Anda di halaman 1dari 16

Identitas Buku

Judul buku : Bulan Terbelah di Langit Amerika

Nama pengarang : Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra

Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama

Tahun terbit : 2014

Tebal halaman : 344

Harga buku : Rp. 75.000,-

-Kelebihan dan kekurangan buku :

Kelebihan :

-Alur dalam novel ini dibuat dengan rapi.

-Percakapan dalam novel ini dibuat mengalir dan terasa penting pada setiap kata.

-Cover dan judul pada novel ini dibuat cukup menarik.

-Novel ini merupakan terasa nyata terjadi novel perjalanan dari sang penulis sehingga ceritanya
terasa nyata terjadi.

Kekurangan :

-Banyak istilah dalam bahasa asing yang kurang dijelaskan secara lebih rinci.

-Novel ini tidak dilengkapi dengan catatan kaki


-Sinopsis

Hanum dan Rangga melanjutkan perjalanannya dari Eropa ke Amerika karena kebetulan
sama-sama mendapat tugas. Hanum yang bekerja di salah satu perusahaan surat kabar di Eropa
mendapat tugas untuk membuat artikel tentang Akankah dunia lebih baik tanpa islam? yang
sebenarnya tidak ingin dilakukan, tetapi apa boleh buat. Itu merupakan kesempatan dia untuk dapat
mengubah pikiran masyarakat Amerika tentang Islam yang sebenarnya.

Rannga yang ingin menulis paper nya dengan mencari narasumber yang bernama Philipus Brown
untuk mengisi paper nya tersebut, dia diminta dosennya Reinhard untuk menghadiri konferensi
tentang strategi bisnis dalam lingkungan yang tidak pasti di Washington DCAzima adalah salah satu
korban kecelakaan pesawat American Airlines Flight 11 yang menimpa gedung WTC dimana
peristiwa yang disebut Black Tuesday tersebut sangat menggemparkan dunia. Hanum juga bertemu
dengan keluarga lainnya yang menjadi korban black Tuesday tersebut dan memecahkan cerita
kenyataan yang sangat mengaharukan dan juga membanggakan tentang seorang muslim yang rela
berkorban.

Dan akhirnya pertemuan Rangga dengan Philipus Brown seorang jutawan Amerika yang
menjadi filantropis bagi warga Afghanistan dan Irak membawa mereka mendapatkan jawaban dari
misteri pertanyaan yang selama bertahun-tahun masih dipertanyakan dengan kehadiran Philipus
dan Azima Hussein.

-Unsur Intrinsik

1. Tema : Perjalanan

2. Alur : Maju mundur

3. Latar : Kantor surat kabar Heute Ist Wunderbar, Gedung WTC,


Apartemen Hanum dan Rangga, Pesawat American Airlines Flight 11, Rumah Azima Hussein,
Museum 11 september, Masjid New York Manhattan, Lincoln Memorial, Masjid Ground Zero,
Madison Square Garden.

4. Sudut Pandang : Hanum,Rangga dan orang ketiga serba tau.

5. Penokohan :

Hanum = cerdas, pantang menyerah, sabar, mandiri.

Rangga = cerdas, humoris, penyayang, romantis.

Azima Hussein = sabar, tegar.

Jones = berani, ambisius, pantang menyerah.

Reinhard = bijaksana, disiplin.

Philipus brown = dermawan, baik.

6. Tokoh :

a. Tokoh sentral = Hanum dan Rangga

b. Tokoh bawahan =
-Andalan: Azima Husein Philipus Brown, Jones

-Tambahan: Reinhard, Abraham Husein, Joana

-Lataran: penumpang pesawat American Airlines 11, para korban WTC.

7. Amanat :

Dunia tidak akan lebih baik tanpa Islam. Karena Islam sudah seperti bulan yang menerangi di
kegelapan.

-Biografi pengarang buku :

1. Hanum Salsabiela Rais adalah putri kedua Amien Rais lahir dan menempuh pendidikan di
Yogyakarta hingga mendapat gelar dokter gigi dari UGM, namun justru mengawali karirnya sebagai
jurnalis dan reporter-presenter di TransTV.

Tahun 2013 dia terpilih menjadi duta perempuan mewakili Indonesia untuk Youth Global Forum di
Sujuka Jepang. Sehari-hari menjabat sebagai direktris PT. Arah Dunia Televisi (ADiTV), Tv islam
modern di Yogyakarta.

