Soedarto, 2009).
Menurut Yatim (2007), penularan virus dengue melalui gigitan nyamuk
lebih banyak terjadi di tempat yang padat penduduknya seperti di
perkotaan dan pedesaan di pinggir kota. Oleh karena itu, penyakit demam
berdarah dengue (DBD) ini lebih bermasalah di daerah sekitar perkotaan
(Yatim, 2007).
Menurut Achmadi (2008), kota-kota di Indonesia merupakan kota endemis
DBD yang setiap tahunnya berkembang menjadi Kejadian Luar Biasa
(KLB). Di Indonesia terdapat dua vektor yang menularkan dengue, yaitu
Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Akan tetapi, saat ini, Aedes aegypti
adalah vektor yang mendapat perhatian terbesar terhadap penyebaran
penyakit DBD karena distribusi dan hubungannya yang erat dengan
manusia (Achmadi, 2008).
Menurut Soegijanto (2006), tahap-tahap replikasi dan penularan virus
dengue terdiri dari:
1. virus ditularkan ke manusia melalui saliva nyamuk

2. virus bereplikasi dalam organ target

3. virus menginfeksi sel darah putih dan jaringan limfatik

4. virus dilepaskan dan bersirkulasi dalam darah

5. virus yang ada dalam darah terhisap nyamuk yang lain

6. virus bereplikasi atau melipatgandakan diri dalam tubuh nyamuk, lalu


menginfeksi kelenjar saliva

7. virus bereplikasi dalam kelenjar saliva nyamuk Aedes aegypti untuk


kemudian akan ditularkan kembali ke manusia (Soegijanto, 2006).
Pencegahan Penularan DBD
Menurut Soedarto (2009), pencegahan terhadap penularan DBD dapat
dilakukan dengan pemberantasan larva dan nyamuk Aedes aegypti
dewasa. Pemberantasan nyamuk Aedes aegypti dewasa merupakan cara
terbaik mencegah penyebaran virus dengue. Selain itu, repellen dapat
digunakan untuk mencegah gigitan nyamuk (Soedarto, 2009).

1. Pemberantasan Nyamuk Dewasa


Berdasarkan data dari Depkes RI (2005), pemberantasan nyamuk dewasa
dapat dilakukan dengan cara penyemprotan (pengasapan atau
pengabutan, yang sering disebut dengan istilah fogging) dengan
menggunakan insektisida.
Insektisida yang dapat digunakan antara lain insektisida golongan:
- organophospate, misalnya malathion
- pyretroid sintetic, misalnya lamda sihalotrin, cypermetrin, dan alfametrin
- carbamat
Alat yang digunakan untuk menyemprot adalah mesin Fog atau mesin
ULV. Untuk membatasi penularan virus dengue, penyemprotan dilakukan
dua siklus dengan interval 1 minggu. Dalam waktu singkat, tindakan
penyemprotan dapat membatasi penularan virus dengue, akan tetapi
tindakan ini harus diikuti dengan pemberantasan terhadap jentiknya agar
populasi nyamuk penular dapat ditekan serendah-rendahnya (Depkes RI,
2005).

2. Pemberantasan Larva atau Jentik


Menurut Depkes RI (2005), pemberantasan terhadap jentik Aedes aegypti
yang dikenal dengan istilah Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam
Berdarah Dengue (PSN DBD) dilakukan dengan cara:
a. Fisik
Pemberantasan jentik secara fisik dikenal dengan kegiatan 3M, yaitu:
o Menguras (dan menyikat) tempat penampungan air (TPA) seperti
bak mandi, bak WC, dan lain-lain seminggu sekali secara teratur
untuk mencegah perkembangbiakan nyamuk di tempat tersebut.
Pengurasan tempat-tempat penampungan air (TPA) perlu
dilakukan secara teratur sekurang-kurangnya seminggu sekali agar
nyamuk tidak dapat berkembang biak di tempat tersebut.
o Menutup tempat penampungan air rumah tangga (tempayan, drum,
ember, dan lain-lain)
o Mengubur, menyingkirkan atau memusnahkan barang-barang
bekas (kaleng, ban, dan lain-lain) yang dapat menampung air
hujan.

