Anda di halaman 1dari 3

SURAT KEPADA SETAN

Karya: Putu Wijaya

Hari ini usiaku 60 tahun. Radio mengobral lagu-lagu kebangsaan sejak subuh buta. Tepat pukul sepuluh pagi di lapangan parkir ada upacara menaikkan
sang saka merah putih. Anak-anak menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan mengharukan. Sementara rumah-rumah sederhana di sepanjang rel kereta
api membuat sungai merah putih yang berliku panjang. Rakyat jelata berlomba naik pohon pinang. Ibu-ibu rumah-tangga tarik tambang. Penyandang cacad
bertanding volli duduk. Bapak-bapak main sepakbola dengan memakai daster. Gadis-gadis kecil berlomba menangkap belut.
Sementara di pemukiman mewah orang-orang masih tidur mendengkur menikmati hari libur. Banyak yang tak mau men gibarkan bendera. Untuk apa kata
mereka, apa kibaran bendera satu hari bisa mengubah kebrengsekan yang sudah berkerak puluhan tahun?

Aku sendiri kelaparan. Gusti Allah, kataku bersemedi, apa lagi yang bisa aku ganyang sekarang. Mulutku asem, harus olahraga sebab perutku gembung
kebanyakan angin. Aku harus mengunyah, kalau tidak makan badanku lemes. Kalau lemes bagaimana aku bisa jaim?

Tapi aku tidak mau asal kenyang, aku mau makan enak. Lebih lezat lebih mahal dari yang dimakan oleh orang lain. Itu baru namanya nikmat. Jadi supaya
puas, ukurannya bukan lagi jumlah, itu matematika kuno, sekarang harus nomor satu, pokoknya lebih dari orang lain baru uenak tenan. Karena itu, bukan
hanya asal enak, ngapain, mereknya yang lebih penting. Dan merek yang bisa dipercaya hanya yang datang dari mancanegara. Paling sedikit yang dibeli di
Singapura. Segala yang impor itu jaminan mutu, buatan Indonesia alah lebih banyak menipu. Makanya korupsi penting, itu sudah profesi yang paling afdol
untuk melipatgandakan rezeki. Harga proyek satu juta, bodo kalau ongkos bikinnya tidak bisa diteken jadi sepuluh perak, lainnya digerogoti. Jangan takut,
rakyat sudah biasa ditipu semalam suntuk. Mereka malah ketagihan.

Maaf lagi-lagi aku ngelantur, maklum usia sudah uzur. Buat manusia, 60 tahun bagai mobil yang mau parkir, jalannya x-tra waspada supaya jangan kecebor
kali atau digebuk polisi. Tapi buat negara, 60 tahun masih kenceng-kencengnya, bagai pengantin di malam pertama. Bisa tiga kali semalam. Maksudku tiga
kali bangun, mungkin bisa empat lima kali. Ada yang mengaku sepuluh kali. Lho jangan salah, terpaksa bangun karena masih ada saja tamu kasep yang
mau kasih selamat.

Jadi bukan soal makan atau tidak, tapi mau makan apa hari ini, Pak, kataku mengadu pada Bupati. Tapi cepat-cepat aku disuruh pergi menjumpai Pak Wali.
Dari kantor walikota aku dikirim ke Gubernuran. Sebelum Gubernur menyarankan datang ke Presiden aku ingatkan bahwa Presiden sedang repot mengurus
korupsi, jadi lebih baik beliau saja yang berperan. Apa yang bisa aku makan, Bapak Gubernur?

Walah, Ente ini bagaimana, Indonesia kaya-raya, makan saja kok repot, kata Gubernur, sikat saja itu orang-orang tua, para pengemis, penganggur dan
anak-anak tanggung yang kerjanya bikin kerusuhan, sekalian bikin bersih kota, daripada sweeping orang-orang asing atau rumah judi. Itu kan bisa
mengurangi pendapatan abdi-abdi negara yang sudah susah-payah mengamankan Anda. Ayo!

