Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Secara substantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan

subjek sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik

berkaitan dengan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan

bahwa pengertian moral senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai

subjek etika. Maka kewajiban moral dibedakan dengan pengertian kewajiban-

kewajiban lainnya, karena yang dimaksud adalah kewajiban manusia sebagai

manusia.
Di era politik saat ini, banyak sekali pembaharuan-pembaharuan isi

undang-undang dan aturan-aturan pemerintah lainnya, yang di dalamnya

terdapatisi yang harus dipatuhi oleh seluruh kalangan, baik si pembuat

maupun masyarakat, namun dalam kenyataannya aturan-aturan tersebut hanya

ampuh untuk mendiktekita sebagai kalangan masyarakat, sedangkan para

pegawai pemerintahan cenderung acuh atau bahkan tak mau tahu. Hingga

bermunculan kasus-kasus memalukan yang kian marak diperbincangkan baru-

baru ini, salah satunya adalah korupsi yang seakan menjadi rahasia umum, dan

bagaimana pemerintah dan aparat hokum dalam menyikapinya? Sudah sesuai

kah antara permasalahan yang dibuat dengan hukum yang berlaku?


Sebagai suatu nilai, Pancasila memberikan dasar-dasar yang bersifat

fundamental dan universal bagi manusia baik dalam hidup bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai tersebut kemudian dijabarkan dalam

suatu norma-norma yang jelas sehingga merupakan suatu pedoman. Norma-


norma tersebut meliputi norma moral dan norma hukum. Dalam norma inilah

maka Pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala sumber hukum di

negara Indonesia. Sebagai sumber dari segala sumber hokum nilai-nilai

Pancasila yang sejak dahulu telah merupakan suatu cita-cita moral yang luhur

yang terwujud dalam kehidupan sehari-sehari bangsa Indonesia sebelum

membentuk negara. Atas dasar pengertian inilah maka nilai-nilai Pancasila

sebenarnya berasal dari bangsa Indonesia sendiri atau dengan lain perkataan

bangsa Indonesia sebagai asal-mula materi nilai-nilai Pancasila (Toyiban,

1997).
Jadi sila-sila Pancasila pada hakikatnya bukanlah merupakan suatu

pedoman yang langsung bersifat normatif ataupun praksis melainkan

merupakan suatu sistem nilai-nilai etika yang merupakan sumber norma baik

meliputi norma moral maupun norma hukum, yang pada giliran nya harus

dijabarkan lebih lanjut dalam norma-norma etika, moral maupun norma

hukum dalam kehidupan kenegaraan maupun kebangsaan.


1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa

rumusan masalah sebagai berikut:


1. Apa yang dimaksud dengan nilai, norma dan moral?
2. Bagaimanakah hubungan antara nilai, norma dan moral?
3. Apa yang dimaksud dengan etika?
4. Apa yang dimaksud dengan politik?
5. Bagaimanakah dimensi politisi manusia?
6. Apa yang dimaksud dengan Pancasila sebagai etika politik?
7. Apa saja prinsip dasar etika politik Pancasila?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penyusunan makalah

adalah sebagai berikut:


1. Mengetahui pengertian dari nilai, norma dan moral
2. Mengetahui hubungan antara nilai, norma dan moral
3. Mengetahui pengertian dari etika
4. Mengetahui pengertian dari politik
5. Memahami dimensi politisi manusia
6. Memahami Pancasila sebagai etika politik
7. Mengetahui lima prinsip dasar etika politik Pancasila
1.4 Manfaat Penulisan
1. Bagi penulis
a. Menambah pengetahuan mengenai Pancasila sebagai etika politik baik

mengenai pengertian etika politik, nilai-nilai yang terkandung dalam

Pancasila, maupun keterkaitan antara etika politik dan Pancasila


b. Sebagai bahan pembelajaran untuk menanamkan nila-nilai Pancasila

dalam kehidupan sehari-hari


2. Bagi pembaca
a. Mengetahui lebih dalam mengenai Pancasila sebagai etika politik
b. Menambah wawasan mengenai kasus-kasus yang terjadi di Indonesia

yang berkaitan dengan Pancasila sebagai etika politik


1.5 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode studi literatur dan

kepustakaan digital, yaitu penulis mengkaji dan menyusun materi dari buku-

buku dan internet berupa literatur-literatur yang sesuai dan mendukung

pembahasan makalah.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertia Nilai, Norma dan Moral


2.1.1 Nilai
Nilai atau dalam bahasa Inggris disebut value termasuk dalam

bidang kajian filsafat. Di dalam Dictionary of Sociology and Related

Sciences dikemukakan bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai

yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu

benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok.