Selain itu, ditambah dengan cara lain seperti:


Mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau tempat-
tempat lainnya yang sejenis seminggu sekali

Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar atau rusak

Menutup lubang-lubang pada potongan bambu dan pohon dengan


tanah

Menaburkan bubuk larvasida di tempat-tempat penampungan air


yang sulit dikuras atau dibersihkan dan di daerah yang sulit air

Memelihara ikan pemakan jentik di kolam atau bak penampungan


air

f. Memasang kawat kasa

g. Menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar

h. Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai


i. Menggunakan kelambu

j. Memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk


Keseluruhan cara tersebut di atas dikenal dengan istilah 3M Plus (Depkes
RI, 2005).

b. Kimia
Menurut Widyastuti (2007), pengendalian jentik Aedes aegypti secara
kimia adalah dengan menggunakan insektisida pembasmi jentik.
Insektisida pembasmi jentik ini dikenal dengan istilah larvasida. Larvasida
yang biasa digunakan adalah temephos. Formulasi temephos yang
digunakan adalah granules (sand granules). Dosis yang digunakan adalah
1 ppm atau 10 gram (1 sendok makan rata) temephos untuk setiap 100
liter air. Larvasida dengan temephos ini mempunyai efek residu 3 bulan
(Widyastuti, 2007).

c. Biologi
Menurut Gandahusada (2008), pengendalian jentik secara biologi adalah
dengan menggunakan ikan pemangsa sebagai musuh alami bagi jentik.
Beberapa jenis ikan sebagai pemangsa untuk pengendalian jentik Aedes
aegypti adalah Gambusia affinis (ikan gabus), Poecilia reticulata (ikan
guppy), Aplocheilus panchax (ikan kepala timah), Oreochromis
mossambicus (ikan mujair), dan Oreochromis niloticus (ikan nila).
Penggunaan ikan pemakan larva ini umumnya digunakan untuk
mengendalikan larva nyamuk Aedes aegypti pada kumpulan air yang
banyak seperti kolam atau di kontainer air yang besar. Sedangkan untuk
kontainer air yang lebih kecil dapat menggunakan Bacillus thuringlensis
var. Israeliensis sebagai pemakan jentik (Gandahusada, 2008).
Ukuran Kepadatan Populasi Nyamuk Penular
Berdasarkan data dari Depkes RI (2005), untuk mengetahui kepadatan
populasi nyamuk Aedes aegypti di suatu lokasi dapat dilakukan beberapa
survei di beberapa rumah, seperti:

Survei Nyamuk
Survei nyamuk dilakukan dengan cara penangkapan nyamuk dengan
umpan orang di dalam dan di luar rumah, masing-masing selama 20 menit
per rumah dan penangkapan nyamuk yang hinggap di dinding dalam
rumah yang sama. Penangkapan nyamuk biasanya dilakukan dengan
menggunakan aspirator.
Indeks nyamuk yang digunakan:
1. Biting/Landing Rate:

Survei Jentik (Pemeriksaan Jentik)


Menurut Depkes RI (2005), untuk mengetahui keberadaan jentik Aedes
aegypti di suatu lokasi dapat dilakukan survei jentik sebagai berikut:
a. semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat
perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti diperiksa (dengan mata
telanjang) untuk mengetahui ada tidaknya jentik.

b. untuk memeriksa tempat penampungan air yang berukuran besar,


seperti: bak mandi, tempayan, drum, dan bak penampungan air lainnya,
jika pandangan atau penglihatan pertama tidak menemukan jentik, tunggu
kira-kira -1 menit untuk memastikan bahwa benar jentik tidak ada.
c. untuk memeriksa tempat-tempat perkembangbiakan yang kecil, seperti
vas bunga/pot tanaman air/botol yang airnya keruh, seringkali airnya perlu
dipindahkan ke tempat lain.

d. untuk memeriksa jentik di tempat yang agak gelap atau airnya keruh
biasanya digunakan senter.

Metode survei jentik antara lain:


