Anda di halaman 1dari 25

CASE REPORT

SEORANG LAKI-LAKI USIA 47 TAHUN DENGAN


NEGLETED CLOSED FRACTURE FEMUR 1/3 PROXIMAL
SINISTRA

OLEH :

Faisal Afghaniy, S. Ked J510170027

PEMBIMBING :

dr. Farhat, M. Kes., Sp. OT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

RSUD Dr. HARJONO PONOROGO

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2017
CASE REPORT

SEORANG LAKI-LAKI USIA 47 TAHUN DENGAN


NEGLETED CLOSED FRACTURE FEMUR 1/3 PROXIMAL
SINISTRA

OLEH :

Faisal Afghaniy, S. Ked J510170027

PEMBIMBING :

dr. Farhat, M. Kes., Sp. OT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

RSUD Dr. HARJONO PONOROGO

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2017
CASE REPORT

SEORANG LAKI-LAKI USIA 47 TAHUN DENGAN


NEGLETED CLOSE FRACTURE 1/3 PROXIMAL SINISTRA
Yang Diajukan Oleh :

Faisal Afghaniy, S. Ked J510170027

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Fakultas


Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pada hari 2017

Pembimbing :

Dr. Farhat, M. Kes., Sp. OT ( )

Dipresentasikan dihadapan :

Dr. Farhat, M. Kes., Sp. OT ( )

Disahkan Ka. Program Profesi :

Dr. Dona Dewi Nirlawati ( )

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

RSUD Dr. HARJONO PONOROGO

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2017
CASE REPORT

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. J
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 47 Tahun
Alamat : Jambon, Ponorogo
Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh
Tanggal masuk RS : 22 Mei 2017
Tanggal Pemeriksaan : 24 Mei 2017

II. ANAMNESA
A. Keluhan Utama
Nyeri pada paha kiri dan kedua kaki tidak sama panjang ketika
berjalan.

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Poliklinik Orthopedi RSUD Dr. Harjono Ponorogo
dengan keluhan nyeri pada paha kiri dan kedua kaki tidak sama panjang
ketika berjalan. Keluhan ini dirasakan pasien sejak 40 hari yang lalu.
Sebelumnya diketahui bahwa pasien terjatuh dari pohon setinggi 3
meter ketika sedang memotong ranting pohon di tempat kerjanya. Namun
ketika pasien mencoba memanjat ke dahan pohon yang lebih tinggi lagi,
pasien terpeleset dan terjatuh ke tanah dengan posisi kaki kiri sebagai
bagian paling bawah tubuh yang membentur tanah pertama kali. Pasien
mengaku dalam kondisi pingsan setelah kejadian tersebut. Pasien
kembali sadar ketika ia beserta rekan-rekan kerjanya tengah berada di
praktik sangkal putung. Dalam kondisi pingsan, rekan kerja pasien
berinisiatif untuk membawa pasien ke praktik sangkal putung dengan
harapan dapat memperbaiki kondisi paha kiri pasien. Di praktik sangkal
putung itu pula, pasien diberi obat anti nyeri berupa Asam Mefenamat
untuk mengatasi nyeri yang dikeluhkan pasien. Oleh praktik sangkal
putung tersebut, pasien juga tidak diperbolehkan untuk berjalan 20
hari.
Ketika sudah hari ke-20, pasien memberanikan diri untuk mencoba
berjalan kembali. Namun pasien kembali merasakan nyeri pada paha
kirinya ketika dicoba untuk digerakkan ataupun menapak. Pasien juga
merasa kaki kanan maupun kirinya tidak sama panjang ketika menapak
permukaan tanah, tidak seperti sebelum kejadian tersebut. Merasa ada
sesuatu yang tidak normal pada paha kirinya, pasien berinisiatif untuk
memeriksakan diri ke Klinik. Di klinik tersebut, pasien melakukan photo
rontgen untuk mengetahui kondisi paha kirinya dan diketahui bahwa
hasilnya terdapat patahan tulang pada paha kirinya. Berdasarkan hasil
tersebut, pasien disarankan untuk mendatangi RSUD Dr. Harjono
Ponorogo oleh petugas klinik untuk mendapatkan penanganan lebih
lanjut. Kemudian pasien mendatangi Poli Orthopedi RSUD Dr. Harjono
Ponorogo untuk kembali memeriksakan kondisi paha kirinya. Pada saat
terjatuh, pasien dalam kondisi pingsan, tidak muntah, tidak ada darah
keluar dari hidung atau telinga, serta tidak ada luka terbuka pada daerah
kaki yang dirasa nyeri, pusing (-), sakit kepala (-), demam (-), mual (-),
muntah (-), sesak napas (-), nyeri dada (-), nyeri perut (-), BAK dan BAB
normal. Pasien menyangkal adanya nyeri ditempat lain dan tidak
mengakui adanya penjalaran rasa nyeri tersebut ke lokasi lain. Nyeri juga
tidak berdenyut dan tidak demam sebelum dan sesudah kejadian. Pasien
tidak mengeluh adanya kesemutan.
Sebelum kejadian tersebut, paha kiri pasien dapat bergerak bebas,
tidak merasa nyeri, dan sama panjang dengan kaki kanan. Pasien juga
menyangkal adanya kelemahan pada paha kiri dan tidak merasa
kesemutan. Pasien juga mengaku sebelumnya tidak pernah opname dan
menjalani operasi tulang.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


