Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki iklim tropis


yang heterogen dan rentan terhadap dampak perubahan iklim regional dan
global. Perubahan iklim makro dan mikro dapat mempengaruhi penyebaran
penyakit menular, termasuk penyakit tular vector nyamuk. Peningkatan
kelembaban dan curah hujan berbanding lurus dengan peningkatan kepadatan
nyamuk, sedangkan suhu mempunyai batas optimum bagi perkembangbiakan
nyamuk antara 25-270 C. Sektor kesehatan merupakan salah satu sektor yang
rentan terhadap dampak perubahan iklim, sehingga antisipasi perubahan
iklim terhadap sector kesehatan di Indonesia dan lingkungannya merupakan
hal yang sangat penting (Suwito dkk, 2010).

Nyamuk merupakan salah satu ektoparasit pengganggu yang


merugikan kesehatan manusia. Hal tersebut disebabkan kemampuannya
sebagai vector berbagai penyakit. Salah satunya adalah Anopheles sp. yang
merupakan vector dari penyakit malaria. Anopheles dapat dinyatakan sebagai
vector penyakit malaria di suatu daerah apabila terbukti positif mengandung
sporozoit dalam kelenjar ludahnya. Di Indonesia sebanyak 22 spesies
nyamuk Anopheles yang telah dikonfirmasi sebagai vector penyakit malaria
dengan tempat perindukan yang berbeda-beda (Fahmi dkk, 2014).

Data WHO menunjukkan jumlah kasus malaria yang terjadi di Asia


Tenggara diperkirakan 28 juta jiwa, sedangkan di Indonesia mencapai
544.470 jiwa. Angka kematian yang terjadi di Asia Tenggara akibat malaria
mencapai hingga 38.000 jiwa. Di Indonesia sendiri kematian akibat malaria
dilaporkan mencapai 900 jiwa (WHO, 2011).

Hingga saat ini, penanganan kasus malaria masih terkendala, salah


satunya karena keterbatasan informasi mengenai identifikasi cirri morfologi
dan identifikasi secara molekuler pada nyamuk Anopheles sebagai vector
baik dari daerah dengan endemisitas tinggi maupun rendah. Identifikasi
morfologi yang tepat dapat berguna untuk mengetahui karakter dan jumlah
spesies sehingga dapat memberikan gambaran keanekaragaman Anopheles di
suatu daerah, sehingga diharapkan dapat digunakan sebagai landasan ilmiah
dalam penanganan kasus malaria sesuai dengan daerah/geografi
penyebarannya (Fahmi dkk, 2014).

B. Tujuan
1. Mengetahui klasifikasi nyamuk Anopheles spp
2. Mengetahui morfologi nyamuk Anopheles spp
3. Mengetahui siklus hidup nyamuk Anopheles spp
4. Mengetahui perilaku hidup nyamuk Anopheles spp
5. Mengetahui faktor lingkungan yang memengaruhi perkembangbiakan
nyamuk Anopheles spp
6. Mengetahui penyakit yang disebabkan oleh nyamuk Anopheles spp
7. Mengetahui penegndalian yang dapat dilakukan pada nyamuk
Anopheles spp
BAB II
ISI

Vektor adalah arthropoda yang dapat memindahkan/menularkan suatu


infectious agent dari sumber infeksi kepada induk semang yang rentan
(susceptible host). Vektor dapat merugikan manusia dan merusak lingkungan
hidup manusia. Oleh karena itu, adanya vektor harus ditanggulangi, sekalipun
demikian tidak mungkin kita membasmi vektor tersebut sampai ke akar-
akarnya, melainkan kita hanya mampu berusaha mengurangi atau
menurunkan populasi vektor tersebut ke tingkat tertentu yang tidak
mengganggu atau membahayakan kehidupan manusia. Nyamuk merupakan
salah satu jenis vektor yang dapat mengganggu kesehatan manusia (Suwito
dkk, 2010).

Nyamuk adalah organisme hidup yang terdapat melimpah di alam


hampir semua tempat, dianggap merugikan karena gigitannya mengganggu
kehidupan manusia, yaitu menyebabkan dermatitis dan menularkan berbagai
penyakit. Spesies nyamuk yang dapat menjadi penular penyakit, diantaranya
genus Anopheles, Culex, Aedes dan Mansonia yang menularkan malaria,
filaria, demam berdarah, Japanese encephalitis dan lainnya (Demster,J.P. and
Mclean,I.F.G. 1998).