a. Single larva
Cara ini dilakukan dengan mengambil satu jentik di setiap genangan air
yang ditemukan jentik untuk diidentifikasi lebih lanjut
b. Visual
Cara ini cukup dilakukan dengan melihat ada tidaknya jentik di setiap
tempat genangan air tanpa mengambil jentiknya.
Ukuran kepadatan populasi jentik dapat ditentukan dengan mengukur:
Survei Perangkap Telur
Menurut Depkes RI (2005), survei perangkap telur dilakukan dengan cara
memasang ovitrap yaitu berupa bejana, seperti potongan bambu, kaleng,
atau gelas plastik, yang bagian dalam dindingnya dicat warna hitam,
kemudian diberi air secukupnya. Ke dalam bejana tersebut dimasukkan
padel berupa potongan bambu yang berwarna gelap sebagai tempat
untuk meletakkan telur bagi nyamuk. Kemudian ovitrap diletakkan di
tempat gelap di dalam dan luar rumah. Setelah 1 minggu dilakukan
pemeriksaan ada tidaknya telur nyamuk di padel.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35240/4/Chapter%20ll.pdf
Nyamuk Culex sp
Culex sp adalah genus dari nyamuk yang berperan sebagai vektor
penyakit yang penting seperti West Nile Virus, Filariasis, Japanese
enchepalitis, St Louis encephalitis.[8]
Nyamuk dewasa dapat berukuran 4 10 mm (0,16 0,4 inci). Dan dalam
morfologinya nyamuk memiliki tiga bagian tubuh umum: kepala, dada, dan
perut. Nyamuk Culex yang banyak di temukan di Indonesia yaitu jenis
Culex quinquefasciatus.
Klasifikasi
Klasifikasi Culex adalah sebagai berikut :[9] Kingdom : Animalia, Phylum :
Arthropoda, Class : Insecta, Ordo : Diptera, Family : Culicidae, Genus :
Culex
Siklus Hidup
1. Telur
Seekor nyamuk betina mampu meletakan 100-400 butir telur. Setiap
spesies nyamuk mempunyai kebiasaan yang berbeda-beda. Nyamuk
Culex sp meletakan telurnya diatas permukaan air secara bergelombolan
dan bersatu membentuk rakit sehingga mampu untuk mengapung.
2. Larva
Setelah kontak dengan air, telur akan menetas dalam waktu 2-3 hari.
Pertumbuhan dan perkembangan larva dipengaruhi oleh faktor
temperature, tempat perindukan dan ada tidaknya hewan predator. Pada
kondisi optimum waktu yang dibutuhkan mulai dari penetasan sampai
dewasa kurang lebih 5 hari.

3. Pupa
Pupa merupakan stadium terakhir dari nyamuk yang berada di dalam air,
pada stadium ini tidak memerlukan makanan dan terjadi pembentukan
sayap hingga dapat terbang, stadium kepompong memakan waktu lebih
kurang satu sampai dua hari. Pada fase ini nyamuk membutuhkan 2-5 hari
untuk menjadi nyamuk, dan selama fase ini pupa tidak akan makan
apapun dan akan keluar dari larva menjadi nyamuk yang dapat terbang
dan keluar dari air.

4. Dewasa
Setelah muncul dari pupa nyamuk jantan dan betina akan kawin dan
nyamuk betina yang sudah dibuahi akan menghisap darah waktu 24-36
jam. Darah merupakan sumber protein yang esensial untuk mematangkan
telur.[8] Perkembangan telur hingga dewasa memerlukan waktu sekitar 10
sampai 12 hari.

Bionomik Nyamuk Culex sp


Nyamuk betina menghisap darah untuk proses pematangan telur, berbeda
dengan nyamuk jantan. Nyamuk jantan tidak memerlukan darah tetapi
hanya menghisap sari bunga.[8] Setiap nyamuk mempunyai waktu
menggigit, kesukaan menggigit, tempat beristirahat dan berkembang biak
yang berbeda-beda satu dengan yang lain.

1. Tempat berkembang biak


Nyamuk Culex sp suka berkembang biak di sembarang tempat misalnya
di air bersih dan air yang kotor yaitu genangan air, got terbuka dan
empang ikan.[12]

2. Perilaku makan
Nyamuk Culex sp suka menggigit manusia dan hewan terutama pada
malam hari. Nyamuk Culex sp suka menggigit binatang peliharaan,
unggas, kambing, kerbau dan sapi. Menurut penelitian yang lalu
kepadatan menggigit manusia di dalam dan di luar rumah nyamuk Culex
sp hampir sama yaitu di luar rumah (52,8%) dan kepadatan menggigit di
dalam rumah (47,14%), namun ternyata angka dominasi menggigit umpan
nyamuk manusia di dalam rumah lebih tinggi (0,64643) dari nyamuk
menggigit umpan orang di luar rumah (0,60135).
3. Kesukaan beristirahat
Setelah nyamuk menggigit orang atau hewan nyamuk tersebut akan
beristirahat selama 2 sampai 3 hari. Setiap spesies nyamuk mempunyai
kesukaan beristirahat yang berbeda-beda.
Nyamuk Culex sp suka beristirahat dalam rumah. Nyamuk ini sering
berada dalam rumah sehingga di kenal dengan nyamuk rumahan.

4. Aktifitas menghisap darah


Nyamuk Culex sp suka menggigit manusia dan hewan terutama pada
malam hari (nocturnal). Nyamuk Culex sp menggigit beberapa jam setelah
matahari terbenam sampai sebelum matahari terbit. Dan puncak
menggigit nyamuk ini adalah pada pukul 01.00-02.00.