Serupa : disangkal
Alergi : disangkal
Hipertensi : disangkal
Penyakit jantung : disangkal
Diabetes Melitus : disangkal
Mondok : disangkal
Trauma : disangkal

D. Riwayat Penyakit Keluarga


Alergi : disangkal
Hipertensi : disangkal
Penyakit jantung : disangkal
Diabetes Melitus : disangkal
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis, GCS : E4V5M6
Vital Sign : Tekanan Darah : 120/90 mmHg
Suhu : 36,3 C
Nadi : 93 x/menit, reguler,
kuat angkat.
RR : 18 x/menit
SpO2 : 100

Pemeriksaan Fisik
a) Kepala/leher : Jejas (-), ekskoriasi (-), nyeri tekan (-),
hematoma (-), rhinorhea (-), otorhea (-),
cyanosis (-), dispneu (-)

b) Mata : Konjungtiva anemis (-/-)


Sklera ikterik (-/-)
Pupil reflek cahaya (+/+), isokor (+/+)

c) Thoraks : Dinding thoraks jejas (-)


Paru :
Inspeksi : simetris (+), ketinggalan
gerak (-/-)
Palpasi : fremitus normal, ictus
cordis (+), emfisema
subkutis (-)
Perkusi : sonor diseluruh lapang
paru (+)
Auskultasi : vesikuler (+/+), rhonki
(-/-), wheezing (-/-)

Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
(+)
Palpasi : ictus cordis teraba (+)
Perkusi : batas jantung tidak
membesar (+)
Auskultasi : S I-II reguler (+),
murmur (-)
d) Abdomen :
Inspeksi : jejas (-), distensi (-),
masa (-)
Auskultasi : peristaltik (+)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-),
defans muskular (-)
Perkusi : timpani, hepar pekak

e) Ekstremitas :

Atas : edema (-/-), jejas (-/-),


akral hangat (+/+),
deformitas (-/-), CRT <
2 detik
Bawah : edema (-/-), jejas (-/-),
akral hangat (+/+),
deformitas (-/+), CRT
< 2 detik

B. Status Lokalis

Lokasi trauma : Regio femoralis sinistra

a. Look
Deformitas :
1. Angulasi : Anterior
2. Rotasi :-
3. Translasi : True Length : 98/90
Appearance Length : 105/97
Anatomical Length : 64/56
Limb Length Discrepancy :
Edema :-
Luka : Lokasi : -
Kualitas : -
Ukuran : -
Macam : -

b. Feel
Nyeri tekan :( - / + )
Akral hangat :( + / + )
CRT : (< 2 detik / < 2 detik )
Pulsasi : (reguler, kuat angkat/reguler, kuat angkat)
Saraf : n. Tibialis (+), n. Peroneus superficialis
(+), n. Peroneus profundus (+)

c. Move
False movement :+
Krepitasi :+
Nyeri gerak :+
ROM : terbatas karena nyeri

