Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan Laporan Tugas Akhir
Penelitian ini. Penulisan Laporan Tugas Akhir Penelitian ini dilakukan diajukan
sebagai salah satu syarat penyelesaian akademik Program Studi Teknik Kimia
Polimer pada Politeknik STMI Jakarta Kementerian Perindustrian RI. Kami
menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa
perkuliahan sampai pada penyusunan Laporan Tugas Akhir Penelitian ini,
sangatlah sulit bagi kami untuk menyelesaikan Laporan Tugas Akhir Penelitian
ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Mustofa, ST, MT, selaku Direktur Politeknik STMI Jakarta Kementerian
Perindustrian RI
3. Dr. Erfina Oktariani, ST, MT, selaku dosen pembimbing 1 yang telah
mengarahkan kami dalam penyusunan Laporan Tugas Akhir Penelitian;
Penulis
ABSTRAK
Pada negara yang mayoritas memiliki lahan pertanian seperti Indonesia, pupuk
berperan penting dalam meningkatkan kualitas produksi tanaman. Untuk efisiensi
pemberian pupuk, dikembangkan kopolimer untuk memodifikasi pupuk agar
memiliki sifat slow release (lepas lambat). Pada penelitian ini dilakukan sintesis
kopolimer dari onggok-akrilamida (AAm) dengan teknik iradiasi sinar gamma
yang bertujuan untuk memanfaatkan limbah dan menciptakan kopolimer yang
baik sebagai pelapis pupuk. Kopolimer dibuat dengan komposisi onggok 3 gram
dan akrilamida yang di variasikan (1%; 3%; 5% dan 7%). Selain itu, dilakukan
variasi dosis iradiasi sinar gamma (5; 10; 15 dan 20 kGy). Hasil yang diperoleh
kopolimer optimum dengan AAm 5% dosis iradiasi 15 kGy sebagai bahan
modifikasi pupuk urea. Kopolimer optimum dikarakterisasi dengan FTIR dan
DSC. Pengujian slow release dilakukan dengan metode absorbsi. Kualitas dari
kopolimer dipengaruhi oleh komposisi onggok dan akrilamida serta dosis iradiasi,
sedangkan absorsi pupuk dipengaruhi oleh waktu perendaman.
1
2
Untuk mengontrol jumlah pupuk pada tanaman agar tidak ada unsur hara
yang terbuang maka dikembangkan metode controlled release fertilizer (CRF)
[7]. CRF merupakan metode yang berguna untuk meningkatkan efisiensi pupuk,
mempertahankan persediaan air, mengurangi potensi efek negatif dari kelebihan
dosis, dan mengurangi tingkat toksisitas [8]. Metode CRF ini dapat diperoleh
dengan menggunakan kopolimer yang menghambat pelepasan air dan nutrien
sehingga tidak ada yang terbuang [9].
Mayoritas sintesis kopolimer menggunakan bahan Asam akrilat (AA) dan
Akrilamida (AAm), tetapi sifat biodegradabilitasnya rendah, kurang ramah
lingkungan, dan mahal [8]. Maka dicari alternatif lain untuk menghasilkan
kopolimer yang ramah lingkungan dan murah. Seperti pada penelitian Wu dan
Liu, (2008) telah dilakukan coating pupuk NPK dengan coating bagian dalamnya
dengan kitosan dan luarnya polimer superabsorben (asam poliakrilat-co-
akrilamida) [10]. Hasil penelitian tersebut diperoleh slow release fertilizer yang
baik. Pada penelitian Li (2012) dilakukan pembuatan poliasam akrilamida-co-
akrilik makromolekul sebagai pupuk lepas lambat. Hasil yang didapatkan
menunjukkan bahwa slow release fertilizer tersebut seusai dengan standar slow
release fertilizer dari Komite Eropa Normalisasi (CEN) [11]. Selanjutnya
penelitian Trimulyadi (2015) dilakukan pembuatan bahan pelapis pupuk dari
sintesis kopolimer CMC-pati-kitosan-akrilamida. Hasil pengujian kopolimer
tersebut didapat nilai swelling meningkat dengan pelarut asam asetat yang
berguna untuk melarutkan kitosan serta meningkatnya konsentrasi akrilamida
menunjukkan pengikatan silang yang meningkat [12]. Dengan demikian
akrilamida dapat dijadikan sebagai bahan untuk menghasilkan kopolimer yang
ramah lingkungan.
Akrilamida merupakan suatu senyawa kimia kristalin bening hingga putih
dan tidak berbau. Senyawa ini sangat mudah larut dalam air, larut dalam aseton,
etanol, metanol dan dimetil eter [13].
Pada zaman sekarang, para peneliti mengembangkan penelitian yang ramah
lingkungan, contohnya pada sintesis kopolimer dengan penambahan bahan dari
alam yang bersifat biodegradable dan biocompatible. Salah satu senyawa yang
3
2.1 Onggok
Tepung tapioka merupakan turunan dari singkong (Manihot utilissima).
Industri tepung tapioka Indonesia mulai berkembang pada tahun 1980. Industri
tepung tapioka merupakan salah satu industri makanan. Tepung tapioka adalah
bahan baku dan bahan pembantu untuk industri tekstil, industri kertas dan lain lain
[16]. Skema proses pembuatan tepung tapioka dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Pemarutan
Pengeringan
Penggilingan Debu
Pengemasan
Tepung Tapioka
5
6
Pada Tabel 2.1 menunjukan bahwa salah satu komponen karbohidrat utama
yang terdapat pada onggok padalah pati. Pati itu sendiri terbagi atas dua
komponen utama, yaitu amilosa (15-30%) dan amilopektin (70-85%). Struktur
amilosa dan amilopektin dapat dilihat pada Gambar 2.3.
