KELAS AMPHIBI
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Keanekaragaman Hewan yang dibimbing oleh
Bagus Priambodo S.Si., M.Si., M.Sc.
Fahrul Ghani Muhaimin, Fustatul Qur'ani Anam, Maisuna Kundariati
Disusun oleh :
Kelompok 2
Offering I 2018
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Kata amphibi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu
“Amphi” (rangkap) dan “bios” (hidup) dapat diartikan sebagai hewan bertulang
belakang (vertebrata) dengan kelembapan kulit yang tinggi, tidak tertutupi oleh ranbut
yang hidup di dua alam, yakni di air dan di daratan. Karena amphibi diartikan sebagai
hewan yang mempunyai dua bentuk kehidupan yaitu di darat dan di air. Pada umumnya,
amphibian mempunyai siklus hidup awal di perairan dan siklus hidup kedua adalah di
daratan (Sianiar, 2010)
Ciri – ciri Amphibi yaitu memiliki 3 ruang jantung yang terdiri dari 2 atrium
dan I ventrikel. Sirkulasi amphibian disebut sebagai sirkulasi ganda tertutup, yaitu
ganda yang berarti dua kali melewati jantung dan tertutup artinya darah tidak keluar
dari pembuluh darah. Amphibia bersuhu poikiloterm artinya mempunyai suhu yang
berubah – ubah sesuai dengan lingkungannya. Amphibia mempunyai selaput kaki
”selaput natataria” yang berfungsi untuk berenang, juga memiliki selaput pada mata
“selaput naktitans” berfungsi untuk melindungi mata dari gesekan air (Sianiar, 2010)
Amphibi hidup dengan dua habitat darat dan habitat air. Termasuk hewan
poikioterm (berdarah dingin). Pembagian tubuh terdiri atas kepala dan badan atau
kepala, badan, dan ekor. Kulit lembap dan berlendir, terdiri dari dermis dan epidermis.
Warna kulitnya bermacam – macam karena adanya pigmen di dalam dermis ( biru,
hijau, hitam, coklat, merah, dan kuning) tepat dibawah epidermis. Mempunyai dua
lubang hidung yang berhubungan dengan rongga mulut disebut koone, di kanan kiri
tulang vomer yang berbentuk V, penghubung antara rongga mulut dan rongge telinga
disebut Eustachius. Endoskeleton mempunyai kolumna vetrebalis (ruas tulang
belakang). Terdapat sepasang rahang, gigi, lidah, dan langit – langit (Sianiar, 2010).
Amphibi memiliki potensi yang cukup besar untuk membantu manusia untuk
menanggulangi hama serangga. Karena hampir seluruh jenis amphibi makanannya
addalah serangga dan larvanya. Amphibi juga sangat erat kaitannya dengan manusia,
diantaranya dalam dunia kedokteran, amphibi telah lama dimanfaatkan untuk tes
kehamilanyang banyak dijual di apotek seperti sekarang. Beberapa lembaga penelitian,
saat ini tengah melakukan pencarian berbagai bahan anti bakteri dari beberapa jenis
amphibi yang diketahui memiliki ratusan kelenjar yang terletak dibawah jaringan kulit
(Karmana, 2007).
Amphibia memiliki kelopak mata dan kelenjar air mata yang berkembang baik.
Pada mata terdapat membrana nictitans yang berfungsi untuk melindungi mata dari
debu, kekeringan dan kondisi lain yang menyebabkan kerusakan pada mata. Sistem
syaraf mengalami modifikasi seiring dengan perubahan fase hidup. Otak depan menjadi
lebih besar dan hemisphaerium cerebri terbagi sempurna. Pada cerebellum konvulasi
hampir tidak berkembang. Pada fase dewasa mulai terbentuk kelenjar ludah yang
menghasilkan bahan pelembab atau perekat. Walaupun demikian, tidak semua amphibi
melalui siklus hidup dari kehidupan perairan ke daratan. Pada beberapa amphibi,
misalnya anggota Plethodontidae, tetap tinggal dalam perairan dan tidak menjadi
dewasa. Selama hidup tetap dalam fase berudu, bernafas dengan insang dan
berkembang biak secara neotoni. Ada beberapa jenis amphibi lain yang sebagian
hidupnya berada di daratan, tetapi pada waktu tertentu kembali ke air untuk
berkembang biak. Tapi ada juga beberapa jenis yang hanya hidup di darat selama
hidupnya. Pada kelompok ini tidak terdapat stadium larva dalam air. (Fitria, 2013)
1.2 Tujuan
1. Melakukan identifikasi terhadap anggota-anggota Amphibi berdasarkan ciri
morfologi.
2. Menyusun klasifikasi terhadap anggota Amphibi.
3. Mendeskripsikan ciri khas Amphibi secara tepat.
1.3 Manfaat
1. Mampu melakukan identifikasi terhadap anggota-anggota Amphibia berdasarkan
ciri morfologi.
