Anda di halaman 1dari 41

PERUBAHAN TEMPERATURE VEGETATION

DRYNESS INDEX (TVDI) DAN KAPASITAS PANAS


PADA EKOSISTEM LAHAN GAMBUT TAHUN 2013-2016
(STUDI KASUS: PT BSS 1, KETAPANG-KALIMANTAN
BARAT)

NADIA PUTRI WICAKSANA

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perubahan


Temperature Vegetation Dryness Index (TVDI) dan Kapasitas Panas pada
Ekosistem Lahan Gambut tahun 2013-2016 (Studi Kasus: PT BSS 1, Ketapang-
Kalimantan Barat) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2016

Nadia Putri Wicaksana


NIM G24120037
ABSTRAK
NADIA PUTRI WICAKSANA. Perubahan Temperature Vegetation Dryness
Index (TVDI) dan Kapasitas Panas pada Ekosistem Lahan Gambut tahun 2013-
2016 (Studi Kasus: PT BSS 1, Ketapang-Kalimantan Barat). Dibimbing oleh
IDUNG RISDIYANTO.

Lahan gambut memiliki kemampuan menyimpan air yang sangat tinggi.


Kebakaran pada lahan gambut dapat menyebabkan perubahan fungsi lahan
gambut dalam menyimpan air. Pendugaan kapasitas panas dan TVDI
(Temperature Vegetation Dryness Index) sebelum dan setelah kebakaran lahan
perlu dilakukan untuk melihat perubahan fungsi lahan gambut. Kapasitas panas
diperoleh dari transfer radiasi terhadap penambahan atau pengurangan suhu.
Kapasitas panas lahan gambut mengalami penurunan dari tahun 2013 sampai
dengan 2016 akibat perubahan tutupan lahan berhutan sebesar 9% dan belukar
sebesar 37% menjadi lahan terbuka dan semak. Salah satu faktor yang
menyebabkan perubahan lahan tersebut adalah kebakaran lahan tahun 2014 dan
2015. Biomassa wilayah kajian setelah kebakaran lahan mengalami penurunan,
sehingga kemampuan lahan dalam menyimpan energi/panas menurun. TVDI
adalah indeks kekeringan permukaan. Parameter yang digunakan untuk menduga
nilai TVDI yaitu suhu permukaan hasil interpretasi data satelit Landsat-8. Nilai.
TVDI tahun 2016 (setelah terbakar) mengalami peningkatan dibandingkan tahun
2013 (sebelum terbakar). Lahan gambut mengalami perubahan fungsi sebagai
penyimpan air yang ditunjukan dengan peningkatan nilai TVDI dan penurunan
kapasitas panas. Kapasitas panas berhubungan erat dengan kadar air tanah. Hasil
penelitian menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara kapasitas
panas dengan TVDI, karena TVDI hanya indeks yang mengambarkan kekeringan
lahan, tidak menunjukkan jumlah air.

Kata kunci: biomassa, citra satelit, kadar air tanah, kebakaran lahan, suhu
permukaan
ABSTRACT
NADIA PUTRI WICAKSANA. The Changes of Temperature Vegetation
Dryness Index (TVDI) and Heat Capacity on Peatland Ecosystem in 2013-2016
(Case Study: PT BSS 1, Ketapang-West Kalimantan). Supervised by IDUNG
RISDIYANTO.

Peatland has high ability to store water. Fires on peatland can change the
peatland function in water storing. The estimation of heat capacity and TVDI
(Temperature Vegetation Dryness Index) before and after land burn need to be
done to determine the change of peatland function. Heat capacity obtained from
the ratio of transfer radiation and the decreasing/increasing temperature. Heat
capacity of peatland has decreased from 2013 to 2016. It caused by decreasing 9%
of forest and 37% of shrub to bare soil and bush. One of the factors that cause
changes in the land is land burn in 2014 and 2015. Biomass of study area after
land burn is decreased, so the ability of the land to save energy/heat also
decreases. TVDI is an areal drought index using surface temperature derived from
satellite data. TVDI in 2016 (after land burn) is increased compared to 2013
(before land burned). Peatland changed water storage function which indicated by
increasing of TVDI and the decreasing of heat capacity. Heat capacity is closely
related to soil water content. The results show no significant relationship between
heat capacity and TVDI, because TVDI is only a land drought index, but it does
not show the amount of water.

Keywords: biomass, land burn, satellite imagery, soil water content, surface
temperature
PERUBAHAN TEMPERATURE VEGETATION
DRYNESS INDEX (TVDI) DAN KAPASITAS PANAS
PADA EKOSISTEM LAHAN GAMBUT TAHUN 2013-2016
(STUDI KASUS: PT BSS 1, KETAPANG-KALIMANTAN
BARAT)

NADIA PUTRI WICAKSANA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa taala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2016 ini ialah
Perubahan Temperature Vegetation Dryness Index (TVDI) dan Kapasitas Panas
pada Ekosistem Lahan Gambut tahun 2013-2016 (Studi Kasus: PT BSS 1,
Ketapang-Kalimantan Barat).
Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Idung Risdiyanto, MSc
selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, dukungan,
nasehat, dan ilmu pengetahuan kepada penulis. Serta ucapan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr Ir Impron, MSc selaku dosen pembimbing akademik.
2. Bapak Alm. Satria W dan Ibu Sutiyana, M. Luthfi (Abang), dan Nabila
(Adik) yang telah menjadi semangat dalam hidup.
3. Tante Valentina Purnama Dewi, Simbah Marni, Om Cin, Tante Vivin,
Bunda, Umek, Om Wicak yang telah memberikan doa dan dukungan
moral maupun material kepada penulis.
4. Tim CSA Aksenta dan Tim PT BSS 1 diantaranya Goh Hok Sin (GM
SNA Group), Pak Saturi (Estate Manajer PT BSS), Pak Bagus (Manajer
EHS BSS), dan Ibu Haji yang telah membantu selama proses peneltian.
5. Teman satu bimbingan Allan, Benny, Edya dan teman-teman GFM 49
khususnya Lab. Meteorologi serta GFM 47 dan GFM 48 yang senantiasa
memberi semangatnya kepada penulis.
6. Keluarga Asyita Graha 1 (Maharani, Yulinda dan Paramitha), Keluarga
Bahagia (Orita, Dinur, Betha, Galih, Zaman, Qamal, dan Insan), Keluarga
GGI (Yosi, Aliffa, Maya, Rinanda, dan Diah) yang selalu berbagi dalam
suka maupun duka, memberikan semangat dan doa kepada penulis.
7. Segenap civitas GFM, Pak Azis, Mas Kiki, Pak Nandang, Pak Engkos, Bu
Wanti, Bu Uti, Pak Udin, serta seluruh staf dan pengajar atas bimbingan
dan kuliah selama ini.
Kepada semua pihak lainnya yang telah memberikan kontribusi yang besar
selama pengerjaan penelitian ini yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, penulis
mengucapkan terima kasih.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2016

Nadia Putri Wicaksana


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR ix
DAFTAR LAMPIRAN ix
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 1
METODE 2
Bahan 2
Alat 3
Prosedur Analisis Data 3
HASIL DAN PEMBAHASAN 9
Karakteristik Biofisik Wilayah Kajian 9
Suhu Permukaan 11
Albedo Permukaan 12
Neraca Energi Permukaan 13
Biomassa Atas Permukaan (AGB) 14
Kapasitas Panas 15
TVDI (Temperature Vegetation Dryness Index) 16
SIMPULAN DAN SARAN 18
Simpulan 18
Saran 18
DAFTAR PUSTAKA 18
LAMPIRAN 21
RIWAYAT HIDUP 27
DAFTAR TABEL