IV. CLINICAL ASSESMENT


Negleted Close fracture femur 1/3 proximal sinistra

V. PLANNING
a. Diagnosa
Foto rontgen femur sinistra AP dan Lateral

b. Terapi
Reposisi dan imobilisasi
Operatif : ORIF Femur Complex

Medikamentosa
o Ceftriaxon 2x1 gr
o Ketorolac 3x1 amp

c. Monitoring
Vital sign

d. Edukasi
Strecthing distal fraktur
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI FRAKTUR
1. Pengertian Fraktur
Fraktur adalah patah tulang atau terputusnya kontinuitas tulang dan
tulang rawan biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik.
2. Penyebab patah tulang
a. Fraktur terjadi ketika tekanan yang menimpa tulang lebih besar
daripada daya tahan tulang, seperti benturan dan cedera.
b. Fraktur terjadi karena tulang yang sakit, ini dinamakan fraktur
patologi yaitu kelemahan tulang akibat penyakit kanker atau
osteoporosis.
3. Jenis-jenis fraktur
a. Fraktur komplit adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan
biasanya megalami pergeseran (bergeser dari posisi normal).
b. Fraktur Tidak komplit (inkomplit) adalah patah yang hanya terjadi
pada sebagian dari garis tengah tulang.
c. Fraktur tertutup (fraktur simple) tidak menyebabkan robeknya kulit
d. Fraktur terbuka (fraktur komplikata/kompleks) merupakan fraktur
dengan luka pada kulit atau mebran mukosa sampai ke patahan kaki.
1) Fraktur terbuka terbagi atas tiga derajat, yaitu :
Derajat I :
Luka < 1 cm
Kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda luka
remuk
Fraktur sederhana, tranversal, oblik, atau kominutif ringan
Kontaminasi minimal
Derajat II :
laserasi > 1 cm
Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulse
Fraktur kominutif sedang
Kontaminasi sedang
Derajat III :
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi
struktur kulit, otot. dan neurovascular serta kontaminasi
derajat tinggi. Fraktur derajat tiga terbagi atas :
Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat,
meskipun terdapat laserasi luas/flap/avulse atau fraktur
segmental/sangat kominutif yang disebabkan oleh trauma
berenergi tinggi tanpa melihat besarnya ukuran luka.
Kehilangann jaringan lunak dengan fraktur tulang yang
terpapar atau kontaminasi massif. Luka pada pembuluh
arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa melihat
kerusakan jaringan lunak.
e. Sesuai pergerseran anatomisnya fraktur dibedakan menjadi tulang
bergeser/tidak bergeser. Jenis khusus fraktur dibagi menjadi :
1) Greensick, fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang
sisi lainnya membengkok.
2) Transversal, fraktur sepanjang garis tengah tulang.
3) Oblik, fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang
(lebih tidak stabil dibanding transversal).
4) Spiral, fraktur memuntir seputar batang tulang.
5) Kominutif, fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa
fragmen.
6) Depresi, fraktur dengan fragmen patahan terdorng ke dalam
(sering terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah).
7) Kompresi, fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi
pada tulang belakang).
8) Patologik, fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit
(kista tulang, penyakit Paget, metastasi tulang, tumor).
9) Avulsi, tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendo pada
perlengkatannya.
10) Epifiseal, fraktur melalui epifisis
11) Impaksi, fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen
tulang lainnya.
B. ETIOLOGI
Penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Cedera traumatic
a) Cedera langsung, berarti pukulan langsung pada tulang sehingga
tulang patah secara spontan
b) Cedera tidak langsung, berarti pukulan langsung berada jauh dari
benturan, misalnya jatuh dengan tangan menjulur dan menyebabkan
fraktur klavikula.
c) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras dari otot yang kuat.
2. Fraktur patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit, dimana
dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur, dapat juga terjadi
pada keadaan :
a) Tumor tulang (jinak atau ganas)
b) Infeksi seperti osteomielitis
c) Rakhitis, suatu penyakti tulang yang disebabkan oleh devisiensi
vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain.
3. Secara spontan, disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus
misalnya pada penyakit polio dan orang yang bertugas di kemiliteran.