Di Indonesia telah dilaporkan 80 spesies Anopheles tetapi hanya 20


spesies diantaranya telah terbukti dapat menularkan Plasmodium dan tersebar
di berbagai Pulau. Ekosistem Kepulauan sangat berpengaruh terhadap vektor
sehingga menyebabkan populasi vektor tidak stabil, beradaptasi dengan
kelembaban tinggi akibatnya membatasi jarak terbang, penyebarannya
berbentuk cluster, mencari tempat hinggap yang lembab (di luar rumah),
banyak kematian di musim kemarau (Dit.Jen P2M dan PLP. 2006).
A. Klasifikasi Anopheles
Anopheles dapat diklasifikasikan ke dalam :
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Insecta
Order : Diptera
Superfamily : Culicoidea
Family : Culicidae
Subfamily : Anophelinae
Genus : Anopheles (Safar, 2010).

B. Morfologi

(Sumber: http://fr.impact malaria.com/web/formation_paludisme/


morphologie_taxonomie/larves_nymphes_anopheles/morphologie_larves).

Gambar 2.1
Larva Anopheles sp: (1. a) Thorax, (1.b) Palmate hairs, dan (1.
c) Ventral brush.

Telur Anopheles sp berbentuk seperti perahu yang bagian bawahnya


konveks dan bagian atasnya konkaf dan diletakkan satu per satu di atas
permukaan air serta memiliki sepasang pelampung yang terletak di bagian
lateral. Di tempat perindukan, larva Anopheles mengapung sejajar dengan
permukaan air dengan bagian badan yang khas yaitu spirakel pada bagian
posterior abdomen, batu palma pada bagian lateral abdomen, dan tergal. Telur
Anopheles sp berbentuk seperti perahu yang bagian bawahnya konveks dan
bagian atasnya konkaf dan diletakkan satu per satu di atas permukaan air
serta memiliki sepasang pelampung yang terletak di bagian lateral (Safar,
2010).

Nyamuk dewasa Anopheles berukuran 0,413 cm dengan tubuh tampak


rapuh namun mempunyai struktur dan fungsi tubuh yang diperkuat oleh
rangka exo dan endoskeleton yang kokoh untuk melindungi alatalat dalam
yang lembut. Organ dan sistem yang lengkap untuk kehidupannya seperti
pada manusia yaitu ada otot, respirasi, sirkulasi, ekskresi, syaraf, pencernaan,
indra dan reproduksi (ovary sangat lembut). Organ-organ dan system-sistem
yang lengkap untuk kehidupannya sama seperti pada manusia adanya saraf,
pencernaan otot, ekskresi, sirkulasi, pernafasan, alat reproduksi dan indera.
Stadium pra dewasa nyamuk melakukan aktifitas kehidupan dan berkembang
di dalam air (Stojanovicj, C.J and Scoth, H. 1996).

C. Siklus Hidup
Nyamuk mempunyai siklus hidup melalui empat stadium yaitu
stadium telur, larva, pupa dan nyamuk dewasa. Sehingga nyamuk
dikelompokan insekta golongan bermetamorfosa sempurna. Stadium telur,
larva dan pupa dari nyamuk ini hidup dan berkembang biak di dalam air.
Stadium telur berukuran dengan panjang 6 mm dan lebar 1,25 mm, dengan
sisi ada pelampung, menetas setelah 12 hari dalam keadaan normal Telur
nyamuk berkisar antara 100 sampai 300 butir (rata-rata 150 butir sekali
bertelur) kemudian menetas jadi larva yang mengalami perkembangan (4
instar) selama 4 sampai 8 hari. Kemudian berkembang menjadi pupa, selama
2-3 hari dan menjadi dewasa. Nyamuk betina Anopheles mempunyai umur
rata-rata 25,6 hari, khusus nyamuk betina An .aconitus dapat mencapai umur
8-41 hari dengan rata-rata 24 hari. Nyamuk jantan maupun betina dapat
bertahan hidup sekitar 25 hari: 50% nyamuk jantan hidup lebih dari 13 hari
dan nyamuk betina lebih dari 12 hari (Stojanovicj, C.J and Scoth, H. 1996).