1 Citra Landsat tahun 2013 dan 2016 2


2 Data pengukuran di lapangan 2
3 Peralatan survei lapangan 3
4 Objek pengukuran pada sub-plot pengamatan 4

DAFTAR GAMBAR

1 Desain plot survei lapangan 4


2 Luasan tiap tutupan lahan dengan citra Landsat-8 10
3 Unsur-unsur iklim mikro hasil pengukuran di lapangan (a) suhu
permukaan rata-rata, (b) kelembaban relatif rata-rata, (c) radiasi
matahari rata-rata, (d) suhu udara rata-rata 11
4 Hubungan antara suhu permukaan lapangan dengan suhu permukaan
satelit Landsat-8 tanggal akuisisi 29 April 2016 12
5 Boxplot albedo permukaan tahun (a) 2013, (b) 2016 13
6 Boxplot Radiasi netto tahun (a) 2013, (b) 2016 13
7 Model estimasi AGB berdasarkan nilai spectral radiance kanal 6 14
8 Boxplot biomassa tahun (a) 2013, (b) 2016 14
9 Kapasitas panas wilayah tiap penutupan lahan 15
10 Hubungan antara biomassa dengan kapasitas panas 16
11 Tinggi muka air gambut dan curah hujan harian hasil pengamatan di
lapangan 17
12 Hubungan TVDI dengan kapasitas panas 17

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta data Landsat-8, path/row 120/62 (tanggal akuisisi 24 Juni 2013) 22


2 Peta data Landsat-8, path/row 120/62 (tanggal akuisisi 29 April 2016) 22
3 Peta tutupan lahan PT BSS sebelum kebakaran lahan dengan teknik
klasifikasi terbimbing 23
4 Peta tutupan lahan PT BSS setelah kebakaran lahan dengan teknik
klasifikasi terbimbing 23
5 Parameter data Landsat-8 OLI TIRS tanggal 24 Juni 2013 24
6 Parameter data Landsat-8 OLI TIRS tanggal 29 April 2016 24
7 Nilai jarak astronomi bumi-matahari (d) dan sudut elevasi matahari saat
tanggal akuisisi citra Landsat-8 24
8 AGB hasil pengamatan lapangan dan perhitungan dengan metode
spectral radiance kanal 6 sebelum terbakar (2013) dan setelah terbakar
(2016) 25
9 Diagram alir tahapan dan metodologi penelitian 26
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lahan gambut merupakan lahan yang memiliki kandungan bahan organik


lebih dari 50% (Andriesse 1988). Lahan gambut terbentuk akibat adanya
tumpukan sisa-sisa tanaman yang telah mati baik pada tanaman yang lapuk atau
belum. Tanah gambut memiliki kemampuan menahan air yang sangat tinggi
(Soewandita 2008). Lahan gambut bersifat irreversible drying (mengering tidak
akan balik) yaitu apabila tanah gambut telah kering maka tidak dapat menyerap
air (Mubekti 2011). Indonesia memiliki lahan gambut yang tersebar di beberapa
pulau yaitu Sumatera, Kalimantan dan Papua dengan luas total sebesar 14.9 juta
ha (Agus FE et al. 2009). Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian lebih lanjut
mengenai analisis lahan gambut di wilayah Kalimantan Barat.
Kebakaran hutan terbesar terjadi pada tahun 1997 2000, dengan luasan
total sebesar 1.43 juta ha. Wilayah gambut termasuk dalam areal yang terbakar,
kurang lebih 858000 hektar terbakar di wilayah kalimantan dan Sumatera
(Rahmayanti 2007). Kebakaran yang terjadi pada lahan gambut mengakibatkan
perubahan lahan gambut sebagai penyimpan air, karena sifat gambut kering tidak
dapat balik (Mubekti 2011). Selain menghilangkan lapisan gambut dan biomassa
diatas permukaan, kebakaran juga dapat menyebabkan gambut di bawah
permukaan dan di sekitar lokasi yang terbakar akan mengalami kekeringan
(Widyati 2011). Oleh karena itu, perlu usaha-usaha perbaikan untuk mengurangi
dampak negatif akibat kebakaran di lahan gambut, sehingga perlu diketahui
faktor-faktor lingkungan fisik yang dapat digunakan untuk perencanaan
pemulihan kondisi lahan gambut.
Kapasitas panas adalah jumlah panas yang dapat dikandung oleh suatu
objek atau benda. Kapasitas panas di lahan berhubungan dengan kadar airnya
(Wisser et al. 2011). Kapasitas panas tinggi akan menunjukan kadar air tanah
tinggi yang tersimpan di lahan gambut. Analisis kapasitas panas sebelum dan
sesudah terjadi kebakaran lahan dapat dijadikan sebagai parameter penduga
perubahan kadar air tanah suatu lahan.
Data citra satelit dapat menduga nilai kapasitas panas dan Temperature
Vegetation Dryness Index (TVDI). Kapasitas panas di peroleh dari transfer radiasi
terhadap penambahan atau pengurangan suhu pada tahun 2013 dan 2016.
Temperature Vegetation Dryness Index (TVDI) adalah sebuah indeks yang
menunjukkan kondisi kekeringan tanah dengan parameter suhu permukaan yang
diekstraksi data Landsat (Standholt et al. 2002, Parwati & Suwarsono 2008, Chen
et al. 2015).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan Temperature


Vegetation Dryness Index (TVDI) dan kapasitas panas pada lahan gambut antara
tahun 2013 dan tahun 2016 dengan memanfaatkan data Landsat-8 di PT BSS 1,
Provinsi Kalimantan Barat.
2

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari 2016 hingga Agustus 2016,
di laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer, Departemen Geofisika
dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut
Pertanian Bogor. Survei lapangan dilakukan pada 17 Maret 2016 sampai dengan 8
April 2016 di perkebunan kelapa sawit PT BSS 1, Kalimantan Barat.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data citra disajikan
pada Tabel 1, dapat diperoleh pada situs www.usgs.gov. Data hotspot untuk acuan
kebakaran lahan pada bulan September 2015 dapat diperoleh pada situs
firms.modaps.eosdis.nasa.gov, serta data pengukuran lapangan tersedia pada
Tabel 2.

Tabel 1 Citra Landsat tahun 2013 dan 2016


Tipe
Akuisisi citra Path/Row Waktu (WIB) Penggunaan
Landsat
Data citra
Landsat 8 24 Juni 2013 120/62 10.00
sebelum terbakar
Data citra
Landsat 8 29 April 2016 120/62 10.00
setelah terbakar

Tabel 2 Data pengukuran di lapangan


Data Satuan
Curah hujan (mm/hari)
Suhu permukaan (C)
Radiasi matahari (Wm-2)
Kelembaban relatif (%)
Suhu udara (C)
Kadar air tanah gravimetrik (%)
Tinggi muka air gambut (cm)
Biomassa (ton/ha)
3

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah komputer yang dilengkapi
dengan software Ms. Office 2007, Er Mapper 7.1, AcrGIS 10.1, dan Minitab 16.
Alat untuk pengambilan data di lapangan disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Peralatan survei lapangan


Peralatan Kegunaan
Peralatan Peta yang dibuat dari hasil olahan
Navigasi dan Peta kerja penginderaan jauh, dapat digunakan sebagai
Orientasi orientasi sebaran tutupan lahan.
GPS Mengetahui titik sampel yang digunakan
Peralatan
Solarimeter Mengukur radiasi matahari
pengukuran
Infrared Mengukur suhu permukaan, suhu kanopi
Thermometer tegakan.
Ring sample Mengambil sampel tanah
AWS (Automatic
Monitoring iklim mikro
Weather Station)
Hygrometer dan
Mengukur kelembaban dan suhu udara
Thermometer
Melakukan transek vegetasi, mengukur
Meteran
besaran plot serta mengukur keliling pohon.
Pita berwarna Membatasi area plot
Papan tinggi
Mengukur tinggi muka air gambut
muka gambut
Peralatan
Plot kuadrat
pengambilan Mengambil sampel tumbuhan bawah.
1mx1m
sampel
Kedalaman tanah
Mengambil sampel tanah.
10 cm, 20 cm
Menyimpanan sampel tumbuhan bawah dan
Plastik
sampel tanah.
Menimbang sampel tanah dan sampel
Timbangan
tumbuhan bawah.
Oven listrik Mengeringkan tanah dan tumbuhan bawah.
Meletakkan tanah dan tumbuhan bawah saat
Allumunium foil
pengeringan.

