Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Interaksi obat merupakan satu dari delapan kategori masalah terkait obat (drug-

related problem) yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien. Menurut Harttshorn

interaksi obat adalah peristiwa dimana efek obat dipengaruhi, baik secara langsung maupun

tidak langsung, oleh obat lain yang diberikan bersamaan atau sebelumnya. Interaksi obat

yang terjadi di dalam tubuh, diantaranya meliputi interaksi farmakodinamik dan

farmakokinetika.

Interaksi farmakokinetika terjadi bila salah satu obat dapat mempengaruhi absorpsi,

distribusi dan eliminasi (metabolism dan ekskresi obat lain, sehingga kadar obat yang

terpengaruh itu akan meningkat atau menurun. Interaksi farmakodinamika adalah interaksi

obat yang terjadi pada ikatan obat dan rerseptor sehingga akan mempengaruhi efek kerja

obat yang ditimbulkannya. Pentingnya pengetahuan mengenai interaksi obat akan

membantu dokter dan farmasis untuk mengidentifikasi dan mencegah terjadinya interaksi

obat pada pasien. Pengetahuan mengenai interaksi obat dapat mencegah morbiditas dan

mortalitas serta meningkatkan keamanan dari pasien. Farmasis mempunyai peran penting

dalam melakukan control untuk mencegah potensi efek samping merugikan dari interaksi

obat yang tidak diharapkan.

Di dalam tubuh obat mengalami berbagai macam proses hingga akhirnya obat di

keluarkan lagi dari tubuh. Proses-proses tersebut meliputi, absorpsi, distribusi, metabolisme

(biotransformasi), dan eliminasi. Dalam proses tersebut, bila berbagai macam obat

diberikan secara bersamaan dapat menimbulkan suatu interaksi. Selain itu, obat juga dapat

1
berinteraksi dengan zat makanan yang dikonsumsi bersamaan dengan obat. Oleh karena itu

penulis tertarik meneliti interaksi obat pada fase farmakokinetiknya khususnya dibagian

fase ekskresi.

1.2 Tinjauan pustaka

1. Apa yang dimaksud dengan interaksi obat ?

2. Bagaimana perubahan pH urin terhadap interaksi obat pada proses eksresi?

3. Bagaimana perubahan aktif eksresi tubular ginjal terhadap interaksi obat pada proses

eksresi?

4. Bagaimana perubahan aliran darah keginjal terhadap interaksi obat pada proses

eksresi?

5. Apa yang dimaksuddenganEterohepa Recirculation?

6. Apa yang dimaksuddengan Drug Transporter Protein?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui pengertian dari interaksi obat

2. Menjelaskan perubahan pH urin yang terjadi terhadap interaksi obat pada proses

eksresi

3. Mengetahui perubahan aktif eksresi tubular ginjal terhadap interaksi obat pada proses

eksresi

4. Mengetahui perubahan aliran darah keginjal terhadap interaksi obat pada proses

eksresi

5. Mengetahui yang dimaksud dengan Eterohepatica Recirculation

6. Mengetahui yang dimaksud dengan Drug Transporter Protein

2
BAB II

ISI

2.1. Pengertian Interaksi Obat

Interaksi obat adalah modifikasi efek suatu obat akibat obat lain yang diberikan pada

awalnya atau diberikan bersamaan sehingga keefektifan atau toksisitas satu obat atau lebih

berubah. Menurut Stockley, interaksi obat terjadi ketika efek suatu obat berubah dengan

kehadiran obat lain, obat tradisional, makanan, minuman atau oleh suatu zat kimia.

Interaksi obat bias juga terjadi di luar tubuh misalnya reaksi fisiko-kimia yang terjadi pada

obat yang dicampur dengan cairan intravena yang menyebabkan obat tersebut mengendap

atau mengalami inaktivasi.

Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas

dan atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi terutama bila menyangkut obat

dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya glikosida

jantung, antikoagulan, dan obat-obat sitostatik.

