Anda di halaman 1dari 63

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan Laporan Tugas Akhir
Penelitian ini. Penulisan Laporan Tugas Akhir Penelitian ini dilakukan diajukan
sebagai salah satu syarat penyelesaian akademik Program Studi Teknik Kimia
Polimer pada Politeknik STMI Jakarta Kementerian Perindustrian RI. Kami
menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa
perkuliahan sampai pada penyusunan Laporan Tugas Akhir Penelitian ini,
sangatlah sulit bagi kami untuk menyelesaikan Laporan Tugas Akhir Penelitian
ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Mustofa, ST, MT, selaku Direktur Politeknik STMI Jakarta Kementerian
Perindustrian RI

2. Ir. Roosmariharso, MBA selaku Ketua Program Studi Teknik Kimia


Polimer Politeknik STMI Jakarta Kementerian Perindustrian RI

3. Dr. Erfina Oktariani, ST, MT, selaku dosen pembimbing 1 yang telah
mengarahkan kami dalam penyusunan Laporan Tugas Akhir Penelitian;

4. Ir. Rochmi Widjajanti, M. Eng, selaku dosen pembimbing 2 yang telah


mengarahkan kami dalam penyusunan Laporan Tugas Akhir Penelitian;
5. Dr. Ir. Gatot Trimulyadi, M.Si selaku pembimbing di BATAN yang telah
memberikan fasilitas berupa alat dan bahan penelitian, serta membantu dalam
penyusunan Laporan Tugas Akhir Penelitian;
6. Pak Ajaat, Pak Erizal, Ibu Dewi, Ibu Susi, dan seluruh karyawan BATAN
yang telah membantu dalam memberikan krtitik dan masukan.
7. Orang tua dan keluarga kami yang telah memberikan bantuan dukungan
material dan moral; dan
8. Sahabat yang telah banyak membantu kami dalam menyelesaikan Laporan
Tugas Akhir Penelitian ini.
Akhir kata, kami berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas
segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga Laporan Tugas
Akhir Penelitian ini bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Jakarta, Agustus 2017

Penulis
ABSTRAK

Pada negara yang mayoritas memiliki lahan pertanian seperti Indonesia, pupuk
berperan penting dalam meningkatkan kualitas produksi tanaman. Untuk efisiensi
pemberian pupuk, dikembangkan kopolimer untuk memodifikasi pupuk agar
memiliki sifat slow release (lepas lambat). Pada penelitian ini dilakukan sintesis
kopolimer dari onggok-akrilamida (AAm) dengan teknik iradiasi sinar gamma
yang bertujuan untuk memanfaatkan limbah dan menciptakan kopolimer yang
baik sebagai pelapis pupuk. Kopolimer dibuat dengan komposisi onggok 3 gram
dan akrilamida yang di variasikan (1%; 3%; 5% dan 7%). Selain itu, dilakukan
variasi dosis iradiasi sinar gamma (5; 10; 15 dan 20 kGy). Hasil yang diperoleh
kopolimer optimum dengan AAm 5% dosis iradiasi 15 kGy sebagai bahan
modifikasi pupuk urea. Kopolimer optimum dikarakterisasi dengan FTIR dan
DSC. Pengujian slow release dilakukan dengan metode absorbsi. Kualitas dari
kopolimer dipengaruhi oleh komposisi onggok dan akrilamida serta dosis iradiasi,
sedangkan absorsi pupuk dipengaruhi oleh waktu perendaman.

Kata kunci : onggok, akrilamida, iradiasi gamma, kopolimer, slow release.


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pupuk dan ketersediaan air menjadi salah satu faktor utama yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman [1]. Saat ini pemberian pupuk
mineral untuk tanaman banyak dilakukan oleh petani secara konvensional yaitu
dengan cara menebar pupuk pada permukaan tanah sehingga menyebabkan pupuk
yang diberikan tidak seluruhnya terserap tanaman. Hal tersebut dikarenakan
pupuk dapat terbawa air, angin, ataupun terserap ke dalam tanah. Ketersediaan
unsur hara dalam sistem tanah untuk tanaman ditentukan oleh hubungan antara
akar tanaman, mikroorganisme tanah dan reaksi kimia [2].
Tanaman memerlukan unsur hara yang cukup untuk pertumbuhan dan
perkembangan, antara lain nitrogen (N), fosfat (P), dan kalium (K). Unsur hara
nitrogen berpengaruh paling besar terhadap tanaman dibandingkan unsur hara
lain. Tumbuhan menyerap nitrogen melalui akar dari dalam tanah. Namun, hanya
sebagian dari nitrogen yang terserap dan digunakan oleh tanaman untuk tumbuh
[3]. Beberapa studi menunjukan bahwa antara 40-70% nitrogen dalam pupuk
tidak diserap tanaman tetapi dilepaskan ke lingkungan [4]. Pupuk biasa pada
umumnya merupakan sumber pupuk nitrogen (N) yang paling banyak digunakan
petani karena harganya murah dan ketersediaan yang melimpah di pasaran. Pupuk
biasa bersifat higroskopis, mudah menguap dan cepat terdekomposisi, sehingga
efektifitasnya rendah. Unsur hara nirogen (N) kemungkinan dapat teroksidasi
menjadi nitrat karena aktivitas mikroba. Kehilangan N melalui proses penguapan
amonia dapat mencapai 25%, sedangkan kehilangan N dari proses denitrifikasi
berkisar antara 28-33% [5]. Nitrat yang terakumulasi dalam ekosistem akan
berdampak besar, terutama dari sudut pandang kesehatan dan lingkungan.
Efektivitas pengendalian hara dalam meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk
dan mengurangi masalah lingkungan tidaklah mudah. Hal tersebut karena
tanaman cenderung tidak berhenti menyerap selama tersedia unsur hara [6].

1
2

Untuk mengontrol jumlah pupuk pada tanaman agar tidak ada unsur hara
yang terbuang maka dikembangkan metode controlled release fertilizer (CRF)
[7]. CRF merupakan metode yang berguna untuk meningkatkan efisiensi pupuk,
mempertahankan persediaan air, mengurangi potensi efek negatif dari kelebihan
dosis, dan mengurangi tingkat toksisitas [8]. Metode CRF ini dapat diperoleh
dengan menggunakan kopolimer yang menghambat pelepasan air dan nutrien
sehingga tidak ada yang terbuang [9].
Mayoritas sintesis kopolimer menggunakan bahan Asam akrilat (AA) dan
Akrilamida (AAm), tetapi sifat biodegradabilitasnya rendah, kurang ramah
lingkungan, dan mahal [8]. Maka dicari alternatif lain untuk menghasilkan
kopolimer yang ramah lingkungan dan murah. Seperti pada penelitian Wu dan
Liu, (2008) telah dilakukan coating pupuk NPK dengan coating bagian dalamnya
dengan kitosan dan luarnya polimer superabsorben (asam poliakrilat-co-
akrilamida) [10]. Hasil penelitian tersebut diperoleh slow release fertilizer yang
baik. Pada penelitian Li (2012) dilakukan pembuatan poliasam akrilamida-co-
akrilik makromolekul sebagai pupuk lepas lambat. Hasil yang didapatkan
menunjukkan bahwa slow release fertilizer tersebut seusai dengan standar slow
release fertilizer dari Komite Eropa Normalisasi (CEN) [11]. Selanjutnya
penelitian Trimulyadi (2015) dilakukan pembuatan bahan pelapis pupuk dari
sintesis kopolimer CMC-pati-kitosan-akrilamida. Hasil pengujian kopolimer
tersebut didapat nilai swelling meningkat dengan pelarut asam asetat yang
berguna untuk melarutkan kitosan serta meningkatnya konsentrasi akrilamida
menunjukkan pengikatan silang yang meningkat [12]. Dengan demikian
akrilamida dapat dijadikan sebagai bahan untuk menghasilkan kopolimer yang
ramah lingkungan.
Akrilamida merupakan suatu senyawa kimia kristalin bening hingga putih
dan tidak berbau. Senyawa ini sangat mudah larut dalam air, larut dalam aseton,
etanol, metanol dan dimetil eter [13].
Pada zaman sekarang, para peneliti mengembangkan penelitian yang ramah
lingkungan, contohnya pada sintesis kopolimer dengan penambahan bahan dari
alam yang bersifat biodegradable dan biocompatible. Salah satu senyawa yang
3

melimpah dan mudah didapatkan yaitu karbohidrat atau polisakarida. Limbah


pertanian seperti ampas tebu, jerami padi, ampas tapioka dapat digunakan sebagai
alternatif bahan yang mengandung polisakarida. Limbah pertanian yang memiliki
potensi tinggi dengan jumlah yang melimpah adalah onggok. Onggok yang
merupakan limbah padat industri pembuatan tepung tapioka ini dapat diperoleh
hingga mencapai 2/3 bagian dari bahan mentahnya dengan kandungan karbohidrat
yang tersisa sebesar 65,9% [14]. Kandungan sisa pati dan selulosa yang tinggi ini
membuat limbah tersebut berpotensi untuk dimanfaatkan secara optimal.
Pada penelitian ini dilakukan sintesis suatu kopolimer onggok-akrilamida
dengan teknik iradiasi sinar gamma, seperti yang telah dilakukan oleh Erizal
(2009). Penelitian tersebut mengkombinasikan akrilamida dan karaginan yang
disintesis dengan sinar gamma [15]. Kopolimer hasil sintesis onggok-akrilamida
dapat dimanfaatkan sebagai material untuk modifikasi pupuk urea berdasarkan
sifat swelling dan slow release-nya. Pupuk modifikasi tersebut selanjutnya
dianalisis menggunakan Fourier Transform Infrared (FTIR) dan Differential
Scanning Calorimeter (DSC).

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dibahas sebelumnya, maka masalah
yang dapat dirumuskan adalah:
1. bagaimana membuat kopolimer dari limbah tepung tapioka (onggok)-
akrilamida sebagai material yang digunakan untuk memodifikasi pupuk urea?
2. bagaimana pengaruh konsentrasi akrilamida terhadap kualitas kopolimer?
3. bagaimana pengaruh dosis dari sinar gamma terhadap kualitas kopolimer?

1.3 Batasan Masalah


Batasan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. bahan baku yang digunakan berupa akrilamida dan onggok (3 gram pada
masing-masing sampel) yang diperoleh dari desa Ciliwer, Bogor, Jawa Barat.
2. variasi konsentrasi akrilamida yaitu 1%; 3%; 5% dan 7%.
3. variasi dosis sinar gamma yaitu 5 kGy; 10 kGy; 15 kGy; dan 20 kGy.
4

1.4 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1. membuat kopolimer dari limbah tepung tapioka (onggok)-akrilamida sebagai
material yang digunakan untuk memodifikasi pupuk urea.
2. mengetahui pengaruh dari konsentrasi akrilamida terhadap kualitas kopolimer.
3. mengetahui pengaruh dosis dari sinar gamma terhadap kualitas kopolimer.

1.5 Manfaat Penelitian


Hasil pada penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi tambahan
dalam menghasilkan pupuk urea yang mempunyai sifat lepas lambat dengan
kopolimer sebagai bahan pelapis.

1.6 Sistematika Penelitian


BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang dilakukannya penelitian,
rumusan masalah yang akan dibahas, batasan masalah dari penelitian yang akan
dilakukan, tujuan dan manfaat dari dilakukannya penelitian ini, serta penjelasan
mengenai sistematika penulisan laporan penelitian.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tinjauan umum mengenai onggok, akrilamida, iradiasi sinar gamma,
kopolimer, hidrogel, pupuk urea, slow release fertilizer, karakterisasi kopolimer .
BAB III : METODE PENELITIAN
Bab ini berisi penjelasan tentang waktu dan tempat penelitian, alat dan bahan
yang digunakan, serta prosedur penelitian.
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi data hasil pengujian, analisis data yang sudah diolah menjadi grafik,
dan pembahasan terhadap hasil pengujian dan analisis data.
BAB V : PENUTUP
Bab ini berisi dua bagian, kesimpulan dan saran yang telah dilakukan berdasarkan
hasil yang telah didapat pada bab sebelumnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Onggok
Tepung tapioka merupakan turunan dari singkong (Manihot utilissima).
Industri tepung tapioka Indonesia mulai berkembang pada tahun 1980. Industri
tepung tapioka merupakan salah satu industri makanan. Tepung tapioka adalah
bahan baku dan bahan pembantu untuk industri tekstil, industri kertas dan lain lain
[16]. Skema proses pembuatan tepung tapioka dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Ketela pohon Pengupasan Kulit

Air Pencucian Air buangan

Pemarutan

Air Pemerasan Ampas/onggok

Pengendapan & Pemisahan Pati Air buangan

Pengeringan

Penggilingan Debu

Pengemasan

Tepung Tapioka

Gambar 2.1 Skema Proses Pembuatan Tepung Tapioka


Sumber: Ginting (1992)

5
6

Ampas tapioka (ongok) diperoleh dari pemerasan ampas untuk memperoleh


pati. Onggok yang merupakan limbah dari industri tepung tapioka dapat dilihat
pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Ampas Tapioka (onggok)


Sumber: dokumen pribadi

Berdasarkan Gambar 2.2 dapat dilihat bahwa onggok berbentuk serbuk,


berwarna coklat dan terdapat serat-serat kasar. Onggok mengandung senyawa
penting yang dapat diolah kembali menjadi produk yang lebih bermanfaat yaitu
pati dan serat kasar. Persentase kandungan senyawa yang terdapat pada onggok
dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Kandungan Senyawa pada Onggok


No Parameter Presentase (%)
1 Pati 38,00
2 Serat Kasar 34,58
3 Lemak 1,09
4 Protein 2,88
5 Kadar Air 16,55
6 Abu 6,16
Sumber: Wijayanti, 2012

Pada Tabel 2.1 menunjukan bahwa salah satu komponen karbohidrat utama
yang terdapat pada onggok padalah pati. Pati itu sendiri terbagi atas dua
komponen utama, yaitu amilosa (15-30%) dan amilopektin (70-85%). Struktur
amilosa dan amilopektin dapat dilihat pada Gambar 2.3.
7

Gambar 2.3 Struktur Amilosa dan Amilopektin


Sumber: http://kimiadasar.com/amilum/

Selain pati, kandungan lain dari onggok adalah serat kasar, serat tumbuhan
yang tidak dapat larut dalam air serta terdiri atas selulosa dan hemiselulosa.
Selulosa (C6H10O5)n adalah polisakarida karbohidrat yang terdiri atas
homopolimer linier berupa D-anhidroglukosa. Hal ini ditunjukan pada Gambar
2.4 tentang struktur selulosa. Hemiselulosa merupakan polimer dengan monomer
yang berbeda. Hemiselulosa mudah larut dalam alkali tapi sukar larut dalam asam,
sedangkan selulosa sebaliknya.