Prosedur Analisis Data

Prosedur Penelitian
Penelitian terdiri dari tahapan pengambilan data lapangan, pengolahan data
lapangan dan pengolahan data citra Landsat-8. Survei lapangan dilakukan pada
wilayah perkebunan kelapa sawit PT. BSS 1 pada koordinat 25000
25230LS dan 110500 110550BT. Tahapan survei lapangan adalah
melakukan pengecekkan tutupan lahan. Tutupan lahan di areal kajian yaitu
4

perkebunan kelapa sawit, hutan, semak, belukar, dan lahan terbuka, fokus kajian
hanya pada kelas semak, belukar dan hutan. Pengambilan sampel data hanya pada
area restorasi gambut. Pengamatan unsur iklim mikro yaitu suhu udara (C),
kelembaban relatif (%), curah hujan (mm), serta radiasi matahari (Wm-2)
menggunakan AWS (Automatic Weather Station) pada ketinggian 1.2 m, di
pasang di lahan terbuka dengan pengambilan data per 30 menit. Pengukuran unsur
iklim menggunakan AWS untuk memantau cuaca dan sebagai data pembanding
pengukuran di setiap titik pengamatan. Pengukuran iklim mikro juga di lakukan
pada 9 titik pengamatan yaitu tiga tutupan lahan hutan, tiga tutupan semak, dan
tiga tutupan belukar pada pukul 08.0016.00 WIB per 30 menit. Pengukuran iklim
mikro meliputi suhu udara (C) dan kelembaban relatif (%), suhu permukaan (C),
serta radiasi matahari (Wm-2). Pengambilan transek vegetasi dilakukan dengan
mengukur keliling pohon untuk perhitungan biomassa, selain itu dilakukan
pengambilan sampel tanah untuk data kadar air tanah secara gravimetrik. Alur
penelitian terdapat pada Lampiran 9.

Desain Survei Lapangan


Metode sampling yang digunakan yaitu Stratified Random Sampling atau
sampel acak berstrata. Metode tersebut dapat menghasilkan pendugaan yang lebih
teliti dibandingkan dengan metode yang lain (MackDicken 1997).
Setiap strata tutupan lahan diambil tiga plot sampel acak menggunakan
metode transect jalur sepanjang 120 meter dengan membagi tiga plot pengamatan,
ilustrasi pada Gambar 1.

Gambar 1 Desain plot survei lapangan

Data biomassa yang diambil adalah data dari tanaman atas (AGB) yaitu
pada plot 1x1, 5x5, 10x10, 20x20 dengan total jumlah sampling point 27 titik.
Tabel 4 merupakan objek pengukuran pada sub plot pengamatan.

Tabel 4 Objek pengukuran pada sub-plot pengamatan


Ukuran sub-plot Obyek pengambilan sampel
1x1 meter Tumbuhan herba, semak, pohon dengan diameter 25 cm
5x5 meter Pohon dengan DBH 510 cm
10x10 meter Pohon dengan DBH 1020 cm
20x20 meter Pohon dengan DBH 2035 cm
5

Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan Data Lapangan

Perhitungan Biomassa atas permukaan


Pengambilan data biomassa dengan metode destructive sampling pada
tumbuhan dengan (diameter at breast height) DBH < 5 cm. dan metode non-
destructive sampling untuk pohon dengan DBH > 5cm. Persamaan alometrik
biomassa atas permukaan (AGB) untuk wilayah hutan lahan kering sekunder
(Adinugroho 2009), dengan parameter inputan DBH sebagai berikut:

AGB= 0.19999D2.14 (1)

Nilai biomassa lapangan terdapat pada Lampiran 8.


Nilai biomassa di seluruh areal PT BSS 1 sebelum dan setelah kebakaran lahan
diperoleh dengan menggunakan model empiris yang dibangun dari data biomassa
di 27 plot dan nilai spectral radiance band 6 citra Landsat pada 27 plot tersebut.
Nilai spectral radiance dan biomassa dihubungkan menggunakan persamaan
eksponensial. Pola pertumbuhan tanaman secara umum dapat dirumuskan melalui
persamaan eksponensial (Brown 1997, Radonsa et al. 2003, Wahyudi &
Pamoengkas 2013). Model yang diperoleh dapat digunakan hanya untuk
mengestimasikan biomassa seluruh area PT BSS 1, Kalimantan Barat dan pada
pengambilan data Landsat-8 pukul 10.00 WIB.

Pengukuran Kadar Air Tanah


Metode gravimetrik adalah salah satu metode pengukuran kadar air di
lapangan. Tahapannya adalah mengambil sampel tanah dengan ring sample,
kemudian menimbang sampel tanah yang akan diukur berat basah, setelah itu
dilakukan pengeringan di dalam oven dengan suhu 105 C sampai diperoleh berat
kering konstan. Sampel tanah yang telah selesai melalui tahap pengeringan akan
ditimbang kembali untuk diukur berat kering. Persamaan untuk meduga kadar air
tanah adalah:

(BBBK)
%KAT = 100% (2)
BK

Dimana KAT adalah kadar air tanah (%), BB adalah berat basah (gram) dan
BK adalah berat kering (gram).

Pengolahan Data Citra Landsat

Pengolahan Awal Data Citra


Tahapan awal dalam pengolahan data citra yaitu koreksi geometrik,
pemotongan citra (cropping) dan klasifikasi tutupan lahan. Koreksi geometrik
bertujuan untuk mengoreksi posisi atau koordinat pada peta agar sesuai dengan
posisi obyek di permukaan bumi (Sukojo & Kustoro 2002). Pemotongan citra
sesuai dengan wilayah kajian agar memudahkan scope area yang luas menjadi
lebih fokus pada wilayah kajian yang akan diteliti. Klasifikasi tutupan lahan
6

menggunakan metode klasifikasi terbimbing dengan informasi dasar dari


pengamatan di lapangan. Klasifikasi terbimbing merupakan proses
pengelompokkan piksel-piksel melalui training area (Indarto & Faisol 2009).
Kombinasi kanal pada Landsat-8 yang cocok digunakan untuk analisis penutupan
lahan yaitu menggunakan komposit band 432 (USGS 2013). Kombinasi band ini
merupakan teknik kombinasi yang menghasilkan data natural colour. Klasifikasi
wilayah terdapat pada Lampiran 3 dan 4.

Perhitungan Komponen Neraca Energi


1. Konversi Digital Number menjadi Spectral Radiance
Data penginderaan jauh yang dikirimkan ke pengguna berupa format
digital number (DN). Format data ini masih berupa data mentah (raw) sehingga
dilakukan konversi nilai digital number menjadi spectral radiance. Konversi nilai
dengan menggunakan persamaan (USGS 2016):

L = ML Qcal + AL (3)

Keterangan:
: Spectral radiance (Wm-2 str-1 m-1)
ML : Band-spesific multiplicative rescaling factor from the metadata
AL : Band-spesific additive rescaling factor from the metadata
Qcal : Quantized and calibrated standard product pixel value (DN)
Nilai M L dan AL terdapat pada Lampiran 5 dan 6.
Konversi nilai digital number ke spectral radiance dilakukan untuk
perhitungan suhu kecerahan, Rs Out dan albedo. Ketiga parameter tersebut akan
digunakan untuk perhitungan komponen neraca energi.

2. Perhitungan Suhu Permukaan


Suhu permukaan pada tanah terbuka adalah suhu pada lapisan terluar
permukaan tanah, sedangkan suhu untuk vegetasi dapat dikatakan suhu
permukaan kanopi tumbuhan dan suhu untuk tubuh air ialah suhu dari permukaan
air tersebut. Suhu permukaan berbeda-beda dipengaruhi oleh sifat fisik benda
yaitu konduktivitas panas, emisivitas, dan panas jenis. Suhu permukaan dari
landsat diturunkan dari data suhu kecerahan. Suhu kecerahan dikonversi dari
spectral radiance menggunakan thermal constant yang tersedia di metadata
(Rajendran & Mani 2015):

K2
TB = K1
(4)
ln( +1)
L

dimana pada Landsat-8 band 10 nilai K1 = 774.89 (Wm-2sr-1m-1) dan K2 =


1321.08 K dan band 11 nilai K1 = 480.88 (Wm-2sr-1m-1) dan K2 = 1201.14 K.
Nilai suhu kecerahan digunakan untuk menduga suhu permukaan. Nilai Suhu
Permukaan (Ts) di hitung dengan persamaan (Rajendran & Mani 2015):

TB
Ts = TB (5)
1+ ln

7

dimana adalah nilai tengah kanal thermal (band 10 = 10.8 m, band 11 =


12 m), (1.438 x 10-2 mK), adalah emisivitas permukaan (vegetasi 0.95, lahan
terbuka 0.92, dan badan air 0.98) (Geiger et al. 1961).