Aku kaget. Lho Gubernur, Bapak serius? Jangan berkata begitu. Masak terus-terang mengakui abdi-abdi negara itu melindungi judi. Betul itu? Kalau
didengar oleh wartawan, sekarang juga kursi Bapak bisa dicopot! Mereka kan sekarang sudah garang, dan ingat itu bukannya tanggungjawab Bapak juga!

Ha-ha-ha, Guberbur tertawa, aku hanya guyonan katanya sambil menepuk pantatku, maaf bahuku. Ini campur sari. Kalau serius terus, kita bisa cepat
mampus, ngurus rakyat yang semuanya mau enak sendiri, itu makan hati. Kalau tidak hati-hati, aku bisa mati berdiri. Jadi terpaksa sedikit pakai komedi. So
what gitu lho! Oke jadi Ente datang untuk cari makan?

Iya, Pak, apa lagi! Itu kan bagian tugas Bapak sebagai pemimpin rakyat, bukan hanya urusan perut kami.

Tenang, itu gampang Dik, katanya sambil menunjuk seribu orang TKI yang tidak jadi diekspor ke luar negeri sebagai pembantu karena N.G. Itu semua aja
ambil. Habis kalau nggak mati, pulangnya babak belur semua seperti Nirmala Bonar. Yang selamat, dipereteli di bandara oleh calop-calo yang kejemnya
ngajubilah, lupa bahwa ibunya juga perempuan yang susah cari makan. Itu saja, kata Gubernur, silakan ambil semuanya, habiskan biar nggak jadi makanan
koran. Lho ya kan? Koran itu lho, televisi apalagi, edhan sekarang. Makin rusuh beritanya, makin banyak iklannya, makin tinggi oplagnya, makin nomor satu
ratingnya. Namanya juga cari makan.

Lho Bapak kok nyuruh saya makan orang? Itu kan kanibal, Pak. Memangnya saya ikan Arwana? Emangnya saya, Bapak?

Ya itu terserah, ini negeri demokrasi, Bapak kan hanya menunjukkan peluang, silakan berjuang. Mainkan saja bolanya yang sekarang siap ditendang, aku
masih banyak urusan. Jadi mohon diizinkan pamit demi melanjutkan pekerjaan. Masak mentang-mentang pejabat tidak berhak liburan, itu kan
perikemanusiaan?!

Sebelum sempat dicegah Gubernur sudah kabur. Lalu seribu perempuan, calon-calon pembantu yang enji itu datang berlari menyerbu. Yaaaaaa! Ya
Tuhan, kalau hanya empat, masih bisa kuatasi, ini seribu! Dengan dua ribu tangan yang menggapai-gapai mau menggerayangi barangku, maaf, maksudku
menggerayangi tubuhku, minta dilindungi, aku jadi keenakan maksudku kewalahan, lalu tak sadar aku berteriak supaya mereka jangan ngamuk.

Awasssssss! Jangan terlalu dekat, Mbak, Ibu, Dik, sayang, aku bisa koit, malah nanti tidak bisa melihat! Mundur! Udah ah! Di situ saja, aku sudah tahu kok,
jumlah kalian seribu, semuanya sudah kena tipu dan sekarang mau mengadu. Betul nggak? Betul!!!!! Jawab mereka seru.

Tetapi terus-terang aku belum tahu mesti ngapaian dengan semua kamu. Apa yang bisa beta lakukan kan daku manula yang sudah rongsokan, masak mau
duel dengan seribu perempuan yang kelaparan, maksudku tidak punya pekerjaan.

Bukan hanya pekerjaan, kami juga sudah tidak punya kehormatan!

Ya Tuhan, jadi kalian semua sudah tidak perawan?!

Jeger aku ditampar sampai mental. Seribu pasang mata melotot mau membakar mulutku yang sudah becek lepas kontrol.