Berdasarkan mekanisme kerjanya, interaksi obat dibagi menjadi 3 bagian,yaitu:

Interkasi Farmasetik

Interaksi farmasetik bersifat langsung dan dapat secara fisika atau kimiawi, misalnya

terjadinya presipitasi, perubahan warna, tidak terdeteksi (invisible), yang selanjutnya

menyebabkan obat menjadi tidak aktif. Contoh: interaksi karbcnisilin dengan gentamisin

terjadi inaktivasi; fenitoin dengan larutan dextrosa 5% terjadi presipitasi; amfoterisin B

dengan larutan NaCl fisiologik, terjadi presipitasi.

3
Interaksi Farmakodinamik

Interaksi ini hanya diharapkan jika zat berkhasiat yang saling mempengaruhi bekerja

sinergis atau antagonis pada suatu reseptor, pada suatu organ membrane atau pada suatu

rangkaian pengaturan. Jika sifat-sifat farmakodinamika yang kebanyakan dikenal baik, dari

obat-obat yang diberikan secara bersamaan diperhatikan interaksi demikian dapat berguna

secara terapeutik apabila menguntungkan atau dapat dicegah apabila tidak diinginkan.

Interaksi Farmakokinetik

Interaksi obat bias ditimbulkan oleh berbagai proses, antara lain perubahan dalam

farmakokinetika obat tersebut, seperti Absorpsi, Distribusi, Metabolisme, dan Ekskresi

(ADME) obat. Kemungkinan lain, interaksi obat merupakan hasil dari sifat-sifat

farmakodinamik obat tersebut, misal, pemberian bersamaan antara antagonis reseptor dan

agonis untuk reseptor yang sama.

2.2. Perubahan pH urin

Perubahan pH urin mengakibatkan perubahan bersihan ginjal, melalui perubahan

jumlah reabsorbsi pasif di tubuli ginjal, yang hanya bermakna secara klinis apabila:

Fraksi obat yang diekskresikan melalui ginjal cukup besar, lebih dari 30%

Obat berupa basa lemah dengan pKa 7,5 10 atau asam lemah dengan pKa 3,0 7,5.

Interaksi yang mempengaruhi ekskresi obat melalui ginjal hanya akan nyata secara

klinis bila obat atau metabolit aktifnya tereliminasi secara berarti oleh ginjal. pH urin dapat

mempengaruhi aktivitas obat dengan mengubah kecepatan bersihan ginjal. Bila berada

dalam bentuk tak terion, maka obat akan lebih cepat berdifusi dari filtrat glomerular

kembali ke dalam aliran darah. Dengan demikian, untuk obat basa, seperti amfetamin,

4
sebagian besar berada dalam bentuk tak terion dalam urin basa, sehingga banyak yang tere-

absorbsi ke dalam darah, yang akibatnya dapat memperlama aktivitasnya.

Senyawa yang dapat meningkatkan pH urin adalah natrium bikarbonat, sehingga bila

diberikan bersamaan dengan amfetamin dosis tunggal, maka efek amfetamin dapat

berlangsung selama beberapa hari.Sebaliknya, obat yang bersifat asam, seperti salisilat,

sulfonamid, fenobarbital, lebih cepat terekskresi bila urin alkalis (pH tinggi). Oleh karena

itu pemberian bersama-sama obat ini dengan obat yang me-ningkatkan pH urin, seperti

diuretik penghambat karbonat anhidrase (asetazolamid), atau antasida sistemik (natrium

bikarbonat), dapat mempercepat bersihan obat asam sehingga efeknya cepat hilang.

Interaksi yang menyebabkan peningkatkan pH urin ini dapat dimanfaatkan untuk

meningkatkan eliminasi over dosis fenobarbital atau metotreksat yang digunakan dengan

dosis tinggi untuk pengobatan tumor. Di sisilain, obat-obat basa seperti antihistamin,

meperidin, dan imipramin, lebih cepat terekskresi bila pH urin rendah. Pengasaman ini

dapat terjadi dengan pemberian ammonium klorida atau glutamate hidroklorida. Obat-obat

yang mengalami peningkatan bersihan dari ginjal bila urin asam antara lain amitriptilin,

amfetamin, antihistamin, imipramin, mekamilamin, meperidin, kuinakrin, dan efedrin.

Sedangkan obat-obat yang mengalami peningkatan bersihan dari ginjal bila urin alkalis

antara lain aspirin, sulfonamid, asam salisilat, streptomisin, asam nalidiksat,

dan nitrofurantoin.