Gambar 2.4 Struktur Selulosa


Sumber: http://www.helsinki.fi/polymeerikemia/research/cellulose1.html

Onggok memiliki kandungan karbohidrat yang cukup tinggi. Komposisi


kimia onggok sangat beragam bergantung pada mutu bahan baku, efisiensi proses
ekstraksi pati dan penanganan onggok itu sendiri [17].
Sekarang ini banyak penelitian yang menggunakan karbohidrat atau
polisakarida sebagai salah satu bahan sintesis kopolimer untuk diaplikasikan
dalam bidang pertanian dan kesehatan. Oleh karena itu, onggok dengan
8

kandungan karbohidrat yang tinggi dapat dijadikan allternatif modifikasi


kopolimer.

2.2 Akrilamida
Akrilamida (C3H5NO) mempunyai gugus karbonil dan ikatan rangkap yang
reaktif serta gugus amina yang membuat senyawa tersebut menjadi bersifat
hidrofilik dan dapat membentuk ikatan hidrogen yang kuat [18]. Akrilamida
biasanya dibuat menjadi suatu kopolimer yang memiliki sifat hidrofilisitas dan
juga inert secara biologis sehingga menjadi bahan pilihan dalam sejumlah
aplikasi. Akrilamida dimanfaatkan sebagai flokulan dan koagulan dalam proses
pengolahan air minum, pengolahan limbah, bahan pengikat, produksi perekat,
pengatur viskositas pada pemrosesan minyak mentah dan gel pada kosmetik [19].
Akrilamida adalah kristal tidak berbau, padat pada suhu kamar, dan berat molekul
71,08. Bentuk monomer dari akrilamida adalah bubuk yang larut dalam air dan
digunakan dalam proses industri kimia, akrilamida merupakan monomer vinil dan
diproduksi secara komersial oleh hidrolisis akrilonitril menggunakan nitrile
hydrase dan ada dalam dua bentuk, yaitu monomer dan polimer [20]. Gambar
struktur akrilamida dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Struktur Akrilamida


Sumber: himalogista.ub.ac.id

Poliakrilamida di dalam tanah berfungsi sebagai penguat, partikel pengikat


bersama tanah sehingga membentuk partikel yang lebih besar dan lebih berat [21].
Namun, kapasitas pembengkakannya kurang baik akibat kurangnya energi yang
efisien dan penyebaran titik silang yang tidak teratur [22]. Oleh karena itu,
dilakukan modifikasi menggunakan polimer yang memiliki kapasitas
pembengkakan dan kekuatan mekanik yang lebih baik sehingga dapat
mempertahankan air ataupun material lain yang terserap di dalamnya.
9

2.3 Teknik Iradiasi Sinar Gamma


Iradiasi adalah pancaran energi melalui suatu materi atau ruang dalam
bentuk panas, partikel, atau gelombang elektromagnetik. Zat yang dapat
memancarkan iradiasi disebut zat radioaktif yaitu zat yang mempunyai inti atom
yang tidak stabil, sehingga zat tersebut mengalami transformasi spontan
(peluruhan) menjadi zat dengan inti atom yang lebih stabil dengan mengeluarkan
partikel atau sifat sinar tertentu. Iradiasi dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu iradiasi panas dan iradiasi pengion. Iradiasi panas menggunakan frekuensi
rendah, misalnya infra merah. Iradiasi pengion menggunakan frekuensi tinggi,
misalnya sinar alfa, beta, dan gamma [23].
Sinar gamma merupakan gelombang elektromagnetik pendek dengan energi
tinggi berinteraksi dengan atom-atom atau molekul untuk memproduksi radikal
bebas dalam sel. Radikal bebas tersebut dapat menginduksi mutasi dalam tanaman
karena radikal akan menghasilkan kerusakan sel atau pengaruh penting dalam
komponen sel tanaman [24]. Keuntungan menggunakan sinar gamma adalah dosis
yang digunakan lebih akurat dan penyinaran ke dalam sel bersifat homogen.
Iradiasi sinar gamma merupakan sebuah bentuk iradiasi pengion yang lebih
menembus ke dalam suatu substrat. Pada dosis tinggi, iradiasi gamma akan
mematikan bahan yang dimutasi atau mengakibatkan sterilisasi, sedangkan pada
dosis rendah dapat mempertahankan daya hidup atau tunas, dapat memperpanjang
waktu kemasakan pada buah-buahan dan sayuran, serta meningkatkan kadar pati,
protein, dan kadar minyak pada biji jagung, kacang dan biji bunga matahari.
Dalam spektrum radiasi elektromagnetik, radiasi gamma terletak dekat
ujung energi tinggi bersama dengan sinar X. Energi yang berkaitan dengan radiasi
gamma (misalnya, sinar gamma yang dipancarkan oleh kobalt-60) cukup tinggi
untuk memecah ikatan molekul dan mengionisasi atom, tetapi tidak cukup tinggi
untuk mempengaruhi struktur inti atom (menghindari induksi radioaktivitas) [25].
Radiasi dengan energi tinggi seperti ini disebut sebagai radiasi pengion. Semua
proses radiasi dilakukan dengan radiasi pengion. Radiasi pengion dapat
memodifikasi fisik, kimia dan sifat biologis dari bahan iradiasi. Saat ini, aplikasi
industri utama radiasi sterilisasi produk perawatan kesehatan termasuk obat-
10

obatan, iradiasi produk makanan dan pertanian (untuk berbagai tujuan akhir,
seperti disinfestation, perpanjangan umur simpan, penghambatan kecambah,
pengendalian hama dan sterilisasi), dan bahan modifikasi seperti polimerisasi.
Dalam pemanfaatannya, iradiasi gamma dapat digunakan untuk
menggabungkan monomer atau polimer berbeda untuk membentuk suatu polimer
kompleks, yang dikenal dengan kopolimerisasi. Dengan menggunakan sinar
gamma proses reaksi yang relatif aman, tidak beracun, dosis radiasi dapat
dikontrol, relatif ekonomis dalam pembuatan bahan polimer biomaterial, dan hasil
kopolimer yang lebih murni [26], serta waktu kerja yang lebih cepat dengan hasil
sintesis yang lebih optimal karena energinya yang tinggi.
Radiasi pengion energi tinggi, seperti sinar gamma dan elektron balok, telah
digunakan sebagai inisiator untuk mempersiapkan hidrogel senyawa tak jenuh.
Iradiasi larutan polimer berair menghasilkan pembentukan radikal pada rantai
polimer. Radiolisis hasil molekul air juga menyerang rantai polimer dalam
pembentukan radikal hidroksil sehingga membentuk makro-radikal. Rekombinasi
makro-radikal disetiap hasil rantai membentuk ikatana kovalen, sehingga struktur
silang terbentuk [27].

2.4 Kopolimer
Kopolimer adalah polimer hasil sintesis, yang terdiri atas monomer atau
polimer dengan jenis berbeda. Kopolimer yang terbentuk memiliki struktur
tertentu, bergantung pada susunan monomer atau polimer, sebagai hasil dari
reaksi kopolimerisasi [28]. Jenis polimer sangat beraneka ragam dan dapat
ditingkatkan kembali dengan proses kopolimerisasi, kopolimerisasi
memungkinkan modifikasi rantai struktur melalui proses polimerisasi dengan
lebih dari satu tipe monomer yang bereaksi [29].
Susunan kopolimer yang dibentuk terbagi menjadi empat macam dapat
dilihat pada Gambar 2.6.
11

(Kopolimer acak) (Kopolimer beraturan) (Kopolimer blok) (Kopolimer cangkok)

Gambar 2.6 Jenis-Jenis Kopolimer


Sumber : http://matse1.matse.illinois.edu/polymers/prin.html
Kopolimer acak yaitu kopolimer yang mempunyai sejumlah satuan berulang yang
berbeda dan tersusun secara acak dalam rantai polimer. Kemudian kopolimer
beraturan adalah suatu kopolimer yang mempunyai beberapa kesatuan ulang yang
berbeda dan tersusun secara selang-seling. Kopolimer blok merupakan suatu
kopolimer yang mempunyai suatu kesatuan berulang berselang-seling dengan
kesatuan berulang lainnya dalam rantai polimer. Yang terakhir, kopolimer
cangkok adalah kopolimer yang mempunyai satu macam kesatuan berulang
menempel pada polimer tulang punggung lurus yang mengandung satu macam
kesatuan berulang dari satu jenis monomer.

2.5 Hidrogel
Hidrogel merupakan kelompok polimer, struktur hidrofilik yang membuat
mereka mampu menyerap sejumlah besar air dalam jaringan tiga dimensi [30].
Kapabilitas dari hidrogel untuk membengkak karena adanya kelompok hidrofilik
di dalam rantai polimer, sedangkan resistansi mekanik dibutuhkan dalam bagian
fisik atau kimia jaringan cross-linking [31]. Hidrogel dapat diklasifikasikan ke
dalam dua kelompok berdasarkan asal-usul alam atau sintetik mereka [32].
Klasifikasi berdasarkan komposisi kopolimer :
a. Hidrogel Homopolimer, berasal dari satu spesies dari monomer yang
merupakan unit struktural dasar yang terdiri jaringan polimer.
b. Hidrogel Kopolimer, berasal dari proses monomer yang berbeda dengan satu
komponen hidrofilik.
c. Hidrogel Multipolimer, terbuat dari dua independen sintetis silang dari dan
atau komponen polimer alam.
12

Klasifikasi berdasarkan sumber :


Hidrogel dapat diklasifikasikan berdasarkan asal usul mereka dari alam atau
sintetik.
Klasifikasi berdasarkan konfigurasi :
a. Amorf : (non-kristalin).
b. Semikristalin : campuran kompleks antara amorf dan kristal.
c. Kristal.
Hidrogel atau umumnya disebut Superabsorbent Polymers (SAPs) adalah
jaringan polimer hidrofilik yang mampu menyerap air lebih dari seratus kali
beratnya dan tidak mudah lepas meski diberi tekanan. Superabsorben telah
mendapat perhatian besar beberapa dekade terakhir karena dapat diaplikasikan
pada berbagai bidang diantaranya bidang pertanian dan sistem pelepasan obat.
Pada bidang pertanian bahan polimer yang digunakan umumnya akrilamida.
Hidrogel mampu menyerap sejumlah besar air atau fluida 10-10000 kali berat
keringnya [33]. Kapasitas penyerapan air dan permeabilitas merupakan
karakteristik utama yang paling penting dari hidrogel, biodegradable hydrogel
berisi ikatan yang labil akan menguntungkan apabila dapat diaplikasikan dan
ikatan ini memberikan masing-masing kekuatan polimer atau penggunaan ikatan
silang untuk hidrogel [34].
Hidrogel merupakan polimer hidrofilik yang memiliki dengan berbagai cara
dapat menghasilkan struktur elastis. Dengan demikian, setiap teknik yang dapat
digunakan untuk membuat polimer cross-linked dapat digunakan untuk
menghasilkan hidrogel. Kopolimerisasi atau polimerisasi cross-linking radikal
bebas umum digunakan untuk menghasilkan hidrogel dengan mereaksikan
monomer hidrofilik pembentuk cross-link yang memiliki gugus fungsi reaktif.
Untuk membentuk hidrogel dapat menggunakan beberapa cara:
1. Menghubungkan rantai polimer melalui reaksi kimia.
2. Menggunakan radiasi pengion untuk menghasilkan radikal bebas rantai utama
yang dapat membentuk cross-link.
3. Interaksi fisik seperti keterlibatan gaya elektrostatik, dan pembentukan kristal
[35].
13

2.6 Pupuk Urea


Pupuk merupakan faktor terpenting yang membatasi produksi pertanian,
sehingga sangat penting untuk meningkatkan pemanfaatan sumber daya air dan
unsur hara pupuk. Pupuk berperan sangat penting dalam penambahan produksi
dan produktifitas dari pertanian dimana pada umumnya petani Indonesia
menggunakan pupuk berbasis urea ((CO(NH2)2). Pupuk urea adalah salah satu
pupuk nitrogen dengan kandungan nitrogen yang tinggi, hal ini ditambahkan ke
tanah untuk melepaskan nutrisi yang penting untuk pertumbuhan dan
perkembangan tanaman [36]. Gambar pupuk urea dapat dilihat pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7 Pupuk Urea


Sumber : dokumen pribadi

Urea juga disintesis dalam skala industri dari amoniak dan karbondioksida
untuk digunakan dalam resin urea-formaldehid (resin sintetik) yang mengandung
gugus ulang (-NH-CO-O-) dan obat-obatan, pupuk dan nitrogen. Struktur dari
urea dapat dilihat pada Gambar 2.8.
14

Gambar 2.8 Struktur Urea


Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/urea

Urea merupakan material kering dalam bentuk butiran atau curah, urea-N secara
cepat terhidrolisis menjadi NH4+. Pupuk ini sering digunakan untuk aplikasi
langsung dalam pupuk campuran, dan dalam larutan nitrogen. N (Nitrogen) yang
pada aplikasi ini berwujud sebagai urea-N, dan sekitar 66% dari urea-N
dihidrolisa menjadi Ammonia-N dalam penggunaan 1 hari hingga 1 minggu.
Pupuk urea merupakan pupuk yang mudah larut dalam air tetapi tidak
mudah larut dalam pelarut organik dan sintetik [37]. Pupuk urea berbentuk
butiran-butiran kristal berwarna putih, merupakan pupuk yang mudah larut dalam
air dan sifatnya sangat mudah menghisap air (higroskopis), karena itu sebaiknya
disimpan di tempat kering dan tertutup rapat dengan suhu ruangan. Unsur hara
nitrogen yang terkandung dalam pupuk urea memiliki kegunaannya bagi tanaman
yaitu, membuat daun lebih banyak mengandung butir hijau (Chlorophyl), dapat
mempercepat pertumbuhan tanaman, dapat menambah kandungan protein
tanaman dan dapat dipakai untuk semua jenis tanaman, baik tanaman pangan,
holtikultura, tanaman perkebunan [38].
Permasalahannya, pupuk belum cukup terabsorpsi oleh tanaman karena
terdegradasi atau tercuci menghilang dalam tanah dan terbawa oleh aliran air,
maka dari itu perlu meneliti metode lain untuk memastikan elemen kimia yang
dapat merilis pupuk secara lambat dengan terus menerus dalam jangka waktu
yang pasti untuk meminimalkan degradasi oleh air [39].