Buku-buku yang telah diterbitkan yaitu,

-Menapak Jejak Amien Rais (2010)

-99 Cahaya di Langit Eropa (2011)

-Berjalan di Atas Cahaya (2013)

-Bulan Terbelah di Langit Amerika (2014)

2. Rangga Almahendra, adalah suami Hanum Salsabiela, teman perjalanan sekaligus penulis kedua
buku ini. Menamatkan pendidikan dasar hingga menengah di Yogyakarta kemudian berkuliah di
Institut Teknologi Bandung, dan S2 di Universitas Gadjah Mada, keduanya lulus cumlaude.

Memenangkan beasiswa dari pemerintah Austria untuk studi S3 di menjelajah Eropa. Pada tahun
2010 Ia menyelesaikan studinya dan meraih gelar doktor di bidangInternational Business &
Management.

Saat ini ia tercatat sebagai dosen di Johannes Kepler University dan Universitas Gadjah Mada.
Rangga sebelumnya pernah bekerja di PT Astra Honda Motor dan ABN AMRO Jakarta

Resensi Buku Bulan Terbelah di Langit


Amerika
Reply

Keluarga, Resensi Buku


A+A-
EMAILPRINT
Judul : Bulan Terbelah di Langit Amerika
Penulis : Hanum Salsabiela Rais & Rangga Almahendra
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2014
Halaman : 344 Halaman
Kategori : Perjalanan, Inspiratif
Rating : 4.5 of 5

"Mu Lan Pi.

Sebuah dokumen bernama The Sung Document dari Dinasti Song China tahun 1178 bermaklumat bahwa

pelaut-pelaut muslim telah berlayar jauh sampai daratan baru yang sepi manusia.

Dua ratus tahun kemudian, pelayaran di bawah pimpinan Admiral Zhou Man, anak didik Laksamana Muslim

Cheng Ho, terseret gelombang Laut Jepang hingga ke selatan Alaska dan berakhir di daratan yang sama.

Kini Mu Lan Pi menjelma menjadi daerah bernama California, Amerika Serikat.

-----------------------------------------------Buku Bulan Terbelah di Langit Amerika"

Ini adalah buku kedua karya Hanum Rais dan suaminya yang saya baca setelah 99
Cahaya di Langit Eropa, yang telah dibuat versi layar lebarnya.
Di tengah maraknya buku-buku traveling akhir-akhir ini, Buku Bulan Terbelah di
Langit Amerikamenyuguhkan cerita perjalanan dengan pemaparan sejarah yang luar
biasa serta sarat makna kehidupan.

Takdir membawa Hanum dan Rangga, yang merupakan mahasiswa S3 di Wina,


Austria menuju sebuah perjalanan impian mereka, yaitu mengelilingi benua Amerika.
Tidak ada hal yang kebetulan, begitupun perjalanan mereka kali ini bukan semata
menjadi rangkaian sesi "jalan-jalan", melainkan ada sebuah misi yang di emban.
Rangga dengan tugas presentasi papernya, dan Hanum dengan tugas liputannya
yang menguak berbagai hal seputar tragedi WTC 9/11 demi sebuah artikel
berjudul "Would the world be better without Islam?".

Bagi saya, Buku Bulan Terbelah di Langit Amerika mengungkapkan banyak hal,
tentang bagaimana kebencian bangsa Eropa dan Amerika yang semakin menjadi
pada Islam pasca WTC 9/11, tentang beratnya perjuangan kaum muslim sebagai
minoritas di Amerika untuk tetap memegang teguh akidahnya, berbagai hal janggal
seputar tragedi WTC, pandangan para Founding Fathers Amerika terhadap Islam,
bahkan fakta sejarah penemuan Benua Amerika yang sungguh membuat saya
tercengang.

Ya, Buku Bulan Terbelah di Langit Amerika ini berhasil menceritakan negara
adidaya itu dari sudut pandang yang berbeda. Semakin membuka mata kita bahwa
Islam adalah Rahmatan lil 'Alamin. Dan membuat kita yakin bahwa manusia hanyalah
pion-pion yang sedang memainkan skenario Tuhan. Percayalah, Tuhan selalu
mengawasi dengan cermat bagaimana kita menjalankan peran itu.