Perubahan ini akan menghasilkan perubahan klirens ginjal (melalui perubahan jumlah

reabsorbsi pasif di tubuli ginjal) yang berarti secara klinik hanya jika: (1) fraksi obat yang

diekskresi utuh oleh ginjal cukup besar (lebih dari 30%), dan (2) obat berupa basa lemah

dengan pKb 6,0-12,0 atau asam lemah dengan pKa 3,0-7,5

5
Obat A Obat B Efek

Obat bersifat basa: Ammonium klorida Obat mengasamkan urin

amfetamin, efedrin, (untuk pengobatan ionisasi obat Aekskresi

pseudoefedrin, pada keracunan obat A

fenilfluramin, obat A)

kuinidin

Natrium Obat B membasakan urin

bikarbonat, ionisasi obat Aekskresi

asetazolamid obat A

Obat bersifat asam: Natrium bikarbonat Obat B membasakan urin

salisilat, fenobarbital (untuk pengobatan ionisasi obat Aekskresi

pada keracunan obat A

obat A)

2.3. Kompetisi untuk sekresi aktif di tubulus ginjal

Penghambatan sekresi pada tubuli ginjal terjadi akibat kompetisi antar obat atau antar

metabolit untuk sistem transpor aktif yang sama, terutama sistem transpor untuk obat asam

atau metabolit yang bersifat asam. Proses ini mungkin melibatkan sistem enzim di dalam

ginjal. Obat-obat tersebut diangkut dari darah melintasi sel-sel tubuli proksimal dan masuk

ke urin, melalui transpor aktif.

Bila obat diberikan bersamaan maka salah satu di antaranya dapat mengganggu

eliminasi obat lainnya. Sebagai contoh, pemberian bersamaan antara probenesid dan

penisilin. Probenesid menghambat ekskresi penisilin sehingga kadar antibiotik ini di dalam

6
darah tetap tinggi dan efeknya lama. Waktu paruh eliminasi penisilin akan meningkat 2 3

lebih lama. Hal ini merupakan interaksi yang menguntungkan untuk pengobatan infeksi.

Contoh lain adalah antara fenilbutazon dan asetoheksamid. Fenilbutazon

meningkatkan efek hipoglikemik dari asetoheksamid dengan menghambat ekskresi

metabolit aktif-nya, yakni hidroksiheksamid, se-hingga kadar metabolit tersebut dalam

darah lebih tinggi dari normal, sehingga insulin plasma meningkat dan glukosa darah

berkurang.

Hambatan sekresi aktif di tubulus ginjal terjadi akibat kompetisi antara obat dan

metabolit obat untuk system transport aktif yang sama, yakni P-glikoprotein untuk kation

organic dan zat netral, dan Multidrug Resistance Protein (MRP) untuk anion organic dan

konjugat

Substrat + Penghambat Efek

(1) MRP

Penisilin, Probenesid klirens penisilin kerja

sefalosporin penisilin menjadi panjang

Metotreksat Probenesid, salisilat, kadar metotreksattoksisitas

fenilbutazon hebat (juga akibat kerusakan

ginjal oleh AINS)

Probenesid, Salisilat kerja uricosurik dari substrat

sulfinprirazon

(2) P-glikoprotein

Prokainamid Simetidin, ranitidine klirens prokainamid

7
(Tidak: famotidin)

Digoksin Kuinidin, sekresi digoksin di tubulus

amiodaron, ginjal (dan absorpsi di usus

verapamil halus)

2.4. Perubahan Aliran Darah ke Ginjal

Aliran darah melalui ginjal dikendalikan oleh produksi vasodilator prostaglandin

ginjal. Jika sintesis prostaglandin ini dihambat, ekskresi beberapa obat dari ginjal

berkurang.