C. ANATOMI DAN FISIOLOGI TULANG


Anatomi Tulang
Secara garis besar, tulang terbagi atas :
1. Tulang Panjang
Yang termasuk tulang panjang misalnya femur, tibia, ulna, dan
humerus, dimana daerah batas diafisis dan daerah yang berdekatan
dengan garis epifisis disebut metafisis. Daerah ini merupakan suatu
daerah yang sangat sering ditemukan adanya kelainan atau penyakit, oleh
karena daerah ini merupakan daerah metabolik yang aktif dan banyak
mengandung pembuluh darah. Kerusakan atau kelainan berkembang
pada daerah lempeng epifisis akan menyebabkan kelainan pertumbuhan
tulang.
2. Tulang Pendek
Contoh dari tulang pendek antara lain tulang vertebra dan tulang-
tulang karpal.
3. Tulang Pipih
Yang termasuk tulang pipih antara lain tulang iga, tulang scapula,
dan tulang pelvis.

Secara makroskopis terdiri dari substantia compacta dan substantia


spongiosa. Pada os. Longum substantia compacta berada dibagian tengah
dan makin ke ujung tulang menjadi semakin tipis. Pada ujung tulang
terdapat substantia spongiosa, yang pada pertumbuhan memanjang tulang
membentuk cavitis medullaris. Lapisan superficialis tulang disebut
periosteum dan lapisan profunda disebut endosteum. Bagian tengah os.
Longum disebut corpus, ujung tulang berbentuk konveks atau konkaf,
membesar, membentuk persendian dengan tulang lainnya.
Dari aspek pertumbuhan, bagian tengah tulang disebut diaphysis,
ujung tulang disebut epiphysis yang dibentuk oleh cartilago, dan bagian
diantara keduanya disebut metaphysis, tempat pertembuhan memanjang
dari tulang (peralihan antara cartilago menjadi osseum).
Tulang terdiri atas daerah yang kompak pada bagian luar yang
disebut korteks dan bagian dalam yang bersifat spongiosa berbentuk
trabekula dan diluarnya dilapisi oleh periosteum. Pada anak lebih tebal
daripada orang dewasa yang memungkinkan penyembuhan tulang pada
anak lebih cepat dibandingkan orang dewasa.
Anatomi Femur
Merupakan tulang panjang dalam tubuh yang dibagi atas Caput Corpus
dan collum dengan ujung distal dan proksimal. Tulang ini bersendi dengan
acetabulum dalam struktur persendian panggul dan bersendi dengan tulang
tibia pada sendi lutut. Tulang paha atau tungkai atas merupakan tulang
terpanjang dan terbesar pada tubuh yang termasuk seperempat bagian dari
panjang tubuh. Tulang paha terdiri dari 3 bagian, yaitu epiphysis proximalis,
diaphysis, dan epiphysis distalis.

1. Epiphysis Proksimalis
Ujung membuat bulatan 2/3 bagian bola disebut caput femoris yang
punya facies articularis untuk bersendi dengan acetabulum ditengahnya
terdapat cekungan disebut fovea capitis. Caput melanjutkan diri sebagai
collum femoris yang kemudian disebelah lateral membulat disebut
throcantor major ke arah medial juga membulat kecil disebut trochantor
minor. Dilihat dari depan, kedua bulatan major dan minor ini
dihubungkan oleh garis yang disebut linea intertrochanterica (linea
spiralis). Dilihat dari belakang, kedua bulatan ini dihubungkan oleh rigi
disebut crista intertrochanterica. Dilihat dari belakang pula, maka
disebelah medial trochantor major terdapat cekungan disebut fossa
trochanterica.

2. Diaphysis
Merupakan bagian yang panjang disebut corpus. Penampang
melintang merupakan segitiga dengan basis menghadap ke depan.
Mempunyai dataran yaitu facies medialis, facies lateralis, facies anterior.
Batas antara facies medialis dan lateralis nampak di bagian belakang
berupa garis disebut linea aspera, yang dimulai dari bagian proximal
dengan adanya suatu tonjolan kasar disebut tuberositas glutea. Linea ini
terbagi menjadi dua bibit yaitu labium mediale dan labium laterale,
labium medial sendiri merupakan lanjutan dari linea intertrochanrterica.
Linea aspera bagian distal membentuk segitiga disebut planum
popliseum. Dari trochantor minor terdapat suatu garis disebut linea
pectinea. Pada dataran belakang terdapat foramen nutricium, labium
medial lateral disebut juga supracondylaris lateralis/medialis.