2.7 Slow Release Fertilizer (SRF)


Salah satu metode untuk mengurangi hilangnya unsur hara dari pupuk
akibat terbawa oleh air adalah dengan menggunakan pupuk lepas lambat. Pupuk
lepas lambat (slow release fertilizer) merupakan pupuk dengan mekanisme
15

pelepasan unsur hara secara berkala mengikuti pola penyerapan unsur hara oleh
tanaman [40].
Slow release fertilizer khususnya urea terlapisi polimer dapat melepaskan
nutrisi yang terkandung dengan bantuan mikroorganisme ataupun kontak antara
air dengan zat pelapis, sehingga menyebabkan tekanan internal untuk
mengganggu membran dan melepaskan nutrisi yang tertutup. Nitrogen dilepaskan
ketika difusi melalui pori-pori di lapisan [41]. Slow release fertilizer melibatkan
pelepasan nutrient yang lebih lambat dari pada pupuk biasa, akan tetapi laju, jenis
dan durasi pelepasan belum dapat dikendalikan dengan baik [42].
Slow release fertilizer secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis:
- Senyawa organik-N kelarutan rendah, yang dapat dibagi menjadi senyawa-
senyawa yang terurai secara biologi, umumnya berupa produk kondensasi urea
aldehid, seperti urea formaldehid (UF), dan senyawa terurai secara kimia
seperti isobutiledenadiurea (IBDU).
- Pupuk yang memiliki sifat fisika untuk mengendalikan pelepasan, dapat berupa
inti atau granul yang disalut oleh polimer hidrofobik atau berupa matrik
dimana bahan aktif larut terdispersi ke dalam suatu rangkaian kesatuan yang
menghalangi larutnya pupuk. Pelapisan pupuk dapat dibedakan lebih jauh
menjadi pupuk yang dilapisi polimer organik baik berupa termoplastik atau
resin serta pupuk yang dilapisi bahan-bahan organik seperti sulfur atau mineral.
Bahan-bahan yang digunakan sebagai matrik dapat dibedakan menjadi bahan
hidrofobik seperti poliolefin, karet dan sebagainya, serta polimer-polimer
berbentuk gel (hidrogel) yang secara alami bersifat hidrofilik dan mengurangi
larutnya pupuk yang mudah larut dikarenakan pengembangan yang tinggi [43].
Pelepasan urea dari hidrogel melalui perbedaan konsentrasi antara bagian
dalam dan bagian luar hidrogel sebagai tanggapan kebutuhan nutrisi oleh tanaman
[44].
Slow release fertilizer dengan pelapisan urea telah banyak dipelajari
dengan berbagai macam teknik yang berbeda (rotating drum, fluidized bed,
spouted bed) dan variasi bahan (sulfur, resin, polymers), selanjutnya dalam
16

beberapa tahun terakhir ada peningkatan ketertarikan pada penggunaan polimer


dikombinasikan dengan kanji sebagai bahan pelapis [45].
Manfaat SRF dalam berbagai aspek, diantaranya adalah:
1. Aspek Ekonomi
Pupuk tanpa SRF diserap tanaman hanya 30%-40%, hal ini dikarenakan
proses release urea cepat sehingga urea yang diberikan terbawa air maupun
udara. Oleh karena itu, dengan teknologi SRF menggunakan polimer dapat
memberikan keuntungan yaitu proses penyerapan unsur hara N oleh tanaman
meningkat karena pelepasan urea lebih lama [46].
2. Aspek Fisiologis
Ada beberapa keuntungan agronomi, terkait dengan perbaikan kondisi untuk
pertumbuhan tanaman, antara lain :
a. Pasokan nutrisi lebih, karena pelepasan unsur haranya terkontrol dan
pasokan nutrisi di sekitar akar terpenuhi [47].
b. Penggunaan SRF meningkatkan perkecambahan dan kualitas tanaman
dengan berkurangnya gangguan pada daun, patah batang dan infestasi
penyakit [48].
c. Ammonium dapat meningkatkan ketersediaan Fe dalam tanah akibat
pengasaman sehingga unsur hara tambahan diperoleh tanaman [49].
3. Aspek Lingkungan
SRF tidak hanya dapat meningkatkan efisiensi penggunaan nutrisi dalam
pemupukan, tetapi juga mengurangi dampak terhadap lingkungan dan
kontaminasi air tanah. Nitrogen yang terlarut dalam air akan bermuara di
suatu tempat secara berlebih yang akan menyebabkan tumbuhnya ganggang
dan alga (eutrofikasi). Jumlahnya yang besar menghalangi sinar matahari
untuk mencapai dasar, mereka juga merebut pasokan oksigen yang
dibutuhkan oleh spesies lain yang ada dalam ekosistem tersebut sehingga
dapat menggangu keseimbangan rantai makanan. Selain itu, nitrogen yang
menguap dapat bereaksi menjadi oksida nitrat (N2O) yang jika mencapai
stratosfer akan merusak lapisan ozon, sehingga menghasilkan tingkat radiasi
UV yang lebih tinggi sehingga risiko kanker kulit serta katarak meningkat.
17

Seperti dampaknya pada ozon, nitrogen oksida terlarut dalam air atmosferik
membentuk hujan asam, yang mengkorosi batuan dan barang logam serta
merusak bangunan-bangunan [50].

2.8 Karakterisasi Kopolimer


Untuk mengetahui bagaimana karakterisasi dari kopolimer, diantaranya
dapat digunakan beberapa alat sebagai berikut :
2.8.1 Fourier Transform InfraRed (FTIR)
Fourier Transform InfraRed (FTIR) merupakan metode yang digunakan
untuk menentukan gugus fungsi, khususnya senyawa organik. Jika menggambar
persen absorbansi atau persen transmitansi versus frekuensi maka akan dihasilkan
spektrum inframerah [51]. Spektrum inframerah dibedakan menjadi tiga daerah
yaitu inframerah jauh, inframerah tengah dan inframerah dekat.
Pada analisis kandungan gugus fungsi yang umum digunakan adalah
inframerah tengah dengan bilangan gelombang 4000-400 cm-1 [52]. FTIR
mikroskopis dapat menentukan fitur kualitatif dan kuantitatif molekul IR-aktif
dalam sampel padat, cair atau gas organik atau anorganik. Metode yang cepat dan
relatif murah untuk analisis padatan yang kristalin, mikrokristalin, amorf atau
film. Gambar instrumen FTIR (Fourier Transform InfraRed) dapat dilihat pada
Gambar 2.9.
18

Gambar 2.9 Instrument Fourier Transform InfraRed (FTIR)


Sumber : introduction to fourier transform infrared spectrometry

FTIR terdiri dari 5 bagian utama, yaitu [53]:


a. Sumber sinar, yang terbuat dari filamen Nerst atau globar yang dipanaskan
menggunakan listrik hingga temperatur 1000-1800C.
b. Beam splitter, berupa material transparan dengan indeks relatif, sehingga
menghasilkan 50% radiasi akan direfleksikan dan 50% radiasi akan diteruskan.
c. Interferometer, merupakan bagian utama dari FTIR yang berfungsi untuk
membentuk interferogram yang akan diteruskan menuju detektor.
d. Daerah cuplikan, dimana berkas acuan dan cuplikan masuk ke dalam daerah
cuplikan dan masing-masing menembus sel acuan dan cuplikan secara
bersesuaian.
19

e. Detektor, Merupakan piranti yang mengukur energi pancaran yang lewat akibat
panas yang dihasilkan. Detektor yang sering digunakan adalah termokopel dan
balometer.

2.8.2 Differential Scanning Calorimeter (DSC)


Differential Scanning Calorimeter (DSC) merupakan salah satu alat dari
Thermal Analyzer yang dapat digunakan untuk menentukan kapasitas panas dan
entalpi dari suatu bahan. DSC merupakan pengujian yang baru, setelah
menggantikan analisis termal differensial (DTA). Pada umumnya informasi sifat
termal sampel dapat diperoleh dari data perubahan berat, suhu dan entalpi selama
proses pemanasan [54]. DSC mengukur perbedaan jumlah panas yang dibutuhkan
untuk menaikkan temperatur sampel. Hal ini dapat dilihat dari perubahan
komposit sebagai fungsi temperatur. DSC meliputi penentuan temperatur tansisi
gelas (Tg), titik leleh, kristalisasi, panas reaksi dan panas fusi, kapasitas panas dan
panas spesifik, kinetika reaksi dan kemurnian (purity).
Penggunaan DSC untuk penentuan kapasitas panas, menurut sistem mutu
SNI 19-17025, harus menggunakan metode uji yang valid [55]. Dalam proses
validasi metode penentuan kapasitas panas, ditentukan parameter-parameter unjuk
kerja metode dengan menggunakan peralatan yang memenuhi spesifikasi,
beroperasi dengan baik dan terkalibrasi agar diperoleh hasil yang baik. Metode
yang digunakan dalam penentuan kapasitas panas dengan DSC adalah metode
pengujian yang diberikan oleh fabrikan SETARAM Perancis [56]. Metode
tersebut harus diverifikasi agar diketahui kevalidannya. Sebelum melakukan
verifikasi metode tersebut, alat DSC harus dikalibrasi terlebih dahulu dan untuk
melakukan verifikasi metode harus diketahui parameter pengujian terlebih dahulu.
Parameter pengujian yang sangat berpengaruh terhadap hasil analisis kapasitas
panas adalah laju reaksi, sensitivitas koefisien dan temperatur koefisien.
Aplikasi dari DSC meliputi:
- definisi fase transisi termasuk titik leleh, transisi kaca, titik Curie
- penentuan kristalinitas
- studi kinetik
- bahan fingerprinting
20

Gambar prinsip kerja DSC (Differential Scanning Calorimeter) dapat dilihat pada
Gambar 2.10.

Gambar 2.10 Prinsip Kerja Differential Scanning Calorimeter (DSC)


Sumber: Thermal Processing Technology Center Illinois Institute of Technology

DSC merupakan analisis termal, ketika transisi termal terjadi pada sampel,
DSC memberikan pengukuran kalorimetri dari energi transisi dari temperatur
tertentu. Kedua sampel dan referensi dipertahankan pada temperatur yang hampir
sama sepanjang percobaan. Umumnya program suhu untuk analisis DSC
dirancang sedemikian rupa sehingga suhu pemegang sampel meningkat secara
linear sebagai fungsi waktu. Sampel referensi harus memiliki kapasitas panas
yang didefinisikan dengan baik selama rentang suhu yang akan dipindai.

2.9 Analisa Spektrofotometri UV-VIS


Analisa spektrofotometri terus menjadi salah satu teknik analisis yang
paling banyak digunakan. Penggunaan spektroskopi absorpsi yang terbanyak
terletak pada penerapan pengukuran kuantitatif. Alasan ini merupakan untuk
kemudahan pengukuran radiometrik yang paling banyak, kepekaan dan
ketepatannya dan biaya pembelian dan operasi instrumen yang relatif rendah [57].
Spektrofotometri UV-VIS adalah teknik fisik dari spektrofotometri optik
yang menggunakan cahaya dalam rentang inframerah yang terlihat, ultraviolet,
21

dan sinar dekat. Menurut Hukum Beer Lambert menyatakan bahwa absorbansi
larutan berbanding lurus dengan konsentrasi penyerap dalam larutan dan jalur
panjang gelombang. Ada 3 jenis instrumen absorbansi yang digunakan untuk
mengumpulkan spektrum yang terlihat:
1. Single beam spectrometer.
2. Double beam spectrometer.
3. Simultaneous spectrometer.
Gambar prinsip kerja spektrofotometri uv-vis dapat dilihat pada Gambar 2.11.