Sesuatu yang memiliki nilai artinya ada sifat atau kualitas yang

melekat pada suatu objek. Misalnya, bunga itu indah. Indah adalah

sifat atau kualitas yang melekat pada bunga. Dengan demikian maka

nilai itu sebenarnya adalah suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik

kenyataan lain.
Menilai berarti menimbang , sesuatu kegiatan manusia untuk

menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, kemudian untuk

selanjutnya diambil keputusan. Keputusan itu merupakan keputusan


nilai yang dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau

tidak benar, baik atau tidak baik, indah atau tidak indah. Keputusan

nilai yang dilakukan oleh subjek penilai untuk berhubungan dengan

unsur yang ada pada manusia sebagai subjek penilai yaitu unsur

jasmani, akal, rasa, karsa, dan kepercayaan. Sesuatu itu dikatakan

bernilai apabila sesuatu itu berharga, berguna, benar, indah, baik, dan

lain sebagainya (Kaelan, 2014).


Di dalam tatanan kehidupan bernegara, nilai terdiri atas nilai dasar,

nilai instrumental dan nilai praktis.


1. Nilai dasar adalah asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang

kurang lebih mutlak. Nilai dasar berasal dari nilai kultural atau

budaya yang berasal dari bangsa indonesia itu sendiri yaitu yang

berakar dari kebudayaan sesuai dengan UUD 1945 yang

mencerminkan hakikat nilai kultural.


2. Nilai instrumental adalah pelaksanaan umum nilai-nilai dasar

biasanya dalam wujud norma sosial atau norma hukum yang

selanjutkan akan terkristalisasi dalam lembaga-lembaga yang

sesuai dengan kebutuhan tempat dan waktu. Nilai instrumental

merupakan tafsir positif terhadap nilai dasar yang umum.


3. Nilai praktis adalah nilai yang sesungguhnya kita laksanakan

dalam kenyataan. Nilai inilah yang sesungguhnya merupakan

bahan ujian apakah dasar dasar dan nilai intrumental sungguh-

sungguh hidup dalam masyarakat atau tidak.

Selain nilai-nilai tersebut terdapat sumber nilai dalam kehidupan

berbangsa yaitu sila-sila dalam Pancasila khususnya sila ketuhanan


yang maha esa. Sila ini merupakan norma dasar yang mengatur

hubungan antara manusia sebagai individu dan anggota kelompok dan

sesamanya, Negara, pemerintah serta bangsa lain di dunia. Nilai-nilai

yang terkandung dalam kehidupan berbangsa adalah :

1. Nilai ideal;
2. Nilai material;
3. Nilai spiritual;
4. Nilai pragmatis;
5. Nilai positif.
6. Nilai logis;
7. Nilai etis;
8. Nilai estetis;
9. Nilai sosial;
10. Nilai religius atau keagamaan.

Nilai lain yang terdapat dalam Pancasila dan UUD 1945 adalah

nilai perjuangan bangsa indonesia dalam merebut kemerdekaan RI.

Nilai dalam pengembangan Pancasila antara lain:

1. Ketuhanan yang maha esa:


a. Percaya dan takwa kepada tuhan yang maha esa;
b. Masing masing atas dasar kemanusiaan yang beradab;
c. Membina adanya kerjasama dan toleransi antara sesama

pemeluk agama dan penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang

Maha Esa.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab:
a. Tidak saling membedakan warna kulit.
b. Saling menghormati dengan bangsa lain.
c. Saling bekerja sama dengan bangsa lain.
d. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
3. Persatuan Indonesia:
a. Menempatkan persatuan kepentingan bangsa dan negara diatas

kepentingan pribadi atau golongan.


b. Menetapkan keselamatan bangsa dan negara diatas kepentingan

pribadi atau golongan.


c. Bangga berkebangsaan Indonesia.
d. Memajukan pergaulan untuk persatuan bangsa.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan:
a. Mengakui bahwa manusia Indonesia memiliki kedudukan dan

hak yang sama.


b. Melaksanakan keputusan bersama dengan penuh tanggung

jawab dan itikad baik.


c. Mengambil keputusan yang harus sesuai dengan nilai

kebenaran dan keadilan.


5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia:
a. Adanya hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan

keadilan sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa atau

dalam kehidupan sehari-hari, dan kehidupan bernegara.


b. Menjunjung tinggi sifat dan suasana gotong royong dengan

rasa kekeluargaan dan penuh kegotongroyongan.


2.1.2 Norma
Norma atau kaidah adalah aturan pedoman bagi manusia dalam

berperilaku sebagai perwujudan dari nilai. Nilai yang abstrak dan

normatif diwujudkan dalam bentuk norma. Sebuah nilai mustahil

menjadi acuan berperilaku kalau tidak diwujudkan dalam sebuah

norma. Dengan demikian, pada dasarnya norma adalah perwujudan

nilai. Tanpa adanya norma, nilai tidak dapat praktis artinya tidak dapat

berfungsi konkret dalam kehidupan sehari-hari (Winarno, 2001: 7).