And the last, ucapan yang muncul di benak saya selepas membaca buku ini adalah :
Perjalanan mereka terlalu indah untuk dikatakan kebetulan semata! Happy Reading..
^_^
RESENSI BUKU: Bulan Terbelah di
Langit Amerika

Judul Buku: Bulan Terbelah di Langit Amerika


Penulis: Hanum Salsabiela Rais, dan Rangga Almahendra
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Juni, 2014
Tebal: 344 Halaman
***
Menguak Fakta bahwa Amerika dan Islam itu Tak Terpisahkan
By Najmi Qalim
*Resensor adalah Anggota Forum Lingkar Pena Sulteng
Tatkala melihat judul novel Bulan Terbelah di Langit Amerika, sebagian
besar pembaca akan penasaran dengan isinya. Pembaca akan dibuat
bertanya-tanya Apa sih maksud judul bulan terbelah di langit Amerika
ini?. Mungkin ada pembaca yang mulai berandai-andai Apa benar ada
bulan yang terbelah di langit Amerika?. Mungkin pula juga ada yang
mengira bahwa buku ini berisi cerita traveling penulis selama di Amerika,
lalu menyaksikan bukti nyata di suatu lab astronomi universitas tertentu atau
bahkan lab milik NASA bahwa bulan memang pernah terbelah. Rupanya
penulis, Hanum Salsabila Rais dan Ranga Almahendra sengaja membuat
penasaran para pembaca novel ini. Pembaca dituntut untuk melahap habis
seluruh isinya agar kita sebagai pembaca bisa paham dan memperoleh
jawaban mengapa judul bukunya seperti itu. Semuanya kan terungkap jelas
ketika kita membaca bagian akhirnya.
Novel Bulan Terbelah di Langit Amerika bisa dikatakan merupakan
kelanjutan kisah petualangan Hanum dan Rangga selama hidup di negeri
orang. Sebelum novel ini terbit, penulis telah menelurkan dua buku best
seller yaitu 99 Cahaya di Langit Eropa dan Berjalan di Atas Cahaya.
Berbeda dengan dua buku pendahulunya yang didasarkan pada cerita nyata,
sementara Bulan Terbelah di Langit Amerika merupakan perpaduan antara
berbagai dimensi genre buku yaitu drama, fakta sejarah dan ilmiah,
traveling, spiritual, serta fiksi. Pembaca tak akan bosan membaca fakta
sejarah dan ilmiah karena disajikan secara apik dalam novel ini.

Novel Bulan Terbelah di Langit Amerika akan mengingatkan kembali


kepada kita peristiwa black Tuesday 9 september 2001. Meskipun sudah
lama berlalu, peristiwa Black Tuesday masih terekam dalam ingatan kita.
Amerika dan Islam, bak dua kutub yang tolak-menolak. Islam menjadi
pesakitan, julukan teroris kemudian melekat bagi setiap penganutnya. Dunia
seakan mengidap Islamophobia berjamaah. Penyakit itu menular dari satu
negara ke negara lain. Dunia begitu sensitif dengan segala hal yang berbau
Islam. Islam divonis sebagai pihak yang bertanggung jawab atas segala
bentuk terorisme yang terjadi di muka bumi. Muncul pertanyaan, Would
the world be better without Islam? Apakah dunia akan lebih baik tanpa
Islam?. Pertanyaan itu lah yang akan terkupas tuntas di bagian cerita dari
novel ini.

Berawal dari penugasan dari seorang bos, Gertrud Robinson. Hanum


sebagai wartawan diperintahkan untuk menulis artikel di sebuah surat kabar
Austria, yang bernama Heute ist Wunderbar, Today Is Wonderful, Hari
Ini Luar Biasa. Hanum ditantang untuk menulis artikel berjudul Would the
world be better without Islam? Apakah dunia akan lebih baik tanpa Islam?.
Bagi Hanum, itu adalah sebuah tugas besar dimana ia harus berkata tidak
pada pertanyaan itu. Ia harus membuktikan bahwa dunia dan islam adalah
dua hal yang tak terpisahkan. Bagi Gertrud Robinson, Hanum adalah orang
yang tepat untuk menjelaskannya, sebab ia muslim. Ketimbang wartawan
lain, yang hampir saja tugas itu diamanahkan kepada Jacob, seorang non
muslim yang pastinya akan berkata ya pada pertanyaan tersebut.
Hanum dan Rangga akhirnya terbang ke Amerika secara bersama-sama,
namun mereka memiliki misi yang berbeda. Jika Hanum bertugas untuk
menyelesaikan tugas kewartawanannya, lain halnya dengan Rangga.
Rangga bertandang ke Amerika untuk mengikuti konferensi ilmiah. Misi
yang berbeda dari keduanya yang ternyata pada akhirnya mempertemukan
mereka pada Philipus Brown, seorang pengusaha dan penderma yang juga
merupakan korban black Tuesday 9/11. Semuanya terkuak ketika Philipus
Brown bercerita tentang kisah di balik tragedi naas itu. Semuanya terungkap
bahwa Amerika dan islam adalah dua hal yang tak terpisahkan.