2. Mampu menyusun klasifikasi terhadap anggota Amphibia.
3. Mampu mendeskripsikan ciri khas Amphibia secara tepat.
BAB II
METODOLOGI
a. Alat : b. Bahan :
3. Penyungkup 3. Klorofom
4. Papan seksi
Mengamati struktur morfologi dan fisiologi setiap Kelas Amphibi pada berbagai
spesies kodok dan katak
Gambar
Asli Literatur
1
b
a
d
c Sumber: Tshritmaker, 2018
Keterangan Klasifikasi
a. Forelimb Kingdom : Animalia
b. Body Phyllum : Chordata
c. Hindlimb Class : Amphibi
d. Eyes Ordo : Anura
Spesies : Rana sp.
Gambar
2
Asli Literatur
a c Sumber: Pinnacleeventswnc, 2018
d
b e
Keterangan Klasifikasi
a. Hindlimb Kingdom : Animalia
b. Forelimb Phyllum : Chordata
c. Body Class : Amphibi
d. Tymphanum Ordo : Anura
e. Eyes Spesies : Bufo sp.
3.2 Pembahasan
A. Perbandingan spesies
Tabel perbedaan katak dan kodok
Perbedaan Katak Kodok
Kulit Halus, lembab, berlendir Kasar, berbintil-bintil, kering
Bentuk kaki Kuat, panjang dan berselaput Pendek
belakang
Bentuk Ramping Gemuk dan pendek
tubuh
Kemampuan Mampu melompat hingga jauh Kurang pandai melompat
Melompat
Konsumsi Diperdagangkan dagingnya untuk Tidak dikonsumsi manusia
manusia dikonsumsi
Warna Lebih terang Gelap
Suara Lebih pelan Lebih nyaring dan berisik
Bau tubuh Lebih bau dan kadang-kadang beracun Tidak terlalu bau
Prilaku Lebih agresif dan suka bergerak Diam saja
Telur Berbentuk jalinan panjang seperti rantai Bergelombol
Lidah Panjang dan ada zat pelekat Pendek dan tidak ada zat
pelekat
Adaptasi Lebih banyak pemangsa karena warnanya Lebih sedikit yang memangsa
yang mencolok
Racun Terdapat di kulitnya Terdapat di kencingnya
Habitat Menyukai tempat yang banyak airnya Menyukai di daratan yang
lembab
Mata Bola mata besar Bola mata lebih kecil
Gigi Ada Tidak punya
(Sumber : HewanId, 2017)
Katak biasanya ditemukan di tempat yang lembab. Memiliki kaki yang
panjang dan terdapat selaput renang diantara sela-sela jari kaki digunakan untuk
melompat dan berenang dengan warna tubuh yang bervariasi. Merupakan hewan
nokturnal serta pemakan serangga, siput dan juga cacing. Berkembangbiakan di
daerah dataran rendah pada bulan Februari dan Maret. Pembuahan secara internal
dan kulitnya licin serta lembab.
B. Metamorfosis
Katak maupun kodok mengalami perubahan yang sangat signifikan dalam
fase hidupnya. Pada awalnya mereka hanya bisa hidup di air saja, setelah
bermetamorfosis dapat hidup di dua tempat. Hal tersebut membuktikan bahwa
metamorfosis pada hewan akan selalu membawa dampak yang sangat besar bagi
kehidupannya.
Fase awal adalah telur. Fase pembuahan telur pada katak berbeda dengan
pembuahan pada organisme atau hewan yang lainnya. Jika pada hewan lainnya
pembuahan berada di dalam tubuh betina, pembuahan telur pada katak terjadi di
luar tubuh betina (pembuahan eksternal). Katak betina akan mengeluarkan banyak
telurnya di air ketika musim pembuahan, selanjutnya telur-telur tersebut akan
dibuahi oleh katak jantan. Telur katak yang dikeluarkan oleh katak betina akan
bergerombol, itu karena ada semacam perekat yang menyatukan satu dengan
lainnya. perekat tersebut berbentuk seperti jeli yang berfungsi untuk melindungi sel
telur.Namun, ternyata pembuahan eksternal memiliki banyak resiko kegagalan,
karena terkadang ada faktor dari luar yang mengakibatkan kegagalan tersebut,
mulai dari adanya predator (ikan) atau bisa juga karena arus air yang sangat tinggi
sehingga akan merusak sel telur.
Fase berikutnya adalah kecebong. Terkadang disebut juga dengan berudu.
Pada fase awal berudu belum bisa mencari makanan sendiri, sehingga akan berada
di sekitar telur untuk mendapatkan sisa makanan yang berada pada cangkangnya.
Pada fase awal ini kecebong juga mulai membentuk organ insan untuk dapat
bertahan hidup di air. Bentuk kecebong akan sempurna setelah 1 minggu, bentuknya
bulat berekor dan insang yang mulai terbentuk masih berada di luar tubuh (belum
terbungkus). Sekitar 4 minggu baru mulai terbentuk kulit yang berfungsi untuk
melindungi insang dan perlahan-lahan ekor beludru juga akan memendek.
Selanjutnya kecebong atau berudu akan terus mengalami proses perubahan, baik
perubahan secara morfologis maupun fisiologis. Tepatnya pada minggu ke-6 kaki
belakang dan organ paru-paru katak akan mulai terbentuk. Antara minggu ke-6
sampai ke-9 akan mulai terlihat bentuk kepala.