3. Epiphysis distalis
Merupakan bulatan sepasang yang disebut condylus medialis dan
condylus lateralis. Disebelah proximal tonjolan ini terdapat lagi masing-
masing sebuah bulatan kecil disebut epicondylus medialis dan
epicondylus lateralis. Epicondylus ini merupakan akhir perjalanan linea
aspera bagian distal dilihat dari depan terdapat dataran sendi yang
melebar disebut facies patelaris untuk bersendi dengan os. patella.
Intercondyloidea yang dibagian proximalnya terdapat garis disebut linea
intercondyloidea.
Otot-otot femur terdiri dari 3 kelompok :
1. Kelompok Anterior (ekstensor)
a. m. rectus femoris
b. m. vastus lateralis
c. m. vastus medialis
d. m. vastus intermedius
e. m. sartorius
2. Kelompok Medial (adduktor)
a. m. pectineus
b. m. gracilis
c. m. adductor longus
d. m. adductor brevis
e. m. adductor magnus
3. Kelompok Posterior (fleksor)
a. m. biscep femoris
b. m. semitendinosus
c. m. semimembranosus
d. m. psoas major
e. m. iliacus
f. m. tensor fascia lata
Sistem peredaran darah dari sepanjang tungkai atas atau paha yaitu
pembuluh darah arteri dan vena.
1) Pembuluh darah arteri
Arteri membawa darah dari jantung menuju saluran tubuh dan arteri
ini selalu membawa darah segar berisi oksigen, kecuali arteri pulmonale
yang membawa darah kotor yang memerlukan oksigenisasi. Pembuluh
darah arteri pada tungkai antara lain yaitu:
a) Arteri femoralis
Arteri femoralis memasuki paha melalui bagian belakang
ligament inguinale dan merupakan lanjutan arteria illiace externa,
yang terletak dipertengahan antara SIAS (spina illiaca anterior
superior) dan sympiphis pubis. Arteria femoralis merupakan
pemasok darah utama bagian tungkai, berjalan menurun hampir
bertemu ke tuberculum adductor femoralis dan berakhir pada lubang
otot magnus dengan memasuki spatica poplitea sebagai arteria
poplitea.
b) Arteria profunda femoralis
Merupakan arteri besar yang timbul dari sisi lateral arteri
femoralis dari trigonum femorale. Ia keluar dari anterior paha
melalui bagian belakang otot adductor, ia berjalan turun diantara
otot adductor brevis dan kemudian teletak pada otot adduktor
magnus.
c) Arteria obturatoria
Merupakan cabang arteri illiaca interna, ia berjalan ke bawah
dan ke depan pada dinding lateral pelvis dan mengiringi nervus
obturatoria melalui canalis obturatorius, yaitu bagian atas foramen
obturatum.
d) Arteri poplitea
Arteri poplitea berjalan melalui canalis adduktorius masuk ke
fossa bercabang menjadi arteri tibialis posterior terletak dalam fossa
poplitea dari fossa lateral ke medial adalah nervus tibialis, vena
poplitea, arteri poplitea.

2) Pembuluh darah vena


Pembuluh darah vena pada tungkai antara lain :
a) Vena femoralis
Vena femoralis memasuki paha melalui lubang pada otot
adduktor magnus sebagai lanjutan dari vena poplitea, ia menaiki
paha mula-mula pada sisi lateral dari arteri. Kemudian posterior
darinya, dan akhirnya pada sisi medialnya. Ia meninggalkan paha
dalam ruang medial dari selubung femoral dan berjalan dibelakang
ligamentum inguinale menjadi vena iliaca externa.
b) Vena profunda femoralis
Vena profunda femoris menampung cabang yang dapat
disamakan dengan cabang-cabang arterinya, ia mengalir ke dalam
vena femoralis.
c) Vena obturatoria
Vena obturatoria menampung cabang-cabang yang dapat
disamakan dengan cabang-cabang arterinya, dimana mencurahkan
isinya ke dalam vena illiaca internal.
d) Vena saphena magna
Mengangkut perjalanan darah dari ujung medial arcus venosum
dorsalis pedis dan berjalan naik tepat di dalam malleolus medialis,
venosum dorsalin vena ini berjalan di belakang lutut, melengkung ke
depan melalui sisi medial paha. Ia bejalan melalui bagian bawah n.
saphensus pada fascia profunda dan bergabung dengan vena
femoralis.
D. DIAGNOSIS