Gambar 2.11 Prinsip Kerja Spektrofotometri UV-VIS


Sumber : International Journal of Pharmaceutical Research & Analysis
Instrument double beam pada gambar tersebut memiliki satu sumber
monokromator dan kemudian ada pembagi dan serangkaian cermin untuk
mendapatkan berkas sampel referensi dan sampel yang akan di analisis ini
memungkinkan monokromator yang lebih kuat antara sampel dan sumbernya.
Sebagai gantinya, memiliki deret detektor dioda yang memungkinkan instrumen
untuk secara simultan mendeteksi absorbansi pada panjang gelombang.
Spektrofotometri umumnya lebih disukai terutama oleh industri skala kecil karena
biaya perawatan lebih rendah dan masalah perawatannya minimal. Metode
analisis didasarkan pada pengukuran penyerapan sinar makromatik oleh senyawa
tak berwarna di jalur spektrum ultraviolet yang dekat (200-380 nm) [58].
22

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian


Pengambilan data penelitian dilakukan di Laboratorium Pusat Aplikasi
Isotop dan Radiasi (PAIR)-BATAN Pasar Jumat, Jakarta Selatan. Penelitian
dilaksanakan selama Februari s.d. Mei 2017.

3.2 Alat dan Bahan


3.2.1 Alat
1. gelas ukur 100 mL dan 50 mL 12. Fourier Transform Infrared (FTIR)
2. gelas kimia 250 mL 13. spektrofotometer UV-Vis
3. water bath 14. Differential Scanning Calorimeter
4. termometer (DSC)
5. neraca digital 15. iradiator Co-60
6. spatula 16. stopwatch
7. batang pengaduk 17. kawat kasa
8. pipet 18. plastik sampel
9. botol sampel 100 mL 19. cawan petri
10. oven 20. labu ukur
11. viskometer Brookfield 21. tisu
3.2.2 Bahan
1. onggok
2. akrilamida
3. pupuk urea
4. akuades
5. bubuk KBr
23

3.3 Variabel
Kopolimerisasi onggok-akrilamida terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi seperti temperatur, konsentrasi onggok, konsentrasi akrilamida
dan dosis iradiasi. Namun, karena keterbatasan waktu penelitian, variabel yang
digunakan adalah konsentrasi akrilamida dan dosis iradiasi dengan penambahan
konsentrasi onggok yang sama pada semua sampel.
Variasi konsentrasi akrilamida dan dosis iradiasi dilakukan untuk
mendapatkan kopolimer terbaik sebagai pelapis pupuk urea. Untuk lebih jelas
mengenai variasi yang dilakukan pada penelitian ini dapat ditunjukkan pada Tabel
3.1 yang berisikan matriks penelitian.
Tabel 3.1 Matriks Penelitian
Dosis Iradiasi Konsentrasi
(kGy) Akrilamida (%)
1
3
5
5
7
1
3
10
5
7
1
3
15
5
7
1
3
20
5
7

3.4 Prosedur Penelitian


Pengambilan data dalam penelitian dilakukan melalui beberapa tahap antara
lain, persiapan bahan baku, analisis bahan baku, iradiasi, analisis kopolimer,
pelapisan pupuk urea dan analisis yang ditunjukkan pada Gambar 3.1.
24

Persiapan Bahan Baku


1. Persiapan Onggok (3 gram)
Aquades = 150 mL
T = 90C
2. Persiapan Akrilamida
(1%; 3%; 5% dan 7%)

Analisis Viskositas Bahan


Baku

Iradiasi Sinar Gamma


(5 kGy; 10 kGy; 15 kGy dan
20 kGy)

Analisis Viskositas
Kopolimer

Pelapisan Pupuk Urea

Karakterisasi Kopolimer dan


Pengujian Slow Pupuk Urea Lapis Kopolimer
Release FTIR
DSC

Hasil Analisis

Gambar 3.1 Tahapan Penelitian

3.4.1 Persiapan Bahan Baku


1. Persiapan Onggok
Onggok ditimbang sebanyak 3 gram kemudian dimasukkan ke dalam
beaker glass yang telah berisi 150 mL akuades. Larutan onggok diaduk dan
dipanaskan ke dalam waterbath selama 1,5 jam pada suhu 90oC hingga
25

terbentuk larutan kental. Larutan onggok didiamkan pada suhu ruang selama
60 menit.
2. Persiapan Akrilamida
Akrilamida dengan variasi 1%; 3%; 5% dan 7% (w/v) dilarutkan ke
dalam 20 mL aquades. Larutan onggkok dan akrilamida dicampur kemudian
ditambahkan akuades hingga mencapai volume 200 mL dan diaduk sampai
homogen.

3.4.2 Analisis Bahan Baku


Bahan baku sebelum diproses menjadi kopolimer, dilakukan analisa
meliputi pengukuran viskositas larutan serta karakterisasi onggok dan akrilamida.
1. Pengukuran Viskositas
Larutan yang telah dibuat diukur viskositasnya menggunakan viscometer
Brookfield. Jenis jarum yang digunakan adalah LV2 dengan kecepatan 6 rpm
dan Finder Factor (FF) 50. Selanjutnya larutan dimasukkan ke dalam wadah
plastik pipih berukuran 20x20 cm2.
2. Karakterisasi onggok dan akrilamida
Onggok dan akrilamida dianalisis gugus fungsinya dengan Fourier
Transform InfraRed (FTIR) pada bilangan gelombang 4000 sampai 400 cm-1
menggunakan serbuk KBr. Selain itu, dianalisis juga kestabilan termalnya
dengan menggunakan instrument Differential Scanning Calorimeter (DSC).

3.4.3 Iradiasi
Larutan yang telah dimasukkan ke dalam wadah plastik, kemudian diiradiasi
dengan menggunakan iradiator Co-60 dengan variasi 10; 15; 20; dan 25 kGy.

3.4.4 Analisis kopolimer


Setelah dilakukan iradiasi akan terbentuk kopolimer yang kemudian
dilakukan beberapa analisa meliputi pengukuran viskositas, penentuan fraksi gel
dan penentuan kapasitas swelling.
26

1. Pengukuran Viskositas
Larutan hasil iradiasi berupa kopolimer, kemudian diukur viskositasnya
menggunakan viscometer Brookfield dengan jenis jarum LV4 pada kecepatan
0,6 rpm dan FF 104. Nilai viskositas kopolimer sebelum dan sesudah iradiasi
dibandingkan agar dapat diketahui bahwa terjadi proses kopolimerisasi di
dalam sampel.
2. Penentuan Fraksi Gel
Kopolimer sebanyak 0,2 gram dari hasil iradiasi dikemas dalam kasa
kawat. Lalu direndam dalam air panas (90oC) selama 5 jam. Kemudian
dikeringkan dalam oven pada suhu 50oC hingga berat konstan. Fraksi gel
dihitung dengan persamaan sebagai berikut.
massa gel sisa
% Fraksi gel = massa sampel 100%

3. Penentuan Kapasitas Swelling


Kopolimer sebanyak 0,1 gram dari hasil iradiasi dikemas dalam kasa
kawat. Lalu masing-masing direndam dalam aquades dengan interval waktu 5-
30 menit. Kopolimer dipisahkan pada menit 5; 10; 20; 25 dan 30 dengan cara
digantung agar terpisah dari akuades yang tidak terserap. Kemudian kopolimer
ditimbang. Kapasitas swelling (Se) dapat dihitung dengan rumus berikut.
m2m1
Se = x 100%
m1

m1: massa gel kering (gram)


m2: massa gel setelah uji swelling pada t menit

3.4.5 Pelapisan Pupuk Urea


Pupuk urea dan kopolimer iradiasi dicampurkan di dalam gelas kimia dan
diaduk hingga rata. Pencampuran dilakukan dengan perbandingan 1:9 dimana
sebanyak 1 gram untuk kopolimer dan 9 gram untuk pupuk urea. Setelah
tercampur, pupuk dimasukkan ke dalam oven dengan varisi temperatur 50oC.

3.4.6 Analisis
Pupuk yang telah terlapisi kopolimer, selanjutanya dilakukan analisis berupa
pengujian lepas lambat dan karakterisasi.
27

1. Pengujian slow release


Pupuk urea yang telah dilapisi ditimbang sebanyak 1 gram dan
dimasukan ke dalam kasa kawat. Kemudian direndam dalam beaker yang
telah berisi akuades 50 mL dengan interval waktu 5-60 menit. Masing-masing
diambil 1 mL dan ditambahkan akuades hingga 100 mL untuk menit ke-5 dan
ditambahkan hingga 50 mL akuades untuk menit ke- 10-60. Dilakukan
pengukuran kadar urea menggunakan spektrometer UV-Vis.
2. Karakteristik kopolimer dan pupuk urea lapis kopolimer
Kopolimer dan pupuk urea lapis kopolimer dianalisis gugus fungsinya
dengan Fourier Transform Infrared (FTIR) pada bilangan gelombang 4000
sampai 400 cm-1 menggunakan serbuk KBr. Selain itu, dianalisis juga
kestabilan termalnya dengan menggunakan instrument Differential Scanning
Calorimeter (DSC)
28

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Mekanisme Kopolimerisasi Onggok-Akrilamida


Kopolimer yang telah diiradiasi memiliki perbedaan bentuk fisik bergantung
pada dosis sinar gamma dan konsentrasi akrilamida. Untuk mengetahui reaksi
kopolimer yang terjadi, lihat Gambar 4.13 dan 4.14. Akrilamida dengan antar
molekul sesamanya mengalami polimerisasi adisi karena adanya ikatan rangkap.
Polisakarida dan akrilamida mengalami polimerisasi kondensasi dikarenakan
keduanya mempunyai gugus reaktif, yang membentuk ikatan kovalen antara
gugus NH2 dan OH. Ikatan kopolimer yang telah terbentuk dipengaruhi oleh sinar
gamma yang membantu dalam pembentukan ikatan silang.

4.2 Viskositas Kopolimer


Onggok-Akrilamida yang telah dicampurkan diuji viskositas sebelum dan
sesudah iradiasi, dan diperoleh nilai viskositasnya seperti pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Nilai Viskositas dari Tiap Kopolimer

Viskositas (cP)
Sampel
Sebelum Iradiasi Sesudah Iradiasi
AAm 1% 2875 32600
AAm 3% 3187,5 67550
5 kGy
AAm 5% 4312,5 gel
AAm 7% 5062,5 gel

Viskositas (cP)
Sampel
Sebelum Iradiasi Sesudah Iradiasi
AAm 1% 4437,5 66250
AAm 3% 4962,5 97525
10 kGy
AAm 5% 5687,5 gel
AAm 7% 6250 gel
29

Viskositas (cP)
Sampel
Sebelum Iradiasi Sesudah Iradiasi
AAm 1% 3812,5 72500
AAm 3% 4187,5 gel
15 kGy
AAm 5% 4375 gel
AAm 7% 4687,5 gel

Viskositas (cP)
Sampel
Sebelum Iradiasi Sesudah Iradiasi
AAm 1% 3875 62500
AAm 3% 4062,5 gel
20 kGy
AAm 5% 4312,5 gel
AAm 7% 4750 gel

Pada gambar diatas dapat dilihat bahwa dari data sebelum iradiasi, tingginya
konsentrasi akrilamida meningkatkan nilai viskositas kopolimer. Kemudian
keakuratan pengaruh dari konsentrasi akrilamida terbukti ketika sampel telah
diiradiasi bahwa nilai viskositasnya semakin tinggi. Selain itu, variasi dosis sinar
gamma pada sampel ikut mempengaruhi nilai viskositas yang semakin meningkat
pula. Berdasarkan teori diketahui bahwa iradiasi berfungsi membantu
pembentukan cross-linking dalam sintesis kopolimer. Sehingga semakin tinggi
dosis radiasi memungkinkan semakin banyaknya pula ikatan silang yang
terbentuk pada kopolimer. Dapat dilihat bahwa pada sampel dengan dosis iradiasi
15 kGy dan 20 kGy saat konsentrasi sampel AAm hanya 3%, fasa dari kopolimer
sudah berupa gel, berbeda halnya ketika dosis iradiasi 5 kGy dan 10 kGy dimana
sampel yang berada pada fasa gel hanya AAm 5% dan 7% artinya kekentalannya
pun lebih rendah dibandingkan sampel-sampel lain.

4.3 Fraksi Gel


Kopolimer yang telah disintesis kemudian dilakukan pengujian fraksi gel.
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui banyaknya jumlah bahan awal yang
menjadi gel. Selain itu pengujian ini juga untuk mengetahui jumlah ikatan silang
yang terbentuk pada tiap sampel kopolimer.
30

90
80
70
60
50 1% AAm
Fraksi Gel (%)

40 3% AAm
30 5% AAm

20 7% AAm

10
0
0 5 10 15 20 25
Dosis (kGy)

Gambar 4.1 Pengaruh Dosis Radiasi terhadap Nilai Fraksi gel pada Sampel
dengan Variasi Bebas Akrilamida dan Variasi Tetap Onggok 3% (w/v)

Dari data uji fraksi gel diatas terlihat bahwa bertambahnya dosis iradiasi
yang diberikan terhadap sampel maka akan bertambah pula nilai % fraksi gel nya.
Pada kurva terlihat bahwa nilai % fraksi gel paling tinggi dari berbagai komposisi
sampel terdapat pada sampel AAm 7% dengan dosis radiasi 20 kGy dan paling
rendah pada sampel AAm 1 % dengan dosis radiasi 5 kGy. Nilai fraksi gel
berturut turut dari perhitungan rata-rata pada sampel tertinggi dan terendah adalah
88,141% dengan deviasi 12,514% dan 12,136% dengan deviasi 5,291%. Namun,
kopolimer optimum yang dikarakterisasi adalah sampel AAm 5% pada dosis 15
kGy, dengan nilai fraksi gel rata-rata sebesar 60,553% dan deviasi 9,497%.
Sampel ini dipilih karena pada nilai fraksi gel yang lebih tinggi fasa nya sudah
memadat, sedangkan fasa kopolimer yang diinginkan adalah semi padat.

