Anda di halaman 1dari 13

PENDEKATAN TEORI UNTUK PENILAIAN DALAM AKTIVITAS

LOBI PADA REGULASI AKUNTANSI

2.1 Pengertian Lobi ( Pelobian)

Menurut Zainal Abidin Partao (2006) pelobian adalah bentuk partisipasi

politik yang mencakup usaha individu atau kelompok untuk menghubungi

para pejabat Pemerintah atau pemimpin politik dengan tujuan mempengaruhi

keputusan atau masalah yang dapat menguntungkan sejumlah orang.

Definisi lain oleh Tarsis Tarmudji (1993) mengenai lobi adalah sebuah

bentuk pressure group yang mempraktikan seni mendapatkan teman yang

berguna, dan mempengaruhi orang lain.

Sementara itu dalam konteks manajemen bisnis, A.B. Susanto

menyebutkan melobi adalah usaha yang dilaksanakan untuk mempengaruhi

pihak pihak yang menjadi sasaran agar terbentuk sudut pandang positif

terhadap topik yang dilobi, dengan demikian diharapkan memberikan dampak

positif pada tujuan organisasi/ perusahaan.

Yang menjadi benang merah dari ketiga definisi itu adalah kata

mempengaruhi. Artinya lobi mengupayakan sesuatu yang sudah ditentukan/

diputuskan baik dalam bentuk hukum atau standar moral/etika bahkan hak

asasi manusia, hal ini lah yang pada akhirnya menjadikan upaya lobi berada

pada jalur informal.


Upaya informal menjadikan lobi sebagai pergerakan yang sangat efektif

dalam memperoleh tujuan perusahaan. Contoh yang paling riil adalah

gencarnya lobi yang dilakukan oleh para pengusaha rokok untuk tetap

memasarkan rokok terlepas dari efek negatif dan hukum hukum yang

mengikat mengenai penjualan rokok.

2.2 Jenis-Jenis Lobbying

2.2.1 Lobi bagi Individu dan Organsisasi

Ungkapan sebagai hasil pemeriksaaan kepolisian terhadap para

demonstran, juga jadi makanan media masa. Sikap masyarakatpun

bergeser terhadap lobi ini, sebagai hal-hal yang mengikuti kegiatan

lobi bergeser. Kegiatan lobi yang profesional, yang tidak hanya diikuti

atau didukung segala asesori untuk keperluan sogok-menyogok, uang

suap atau uang semir, atau pertemuan di hotel mewah dan wanita

cantik penamping lobi. Meskipun asesori yang tradisional ini juga

masih akan oleh segelintir individu yang melanggar etika, fasilitas

pendukung lobi saat ini bergeser kedalam wujud abstrak. Bukan lagi

fasilitas mobil, uang, ataupun sogokan lain, kini seseorang telah

membekali lobinya dengan gambaran, peluang (opportunity), janji

keuntungan, kepercayaan, dan bahkan segala sesuatu yang masih

berpotensi dan belum nyata.


Bagi orang yang di lobi, mereka mau menerimanya dengan

keyakinan yang sama, lewat kerja sama dengan pelobi, ia mendapatkan

peluang dan gambaran akan suatu keberhasilan. Meskipun tidak

memperoleh suatu benda berwujud (tangible) orang di lobi tetap mau

meneriman usulan, ajakan atau permintaan orang yang melobi. Jadi

lobi sudah mengarah ke nilai-nilai yang positif. Ajakan untuk maju,

meski untuk itu masih harus ada kerja keras lebih dulu sudah langsung

membawa kegiatan lobi kepada keberhasilan.

Dalam dunia bisnis sekarang ada pendapat yang mengatakan

kesempatan datang hanya satu kali. Di sini orang mengandalkan modal

kepercayaan saja. Kini fungsi lobi mendapatkan tempat yang semakin

penting dalam organisasi maupun dunia bisnis, khususnya Indonesia.