Habitat
Nyamuk dewasa merupakan ukuran paling tepat untuk memprediksi
potensi penularan arbovirus. Larva dapat di temukan dalam air yang
mengandung tinggi pencemaran organik dan dekat dengan tempat tinggal
manusia. Betina siap memasuki rumah-rumah di malam hari dan
menggigit manusia dalam preferensi untuk mamalia lain.

Faktor Lingkungan Fisik yang Mempengaruhi Nyamuk Culex sp

1. Suhu
Faktor suhu sangat mempengaruhi nyamuk Culex sp dimana suhu yang
tinggi akan meningkatkan aktivitas nyamuk dan perkembangannya bisa
menjadi lebih cepat tetapi apabila suhu di atas 350C akan membatasi
populasi nyamuk. Suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk berkisar
antara 20 0C 30 0C. Suhu udara mempengaruhi perkembangan virus
dalam tubuh nyamuk.
2. Kelembaban Udara
Kelembaban udara adalah banyaknya uap air yang terkandung dalam
udara yang dinyatakan dalam (%). Jika udara kekurangan uap air yang
besar maka daya penguapannya juga besar. Sistem pernafasan nyamuk
menggunakan pipa udara (trachea) dengan lubang-lubang pada dinding
tubuh nyamuk (spiracle). Adanya spiracle yang terbuka lebar tanpa ada
mekanisme pengaturannya. Pada saat kelembaban rendah menyebabkan
penguapan air dalam tubuh sehingga menyebabkan keringnya cairan
tubuh. Salah satu musuh nyamuk adalah penguapan, kelembaban
mempengaruhi umur nyamuk, jarak terbang, kecepatan berkembang biak,
kebiasaan menggigit, istirahat dan lain-lain.[8]

3. Pencahayaan
Pencahayaan ialah jumlah intensitas cahaya menuju ke permukaan per
unit luas. Merupakan pengukuran keamatan cahaya tuju yang diserap.
Begitu juga dengan kepancaran berkilau yaitu intensitas cahaya per unit
luas yang dipancarkan dari pada suatu permukaan. Dalam unit terbitan SI,
kedua-duanya diukur dengan menggunakan unit lux (lx) atau lumen per
meter persegi (cd.sr.m-2). Bila dikaitkan antara intensitas cahaya terhadap
suhu dan kelembaban, hal ini sangat berpengaruh. Semakin tinggi atau
besar intensitas cahaya yang dipancarkan ke permukaan maka keadaan
suhu lingkungan juga akan semakin tinggi. Begitu juga dengan
kelembaban, semakin tinggi atau besar intensitas cahaya yang
dipancarkan ke suatu permukaan maka kelembaban di suatu lingkungan
tersebut akan menjadi lebih rendah[17].

Pengendalian
Pengendalian nyamuk dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
1. Pengendalian secara mekanik
Cara ini dapat di lakukan dengan mengubur kaleng-kaleng atau tempat-
tempat sejenis yang dapat menampung air hujan dan membersihkan
lingkungan yang berpotensial di jadikan sebagai sarang nyamuk Culex sp
misalnya got dan potongan bambu. Pengendalian mekanis lain yang
dapat dilakukan adalah pemasangan kelambu dan pemasangan
perangkap nyamuk baik menggunakan cahaya lampu dan raket pemukul.

2. Pengendalian secara biologi


Intervensi yang di dasarkan pada pengenalan organisme pemangsa,
parasit, pesaing untuk menurunkan jumlah Culex sp. Ikan pemangsa larva
misalnya ikan kepala timah, gambusia ikan mujaer dan nila di bak dan
tempat yang tidak bisa ditembus sinar matahari misalnya tumbuhan bakau
sehingga larva itu dapat di makan oleh ikan tersebut dan merupakan dua
organisme yang paling sering di gunakan. Keuntungan dari tindakan
pengendalian secara biologis mencakup tidak adanya kontaminasi kimiawi
terhadap lingkungan.[8] Selain dengan penggunaan organisme pemangsa
dan pemakan larva nyamuk pengendalian dapat di lakukan dengan
pembersihan tanaman air dan rawa-rawa yang merupakan tempat
perindukan nyamuk, menimbun, mengeringkan atau mengalirkan
genangan air sebagai tempat perindukan nyamuk dan membersihkan
semak-semak di sekitar rumah dan dengan adanya ternak seperti sapi,
kerbau dan babi dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia
apabila kandang ternak di letakkan jauh dari rumah.[10]