4.4 Kapasitas Swelling


Sifat swelling yang dimiliki oleh gel kopolimer ini dapat dijadikan sebagai
penentuan kemampuan bengkak dari kopolimer tersebut, yaitu berdasarkan nilai
rasio swelling hingga batas maksimum gel membengkak di waktu perendaman
tertentu. Nilai rasio swelling ini diperoleh melalui perbandingan massa antara gel
yang sudah menyerap air akibat perendaman dengan gel kering.
31

1200

1000
Rasio Swelling(%)
800
1% AAm
600 3% AAm

400 5% AAm
7% AAm
200

0
0 5 10 15 20 25 30 35
Waktu (menit)

Gambar 4.2 Kurva Rasio Swelling terhadap Waktu pada Sampel 5 kGy
dengan Variasi Bebas Akrilamida dan Variasi Tetap Onggok 3% (w/v)

Pada Gambar 4.2 terlihat bahwa rasio swelling untuk sampel dengan dosis
radiasi 5 kGy pada variasi AAm 1%; 3%; 5% dan 7% telah mencapai maksimum
di waktu perendaman 25 menit pada sampel AAm 1%. Nilai rasio swelling
berturut-turut dari perhitungan rata-rata pada sampel tertinggi dan terendah adalah
1113,366% dengan deviasi 18,366% dan 332,331% dengan deviasi 21,421%.

600

500
Raio Swelling (%)

400
1% AAm
300 3% AAm

200 5% AAm
7% AAm
100

0
0 5 10 15 20 25 30 35
Waktu (menit)

Gambar 4.3 Kurva Rasio Swelling terhadap Waktu pada Sampel 10 kGy
dengan Variasi Bebas Akrilamida dan Variasi Tetap Onggok 3% (w/v)

Pada Gambar 4.3 terlihat bahwa rasio swelling untuk sampel dengan dosis
radiasi 10 kGy pada variasi AAm 1%; 3%; 5% dan 7% telah mencapai
maksimum di waktu perendaman 25 menit pada sampel AAm 1%. Nilai rasio
32

swelling berturut-turut dari perhitungan rata-rata pada sampel tertinggi dan


terendah adalah 480,078% dengan deviasi 7,7834% dan 190,709% dengan deviasi
15,7105%.

300

250
Rasio Swelling (%)

200
1% AAm
150
3% AAm
100
5% AAm
50 7% AAm
0
0 5 10 15 20 25 30 35
Waktu (menit)

Gambar 4.4 Kurva Rasio Swelling terhadap Waktu pada Sampel 15 kGy
dengan Variasi Bebas Akrilamida dan Variasi Tetap Onggok 3% (w/v)

Pada Gambar 4.4 terlihat bahwa rasio swelling untuk sampel dengan dosis
radiasi 15 kGy pada variasi AAm 1%; 3%; 5% dan 7% telah mencapai
maksimum di waktu perendaman 30 menit pada sampel AAm 1%. Nilai rasio
swelling berturut-turut dari perhitungan rata-rata pada sampel tertinggi dan
terendah adalah 283,810% dengan deviasi 11,130% dan 53,736% dengan deviasi
4,442%.

300

250
Rasio Swelling (%)

200
1% AAm
150
3% AAm
100 5% AAm
7% AAm
50

0
0 5 10 15 20 25 30 35
Waktu (menit)
33

Gambar 4.5 Kurva Rasio Swelling terhadap Waktu pada Sampel 20 kGy
dengan Variasi Bebas Akrilamida dan Variasi Tetap Onggok 3% (w/v)

Pada Gambar 4.5 terlihat bahwa rasio swelling untuk sampel dengan dosis
radiasi 20 kGy pada variasi AAm 1%; 3%; 5% dan 7% telah mencapai maksimum
di waktu perendaman 30 menit pada sampel AAm 1%. Nilai rasio swelling
berturut-turut dari perhitungan rata-rata pada sampel tertinggi dan terendah adalah
270,562% dengan deviasi 34,081% dan 40,234% dengan deviasi 34,620%.
Berdasarkan kurva yang telah ditampilkan diatas, dapat dilihat bahwa
semakin meningkatnya dosis iradiasi, kapasitas swelling sampel akan menurun
namun kemampuan kopolimer mencapai waktu maksimum perendaman lebih
lama. Berikut ini dapat dilihat adanya perbedaan satu sama lain. Rasio swelling
untuk sampel AAm 1%, 3%, 5%, 7% dengan dosis iradiasi 5 kGy cenderung lebih
tinggi (rentang rasio swelling 500-1000 %) dibandingkan dengan dosis iradiasi 10,
15, dan 20 kGy (rentang rasio swelling 40-400 %). Hal tersebut diduga karena
pada dosis 5 kGy yaitu dosis iradiasi yang paling rendah, jumlah pori yang
terbentuk masih sangat sedikit sehingga ruang pori untuk membesar masih cukup
luas. Sedangkan pada dosis 10,15, dan 20 kGy, yaitu jumlah pori yang bertambah
banyak sehingga waktu yang dibutuhkan oleh kopolimer untuk mencapai waktu
maksimum perendaman lebih lama dibandingkan dengan kopolimer dosis 5 kGy.
Namun, jumlah pori yang bertambah banyak berakibat pada kerapatan ruang yang
bertambah tinggi jika dibandingkan dengan kopolimer dosis 5 kGy sehingga
kemampuan pori untuk membesar menjadi lebih kecil. Jika dikaitkan dengan hasil
pengujian fraksi gel, sampel yang nilai swellingnya tinggi memiliki nilai fraksi gel
rendah. Matriks kopolimer yang renggang/tidak rigid menyebabkan air terabsorbsi
dalam jumlah yang banyak dengan waktu penyerapan optimum yang lebih rendah.
Selain itu juga perbedaan nilai rasio swelling antara kopolimer dosis 5 kGy
dengan 10 kGy; 15 kGy dan 20 kGy dapat disebabkan oleh kopolimer tersebut
memiliki ukuran pori yang berbeda. Dalam hal ini diduga pada dosis 5 kGy
terbentuk kopolimer dengan ukuran pori yang lebih besar dibandingkan dengan
kopolimer pada dosis radiasi 10 kGy; 15 kGy dan 20 kGy. Nilai rasio swelling
34

yang lebih kecil, maka dapat memungkinkan jumlah pupuk yang terserap dan
terlepas nantinya akan kecil, sedangkan jika nilai rasio swelling lebih besar, dapat
membuat jumlah pupuk yang terserap dan terlepas akan lebih banyak.

4.5 Slow Release Urea


Pengujian slow release dilakukan pada empat sampel dari tiap konsentrasi
akrilamida dengan metode absorpsi. Pengujian dilakukan dengan merendam urea
berlapis 0,1 gram ke dalam akuades 100 mL dengan interval waktu 5 menit; 10
menit; 20 menit; 30 menit; 45 menit dan 60 menit. Tiap botol perendaman diambil
sebanyak 1 mL, lalu diencerkan pada labu ukur 100 mL untuk waktu 5 menit dan
labu ukur 50 mL untuk interval waktu 10 menit; 20 menit; 30 menit; 45 menit da
60 menit. Hasil serapan urea diukur menggunakan spektro UV-vis pada panjang
gelombang 195 nm. Sebagai pembanding dilakukan perendaman terhadap urea tak
berlapis 1 gram ke dalam akuades 100 mL dengan interval waktu 5 menit; 10
menit; 20 menit; 30 menit; 40 menit; 50 menit dan 60 menit yang dapat dilihat
pada Gambar 4.10.

600

500
Release urea (mg/g)

400

300

200

100

0
0 10 20 30 40 50 60 70

Waktu ( menit)

Gambar 4.6 Kurva Release Urea Tak Berlapis


Berdasarkan Gambar 4.6 dapat diketahui bahwa urea habis terlepas pada
menit ke-10 sedangkan pada menit ke-5 urea masih terserap sebesar 511,424
mg/g.
35

500
450
400
Release Urea (mg/g)

350
300 5 kGy

250 10 kGy

200 15 kGy

150 20 kGy
100
50
0
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu (menit)

Gambar 4.7 Kurva Release Urea pada Konsentrasi Akrilamida 5% dan Variasi
Tetap Onggok 3% (w/v)
Kurva yang ditunjukkan pada Gambar 4.7 dapat diketahui bahwa untuk
sampel dosis 5 kGy dan 20 kGy urea habis terlepas pada menit ke-45. Untuk dosis
10 kGy urea habis terlepas di menit ke-30, sedangkan pada dosis 15 kGy urea
terlepas secara perlahan hingga menit ke-60.
500
450
400
Release Urea (mg/g)

350
300 5 kGy
250 10 kGy
200 15 kGy
150
20 kGy
100
50
0
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu (menit)

Gambar 4.8 Kurva Release Urea pada Konsentrasi Akrilamida 7% dan Variasi
Tetap Onggok 3% (w/v)

Kurva pada Gambar 4.8 menunjukkan bahwa untuk sampel dengan dosis
iradiasi 5 kGy uera habis terlepas pada menit ke-60. Untuk sampel dengan dosis
iradiasi 10 kGy dan 20 kGy urea habis terlepas di menit ke-45, sedangkan sampel
36

dengan dosis iradiasi 15 kGy urea terlepas habis pada menit ke-30.
Dari keseluruhan hasil, untuk akrilamida 5% didapatkan hasil terbaik pada
dosis 15 kGy, sedangkan untuk akrilamida 7% didapatkan hasil terbaik pada dosis
5 kGy. Kedua sampel tersebut dapat melepas urea secara perlahan dari menit
menit ke-5 hingga menit ke-60. Hal ini menandakan sampel tersebut dapat
menahan senyawa urea di dalam gel dalam waktu lama, dan pori-pori yang kecil
dapat melepaskan urea secara perlahan dengan konsentrasi kecil. Namun, jika
dibandingkan dari dua sampel terbaik, dipilih satu sampel akrilamida 5% dengan
dosis 15 kGy untuk dikarakterisasi.

4.6 Karakterisasi Kopolimer


4.6.1 FTIR
Karakterisasi dengan FTIR bertujuan untuk mengetahui perubahan puncak
dari gugus bahan-bahan yang digunakan sebagai penyusun kopolimer. Analisis
dilakukan dengan membandingkan hasil FTIR akrilamida, onggok, kopolimer
sebelum diiradiasi dan sesudah diiradiasi, urea berlapis dan urea tak berlapis.
Untuk menentukan gugus fungsi dari hasil FTIR, ditampilkan data FTIR pada
tabel 4.2.
Tabel 4.2 Data FTIR
Ikatan Tipe Senyawa Bilangan Gelombang (cm-1)
CH Alkana 2850 - 2970
1342 1470
CH Alkena 3010 - 3095
675 995
CH Alkuna 3300
C- H Cincin Aromatik 3010 - 3100
690 900
OH Fenol, monomer alkohol, 3590 - 3650
alkohol ikatan hidrogen, 3200 - 3600
fenol monomer asam karboksilat, 3500 - 3650
Ikatan hidrogen asam karboksilat 2500 2700
NH Amina, Amida 3300 3500
37

N - H2 Amina 3000 3500


C=C Alkena 1610 1680
C=C Cincin Aromatik 1500 1600
C C Alkuna 2100 2260
CN Amina, Amida 1180 1360
C N Nitril 2210 2280
CO Alkohol, Eter, Asam Karboksilat, Ester 1050 1300
C=O Aldehid, Keton, Asam Karboksilat, 1610 1760
Ester
NO2 Senyawa Nitro 1500 1570
1300 1370
Sumber: Principle of Instrument Analysis

Analisis dilakukan dengan membandingkan hasil FTIR akrilamida, onggok,


bahan campuran sebelum diiradiasi dan sesudah diiradiasi untuk membuktikan
terjadinya polimerisasi.

105

%T

90

75
2189.21
2424.52
2520.96

2276.00

C-N
1919.17

NH N-H
60
1051.20

C=C
2812.21

1138.00

45
985.62
1278.81
3332.99

1664.57

1352.10
3190.26

1610.56

1427.32

30

4000 3500 3000 2500 2000 1750 1500 1250 1000 750 500
akrilamida 1/cm

Gambar 4.9 Hasil Analisis FTIR Akrilamida

Pada Gambar 4.9 terlihat ciri khas akrilamida yaitu puncak bilangan
gelombang 3332,99 cm-1 adanya ikatan NH2. Pada puncak bilangan gelombang
1661,51 cm-1 adanya ikatan C=C. Puncak lain muncul yaitu pada bilangan
gelombang 1610,56 cm-1 dan 1427,32 cm-1 yaitu ikatan N-H dan C-N.
38

105

%T

90

C-O
75

OH
60

1637.56
2929.87

1338.60
45

1149.57
3363.86

1076.28

1002.98
4000 3500 3000 2500 2000 1750 1500 1250 1000 750 500
onggok 1/cm

Gambar 4.10 Hasil Analisis FTIR Onggok

Pada Gambar 4.10 terlihat ciri khas onggok (pati) yaitu pada bilangan
gelombang 3333,86 cm-1 adanya ikatan OH. Puncak lain muncul pada bilangan
gelombang 1050-1300 cm-1 terdapat ikatan C-O.

