Anda di halaman 1dari 5

FUNGSI PEWARNAAN TUBUH PADA ULAR KARANG Sinomicrurus japonicus boettgeri

Abstract.

Back ground. Hewan yang menjadi mangsa sering kali melindungi diri dari predator dengan teknik
pewarnaan tubuh, yang mencakup berbagai macam visual efek. Ketika mangsa menampilkan pola
warna tertentu pada permukaan tubuhnya, fungsi dan efek pelindungnya sangat bergantung pada
bagaimana predator akan bertemu dan melihat hewan magsanya. Ular karang asia dari genus
sinomicrusus, yang berbisa menampilkan pita dan garis hitam pada tubuh mereka yang berwarna
oranye. Pola inii ditandai sebagai sinyal aposematik pada ular karang, namun garis-garis tersebut
umumnya terjadi pada ular secara samar-samar. Kami menyelidiki fungsi pola warna kompleks ini yang
bisa diartikan sebagai aposematik dan tersembunyi pada sinomicrurus japonicus b.

Result. Pertama percobaan menggunakan replika dari plastisin yang dilakukan untuk menilai apakah
predator avian alami menghindari pola warna S.japonicus b, hasil menunjukkan mereka menyerang
replika ular karang dan ular kontrol yang memiliki warna serupa dengan ular mangsa lainya, hal ini
menunjukkan bahwa pewarnaan pada s.japonicus tidak berfungsi sbg aposematis di alam bebas.
Kedua kami mengevaluasi kontras kromatis dari warna tubuh s.japonicus yang menunjukkan tingkat
kontras yang sama atau lebih rendah dengan latar belakang alami dari tubuh ular yang menunjukkan
bahwa pewarnaan tubuh tidak efektif sbg sinyal aposematik

Conclusions. Hal ini menunjukkan bahwa pola warna tubuh pada s.japonicus lebih bekerja sebagai
kamuflase melalui pencocokan dengan lingkungan atau berguna sebagai penyamaran yang
menggangu daripada sebagai aposematisme.

Background .

Hewan dapat melindungi diri dari predator yang berburu secara visual dengan menggunakan
pewarnaan tubuh mereka. Mereka menampilkan beragam warna dan corak, yang menyebabkan
beberapa efek visual untuk mengurangi risiko terdeteksi oleh predator ( misalnya mencocokan dengan
lingkungan, penyamaran yang menganggu, dan ilusi optik) untuk menunjukkan kepada predator
bahwa mereka beracun atau untuk menipu predator. Lebih dari satu efek visual mungkin akan muncul
bersamaan pada permukaan tubuh hewan mangsa untuk menghadapi predator. Ketika hewan mangsa
menggunakan efek visual yang berbeda seperti kamuflase warna dan aposematik, sering
memanfaatkan persepsi visual dari predatornya. Kemampuan fisiologis predator untuk mendeteksi
dan mengidentifikasi juga dapat meningkat atau menurun. Dengan demikian kerangka teoritis dan
teknis telah dikembangakn dalam studi sinyal visual. Ular adalah salah satu kelompok yang paling
berguna untuk memahami proses yang terlibat dalam desain visual dalam hubungan predator-
mangsa, karena mereka sering menampilkan pewarnaan pelindung pada permukaan tubuh dan
pewarnaanya diklasifikasikan secara luas menjadi tiga jenis yang dihasilkan dari elemen pola yang
sederhana yaitu, garis longitudinal, bintik atau bercak, dan pita melintang. Meskipun pewarnaan
tubuh bekerja sebagai kamuflase melalui pencocokan dengan lingkungan, penyamaran yang
menganggu atau ilusi optik beberapa digunakan juga sebagai sinyal aposematik. Ular karang dari
genus micrurus dan micruroides yang berbisa menampilkan pita melintang merah, kuning,putih, dan
hitam merupakan contoh aposematisme yang baik didukung oleh percobaan laboratorium dan
lapangan, melakukan percobaan lapangan menggunakan replika ular untuk menilai fungsi pola warna
pada ular karang dan menunjukkan bahwa replika ular dengan pita melintang seperti ular karang,
jarang diserang oleh predator burung dibandingkan dengan replika kontrol biasa hal ini menunjukan
pola ular karang berfungsi sebagai pelindung secara aposematis. Studi lain menggunakan replika ular
dengan pola zig-zag, umunya dianggap sebagai pewarnaan kamuflase menunjukkan pola tersebut
memiliki fungsi aposematik. Sementara pewarnaan merah atau kuning pada ular tropis yang mencolok
bagi mata manusia akan bekerja sebagai penyamaran dihabitat alami dari predatornya. Jadi jika kita
ingin memahami bagaimana fungsi pewarnaan tertentu di alam, kita perlu mempertimbangkan
bagaimana predator bertemu dan melihat hewan mangsa. Hal ini akan memberikan wawasan baru
tentang studi fungsional pewarnaan pelindung, terutama dalam kasus dimana hewan mangsa
menampilkan pewarnaan yang tidak serasi dengan alam dan saat pewarnaan tersebut tidak digunakan
secara efektif untuk bertahan. Ular karang asia dari genus sinomicrurus yang memiliki kekerabatand
engan micrurus dan micruroides diperkirakan akan bersifat aposematik, karena mereka berbisa dan
menampilkan pita melintang serupa dengan ular karang. Khususnya beberapa spesies sinomicrurus
tidak hanya menampilkan pita melintang tapi juga garis longitudinal di permukaan tubuhnya. Yang
terakhir mungkin terkait dengan pertahanan penyamaran, berlawanan dengan strategi aposematik
yang membuat ular jelas terhadap lingkungan. Dalam penelitian ini kami menyelidiki fungsi
pewarnaan tubuh sinomicrurus japonicus b.yang terdistribusi dibeberapa pulau kepulauan ryukyu,
jepang. Pewarnaan tubuhnya terdiri dari pita melintang dan garis longitudinal yang dapat
diinterpretasikan sebagai aposematik dan penyamaran. Pertama kami melakukan percobaan dengan
replika ular untuk menilai apakah predator alami menghindari pola warna s.japonicus sebagai mangsa.
Kedua kami mengukur spektrum pantulan dari pewarnaan tubuh ular dan membangun ruang warna
tetrahedral untuk mengevaluasi kontras kromatik denga objek lingkungan berdasarkan sistem visual
predator mereka. Kontras kromatim ini dapat menghasilkan beberapa efek visual seperti pencocokan
dengan lingkungan, penyamaran yang menganggu, ilusi optik dan sinyal aposematim pada permukaan
tubuh.