3. Perhitungan Komponen Radiasi Netto


Radiasi gelombang panjang dan pendek dapat diduga dengan data Citra
Landsat-8 dengan komposit (band 4,3,2). Nilai radiasi gelombang pendek netto
merupakan selisih antara radiasi gelombang pendek yang datang ke permukaan
bumi (Rs in) dengan satuan Wm- dan radiasi gelombang pendek yang dikeluarkan
oleh permukaan bumi (Rs out) dengan satuan Wm-. Nilai Rs out diperoleh dengan
persamaan sebagai berikut:
1
Rs out = L d2 (6)
band

Sedangkan nilai Rs in didapat dari hasil perbandingan nilai Rs out dengan


nilai albedo. Albedo adalah nisbah antara radiasi yang dipantulkan dengan radiasi
yang diterima. Persamaan untuk menghitung albedo adalah :

L d2
= ESUN cos (7)

keterangan:
: 3.14
d : jarak astronomi bumi-matahari
cos : sudut zenith matahari (90-sun elevation)
ESUN : rata-rata nilai solar spectral irradiance pada band ke-i (Wm-2m-1)
Nilai ESUN, d dan sudut elevasi terdapat pada Lampiran 7.

Persamaan yang digunakan untuk mendapatkan Rs in adalah:

Rs out
Rs = (8)

Sehingga persamaan untuk mendapatkan nilai radiasi gelombang pendek netto


adalah:

Rs netto = Rs in Rs out (9)

Perhitungan nilai radiasi netto (Rn) selain memerlukan nilai radiasi


gelombang pendek netto, juga memerlukan nilai radiasi gelombang panjang netto.
Nilai radiasi gelombang panjang netto menggunakan nilai radiasi gelombang
panjang yang keluar (Rl out). Nilai Rl out diturunkan dari persamaan Stefan-
Boltzman, emisivitas permukaan dan suhu permukaan. Persamaannya adalah:

Rl = Ts 4 (10)

Sehingga nilai radiasi netto (Rn) dapat diperoleh dengan persamaan:


8

Rn = Rs netto Rl out (11)

Keterangan :
: konstanta Stefan-Blotzman (5.67 x 10-8 Wm-2K-4)

4. Perhitungan Soil Heat Flux (G)


Fluks bahang tanah dalah sejumlah energi radiasi surya yang sampai pada
permukaan tanah dan digunakan untuk berbagai proses fisik dan biologi tanah.
Perpindahan bahang tanah dipengaruhi oleh perbedaan suhu permukaan dengan
suhu tanah serta nilai konduktivitas termal (k). Persamaan untuk menentukan G
diperoleh dari radiasi netto, suhu permukaan, albedo dan Normalized Difference
Vegetation Index (NDVI), sebagai berikut (Allen et al.2001):

G Ts
= (0.0038 + 0.0074 2 )(1 0.98NDVI4 ) (12)
Rn

Keterangan:
G : perpindahan bahang tanah (Wm-2),
: albedo permukaan (diturunkan dari data satelit)

5. Perhitungan Sensible Heat Flux (H)


Fluks pemanasan udara ialah energi yang digunakan untuk memanaskan
udara di atmosfer dan sekitarnya secara konveksi (Monteith & Unsworth 1990).
Estimasi besaran nilai sensible heat flux dapat dihitung dari modifikasi persamaan

neraca energi Rn = H + G + E dan bowen rasio = , sehingga diperoleh
persamaan sebagai berikut:

(Rn G)
H= (13)
1+

Nilai hutan tropis = 0.47, semak = 0.93 (Fisch et al.2001),dan lahan terbuka
= 4 (Oliver 1973).

6. Perhitungan Latent Heat Flux ()


Fluks pemanasan laten adalah limpahan energi yang digunakan untuk
menguapkan air ke atmosfer. Fluks panas laten adalah jumlah energi yang
diperlukan untuk mengubah satu unit massa air menjadi uap pada suhu yang sama
Monteith & Unsworth 1990). Persamaan untuk menentukan fluks panas laten ()
sebagai berikut:

= Rn H G (14)

7. Perhitungan Suhu Udara (Ta)


Suhu udara adalah energi kinetis rata-rata pergerakan molekul. Suhu udara
dihitung dengan memanfaakan data satelit diduga dari nilai fluks pemanasan
udara dengan modifikasi persamaan (Monteith & Unsworth 1990), yaitu:
9
(HraH )
Ta = Ts ( (15)
air c)

Keterangan:
air : kerapatan udara lembab (1.27 kg m-3)
c : panas spesifik udara pada tekanan konstan (1004 J kg-1 K-1)
raH : tahanan Aerodinamik (sm-1), raH = 31.9 x u-0.96, dimana u merupakan
kecepatan angin normal pada ketinggian 12 meter sebesar 1.41 m/s untuk
tutupan vegetasi, dan 1.79 m/s untuk tutupan non vegetasi (Rosenberg 1974).

Perhitungan Kapasitas Panas


Kapasitas panas adalah banyaknya energi atau panas yang dikandung oleh
suatu benda. Kapasitas panas suatu wilayah yaitu menggambarkan kemampuan
suatu wilayah tersebut dalam menyimpan energi atau panas yang di terima dari
radiasi matahari. Nilai kapasitas panas berhubungan dengan kadar air tanah
(KAT) suatu lahan. Nilai kapasitas panas bergantung panas jenis dan massa jenis
atau kerapatannya, karena panas jenis tidak diketahui sehingga kapasitas panas di
peroleh dari transfer radiasi terhadap penambahan atau pengurangan suhu, dengan
persamaan:

Q
C= (16)
T

Perhitungan TVDI
TVDI (Temperature Vegetation Dryness Index) adalah suatu indeks
kekeringan permukaan, parameternya diperoleh dari data penginderaan jauh
(Standholt et al. 2002). Persamaan untuk menghitung (TVDI) adalah (Standholt et
al. 2002, Parwati & Suwarsono 2008, Chen et al. 2015):

(Ts Ts min)
TVDI = (T (17)
s maxTs min)

Dimana Ts adalah suhu permukaan yang diketahui dari nilai pixel, Tsmax
dan Tsmin adalah suhu permukaan maksimum dan minimum pada tutupan lahan
tertentu. TVDI bernilai 0 hingga 1. TVDI bernilai 0 maka mengindikasikan
ketersedian air (kondisi basah) dan TVDI bernilai 1 mengindikasikan terbatasnya
ketersediaan air (kondisi kering) (Standholt et al. 2002, Parwati & Suwarsono
2008, Chen et al. 2015).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Biofisik Wilayah Kajian


Area kajian seluas 4973.58 ha, terbagi menjadi lima kelas utama tutupan
lahan yaitu badan air, lahan terbuka, semak, belukar dan hutan. Perubahan tutupan
lahan dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2016 menunjukkan penurunan luas
hutan 8%, dan penurunan luas belukar 37%. Akibat penurunan tersebut terjadi
10

peningkatan luas tutupan lahan semak dan lahan terbuka, sehingga pada tahun
2016 komposisi luas tutupan lahan seperti yang disajikan pada Gambar 2 . Salah
satu faktor menyebabkan penurunan luas hutan dan belukar adalah kebakaran
lahan pada periode 2013 ke 2016.