97.5
C-N
%T

90 N-H
NH2

82.5
2812.21

75

OH
1138.00

C=C
1280.73

987.55

67.5
1352.10

60
C-O
3190.26
3344.57

1610.56
1670.35

1427.32

52.5
4000 3500 3000 2500 2000 1750 1500 1250 1000 750 500
sebelum radiasi nisa 1/cm

Gambar 4.11 Hasil Analisis FTIR Bahan Campuran Sebelum Diiradiasi

Pada Gambar 4.11 terlihat puncak pada bilangan gelombang 3344,57 yang
merupakan terdapatnya gugus -OH dan bilangan gelombang 3190,26 cm-1
39

terdapat gugus NH2. Pada puncak bilangan gelombang 1670,35 cm-1 terdapat
ikatan rangkap dua yaitu C=C. Puncak lain muncul pada panjang gelombang 1138
cm-1 yaitu terdapat ikatan C-N dan pada bilangan gelombang 1610,56 cm-1
terdapat ikatan N-H. Hasil tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan
dari gambar 4.9 dan 4.10.

100

%T

98

96

981.77
94
2310.72

92

C-N

90
C=O
OH
1687.71
3604.96

88

4000 3500 3000 2500 2000 1750 1500 1250 1000 750 500
sesudah radiasi nisa 1/cm

Gambar 4.12 Hasil Analisis FTIR Bahan Campuran Setelah Diiradiasi

Pada Gambar 4.12 terlihat ciri khas gugus -OH pada bilangan gelombang
3600 cm-1. Pada bilangan gelombang 2310,72 cm-1 terdapat ikatan C-N dan
terdapat ikatan C=O pada bilangan gelombang 1687,71 cm-1.
Berdasarkan hasil pengamatan bahwa puncak pada gugus OH berkurang
dilihat dari hasil FTIR bahan campuran setelah iradiasi. Hal ini dapat disebabkan
sebagian gugus -OH pada onggok telah bereaksi dengan akrilamida membentuk
ikatan kovalen. Ikatan NH2 dan C-O sudah tidak ada pada hasil FTIR setelah
diiradiasi. Hasil FTIR bahan campuran membuktikan terjadinya reaksi
polimerisasi adisi antarmolekul akrilamida dan reaksi polimerisasi kondensasi
polisakarida dengan akrilamida. Kedua reaksi tersebut dapat dilihat pada gambar
4.13 dan 4.14.
40

Gambar 4.13 Polimerisasi Adisi Antarmolekul Akrilamida

Gambar 4.14 Polimerisasi Kondensasi Polisakarida dan Akrilamida

Pada penelitian ini, digunakan dua jenis bahan penyusun kopolimer yaitu
akrilamida sebagai pembentuk cross-link dan onggok sebagai rantai utama
kopolimer. Cross linking yang terbentuk disebabkan terjadinya kopolimerisasi
cangkok pada akrilamida dan onggok. Polisakarida sebagai rantai utama bereaksi
dengan akrilamida akan membentuk ikatan kovalen. Sinar gamma berfungsi
dalam membantu pembentukan kopolimer sehingga berat molekul bertambah.
Bertambahnya berat molekul kopolimer berbanding lurus dengan nilai viskositas.

4.6.2 DSC
Keberhasilan reaksi kopolimerisasi dengan teknik iradiasi dapat diketahui
melalui analisis DSC dengan membandingkan akrilamida, onggok, sampel
sebelum iradiasi, sesudah iradiasi dan urea berlapis kopolimer.
41

DSC akrilamida.tad DSC


mW

0.00

-10.00 Peak 0
96.68x10
C
0
Onset 80.32x10
C
Endset 0
111.37x10
C

-20.00

-30.00

-40.00
50.00 100.00 150.00
Temp [C]

Onggok.tad DSC
DSC
mW

50.00
Peak 0
381.97x10
C
0
Onset 349.26x10
C
Endset 0
419.16x10
C

Peak 0
84.27x10
C
Onset 0
39.87x10
C
0
Endset 124.90x10
C
0
-0.00 Peak 492.21x10
C
Onset 0
473.75x10
C
Endset 0
495.28x10
C

-0.00 100.00 200.00 300.00 400.00 500.00


Temp [C]

Gambar 4.15 Hasil Analisis DSC Akrilamida (atas) dan Onggok (bawah)
Berdasarkan Gambar 4.15 terlihat bahwa pada akrilamida hanya muncul
puncak ke arah bawah yang menandakan terjadinya reaksi endotermis. Puncak
tersebut merupakan titik leleh dari akrilamida. Hal ini disebabkan penyerapan
panas oleh sampel karena mengalami reaksi endotermis yang akan memerlukan
42

lebih banyak panas. Pada onggok terjadi proses kristalisasi pada suhu 381.97oC.
Puncak dari kristalisasi berbentuk tajam, sebagai sampel yang mengalami proses
eksotermis. Setelah kristalisasi, muncul puncak endotermis pada suhu 492.21oC
yang melebar merupakan onggok yang terdekomposisi.

DSC
mW
kopolimer sblum.tad DSC

0.00

-20.00

Peak 0
89.65x10
C
0
Onset 78.98x10
C
-40.00 0
Endset 96.45x10
C

-0.00 100.00 200.00 300.00 400.00 500.00


Temp [C]

kopolimer sesudah nisa.tad DSC


DSC
mW
40.00

20.00

0.00

-20.00

-0.00 100.00 200.00 300.00 400.00 500.00


Temp [C]

Gambar 4.16 Hasil Analisis DSC Bahan Campuran Sebelum Iradiasi (atas) dan
Setelah Iradiasi (bawah)
43

Berdasarkan Gambar 4.16 dapat terlihat bahwa pada sampel sebelum


iradiasi terdapat dua puncak tiap bahan penyusun dimana pada suhu 89.96oC
sebagai puncak titik leleh dari akrilamida, kemudian onggok terdekomposisi.
Sedangkan pada sampel setelah iradiasi kedua puncak akrilamida dan onggok
sudah tidak terlihat. Hal ini mengindikasikan bahwa seluruh bahan yang
digunakan dalam pembuatan kopolimer telah berhasil berikatan satu sama lain.
44

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Pada penelitian ini kopolimer onggok-akrilamida telah berhasil disintesis
dengan menggunakan teknik iradiasi sinar gamma. Kopolimer yang dihasilkan
dapat digunakan untuk modifikasi pupuk urea menjadi pupuk slow release dengan
melihat hasil parameter keberhasilan dari sisi nilai fraksi gel, kapasitas swelling,
dan dari uji slow release pada pupuk. Hasil yang diperoleh dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. telah berhasil dibuat kopolimer dari limbah tepung tapioka (onggok)-
akrilamida sebagai material yang digunakan untuk memodifikasi pupuk urea
2. konsentrasi akrilamida mempengaruhi bentuk fisik kopolimer. Semakin tinggi
konsentrasi, semakin tinggi pula nilai fraksi gel. Hasil optimum pada
konsentrasi akrilamida 5%.
3. dosis iradiasi mempengaruhi kualitas kopolimer. Semakin tinggi dosis,
semakin tinggi pula viskositas pada kopolimer yang mengubah bentuk fisik
kopolimer dari cair menjadi gel. Hasil optimum kopolimer pada dosis iradiasi
15 kGy yaitu dengan bentuk fisik semi-gel.

5.2 Saran
Onggok-akrilamida memiliki potensi besar sebagai material kopolimer baru,
khususnya dalam pembuatan pupuk urea yang bersifat slow release. Oleh karena
itu, setelah penelitian ini diharapkan adanya pengembangan dan penyempurnaan
terhadap kopolimer tersebut dengan meninjau beberapa hal lebih lanjut, yaitu:

44
45

1. perlu dilakukan metode sintesis lain seperti, metode pellet, metode granul,
atau metode spraying.
2. untuk mengetahui ketahanan kopolimer terhadap mikroorganisme yang ada di
tanah, maka perlu dilakukan pengujian biodegradasi pada kopolimer.
3. perlu dilakukan pengujian lebih lanjut untuk mengetahui secara lebih
mendalam dengan menambah variasi waktu, suhu dan pH di air maupun
tanah.
DAFTAR PUSTAKA

[1] Bajpai AK., Giri A. (2003). Water sorption behaviour of highly swelling
(carboxy methylcellulose-g-polyacrylamide) hydrogels and release of
potassium nitrate as agrochemical. Carbohydrate Polymers, 53, 271-279.
[2] Jagadeswaran, R., V. Murugappan, M. Govindaswamy. (2005). Effect of Slow
Release NPK Fertilizer Sources on the Nutrient use Efficiency in Turmeric
(Curcuma longa L.). World Journal of Agricultural Sciences. 1:65-69.
[3] Trenkel, M. E., (2010). Slow and Controlled Release and Stabilized Fertilizer.
IFA. France.
[4] Hekmat, A., A. B. Barati, M. Zendehel, H. R. Norouzi, A. Afraz. (2008).
Synthesis and Analysis of Swellling and Controlled Release Behaviour of
Anionic Spin Acrylamide Based Hydrogel. NCEC. Iran Higher Education.
[5] Asmin, Karimuna L., Suharno. (2014). Kajian Potensi Sumberdaya Lahan
Sawah, Permasalahan dan Pengelolaannya dalam Upaya Peningkatan
Produksi Padi di Sulawesi Tenggara. AGRIPLUS.
[6] Major, J., Rondon M., Molina D., Riha S., Lehman J. (2010). Maize Yield and
Nutrition During 4 Years After Biochar Application to a Columbian Savanna
Oxisol. Plant Soil. 333:117-128.
[7] U, Shavit, et al. 2002. Wetting mechanisms of gel based controlled release
fertilizers. Journal of Controlled Release.88:71-83.
[8] Wang, Jinlei, Zheng,Yian and Wang, Aiqin. 2010. Synthesis and Swelling
Behaviors of Poly(sodium acrylate) / Hydroxyapatite Superabsorbent
Nanocomposit. Beijing, Cina.
[9] Jamnongkan, T dan Kaewpirom, S. 2010. Controlled-Release Fertilizer Based
on Chitosan Hydrogel: Phosphorus Release Kinetics. Science Journal
Ubonratchathani University, Vol. 1, No. 1, 43-50.

46
47

[10] Wu L, et al. 2008. Preparation and properties of chitosan-coated NPK


compound fertilizer with controlled-release and water-retention. Bioresource
Technology. 99 (2) : 547-554.
[11] Li, et al. (2012). Preparation and Property of Poly (acrylamide-co-acrylic
acid) Macromolecule Slow-releasing Fertilizer. Int. J. Electrochem. Sci., 7
11470 - 11476
[12] Rekso, Gatot Trimulyadi. 2015. Fraksi Padatan dan Nilai Swelling
Campuran CMC-Pati-Kitosan dengan Akrialmida yang Diiradiasi dengan
Sinar Gamma sebagai Bahan Pelapis Pupuk. Seminar Nasional Kimia dan
Pendidikan Kimia VII UNS.
[13] Mendel Friedman. 2003. Review: Chemistry, Biochemistry, and Safety of
Acrylamide. Journal of Agricultural and Food Chemistry 51 (16), pp 4504
4526.
[14] Retnowati, D dan R. Susanti. 2009. Pemanfaatan limbah padat ampas
singkong dan lindur sebagai bahan baku pembuatan etanol. (Tugas Akhir).
Teknik Kimia Universitas Diponegoro. Semarang.
[15] Erizal. 2009. Sintesis dan Karakterisasi Hidrogel Superabsorben
Poliakrilamida (PAAM) Berikatan Silang Karaginan Hasil Iradiasi
Gamma. Indo. J. Chem., 2010, 10 (1), 12 19.
[16] Setyawati, R, et al. 2011. Current Tapioca Starch Wastewater (TSW)
Management in Indonesia. World Applied Science Journal 14 (5), 658-665.
[17] Ciptadi, et al. 1983. Telaah Kualitas dan Kuantitas Limbah Industri Tapioka
di Bogor dan Sekitarnya serta Pembuatan Suatu Model Cara
Pengendaliannya. Jur. TI Fak. Teknologi Pertanian, IPB Bogor.
[18] Harahap, Y. 2006. Pembentukan Akrilamida dalam Makanan dan
Analisisnya. Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. 3, No. 3, 107-116.
[19] Mendel Friedman. 2003. Review: Chemistry, Biochemistry, and Safety of
Acrylamide. Journal of Agricultural and Food Chemistry 51 (16), pp 4504
4526.
[20] Pennisi, M, et al. 2013. Neutroxicity of Acrylamide in Exposed Workers.
International Journal of Environmental Research and Public Health.
48