Methods .

Eksperimen replika dari plastisin

Percobaan replika plastisin dengan uji coba menggunakan predator unggas alami di hutan
pegunungan si pulau okinawa, kepulauan ryukyu, jepang. Di lokasi s.japonicus b aktif pafa siang dan
malam hari, kami membuat 2 jenis ular, replika berwarna pra-awal berulir ke bingkai kawat berbentuk
s.japonicus , kedua replika ular karng dicat hitam dengan pita melintang putih,kecil dan garis-garis
hitam pada permukaan oranye mirip dengan pola warna tubuh S.japonicus dan replika kontrol
berwarna hijau polos mirip dengan cyclophios semicarinatus yang merupakan magsa predator di
lapangan. Kami memverifikasi bahwa pewarnaan replika tidak menunjukan perbedaan yang cukup
besar dalam spektrum refleksitas terhadap target ular menggunakan spektometer USB2000 + dan
tidak ada spesies yang menunjukan pewarnaan dan pola serupa dengan replika kecuali untuk target
ulat. Ukuran replika berdiameter 10mm dan panjang 180mm. Kedua jenis replika ditempatkan pada
lokasi yang berdampingan, memungkinkan predator memilij mangsa yang menguntungkan. Jika pola
warna tubuh s,japonicus berfungsi secara aposematik, maka predator akan menghindari pemangsa
pada replika dengan pola warna serupa. Pasangan replika ditempatkan dilantai hutan 0,5 -1 m dari
tepi jalan pegunungan. Kami menyiapkan dua jenis lingkungan, lingkungan buatan dan alami, karena
predator mungkin tidak menemukanya pada lingkungan alami. Jika kedua replika terlalu sulit untuk
ditemukan. Dalam satu percobaan 25 pasang replika dipasang pada setiap lingkungan dalam
pengaturan bolak balik. 50 pasang replika dibagi menjadi 3 blok pada interval 2 km dengan masing-
masing pasangan berjarak 10m. Setelah 72 jam replika sikumpulkan, dan tanda berbentuk u atau v
yang ditingalkan predator pada replika dicatat sebagai upaya penyerangan mereka. Beberapa tanda
pada prelika dinilai sebagai upaya predasi tunggal. Percobaan dilakukan pada bulan november 2012
dan juni 2013, menggunakan total 100 pasang replika ular. November adalah musim migrasi dari
daerah utara. Beberapa akan tinggal disana selama musim dingin dan kemudian jumlahnya meningkat
lagi pada awal musim semi sampai menghilang si bulan mei. Selain burung nasar, ada juga beberapa
spesies unggas yang merupakan predator potensial bagi ular seperti burung gagak dan kingfisher,
sepanjang tahun.