Tak hanya inspiratif, namun buku ini juga menyuguhkan sejarah mengenai
hubungan Islam dan Amerika. Bercerita tentang suku Melungeon, Thomas
Jefferson dan Al-Quran, dan potongan surat An-Nisa yang tertulis di salah
satu pintu gerbang fakultas Hukum Harvard USA. Selain itu, novel ini juga
mengungkapkan fakta bahwa Christophorus Colombus sebenarnya bukan
penemu benua Amerika. Tertulis bahwa jauh sebelumnya, berkisar 300
ratusan tahun sebelum Colombus datang ke Amerika, benua itu telah dihuni
oleh orang Indian, orang-orang bertubuh tegap berbalut jubah, berhidung
mancung, dan berkulit merah. Pembaca akan terkejut pula ketika
mengetahui bahwa dalam jurnal pelayarannya Colombus, ia melihat adanya
kubah masjid yang indah di Selat Gibara. Hal itu menjadi bukti bahwa islam
hadir di Amerika jauh sebelum Colombus datang.

Novel ini dibangun dengan konsep serendipity, yakni konsep serba


kebetulan yang mengindahkan ceritanya. Pembaca akan dibuat terkagum-
kagum dan terkejut tatkala menuntaskan halaman demi halamannya.
Sungguh penulis sangat pandai merajut cerita ini. Bisa dikatakan ini
merupakan novel Islami. Meskipun penulis mengatakan bahwa beberapa
pemaparan dalam novel ini masih bersifat debatable, masih
diperdebatkan. Namun, terlepas dari aktual atau tidaknya sejarah dan fakta
ilmiah yang diungkap, yang terpenting adalah bagaimana kita mengambil
manfaat dari novel ini. Dituturkan secara apik oleh sang penulis dan sekali
lagi akan membuat pembaca ikut larut ke dalam kisah di dalamnya. Sebuah
buku tentang kisah perjalanan yang sarat akan makna dan membuat
pembaca semakin mencintai Islam. Novel ini tak hanya cocok buat pembaca
muslim saja, melainkan juga cocok buat seluruh masyarakat dunia agar
paham bahwa muslim is not a terrorist, muslim bukan lah teroris.
Pembaca akan paham bahwa dunia dan islam adalah dua hal yang tak
terpisahkan. Dunia tanpa islam adalah dunia tanpa kedamaian.
Resensi Novel Bulan Terbelah di Langit Amerika

Resensi Bulan Terbelah di Langit Amerika

Judul Buku : Bulan Terbelah di Langit Amerika

Penulis : Hanum Salsabiela Rais & Rangga Almahendra

Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama

Tebal : 344 Halaman

Novel yang satu ini bisa dikatakan novel religious kontemporer bertemakan sejarah
Islam, seperti novel best seller Hanum Salsabiela Rais & Rangga Almahendra yang
sebelumnya mengangkat tema sejenis yaitu 99 Cahaya di Langit Eropa.

Secara umum, sang penulis ingin menceritakan bahwa dunia tidak akan lebih baik tanpa
Islam. Ya, penulis mencoba mengutarakan itu semua lewat novel ini. Bahwa Islam itu
memang diperlukan dan dunia tidak akan lebih baik tanpa Islam.

Dunia Tanpa Islam adalah dunia tanpa kedamaian.


Islam tanpa amalan adalah kehampaan.
Amalan tanpa iman adalah kegelapan.
Cerita dibuka dengan kejadian pembajakan pesawat Colgan Air yang menabrak menara
kembar WTC atau yang biasa dikenal dengan peristiwa 9/11. Kemudian alur cerita maju
ke delapan tahun kemudian. Ketika Hanum akhirnya ditugaskan untuk menulis artikel
dengan tema Would the world be better without Islam?. Berkenaan dengan peringatan
1 windu tragedi 9/11.
Pada mulanya, Hanum menolak untuk meliput artikel tersebut, namun akhirnya setuju
untuk membuktikan bahwa dunia tidak akan lebih baik tanpa Islam. Dan secara
kebetulan diwaktu yang bersamaan Rangga harus menghadiri konferensi bisnis di
Amerika.

Akhirnya dimulailah petualangan sepasang suami istri ini di negeri paman sam. Untuk
menjawab itu semua.