Anopheles mengalami metamorfosis sempurna yaitu stadium telur,


larva, kepompong, dan dewasa yang berlangsung selama 7-14 hari. Tahapan
ini dibagi ke dalam 2 (dua) perbedaan habitatnya yaitu lingkungan air
(aquatik) dan di daratan (terrestrial). Nyamuk dewasa muncul dari
lingkungan aquatik ke lingkungan terresterial setelah menyelesaikan daur
hidupnya. Oleh sebab itu, keberadaan air sangat dibutuhkan untuk
kelangsungan hidup nyamuk, terutama masa larva dan pupa. Nyamuk
Anopheles betina dewasa meletakkan 50-200 telur satu persatu di dalam air
atau bergerombol tetapi saling lepas. Telur Anopheles mempunyai alat
pengapung dan untuk menjadi larva dibutuhkan waktu selama 2 sampai 3
hari, atau 2 sampai 3 minggu pada iklim-iklim lebih dingin. Pertumbuhan
larva dipengaruhi faktor suhu, nutrien, ada tidaknya binatang predator yang
berlangsung sekitar 7 sampai 20 hari bergantung pada suhu. Kepompong
(pupa) meruapakn stadium terakhir di lingkungan aquatic dan tidak
memerlukan makanan. Pada stadium ini terjadi proses pembentukan alat-alat
tubuh seperti alat kelamin, sayap dan kaki. Lama stadium pupa pada nyamuk
jantan antara 1 sampai 2 jam lebih pendek dari pupa nyamuk betina,
karenanya nyamuk jantan akan muncul kira-kira satu hari lebih awal daripada
nyamuk betina yang berasal dari satu kelompok telur. Stadium pupa ini
memakan waktu lebih kurang 2 sampai dengan 4 hari (Rinidar, 2010).

Gambar 2.2 Siklus Hidup Nyamuk Anopheles

D. Perilaku Nyamuk Anopheles spp


Nyamuk betina merupakan nyamuk yang aktif menggigit karena
memerlukan darah untuk perkembangan telurnya. Pada saat nyamuk aktif
mencari darah maka nyamuk akan terbang berkeliling untuk mencari
rangsangan dari hospes yang cocok. Beberapa faktor seperti keberadaan
hospes, tempat menggigit, frekuensi menggigit dan waktu menggigit
merupakan hal dasar yang perlu diperhatikan dalam melakukan pengamatan
perilaku nyamuk menghisap darah.

Berdasarkan obyek yang digigit (hospes), nyamuk dibedakan menjadi


antrofilik, zoofilik, dan indiscriminate biter. Nyamuk antrofilik adalah
nyamuk yang lebih suka menghisap darah manusia, dan dikategorikan
zoofilik apabila nyamuk lebih suka menghisap darah hewan. Apabila nyamuk
menghisap darah tanpa kesukaan tertentu terhadap hospes disebut
indiscriminate biter. Nyamuk akan menghisap darah dari hospes lain yang
tersedia apabila darah hospes yang disukai tidak ada. Hal ini disebabkan
adanya suhu dan kelembaban yang dapat menyebabkan nyamuk berorientasi
terhadap hospes tertentu dengan jarak yang cukup jauh dan adanya bau
spesifik dari hospes (Depkes, 2004).

Selain berdasarkan objek yang digigit, berdasarkan tempat


menggigitnya nyamuk juga dapat dibedakan menjadi eksofagik dan
endofagik. Nyamuk dikatakan eksofagik apabila nyamuk lebih suka
menggigit di luar rumah dan dikatakan endofagik apabila nyamuk lebih suka
menggigit di dalam rumah. Namun nyamuk yang bersifat eksofagik dapat
bersifat endofagik apabila terdapat hospes yang cocok di dalam rumah
(Rumbiak, 2006).

Frekuensi menggigit nyamuk dipengaruhi oleh siklus gonotropik dan


waktu mengggigit. Nyamuk dengan siklus gonotropik dua hari akan lebih
efisien untuk menjadi vektor dibandingkan dengan nyamuk yang mempunyai
siklus gonotropik tiga hari. Nyamuk yang menggigit beberapa kali untuk satu
siklus gonotropik akan menjadi vektor yang lebih efisien dari pada nyamuk
yang hanya menggigit satu kali untuk satu siklus gonotropiknya. Siklus
gonotropik juga dipengaruhi oleh suhu dan tersedianya genangan air untuk
tempat bertelur. Waktu menggigit harus diperhatikan, seperti nyamuk
Anopheles yang menggigit pada malam hari. Pada waktu malam hari pada
umumnya manusia sedang beristirahat atau sedang tidur, mungkin satu kali
menggigit sudah cukup untuk satu siklus gonotropik (Depkes RI, 2001).
Berdasarkan waktu menggigit, secara umum nyamuk Anopheles aktif
mencari darah pada waktu malam hari, mulai dari senja hingga tengah 11
malam tetapi ada pula yang mulai tengah malam hingga menjelang pagi
(Depkes, 2004).