Analisis warna

Perbedaan warna antara unsur warna pada tubuh ular dengan lingkungan dianalisis. Kontras kromatis
ini dibangingkan dengan 2 spesies colbrid yaitu c.semicarinatis dan dinodon semicarinatum dan ular
berbisa ovophis okinavensis semuanya ditemukan di pulau okinawa dan hidup bersama dengan
s.japonicus. D.semicarinatum memiliki bercak hitam dan warna putih kemerahan, warna
O.okinavensis terdiri dari bintik coklat tua kecil pada permukaan warna coklat muda. Habitat utama
ke-4 spesies ular ini adalah lantai hitan yang ditutupi tanah liat merah dan daun gugur. Spektrum
refleksitas diukur dari elemen warna oranye dan hitam pada s.japonicus, elemen warna hijau
C.semicarinatus, unsur hitam dan kemerahan dari D.semicarinatum dan elemen coklat gelap dan
terang o.okinavensis. spektrum tanah dan daun gugur di habitatnya dianalisis sebagai elemen warna
latar lingkungan. Untuk setiap jenis lingkungan diukur 20 subjek. Dalam analisis ini sebuah
spektometer USB2000+ digunakan dengan sumber cahaya deuterium DTMini-2-GS dan sumber
cahaya halogen. Pemantulan rata-rata setiap elemen warna dihitung dengan menghitung mean dari
3 pektrum ulangan uang diukur untuk masing-masing subjek untuk setiap titik data antara 300-700nm,
yang sinyatakan telatif terhadap standar refleksi putih 99%. Penyinaran habitat mereka juga diukur
dengan menggunkan spektometer USB 2000+. Pada bulan april 2013, kami mengukur radiasi di 3
lokasi lansekap pada habitat, mereka bukit,lembah dan lereng pegunungan, dibawah kondisi
penyinaran antara pukul 10.00 14.00. rata-rata radiasi habitat dihitung dengan menghitung mean
dari 10 pengukuran data radiasi untuk setiap lokasi . untuk mnegevaluasi kontras kromatik dari
pewarnaan uar semua data spektrum warna dipetakan di ruang tetrahedrala, berdasarkan sistem
radiasi alami dan sistem sinar ultra violet. Kerena burung memiliki 2 jenis warna. Untuk menghitung
kontras kromatik di ruang tetrahedral pewarnaan yang ditunjukan oleh wara yang menutupi masing-
masing spesies ditetapkan sebagai elemen warna dasar (s.japonicus oranye, C. Semicarinatus hijau,
D.semicarinatum hitam dan o.ikinavensus coklta muda).

Results

Pada 25 dari 100 pasang replika, replikayang diserang oleh burung 16 replika, hilang 26 replika . pada
17 dari 25 pasang ini kedua replika diserang dan hilang. Kami menemukan perbedaan jumlah
percobaan pemangsaan antara bulan november dan juni. Tidak ada perbedaan yang signifikan pada
jumlah replika yang tersisa setelah upaya pemangsa antara ular karang dan ular kontrol terhadap uji
berpasangan alami. Ketika hilang diangap sebagai upaya nonpredasi. Potongan kecil replika sering
ditemukan di lokasi yang replikanya hilanh hal ini menunjukan bahwa kejadian predasi burung dapat
diasusmsikan, hasil statistik tidak berubah saat kejadian hilang diperlakukan sebagai upaya pemangsa
oleh burung. Meskipun kita tahu bahwa mamalia kecil yang terdistribusi di lokasi seperti tikus bisa
menggigit atau mengores permukaan replika hanya beberapa yang menunjukan tanda2 tesebut.
Analisis warna berdasarkan radiasi lingkungan dan 2 jenis sistem visual predator menunjukan
perbedaan interspesifik dalam kontras intratubuh. Pewarnaan oranye s.japonicus memiliki tingkat
kontras yang sama atau lebih rendah dengan 2 jenis lingkungan dibandingkan 3 spesies lain dan
pewarnaan pita hitam melintang dari garis-garinya juga menunjukkan kurvaa reflektasi yang sama,
yang menghasilkan perbedaan tingkat lingkungan.
Discussion