7
Selain pati, kandungan lain dari onggok adalah serat kasar, serat tumbuhan
yang tidak dapat larut dalam air serta terdiri atas selulosa dan hemiselulosa.
Selulosa (C6H10O5)n adalah polisakarida karbohidrat yang terdiri atas
homopolimer linier berupa D-anhidroglukosa. Hal ini ditunjukan pada Gambar
2.4 tentang struktur selulosa. Hemiselulosa merupakan polimer dengan monomer
yang berbeda. Hemiselulosa mudah larut dalam alkali tapi sukar larut dalam asam,
sedangkan selulosa sebaliknya.
2.2 Akrilamida
Akrilamida (C3H5NO) mempunyai gugus karbonil dan ikatan rangkap yang
reaktif serta gugus amina yang membuat senyawa tersebut menjadi bersifat
hidrofilik dan dapat membentuk ikatan hidrogen yang kuat [18]. Akrilamida
biasanya dibuat menjadi suatu kopolimer yang memiliki sifat hidrofilisitas dan
juga inert secara biologis sehingga menjadi bahan pilihan dalam sejumlah
aplikasi. Akrilamida dimanfaatkan sebagai flokulan dan koagulan dalam proses
pengolahan air minum, pengolahan limbah, bahan pengikat, produksi perekat,
pengatur viskositas pada pemrosesan minyak mentah dan gel pada kosmetik [19].
Akrilamida adalah kristal tidak berbau, padat pada suhu kamar, dan berat molekul
71,08. Bentuk monomer dari akrilamida adalah bubuk yang larut dalam air dan
digunakan dalam proses industri kimia, akrilamida merupakan monomer vinil dan
diproduksi secara komersial oleh hidrolisis akrilonitril menggunakan nitrile
hydrase dan ada dalam dua bentuk, yaitu monomer dan polimer [20]. Gambar
struktur akrilamida dapat dilihat pada Gambar 2.5.
obatan, iradiasi produk makanan dan pertanian (untuk berbagai tujuan akhir,
seperti disinfestation, perpanjangan umur simpan, penghambatan kecambah,
pengendalian hama dan sterilisasi), dan bahan modifikasi seperti polimerisasi.
Dalam pemanfaatannya, iradiasi gamma dapat digunakan untuk
menggabungkan monomer atau polimer berbeda untuk membentuk suatu polimer
kompleks, yang dikenal dengan kopolimerisasi. Dengan menggunakan sinar
gamma proses reaksi yang relatif aman, tidak beracun, dosis radiasi dapat
dikontrol, relatif ekonomis dalam pembuatan bahan polimer biomaterial, dan hasil
kopolimer yang lebih murni [26], serta waktu kerja yang lebih cepat dengan hasil
sintesis yang lebih optimal karena energinya yang tinggi.
Radiasi pengion energi tinggi, seperti sinar gamma dan elektron balok, telah
digunakan sebagai inisiator untuk mempersiapkan hidrogel senyawa tak jenuh.
Iradiasi larutan polimer berair menghasilkan pembentukan radikal pada rantai
polimer. Radiolisis hasil molekul air juga menyerang rantai polimer dalam
pembentukan radikal hidroksil sehingga membentuk makro-radikal. Rekombinasi
makro-radikal disetiap hasil rantai membentuk ikatana kovalen, sehingga struktur
silang terbentuk [27].
2.4 Kopolimer
Kopolimer adalah polimer hasil sintesis, yang terdiri atas monomer atau
polimer dengan jenis berbeda. Kopolimer yang terbentuk memiliki struktur
tertentu, bergantung pada susunan monomer atau polimer, sebagai hasil dari
reaksi kopolimerisasi [28]. Jenis polimer sangat beraneka ragam dan dapat
ditingkatkan kembali dengan proses kopolimerisasi, kopolimerisasi
memungkinkan modifikasi rantai struktur melalui proses polimerisasi dengan
lebih dari satu tipe monomer yang bereaksi [29].
Susunan kopolimer yang dibentuk terbagi menjadi empat macam dapat
dilihat pada Gambar 2.6.
11
2.5 Hidrogel
Hidrogel merupakan kelompok polimer, struktur hidrofilik yang membuat
mereka mampu menyerap sejumlah besar air dalam jaringan tiga dimensi [30].
Kapabilitas dari hidrogel untuk membengkak karena adanya kelompok hidrofilik
di dalam rantai polimer, sedangkan resistansi mekanik dibutuhkan dalam bagian
fisik atau kimia jaringan cross-linking [31]. Hidrogel dapat diklasifikasikan ke
dalam dua kelompok berdasarkan asal-usul alam atau sintetik mereka [32].
Klasifikasi berdasarkan komposisi kopolimer :
a. Hidrogel Homopolimer, berasal dari satu spesies dari monomer yang
merupakan unit struktural dasar yang terdiri jaringan polimer.
b. Hidrogel Kopolimer, berasal dari proses monomer yang berbeda dengan satu
komponen hidrofilik.
c. Hidrogel Multipolimer, terbuat dari dua independen sintetis silang dari dan
atau komponen polimer alam.
12
Urea juga disintesis dalam skala industri dari amoniak dan karbondioksida
untuk digunakan dalam resin urea-formaldehid (resin sintetik) yang mengandung
gugus ulang (-NH-CO-O-) dan obat-obatan, pupuk dan nitrogen. Struktur dari
urea dapat dilihat pada Gambar 2.8.