Kehormatan dan kehormatan itu berbeda Pak, teriak pemimpinnya. Ternyata bekas calonya juga. Yang satu kehormatan di atas erut, yang bernama harga
diri. Itu sudah kikis habis karena terpaksa kami gadaikan, tapi tak sanggup menebus agar dikembalikan. Yang lain, kehormatan yang lokasinya di bawah
perut ini, tapi itu hari ini tidak kita bicarakan. Kami hanya minta satu saja. Jangan cuma janji mau mensejahterakan, carikan kami pekerjaan buat makan!
Tanpa makan bagaimana bisa bertahan? Edhan!

Lho aku sendiri juga mau makan, jangan suruh aku mengurus nasib kalian.

Kalau Bapak juga mau makan, itu namanya lempar batu sembunyi tangan, lalu siapa lagi yang bisa kami harapkan?

Yang lain-lain! Kan banyak. Itu lho para konglomerat!

Ah mana sempat! Semuanya juga mengaku melarat!

Kalau begitu lapor Para Wakil Rakyat!


Apalagi Wakil Rakyat! Mereka sedang baku hantam untuk melindungi rakyat!

Lha kamu kan rakyat?

Bukan!

Ah bukan? Lalu kamu siapa?

Kami perempuan. Perempuan bukan rakyat karena dianggap tidak masuk hitungan! Ya kami selalu dikorbankan! Makanya kami selalu menuntut
persamaan!!!! Kalau terus-terusan cuci-tangan tidak mau menghiraukan, kami akan turun tangan!

Tiba-tiba, semuanya membuka pakaian. Waduh aku penggemar gambar porno dan suka nonton penari strip yang sekarang mulai disuguhkan di caf. Tapi
seribu orang, amit-amit. Apalagi setelah telanjang bulat semua, mereka berlari datang menyerbu. Satu orang, empat orang , aku masih kuat ladeni, tapi
ciloko seribu orang, lebih baik aku kabur. Tapi ngibrit ke mana lagi, sekelilingku sudah dikepung, aku akan habis terganyang dalam ronde pertama. Akhirnya
aku meloncat keluar yaak dan terbangun dari mimpi.

Ya Tuhan, puji syukur, untung Kau ciptakan alam kesadaran, untuk menyelamatkan diri kalau sudah tidak ketulungan. Aku terbangun dari mimpi buruk.
Alhamdulillah. Tapi aduh masih ada dua yang katut, sanggulnya tersangkut sepatuku lalu ikut tersembul keluar sambil memegang kakiku. Jangan pegang
ini bukan punya kamu. Tapi dia menggigit, aduh pangeran, enak-enak geli tapi aku tidak mau ditarik kembali ke alam mimpi, lalu aku sentakkan, jangan
ditarik nanti pedot, dimana cari serepnya nggak ada yang jual, aduh, aduh, aduh, aduh jadi melar ini. Isin aku! Aku terpaksa menarik dan menyentakkan
yaaaaaak! Dan berhasil? Beres! Tapi nanti dulu, celanaku merosot, celana dalamku ikut melorot merekam tarik. Aku jadi pindang, bebvas tanpa hambatan!
Aku berteriak dan mencoba menutupi auratku yang bebas hambatan. Tolonggggggg!

Tiba-tiba aku terkejut. Ternyata, ternyata, maaf nyuwun ngampuro, I am so sorry, tidak ada kata lain yang bisa menggantikan ucapan ini, kemaluanku sudah
hilang. Kok bisa hilang ya? Hilang Bang, hilang, padahal tadi masih gagah di sini. Wong aku eman-eman kok. Coba periksa sekli lagi. Ya Tuhan benar blas
hilang! Aduh, aduh bagaimana aku bisa hidup tanbpa kemaluan. Jangan-jangan sejak tadi, sejak kemaren-kemaren, sejak 30 tahun, sejak 60 tahun yang
lalu, tanpa aku sadari, aku sudah kehilangan kemaluan. Jangan-jangan kita semua memang tidak punya kemaluan lagi.