E. Faktor Lingkungan Yang Memengaruhi Perkembangbiakan Nyamuk


Anopheles spp

Tempat perindukan nyamuk Anopheles spp adalah genangan air, baik air
tawar maupun air payau, tergantung pada jenis nyamuknya. Air tidak boleh
tercemar dan harus selalu berhubungan dengan tanah. Tempat perindukan ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kadar garam, kejernihan dan flora.
Tempat perindukan di perairan tawar berupa sawah, mata air, terusan, kanal,
genangan di tepi sungai, bekas jejak kaki, roda kenderaan, dan bekas lobang
galian (Ernayanti dkk, 2010).

1. Lingkungan Fisik
a. Suhu
Suhu udara mempengaruhi panjang pendeknya siklus
perkembangbiakan nyamuk. Menurut Thomson dalam Marsaulina
(2002), waktu tetas telur Anopheles sangat dipengaruhi oleh suhu air
pada tempat perindukannya, makin tinggu suhu air maka waktu tetas
akan semakin singkat.
b. Kelembaban
Kelembaban dapat mempengaruhi perkembangan nyamuk Anopheles
karena kelambaban yang rendah dapat memperpendek umur nyamuk.
Di Punjab, India Universitas Sumatera Utarakelembaban paling rendah
63 % untuk memungkinkan terjadinya penularan. Kelembaban
mempengaruhi kecepatan berkembang biak, kebiasaan menggigit,
istirahat nyamuk. Rata-rata kelembaban minimal adalah 60%, relatif
kelembaban tertinggi bagi hidup nyamuk memungkinkan lebih lama
dalam mentransmisi infeksi pada beberapa orang (Marsaulina, 2002).
c. Hujan
Hujan mempengaruhi terjadinya breeding places. Curah hujan yang
berlebihan dapat mengubah aliran kecil air menjadi aliran deras hingga
banyak larva dan pupa serta telur terbawa oleh arus air. Menurut
Depkes RI dalam Marsaulina (2002) nyamuk Anopheles
berkembangbiak dalam jumlah besar.
d. Sinar Matahari
Menurut penelitian Ompusunggu dkk (1992) larva An.sundaicus dan
An.subpictus hampir selalu ditemukan bersama-sama di lagun yang
berjarak 0-10 meter dari pantai. Kondisi lagun pada saat penemuan
kedua spesies ini adalah sebagai berikut: lebih sering ditemukan di air
bersih daripada air kotor, hampir selalu ada algae, lebih sering dengan
bahan-bahan terapung, hampir selalu ada sinar matahari langsung
(Ompusunggu dkk, 1992).
Menurut Depkes dalam Marsaulina 2002 pengaruh sinar matahari
terhadap larva nyamuk berbeda-beda. An. sundaicus lebih suka tempat
yang sedikit cahaya matahari sebaliknya An. hyrcanus lebih menyukai
tempat terbuka, An. barbirostris dapat hidup baik di tempat teduh
maupun terang. Cahaya matahari langsung akan membuat keadaan
yang tidak meyenangkan bagi aktivitas nyamuk.
e. Arus air
Arus air mempengaruhi perkembangan nyamuk Anopheles karena arus
air yangt deras dapat merusak tempat perindukan nyamuk. Larva
An.maculatus mempunyai habitat khusus yaitu di parit atau sungai
kecil berbatu dengan air mengalir perlahan atau tanpa aliran pada
daerah pegunungan (Marsaulina, 2002).