14
Urea merupakan material kering dalam bentuk butiran atau curah, urea-N secara
cepat terhidrolisis menjadi NH4+. Pupuk ini sering digunakan untuk aplikasi
langsung dalam pupuk campuran, dan dalam larutan nitrogen. N (Nitrogen) yang
pada aplikasi ini berwujud sebagai urea-N, dan sekitar 66% dari urea-N
dihidrolisa menjadi Ammonia-N dalam penggunaan 1 hari hingga 1 minggu.
Pupuk urea merupakan pupuk yang mudah larut dalam air tetapi tidak
mudah larut dalam pelarut organik dan sintetik [37]. Pupuk urea berbentuk
butiran-butiran kristal berwarna putih, merupakan pupuk yang mudah larut dalam
air dan sifatnya sangat mudah menghisap air (higroskopis), karena itu sebaiknya
disimpan di tempat kering dan tertutup rapat dengan suhu ruangan. Unsur hara
nitrogen yang terkandung dalam pupuk urea memiliki kegunaannya bagi tanaman
yaitu, membuat daun lebih banyak mengandung butir hijau (Chlorophyl), dapat
mempercepat pertumbuhan tanaman, dapat menambah kandungan protein
tanaman dan dapat dipakai untuk semua jenis tanaman, baik tanaman pangan,
holtikultura, tanaman perkebunan [38].
Permasalahannya, pupuk belum cukup terabsorpsi oleh tanaman karena
terdegradasi atau tercuci menghilang dalam tanah dan terbawa oleh aliran air,
maka dari itu perlu meneliti metode lain untuk memastikan elemen kimia yang
dapat merilis pupuk secara lambat dengan terus menerus dalam jangka waktu
yang pasti untuk meminimalkan degradasi oleh air [39].
pelepasan unsur hara secara berkala mengikuti pola penyerapan unsur hara oleh
tanaman [40].
Slow release fertilizer khususnya urea terlapisi polimer dapat melepaskan
nutrisi yang terkandung dengan bantuan mikroorganisme ataupun kontak antara
air dengan zat pelapis, sehingga menyebabkan tekanan internal untuk
mengganggu membran dan melepaskan nutrisi yang tertutup. Nitrogen dilepaskan
ketika difusi melalui pori-pori di lapisan [41]. Slow release fertilizer melibatkan
pelepasan nutrient yang lebih lambat dari pada pupuk biasa, akan tetapi laju, jenis
dan durasi pelepasan belum dapat dikendalikan dengan baik [42].
Slow release fertilizer secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis:
- Senyawa organik-N kelarutan rendah, yang dapat dibagi menjadi senyawa-
senyawa yang terurai secara biologi, umumnya berupa produk kondensasi urea
aldehid, seperti urea formaldehid (UF), dan senyawa terurai secara kimia
seperti isobutiledenadiurea (IBDU).
- Pupuk yang memiliki sifat fisika untuk mengendalikan pelepasan, dapat berupa
inti atau granul yang disalut oleh polimer hidrofobik atau berupa matrik
dimana bahan aktif larut terdispersi ke dalam suatu rangkaian kesatuan yang
menghalangi larutnya pupuk. Pelapisan pupuk dapat dibedakan lebih jauh
menjadi pupuk yang dilapisi polimer organik baik berupa termoplastik atau
resin serta pupuk yang dilapisi bahan-bahan organik seperti sulfur atau mineral.
Bahan-bahan yang digunakan sebagai matrik dapat dibedakan menjadi bahan
hidrofobik seperti poliolefin, karet dan sebagainya, serta polimer-polimer
berbentuk gel (hidrogel) yang secara alami bersifat hidrofilik dan mengurangi
larutnya pupuk yang mudah larut dikarenakan pengembangan yang tinggi [43].
Pelepasan urea dari hidrogel melalui perbedaan konsentrasi antara bagian
dalam dan bagian luar hidrogel sebagai tanggapan kebutuhan nutrisi oleh tanaman
[44].
Slow release fertilizer dengan pelapisan urea telah banyak dipelajari
dengan berbagai macam teknik yang berbeda (rotating drum, fluidized bed,
spouted bed) dan variasi bahan (sulfur, resin, polymers), selanjutnya dalam
16
Seperti dampaknya pada ozon, nitrogen oksida terlarut dalam air atmosferik
membentuk hujan asam, yang mengkorosi batuan dan barang logam serta
merusak bangunan-bangunan [50].
e. Detektor, Merupakan piranti yang mengukur energi pancaran yang lewat akibat
panas yang dihasilkan. Detektor yang sering digunakan adalah termokopel dan
balometer.
Gambar prinsip kerja DSC (Differential Scanning Calorimeter) dapat dilihat pada
Gambar 2.10.
DSC merupakan analisis termal, ketika transisi termal terjadi pada sampel,
DSC memberikan pengukuran kalorimetri dari energi transisi dari temperatur
tertentu. Kedua sampel dan referensi dipertahankan pada temperatur yang hampir
sama sepanjang percobaan. Umumnya program suhu untuk analisis DSC
dirancang sedemikian rupa sehingga suhu pemegang sampel meningkat secara
linear sebagai fungsi waktu. Sampel referensi harus memiliki kapasitas panas
yang didefinisikan dengan baik selama rentang suhu yang akan dipindai.
dan sinar dekat. Menurut Hukum Beer Lambert menyatakan bahwa absorbansi
larutan berbanding lurus dengan konsentrasi penyerap dalam larutan dan jalur
panjang gelombang. Ada 3 jenis instrumen absorbansi yang digunakan untuk
mengumpulkan spektrum yang terlihat:
1. Single beam spectrometer.
2. Double beam spectrometer.
3. Simultaneous spectrometer.
Gambar prinsip kerja spektrofotometri uv-vis dapat dilihat pada Gambar 2.11.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.3 Variabel
Kopolimerisasi onggok-akrilamida terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi seperti temperatur, konsentrasi onggok, konsentrasi akrilamida
dan dosis iradiasi. Namun, karena keterbatasan waktu penelitian, variabel yang
digunakan adalah konsentrasi akrilamida dan dosis iradiasi dengan penambahan
konsentrasi onggok yang sama pada semua sampel.