Setiap norma pasti mengandung nilai. Nilai sekaligus menjadi

sumber bagi norma. Tidak ada nilai maka tidak mungkin terwujud

norma. Sebaliknya, tanpa dibuatnya norma, maka mustahil nilai itu

dapat berfungsi atau terwujud. Sebagai contoh ada norma yang

berbunyi dilarang membuang sampah sembarangan atau buanglah


sampah pada tempatnya. Norma tersebut berusaha mewujudkan nilai

kebersihan.

Norma yang kita kenal dalam kehidupan sehari-hari ada empat

yaitu :

1. Norma agama
Norma ini disebut juga dengan norma religi atau norma

kepercayaan. Norma ini ditujukan kepada kehidupan beriman yaitu

kewajiban manusia untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan

yang maha Esa.sumber norma ini adalah ajaran-ajaran kepercayaan

atau agama yang oleh pengikut-pengikutnya dianggap sebagai

perintah Tuhan. Tuhanlah yang mengancam manusia jika

melanggar perintah yang ada pada norma ini yaitu berupa dosa.
2. Norma moral

Norma moral ini disebut juga norma etik atau norma

kesusilaan atau budi pekerti.norma ini merupakan nilai yang paling

mendasar karena norma ini sangat berhubungan dengan manusia

sebagai individukarena menyangkut kehidupan pribadi bagaimana

kita menilai seseorang. Asal dari norma ini adalah manusia sendiri

yang bersifat otonom dan tidak ditujukan kepada sikap lahir tetapi

ditujukan kepada sikap batin manusia. Sanksi atau pelanggaran

norma moral berasal dari diri sendiri.

3. Norma kesopanan

Norma kesopanan disebut juga norma adat, sopan santun

atau tatakrama. Norma sopan santun didasarkan atas kebiasaan


kepatuhan atau kepantasan dalam masyarakat. Daerah berlakunya

norma kesopanan ini sempit, local atau bersifat pribadi. Sopan

santun disuatu daerah berbeda dengan didaerah lain. Sanksi atas

pelanggaran norma kesopanan berasal dari masyarakat.

4. Norma hukum

Norma ini berasal dari luar diri manusia. Norma hukum

berasal dari kekuasaan luar manusia yang memaksakan kepada

kita. Masyarakat secara resmi diberi kuasa untuk member sanksi

atau menjatuhkan hukuman. Dalam hal ini pengadilanlah sebagai

lembaga yang mewakili masyarakat resmi untuk menjatuhkan

hukuman.

2.1.3 Moral
Moral adalah ajaran baik dan buruk tentang perbuatan atau

kelakuan (akhlak). Jadi, moral adalah tingkah laku manusia yang

dilakukan dengan sadar dipandang dari sudut baik dan buruknya dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Moral

dihubungkan dengan etika dan etiket yang membicarakan tata susila

dan tata sopan santun.


Moral meliputi hidup manusia itu sendiri sebagai makhluk individu

(diri sendiri) dan sebagai makhluk sosial (dalam kehidupan bersama

dalam keluarga, masyarakat, bangsa dan negara serta dunia.


Pancasila sebagi moral perorangan, moral bangsa dan moral negara

mempunyai pengertian:
1. Dasar negara Republik Indonesia, yang merupakan sumber dari

segala sumber hukum yang ada dan berlaku.


2. Pandangan hidup bangsa Indonesia yang dapat mempersatukan

serta memberi petunjuk dalam mencapai kesejahteraan dan

kebahagiaan lahir dan batin dalam masyarakat yang beraneka

ragam sifatnya.
3. Jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia karena Pancasila

merupakan ciri khas bangsa Indonesia yang tidak dapat dipisahkan

dari bangsa Indonesia serta yang membedakan bangsa Indonesia

dengan bangsa lain.


2.2 Hubungan Nilai, Norma dan Moral
Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa nilai adalah kualitas dari sesuatu

yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Dalam

kehidupan manusia nilai dijadikan dasar, landasan atau motivasi yang dalam

bersikap atau bertingkah laku baik disadari maupun tidak.


Nilai bersifat abstrak yang hanya dapat dipahami, dipikirkan, dihayayati

dan dimengerti oleh manusia.nilai berkaitan juga dengan harapan,cita-cita,

keinginan dan segala sesuatu pertimbangan internal manusia.nilai dengan

demikian tidak bersifat konkret yaitu tidak dapat ditangkap dengan indra

manusia dan nilai dapat bersifat subjektif maupun objektif.


Agar nilai tersebut menjadi lebih berguna dalam menuntun sikap dan

tingkah laku manusia, maka perlu lebih dikongkritkan lagi serta

diformulasikan menjadi lebih objektif sehinggga memudahkan manusia untuk

menjabarkannya dalam tingkah laku secara kongkrit. Maka wujud yang lebih

kongkrit dari nilai tersebut adalah merupakan suatu norma. Terdapat berbagai

macam norma, dan dari berbagai norma tersebut norma hukumlah yang paling

kuat keberlakuannya, karena dapat dipaksakan oleh suatu kekuasaan eksternal

misalnya penguasa atau penegak hukum.