Fase selanjutnya yaitu fase katak muda, fase ini dimulai pada minggu ke-12.
Katak muda sudah mengalami berubahan bentuk morfologis dan fisiologis yang
sangat berbeda, seperti ekor katak memendek, ingsang hilang, paru-paru mulai
berfungsi, dan mulut katak melebar. Bukan hanya itu, tetapi habitat hidupnya juga
mulai berubah. Katak muda sudah mulai meninggalkan perairan dan melakukan
banyak aktivitas di daratan. Fase katak muda ini cukup singkat, yaitu hanya sekitar
3 minggu saja sebelum masuk ke fase berikutnya.
Fase ini merupakan fase metamorfosis katak paling terakhir, yaitu katak
dewasa. Pada fase ini insang katak benar-benar sudah hilang dan sistem pernafasan
katak menggunakan paru-paru, katak tidak memiliki ekor, memiliki kaki yang kuat
untuk melompat dan berenang (terdapat selaput yang berfungsi untuk memudahkan
katak ketika berenang di air), dan bentuk tubuh katak juga sudah tidak menyerupai
berudu lagi. Habitat hidupnya sudah berada di daratan, katak dewasa hanya akan
berada di air ketika masa pembuahan saja.
C. Faktor yang mempengaruhi distribusi amphibi
Berdasarkan sumber literatur yang berjudul “Pengaruh Dinamika Faktor
Lingkungan Terhadap Sebaran Horisontal dan Vertikal Katak” (Kurniati, 2011)
menyebutkan bahwa beberapa amphibi yaitu salah satunya katak sebagai bahan
penelitian tersebut, Jenis-jenis katak yang bersifatakuatik ataupun semi-akuatik
selalumelakukan pergerakan pindah tempatuntuk menjauhi atau mendekati
perairan. Dari hasil penelitian Inger (2009), jenis-jenis katak asli hutan yang bersifat
semi-akutik dapat melakukan perpinda-han tempat sampai lebih dari 200 meterdari
perairan, sedangkan jenis yangbersifat semi-arboreal dapat berada lebihdari satu
meter di atas vegetasi sekitarperairan. Begitu juga, pada penelitian Kurniati (2011)
tersebut dilakukan pengamatan terhadap tiga jenis katak yaitu Rana erythraea, R.
nicobariensis dan Occidozyga lima.
Selain itu, dengan catatan memerhatikan faktor yang memengaruhi yaitu
tentang fase rembulan, kelembaban udara, suhu udara dan suhu air melengkapi data
lingkungan yang kemungkinan besar mempengaruhi penyebaran horizontal dan
vertikal individu ketiga jenis katak tersebut pada mikrohabitatnya. Berdasarkan
dinamika tersebut maka dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh faktor
lingkungan (fase bulan, suhu udara, suhu air dan kelembaban udara) terhadap
pergerakan katak. Dari hasil penelitian, tergantung dari masing-masing jenis katak.
Hal ini dikarenakan masing-masing jenis katak memiliki kemampuan bertahan
hidup yang berbeda terhadap lingkungannya. Akan tetapi, pada umumnya yang
memengaruhi dari distribusi amphibi adalah suhu udara, suhu air dan kelembapan
udara yang berdampak pada dinamika jumlah individu dari kelompok amphibi
tersebut dan distribusinya (Kurniati, 2010).
D. Garis Dorsoventral pada katak
Setiap katak memiliki garis dorsoventral yang berbeda. Namun, beberapa jenis
katak tidak mempunyai garis dorsoventral. Garis dorsoventral merupakan lipatan
yang terdapat pada kulit katak bagian dorsal, berkelenjar mulai dari belakang mata
sampai pangkal paha (Iskandar, 1998).
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Aram Agasyan; Aziz Avisi; Boris Tuniyev; Jelka Crnobrnja Isailovic; Petros Lymberakis;
Claes Andrén; Dan Cogalniceanu; John Wilkinson; Natalia Ananjeva; Nazan Üzüm;
et al. (2009). "Pelobates fuscus". The IUCN Red List of Threatened Species. IUCN.
2009: e.T16498A5951455.
Eka, F. 2011. Panduan Praktikum Zoologi vertebrata. Cirebon : Pusat Laboratorium IAIN
Syekh Nurdjati
Inger, RF. 2009. Contributions to the natural history of seven species of bornean frogs.
Fieldiana Zool.(116): 1-25.
Iskandar, D.T. 1998. Amfibi Jawa dan Bali – Seri Panduan Lapangan . Puslitbang LIPI:
Bogor.
Kurniati, H. 2010. Keragaman dan kelimpahan jenis katak serta hubungannya dengan vegetasi
padalahan basah “Ecology Park”, Kampus LIPI Cibinong. Berita Biologi. 10 (3):283-296
Kurniati, H.2011. Pengaruh Dinamika Faktor Lingkungan Terhadap Sebaran Horisontal dan
Vertikal Katak. Jurnal Biologi Indonesia, Zoologi 7(2): 331-340