Variasi konsentrasi akrilamida dan dosis iradiasi dilakukan untuk
mendapatkan kopolimer terbaik sebagai pelapis pupuk urea. Untuk lebih jelas
mengenai variasi yang dilakukan pada penelitian ini dapat ditunjukkan pada Tabel
3.1 yang berisikan matriks penelitian.
Tabel 3.1 Matriks Penelitian
Dosis Iradiasi Konsentrasi
(kGy) Akrilamida (%)
1
3
5
5
7
1
3
10
5
7
1
3
15
5
7
1
3
20
5
7
Analisis Viskositas
Kopolimer
Hasil Analisis
terbentuk larutan kental. Larutan onggok didiamkan pada suhu ruang selama
60 menit.
2. Persiapan Akrilamida
Akrilamida dengan variasi 1%; 3%; 5% dan 7% (w/v) dilarutkan ke
dalam 20 mL aquades. Larutan onggkok dan akrilamida dicampur kemudian
ditambahkan akuades hingga mencapai volume 200 mL dan diaduk sampai
homogen.
3.4.3 Iradiasi
Larutan yang telah dimasukkan ke dalam wadah plastik, kemudian diiradiasi
dengan menggunakan iradiator Co-60 dengan variasi 10; 15; 20; dan 25 kGy.
1. Pengukuran Viskositas
Larutan hasil iradiasi berupa kopolimer, kemudian diukur viskositasnya
menggunakan viscometer Brookfield dengan jenis jarum LV4 pada kecepatan
0,6 rpm dan FF 104. Nilai viskositas kopolimer sebelum dan sesudah iradiasi
dibandingkan agar dapat diketahui bahwa terjadi proses kopolimerisasi di
dalam sampel.
2. Penentuan Fraksi Gel
Kopolimer sebanyak 0,2 gram dari hasil iradiasi dikemas dalam kasa
kawat. Lalu direndam dalam air panas (90oC) selama 5 jam. Kemudian
dikeringkan dalam oven pada suhu 50oC hingga berat konstan. Fraksi gel
dihitung dengan persamaan sebagai berikut.
massa gel sisa
% Fraksi gel = massa sampel 100%
3.4.6 Analisis
Pupuk yang telah terlapisi kopolimer, selanjutanya dilakukan analisis berupa
pengujian lepas lambat dan karakterisasi.
27
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Viskositas (cP)
Sampel
Sebelum Iradiasi Sesudah Iradiasi
AAm 1% 2875 32600
AAm 3% 3187,5 67550
5 kGy
AAm 5% 4312,5 gel
AAm 7% 5062,5 gel
Viskositas (cP)
Sampel
Sebelum Iradiasi Sesudah Iradiasi
AAm 1% 4437,5 66250
AAm 3% 4962,5 97525
10 kGy
AAm 5% 5687,5 gel
AAm 7% 6250 gel
29
Viskositas (cP)
Sampel
Sebelum Iradiasi Sesudah Iradiasi
AAm 1% 3812,5 72500
AAm 3% 4187,5 gel
15 kGy
AAm 5% 4375 gel
AAm 7% 4687,5 gel
Viskositas (cP)
Sampel
Sebelum Iradiasi Sesudah Iradiasi
AAm 1% 3875 62500
AAm 3% 4062,5 gel
20 kGy
AAm 5% 4312,5 gel
AAm 7% 4750 gel
Pada gambar diatas dapat dilihat bahwa dari data sebelum iradiasi, tingginya
konsentrasi akrilamida meningkatkan nilai viskositas kopolimer. Kemudian
keakuratan pengaruh dari konsentrasi akrilamida terbukti ketika sampel telah
diiradiasi bahwa nilai viskositasnya semakin tinggi. Selain itu, variasi dosis sinar
gamma pada sampel ikut mempengaruhi nilai viskositas yang semakin meningkat
pula. Berdasarkan teori diketahui bahwa iradiasi berfungsi membantu
pembentukan cross-linking dalam sintesis kopolimer. Sehingga semakin tinggi
dosis radiasi memungkinkan semakin banyaknya pula ikatan silang yang
terbentuk pada kopolimer. Dapat dilihat bahwa pada sampel dengan dosis iradiasi
15 kGy dan 20 kGy saat konsentrasi sampel AAm hanya 3%, fasa dari kopolimer
sudah berupa gel, berbeda halnya ketika dosis iradiasi 5 kGy dan 10 kGy dimana
sampel yang berada pada fasa gel hanya AAm 5% dan 7% artinya kekentalannya
pun lebih rendah dibandingkan sampel-sampel lain.
90
80
70
60
50 1% AAm
Fraksi Gel (%)
40 3% AAm
30 5% AAm
20 7% AAm
10
0
0 5 10 15 20 25
Dosis (kGy)
Gambar 4.1 Pengaruh Dosis Radiasi terhadap Nilai Fraksi gel pada Sampel
dengan Variasi Bebas Akrilamida dan Variasi Tetap Onggok 3% (w/v)
Dari data uji fraksi gel diatas terlihat bahwa bertambahnya dosis iradiasi
yang diberikan terhadap sampel maka akan bertambah pula nilai % fraksi gel nya.