2.2.2 Lobi bagi Kalangan Bisnis

Bagi pebisnis merupakan suatu keharusan untuk menjalin

hubungan dengan mitra kerja agar usahanya lancar dan saling

menguntungkan. Bermitra dilakukan dengan pelanggan, pemasok,

distributor ataupun pemegang otoritas kebijakan secara individu

maupun secara kelompok dan kelembagaan. Meskipun demikian

mengadakan hubungan bisnis tidak bisa terjadi begitu saja. Bisnis

membutuhkan kepercayaan satu sama lain. Kepercayaan ialah sesuatu

yang harus diraih dan tak bisa datang begitu saja. Disinilah pentingnya
lobi yang diartikan sebagai rangkaian upaya untuk mendapatkan

kepercayaan dari seluruh mitra bisnis.

Lobi tidak saja berlaku bagi mitra bisnis, tetapi juga dilakukan

dengan kompetitor sekalipun. Sebagai contoh dalam dunia

telekomunikasi, PT.Telkom (persero) adalah kompetitor PT.Indosat.

namun, untuk menyamakan persepsi atas regulasi yang dikeluarkan

pemerintah, PT.Indosat merasa perlu melobi PT.Telkom khususnya

menyangkut penggunaan frekwensi masing-masing dan

penempatannya serta pengaturan wilayah BTS (Base Transeivor

Station).

Keterapilan melobi semakin dirasakan penting mengingat

tantangan organisasi dewasa ini yang semakin berat. Emirat dan

Elvinaro Ardianto (2003) mencatat tantangan yang dihadapi

organisaso perusahaan dewasa ini adalah :

jika organisasi atau perusahaan semakin besar dan berkembang

atau perusahaa semakin ketat dan, keinginan dana harapan

publik/masyarakat terhadap pelayanan pemenuhan informasi semakin

tinggi...

2.3 Pengaruh Lobbying Pada Regulasi Akuntansi


Pelobian dalam regulasi akuntasi pada umumnya sangat berpengaruh

pada putusan dalam standar akuntansi yang akan dibuat. Dalam penjelasan di

atas, di utarakan pelobian yang dimaksud dalam arti yang benar guna

melindungi kepentingan umum. Namun ada juga praktik pelobian guna

memenuhi kepentingan pribadi atau kelompoknya. Hal ini diungkapkan juga

oleh Hope dan Gray (1982) menunjukkan bagaimana sejumlah kecil

perusahaan-perusahaan luar angkasa telah sukses, selama proses konsultasi,

dalam mengubah persyaratan mendetil dalam standar akuntansi UK dalam hal

riset dan pengembangan agar mendukung kepentingan (privat) mereka. Hal ini

terjadi meski mayoritas partisipan dalam proses konsultasi tidak merasa

keberatan dengan perubahan yang dibuat terhadap proporsal orisinal oleh

perusahaan-perusahaan luar angkasa. Proposal orisinal mensyaratkan semua

pengeluaran riset dan pengembangan untuk dibebankan sebagai pengeluaran

dalam tahun dimana hal ini diadakan. Perusahaan luar angkasa dengan sukses

mengatakan bahwa dalam situasi-situasi tertentu seharusnya mereka diijinkan

untuk memasukkan pengeluaran pengembangan sebagai bentuk pengeluaran

kapital, dan membebankannya sebagai pengeluaran di tahun selanjutnya

dengan mencocokkannya terhadap income yang akan dihasilkannya.

Lobbying pada regulasi akuntansi akan mempengaruhi keputusan dalam

pengambilan keputusan standard akuntansi. Lobbying pada regulasi akuntansi

ini akan menyebabkan kegagalan pasar, karena pasar tidak dapat merespon
secara baik tentang standard yang ada. Berikut skema dari regulasi akuntansi

dan pelobian dalam regulasi akutansi.

Inisiator regulator Inisiator

Publik Standard Publik


regulasi

Kelompok Regulasi Kelompok

Keterangan :

1. (garis hitam) kepentingan yang ditujukan kepada publik, ditangkap oleh

kelompok (oknum) melalui pelobian yang digunakan untuk kepentingan

pribadi.