Pemeriksaan X-Ray tetap merupakan pemeriksaan penunjang radiologis


yang utama pada sistem skeletal. Gambar harus selalu diambil dalam dua
proyeksi. Pemeriksaan X-Ray merupakan metode penilaian awal utama pada
pasien dengan kecurigaan trauma skeletal. Setiap tulang dapat mengalami
fraktur walaupun beberapa diantaranya sangat rentan.
Tanda dan gambaran yang khas pada fraktur adalah :
Garis fraktur : garis fraktur dapat melintang di seluruh
diameter tulang atau menimbulkan
keretakan pada tepi kortikal luar yang
normal pada fraktur minor.
Pembengkakan jaringan lunak : biasanya terjadi setelah terjadi fraktur.
Iregularis kortikal : sedikit penonjolan atau berupa anak
tangga pada korteks.

Fraktur Femur

Fraktur femur adalah terputusnya kontuinitas batang femur yang bisa


terjadi akibat trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian),
dan biasanya lebih banyak dialami oleh laki-laki dewasa. Patah pada daerah
ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak, dan mengakibatkan
penderita jatuh dalam keadaan syok.

Klasifikasi Fraktur Femur

Terdapat dua tipe dari fraktur femur, yaitu :

1. Fraktur Intrakapsuler femur yang terjadi didalam kapsul sendi panggul :


Fraktur kapital : pada kaput femur
Fraktur subkapital : fraktur yang terletak dibawah kaput femur
Fraktur transervikal : fraktur pada kolum femur

2. Fraktur Ekstrakapsuler, yang terjadi diluar kapsul sendi panggul :


Fraktur sepanjang trochanter major dan minor
Fraktur intertrochanter
Fraktur subtrochanter
Klasifikasi fraktur femur dapat dibagi dalam :

a. Fraktur collum femur :


Fraktur collum femur dapat disebabkan oleh trauma langsung yaitu
misalnya penderita jatuh dengan posisi miring dimana daerah trochanter
mayor langsung terbentur dengan benda keras (jalanan) ataupun
disebabkan oleh trauma tidak langsung yaitu karena gerakan exorotasi
yang mendadak dari tungkai bawah, dibagi dalam :
Fraktur intrakapsuler (Fraktur collum femur)
Fraktur extrakapsuler (Fraktur intertrochanter femur)

b. Fraktur subtrochanter femur :


Ialah fraktur dimana garis patahnya berada 5 cm distal dari
trochanter minor, dibagi dalam beberapa klasifikasi tetapi yang lebih
sederhana dan mudah dipahami adalah klasifikasi Fielding & Magliato,
yaitu :
tipe 1 : garis fraktur satu level dengan trochanter minor
tipe 2 : garis patah berada 1 -2 inch di bawah dari batas atas trochanter
minor
tipe 3 : garis patah berada 2-3 inch di distal dari batas atas
trochanterminor
c. Fraktur batang femur (dewasa)
Fraktur batang femur biasanya terjadi karena trauma langsung akibat
kecelakaan lalu lintas dikota kota besar atau jatuh dari ketinggian, patah
pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak,
mengakibatkan penderita jatuh dalam shock.

Salah satu klasifikasi fraktur batang femur dibagi berdasarkan adanya


luka yang berhubungan dengan daerah yang patah. Dibagi menjadi :
- Tertutup
- Terbuka, ketentuan fraktur femur terbuka bila terdapat hubungan antara
tulang patah dengan dunia luar dibagi dalam tiga derajat, yaitu ;
Derajat I : Bila terdapat hubungan dengan dunia luar timbul luka kecil,
biasanya diakibatkan tusukan fragmen tulang dari dalam
menembus keluar.
Derajat II : Lukanya lebih besar (>1cm) luka ini disebabkan karena
benturan dari luar.
Derajat III : Lukanya lebih luas dari derajat II, lebih kotor, jaringan lunak
banyak yang ikut rusak (otot, saraf, pembuluh darah)
d. Fraktur supracondyler femur :
Fraktur supracondyler fragment bagian distal selalu terjadi dislokasi
ke posterior, hal ini biasanya disebabkan karena adanya tarikan dari otot
otot gastrocnemius, biasanya fraktur supracondyler ini disebabkan oleh
trauma langsung karena kecepatan tinggi sehingga terjadi gaya axial dan
stress valgus atau varus dan disertai gaya rotasi.
e. Fraktur intercondyler femur :
Biasanya fraktur intercondular diikuti oleh fraktur supracondular,
sehingga umumnya terjadi bentuk T fraktur atau Y fraktur.
f. Fraktur condyler femur :
Mekanisme traumanya biasa kombinasi dari gaya hiperabduksi dan
adduksi disertai dengan tekanan pada sumbu femur keatas.