Pada kurva terlihat bahwa nilai % fraksi gel paling tinggi dari berbagai komposisi
sampel terdapat pada sampel AAm 7% dengan dosis radiasi 20 kGy dan paling
rendah pada sampel AAm 1 % dengan dosis radiasi 5 kGy. Nilai fraksi gel
berturut turut dari perhitungan rata-rata pada sampel tertinggi dan terendah adalah
88,141% dengan deviasi 12,514% dan 12,136% dengan deviasi 5,291%. Namun,
kopolimer optimum yang dikarakterisasi adalah sampel AAm 5% pada dosis 15
kGy, dengan nilai fraksi gel rata-rata sebesar 60,553% dan deviasi 9,497%.
Sampel ini dipilih karena pada nilai fraksi gel yang lebih tinggi fasa nya sudah
memadat, sedangkan fasa kopolimer yang diinginkan adalah semi padat.
1200
1000
Rasio Swelling(%)
800
1% AAm
600 3% AAm
400 5% AAm
7% AAm
200
0
0 5 10 15 20 25 30 35
Waktu (menit)
Gambar 4.2 Kurva Rasio Swelling terhadap Waktu pada Sampel 5 kGy
dengan Variasi Bebas Akrilamida dan Variasi Tetap Onggok 3% (w/v)
Pada Gambar 4.2 terlihat bahwa rasio swelling untuk sampel dengan dosis
radiasi 5 kGy pada variasi AAm 1%; 3%; 5% dan 7% telah mencapai maksimum
di waktu perendaman 25 menit pada sampel AAm 1%. Nilai rasio swelling
berturut-turut dari perhitungan rata-rata pada sampel tertinggi dan terendah adalah
1113,366% dengan deviasi 18,366% dan 332,331% dengan deviasi 21,421%.
600
500
Raio Swelling (%)
400
1% AAm
300 3% AAm
200 5% AAm
7% AAm
100
0
0 5 10 15 20 25 30 35
Waktu (menit)
Gambar 4.3 Kurva Rasio Swelling terhadap Waktu pada Sampel 10 kGy
dengan Variasi Bebas Akrilamida dan Variasi Tetap Onggok 3% (w/v)
Pada Gambar 4.3 terlihat bahwa rasio swelling untuk sampel dengan dosis
radiasi 10 kGy pada variasi AAm 1%; 3%; 5% dan 7% telah mencapai
maksimum di waktu perendaman 25 menit pada sampel AAm 1%. Nilai rasio
32
300
250
Rasio Swelling (%)
200
1% AAm
150
3% AAm
100
5% AAm
50 7% AAm
0
0 5 10 15 20 25 30 35
Waktu (menit)
Gambar 4.4 Kurva Rasio Swelling terhadap Waktu pada Sampel 15 kGy
dengan Variasi Bebas Akrilamida dan Variasi Tetap Onggok 3% (w/v)
Pada Gambar 4.4 terlihat bahwa rasio swelling untuk sampel dengan dosis
radiasi 15 kGy pada variasi AAm 1%; 3%; 5% dan 7% telah mencapai
maksimum di waktu perendaman 30 menit pada sampel AAm 1%. Nilai rasio
swelling berturut-turut dari perhitungan rata-rata pada sampel tertinggi dan
terendah adalah 283,810% dengan deviasi 11,130% dan 53,736% dengan deviasi
4,442%.
300
250
Rasio Swelling (%)
200
1% AAm
150
3% AAm
100 5% AAm
7% AAm
50
0
0 5 10 15 20 25 30 35
Waktu (menit)
33
Gambar 4.5 Kurva Rasio Swelling terhadap Waktu pada Sampel 20 kGy
dengan Variasi Bebas Akrilamida dan Variasi Tetap Onggok 3% (w/v)
Pada Gambar 4.5 terlihat bahwa rasio swelling untuk sampel dengan dosis
radiasi 20 kGy pada variasi AAm 1%; 3%; 5% dan 7% telah mencapai maksimum
di waktu perendaman 30 menit pada sampel AAm 1%. Nilai rasio swelling
berturut-turut dari perhitungan rata-rata pada sampel tertinggi dan terendah adalah
270,562% dengan deviasi 34,081% dan 40,234% dengan deviasi 34,620%.
Berdasarkan kurva yang telah ditampilkan diatas, dapat dilihat bahwa
semakin meningkatnya dosis iradiasi, kapasitas swelling sampel akan menurun
namun kemampuan kopolimer mencapai waktu maksimum perendaman lebih
lama. Berikut ini dapat dilihat adanya perbedaan satu sama lain. Rasio swelling
untuk sampel AAm 1%, 3%, 5%, 7% dengan dosis iradiasi 5 kGy cenderung lebih
tinggi (rentang rasio swelling 500-1000 %) dibandingkan dengan dosis iradiasi 10,
15, dan 20 kGy (rentang rasio swelling 40-400 %). Hal tersebut diduga karena
pada dosis 5 kGy yaitu dosis iradiasi yang paling rendah, jumlah pori yang
terbentuk masih sangat sedikit sehingga ruang pori untuk membesar masih cukup
luas. Sedangkan pada dosis 10,15, dan 20 kGy, yaitu jumlah pori yang bertambah
banyak sehingga waktu yang dibutuhkan oleh kopolimer untuk mencapai waktu
maksimum perendaman lebih lama dibandingkan dengan kopolimer dosis 5 kGy.
Namun, jumlah pori yang bertambah banyak berakibat pada kerapatan ruang yang
bertambah tinggi jika dibandingkan dengan kopolimer dosis 5 kGy sehingga
kemampuan pori untuk membesar menjadi lebih kecil. Jika dikaitkan dengan hasil
pengujian fraksi gel, sampel yang nilai swellingnya tinggi memiliki nilai fraksi gel
rendah. Matriks kopolimer yang renggang/tidak rigid menyebabkan air terabsorbsi
dalam jumlah yang banyak dengan waktu penyerapan optimum yang lebih rendah.