2. (garis merah) celah suatu kelompok dalam menangkap regulasi guna

kepentingan pribadi

3. (garis hijau) regulasi yang sudah melalui pelobian guna kepentingan pribadi,

namun juga ditujukan untuk kepentingan publik, guna memanipulasi adanya

self interest
2.4 Hubungan Antara Teori Regulasi dengan Regulasi Akuntansi di

Indonesia

Praktik akuntansu di Indonesia dapat ditelusuri pada era penjajahan

belanda, yaitu sekitar abad ke-17 atau lebih tepatnya pada tahun 1642. Namun

jejak yang jelas berkaitan dengan praktik akuntansi baru dapat dijumpai pada

tahun 1747, yaitu praktik pembukuan yang dilaksanakan Amphioen Sociteyt

yang berkedudukan di Jakarta (Soemarso 1995). Pada era ini Belanda

mengenalkan sistem pembukuan berpasangan (double-entry bookkeeping)

sebagaimana yang dikembangkan oleh Luca Pacioli. Perusahaan VOC milik

Belanda-yang merupakan organisasi komersial utama selama masa penjajahan

memainkan peranan penting dalam praktik bisnis di Indonesia selama era ini

(Yunus 1990). Jadi perkembangan akuntansi di Indonesia tidak terlepas dari

pengaruh penjajah Belanda yang pada awalnya datang ke Indonesia bertujuan

untuk melakukan kegiatan bisnis (perdagangan). Tanpa adanya orang-orang

belanda yang datang ke Indonesia pada saat itu bisa dipastikan bahwa

Indonesia tidak akan mengenal apa itu akuntansi atau akan mengenal

akuntansi yang lain.

Pada masa setelahnya perkembangan dunia bisnis melaju sangat cepat

dikarenakan penghapusan sistem tanam paksa yang beralih pada sistem sewa

dimana hak kepemilikan tanah menjadi milik penjajah colonial dan pihak

swasta diperbolehkan menyewa tanah tersebut untuk dikelola. Sistem ini

menyebabkan banyak pengusaha Belanda yang menanamkan modalnya di

Indonesia, sehingga praktik akuntansi mengalami perkembangan yang sangat


pesat termasuk didalamnya kebutuhan akan audit. Menurut Soemarso (1995)

kebutuhan audit di Indonesia dimulai pada tahun 1907. Peluang terhadap

kebutuhan audit ini akhirnya diambil oleh akuntan Belanda dan Inggris yang

masuk ke Indonesia untuk membantu kegiatan administrasi di perusahaan

tekstil dan perusahaan manufaktur.

Abdoelkadir (1982) mengatakan bahwa Belanda mengenalkan akuntansi

pada Indonesia dan regulasi yang pertama kali berlaku yaitu regulasi yang

dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1642 yang mengatur

tentang administrasi kas dan piutang. Jadi jelas bahwa pada masa penjajahan

Belanda, regulasi akuntansi yang berlaku di Indonesia adalah regulasi yang

ditetapkan oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Dengan demikian

Regulator saat itu adalah Gubernur Jendral Hindia Belanda. Tidak perlu

diungkapkan kembali bahwa tujuan pertama Belanda datang ke Indonesia

adalah untuk berdagang, namun selanjutnya mulai menjajaah Indonesia.

Penetapan regulasi akuntansi yang saat itu dilakukan oleh Gubernur Jendral

Hindia Belanda tentu saja sarat dengan kepentingan mereka sebagai penguasa

atas Negara ini pada saat itu. Tidak ada proses penyusunan standar yang

seharusnya dilakukan pada saat itu.

Setelah Indonesi meraih kemerdekaannya pada tahun1945 perusahaan

milik orang-orang belanda dinasionalisai oleh Pemerintah Indonesia sehingga

para akuntan belanda banyak yang kembali ke negara asalnya. Dengan

demikian kesempatan bagi para akuntan Indonesia terbuka lebar, namun

terkendala dengan kemampuan yang memadai sehingga pada saat itu mulai
dibuka sekolah dan diadakan pelatihan akuntansi (Soemarsono 1995). Pada

era ini Indonesia mendatangkan para pendidik dari amerika untuk mengajar

dan member pelatihan akuntansi di Indonesia. Keterlibatan amerika mencpai

puncaknya pada tahun 1970 dimana semua perusahaan harus mengadopsi

sistem akuntansi model Amerika (Yunus 1990).