Selanjutnya nilai dan norma berkaitan dengan moral. Istilah moral

mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat keperibadian

seseorang ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya. Makna moral yang

terkandung dalam kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan

prilakunya. Dalam pengertian inilah maka kita memasuki wilayah norma

sebagai penuntun sikap dan prilaku manusia.


Hubungan antara moral dengan etika memang sangat erat sekali dan

kadang kali kedua hal tersebut disamakan begitu saja. Namun sebenarnya

kedua hal tersebut memiliki perbedaan. Moral yaitu merupakan suatu ajaran

ataupun wejangan-wejangan, patokan-patokan, kumpulan peraturan baik lisan

maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar

menjadi manusia yang baik. Adapun di pihak lain etika adalah suatu cabang

filsafat yaitu suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan

pandangan-pandangan moral tersebut (Krammer, 1988 dalam Darmodiharjo,

1996). Atau juga sebagaimana dikemukakan oleh De Vos tahun 1987, bahwa

etika dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang kesusilaan. Adapun

yang dimaksud dengan kesusilaan adalah identik dengan pengertian moral,

sehingga etika pada hakikatnya adalah sebagai ilmu pengetahuan yang

membahas tentang prinsip-prinsip moralitas.


Setiap orang memiliki moralitasnya sendiri-sendiri. Tetapi tidak demikian

halnya dengan etika. Tidak semua orang perlu melakukan pemikiran yang

kritis terhadap etika. Terdapat suatu kemungkinan bahwa seseorang mengikuti

begitu saja pola-pola moralitas yang ada dalam suatu masyarakat tanpa perlu

mereflesikannya secara kritis.


Etika tidak berwenang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak

boleh dilakukan oleh seseorang. Wewenang ini dipandang berada dipihak-

pihak yang memberikan ajaran moral. Hal inilah yang menjadi kekurangan

dari etika jika dibandingkan dengan ajaran moral. Sekalipun demikian, dalam

etika seseorang dapat mengerti mengapa, dan atas dasar apa manusia harus

hidup menurut norma-norma tertentu. Hal yang tartil inilah yang merupakan

kelebihan etika jikalau dibandingkan dengan moral.


Hal ini dapat dianalogikan bahwa ajaran moral sebagai buku petunjuk

tentang bagaimana kita memperlakukan sebuah mobil dengan baik, sedangkan

etika memberikan pengertian pada kita tentang struktur dan teknologi mobil

itu sendiri. Demikianlah hubungan yang sistematis antara nilai, norma dan

moral yang pada gilirannya ketiga aspek tersebut terwujud dalam suatu

tingkah laku praktis dalam kehidupan manusia (Kaelan, 2014).


2.3 Pengertian Etika
Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-

ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang

membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral

tertentu atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab

berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno, 1987).


Di era sekarang ini, tampaknya kebutuhan akan norma etika dalam

kehidupan masih perlu bahkan amat penting untuk ditetapkan. Hal ini

terwujud dari keluarnya ketetapan MPR No.VI/MPR/2001 tentang etika

kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Dalam ketetapan MPR

tersebut dinyatakan bahwa etika kehidupan berbangsa, bernegara dan

bermasyarakat merupakan penjabaran nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman


dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku yang merupakan cerminan nilai-

nilai keagamaan dan kebudayaan yang sudah mengakar dalam kehidupan

bermasyarakat. Etika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ini

bertujuan untuk:
1. Memberikan landasan etik moral bagi seluruh komponen bangsa dalam

menjalankan kehidupan kebangsaan dalam berbagai aspek;


2. Menentukan pokok-pokok kehidupan bermasyarakat berbangsa dan

bernegara;
3. Menjadi kerangka acuan dalam mengevaluasi pelaksanaan nilai-nilai etika

dan moral dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Etika kehidupan berbangsa meliputi sebagai berikut.

1. Etika Sosial dan Budaya


Etika ini bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam dengan

menampilkan kembali sikap jujur, saling peduli, saling memahami, saling

menghargai, saling mencintai dan tolong menolong diantara sesama

manusia dan anak bangsa. Selain itu juga menghidupkan kembali budaya

malu yakni malu berbuat kesalahan dan semua yang bertentangan dengan

moral agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Untuk itu juga perlu

dihidupkan kembali budaya keteladanan yang harus dimulai dari dan

diperhatikan contohnya oleh para pemimpin pada setiap tingkat dan

lapisan masyarakat.
Etika ini dimaksudkan untuk menumbuhkan dan mengembangkan

kembali kehidupan berbangsa dan berbudaya tinggi dengan menggugah,

menghargai dan mengembangkan budaya local dan nasional serta

mengembangkan budaya yang dimaksud untuk mampu melakukan

adaptasi dan tindakan proaksisejalan dengan tuntutan globalisasi. Untuk


itu dibutuhka ketahanan budaya, kemampuan adaptasi dan kreatifitas

budaya dari masyarakat. Segala bentuk kemajemukan harus dipaduka

sebagai satu kesatuan yang utuh, harmonis, damai, sejahtera dan maju.
2. Etika Pemerintahan dan Politik
Etika ini dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih,

efektif dan efisien serta menumbuhkan suasan politik yang demokratis

yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggungjawab, tanggap akan

aspirasi rakyat, menghargai perbadaan, jujur dalam persaingan, kesediaan

untuk menerima pendapat yang lebih benar serta menjunjung tinggi hak

asasi manusia. Etika pemerintahan mengamanatkan pejabat memiliki rasa

kepedulian yang tinggidalam memberikan pelayanan kepada public, siap

mundur apabila dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun

dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa dan negara.