Gambar 2 Luasan tiap tutupan lahan dengan citra Landsat-8

Tutupan lahan semak memiliki suhu permukaan rata-rata tertinggi 38C,


terjadi pada pukul 10.30 WIB, sedangkan terendah 30C, terjadi pada pukul 16.00
WIB. Suhu udara rata-rata berkisar antara 30 41C, dan kelembaban relatif (RH)
rata-rata berkisar antara 48.8 77%. Tutupan lahan hutan memiliki kisaran suhu
permukaan rata-rata 26.3 29.8C, tertinggi terjadi sekitar pukul 13.30 WIB.
Suhu udara rata-rata berkisar antara 28.3 31C dan RH 78.6 87.1%. Tutupan
lahan belukar memiliki kisaran suhu permukaan rata-rata tertinggi 38C terjadi
pada pukul 13.00 WIB, sedangkan terendah 27C terjadi pada pukul 08.00 WIB.
Suhu udara rata-rata berkisar antara 29.5 37.5C dan RH rata-rata 52 82.6%.
Pola suhu udara (Ta), suhu permukaan (Ts) dan kelembaban relatif
berfluktuatif terhadap waktu dipengaruhi oleh radiasi matahari (Gambar 3). Ta
dan Ts di setiap penutupan lahan mengalami peningkatan sekitar jam 10.00 WIB
dan 13.00 WIB, karena radiasi matahari yang datang meningkat pada jam tersebut
dan mengalami penurunan pada sore hari akibat radiasi matahari yang berkurang.
RH yang tercatat pada tutupan lahan semak, hutan dan belukar, relatif konstan
sepanjang hari. Pola yang terbentuk antara Ta dengan RH berbanding terbalik,
artinya Ta meningkat, maka RH mengalami penurunan. Nilai radiasi matahari
berfluktuatif, meningkat mulai jam 10.00 WIB, kemudian meningkat lagi pada
tengah hari sekitar jam 13.00 WIB dan radiasi mulai turun saat sore hari
11

Belukar Hutan Semak Belukar Hutan Semak


41 95

Kelembaban Relatif ( % )
Suhu Permukaan ( C ) 39 85
37 75
35 65
33 55
31
45
29
27 35
25 25

13:00
08:00
09:00
10:00
11:00
12:00

14:00
15:00
16:00
08:00
09:00
10:00
11:00
12:00
13:00
14:00
15:00
16:00
Waktu Pengamatan (Jam) Waktu Pengamatan (Jam)
(a) (b)
Belukar Hutan Semak Belukar Hutan Semak
Radiasi Matahari ( Wm-2 )

41
39
325 Suhu Udara ( C ) 37
35
225 33
31
125 29
27
25 25 10:00
08:00
09:00

11:00
12:00
13:00
14:00
15:00
16:00
08:00
09:00
10:00
11:00
12:00
13:00
14:00
15:00
16:00

Waktu Pengamatan ( Jam ) Waktu Pengamatan ( Jam )


(c) (d)
Gambar 3 Unsur-unsur iklim mikro hasil pengukuran di lapangan (a) suhu
permukaan rata-rata, (b) kelembaban relatif rata-rata, (c) radiasi
matahari rata-rata, (d) suhu udara rata-rata

Parameter-Parameter Fisik Data Satelit

Suhu Permukaan

Rata-rata suhu permukaan wilayah kajian tahun 2016 lebih tinggi dari 2013.
Suhu permukaan rata-rata 2013 yaitu 28.3 C. Kisaran suhu permukaan tutupan
semak 27.5 30 C, tutupan belukar 26.3 29.8 dan tutupan hutan 26 29.4 C.
Suhu permukaan rata-rata berdasarkan titik sampel pada tutupan lahan semak,
belukar dan hutan adalah 29.2 C, 28 C dan 27.8 C. Suhu permukaan rata-rata 2016
yaitu 29.1 C. Kisaran suhu permukaan tutupan semak 27.5 31.6 C, tutupan
belukar 26.9 31.6 C, dan tutupan hutan 26.7 31.1 C. Nilai suhu permukaan
rata-rata berdasarkan titik sampel pada tutupan lahan semak, belukar, dan hutan
adalah 29.9 C, 29.9 C dan 29.3 C. Perbedaan suhu permukaan pada tutupan lahan
semak, belukar, dan hutan disebabkan oleh sifat fisik benda yaitu, emisivitas,
konduktivitas termal dan kapasitas panas jenis. Jika suatu objek memiliki
emisivitas dan kapasitas panas jenis rendah serta konduktivitas termal tinggi maka
suhu permukaan akan meningkat dan juga sebaliknya. Peningkatan suhu
12

permukaan akibat peningkatan luasan lahan terbuka pada tahun 2016. Hal ini
sesuai dengan penelitian Weng et al. (2004) bahwa suhu permukaan berkorelasi
negatif dengan indeks vegetasi, serta penelitian Pratama (2014) menunjukkan
terjadinya penambahan suhu permukaan akibat peningkatan lahan terbuka 6%
sebesar 0.001465 C/ha.
Kisaran suhu permukaan pada tahun 2013 lebih kecil dibanding 2016.
Semakin kecil kisaran suhu permukaan wilayah menunjukkan semakin besarnya
jumlah panas atau energi yang dibutuhkan untuk menaikan suhu. Data ekstraksi
Landsat-8 dapat digunakan karena nilai Ts berada di rentang suhu permukaan
lapangan dan adanya hubungan antara suhu permukaan satelit dan suhu
permukaan lapangan yang ditunjukkan dengan R2 sebesar 0.59 ditunjukkan pada
Gambar 3. Tursilowati (2012) menunjukkan terdapatnya hubungan antara suhu
permukaan hasil ekstraksi Landsat dengan data suhu observasi memiliki R2
sebesar 0.93.
36
35
34
y = 25.07e0.0054x
Ts Satelit ( C )

33
R = 0.5906
32
31
30
29
28
27
27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Ts Lapangan ( C)
Gambar 3 Hubungan antara suhu lapangan dengan suhu permukaan satelit
Landsat-8 April 2016

Albedo Permukaan

Nilai albedo pada lahan bervegetasi lebih rendah dibandingkan dengan


lahan tidak bervegetasi disajikan pada Gambar 4. Menurut Stull (2000) pada lahan
bervegetasi energi gelombang pendek yang datang lebih banyak diserap daripada
dipantulkan. Nilai albedo tutupan lahan semak lebih tinggi dibandingkan dengan
lahan hutan dan belukar, hal ini berarti pada lahan semak banyak radiasi yang
dipantulkan dibanding dengan yang diserap, sedangkan pada tutupan lahan hutan,
albedo bernilai kecil hal ini menunjukkan bahwa pada tutupan lahan hutan radiasi
gelombang pendek lebih banyak diserap. Oleh karena itu, albedo dapat dijadikan
sebagai indikator perubahan kapasitas panas wilayah, yaitu kemampuan wilayah
dalam menyimpan energi/panas dari radiasi matahari. Berdasarkan hasil ekstraksi
albedo landsat di setiap tutupan lahan berada dalam kisaran albedo hasil penelitian
sebelumnya, yaitu albedo belukar berkisar antara 0.06 0.08 (Risdiyanto &
Setiawan 2007), hutan berkisar antara 0.05 0.20 (Dobos 2003), dan grassland
0.18 0.2 (Geiger et al. 1961).
13

0.09 0.09
0.08 0.08
0.07 0.07
0.06 0.06
Albedo

Albedo
0.05 0.05
0.04 0.04
0.03 0.03
0.02 0.02
0.01 0.01
0.00 0.00
semak belukar hutan semak belukar hutan

(a) (b)
Gambar 4 Boxplot albedo permukaan tahun (a) 2013 dan (b) 2016

Neraca Energi Permukaan

Rataan radiasi netto lebih besar tahun 2016 dibanding tahun 2013, nilai Rn
dari yang terbesar adalah pada tutupan lahan hutan, belukar, dan semak disajikan
pada Gambar 5. Radiasi netto pada tahun 2013 digunakan untuk fluks pemanasan
udara (H) berkisar antara (87 126 Wm-2), digunakan untuk fluks bahang tanah
(G) berkisar antara (23 31 Wm-2), dan digunakan untuk fluks pemanasan laten
( ) berkisar antara (131 196 Wm-2), sedangkan tahun 2016 radiasi netto
digunakan untuk H (94 160 Wm-2), G (25 32 Wm-2), dan (158 225 Wm-2).
Rataan nilai yaitu dari yang terbesar terdapat pada tutupan lahan hutan, belukar,
dan semak, sedangkan rataan nilai H dan G yaitu dari yang terbesar terdapat pada
tutupan lahan semak, belukar, dan hutan.
Pada tutupan non vegetasi energi yang masuk lebih banyak digunakan
untuk H dan G sedangkan untuk evaporasi sedikit. Albedo memiliki keeratan
hubungan dengan Ts. Albedo tinggi maka energi yang diterima lebih banyak
digunakan untuk memanaskan tanah (G) dan memanaskan atmosfer (H) (Zhang et
al. 2012).