Selain itu juga perbedaan nilai rasio swelling antara kopolimer dosis 5 kGy
dengan 10 kGy; 15 kGy dan 20 kGy dapat disebabkan oleh kopolimer tersebut
memiliki ukuran pori yang berbeda. Dalam hal ini diduga pada dosis 5 kGy
terbentuk kopolimer dengan ukuran pori yang lebih besar dibandingkan dengan
kopolimer pada dosis radiasi 10 kGy; 15 kGy dan 20 kGy. Nilai rasio swelling
34
yang lebih kecil, maka dapat memungkinkan jumlah pupuk yang terserap dan
terlepas nantinya akan kecil, sedangkan jika nilai rasio swelling lebih besar, dapat
membuat jumlah pupuk yang terserap dan terlepas akan lebih banyak.
600
500
Release urea (mg/g)
400
300
200
100
0
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu ( menit)
500
450
400
Release Urea (mg/g)
350
300 5 kGy
250 10 kGy
200 15 kGy
150 20 kGy
100
50
0
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu (menit)
Gambar 4.7 Kurva Release Urea pada Konsentrasi Akrilamida 5% dan Variasi
Tetap Onggok 3% (w/v)
Kurva yang ditunjukkan pada Gambar 4.7 dapat diketahui bahwa untuk
sampel dosis 5 kGy dan 20 kGy urea habis terlepas pada menit ke-45. Untuk dosis
10 kGy urea habis terlepas di menit ke-30, sedangkan pada dosis 15 kGy urea
terlepas secara perlahan hingga menit ke-60.
500
450
400
Release Urea (mg/g)
350
300 5 kGy
250 10 kGy
200 15 kGy
150
20 kGy
100
50
0
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu (menit)
Gambar 4.8 Kurva Release Urea pada Konsentrasi Akrilamida 7% dan Variasi
Tetap Onggok 3% (w/v)
Kurva pada Gambar 4.8 menunjukkan bahwa untuk sampel dengan dosis
iradiasi 5 kGy uera habis terlepas pada menit ke-60. Untuk sampel dengan dosis
iradiasi 10 kGy dan 20 kGy urea habis terlepas di menit ke-45, sedangkan sampel
36
dengan dosis iradiasi 15 kGy urea terlepas habis pada menit ke-30.
Dari keseluruhan hasil, untuk akrilamida 5% didapatkan hasil terbaik pada
dosis 15 kGy, sedangkan untuk akrilamida 7% didapatkan hasil terbaik pada dosis
5 kGy. Kedua sampel tersebut dapat melepas urea secara perlahan dari menit
menit ke-5 hingga menit ke-60. Hal ini menandakan sampel tersebut dapat
menahan senyawa urea di dalam gel dalam waktu lama, dan pori-pori yang kecil
dapat melepaskan urea secara perlahan dengan konsentrasi kecil. Namun, jika
dibandingkan dari dua sampel terbaik, dipilih satu sampel akrilamida 5% dengan
dosis 15 kGy untuk dikarakterisasi.
105
%T
90
75
2189.21
2424.52
2520.96
2276.00
C-N
1919.17
NH N-H
60
1051.20
C=C
2812.21
1138.00
45
985.62
1278.81
3332.99
1664.57
1352.10
3190.26
1610.56
1427.32
30
4000 3500 3000 2500 2000 1750 1500 1250 1000 750 500
akrilamida 1/cm
Pada Gambar 4.9 terlihat ciri khas akrilamida yaitu puncak bilangan
gelombang 3332,99 cm-1 adanya ikatan NH2. Pada puncak bilangan gelombang
1661,51 cm-1 adanya ikatan C=C. Puncak lain muncul yaitu pada bilangan
gelombang 1610,56 cm-1 dan 1427,32 cm-1 yaitu ikatan N-H dan C-N.
38
105
%T
90
C-O
75
OH
60
1637.56
2929.87
1338.60
45
1149.57
3363.86
1076.28
1002.98
4000 3500 3000 2500 2000 1750 1500 1250 1000 750 500
onggok 1/cm
Pada Gambar 4.10 terlihat ciri khas onggok (pati) yaitu pada bilangan
gelombang 3333,86 cm-1 adanya ikatan OH. Puncak lain muncul pada bilangan
gelombang 1050-1300 cm-1 terdapat ikatan C-O.
97.5
C-N
%T
90 N-H
NH2
82.5
2812.21
75
OH
1138.00
C=C
1280.73
987.55
67.5
1352.10
60
C-O
3190.26
3344.57
1610.56
1670.35
1427.32
52.5
4000 3500 3000 2500 2000 1750 1500 1250 1000 750 500
sebelum radiasi nisa 1/cm
Pada Gambar 4.11 terlihat puncak pada bilangan gelombang 3344,57 yang
merupakan terdapatnya gugus -OH dan bilangan gelombang 3190,26 cm-1
39
terdapat gugus NH2. Pada puncak bilangan gelombang 1670,35 cm-1 terdapat
ikatan rangkap dua yaitu C=C. Puncak lain muncul pada panjang gelombang 1138
cm-1 yaitu terdapat ikatan C-N dan pada bilangan gelombang 1610,56 cm-1
terdapat ikatan N-H. Hasil tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan
dari gambar 4.9 dan 4.10.