f. Kedalaman Air
Jentik Anopheles mampu berenang pada permukaan air paling dalam 1
meter, maka tempat-tempat dengan kedalaman lebih 1 meter tidak
ditemukan jentik Anopheles spp (Marsaulina, 2002).
2. Lingkungan Kimia
a. Salinitas
Menurut Takken dalam Marsaulina (2002), berbagai spesies
nyamuk Anopheles spp. Dapat digolongkan menurut kandungan garam
dari air di habitatnya ada tiga, yaitu spesies air asin, air payau, ataupun
air tawar. Salinitas optimum untuk perkembangan Anopheles
sundaicus di Indonesia adalah 12-180/0o. Berdasarkan penelitian
Ompusunggu (1992) di Kabupaten Sikka, Flores menemukan larva
Anopheles sundaicus dan Anopheles subpictus hidup pada kadar garam
yang sangat bervariasi antara 2,2-3 0/0o. Salinitas optimum ini tidak
selalu sama di berbagai tempat untuk perkembangan Anopheles
sundaicus. Larva An. barbirostris lebih sering ditemukan di sungai
yang mengalir dan lagun dengan kadar garam berkisar antara 0,2-
100/0o. Larva An. vagus ditemukan mampu hidup pada lagun dengan
kadar garam 0,4-5,0 0/0o (Ompusunggu, 1992).
Anopheles sundaicus yang dikenal sebagai vektor malaria disana
banyak ditemukan di sawah, kolam-kolam yang tidak terpelihara dan
genangan air di sekitar rumah yang banyak ditumbuhi lumut. Salinitas
0 o.
air sekitar 15-28 /
0 Bone-Webster dan Swellengrebel dalam
Ompusunggu (1992) menyatakan bahwa larva jenis nyamuk An.
sundaicus bisa hidup mulai dari air tawar hingga air payau yang
berkadar garam 8,6 0/0o atau lebih (Blondini dkk, 2003).
b. pH dan Karbondioksida (CO2)
pH air mempengaruhi tempat perindukan nyamuk Anopheles
spp. Menurut Marsaulina (2002) derajat keasaman (pH) air digunakan
dalam pengaturan respirasi dan sistem enzim dalam tubuh larva
nyamuk. pH air sangat bervariasi dengan bertambahnya kedalaman,
pH cenderung menurun (Marsaulina, 2002).
Penurunan pH diduga berhubungan dengan kandungan CO2
karena setiap pertambahan kedalaman air konsentrasi CO2 juga akan
bertambah. Pada perairan yang telah tercemar oleh bahan organik
kandungan CO2. CO2 ini semakin tinggi sehingga meracuni kehidupan
organisme perairan. Karbondioksida di tempat perindukan larva
Anopheles umumnya tidak ada korelasinya secara langsung terhadap
kehidupan larva. Hal ini disebabkan oleh larva Anopheles hidup di
permukaan air dengan spirakelnya selalu berontak dengan udara bebas,
sehingga larva mengambil oksigen untuk pernafasannya langsung dari
udara bebas.
3. Lingkungan Biologi
a. Vegetasi air
Vegetasi air dapat mempengaruhi kehidupan larva seperti pohon
bakau, ganggang. Tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan berbagai
jenis tumbuhan lain dapat mempengaruhi kehidupan larva nyamuk
karena dapat menghalangi sinar matahari (Irsanya, 2005).
Menurut Rao dalam Marsaulina (2002) tumbuhan air di tempat
perindukan sangat berperan terhadap keberadaan larva nyamuk
Anopheles. Hal ini disebabkan oleh tumbuhan air dapat berfungsi
sebagai tempat penambatan diri bagi larva nyamuk saat beristirahat di
atas permukaan air, tempat berlindung dari arus air dan serangan
predator.
b. Hewan Predator
Adanya berbagai jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepala
timah (panchax sp.), gambusia, nila, mujahir dan lain-lain akan
mempengaruhi populasi nyamuk di suatu daerah. Coelentarata adalah
hidra air tawar yang dapat menghancurkan larva instar pertama dan
instar kedua di tempat perkembangbiakan nyamuk dalam air
tergenang. Serangga pemangsa di air, larva Dyscidae dan
Hydrophilidae (Coleoptera) adalah musuh dari nyamuk (Marsaulina,
2002).
c. Makanan
Lingkungan tempat perindukan nyamuk, khususnya larva
nyamuk Anopheles banyak ditemukan di perairan dangkal karena
berhubungan dengan cara makan dan ketersediaan bahan makanan
yang terdapat di permukaan air (Marsaulina, 2002). Larva nyamuk
bergantung pada mikroorganisme yang menjadi makanannya,
zooplankton dan fitoplankton. Pada stadium pupa tidak memerlukan
makanan, karena pupa merupakan stadium yang inaktif. Meskipun
demikian, proses kehidupan tetap ada karena pupa tetap memerlukan
zat asam (O2) yang masuk ke dalam tubuhnya melalui corong nafas.
Stadium ini memerlukan waktu kira-kira 1-2 hari.