Kelebihan novel ini adalah gaya penulisan buku kali ini sedikit berbeda dari buku
sebelumnya, dimana penulis menggunakan peralihan karakter yang saling mengisi satu
sama lain dengan alur yang bergerak maju. Sehingga buku ini terasa ringan untuk
dibaca.

Selain itu, menepis pola pikir kita bahwa muslim identik dengan seorang teroris. Karena
dalam novel ini memberikan perspektif bagaimana muslim tidaklah pantas diidentikkan
dengan teroris, karena itu adalah tragedi kemanusiaan, ulah segelintir orang yang
menggunakan nama Islam.

Novel ini direkomendasikan bagi siapapun yang ingin mengenal sejarah Islam di benua
Amerika. Resensi novel Bulan Terbelah di Langit Amerika ini hanya mengisahkan
sebagian kecil cerita yang tersimpan di dalamnya. Jadi, ada baiknya Anda membeli dan
membaca langsung agar bisa memetik hikmah yang lebih dalam. Selamat berburu novel
ya
ALLEGIANT: THE MOST ANTICLIMAX OF THE TRILOGY

Judul buku: Allegiant (Divergent #3)


Pengarang: Veronica Roth
Penerbit: Mizan fantasy (Mizan group)
Penerjemah: Nur Aini dan Indira Brianti Asni
Editor: Esti Budihabsari
Proofreader: Emi Kusmiati
Jumlah halaman: 496 halaman
ISBN: 978-979-433-837-7
Segmen: Remaja, dewasa muda
Genre: Dystopia, action
Harga: Rp 65.000
Rate:

Review ini mengandung spoiler.

Sejujurnya, saya sangat malas bikin review untuk Allegiant. Tapi yah berhubung, buku 1 dan 2 ada
reviewnya, rasanya tanggung kalau yang ke-3 tidak ada, jadi sekalian saja saya review supaya lengkap.

Saya beneran bingung sama cerita di Allegiant alias saya tidak tahu ceritanya itu sebenarnya tentang
apa sih? Yang saya tahu ceritanya muter-muter, dari perang faksi vs pemberontak terus pemberontak
membentuk Allegiant terus berubah ke perang pemberontak vs Biro/pemerintah dan balik lagi jadi
perang factionless vs Allegiant.

Baru kali ini saya baca buku ceritanya tidak terlalu saya ingat, padahal belum 1 jam sejak saya selesai
baca, entah apa karena plot dan storytelling-nya gajebo-gak jelas-dipanjang-panjangin atau
antiklimaks. Maaf untuk para Initiates kalau saya kasar dan blak-blak-an. Tapi sepanjang saya baca
Allegiant, itu bawaannya mengantuk dan bosan terus, sempat mau DNF-Did Not Finished tapi saya
paksa supaya tetap baca, padahal buku ini termasuk yang ceritanya action-oriented, tapi karena plotnya
muter-muter dan terkesan dipanjang-panjangin untuk beberapa bagian saya membaca fast
forward karena saya hanya ingin menyelesaikannya. Sudah plot-nya dipanjang-panjangin, banyak plot
hole pula yang kadarnya sudah lewat batas toleransi saya. Untuk yang penasaran cerita Allegiant tapi
malas membacanya, saya akan coba ingat-ingat ceritanya.

Jadi setelah ending Insurgent, Tris dkk tahu bahwa masih ada dunia di luar kota Chicago yang selama
ini mereka kenal. (plot hole 1, rasanya aneh kalau Tris tidak pernah berpikir sama sekali soal itu, apalagi
dia Divergent). Hanya saja Evelyn alias ibu-nya Four, yang telah menghapus sistem faksi tidak setuju
kalau mereka sampai keluar kota Chicago karena si Evelyn ini tidak rela kalau sampai
para factionlesstahu dan itu akan bikin dia gagal berkuasa sebagai pemimpin baru setelah sistem faksi
ditiadakan.

Beberapa orang yang terbiasa dengan sistem faksi, jelas tidak setuju dan diam-diam membentuk
kelompok yang bernama Allegiant, yang berarti mereka yang setia dengan sistem faksi. Kelompok ini
merekrut Tris dkk untuk melihat dunia di luar kota Chicago. Dan akhirnya Tris dkk berhasil keluar
perbatasan Chicago (plot hole 2: Apa Johanna Reyes tidak penasaran seperti apa di luar perbatasan?
Kecuali kalau dia memang juga bekerja untuk biro, tapi tidak ada penjelasan).