3. Pengendalian secara kimia.


Penggunaan insektisida secara tidak tepat untuk pencegahan dan
pengendalian infeksi dengue harus dihindarkan. Selama periode sedikit
atau tidak ada aktifitas virus dengue, tindakan reduksi sumber larva
secara rutin, pada lingkungan dapat dipadukan dengan penggunaan
larvasida dalam wadah yang tidak dapat dibuang, ditutup, diisi atau
ditangani dengan cara lain.
Insektisida

Insektisida adalah bahan-bahan kimia yang digunakan untuk


memberantas serangga. Berdasarkan stadium serangga yang dibunuhnya
maka insektisida di bagi menjadi imagosida yang ditujukan kepada
serangga serta ovisida yang ditujukan untuk membunuh telurnya.[16]

I. Permetrhine
Merupakan senyawa insektisida piretroid generasi ketiga pertama
yang bersifat fotostabil, dan pada awalnya digunakan dalam
pertanian. Daya kontaknya cepat, dan daya residunya sedang
hingga baik. Toksisitas iritasi pada mamalia rendah, sehingga
banyak diminati pada program pengendalian hama pemukiman.
Senyawa ini tidak menyebabkan iritasi pada manusia sehingga
tepat digunakan untuk pengendalian vektor penyakit. Insektisida ini
disebarluaskan dalam berbagai formulasi, baik aerosol, oil spray,
konsentrat space spray, dan pencelupan. Pencelupan kelambu dan
korden, serta seragam tentara biasanya menggunakan produk-
produk berbahan aktif permethrine.
II. Payung Perangkap Nyamuk (Impregnated Umbrella)
Payung perangkap adalah alat yang menyerupai payung, dengan
atap berupa kain berwarna hitam. Atap payung bagian dalam diberi
sirip atau kain yang digantungkan atau dijahit di sela-sela jeruji,
dengan ukuran 40x40 cm. Kain ini sebagai tempat untuk hinggap
dan bersembunyi bagi nyamuk Culex sp. Atap payung dan sirip-
siripnya merupakan satu kesatuan bangunan payung yang dapat
dilepas dari rangkanya untuk dicelup dengan insektisida. Payung
perangkap ini dilengkapi dengan tiang penyangga setinggi 80 cm.
Kain penutup dan sirip-sirip payung dicelup dengan menggunakan
insektisida.
Cara membuat impregnated umbrella
Cara membuat impregnated umbrella dapat dilakukan dengan
Menggunting kain sesuai dengan pola payung. Melakukan uji daya serap
kain 4040 cm terhadap air dengan cara air 300 ml dimasukkan ke dalam
gelas ukur ukuran 1000 ml. Setelah itu kain berukuran 4040 cm di
masukkan ke dalam gelas ukur yang terisi air, seluruh kain harus
terendam air, kemudian kain yang terendam dikeluarkan dari gelas ukur
sampai air tidak menetes. Sisa air yang ada dalam gelas diukur. Selisih air
awal (300 ml) dengan sisa air merupakan adanya daya serap kain (DS)
terhadap air. Dengan rumus :
DS (ml)= vol air awal (ml) - vol air akhir (ml)
Menghitung kebutuhan insektisida yang digunakan adalah permethrine
dengan dosis 2 ml. Rumus : luas payung/10000 4 ml.
Mencampurkan insektisida permethrine 2 ml dengan air 88 ml untuk kain
jenis katun hitam, dan 2 ml dengan air 218 ml untuk kain hitam kaos ke
dalam kantong plastik. Memasukkan kain hitam berbahan kaos, dan kain
hitam berbahan katun, berdasarkan larutan insektisida yang telah dibuat
ditekan dan diremas sampai semua permukaan terlumuri oleh suspensi
insektisida. Setelah itu di rentangkan pada permukaan datar dengan alas
plastik di tempat teduh di bolak-balik sampai kering. Kontrol I (negatif),
kain kaos hitam, katun hitam hanya dicelup dengan air tanpa insektisida.
Kontrol II (positif), kain kaos hitam, katun hitam dicelup dengan
insektisida. Kemudian dibiarkan kering pada suhu kamar (tidak terkena
matahari) dengan cara di rentangkan pada permukaan datar dengan alas
plastik, kemudian memasang kain pada kerangka payung dan sirip-
siripnya.

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/115/jtptunimus-gdl-sutyoagusw-5709-
3-babiis-i.pdf

Anda mungkin juga menyukai