Pada pertengahan tahun 1980an, muncul sekelompok orang yang

memiliki kepedulian terhadap reformasi ekonomi dan akuntansi. Kelompok

tersebut berusaha untuk menciptakan ekonomi yang lebih kompetitif dan lebih

berorientasi pada pasar-dengan dukungan praktik akuntansi yang baik.

Gerakan kelompok tersebut memperoleh dukungan yang kuat dari investor

asing dan -lembaga-lembaga internasional (Rosser 1999). Sebelum perbaikan

pasar modal dan pengenalan reformasi akuntansi tahun 1980an dan awal

1990an, dalam praktik banyak ditemui perusahaan yang memiliki tiga jenis

pembukuan-satu untuk menunjukkan gambaran sebenarnya dari perusahaan

dan untuk dasar pengambilan keputusan; satu untuk menunjukkan hasil yang

positif dengan maksud agar dapat digunakan untuk mengajukan

pinjaman/kredit dari bank domestik dan asing; dan satu lagi yang menjukkan

hasil negatif (rugi) untuk tujuan pajak (Kwik 1994).

Pada awal tahun 1990an, tekanan untuk memperbaiki kualitas pelaporan

keuangan muncul seiring dengan terjadinya berbagai skandal pelaporan

keuangan yang dapat mempengaruhi kepercayaan dan perilaku investor.

Berbagai skandal tersebut telah mendorong pemerintah dan badan berwenang

untuk mengeluarkan kebijakan regulasi yang ketat berkaitan dengan pelaporan


keuangan. Pertama, pada September 1994, pemerintah melalui IAI

mengadopsi seperangkat standar akuntansi keuangan, yang dikenal dengan

Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Kedua, Pemerintah bekerja

sama dengan Bank Dunia (World Bank) melaksanakan Proyek Pengembangan

Akuntansi yang ditujukan untuk mengembangkan regulasi akuntansi dan

melatih profesi akuntansi. Ketiga, pada tahun 1995, pemerintah membuat

berbagai aturan berkaitan dengan akuntansi dalam Undang Undang Perseroan

Terbatas. Keempat, pada tahun 1995 pemerintah memasukkan aspek

akuntansi/pelaporan keuangan kedalam Undang-Undang Pasar Modal (Rosser

1999). Banyaknya skandal yang terjadi disebabkan oleh lemahnya regulasi

akuntansi yang berlaku di Indonesia sehingga mencapai puncaknya pada

tahun 1998 dimana nilai mata uang Indonesia mengalami penurunan yang

sangat drastis yang mengakibatkan Indonesia dilanda krisis ekonomi.

Krisis ekonomi tidak hanya melanda Indonesia pada sat itu, namun

hampir seluruh negara di dunia terkena krisis ekonomi termasuk negara-

negara eropa jauh sebelum tahun 1998. Pada tahun 1973 terbentuk suatu

badan yang bernama IASC (International Accounting Standart Committee)

yang beranggotakan para profesi akuntan di negara-negara eropa, komite ini

awalnya menyetujui IAS (International Accounting Standart) sebagai standart

akuntansi internasional. Selanjutnya pada tahun 1982 badan-badan standart

akuntansi mendorong IASC untuk mengesahkan IAS sebagai standart

akuntansi global. Pada tahun 1998 IASC digantikan oleh IASB sebagai

standart setter akuntansi global dan mulai merumuskan IFRS sebagau standart
akuntansi global. Pada saat ini IFRS memang bukan sebgai satu-satunya

standart akuntansi global yang berlaku, namun IFRS sudah diadopsi oleh

lebih dari 150 negara.

Akhir-akhir ini ada kecenderungan menolak akuntansi konvensional

disebabkan karena akuntansi konvensional dianggap tidak mampu

memberikan informasi kepada para pemakainnya sehingga ada resistensi.