3. Etika Ekonomi dan Bisnis
Etika ini dimaksudkan agar prinsip dan pilaku ekonomi, baik oleh

pribadi, institusi maupun maupun pengambil keputusan dalam bidang

ekonomi, dapat melahirkan kondisi dan realitas ekonomi yang bercirikan:

persaingan yang jujur, berkeadilan, mendorong berkembangnya etos kerja

ekonomi, daya tahan ekonomi dan kemampuan saing dan terciptanya

suasana kondusif untuk pemberdayaan ekonomi rakyat melalui usaha-

usaha bersama secara berkesinambungan, menghindarkan terjadinya

praktik-paraktik monopoli oligopoli, kebijakan ekonomi yang bernuansa

KKN maupun rasial yang berdampak negatif terhadap efisiensi,

persaingan sehat dan keadilan serta menghindarkan prilaku menghalalkan

segala cara untuk mendapatkan keuntungan.


4. Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan
Etika ini dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa

sosial, ketenangan dan keteraturan hidup bersama hanya dapat

diwujudkan dengan ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan yang

ada. Keseluruhan aturan hukum yang menjamin tegaknya supremasi

hukum sejalan dengan dan menuju pada pemenuhan rasa keadilan yang

hidup danm berkembang didalam masyarakat.


Etika ini meniscayakan penegakan hukum secara adil, perlakuan

yang sama dan tidak diskriminatif terhadap setiap warga negara dihadapan

hukum, dan menghindarkan penggunaan hukum secara salah sebagai alat

kekuasaan.
5. Etika Keilmuan dan Disiplin Kehidupan
Etika keilmuan diwujudkan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai

ilmu pengetahuan dan teknologi akar mampu berfikir rasional, kritis, logis

dan objektif. Etika ini ditampiulkan secara pribadi maupun kolektif dalam

prilaku gemar membaca, belajar, meneliti, menulis, membahas dan kreatif

dalam menciptakan karya-karya baru, serta secara bersama-sama

menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi. Etika disiplin kehidupan menegaskan pentingnya budaya kerja

keras dengan menghargai dan memanfaatkan waktu, disiplin dalam

berfikir dan berbuat, serta menepati janji dan komitmen diri untuk

menapai hasil yang terbaik. Disamping itu, etika ini mendorong

tumbuhnya kemampuan menghadapi hambatan, rintangan, dan tantangan

dalam kehidupan. Mampu mengubah tantangan menjadi peluang, mampu

menumbuhkan kreatifitas untuk menciptakan kesempatan baru dan tahan

uji serta pantang menyerah.


2.4 Pengertian Politik
Pengertian Politik berasal dari kata Politics, yang memiliki makna

bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara, yang

menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan dari sistem itu dan diikuti dengan

pelaksanaan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan atau decision

making mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu

menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas

dari tujuan-tujuan yang telah dipilih itu (Kaelan, 2014).


Untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-

kebijaksanaan umum, yang menyangkut pengaturan dan pembagian dari

sumber-sumber yang ada. Untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan

itu, diperlukan suatu kekuasaan dan kewenangan yang akan dipakai baik untuk

membina kerja sama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin

timbul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakai dapat bersifat persuasi, dan

jika perlu dilakukan suatu pemaksaan. Tanpa adanya suatu pemaksaan

kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan keinginan belaka yang tidak

akan pernah terwujud.


Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat, dan

bukan tujuan pribadi seseorang. Selain itu politik menyangkut kegiatan

berbagai kelompok pengasuh partai politik, lembaga masyarakat maupun

perseorangan.
Berdasarkan pengertian-pengertian pokok tentang politik maka secara

oprasional bidang politik menyangkut konsep-konsep pokok yang berkaitan

dengan negara (stale), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision-


making), kebijaksanaan (policy), pembagian (distribution), serta alokasi

(allocation) (Budiardjo, 1981).