Di luar Chicago, Tris dkk baru sadar betapa luasnya dunia itu dan masih ada kota lain selain Chicago.
Mereka dibawa ke suatu Biro Kesejahteraan Genetik, ini sejenis kantor atau tempat penelitian gen. Di
tempat ini mereka baru tahu kalau selama ini mereka adalah eksperimen pemerintah Amerika Serikat.
Jadi para ilmuwan mencoba membuat generasi manusia yang sempurna dengan menghilangkan gen-
gen yang menyebabkan perilaku negatif seperti pengecut, pembohong, bodoh, dll. Tapi sayang,
eksperimen mereka gagal, karena manusia-manusia yang gen-nya "diubah" ini meski membuat
dominan beberapa sifat tapi juga menghilangkan beberapa sifat baik manusia dan manusia yang gen-
nya sudah "diubah" ini disebut RG alias rusak secara genetis, sementara manusia yang gen-nya belum
"diubah" disebut MG alias murni secara genetis dan suatu hari RG menyerang MG dan pemerintah dan
meletuslah Perang Kemurnian yang membuat nyaris seluruh Amerika luluh lantak.

Para ilmuwan mencoba untuk memperbaiki para RG dengan menyetel ulang hidup mereka melalui
serum memori dan menempatkan para RG ini di beberapa kota di AS, salah satunya Chicago dan
menerapkan sistem faksi untuk mengontrol perilaku mereka, di mana setelah beberapa keturunan akan
lahir generasi-generasi baru dari RG yang gen-nya telah pulih seperti MG. Dan nama generasi baru dari
kelahiran RG yang gen-nya telah pulih disebut Divergent.

Jadi itulah alasan mengapa saya merasa Divergent itu tidak ada ubahnya dengan manusia pada
umumnya yang berperilaku kompleks. Karena mereka memang manusia biasa. #pointless.

Dan yah seterusnya githu deh, pengarang seolah ingin membicarakan teori perilaku manusia dan
menyelipkan beberapa filosofinya. Nah sekarang saya mau menulis surat terbuka untuk Veronica
Roth.

Dear Ms. Veronica Roth / Author of Divergent trilogy,

Mohon bila ingin membuat tema dystopia, ambillah tema dari realita sosial yang terjadi
dalam masyarakat, supaya world-building dystopia Anda terasa lebih nyata, contohnya
The Hunger Games atau Unwind. Karena jika Anda terinspirasi dari adegan topi seleksi di
Hogwarts, membaca Divergent trilogy lebih seperti membaca fanfic Harry Potter, mulai
dari serum kejujuran (veritaserum), serum memori (jampi memori), lebih banyak
menghabiskan waktu di Asrama daripada rumah dan bahkan David yang masih suka sama
almarhum ibu Tris mengingatkan saya dengan Snape yang tetap cinta Lily seumur
hidupnya, tapi kalau Snape bikin banyak orang orang jatuh hati, David bikin orang ilfil dan
kalau ini sebuah fanfic, ini juga bukan fanfic yang bagus, karena Anda tampak jelas tidak
menguasai tema dystopia yang Anda buat sendiri. Bahkan Anda sendiri menuliskan salah
satu adegannya dalam buku, kalau MG dan RG sama saja, sama-sama bisa melakukan
tindak kejahatan dan menyebabkan perang. Lha jadi intinya pointless donk karena Anda
hanya membuat konsep Dystopia yang "maksa" supaya bisa ada adegan melompat dari
kereta api yang berjalan yang menurut Anda keren atau bermain flying fox karena
menurut Anda itu berani.

Similar multiple 1st person POV

Selain itu, saya tidak suka multiple 1st person POV alias memakai narasi sudut pandang
orang pertama yang lebih dari 1. Karena multiple 1st person POV ini termasuk sulit
eksekusinya, apalagi kalau karakternya mirip satu sama lain, seperti Tris dan Four yang
walau menurut Anda saling bertolak belakang, justru menurut saya sangat mirip, karena
mereka berdua sama-sama berlatar belakang Dauntless pindahan Abnegation, sama-
sama keras kepala, sama-sama suka bertindak pakai emosi, sama-sama sering
merasainsecure, sama-sama labil, sama-sama kick-ass dalam hal aksi. Sama-sama
menyebalkan menurut saya. Karena mereka punya banyak kemiripan tersebut, saya
seperti membaca narasi 1 orang daripada 2 orang, dan sering saya salah kira narasi Tris
adalah Four dan sebaliknya. Kalau Anda butuh tambahan referensi multiple 1st person
POV yang bagus, coba baca The Perfect Chemistry, Flipped atau Gone Girl. Dan para
penulis 3 judul yang saya sebutkan itu sukses mengeksekusi sudut pandang para karakter
utama mereka karena 2 karakter utamanya saling bertolak belakang baik dari segi sifat
maupun latar belakang.