Misalnya, apakah akuntansi ini masih tetap sebagai sumber informasi yang

paling utama bagi investor seperti selama ini atau sebagai salah satu sumber;

apakah penekanannya pada proses pengambilan keputusan (decision making)

lebih penting dari penekanannya pada pertanggung jawaban (Accountability);

Apakah standar akuntansi yang berlaku regional atau Negara masih relevan

dalam dunia bisnis yang sudah meng-global ini; apakah akuntansi yang

selama ini dianggap bagian dari sistem ideologi kapitalis, sekular masih bisa

diterima oleh kelompok yang mengutamakan etika dan agama ? isu-isu ini

akan menjadi isu besar yang akan mengubah sejarah akuntansi nantinya

(Ritongga 2012).

Kesimpulan :

Pada awalnya penetapan regulasi akuntansi di Indonesia ditetapkan oleh

Gubernur Jendral Hindia Belanda yang berkuasa saat itu, sehingga

regulasinya mengadopsi regulasi dari belanda. Setelah Indonesia meraih

kemerdekaannya pada tahun1945 maka perusahaan milik belanda

dinasionalisasikan sehingga banyak akuntan belanda yang kembali ke negara


asalnya. Dengan demikian kesempatan bagi akuntan Indonesia terbuka untuk

berkiprah. Pemerintah mendatangkan akuntan dari Amerika untuk member

pelatihan dan mengajar pada sekolah-sekolah akuntansi di Indonesia sehingga

secara tidak langsung Indonesia mengadopsi akuntansi Amerika. Puncknya

pada tahun 1970 dimana semua perusahaan harus mengadopsi akuntansi

Amerika.

Pada tahun 1994 pemerintah melaui IAI mengadopsi seperangkat standart

akuntansi yang dikenal dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan

(PSAK) yang diadopsi dari GAAP. Seiring terjadinya krisi ekonomi yang

melanda dunia maka mulai tahun1998 mulai dirintis penyusunan standart

akuntansu yang berlaku internasional (IFRS) dan Indonesia sebagau negara

anggota G20 mau tidak mau juga mengikuti standart ini. Konfergensi dan

harmonisasi IFRS di Indonesia dimulai pada tahun 2010 dan diharapkan dapat

berlaku seluruhnya pada tahun 2013. Yang perlu digaris bawahi adalah

walaupun Indonesia yang awalnya mengadopsi GAAP dan sekarang

mengadopsi IFRS nama standart akuntansi di Indonesia tetaplah PSAK.


Daftar Pustaka

Kasali, Rhenald. 1994. Manajemen Public Relations, Konsep dan Aplikasinya

di Indonesia. Jakarta: Grafiti.

Partao, Zainal Abidin. 2006. Teknik Lobi dan Diplomasi untuk Insan Public

Relations. Penerbit Indeks

Tarmudji, Tarsis, Drs. 1993. Kiat Melobi, Suatu Pendekatan Non Formal.

Yogyakarta: Liberty:

Echols, John M & Shadily Hassan, (1990) Kamus Inggris Indonesia.

Jakarta.Gramedia (hal.363)

Soemarso, SR, (1995), Akuntansi : Suatu Pengantar, Rineka Cipta

Yunus, Hadori, (1990), History of Accounting in Developing Nations : The

Case of Indonesia, Jakarta : Tim Koordinasi Pengembangan Akuntansi

Abdoelkadir, Katjep Krismulyono, (1982), The Presepsions of Accountans and

Accounting Students The Accounting Profession in Indonesia, Ann Arbor :

University Microfilms International

J. Barkley Rosser, Jr., (1999), On the Complexities of Complex Economic

Dynamics. Journal of Economic Perspectives Fall

Kwik, Kian Gie, (1994), Analisis Ekonomi, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama

Ritongga, Rahmansyah, (2012), Evolusi Akuntansi di Indonesia,

www.sumut.kemenag.go.id

Anda mungkin juga menyukai