Jikalau dipahami berdasarkan pengertian politik secara sempit

sebagaimana diuraikan diatas, maka seolah-olah bidang politik lebih banyak

berkaitan dengan para pelaksana pemerintahan negara, lembaga-lembaga

tinggi negara, kalangan aktifis politik serta para pejabat serta birokrat dalam

pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Bila mana lingkup pengertian

politik dipahami seperti itu maka terdapat suatu kemungkinan akan terjadi

ketimpangan dalam aktualisasi berpolitik, karena tidak melibatkan aspek

rakyat baik sebagai individu maupun sebagai suatu lembaga yang terdapat

dalam masyarakat. Oleh karena itu, dalam hubungan dengan etika politik,

pengertian politik tersebut harus dipahami dalam pengertian yang lebih luas

yaitu menyangkut seluruh unsur yang membentuk suatu persekutuan hidup

yang disebut masyarakat negara (Kaelan, 2014).


2.5 Dimensi Politisi Manusia
2.5.1 Manusia sebagai Makhluk Individu Sosial
Paham individualisme yang merupakan cikal bakal paham

liberalisme, memandan manusia sebagai makhluk individu yang bebas.

Segala hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama senantiasa diukur

berdasarkan kepentingan dan tujuan berdasarkan paradigma sifat

kodrat manusia sebagai individu. Kalangan kolektivisme merupakan

cikal bakal sosialisme dan komunisme memandang sifat kodrat

manusia sebagai makhluk sosial saja. Manusia di pandang sebagai

sekedar sarana bagi masyarakat. Segala hak dan kewajiban baik moral
maupun hukum, dalam hubungan masyarakat, bangsa dan negara

senantiasa diukur berdasarkan filosofi manusia sebagai makhluk sosial.


Manusia sebagai makhluk yang berbudaya, kebebasan sebagai

individu dan segala aktivitas dan kreativitas dalam hidupnya senantiasa

tergantung pada orang lain, hal ini di karenakan manusia sebagai

warga masyrakat atau sebagai makhluk sosial. Manusia di dalam

hidupnya mampu bereksistensi karena orang lain dan ia hanya dapat

hidup dan berkembang karena dalam hubungannya dengan orang lain.

Segala keterampilan yang dibutuhkannya agar berhasil dalam segala

kehidupannya serta berpartisipasi dalam kebudayaan diperolehnya dari

masyarakat.
Dasar filosofis sebagai mana terkandung dalam Pancasila yang

nilainya terdapat dalam budaya bangsa, senantiasa mendasarkan

hakikat sifat kodrat manusia adalah bersifat monodualis. Maka sifat

serta ciri khas kebangsaan dan kenegaraan Indonesia, bukanlah

totalitas individualistis ataupun sosialistis melainkan monodualistis.


2.5.2 Dimensi Politis Kehidupan Manusia
Berdasarkan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan

sosial, dimensi politis mencakup lingkaran kelembagan hukum dan

negara, sistem sitem nilai serta ideologi yang memberikan

legitmimasi kepadanya. Dalam hubungan dengan sifat kodrat manusia

sebagai makhluk individu dan sosial, dimensi politis manusia senntiasa

berkaitan dengan kehidupan negara dan hukum, sehingga senantiasa

berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Sebuah

keputusan bersifat politis manakala diambil dengan memperhatikan


kepentingan masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Dengan demikian

dimensi politis manusia dapat ditentukan sebagai suatu kesadaran

manusia akan dirinya sendiri sebagai anggota masyarakat sebagai sutu

keseluruhan yang menentukan kerangka kehidupannya dan di tentukan

kembali oleh kerangka kehidupannya serta ditentukan kembali oleh

tindakan tindakannya.
Dimensi politis manusia ini memiliki dua segi fundamental, yaitu

pengertian dan kehendak untuk bertindak. Sehingga dua segi

fundamental itu dapat diamati dalam setiap aspek kehidupan manusia.

Dua aspek ini yang senantiasa berhadapan dengan tindakkan moral

manusia.
2.6 Pancasila Sebagai Etika Politik
Setiap orang pasti mempunyai moral, tetapi belum tentu setiap orang

berpikiran kritis tentang moralnya. Pemikiran yang kritis tentang moral inilah

yang disebut etika (Darmodihardjo, 1996).


Manusia yang baik tidak cukup hanya bermoral, tetapi juga harus beretika.

Dengan berpikir kritis terhadap moral yang diyakininya, ia tidak akan gamang

apabila sewaktu-waktu seseorang yang dijadikan panutan moralnya telah tiada

atau kehilangan pamornya.


Nilai, norma, dan moral yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar

dan falsafah bangsa Indonesia harus dikaji secara kritis, sehingga kita

menerima Pancasila bukan sesuatu yang diwariskan dari pada orangtua atau

pendahulu kita. Dengan mengkaji secara objektif dan ilmiah, kita tidak mudah

goyah oleh masuknya ideologi lain yang sesuai dengan kepribadian bangsa

Indonesia.
Jadi, Pancasila sebagai etika mengajak kita untuk berfikir kritis, otokritik,

kaji banding sehingga Pancasila yang kita terima sebagai dasar negara dan

dasar kehidupan berbangsa benar-benar hasil pilihan bangsa dan negara

Indonesia, bukan sesuatu yang dipaksakan.