Selain itu mengenai Uriah, saya tidak pernah merasakan karakternya yang lucu selain
karena Anda hanya sekedar memberitahu Uriah itu lucu tanpa benar-benar
menunjukkannya. Dan saya sama sekali tidak peduli dengan kematian Uriah karena saya
tetap merasakan karakternya sebagai pelengkap saja, karena Anda memberi terlalu
banyak porsi pada Tris dan Four.

Ending

Sebenarnya, saya tidak terlalu peduli akan endingnya. Baik itu sad atau happy, saya oke
saja selama memang pantas.Tapi saya tidak suka ending yang didramatisir supaya
menjadi berkesan. Saya tidak peduli, Tris berakhir mati atau hidup selama alasannya
wajar. Dan saya tidak tahu apakah Anda ingin membuat ending die as a hero, kalau iya,
sayang jadinya maksa. Kalau Anda butuh ending macam itu, Anda bisa membaca yang
epik macam Ptolemy Gate dari trilogy Bartimaeus sebagai referensi. Atau Anda hanya
ingin membuat adegan depresi ala Katniss di Mockingjay saat adiknya tewas, hanya saja
tokohnya di sini adalah Four. Yah, sayangnya karakter Four di Allegiant ini kurang
simpatik, jadinya saya tidak peduli, kenapa tidak membuat Four saja yang mati? Saya
tidak suka Tris dengan kecenderunganpengorbanannya sejak Insurgent, kesannya
karakter Tris itu martir. Selain itu, di ending buku ini tidak sungguh-sungguh pecah perang
karena sebelum perang sudah keburu damai. Dan itu semakin menambah kesan konyol
kematian Tris karena tertembak oleh seseorang saat ingin mengambil serum. Sepertinya
sering sekali Tris tertembak.

Allegiant

Veronica Roth
496 halaman

Mizan Fantasi, Mei 2014

Rp. 65.000,-

Bagaimana bila seluruh hidupmu adalah dusta? Dan satu kebenaranseperti satu pilihan
mengubah semua yang kau percaya?

Tak ada lagi faksi, tak ada lagi panduan, hanya ingatan akan pengkhianatan. Tirani lain
mengancam, para factionless yang selama ini terbuang mengambil alih kekuasaan.

Tris ingin ke luar batas kota dengan Tobias, bebas dari dusta dan prasangka. Tetapi realitas baru
mengubah hati orang-orang yang dicintai Tris. Sekali lagi Tris harus berjuang untuk memenangkan
hati mereka. Perjuangan yang menuntut semua keberanian, kesetiaan, pengorbanan, dan cintanya.
Allegiant, pamungkas Trilogi Divergent yang dinanti-nanti oleh jutaan pembaca di dunia setelah
Divergent dan Insurgent.

Allegiant! Seri terakhir dari Divergent Trilogy akhirnya terbit dalam Bahasa Indonesia. Aku deg-degan
banget waktu pergi ke toko buku dan beli novel ini. Soalnya tahun lalu, sekitaran bulan Oktober saat
novel ini pertama kali terbit, banyak yang katanya kecewa, marah dan nggak suka. John Green juga
ikut angkat suara. Waktu itu aku belum tau apakah dia ikut setuju atau ngomong apa. Pokoknya aku
ngehindari spoiler abis-abisan. Eh, taunya ada sebuah komentar di laman Instagram Ansel Elgort yang
aku curigain sebagai spoiler. Tapi aku cepet-cepet lupain, cepet-cepet baca dan beresin novel ini
juga. Now, lts review it :)