Coba. Yang jujur aja! Itu yang paling belakang sana coba periksa, jangan tertawa, apa? Masih ada, tapi tinggal separo katanya. Ini yang di depan kelihatan
geli, kenapa Mas? Oh! Memang tidak hilang, katanya, tapi sekarang jadi kembar. Lihat ini dua! Waduh bahaya! Kemaluan tidak perlu banyak, satu saja asal
yang mantap, karena kalau kebanyakan kita juga repot. Aku juga hanya punya satu, tapi sekarang sudah hilang. O tidak! Sudah ada lagi, tapi ya Tuhan
kenapa sekarang bercabang-cabang!

Cabangnya tambah banyak. Di cabangnya tumbuh cabang lagi. Ganas seperti akar tunjang. Panjang-panjang, kenceng lagi. Seperti gurita menggapai-
gapai. Dia hidup sendiri. Menjurai ke segala arah. Apa saja mau ditonjok dan dibelit. Ganas dan lapar. Ya Tuhan, aku juga dibelit. Kakiku , seluruh tubuhku
dililit. Tanganku tidak lagi berfungsi, otakku juga beku. Hanya mataku dan mulutku yang masih bisa dipakai. Aduh aku sudah dihajar habis oleh kemaluanku
sendiri. Tolongggggg!

II

Ini pasti perbuatan Setan. Setanlah yang sudah bertugas membayang-bayangi kehidupan manusia dengan kegelapan. Dari dulu sampai sekarang, segala
malapetaka berasal dari Setan. Setanlah yang sudah membuat negeri ini terpuruk oleh berbagai macam musibah. Krisis ekonomi, kegoncangan politik,
separatisme, disintegrasi, narkoba, judi, bom, terorisme, tsunami, bencana banjir, televisi semakin ganas, brutal dan asosial, korupsi dan harga-harga naik
lagi! Semuanya karena ulah Setan. Termasuk perselingkuhan. Setan mau menyulap bangsa dan negeri kita ini ini menjadi kerikil yang cakar-cakaran. Dan
itu akan kejadian karena kita tidak sanggup melawan Setan. Kita hanya bisa membenci, mengutuk, menghujat dari jauh, tanpa berbuat apa-apa. Setan tidak
pernah kalah apalagi menyerah. Apa pun yang kita lakukan pasti sia-sia.

Sudah waktunya kita harus ganti taktik. Sebaliknya dari membenci sebab itu hanya memboroskan enersi, kita harus berhenti membuat jarak, lalu merangkul.
Memeluk Setan supaya dia merasa akrab, lalu berjalan bersebelahan, berpegangan tangan, bagai prajurit yang saling setia kawan, sebab kita sama-sama
berjuang. Mari bergotong-royong dengan Setan!

Tapi jangan lupa, itu semua hanya taktik dan strategi, bukan tujuan. Begitu Setan lengah dan mulai percaya sama kita, pelan-pelan lehernya kita bekuk, lalu
masukkan belati ke tenggorokannya supaya urat nadinya putus. Kita gorok dia supaya tamat riwayatnya, supaya kita benar-benar bebas dan mereka dalam
arti yang sesmpurna-sempurnanya.

Yak. Sudah waktunya menulis surat kepada Setan. Sekarang. Jangan ditunda lagi.

Merdeka! Horas! Sahabat sejati, Setan yang baik hati. Di mana pun kini kau berada, aku menyampaikan salam hormat dan cinta. Mari akhiri permusuhan,
bergotong-royong menggarap kesempatan demi masa depan mapan anak-cucu kita seratus keturunan. Selama kita saling dengki dan curiga mencurigai,
hasilnya akan kurang mamadai. Masa lalu yang tidak produktif harus diakhiri. Mulai detik ini, kita bahu-membahu, dalam satu barisan yang padu. Semua
laba kita bagi rata. Kalau perlu kau sembilanpuluh persen, aku sisanya. Aku tunggu balasanmu secepatnya, Setan!