Dalam suatu suatu reformasi sekarang ini Pancasila juga merupakan etika

politik. Artinya, kehidupan berpolitik (berpemerintahan, bernegara, dan

sebagainya) harus dilandasi nilai-nilai Pancasila sehingga arah perjuangan

reformasi benar-benar sesuai dengan cita-cita nasional Indonesia. Kehidupan

berpolitik diarahkan tidak untuk kepentingan pribadi, golongan ataupun partai

politik tertentu tetapi untuk kelangsungan bangsa dan Negara Indonesia.


2.7 Prinsip Dasar Etika Politik Pancasila
Kalau membicarakan Pancasila sebagai etika politik maka ia mempunyai

lima prinsip berikut ini yang disusun menurut pengelompokan Pancasila,

bukan sekedar sebuah penyesuaian dengan situasi di Indonesia, melainkan

karena Pancasila memiliki logika internal yang sesuai dengan tuntutan-

tuntutan dasar etika politik modern (yang belum ada dalam Pancasila adalah

perhatian pada lingkungan hidup).


1. Pluralisme
Pluralisme adalah kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya, untuk

hidup dengan positif, damai, toleran, dan biasa/normal bersama warga

masyarakat yang berbeda pandangan hidup, agama, budaya, adat.

Pluralisme mengimplikasikan pengakuan terhadap kebebasan beragama,

kebebasan berpikir, kebebasan mencari informasi, toleransi. Pluralisme

memerlukan kematangan kepribadian seseorang dan sekelompok orang

(Anonim, 2010).
2. Hak Asasi Manusia
Jaminan hak-hak asasi manusia adalah bukti kemanusiaan yang adil

dan beradab. Karena hak-hak asasi manusia menyatakan bagaimana

manusia wajib diperlakukan dan wajib tidak diperlakukan. Jadi bagaimana

manusia harus diperlakukan agar sesuai dengan martabatnya sebagai

manusia. Karena itu, hak-hak asasi manusia adalah baik mutlak maupun

kontekstual dalam pengertian sebagai berikut.


a. Mutlak karena manusia memilikinya bukan karena pemberian negara,

masyarakat, melainkan karena ia manusia pemberian Sang Pencipta.


b. Kontekstual karena baru mempunyai fungsi dan karena itu mulai

disadari, di ambang modernitas di mana manusia tidak lagi dilindungi

oleh adat/tradisi, dan sebaliknya diancam oleh negara modern.


Bila mengkaji hak asasi manusia secara umum, maka dapat dibedakan

dalam bentuk tiga generasi hak-hak asasi manusia:


1) Generasi pertama (abad ke 17 dan 18): hak-hak liberal, demokratis dan

perlakuan wajar di depan hukum.


2) Generasi kedua (abad ke 19/20): hak-hak sosial.
3) Generasi ketiga (bagian kedua abad ke 20): hak-hak kolektif (misalnya

minoritas-minoritas etnik).
3. Solidaritas Bangsa
Solidaritas bermakna manusia tidak hanya hidup demi diri sendiri,

melainkan juga demi orang lain, bahwa kita bersatu senasib

sepenanggungan. Manusia hanya hidup menurut harkatnya apabila tidak

hanya bagi dirinya sendiri, melainkan menyumbang sesuatu pada hidup

manusia-manusia lain. Sosialitas manusia berkembang secara melingkar:

keluarga, kampung, kelompok etnis, kelompok agama, kebangsaan,

solidaritas sebagai manusia. Maka di sini termasuk rasa kebangsaan.

Manusia menjadi seimbang apabila semua lingkaran kesosialan itu


dihayati dalam kaitan dan keterbatasan masing-masing. Solidaritas itu

dilanggar dengan kasar oleh korupsi.


4. Demokrasi
Prinsip kedaulatan rakyat menyatakan bahwa tak ada manusia,

atau sebuah elit, atau sekelompok ideologi, atau sekelompok

pendeta/pastur/ulama berhak untuk menentukan dan memaksakan

(menuntut dengan memakai ancaman) bagaimana orang lain harus atau

boleh hidup. Demokrasi berdasarkan kesadaran bahwa mereka yang

dipimpin berhak menentukan siapa yang memimpin mereka dan kemana

mereka mau dipimpin. Demokrasi adalah kedaulatan rakyat plus prinsip

keterwakilan. Jadi demokrasi memerlukan sebuah sistem penerjemah

kehendak masyarakat ke dalam tindakan politik (Khairunnisa, 2011).

Demokrasi hanya dapat berjalan baik karena didasari oleh dua dasar

berikut.

a. Pengakuan dan jaminan terhadap HAM, perlindungan terhadap HAM

menjadi prinsip mayoritas tidak menjadi kediktatoran mayoritas.


b. Kekuasaan dijalankan atas dasar,dan dalam ketaatan terhadap hukum

(Negara hukum demokratis). Maka kepastian hukum merupakan unsur

hakiki dalam demokrasi (karena mencegah pemerintah yang

sewenang-wenang).
5. Keadilan Sosial
Keadilan merupakan norma moral paling dasar dalam kehidupan

masyarakat. Maksud baik apa pun kandas apabila melanggar keadilan.