F. Penyakit akibat anopheles


Menurut Hiswani (2004) Penyakit malaria adalah salah satu penyakit
yang penularannya melalui gigitan nyamuk anopheles betina. Berdasarkan
survai unit kerja SPP (serangga penular penyakit) telah ditemukan di
Indonesia ada 46 species nyamuk Anopheles yang tersebar diseluruh
Indonesia. Dari spesies-spesies nyamuk tersebut ternyata ada 20 species yang
dapat menularkan penyakit malaria. Dengan kata lain di Indonesia ada 20
species nyamuk anopheles yang berperan sebagai vektor penyakit malaria.
Penyebab penyakit malaria adalah genus plasmodia family plasmodiidae dan
ordo coccidiidae. Sampai saat ini di Indonesia dikenal 4 macam parasit
malaria yaitu:
1. Plasmodium Falciparum penyebab malaria tropika yang sering
menyebabkan malaria yang berat.
2. Plasmodium vivax penyebab malaria tertina.
3. Plasmodium malaria penyebab malaria quartana.
4. Plasmodium ovale jenis ini jarang sekali dijumpai di Indonesia, karena
umumnya banyak kasusnya terjadi di Afrika dan Pasifik Barat.
Pada penderita penyakit malaria, penderita dapat dihinggapi oleh lebih
dari satu jenis plasmodium. Infeksi demikian disebut infeksi campuran
(mixed infection). Dari kejadian infeksi campuran ini biasanya paling banyak
dua jenis parasit, yakni campuran antara plasmodium falcifarum dengan
plasmodium vivax atau P. malariae. Kadang-kadang di jumpai tiga jenis
parasit sekaligus meskipun hal ini jarang terjadi,. infeksi campuran ini
biasanya terjadi terdapat di daerah yang tinggi angka penularannya.
Penyebaran malaria ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya
Agent, Host (penjamu) dan lingkungan yang saling berinteraksi. Agent
(parasit) hidup dalam tubuh manusia (intermediate) dan tubuh nyamuk
(definitif). Dalam tubuh nyamuk agent berkembang menjadi bentuk infektif,
siap menularkan ke manusia yang berfungsi sebagi host intermediate bisa
terinfeksi dan menjadi tempat berkembangnya agent (Vytilingam et all.
1992).

G. Pengendalian Nyamuk Anopheles


1. Pengendalian yang mungkin dan sudah di lakukan
Nyamuk Anopheles dewasa ini banyak sekali metode pengendalian
vektor dan binatang pengganggu yang telah dikenal dan dimanfaatkan oleh
manusia. Dari berbagai metode yang telah dikenal dapat dikelompokkan
sebagai berikut :
a. Pengendalian dengan cara menghindari/mengurangi kontak atau
gigitan nyamuk Anopheles.
1) Penggunaan kawat kasa pada ventilasi. Dimana keadaan rumah
ventilasi udara dipasangi atau tidak dipasangi kawat kasa ini berfungsi
untuk mencegah nyamuk masuk ke dalam rumah.
2) Menggunakan kelambu pada waktu tidur. Kebiasaan menggunakan
kelambu pada tempat yang biasa di pergunakan sebagai tempat tidur
dan di gunakan sesuai dengan tata cara penggunaan kelambu untuk
tempat tidur dan waktu penggunaan kelambu saat jam aktif nyamuk
mencari darah.
3) Menggunakan zat penolak (Repellent). Untuk kebiasaan penggunaan
repellent yang digunakan pada saat atau waktu nyamuk menggigit
atau pada waktu akan tidur malam atau pada waktu lain di malam hari.
b. Pengendalian dengan cara genetik dengan melakukan sterelisasi pada
nyamuk dewasa.
c. Pengendalian dengan cara menghilangkan atau mengurangi tempat
perindukan, yang termasuk kegiatan ini adalah :
1) Penimbunan tempat-tempat yang dapat menimbulkan genangancair.
2) Pengeringan berkala dari satu sistem irigasi.
3) pengaturan dan perbaikan aliran air.
4) Pembersihan tanaman air dan semak belukar.
5) Pengaturan kadar garam misalnya pada pembuatan tambak ikan atau
udang.
d. Pengendalian Cara Biologi.
Pengendalian dengan cara ini dapat dilakukan dengan
memanfaatkan musuh alaminya (predator) atau dengan menggunakan
protozoa, jamur dan beberapa jenis bakteri serta jenis-jenis nematoda.
e. Pengendalian Cara Fisika-Mekanik.
Pengendalian dengan Fisika-Mekanik ini menitik beratkan usahanya
pada penggunaan dan memanfaatkan faktor-faktor iklim kelembaban suhu
dan cara-cara mekanis.
f. Pengendalian dengan cara pengolaan lingkungan (Environmental
management).
Dalam pengendalian dengan cara pengelolaan lingkungan dikenal
dua cara yaitu .
1) Perubahan lingkungan (Environmental Modivication).
Meliputi kegiatan setiap pengubahan fisik yang permanen
terhadap tanah, air dan tanaman yang bertujuan untuk mencegah,
menghilangkan atau mengurangi tempat perindukan nyamuk tanpa
menyebabkan pengaruh yang tidak baik terhadap kuwalitas
lingkungan hidup manusia. Kegiatan ini antara lain dapat berupa
penimbunan (filling), pengertian (draining), perataan permukaan
tanah dan pembuatan bangunan, sehingga vektor dan binatang
penganggu tidak mungkin hidup.
2) Manipulasi Lingkungan (Environment Manipulation)
Sehingga tidak memungkinkan vektor dan binatang
pengganggu berkembnang dengan baik. Kegiatan ini misalnya dengan
merubah kadar garam (solinity), pembersihan tanaman air atau lumut
dan penanaman pohon bakau pada pantai tempat perindukan nyamuk
sehingga tempat itu tidak mendapatkan sinar matahari.
2. Pengendalinan Dengan Cara Kimia (Chemical Control).
Pengendalian dengan cara kimia (Chemical Control) ini disebut
juga pengendalian dengan menggunakan pestisida. Pestisida adalah suatu
zat kimia yang dapat membunuh vektor dan binatang pengganggu.
Disamping pengendalian secara langsung kepada vektor, pengendalian
secara kimiawi juga bisa dilakukan terhadap tanaman yang menunjang
kehidupan vektor dan binatang penggangu dengan menggunakan
herbisida. Penggunaan pestisida untuk mengendalikan vektor dan binatang
pengganggu memang sangat efektif tetapi dapat menimbulkan masalah
yang serius karena dapat merugikan manusia dan lingkungannya.
3. Pemanfaatan ekstrak daun zodiak
Klasifikasi tentang bunga zodiak
Urutan penggolongan klasifikasi.
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Sub kingdom : Trocheobionto (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan Biji)
Divisi : Magnoliopsida (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas : Rosidoe
Ordo : Sapindoles
Famili : Ruteceae
Genus : Evodia
Spesies : Evodia Suaveolens Scheff