Surat aku masukkan ke pos tanpa membubuhkan nama atau pun alamat. Tukang pos pasti tahu ke mana harus dibawa. Siapa yang tidak tahu rumah setan.
Kalau toh tukang posnya bego, setan sendiri pasti akan langsung mengambil surat itu, sebab dia tahu apa yang harus dia lakukan. Namanya juga setan.

Lalu aku menunggu. Berhari-hari, berminggu-minggu, setahun, lima tahun, kalau perlu sampai 30 tahun aku akan tetap setia menanti. Ternyata tidak ada
jawaban. Aku panik. Jangan-jangan setan menolak. Jangan-jangan ia sudah tahu akal bulusku mau mengguntingnya dalam lipatan. Jangan-jangan ia sudah
diup-grade, hingga tidak bisa lagi dikecoh. Setan kan selalu lebih hebat dari manusia. Kenapa aku jadi lupa?

Rasa takut mulai menusuk. Sukmaku bergetar, ngeri kalau-kalau setan menyerang karena merasa terhina. Habis aku sudah memperlakukannya seperti
idiot. Sebentar-sebentar kalau ada mobil berhenti di depan rumah, aku panik, siap kabur. Tapi jebulnya itu hanya pegawai negeri yang pulang naik angkot
sebelum selesai jam kantornya. Kan Jumat. Ketakutan makin membengkak aku ngos-ngosan terhimpit. Akhirnya aku coba mengatasi dengan ekstasi, tapi
semakin diatasi, semakin menjadi-jadi.

Dengan panik aku mengunjungi psikolog. Tapi alumni mancanegara itu mengulangi lagi nasehat basi, aku harus berpikir positip. Jangkrik. Aku balik ke
rumah dan akhirnya berdoa.

Tuhan, ini tidak adil, aku kan mahluk ciptaanMu. Tak mungkin Kau tidak mencintai yang Kau ciptakan sendiri. Lindungi aku. Jangan biarkan setan menang.
Aku bersumpah kalau manusia yang menang, aku jamin dunia ini akan lebih indah. Orang tidak perlu mati sebelum masuk surga, sebab dunia bisa kami
bikin jadi surga oleh rasa cinta yang pada dasarnya juga adalah karuniaMu kepada kami juga!

Doa membawa ketenangan. Akhirnya aku pasrah. Cemas sudah membuatku berpikir. Dengan berpikir muncul ide-ide baru. Takut adalah bagian dari
karunia untuk membuat peradaban manusia sempurna. Waktu itu kringgg, kringggg, tukang pos datang. Ada surat untuk Anda, katanya sambil tersenyum
sopan, silakan diterima. Aku mengurut dada lega, syukurlah, akhirnya tiba. Orang sabar kasihan Tuhan. Setelah membubuhkan tanda tangan tanda terima,
lalu penasaran surat aku buka:

Merdeka! Horas! Kawan sejati, Setan yang baik hati. Di mana pun kini Anda berada, aku menyampaikan salam hormat dan cinta. Mari akhiri permusuhan,
bergotong-royong menggarap kesempatan demi masa depan mapan anak-cucu kita seratus keturunan. Selama kita saling dengki dan curiga-mencurigai,
hasilnya akan kurang mamadai. Masa lalu yang tidak produktif harus diakhiri. Mulai detik ini, kita bahu-membahu, dalam satu barisan yang padu. Semua
laba kita bagi rata. Kalau perlu kau sembilanpuluh persen, aku sisanya. Aku tunggu balasanmu secepatnya, Setan!

Ya Tuhan ini kenapa jadi begini, aku bukan setan, aku bukan setan, aku bukan setannnnnn! Aku bukan setannnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn .. kata
Setan!

Jakarta 17 Agustus 2005

Anda mungkin juga menyukai