Moralitas masyarakat mulai dengan penolakan terhadap ketidakadilan.

Keadilan sosial mencegah bahwa masyarakat pecah ke dalam dua bagian;


bagian atas yang maju terus dan bagian bawah yang paling-paling bisa

bertahan di hari berikut.


Tuntutan keadilan sosial tidak boleh dipahami secara ideologis,

sebagai pelaksanaan ide-ide, ideologi-ideologi, agama-agama tertentu;

keadilan sosial tidak sama dengan sosialisme. Keadilan sosial adalah

keadilan yang terlaksana. Dalam kenyataan, keadilan sosial diusahakan

dengan membongkar ketidakadilan-ketidakadilan yang ada dalam

masyarakat. Di mana perlu diperhatikan bahwa ketidakadilan-

ketidakadilan itu bersifat struktural, bukan pertama-pertama individual.


Artinya, ketidakadilan tidak pertama-tama terletak dalam sikap

kurang adil orang-orang tertentu (misalnya para pemimpin), melainkan

dalam struktur-struktur politik/ekonomi/sosial/budaya/ideologis. Struktur-

struktur itu hanya dapat dibongkar dengan tekanan dari bawah dan tidak

hanya dengan kehendak baik dari atas. Ketidakadilan struktural paling

gawat sekarang adalah sebagian besar segala kemiskinan. Ketidakadilan

struktur lain adalah diskriminasi di semua bidang terhadap perempuan,

semua diskriminasi atas dasar ras, suku dan budaya.


Berdasarkan uaraian di atas, tantangan etika politik paling serius di

Indonesia sekarang adalah:


1. Kemiskinan, ketidakpedulian dan kekerasan sosial.
2. Ekstremisme ideologis yang anti pluralisms, pertama-tama

ekstremisme agama dimana mereka yang merasa tahu kehendak Tuhan

merasa berhak juga memaksakan pendapat mereka pada masyarakat.


3. Korupsi
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan
Etika politik merupakan filsafat teoritis yang membahas tentang

makna hakiki segala sesuatu antara lain: manusia, alam, benda fisik,

pengetahuan bahkan tentang hakikat yang transenden.

Sedangkan Pancasila sebagai etika politik, bahwa Pancasila adalah

pedoman hidup bersama bangsa Indonesia yang mengatur bagaimana

harus bersikap dan bertindak antar satu dengan lain yang disertai hak dan

kewajibannya. Dengan kata lain Pancasila adalah moral identitas bangsa,

baik sebagai warga dunia, sebagai warga negara, maupun sebagai anggota

masyarakat.
Adapun hubungan Pancasila dengan etika politik adalah Pancasila

merupakan dasar atau ideologi negara dan kemudian menjadi way of live

masyarakat Indonesia, sedang etika politik adalah tata tertib, aturan,

sopan santun politik. Dengan demikian agar etika politik dapat diterima

oleh masyarakat Indonesia haruslah sesuai dengan sila- sila yang

tercantum pada Pancasila atau sesuai dengan way of live masyarakat

Indonesia.
Dapat disimpulkan bahwa pemerintahan pada dasarnya merupakan

upaya menjalankan kekuasaan untuk mencapai tujuan tertentu. Namun

demikian, dalam menjalankan pemerintahan itu, penguasa (termasuk

aparatur pemerintahan daerah) harus bersikap adil, jujur, dan menjunjung

tinggi hukum. Karena itu dalam etika pemerintahan, memerintah berarti

menerapkan kekuasaan secara adil, seperti bagaimana cara menyelesaikan

kasus-kasus yang terjadi di negeri ini, bukan malah melindungi dan saling

tutup menutupi, hingga membuat mereka (pelaku kejahatan) tak jera

sedikitpun jika mengulang bahkan mewarisi tindakan perusak moral dan

etika bangsa.
Implikasinya dalam menerapkan kekuasaan tidak berdasarkan

kekuasaan fisik tetapi berdasar asas kesamaan/kesetaraan, kebebasan,

kepedulian/solidaritas, dan menjunjung tinggi hukum.


3.2 Saran
Pancasila hendaknya disosialisasikan secara mendalam sehingga

dalam kehidupan bermasyarakat dalam berbagai segi terwujud dengan

adanya kesianambungan usaha pemerintah untuk mewujudkan masyarakat

adil dan makmur dengan kepastian masyarakat untuk mengikuti dan


mentaati peraturan yang ditetapkan, karena kekuatan politik suatu negara

ditentukan oleh kondisi pemerintah yang absolut dengan adanya dukungan

rakyat sebagai bagian terpenting dari terbentuknya suatu negara.

Anda mungkin juga menyukai