E. PENATALAKSANAAN
Terapi fraktur diperlukan konsep empat R yaitu : rekognisi,
reduksi/reposisi, retensi/fiksasi, dan rehabilitasi.
1. Rekognisi atau pengenalan adalah dengan melakukan berbagai diagnosa
yang benar sehingga akan membantu dalam penanganan fraktur karena
perencanaan terapinya dapat dipersiapkan lebih sempurna.
2. Reduksi atau reposisi adalah tindakan mengembalikan fragmen-fragmen
fraktur semirip mungkin dengan keadaan atau kedudukan semula atau
keadaan letak normal.
3. Retensi atau fiksasi atau imobilisasi adalah tindakan mempertahankan
atau menahan fragren fraktur tersebut selama penyembuhan.
4. Rehabilitasi adalah tindakan dengan maksud agar bagian yang menderita
fraktur tersebut dapat kembali normal.

Proses penyembuhan fraktur dapat dibagi dalam beberapa tahapan,


sebagai berikut :
Pada kasus fraktur untuk mengembalikan struktur dan fungsi tulang
secara cepat maka perlu tindakan operasi dengan imobilisasi. Imobilisasi
yang sering digunakan yaitu plate and screw. Pada kondisi fraktur fisiologis
akan diikuti proses penyambungan.
Proses penyambungan tulang menurut Apley dibagi dalam 5 fase. Fase
hematoma terjadi selama 1-3 hari. Pembuluh darah robek dan terbentuk
hematoma di sekitar dan di dalam fraktur. Tulang pada permukaan fraktur,
yang tidak mendapat pesediaan darah akan mati sepanjang satu atau dua
milimeter.
Fase proliferasi terjadi selama 3 hari sampai 2 minggu. Dalam 8 jam
setelah fraktur terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi dibawah
periosteum dan didalam saluran medula yang tertembus ujung fragmen
dikelilingi jaringan sel yang menghubungkan tempat fraktur. Hematoma yang
membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang
dalam daerah fraktur.
Fase pembentukan kalus terjadi selama 2-6 minggu. Pada sel yang
berkembangbiak memiliki potensi untuk menjadi kondrogenik dan osteogenik
jika diberikan tindakan yang tepat selain itu akan membentuk tulang kartilago
dan osteoklas. Massa tulang akan menjadi tebal dengan adanya tulang dan
kartilago juga osteoklas yang disebut dengan kalus. Kalus terletak pada
permukaan periosteum dan endosteom. Terjadi selama 4 minggu, tulang mati
akan dibersihkan.
Fase konsolidasi terjadi dalam waktu 3 minggu 6 bulan. Tulang fibrosa
atau anyaman tulang menjadi padat jika aktivitas osteoklas dan osteoblastik
masih berlanjut maka anyaman tulang berubah menjadi tulang lamelar. Pada
saat ini osteoblast tidak memungkinkan untuk menerobos melalui reruntuhan
garis fraktur karena sistem ini cukup kaku. Celah-celah diantara fragmen
dengan tulang baru akan diisi oleh osteoblas. Perlu beberapa bulan sebelum
tulang cukup untuk menumpu berat badan normal.
Fase remodelling terjadi selama 6 minggu hingga 1 tahun. Fraktur telah
dihubungkan oleh tulang yang padat, tulang yang padat tersebut akan
diresorbsi dan pembentukan tulang yang terus menerus lamelar akan menjadi
lebih tebal, dinding-dinding yang tidak dikehendaki dibuang, dibentuk rongga
sumsum dan akhirnya akan memperoleh bentuk tulang seperti normalnya.
Terjadi dalam beberapa bulan bahkan sampai beberapa tahun. Faktor-faktor
yang mempengaruhi penyembuhan fraktur antara lain: usia pasien, banyaknya
displacement fraktur, jenis fraktur, lokasi fraktur, pasokan darah pada fraktur,
dan kondisi medis yang menyertainya.
F. KOMPLIKASI
Komplikasi fraktur menurut Brunner & Suddarth (2005) dibagi menjadi 2
yaitu :
a. Komplikasi awal
1) Syok
Syok hipovolemik akibat dari perdarahan karena tulang
merupakan organ yang sangat vaskuler maka dapat terjadi
perdarahan yang sangat besar sebagai akibat dari trauma khususnya
pada fraktur femur dan fraktur pelvis.