100
%T
98
96
981.77
94
2310.72
92
C-N
90
C=O
OH
1687.71
3604.96
88
4000 3500 3000 2500 2000 1750 1500 1250 1000 750 500
sesudah radiasi nisa 1/cm
Pada Gambar 4.12 terlihat ciri khas gugus -OH pada bilangan gelombang
3600 cm-1. Pada bilangan gelombang 2310,72 cm-1 terdapat ikatan C-N dan
terdapat ikatan C=O pada bilangan gelombang 1687,71 cm-1.
Berdasarkan hasil pengamatan bahwa puncak pada gugus OH berkurang
dilihat dari hasil FTIR bahan campuran setelah iradiasi. Hal ini dapat disebabkan
sebagian gugus -OH pada onggok telah bereaksi dengan akrilamida membentuk
ikatan kovalen. Ikatan NH2 dan C-O sudah tidak ada pada hasil FTIR setelah
diiradiasi. Hasil FTIR bahan campuran membuktikan terjadinya reaksi
polimerisasi adisi antarmolekul akrilamida dan reaksi polimerisasi kondensasi
polisakarida dengan akrilamida. Kedua reaksi tersebut dapat dilihat pada gambar
4.13 dan 4.14.
40
Pada penelitian ini, digunakan dua jenis bahan penyusun kopolimer yaitu
akrilamida sebagai pembentuk cross-link dan onggok sebagai rantai utama
kopolimer. Cross linking yang terbentuk disebabkan terjadinya kopolimerisasi
cangkok pada akrilamida dan onggok. Polisakarida sebagai rantai utama bereaksi
dengan akrilamida akan membentuk ikatan kovalen. Sinar gamma berfungsi
dalam membantu pembentukan kopolimer sehingga berat molekul bertambah.
Bertambahnya berat molekul kopolimer berbanding lurus dengan nilai viskositas.
4.6.2 DSC
Keberhasilan reaksi kopolimerisasi dengan teknik iradiasi dapat diketahui
melalui analisis DSC dengan membandingkan akrilamida, onggok, sampel
sebelum iradiasi, sesudah iradiasi dan urea berlapis kopolimer.
41
0.00
-10.00 Peak 0
96.68x10
C
0
Onset 80.32x10
C
Endset 0
111.37x10
C
-20.00
-30.00
-40.00
50.00 100.00 150.00
Temp [C]
Onggok.tad DSC
DSC
mW
50.00
Peak 0
381.97x10
C
0
Onset 349.26x10
C
Endset 0
419.16x10
C
Peak 0
84.27x10
C
Onset 0
39.87x10
C
0
Endset 124.90x10
C
0
-0.00 Peak 492.21x10
C
Onset 0
473.75x10
C
Endset 0
495.28x10
C
Gambar 4.15 Hasil Analisis DSC Akrilamida (atas) dan Onggok (bawah)
Berdasarkan Gambar 4.15 terlihat bahwa pada akrilamida hanya muncul
puncak ke arah bawah yang menandakan terjadinya reaksi endotermis. Puncak
tersebut merupakan titik leleh dari akrilamida. Hal ini disebabkan penyerapan
panas oleh sampel karena mengalami reaksi endotermis yang akan memerlukan
42
lebih banyak panas. Pada onggok terjadi proses kristalisasi pada suhu 381.97oC.
Puncak dari kristalisasi berbentuk tajam, sebagai sampel yang mengalami proses
eksotermis. Setelah kristalisasi, muncul puncak endotermis pada suhu 492.21oC
yang melebar merupakan onggok yang terdekomposisi.
DSC
mW
kopolimer sblum.tad DSC
0.00
-20.00
Peak 0
89.65x10
C
0
Onset 78.98x10
C
-40.00 0
Endset 96.45x10
C
20.00
0.00
-20.00
Gambar 4.16 Hasil Analisis DSC Bahan Campuran Sebelum Iradiasi (atas) dan
Setelah Iradiasi (bawah)
43
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pada penelitian ini kopolimer onggok-akrilamida telah berhasil disintesis
dengan menggunakan teknik iradiasi sinar gamma. Kopolimer yang dihasilkan
dapat digunakan untuk modifikasi pupuk urea menjadi pupuk slow release dengan
melihat hasil parameter keberhasilan dari sisi nilai fraksi gel, kapasitas swelling,
dan dari uji slow release pada pupuk. Hasil yang diperoleh dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. telah berhasil dibuat kopolimer dari limbah tepung tapioka (onggok)-
akrilamida sebagai material yang digunakan untuk memodifikasi pupuk urea
2. konsentrasi akrilamida mempengaruhi bentuk fisik kopolimer. Semakin tinggi
konsentrasi, semakin tinggi pula nilai fraksi gel. Hasil optimum pada
konsentrasi akrilamida 5%.
3. dosis iradiasi mempengaruhi kualitas kopolimer. Semakin tinggi dosis,
semakin tinggi pula viskositas pada kopolimer yang mengubah bentuk fisik
kopolimer dari cair menjadi gel. Hasil optimum kopolimer pada dosis iradiasi
15 kGy yaitu dengan bentuk fisik semi-gel.
5.2 Saran
Onggok-akrilamida memiliki potensi besar sebagai material kopolimer baru,
khususnya dalam pembuatan pupuk urea yang bersifat slow release. Oleh karena
itu, setelah penelitian ini diharapkan adanya pengembangan dan penyempurnaan
terhadap kopolimer tersebut dengan meninjau beberapa hal lebih lanjut, yaitu:
44
45
1. perlu dilakukan metode sintesis lain seperti, metode pellet, metode granul,
atau metode spraying.
2. untuk mengetahui ketahanan kopolimer terhadap mikroorganisme yang ada di
tanah, maka perlu dilakukan pengujian biodegradasi pada kopolimer.