360 360

340 340
Radiasi netto (W/m2)

Radiasi netto (W/m2)

320 320

300 300

280 280

260 260

240 240

220 220

200 200
semak belukar hutan semak belukar hutan

(a) (b)
Gambar 5 Boxplot radiasi netto tahun (a) 2013 dan (b) 2016
14

Biomassa Atas Permukaan (AGB)

Konversi lahan hutan dan belukar menjadi lahan terbuka, semak, dan
perkebunan menyebabkan pada besaran AGB. Band swir memiliki korelasi
negatif terhadap biomassa, artinya semakin besar spectal radiance menunjukkan
biomassa yang sedikit, dan sebaliknya. Hubungan antara spectral radiance dan
biomassa memiliki korelasi yang kuat ditunjukkan tidak dengan linear namun
dengan eksponensial (Heiskanen J 2006). Avitabile et al. (2012) dan Baccini et al.
(2012) menunjukkan kemampuan kanal SWIR untuk mengestimasi AGB di
Uganda. Persamaan model untuk menghitung biomassa tahun 2013 dan 2016
terdapat pada ilustrasi Gambar 6. Inputan variabel x adalah spectral radiance
kanal 6. Spectral radiance air dan awan tidak digunakan dalam perhitungan
biomassa.

250
Biomassa ( ton/ha )

200

150

100
y = 94405e-0.744x
50 R = 0.7514
0
0 5 10 15
-2 -1
Spectral radiance ( Wm sr ) -1

Gambar 6 Model estimasi AGB berdasarkan nilai spectral radiance kanal 6

Biomassa hutan dan belukar mengalami penurunan dari tahun 2013 ke tahun
2016 disajikan pada Gambar 7, sedangkan biomassa semak mengalami
peningkatan, karena luasan semak meningkat. Radiasi neto (Rn) dibutuhkan oleh
tanaman/tumbuhan untuk melakukan proses fotosintesis. Rn tahun 2013 dan tahun
2016 dapat dilihat pada Gambar 5 yaitu Rn hutan > Rn belukar > Rn semak,
sehingga semakin tinggi radiasi maka biomassa yang dihasilkan juga akan tinggi.
Rata-rata biomassa wilayah kajian untuk tahun 2013 yaitu semak 35 ton/ha,
belukar 178 ton/ha dan hutan 187 ton/ha, sedangkan tahun 2016 yaitu semak 39
ton/ha, belukar 172 ton/ha dan hutan 174 ton/ha. Biomassa hasil penelitian Azhan
(2015) yaitu 203 ton/ha hutan sekunder dan 56 ton/ha semak. Berkurangnya
biomassa berpengaruh terhadap kemampuan wilayah dalam menyimpan panas.
15

350 350

300 300

Biomassa (ton/ha)

Biomassa (ton/ha)
250 250

200 200

150 150

100 100

50 50

0 0
semak belukar hutan semak belukar hutan

(a) (b)

Gambar 7 Boxplot biomassa tahun (a) 2013 dan (b) tahun 2016

Kapasitas Panas

Kapasitas panas menunjukkan banyaknya energi/panas sesaat yang


terdapat pada di wilayah kajian, disajikan pada Gambar 8. Kapasitas panas
wilayah tahun 2013 dari yang tertinggi secara berturut-turut yaitu belukar, hutan,
dan semak, sedangkan tahun 2016 yaitu hutan, belukar, dan semak. Kapasitas
panas wilayah tertinggi tahun 2013 yaitu belukar karena tutupan lahan didominasi
oleh belukar. Kapasitas panas wilayah tahun 2016 tertinggi yaitu hutan.

2016 2013

hutan

belukar

semak

0 2 4 6 8
-1 -1
Kapasitas Panas ( MJC ha )

Gambar 8 Kapasitas panas wilayah tiap penutupan lahan

Kapasitas panas berhubungan dengan kadar airnya. Pada penilitian ini


kapasitas panas dihubungan dengan biomassa karena vegetasi yang rapat
menunjukkan banyaknya air terkandung di bagian-bagian tumbuhan tersebut.
Kerapatan vegetasi yang tinggi dapat mereduksi panas dari radiasi matahari.
Keeratan antara hubungan kapasitas panas wilayah (JC-1m-2) dengan biomassa
(kgm-2) ditunjukkan dengan R2 pada tahun 2013 sebesar 0.71 dan tahun 2016
sebesar 0.84 disajikan pada Gambar 9. Aryani (2014) menghitung biomassa
16

dengan pendekatan indeks NDVI, nilai R2 yang di diperoleh dari hubungan


kapasitas panas dan biomassa sebesar 0.93. Nilai yang semakin mendekati satu
menandakan semakin erat suatu hubungan biomassa dengan kapasitas panas. Hal
tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi biomassa suatu wilayah maka
semakin tinggi pula kemampuan suatu wilayah dalam menyimpan panas/energi
dari radiasi matahari.
2016 2013
300
y = 8.4535x + 44.565
Kapasitas Panas ( J C-1.m-2)

250
R = 0.714
200

150
y = 8.135x + 47.155
100 R = 0.8481
50

0
0 5 10 15 20 25 30
Biomassa ( kgm-2 )

Gambar 9 Hubungan antara biomassa dengan kapasitas panas

TVDI (Temperature Vegetation Dryness Index)

Nilai TVDI 2013 (sebelum terbakar) lebih rendah dibanding tahun 2016
(setelah terbakar). Nilai TVDI 2013 untuk tutupan lahan semak 0.55, belukar 0.53,
dan hutan 0.51, sedangkan nilai TVDI 2016 untuk tutupan lahan semak 0.57,
belukar 0.63 dan hutan 0.57. TVDI tahun 2013 tertinggi terdapat pada semak,
sedangkan tahun 2016 tertinggi terdapat pada belukar. TVDI berkorelasi negatif
terhadap kadar air tanah (KAT). Nilai TVDI 0 menunjukkan tingginya KAT,
sedangkan nilai TVDI 1 menunjukkan rendahnya KAT (Chen et al. 2015). Di
lapangan pengamatan KAT secara in situ dilakukan pada hari dan kondisi cuaca
yang berbeda-beda, namun kadar air tanah di lapangan menunjukkan hal yang
berbeda yaitu KAT tertinggi terdapat pada belukar 512%, hutan 391%, dan semak
412%. Hal ini dapat terjadi karena pengukuran KAT di lapangan dilakukan pada
hari yang berbeda dan dengan kondisi cuaca yang berbeda pula, sehingga
mempengaruhi KAT saat pengukuran. Kadar air tanah pada wilayah gambut
tinggi karena salah satu sifat gambut sebagai penyimpan air yang tinggi
mencapai 100 1300 % dari bobot keringnya (Mutalib et al. 1991).
Tinggi muka air gambut berdasarkan Gambar 10 menunjukkan bahwa areal
belukar dan semak memiliki tinggi muka air yang berfluktutif, sedangkan tutupan
lahan hutan memiliki tinggi muka air yang relatif tetap. Fluktuasi tinggi muka air
ini salah satunya dipengaruhi oleh curah hujan. Curah hujan memiliki pengaruh
yang kuat terhadap kadar air tanah dan adanya hubungan yang signifikan antara
ketinggian air terhadap kadar air tanah. TVDI tahun 2016 tertinggi pada belukar
hal ini juga ditunjukkan dengan tinggi muka air gambut yang paling rendah
dibandingkan dengan dua tutupan lahan lain.
17