[21] Yulianti, Helmiyati dan A. Saefumillah. 2012. Kinetika Adsorpsi Ammonium


dari Kopolimer Selulosa Jerami Padi dengan Asam Akrilat dan Akrilamida.
Jurnal Biofisika, 8 (2), 8-16.
[22] Pedreschi, Karl, dan Kit. 2005. Acrylamide Content and Color Development
in Fried Potato Strips. Food Research International , 39, 4046.
[23] Darussalam, M. 1996. Radiasi dan Radioisotop Prinsip Kegunaannya Dalam
Biologi , Kedokteran, dan Pertanian. Tarsito. Bandung.
[24] Kovacs, E, dan A. Keresztes. 2002. Effect of Gamma and UV-B/C Radiation
on Plant Cell. Micron, 33, 199-210.
[25] Vienna. 2004. International Atomic Energy Agency Directory of Gamma
Processing Facilities in Member States. IAEA-DGPF/CD.
[26] Erizal dan Rahayu. 1998. Karakterisasi Hidrogel Poli (Vinil Alkohol) (PVA)
Hasil Polimerisasi Radiasi. Depok.
[27] Ahmed Enas M. 2013. An Innovative Method For Preparation of Nanometal
Hydroxide Superabsorbent Hydrogel. Journal of Advanced Research
[28] Jumbin, Malcolm dan Wen Zhong. 2012. Development of Hydrogels and
Biomimetic Regulators as Tissue Engineering Scaffolds. Journal Membranes.
[29] Akay, M. 2012. E-Book Introduction Polymer Science Technology.
[30] Shetye P, Shivani, et al. 2015. Hydrogels: Introduction, Preparation,
Characterization and Applications. International Journal of Research
Methodology, Vol.1, Issue:1.
[31] Mohammadinasab, E, M. Sadeghi. 2012. Synthesis of Biosuperabsorbent
Hydrogel Based on Acrylonitrile-Sucrose and Investigation pH and Salinity
Properties. Advances in Environmental Biology, 6(2): 795-800
[32] Das, N. 2013. Preparation Methods and Properties of Hydrogel.
International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Science, vol. 5,
issue:3.
[33] Kabiri, Karash and Jalal. 2009. Superabsorbent Hydrogels from
Concentrated Solution Terpolymerization. Iranian Polymer Journal.
[34] Phillips, G.O, et al. 2001. Hydrogels: Methods of Preparation,
Characteisation and Applications. Wrexham, United Kongdom.
49

[35] Ahmed Enas M. 2013. Hydrogel: Preparation, Caharacterization, and


Applications: A Review. Journal of Advanced Research
[36] Nadiah, N, et al. 2013. The Effect of Chitosan Content to Physical and
Degradation Properties of Biodegradable Urea Fertilizer. Journal of
Scientific and Innovative Research 2 (5), 893-902.
[37] Khaltoff, K. 2001. Analysis of Biological Development, 2d ed.
[38] Suhartono, Sidqi, dan Khoiruddin. 2008. Pengaruh Interval Pemberian Air
Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Kedelai (Glicine Max (L) Merril) Pada
Berbagai Jenis Tanah. Embryo, vol. 5, no. 1.
[39] Saragih, D. 2013. Pengaruh Dosis Dan Waktu Aplikasi Pupuk Urea Dalam
Meningkatkan Pertumbuhan Dan Hasil Jagung. Jurnal Agrotek Tapioka.
[40] S. M. Al-Zahrani. 1999. Controlled Release of Fertilizers: Modelling and
Simulation. International Journal of Engineering Science, vol. 37, no. 10, pp
1299-1307.
[41] Jarosiewicz, A dan M. Tomasezewska. 2003. Controlled Release NPK
Fertilizer Encapsulated by Polymeric Membrane. Journal of Sgricultural and
Food Chemistry, 51, 413-417.
[42] Shaviv, A. 2001. Improvement of Fertilizer Efficiency-Product Processing,
Positioning and Application Methods. Proceedings 469, International
FertiliserSociety, York, UK, pp 23.
[43] Du C, Zhou J, Shaviv A. 2005. Plant Nutrit Fertilizer. Journal of Science,
2:179.
[44] Shaviv, A. 2005. Controlled Release Fertilizers. IFA International Workshop
on Enhanced-Efficiency Fertilizers Frankort, Germany.
[45] Subbarao, Ch. V, G. Karthek, dan D. Sirisha. 2013. Slow Release of Potash
Fertilizer Through Polymer Coating. International Journal of Applied
Science and Engineering, 11, 1: 25-30.
[46] Shoji, S dan A.T. Gandeza. 1992. Controled Release Fertilozers with
Poyolefin Resin Coating. Sendai, Japan.
50

[47] Shaviv. A, Mikkelsen, RL. 1993. Controlled Release Fertilizers to Increase


Efficiency of Nutrient Use and Minimize Environmental Degradation.
Fertilizer Research, 35, 1-12.
[48] Trenkel, M.E. 1997. Controlled Release and Stabilized Fertilizers in
Agriculture. International Journal of Fertilizer.
[49] Marschner, H. 1986. Mineral Nutrition of Higher Plants. Academic Press.
London.
[50] Oertli, J.J. 1980. Controlled Release Fertilizers. Fertilizer Research, 1, 103-
123.
[51] Harjono, S. 1992. Spektroskopi Inframerah Edisi Pertama, Yogyakarta :
liberty.
[52] Simonescu CM. 2012. Application of FTIR Spectroscopy in Environmental
Studies. InTech.
[53] Griffiths, Peter R. 1975. Chemical Infrared Fourier Transform Spectrometry.
Wiley Interscience.
[54] Nurul, A, dan Azura, A. 2012. Differential Scanning Calorimetry as Tool in
Observing Thermal and Storage Stability of Recombinant Bromelain.
International Food Research Journal, 19 (2), 727-731.
[55] Ginting, B.A., S. Indarjat, J. Setiawan. 2005. Penentuan Parameter Uji Dan
Ketidakpastian Pengukuran Kapasitas Panas Pada Differential Scanning. J.
Tek. Bhn. Nukl. Vol. 1 No. 1.
[56] Bhadeshia. Introduction Differential Scanning Calorimetry. University of
Cambridge, Materials Science & Metallurgy.
[57] Frank A, S. 1997. Hand book of instrumental techniques for analytical
chemistry, Prentice Hall, Inc. A Simon & Schuster Company, New Jersey.
[58] Gandimathi, R., S. Vijayaraj, M.P. Jyothirmaie. 2012. Anaytical Process of
Drugs by Ultraviolet (UV) Spectroscopy. International Journal of
Pharmaceutical Research & Analysis, Vol 2, Issue 2.
51

LAMPIRAN

Lampiran 1. Fraksi Gel


Massa kawat (gr) Massa sampel (gr) Massa kawat + sampel (gr) Massa gel sisa Nilai fraksi gel (%)
Aam
Dosis Sebelum fraksi gel Sesudah fraksi gel Deviasi
(%) Simplo Duplo Simplo Duplo Simplo Duplo Simplo Duplo Mean
Simplo Duplo Simplo Duplo
1 5,0338 5,2403 0,2023 0,2006 5,2357 5,4401 5,059 5,264 0,0252 0,0237 12,457 11,815 12,136 5,291772
3 5,8835 7,3873 0,201 0,2024 6,0849 7,5893 5,9385 7,4395 0,055 0,0522 27,363 25,791 26,577 5,917444
5
5 6,9233 6,4193 0,2038 0,201 7,1263 6,6188 7,0308 6,523 0,1075 0,1037 52,748 51,592 52,170 2,215361
7 5,0834 5,8947 0,2019 0,2034 5,285 6,0973 5,207 6,0175 0,1236 0,1228 61,218 60,374 60,796 1,389526
1 5,6769 6,7036 0,2004 0,2009 5,8725 6,9038 5,7038 6,7286 0,0269 0,025 13,423 12,444 12,934 7,570617
3 5,702 6,1488 0,2026 0,2032 5,8997 6,3517 5,7642 6,2104 0,0622 0,0616 30,701 30,315 30,508 1,265008
10
5 6,8632 6,4433 0,2032 0,2009 7,0645 6,6443 6,9875 6,5532 0,1243 0,1099 61,171 54,704 57,938 11,16276
7 5,4431 5,8486 0,2019 0,2037 5,6642 6,0513 5,5809 5,9808 0,1378 0,1322 68,252 64,899 66,575 5,035259
1 6,4813 6,1917 0,2011 0,2005 6,6836 6,3923 6,5185 6,2304 0,0372 0,0387 18,498 19,302 18,900 4,251248
3 4,6293 5,9155 0,2035 0,2006 4,8341 6,1136 4,7401 5,9836 0,1108 0,0681 54,447 33,948 44,198 46,38032
15
5 5,9105 4,6677 0,2007 0,2032 6,1106 4,8701 6,0378 4,7849 0,1273 0,1172 63,428 57,677 60,553 9,497261
7 6,5742 7,0229 0,2038 0,2031 6,7782 7,2252 6,7278 7,1591 0,1536 0,1362 75,368 67,061 71,214 11,66542
1 5,9789 5,7004 0,2008 0,2014 6,1803 5,9016 6,021 5,7449 0,0421 0,0445 20,966 22,095 21,531 5,244583
3 6,224 6,1262 0,2009 0,2012 6,4243 6,327 6,3358 6,2364 0,1118 0,1102 55,650 54,771 55,210 1,59065
20
5 6,1027 6,6701 0,2043 0,2042 6,3061 6,8739 6,2359 6,7904 0,1332 0,1203 65,198 58,913 62,056 10,12868
7 6,6429 6,7535 0,2016 0,2008 6,8427 6,9532 6,821 6,91 0,1781 0,1565 88,343 77,938 83,141 12,51493
52

Lampiran 2. Kapasitas Swelling Dosis Iradiasi 5 kGy


Massa kawat (gr) Massa sampel (gr) Massa Setelah swelling (gr) ESV (%)
Aam Waktu Deviasi
Massa total Massa sampel
(%) Simplo Duplo Simplo Duplo (menit) Simplo Duplo Mean (%)
Simplo Duplo Simplo Duplo
5 1,634 1,875 0,494 0,762 389,109 654,455 521,782 40,545
10 1,832 2,017 0,692 0,904 585,149 795,050 690,099 26,401
1,14 1,113 15 1,996 2,097 0,856 0,984 747,525 874,257 810,891 14,496
1 0,101 0,101
20 2,176 2,252 1,036 1,139 925,743 1027,723 976,733 9,923
25 2,252 2,452 1,112 1,339 1000,990 1225,743 1113,366 18,336
30 2,119 2,178 0,979 1,065 869,307 954,455 911,881 8,921
5 1,522 1,619 0,396 0,484 292,468 372,195 332,331 21,421
10 1,598 1,82 0,472 0,685 367,790 568,293 468,041 35,282
1,126 1,135 15 1,834 1,856 0,708 0,721 601,685 603,415 602,550 0,287
3 0,1009 0,1025
20 1,955 1,998 0,829 0,863 721,606 741,951 731,778 2,742
25 1,985 2,068 0,859 0,933 751,338 810,244 780,791 7,270
30 1,848 1,927 0,722 0,792 615,560 672,683 644,121 8,492
5 1,735 1,743 0,603 0,627 488,867 524,502 506,685 6,794
10 1,856 1,985 0,724 0,869 607,031 765,538 686,285 20,705
1,132 1,116 15 2,089 2,059 0,957 0,943 834,570 839,243 836,907 0,557
5 0,1024 0,1004
20 2,108 2,082 0,976 0,966 853,125 862,151 857,638 1,047
25 2,146 2,116 1,014 1 890,234 896,016 893,125 0,645
30 1,899 1,982 0,767 0,866 649,023 762,550 705,787 14,888
5 1,53 1,748 0,415 0,537 314,585 430,632 372,609 26,948
10 1,703 1,858 0,588 0,647 487,413 539,328 513,370 9,626
1,115 1,211 15 1,755 1,898 0,64 0,687 539,361 578,854 559,107 6,823
10 0,1001 0,1012
20 1,794 1,908 0,679 0,697 578,322 588,735 583,528 1,769
25 1,808 1,926 0,693 0,715 592,308 606,522 599,415 2,344
30 1,674 1,86 0,559 0,649 458,442 541,304 499,873 15,308
53

Lampiran 3. Kapasitas Swelling Dosis Iradiasi 10 kGy


Massa kawat (gr) Massa sampel (gr) Massa Setelah swelling (gr) ESV (%)
Aam Waktu Deviasi
Massa total Massa sampel
(%) Simplo Duplo Simplo Duplo (menit) Simplo Duplo Mean (%)
Simplo Duplo Simplo Duplo
5 1,658 1,644 0,36 0,378 260,000 268,421 264,211 3,1873
10 1,671 1,654 0,373 0,388 273,000 278,168 275,584 1,8752
15 1,772 1,773 0,474 0,507 374,000 394,152 384,076 5,2469
1 1,298 1,266 0,1 0,1026
20 1,829 1,833 0,531 0,567 431,000 452,632 441,816 4,8961
25 1,86 1,881 0,562 0,615 462,000 499,415 480,708 7,7834
30 1,782 1,77 0,484 0,504 384,000 391,228 387,614 1,8648
5 1,446 1,591 0,318 0,365 217,365 263,908 240,637 19,3416
10 1,488 1,621 0,36 0,395 259,281 293,819 276,550 12,4886
15 1,56 1,716 0,432 0,49 331,138 388,534 359,836 15,9508
3 1,128 1,226 0,1002 0,1003
20 1,62 1,739 0,492 0,513 391,018 411,466 401,242 5,0961
25 1,624 1,78 0,496 0,554 395,010 452,343 423,676 13,5323
30 1,588 1,687 0,47 0,449 356,311 332,980 344,645 6,7696
5 1,402 1,555 0,284 0,317 175,728 205,689 190,709 15,7105
10 1,419 1,642 0,301 0,404 192,233 289,585 240,909 40,4104
15 1,463 1,664 0,345 0,426 234,951 310,800 272,876 27,7961
5 1,118 1,238 0,103 0,1037
20 1,502 1,709 0,384 0,471 272,816 354,195 313,505 25,9579
25 1,588 1,811 0,47 0,573 356,311 452,555 404,433 23,7975
30 1,542 1,677 0,424 0,439 311,650 323,337 317,494 3,6807
5 1,516 1,618 0,305 0,306 193,834 204,781 199,308 5,4923
10 1,519 1,707 0,308 0,395 196,724 293,426 245,075 39,4580
15 1,543 1,711 0,332 0,399 219,846 297,410 258,628 29,9907
7 1,211 1,312 0,1038 0,1004
20 1,567 1,746 0,356 0,434 242,967 332,271 287,619 31,0493
25 1,662 1,781 0,451 0,469 334,489 367,131 350,810 9,3048
30 1,543 1,751 0,332 0,439 219,846 337,251 278,548 42,1489
54