3. perlu dilakukan pengujian lebih lanjut untuk mengetahui secara lebih
mendalam dengan menambah variasi waktu, suhu dan pH di air maupun
tanah.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Bajpai AK., Giri A. (2003). Water sorption behaviour of highly swelling
(carboxy methylcellulose-g-polyacrylamide) hydrogels and release of
potassium nitrate as agrochemical. Carbohydrate Polymers, 53, 271-279.
[2] Jagadeswaran, R., V. Murugappan, M. Govindaswamy. (2005). Effect of Slow
Release NPK Fertilizer Sources on the Nutrient use Efficiency in Turmeric
(Curcuma longa L.). World Journal of Agricultural Sciences. 1:65-69.
[3] Trenkel, M. E., (2010). Slow and Controlled Release and Stabilized Fertilizer.
IFA. France.
[4] Hekmat, A., A. B. Barati, M. Zendehel, H. R. Norouzi, A. Afraz. (2008).
Synthesis and Analysis of Swellling and Controlled Release Behaviour of
Anionic Spin Acrylamide Based Hydrogel. NCEC. Iran Higher Education.
[5] Asmin, Karimuna L., Suharno. (2014). Kajian Potensi Sumberdaya Lahan
Sawah, Permasalahan dan Pengelolaannya dalam Upaya Peningkatan
Produksi Padi di Sulawesi Tenggara. AGRIPLUS.
[6] Major, J., Rondon M., Molina D., Riha S., Lehman J. (2010). Maize Yield and
Nutrition During 4 Years After Biochar Application to a Columbian Savanna
Oxisol. Plant Soil. 333:117-128.
[7] U, Shavit, et al. 2002. Wetting mechanisms of gel based controlled release
fertilizers. Journal of Controlled Release.88:71-83.
[8] Wang, Jinlei, Zheng,Yian and Wang, Aiqin. 2010. Synthesis and Swelling
Behaviors of Poly(sodium acrylate) / Hydroxyapatite Superabsorbent
Nanocomposit. Beijing, Cina.
[9] Jamnongkan, T dan Kaewpirom, S. 2010. Controlled-Release Fertilizer Based
on Chitosan Hydrogel: Phosphorus Release Kinetics. Science Journal
Ubonratchathani University, Vol. 1, No. 1, 43-50.
46
47
LAMPIRAN
30 0,2886
0.3
40 0,4091
0.2 50 0,5414
0.1
0
0 10 20 30 40 50 60
-0.1
Konsentrasi (ppm)
Waktu Berat Sampel (gr) Nilai Absorbansi Labu ukur (mL) Konsentrasi (ppm) mg/g urea
Pengenceran
Dosis perendaman Deviasi
Simplo Duplo Simplo Duplo (kali) Simplo Duplo Simplo Duplo Simplo Duplo mean
(menit)
5 1,0077 1,0024 0,007 0,5262 50 200 200 6,167 49,433 61,195 493,150 277,173 155,843
10 1,0077 1,0024 0,0019 0,0391 50 50 50 5,742 8,842 14,244 22,051 18,148 43,018
20 1,0077 1,0024 0 0,0091 50 50 50 5,583 6,342 13,852 15,816 14,834 13,243
5
30 1,0077 1,0024 0 0,0025 50 50 50 5,583 5,792 13,852 14,444 14,148 4,190
45 1,0077 1,0024 0 0 50 50 50 5,583 5,583 13,852 13,925 13,888 0,527
60 1,0077 1,0024 0 0 50 50 50 5,583 5,583 13,852 13,925 13,888 0,527
5 1,001 1,0083 0,559 0,9438 50 200 100 52,167 84,233 521,146 417,700 469,423 22,037
10 1,001 1,0083 0,0658 0,0401 50 50 50 11,067 8,925 27,639 22,129 24,884 22,144
20 1,001 1,0083 0,0283 0,0201 50 50 50 7,942 7,258 19,834 17,996 18,915 9,716
10
30 1,001 1,0083 0 0 50 50 50 5,583 5,583 13,944 13,843 13,894 0,727
45 1,001 1,0083 0 0 50 50 50 5,583 5,583 13,944 13,843 13,894 0,727
60 1,001 1,0083 0 0 50 50 50 5,583 5,583 13,944 13,843 13,894 0,727
5 1,0019 1,0032 0,5622 0,8671 50 100 100 52,433 77,842 261,669 387,967 324,818 38,882
10 1,0019 1,0032 0,0605 0,0652 50 50 50 10,625 11,017 26,512 27,454 26,983 1,745
20 1,0019 1,0032 0,0479 0,0451 50 50 50 9,575 9,342 23,892 23,280 23,586 2,597
15
30 1,0019 1,0032 0,0411 0,0392 50 50 50 9,008 8,850 22,478 22,054 22,266 1,903
45 1,0019 1,0032 0,0388 0,0331 50 50 50 8,817 8,342 22,000 20,788 21,394 5,666
60 1,0019 1,0032 0,0322 0,0227 50 50 50 8,267 7,475 20,627 18,628 19,628 10,188
5 1,0008 1,0081 0,4931 0,4458 50 200 200 46,675 42,733 466,377 423,900 445,138 9,542
10 1,0008 1,0081 0,0907 0,0678 50 50 50 13,142 11,233 32,828 27,858 30,343 16,380
20 1,0008 1,0081 0,0115 0,0146 50 50 50 6,542 6,800 16,341 16,863 16,602 3,146
20
30 1,0008 1,0081 0,0001 0,0047 50 50 50 5,592 5,975 13,968 14,817 14,393 5,902
45 1,0008 1,0081 0 0 50 50 50 5,583 5,583 13,947 13,846 13,897 0,727
60 1,0008 1,0081 0 0 50 50 50 5,583 5,583 13,947 13,846 13,897 0,727
58