Pembahasan percobaan replika menunjukan bahwa burung tidak menghindari menyerang replika ular
karang atau kontrolnya. Kedua replika teridentifikasi sebagai item mangsa oleh predator, karena
c.semicarinatus telah dikenal sbg mangsa burung. Sebuah penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
predator yang mengkhususkan pada pemberian makan ular dapat menganggu eksperimen replika
plastis yang digunakan untuk menguji sinyal aposematik magsa, kerena hewan2 ini mungkin mampu
mengatasi pertahanan sekunder ular tersebut. Pada bulan november buzzard makan ular melimpah
secara temporal. Namun tampak bahwa pemangsa unggas lain juga menyerang replika ular karang.
Dengan demikian hasil penelitian kami menunjukkan bahwa pola warna tubuh s.japonicus tidak
berfungsi secara aposematis dialam bebas. Analisis warna kami mendukung intrepetasi percobaan
replika di atas. Pewarnaan tubuh s.japonicus memiliki tingkat kontras yang sama atau lebih rendah
dengan 2 jenid lingkungan dibandingkan dengan spesies lai. 2 subjek lingkungan memiliki kurva
refleksitas yang serupa dengan warna oranye s.japonicus yang menyebabkan penurunan kontras.
Pencocokan dengan lingkungan dan penyamaran yang menganggu akan bekerja paling baik jika
sebagian besar pewarnaan tubuh menyatu dengan lingungan. Bertentangan dengan sinyal aposematik
yang harus menunjukkan kontras tinggi dengan lingkungan. Dalam pertahanan kamuflase kontraas
rendah dengan lingkungan tidak selalu merupakan presyarat, kerena kontras yang tinggi masih sering
menimbulkan ilusi optik saat ular bergaris bergerak lebih cepat, hal ini dikenal sbg efek flicker-fusion.
Namun mungkin tidak berlaku untuk s.japonicus yang bergerak relatif lambat. Peran yang dimainkan
oleh kontras intratubuh pada kamuflase yang menganggu dan pencocokan dengan lingkungan melalui
garis longitudinal dan pita melintang . studi tentang kupu-kupu menunjukan bahwa kontras yang
tinggi didalam tuuh dapat menimbulkan efek menganggu untuk menyembunyikan garis-garis tubuh
dibandingkan kontras yang rendah dengan lingkungan. Namun terlalu banyak kontras pada tubuh juga
dapat meningkatkan resiko predasi karena keterkejutan. Kami tidak menguji kontras intratubuh
s.japonicus pada pertahanan mereka. Sebuah perbandigan langsung dari kontras warna kromatik
warna dengan ular karang yang telah dikonfirmasi sebagai aposematik sangat dibutuhkan, namun
hasil penelitian kami menunjukkan bahwa pewarnaan oranye s.japonicus dengan pola garis dan pita
hitam dapat bekerja secara sembunyi atau kamuflase menganggu daripada aposematisme. Di
kepulauan ryukyu ada 2 subspesies sinomicrurus japonicus japonicus dan sinomicrurus japonicus
takarai dan spesies kerabat s. Macclellandi iwasakii . s japonicus japonicua dan s.japonicus takarai
menampilkan gaaris longitudinal hitam pada perwanrnaan oranye yang mirip dengan s.japonicus
boettgeri dan s.japonicus takarai tidak menunjukkan pira melintang, menunjukan bahwa pewarnaan
tubuh mereka mungkin tidak berfungsi sbg sinyal aposematik, seperti pada kasus s.japonicus
boettgeri. Disamping itu s.macclellandi iwasakii menampilkan pita melintang lebar diseluruh tubuhnya
dan tidak memiliki garis longitudinal dan kerena itu pola warna tubuhnya lebih mirip dengan ular
karang daripada spesies sinomucrurus lainya. S.macclellandi iwasakii adalah spesies sinomicrurus
terdistribusi paling selatan dikepulauan ryukyu dan rentang distribusinya tumpang tindih dengan
populasi raptor spilornis cheela, pemangsa pemakan ular yang terkenal. Ular karang ini mungkin
menghadapi predator burung pada frekuensi yang lebih tinggi daripada sinomicrurus lainya sepanjang
tahun diwilayah ini. Pembentukan aposematisme menguntungkan bagi hewan mangsa dalam kasus
ketika predator dapat belajar tentang ketidakmampuan mangsa yang membawa sinyal aposematik.
Studi empiris telah mengungkapkan bahwa kelimpahan predator yang berorientasi visual akan
mendorong perolehan pertahanan aposematik pada hewan mangsa. Penelitian lebih lanjut diperlukan
untuk mengklarifikasi hubungan antaara variasi interspesifik dalam pewarnaan tubuh dan perbedaan
komposisi predator lokal sinomicrurus juga mengingat pengaruh hubungan filogenetik dan sifat
defensif lainya seperti toksisitas.

Conclusion .
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pewarnaan tubuh s.japonicus boettgeri akan bekerja sebagai
kamuflase melalui pencocokan dengan lingkungan daripada aposematisme. Ini akan memberikan kita
pemahaman tenatang kapan dan dimana beberapa ular karang asia kehilangan dan mendapatkan pita
melintang aposematik dan garus longitudinalnya yang bisa dihubungkan dengan kamuflase.

Anda mungkin juga menyukai