Lampiran 4. Kapasitas Swelling Dosis Iradiasi 15 kGy


Massa kawat (gr) Massa sampel (gr) Massa Setelah swelling (gr) ESV (%)
Aam Waktu
Massa total Massa sampel Deviasi (%)
(%) Simplo Duplo Simplo Duplo (menit) Simplo Duplo Mean
Simplo Duplo Simplo Duplo
5 1,32 1,32 0,208 0,204 100,385 101,780 101,083 1,380
10 1,344 1,35 0,232 0,234 123,507 131,454 127,480 6,234
15 1,398 1,395 0,286 0,279 175,530 175,964 175,747 0,247
1 1,112 1,116 0,1038 0,1011
20 1,403 1,442 0,291 0,326 180,347 222,453 201,400 20,907
25 1,437 1,506 0,325 0,39 213,102 285,757 249,429 29,128
30 1,494 1,52 0,382 0,404 268,015 299,604 283,810 11,130
5 1,514 1,412 0,193 0,2 92,615 95,312 93,964 2,871
10 1,527 1,443 0,206 0,231 105,589 125,586 115,587 17,300
15 1,569 1,471 0,248 0,259 147,505 152,930 150,217 3,611
3 1,321 1,212 0,1002 0,1024
20 1,581 1,494 0,26 0,282 159,481 175,391 167,436 9,502
25 1,616 1,571 0,295 0,359 194,411 250,586 222,499 25,247
30 1,678 1,594 0,357 0,382 256,287 273,047 264,667 6,332
5 1,501 1,301 0,176 0,184 73,228 82,359 77,794 11,737
10 1,513 1,322 0,188 0,205 85,039 103,171 94,105 19,268
15 1,562 1,365 0,237 0,248 133,268 145,788 139,528 8,973
5 1,325 1,117 0,1016 0,1009
20 1,581 1,373 0,256 0,256 151,969 153,717 152,843 1,144
25 1,607 1,409 0,282 0,292 177,559 189,395 183,477 6,451
30 1,617 1,484 0,292 0,367 187,402 263,726 225,564 33,837
5 1,379 1,378 0,153 0,165 52,542 54,930 53,736 4,442
10 1,387 1,397 0,161 0,184 60,518 72,770 66,644 18,383
15 1,416 1,427 0,19 0,214 89,432 100,939 95,185 12,089
7 1,226 1,213 0,1003 0,1065
20 1,429 1,454 0,203 0,241 102,393 126,291 114,342 20,901
25 1,485 1,498 0,259 0,285 158,225 167,606 162,915 5,758
30 1,502 1,545 0,276 0,332 175,174 211,737 193,456 18,900
55

Lampiran 5. Kapasitas Swelling Dosis Iradiasi 20 kGy


Massa kawat (gr) Massa sampel (gr) Massa Setelah swelling (gr) ESV (%)
Aam Waktu
Massa total Massa sampel Deviasi (%)
(%) Simplo Duplo Simplo Duplo (menit) Simplo Duplo Mean
Simplo Duplo Simplo Duplo
5 1,307 1,324 0,185 0,2 82,446 98,413 90,429 17,657
10 1,321 1,371 0,199 0,247 96,252 145,040 120,646 40,438
15 1,363 1,399 0,241 0,275 137,673 172,817 155,245 22,638
1 1,122 1,124 0,1014 0,1008
20 1,395 1,437 0,273 0,313 169,231 210,516 189,873 21,743
25 1,422 1,472 0,3 0,348 195,858 245,238 220,548 22,390
30 1,451 1,544 0,329 0,42 224,458 316,667 270,562 34,081
5 1,418 1,386 0,16 0,172 55,945 69,458 62,702 21,551
10 1,445 1,41 0,187 0,196 82,261 93,103 87,682 12,365
15 1,467 1,452 0,209 0,238 103,704 134,483 119,093 25,845
3 1,258 1,214 0,1026 0,1015
20 1,5 1,497 0,242 0,283 135,867 178,818 157,343 27,297
25 1,55 1,529 0,292 0,315 184,600 210,345 197,473 13,037
30 1,573 1,563 0,315 0,349 207,018 243,842 225,430 16,335
5 1,291 1,329 0,157 0,164 47,834 53,128 50,481 10,486
10 1,308 1,367 0,174 0,202 63,842 88,609 76,225 32,492
15 1,338 1,41 0,204 0,245 92,090 128,758 110,424 33,206
5 1,134 1,165 0,1062 0,1071
20 1,371 1,448 0,237 0,283 123,164 164,239 143,701 28,584
25 1,424 1,469 0,29 0,304 173,070 183,847 178,458 6,039
30 1,447 1,5 0,313 0,335 194,727 212,792 203,759 8,866
5 1,355 1,287 0,139 0,155 33,269 47,198 40,234 34,620
10 1,375 1,304 0,159 0,172 52,445 63,343 57,894 18,824
15 1,414 1,343 0,198 0,211 89,837 100,380 95,108 11,085
7 1,216 1,132 0,1043 0,1053
20 1,428 1,383 0,212 0,251 103,260 138,367 120,813 29,059
25 1,493 1,421 0,277 0,289 165,580 174,454 170,017 5,219
30 1,491 1,435 0,275 0,303 163,663 187,749 175,706 13,709
56

Lampiran 6. Kurva Standar Urea


Konsentrasi (ppm) Absorbansi
Kurva Kalibrasi Standar Urea
5 0,0031
0.6 10 0,0622
y = 0.012x - 0.067
0.5
R = 0.9975
15 0,1024
0.4 20 0,1596
Absorbansi

30 0,2886
0.3
40 0,4091
0.2 50 0,5414
0.1

0
0 10 20 30 40 50 60
-0.1
Konsentrasi (ppm)

Lampiran 7. Slow Release Urea tak Lapis


Waktu
Berat sampel Nilai Pengenceran Labu ukur Konsentrasi konsentrasi (mg/gram) Konsentrasi
Nama sampel perendaman
(gr) Absorbansi (kali) (ml) (ppm) sampel total
(menit)
1,0052 5 0,5499 100 100 51,408 511,423
1,0052 10 0 50 50 5,583 13,886
1,0052 20 0 50 50 5,583 13,886
urea non
1,0052 30 0 50 50 5,583 13,886 594,740
coating
1,0052 40 0 50 50 5,583 13,886
1,0052 50 0 50 50 5,583 13,886
1,0052 60 0 50 50 5,583 13,8861
57

Lampiran 8. Slow Release Urea Berpelapis dengan Akrilamida 5%

Waktu Berat Sampel (gr) Nilai Absorbansi Labu ukur (mL) Konsentrasi (ppm) mg/g urea
Pengenceran
Dosis perendaman Deviasi
Simplo Duplo Simplo Duplo (kali) Simplo Duplo Simplo Duplo Simplo Duplo mean
(menit)
5 1,0077 1,0024 0,007 0,5262 50 200 200 6,167 49,433 61,195 493,150 277,173 155,843
10 1,0077 1,0024 0,0019 0,0391 50 50 50 5,742 8,842 14,244 22,051 18,148 43,018
20 1,0077 1,0024 0 0,0091 50 50 50 5,583 6,342 13,852 15,816 14,834 13,243
5
30 1,0077 1,0024 0 0,0025 50 50 50 5,583 5,792 13,852 14,444 14,148 4,190
45 1,0077 1,0024 0 0 50 50 50 5,583 5,583 13,852 13,925 13,888 0,527
60 1,0077 1,0024 0 0 50 50 50 5,583 5,583 13,852 13,925 13,888 0,527
5 1,001 1,0083 0,559 0,9438 50 200 100 52,167 84,233 521,146 417,700 469,423 22,037
10 1,001 1,0083 0,0658 0,0401 50 50 50 11,067 8,925 27,639 22,129 24,884 22,144
20 1,001 1,0083 0,0283 0,0201 50 50 50 7,942 7,258 19,834 17,996 18,915 9,716
10
30 1,001 1,0083 0 0 50 50 50 5,583 5,583 13,944 13,843 13,894 0,727
45 1,001 1,0083 0 0 50 50 50 5,583 5,583 13,944 13,843 13,894 0,727
60 1,001 1,0083 0 0 50 50 50 5,583 5,583 13,944 13,843 13,894 0,727
5 1,0019 1,0032 0,5622 0,8671 50 100 100 52,433 77,842 261,669 387,967 324,818 38,882
10 1,0019 1,0032 0,0605 0,0652 50 50 50 10,625 11,017 26,512 27,454 26,983 1,745
20 1,0019 1,0032 0,0479 0,0451 50 50 50 9,575 9,342 23,892 23,280 23,586 2,597
15
30 1,0019 1,0032 0,0411 0,0392 50 50 50 9,008 8,850 22,478 22,054 22,266 1,903
45 1,0019 1,0032 0,0388 0,0331 50 50 50 8,817 8,342 22,000 20,788 21,394 5,666
60 1,0019 1,0032 0,0322 0,0227 50 50 50 8,267 7,475 20,627 18,628 19,628 10,188
5 1,0008 1,0081 0,4931 0,4458 50 200 200 46,675 42,733 466,377 423,900 445,138 9,542
10 1,0008 1,0081 0,0907 0,0678 50 50 50 13,142 11,233 32,828 27,858 30,343 16,380
20 1,0008 1,0081 0,0115 0,0146 50 50 50 6,542 6,800 16,341 16,863 16,602 3,146
20
30 1,0008 1,0081 0,0001 0,0047 50 50 50 5,592 5,975 13,968 14,817 14,393 5,902
45 1,0008 1,0081 0 0 50 50 50 5,583 5,583 13,947 13,846 13,897 0,727
60 1,0008 1,0081 0 0 50 50 50 5,583 5,583 13,947 13,846 13,897 0,727
58

Lampiran 9. Slow Release Urea Berpelapis dengan Akrilamida 7%


Waktu
Pengenceran Konsentrasi
perendaman Berat Sampel (gr) Nilai Absorbansi Labu ukur (mL) mg/g urea
Dosis (kali) (ppm)
(menit) Deviasi
Simplo Duplo Simplo Duplo Simplo Duplo Simplo Duplo Simplo Duplo mean
5 1,0033 1,0063 0,9001 0,5894 50 100 200 80,592 54,700 401,633 543,575 472,604 30,034
10 1,0033 1,0063 0,1292 0,0749 50 50 50 16,350 11,825 40,741 29,377 35,059 32,411
20 1,0033 1,0063 0,057 0,0542 50 50 50 10,333 10,100 25,748 25,092 25,420 2,582
5
30 1,0033 1,0063 0,0242 0,0406 50 50 50 7,600 8,967 18,938 22,276 20,607 16,202
45 1,0033 1,0063 0,0035 0,051 50 50 50 5,875 9,833 14,639 24,429 19,534 50,118
60 1,0033 1,0063 0 0,0534 50 50 50 5,583 10,033 13,912 24,926 19,419 56,716
5 1,0011 1,0052 0,8879 0,9148 50 100 100 79,575 81,817 397,438 406,967 402,202 2,369
10 1,0011 1,0052 0,1033 0,0313 50 50 50 14,192 8,192 35,440 20,373 27,907 26,995
20 1,0011 1,0052 0,0122 0,0207 50 50 50 6,600 7,308 16,482 18,176 17,329 9,7780
10
30 1,0011 1,0052 0 0,0039 50 50 50 5,583 5,908 13,943 14,694 14,319 5,248
45 1,0011 1,0052 0 0 50 50 50 5,583 5,583 13,943 13,886 13,915 0,409
60 1,0011 1,0052 0 0 50 50 50 5,583 5,583 13,943 13,886 13,915 0,409
5 1,0016 1,0021 0,8934 0,8961 50 100 100 80,033 80,258 399,527 400,451 399,989 0,231
10 1,0016 1,0021 0,0668 0,2003 50 50 50 11,150 22,275 27,830 55,571 41,701 66,523
20 1,0016 1,0021 0,019 0,0206 50 50 50 7,167 7,300 17,888 18,212 18,050 1,793
15
30 1,0016 1,0021 0 0 50 50 50 5,583 5,583 13,936 13,929 13,933 0,050
45 1,0016 1,0021 0 0 50 50 50 5,583 5,583 13,936 13,929 13,933 0,050
60 1,0016 1,0021 0 0 50 50 50 5,583 5,583 13,936 13,929 13,933 0,050
5 1,0007 1,0025 0,4941 0,9709 50 200 100 46,758 86,492 467,256 431,380 449,318 7,985
10 1,0007 1,0025 0,0611 0,0258 50 50 50 10,675 7,733 26,669 19,285 22,977 32,135
20 1,0007 1,0025 0 0,0058 50 50 50 5,583 6,067 13,949 15,129 14,539 8,118
20
30 1,0007 1,0025 0 0,0033 50 50 50 5,583 5,858 13,949 14,609 14,279 4,627
45 1,0007 1,0025 0 0 50 50 50 5,583 5,583 13,949 13,924 13,936 0,180
60 1,0007 1,0025 0 0 50 50 50 5,583 5,583 13,949 13,924 13,936 0,1797
59

Lampiran 9. Gambar Dokumentasi

Akrilamida yang digunakan Kopolimer sebelum diiradiasi Kopolimer setelah diiradiasi


60

Pupuk urea yang digunakan Pupuk urea lapis kopolimer

Anda mungkin juga menyukai