2) Emboli lemak
Pada saat terjadi fraktur, globula lemak dapat masuk kedalam
darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan
kapiler dan katekolamin yang dilepaskan memobilisasi asam lemak
kedalam aliran darah. Globula lemak ini bergabung dengan
trombosit membentuk emboli yang dapat menyumbat pembuluh
darah kecil yang memasok darah ke otak, paru-paru, ginjal dan organ
lainnya.

3) Compartment Syndrome
Compartment syndrome merupakan masalah yang terjadi saat
perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan. Hal ini
disebabkan oleh karena penurunan ukuran fasia yang membungkus
otot terlalu ketat, balutan yang terlalu ketat dan peningkatan isi
kompartemen karena perdarahan atau edema.

Komplikasi awal lainnya seperti infeksi, tromboemboli dan


koagulopati intravaskular.

b. Komplikasi lambat
1) Delayed union, malunion, nonunion.
Penyatuan terlambat (delayed union)terjadi bila penyembuhan
tidak terjadi dengan kecepatan normal berhubungan dengan infeksi
dan distraksi (tarikan) dari fragmen tulang. Tarikan fragmen tulang
juga dapat menyebabkan kesalahan bentuk dari penyatuan tulang
(malunion). Tidak adanya penyatuan (nonunion) terjadi karena
kegagalan penyatuan ujung-ujung dari patahan tulang.

2) Nekrosis avaskular tulang


Nekrosis avaskular terjadi bila tulang kekurangan asupan darah
dan mati. Tulang yang mati mengalami kolaps atau diabsorpsi dan
diganti dengan tulang yang baru. Sinar-X menunjukkan kehilangan
kalsium dan kolaps struktural.

3) Reaksi terhadap alat fiksasi interna


Alat fiksasi interna diangkat setelah terjadi penyatuan tulang
namun pada kebanyakan pasien alat tersebut tidak diangkat sampai
menimbulkan gejala. Nyeri dan penurunan fungsi merupakan
indikator terjadinya masalah. Masalah tersebut meliputi kegagalan
mekanis dari pemasangan dan stabilisasi yang tidak memadai,
kegagalan material, berkaratnya alat, respon alergi terhadap logam
yang digunakan dan remodeling osteoporotik disekitar alat.

G. KESIMPULAN
Proses penyembuhan fraktur adalah proses biologis alami yang akan
terjadi pada setiap kasus fraktur. Pada mulanya akan terjadinya perdarahan
disekitar lokasi fraktur, yang diakibatkan oleh terputusnya pembuluh darah
pada tulang dan periost yang disebut dengan fase hematoma. Kemudian
berubah menjadi fase jaringan fibrosis, lalu penyatuan klinis, dan pada
akhirnya fase konsolidasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. American college of foot and ankle surgeons. 2008. Bone healing.


2. Apley A, Graham. 1995. Buku ajar ortopedi dan fraktur sistem Apley.
Jakarta: Widya Medika.
3. Carter Michel A., Anatomi dan Fisiologi Tulang dan Sendi dalam: Price
Sylvia A, Wilson Lorraine McCarty. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 2006.
4. Doherty G M. Current Surgical Diagnosis and Treatment. USA : MC Graw
Hill. 2006.
5. Maharta GRA, Maliawan S, Kawiyana KS. 2011. Manajemen fraktur pada trauma
muskeletal. Bali: FK Udayana Bali .
6. Paulsen F and Waschke J., Ekstremitas Atas dalam: Atlas Anatomi Manusia
Sobotta. Edisi 23. Penerbit Buku Kedokteran EGC Jilid 1. Jakarta. 2013.
7. Sfeir C, Ho L, Doll BA, Azari K, Hollinger JO. 2005. Fraktur repair, Human Pess
Inc, Totowa, NJ.
8. Sjamsuhidajat R., dan de Jong Wim. Patah Tulang dan Dislokasi dalam: Buku
Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-3. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 2011.

Anda mungkin juga menyukai