Zodiak merupakan tanaman asli Indonesia yang berasal dari


daerah Irian (Papua). Oleh penduduk setempat tanaman ini biasa
digunakan untuk menghalau serangga, khususnya nyamuk apabila
hendak pergi ke hutan, yaitu dengan cara menggosokkan daunnya ke
kulit. Selain itu tanaman yang memiliki tinggi antara 50 cm hingga 200
cm (rata-rata 75 cm) di percaya mampu mengusir nyamuk dan
serangga lainnya dari sekitar tanaman. Oleh sebab itu, tanaman ini
sering di tanam di pekarangan ataupun di pot untuk menghalau
nyamuk. Aroma yang dikeluarkan oleh tanaman zodia cukup wangi.
Biasanya tanaman ini mengeluarkan aroma apabila tanaman tergoyah
oleh tiupan angin hingga di antara daunnya saling menggosok maka
keluarlah aroma yang wangi. Saat ini sebagian masyarakat menyimpan
tanaman zodia pada pot didalam ruangan sehingga selain memberikan
aroma yang khas, juga aromanya dapat menghalau nyamuk didalam
ruangan. Namun demikian tidak berarti bahwa nantinya di dalam
ruangan terdapat bangkai nyamuk sebagai akibat dari tanaman ini,
nyamuk hanya terusir karena tidak menyukai aroma dari tanaman ini.
Penyimpanan tanaman juga sering diletakkan disekitar tempat angin
masuk ke dalam ruangan, nyamuk yang hendak masukpun terhalau
(Marsaulina, 2002).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Anopheles spp termasuk ke dalam kelas insectisida
2. Larva nyamuk Anopheles spp terdiri dari thorax, palmate hairs dan
ventral brush.
3. Nyamuk Anopheles spp mempunyai siklus hidup yang melalui empat
stadium, yaitu stadium telur, larva, pupa dan nyamuk dewasa.
4. Perilaku hidup nyamuk Anopheles spp adalah menggigit pada malam
hari.
5. Faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangbiakan nyamuk
Anopheles spp adalah lingkungan fisik (suhu, kelembaban, hujan, sinar
matahari, arus air, dan kedalaman air), lingkungan kimia (salinitas, ph,
dan CO2) dan lingkungan biologi (vegetasi air, predator, hewan
makanan).
6. Penyakit yang disebabkan oleh gigitan nyamuk Anopheles spp salah
satunya adalah malaria.
7. Pengendalian yang dapat dilakukan pada nyamuk Anopheles spp adalah
pengendalian yang mungkin dan sudah dilakukan, pengendalinan dengan
cara kimia, dan pemanfaatan ekstrak daun zodiak.