CH S B H
0 90
Tinggi Muka Air Gambut ( cm ) -5 80

Curah Hujan ( mm/hari )


-10 70
-15 60
-20 50
-25 40
-30 30
-35 20
-40 10
-45 0

Waktu Pengamatan ( hari )


Gambar 10 Tinggi muka air gambut dan curah hujan harian hasil
pengamatan di lapangan

Hubungan antara TVDI dengan kapasitas panas tidak menunjukkan


adanya hubungan yang signifikan ditunjukan dengan Gambar 11, memiliki R2
0.001 untuk 2013 dan 0.014 untuk 2016. Hal ini dapat terjadi karena TVDI
merupakan suatu indeks kekeringan wilayah yang tidak menjelaskan jumlah air
tanah, sedangkan Wisser (2011) mengatakan adanya hubungan antara kapasitas
panas dengan kadar air tanah. Berdasarkan hubungan kapasitas panas wilayah
terhadap TVDI menunjukkan trend yang menurun dari 2013 ke 2016. Tahun 2016
kapasitas panas mengalami penurunan yang diikuti dengan peningkatan TVDI.
Artinya berkurangnya kemampuan lahan dalam menyimpan panas, akibat adanya
perubahan komposisi tutupan lahan sehingga AGB menurun. Penurunan kapasitas
panas wilayah menunjukkan berubahnya fungsi lahan gambut dalam menyimpan
air, karena kapasitas panas berhubungan dengan kadar air tanah.
2013 2016
300
Kapasitas panas (J C-1.m-2)

250
y = 41.811x + 139.09
200 R = 0.0019
150
y = 58.323x + 116.89
100 R = 0.0145
50
0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
TVDI
Gambar 11 Hubungan TVDI dengan kapasitas panas
18

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Perubahan komposisi tutupan di suatu wilayah menyebabkan perubahan


jumlah akumulasi biomassanya. Penambahan jumlah biomassa wilayah akan
meningkatkan kapasitas panasnya dan sebaliknya. Kapasitas panas wilayah
gambut mengalami penurunan setelah terjadi kebakaran lahan pada tahun 2014
dan 2015. Kebakaran lahan mengakibatkan perubahan komposisi tutupan lahan,
sehingga dari tahun 2013 dan 2016 luas hutan dan belukar menurun 9% dan 37%,
sedangkan semak dan lahan terbuka meningkat 8% dan 31%. Kondisi ini
mengakibatkan penurunan kemampuan lahan dalam menyimpan energi/panas.
Perubahan komposisi tutupan lahan juga menyebabkan kenaikan TVDI
yang mengindikasikan kondisi wilayah kajian pada tahun 2016 lebih kering
dibandingkan pada tahun 2013. Namun demikian tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara kapasitas panas dan TVDI.

Saran

Melakukan kajian lebih lanjut mengenai hubungan antara panas jenis di


setiap tutupan lahan pada ekosistem lahan gambut dengan TVDI.
.

DAFTAR PUSTAKA

Adinugroho WC. 2009. Persamaan alometrik biomassa dan faktor ekspansi


biomassa vegetasi hutan sekunder bekas kebakaran di PT. Inhutani I Batu
Ampar, Kalimantan Timur. Info Hutan. 6(2):125-132.
Agus FE, Runtunuwu, June T, Susanti, Komara, Syahabudin, Las I, Van Noorwijk.
2009. Carbon budget in landuse transitions plantation. Journal Indonesian
Agricultural Research and Development. 29(4):119-126.
Allen RG, Morse A, Tasumi M, Bastiaansen W, Kramber W, Anderson H. 2001.
Evapotranspiration from Landsat (SEBAL) for water right management and
compliance with multi-state water compact. University of Idaho Kimberly,
ID 83341.
Andriesse JP. 1988. Nature and Management of Tropical Peat Soils. Soil
Researches manegement and Conservation Service. Italy: FAO Land and
Water Development Division.
Aryani W. 2014. Perubahan kapasitas panas wilayah akibat perubahan komposisi
tutupan lahan menggunakan data citra Landsat-5 TM. [skripsi]. Bogor(ID):
Institut Pertanian Bogor.
Avitabile V, Baccini A, Friedl MA, Schmullius C. 2012. Capabilities and
limitations of Landsat and land cover data for aboveground woody biomass
estimation of Uganda. Remote Sens. Environ. 117:182-185.
19

Azhan Z. 2015. Estimasi cadangan karbon pada tutupan lahan hutan sekunder,
semak dan belukar di Kota Samarinda. Jurnal AGRIFOR. 14(2):325-338.
Baccini A,Goetz SJ, Walker WS, Laporte NT, Sun M, Sulla-Menashe D, Hackler
J, Beck PA, Dubayah R, Friedl MA, et al.2012. Estimated carbon dioxide
emission from tropical deforestation improved by carbon-density maps. Nat.
Clim. Chang. 2:182-185.
Brown S. 1997. Estimating biomass change of tropical forest a primer. FAO
Forestry Paper 134. FAO USA.
Chen S, Wen Z, Jiang H, Zhao Q, Zhang X, Chen Y. 2015. Temperature
vegetation dryness Index Estimation of soil moisture under different tree
species. Journal Sustainability. 7:11401-11417.
Dobos. Encyclopedia of soil science. DOI : 10.1081/E-ESS120014334.
Fisch G, Tota J, Machado LAT, Dias MAFS, Lyra RF da F, NobfeCA, Dolman
AJ, Culf AD, Halverson J, Fuentes JD. 2001. The convective boundary layer
over pasture and forest in Amazonia. Aerospace Technical Center, Institute
of Aeronautics and Spaces, University Sao Jose dos. Brazil.
Geiger R, Aron RH, Todhuter P. 1961. The Climate Near The Ground. Ed ke-5.
Cambridge: Harvard University Press.
Heiskanen J. 2006. Estimating aboveground tree biomass and leaf area index in a
mountain birch forest using ASTER satellite data. International Journal of
Remote Sensing. 27(6):1135-1158.
Indarto, Faisol A. 2009. Identifikasi dan klasifikasi penutupan lahan
menggunakan citra Aster. Media Teknik Sipil. 9(1):1-8.
MacDicken KG. 1997. A guide to monitoring carbon storage in forestry and
agroforestry projects. Winrock International.
Monteith JL, Unsworth MH. 1990. Principles of Environmental Physics. 2nd ed.
London(UK): Edward Arnold.
Mubekti. 2011. Studi pewilayahan dalam rangka pengelolaan lahan gambut
berkelanjutan Provins Riau. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia.
13(2):88-94.
Mutalib AA, Lim JS, Wong MH dan Koonvai L. 1991. Characterization,
distribution and utilization of peat in Malaysia. Proc. International
Symposium on tropical peatland. 6-10 May 1991, Kuching, Serawak,
Malaysia.
Oliver JE. 1973. Climate and Mans Environment: An Introduction to Applied
Climatology. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Parwati, Suwarsono. 2008. Model indeks TVDI (Temperature Vegetation Dryness
Index) untuk mendeteksi kekeringan lahan berdasarkan data Modis-Terra.
Jurnal Penginderaan Jauh. 5:35-44.
Pratama KR. 2014. Analisis perubahan albedo, suhu permukaan dan suhu udara
sebaga dampak perubahan penutupan lahan menggunakan data citra satelit
Landsat (Studi kasus: Provinsi Jambi, Path/Row125/61) [skripsi].
Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.
Radonsa PJ, Koprivica MJ, Lavadinovic VS. 2003. Modelling current annual
height increment of yong Dounglas-fir stands at different site. In Amaro A,
Reed D, Soares P, editors. Modelling forest system. CABI Publishing.
Rahmayanti M. 2007. Kontribusi kebakaran lahan gambut terhadap pemanasan
global. Kaunia. 3(2):101-117.
20