Setelah berhasil menyebarkan video Edith Prior, Tris dan teman-temannya ditahan. Tobias sendiri
bebas karena dia dijadikan tangan kanannya ibunya, Evelyn, pemimpin factionless yang mengambil
alih kekuasaan Jeanine. Setelah ditanyai dibawah pengaruh serum kejujuran, Tris dan teman-
temannya dibebaskan. Tapi mereka tidak suka dengan kehidupan tanpa fraksi yang membingungkan
dan masih rawan kekacauan. Lalu Tris diajak orang misterius untuk mengikuti sebuah perkumpulan
yang dinamai Allegiant. Misi mereka adalah mengembalikan fungsi fraksi-fraksi dulu dan mengikuti
perintah dalam video Edith Prior untuk mengirimkan Divergent ke luar pagar perbatasan. Tris, Tobias,
Cara, Christina, Uriah, Peter dan Caleb ditunjuk untuk pergi. Dengan pengorbanan sebuah nyawa,
mereka berhasil keluar. Kenyataan yang mereka hadapi di luar kota sangat mengejutkan. Kota
mereka, Chicago, ternyata adalah kota percobaan untuk menghasilkan orang-orang dengan gen
sempurna, yang mereka kenal sebagai Divergent dan mempunyai kode MG (Murni Gen). Orang-orang
yang tidak mempunyai gen sempurna diberi kode RG (Rusak Gen). Tobias sangat kecewa saat
menemukan dia tidak memiliki susunan gen seperti milik Tris. Itu artinya selama ini dia bukan seorang
Divergent dan dikategorikan sebagai manusia rusak. Nita, seorang peneliti yang juga dikategorikan
sebagai RG, mengajaknya dalam sebuah misi rahasia agar MG dan RG punya kesetaraan.

"Setiap orang menyimpan kejahatan di dalam dirinya,


dan langkah pertama untuk mencintai seseorang adalah
dengan menyadari bahwa kita sendiri pun memilikinya
sehingga kita mampu memaafkan orang lain." halaman 263

Rasanya campur aduk saat aku baca Allegiant ini, apalagi pas bagian ending-nya. Banyak hal yang
bikin aku agak pusing. Pertama, penceritaannya memakai dua point of view, Tris dan Tobias. Kadang
aku salah mengerti, selalu mikir Tris yang ngomong, eh ternyata itu Tobias. Ternyata penggunaan
dua PoV itu ngebantu aku kenal lebih dekat dengan Tobias, yang selama ini aku lihat sangat kuat.
Nyatanya dia juga punya sisi rapuh dan takut yang cukup besar. Yang aku juga sukai dari PoV Tobias
adalah besar rasa cintanya buat Tris, hehehe. Kedua, nama-nama karakter lain selain Tris dan Tobias.
Aku baca Insurgent setahun yang lalu, udah lupa deh sama siapa dan peran mereka. Yang aku inget
sih cuma tokoh-tokoh yang ada di Divergent dan juga muncul di film adaptasinya. Aku baca terus deh
daripada harus buka-buka dua novel yang sebelumnya. Ketiga, masalah MG dan RG. Terkuak sudah
semua kebohongan, tipu daya, kepalsuan dan propaganda. Ceritanya jadi sangat berbeda dengan dua
buku sebelumnya.Aku ngerasa sama syoknya sama Tris, Tobias dan lainnya. Tapi aku kagum dengan
ide gen itu. Gila. Kamu-kamu baca sendiri, deh, biar lebih ngerti dan ngerasain efeknya.
And here comes the
ending.

Aku sedih, marah dan ngerasa hampa. Aku tidur dulu sekitar satu jam buat ngehapus semua rasa itu.
Lebay banget ya. It really helps, walaupun aku masih ngerasa ada yang nggak enak di dalam dada.
Tapi bukan berarti aku bakal ngelakuin hal-hal yang disuarakan pembaca di luar negeri, seperti
berhenti baca karya Roth dan menonjoknya kalo ketemu di jalan. Itu baru namanya lebay.

Kalian-kalian yang belum baca pasti nanya, emang endingnya gimana sih?

Di penghujung cerita, seorang tokoh kesukaan semua orang melakukan sebuah pengorbanan yang
besar demi cinta. Tindakannya itu bikin banyak orang selamat, banyak orang juga yang jadi merana.
Pembaca di luar itu marah karena mereka jadi ikut-ikutan merana. Mereka juga nyesel baca novel
yang bikin mereka malah sedih, bukannya bahagia. Mereka pada nyalahin penulisnya deh.

Aduh, duh, Its fiction, people.

Aku juga sedih. Tapi aku senang dengan keputusan penulisnya bikin ending yang beda. Aku malah
selalu menghargai penulis yang ngasih ending yang nggak biasa, alias jauh dari happy ending yang
ideal. Tindakan itu bikin bikin kita lebih realistis dan nggak kejebak di kehidupan fiksi yang kadang
terlalu wah buat dunia nyata.

At last, Allegiant ini menuntaskan rasa penasaranku dan menjawab pertanyaan yang terkumpul dari
seri Divergent dan Insurgent. Aku hanya berharap film adaptasinya nanti, yang rencananya akan
dibagi menjadi dua bagian, tetep ngikutin ending cerita ini ;)

Anda mungkin juga menyukai