B. Saran
Perlu penanganan yang adekuat terhadap perkembangbiakan nyamuk
Anopheles spp sebagai vektor penyebab penyakit malaria dengan cara
memutuskan mata rantai kehidupan nyamuk melalui pola hidup bersih yang
perlu diterapkan di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Anisa Jamil, Sayono SKM, M Kes (Epid), Mifbhakhudin SKM, M Kes. (2010).
Efekifitas Daya Tolak Ekstrak Daun Zodia untuk Nyamuk Anopheles Sp
(Kajian Variasi Dosis Dan Waktu Kontak di Laboratorium). Digital
library universitas muhamadiyah semarang.

Blondine Ch.P., Damar T.B., Umi Widyastuti., 2003. Pengendalian Vektor


Malaria Anopheles sundaicus Menggunakan Bacillus thuringiensis 0-
14 Galur Lokal yang Dibiakkan Dalam Buah Kelapa Dengan
Partisipasi Masyarakat di Kampung Laut Kabupaten Cilacap. Jurnal
Ekologi Kesehatan Vol. 3 No.1, April 2004: 24-36.

Demster,J.P. and Mclean,I.F.G. 1998, Insect populations in Theory and in


practice, Kluwer Academic Publisher, Dordrecht, Boston.

Depkes RI. 2001. Pedoman Ekologi dan Aspek Perilaku Vektor. Jakarta :
Direktorat Jenderal Pemberantas Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan Pemukiman (DITJEN.PPM dan PLP).

Depkes RI. 2004. Pedoman Ekologi dan Aspek Perilaku Vektor. Jakarta: Ditjen
P2MPL.

Dit.Jen P2M dan PLP. Program dan Kebijakan Pengendalian Vektor/Reservoir


Penyakit di Indonesia. Simposium Nasional Pengendalian vektor dan
Reservoar, 17 Desember 2006.

Entomologi, Cetakan I. Yrama Widya. Bandung.

Ernamaiyanti, dkk. 2010. Faktor-Faktor Ekologis Habitat Larva Nyamuk


Anopheles Di Desa Muara Kelantan Kecamatan Sungai Mandau
Kabupaten Siak Provinsi Riau Tahun 2009. Jurnal Ilmu Lingkungan.
Vol 2. No. 4.

Fahmi, Mohammad, dkk. 2014. Studi Keanekaragaman Spesies Nyamuk


Anopheles sp. Di Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah
(Study On diversity of Anopheles sp. of Donggala District, Central
Sulawesi Province). Online Jurnal of Natural Science.Vol.3. No 2.
Hiswani.2004. Gambaran Penyaklt Dan Vektor Malaria di Indonesia. USU digital
library. Sumatra utara.

Irsanya, Cut., 2005. Pengaruh Lingkungan Terhadap Perkembangan penyakit


Malaria dan Demam Berdarah Dengue (DBD).

Marsaulina. 2002. Potensi Persawahan Sebagai Habitat Larva Nyamuk.

Ompusunggu, dkk., 1992. Penelitian Pemberantasan Malaria di Kabupaten Sikka


(Penelitian Entomologi-2: Tempat Perindukan Anopheles spp.).
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

Rinidar, 2010. Pemodelan Kontrol Malaria Melalui Pengelolaan Terintegrasi Di


Kemukiman Lamteuba, Nangroe Aceh Darussalam. Thesis. Sekolah
Pascasarjana Program Doktor Universitas Sumatera Utara 2010. Medan.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18650/4/Chapter
%20II.pdf

Rumbiak, H. 2006. Situasi Penyakit Parasitik pada Manusia di Propinsi


Lampung. Makalah Seminar Pengendalian Penyakit Parasitik Manusia
dan Hewan pada Era Desentralisasi. Perkumpulan Pemberantasan
Penyakit Parasitik Indonesia Cabang Bandar Lampung.

Safar, Rosidiana. 2010, Parasitologi Kedokteran : Protozoologi, Helmintologi,


Stojanovich,C.J.and Scoth,H. 1966, Illustrated mosquito Key of Vietnam
Communicable Disease,Centre Atlanta, Georgia.

Suwito, dkk. 2010. Hubungan Iklim, Kepadatan Nyamuk Anopheles dan Kejadian
Penyakit Malaria.Jurnalentomol Indonesia.Vol. 7.No. 1.
Vytilingam, I., Chiang, G.L. and Shing, K.I. Bionomic of important mosquito
vector in Malaysia. Southeast Asean. J. Trop.Public. Hlth.

World Health Organization, 2011.World Malaria Report 2011. Geneva. WHO.

Anda mungkin juga menyukai