2.5 Eterohepatik Recirculation

Sirkulasi enterohepatik dapat diputus-kan, dibebaskan atau dengan mensupresi flora

usus yang menghidrolisis konjugat obat, sehingga obat tidak dapat direabsorpsi. Obat

terkonjugasi yang dihidrolisis oleh flora usus (parent drug)nya di reabsorbsiakan

mengganggu siklus enterohepatik (EHC). Antibiotic spectrum luas menekan flora usus,

mengganggu EHC yang dapat menyebabkan kegagalan. Contoh: kolestiramin, suatu

binding agents-, akan mengikat parent drug (misalnya warfarin, digoksin) sehingga

reabsorpsinya terhambat dan klirens meningkat. Antibiotik berspektrum luas (misalnya

rifampisin, neomisin) yang mensupresi flora usus dapat mengganggu sirkulasi

enterohepatik metabolit konjugat obat (misalnya kontrasepsi oral/hormonal) sehingga

konjugat tidak dapat dihidrolisis dan reabsorpsinya terhambat dan berakibat efek

kontrasepsi menurun.

8
2.6 Drug Transporter Protein

Penghambatan sekresi pada tubuli ginjal terjadi akibat kompetisi antar obat atau antar

metabolit untuk sistem transpor aktif yang sama, terutama sistem transpor untuk obat asam

atau metabolit yang bersifat asam. Proses ini mungkin melibatkan sistem enzim di dalam

ginjal. Obat-obat tersebut diangkut dari darah melintasi sel-sel tubuli proksimal dan masuk

ke urin, melalui transpor aktif.

Bila obat diberikan bersamaan maka salah satu di antaranya dapat mengganggu

eliminasi obat lainnya. Sebagai contoh, pemberian bersamaan antara probenesid dan

penisilin. Probenesid menghambat ekskresi penisilin sehingga kadar antibiotik ini di dalam

darah tetap tinggi dan efeknya lama. Waktu paruh eliminasi penisilin akan meningkat 2 3

lebih lama. Hal ini merupakan interaksi yang menguntungkan untuk pengobatan infeksi.

Contoh lain adalah antara fenilbutazon dan asetoheksamid. Fenilbutazon

meningkatkan efek hipoglikemik dari asetoheksamid dengan menghambat ekskresi

metabolit aktif-nya, yakni hidroksiheksamid, se-hingga kadar metabolit tersebut dalam

darah lebih tinggi dari normal, sehingga insulin plasma meningkat dan glukosa darah

berkurang.

9
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Interaksi obat terjadi ketika efek suatu obat berubah dengan kehadiran obat lain,

obat tradisional, makanan, minuman atau oleh suatu zat kimia.

Berdasarkan mekanisme kerjanya, interaksi obat dibagi menjadi 3 bagian,yaitu:

Interkasi Farmasetik

Interaksi Farmakodinamik

Interaksi Farmakokinetik

Interaksi farmakokinetika pada fase ekskresi meliputi :

Perubahan pH urin

Perubahan aktif ekskresi tubular ginjal

Perubahan aliran darah ke ginjal

Enterohepa recircilation

Drug transporter protein

pH urin dapat mempengaruhi aktivitas obat dengan mengubah kecepatan bersihan

ginjal.

Penghambatan sekresi pada tubuli ginjal terjadi akibat kompetisi antar obat atau

antar metabolit untuk sistem transpor aktif yang sama, terutama sistem transpor

untuk obat asam atau metabolit yang bersifat asam.

Sirkulasi enterohepatik dapat diputus-kan dibebaskan atau dengan mensupresi flora

usus yang menghidrolisis konjugat obat, sehingga obat tidak dapat direabsorpsi.

10
3.2 Saran

Semoga dengan selesainya makalah ini diharapkan agar para pembaca khususnya

mahasiswa farmasi dapat lebih mengetahui dan memahami tentang interaksi ekskresi obat,

dan dapat mengaplikasikannya dalam dunia kefarmasian.

11
DAFTAR PUSTAKA

Katzung, Bertram G. 2010. Farmakologi Dasar & Klinik, Edisi 10. Jakarta ; ECG

Wahyono, Djoko. 2007. Farmakokinetika klinik, Konsep Dasar dan Terapan dalam

Farmasi Klinik. Yogyakarta ; Gadjah Mada University Press

Arief, Moh. 2007. Perjalanan dan Nasib Obat Dalam Badan. Yogyakarta ; Gadjah Mada

University Press

Harkness, Richard. 1989. Interaksi Obat. Bandung ; Penerbit ITB

Mutschler, Ernst. 1991. Dinamika Obat, Edisi ke-5. Bandung ; Penerbit ITB

12

Anda mungkin juga menyukai