Rajendran P, Mani K Dr. 2015. Estimation of spatial variability of land surface


temperature using Landsat 8 imagery. The International Journal of
Engineering and Science. 4(11):19-23.
Risdiyanto I, Setiawan R. 2007. Metode neraca energi untuk perhitungan indeks
luas daun menggunakan data citra satelit multi spektral. J. Agromet
Indonesia. 21(2):27-38.
Rosenberg NH. 1974. Microclimat: The Biological Enviroment. New York: John
Willey and Sons.
Soewandita H. 2008. Studi muka air tanah gambut dan implikasinya terhadap
degradasi lahan pada beberapa kubah gambut di Kabupaten Siak. Jurnal Air
Indonesia. 4(2):103-108.
Standholt et. al 2002. A simple interpretation of the surface temperature/
vegetation index space for assessment of surface moisture status. Remote
Sensing of Enviroment. 79:213-224.
Stull RB. 2000. Meteorology for scientist and Engineers 2nd ed. USA.
Brooks/Cole, Cengange Learning. CA, USA 528 pp.
Sukojo MB, Kustoro H. 2002. Perbaikan geometrik trase jaringan jalan dengan
menggunakan teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis.
Makara Sains. 6(3):136-141.
Tursilowati L, Sumantyo JTS, Kuze Hiroaki, Adiningsih S. 2012. Relationship
between urban heat island phenomenon and land use/land cover changes in
Jakarta-Indonesia. J. of Emerging Trends in Engineering and Applied
Science 3 .
[USGS] United States Geological Survey. 2013. Landsat Mission.[Internet].
[Diunduh 2016 Mar 3]. Tersedia pada: http://landsat.usgs.gov/
L8_band_combos.php.
[USGS] United States Geological Survey. 2016. Landsat 8 (L8) Data User
Handbook version 2.0. [Internet]. [Diunduh 2016 Mar 6]. Tersedia pada:
http://landsat.usgs.gov/Landsat8_Using_product.php.
Wahyudi, Pamoengkas P. 2013. Model pertumbuhan diameter tanaman Jabon
(Anthocephallus cadamba). Bionatura-Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik.
15(1):49-53.
Weng Q, Lu D, Schubring J. 2004. Estimation of land surface temperature-
vegetation abudance relationship for urban heat island studies. Remote
Sens. of Environment. 89:467-483.
Widyati E. 2011. Kajian optimasi pengelolaan lahan gambut dan isu perubahan
iklim. Tekno Hutan Tanaman. 4(2):57-68.
Wisser D, Marchenko S, Talbot J, Treat C, Frolking S. 2011. Soil temperature
response to 21st century global warming: the role of and some implication
fo peat carbon in thawing permafrost soils in North America. Earth Systm.
Dynam. 2:121-138. doi:10.5194/esd-2-121-2011.
Zhang Y F, Wang X P, Pan, X Y. Hu R. 2012. Diurnal relationship between the
surface albedo and surface temperatur in revegetated desert ecosystem,
Northwestern China. J. Arid Land Research and Management. 26:26-34.
21

LAMPIRAN
22

Lampiran 1 Peta data Landsat-8 path/row 120/62 (akuisisi 24 Juni 2013)

Lampiran 2 Peta data Landsat-8 path/row 120/62 (akuisisi 29 April 2016)


23

Lampiran 3 Peta tutupan lahan PT BSS sebelum kebakaran lahan dengan teknik
klasifikasi terbimbing

Lampiran 4 Peta tutupan lahan PT BSS sebelum kebakaran lahan dengan teknik
klasifikasi terbimbing
24

Lampiran 5 Parameter data Landsat-8 OLI TIRS tanggal akusisi 24 Juni 2013

Center Radiance**
Spectral ESUN**
Band Wavelength* (Wm- sr-1 m-1)
Range* (m) (Wm- m-1)
(m) ML AL
2 0.45 0.51 0.48 0.0124 -62.2317 2021.1974
3 0.53 0.59 0.56 0.0114 -57.3460 1862.5161
4 0.64 0.67 0.655 0.0096 -48.3574 1570.5785
5 0.85 0.88 0.865 0.0059 -29.5923 943.6917
6 1.57 1.65 3.22 0.0014 -7.3593 234.6875
10 10.60 11.19 11.00 0.0003 0.1000
11 11.50 12.51 12.00 0.0003 0.1000

Lampiran 6 Parameter data Landsat-8 OLI TIRS tanggal akusisi 29 April 2016

Center Radiance**
Spectral ESUN**
Band Wavelength* (Wm- sr-1 m-1)
Range* (m) (Wm- m-1)
(m) ML AL
2 0.45 0.51 0.48 0.0126 -63.3808 2013.6405
3 0.53 0.59 0.56 0.0116 -58.4048 1855.5525
4 0.64 0.67 0.655 0.0098 -49.2502 1564.7064
5 0.85 0.88 0.865 0.0060 -0.1387 975.2016
6 1.57 1.65 3.22 0.0014 -7.4952 242.5237
10 10.60 11.19 11.00 0.0003 0.1000
11 11.50 12.51 12.00 0.0003 0.1000

Lampiran 7 Nilai jarak astronomi bumi-matahari (d) dan sudut elevasi matahari
saat tanggal akuisisi citra Landsat-8

Tanggal akuisisi d Sun-Elevation (o)


24 Juni 2013 1.03311 52.52764
29 April 2016 1.01466 58.23032
25

Lampiran 8 AGB hasil pengamatan lapang dan perhitungan dengan metode


spektral radians band 6 tahun 2013 (sebelum kebakaran lahan) dan
2016 (setelah kebakaran lahan)

Biomassa (ton/ha)
Tutupan lahan Band 6
Lapangan
2013 2016
Belukar 145 168 134
Belukar 218 196 208
Belukar 244 133 132
Belukar 50 113 88
Belukar 186 181 174
Belukar 144 142 158
Belukar 168 351 321
Belukar 177 190 163
Belukar 206 174 170
Hutan 212 200 211
Hutan 157 198 170
Hutan 191 149 182
Hutan 148 215 151
Hutan 179 175 174
Hutan 92 197 98
Hutan 158 152 149
Hutan 185 183 182
Hutan 246 240 245
Semak 10 26 45
Semak 9 24 35
Semak 11 42 45
Semak 7 62 40
Semak 8 15 10
Semak 8 23 35
Semak 6 24 45
Semak 10 45 48
Semak 10 51 45
26

Lampiran 9 Diagram alir tahapan dan metodologi penelitian


27

RIWAYAT HIDUP
Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara, dilahirkan pada tanggal 25
November 1994 dari pasangan Bapak Satria Wira W dan Ibu Sutiyanah. Penulis lahir
di Padang dan dibesarkan di Tangerang Selatan kemudian berkesempatan
mengenyam pendidikan sarjana di IPB.
Penulis menjalani masa studi formal lulus dari pendidikan SDN (Sekolah
Dasar Negeri) Benda Baru 1, Pamulang Tangerang Selatan pada tahun 2006.
Dilanjutkan dengan pendidikan SMP (Sekolah Menengah Pertama) Muhammadiyah
22 Pamulang Tangerang Selatan pada tahun 2006-2009 dan SMA (Sekolah
Menengah Atas) 9 Kota Tangerang Selatan. Pada tahun 2012 penulis melanjutkan
studi ke jenjang perguruan tinggi melalui jalur SNMPTN Undangan di program studi
Meteorologi Terapan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Penulis tergabung dalam keanggotaan Himpunan Mahasiswa
Agrometeorologi sebagai anggota divisi Riset dan Alumni dalam satu periode
kepengurusan dan ikut membantu kegiatan yang ada dalam program kerja seperti
MPD, Seminar dan Pelatihan. Pada semester 7 penulis tergabung dalam tim asisten
Meteorologi Satelit sekaligus masuk ke dalam bagian laboratorium Meteorologi dan
Pencemaran Atmosfer untuk tugas akhir dengan dosen pembimbing Bapak Idung
Risdiyanto SSi, MSc.

Anda mungkin juga menyukai