Ada 2 jenis Lelang yang harus dipahami yakni lelang eksekusi dan lelang non eksekusi.
Kedua jenis lelang ini dibedakan berdasarkan sebab barang dijual dan penjual dalam hubungannya
dengan barang yang akan dilelang.
Lelang Eksekusi adalah lelang untuk melaksanakan putusan/ penetapan pengadilan atau
dokumen-dokumen lain, yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau
yang dipersamakan dengan itu, dalam rangka membantu penegakan hukum. Contoh, Lelang
Eksekusi Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), Lelang Eksekusi Pengadilan, Lelang Eksekusi
Pajak, Lelang Eksekusi Harta Pailit, Lelang Eksekusi Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan
(UUHT), Lelang Eksekusi dikuasai/tidak dikuasai Bea Cukai, lelang Eksekusi Barang Sitaan Pasal
45 Kitab Undang-undang Acara Hukum Pidana (KUHAP), Lelang Eksekusi Barang Rampasan,
Lelang Eksekusi Barang Temuan, Lelang Eksekusi Fidusia dan Lelang Eksekusi Gadai.
a. Lelang Non Eksekusi Wajib, yakni lelang untuk melaksanakan penjualan barang milik
negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
perbendaharaan Negara atau barang Milik Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D) yang
oleh peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk dijual secara lelang termasuk kayu dan hasil
hutan lainnya dari tangan pertama.
b.Lelang Non Eksekusi Sukarela, yakni lelang untuk melaksanakan penjualan barang milik
perorangan, kelompok masyarakat atau badan swasta yang dilelang secara sukarela oleh
pemiliknya, termasuk dalam hal ini adalah BUMN/D berbentuk persero.
Terkait dengan hak tanggungan, berdasarkan uraian jenis lelang diatas, maka jelas termasuk
lelang eksekusi karena diatur dalam peraturan hukum yakni UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan.
Dalam lelang hak tanggungan, dikenal ada beberapa cara salah satunya bisa melalui balai
lelang swasta, KPKNL & PN.
Sejarah KPKNL
Pada tahun 1971 struktur organisasi dan sumber daya manusia Panitia Urusan Piutang
Negara (PUPN) tidak mampu menangani penyerahan piutang Negara yang berasal dari kredit
investasi. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976 dibentuk Badan Urusan Piutang
Negara (BUPN) dengan tugas mengurus penyelesaian piutang Negara sebagaimana Undang-
Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, sedangkan PUPN yang
merupakan panitia interdepartemental hanya menetapkan produk hukum dalam pengurusan
Piutang Negara. Sebagai penjabaran Keppres tersebut, maka Menteri Keuangan mengeluarkan
Surat Keputusan Nomor 517/MK/IV/1976 tentang susunan organisasi dan tata kerja BUPN,
dimana tugas pengurusan piutang Negara dilaksanakan oleh Satuan Tugas (Satgas) BUPN.
Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL), adalah instansi vertikal
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) yang berada di bawah dan bertanggungjawab
langsung kepada Kepala Kantor Wilayah. Instansi vertikal artinya adalah perangkat dari
dapartemen-departemen atau lembaga-lembaga pemerintah yang bukan departemen namun,
mempunyai lingkungan kerja di wilayah yang bersangkutan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 170/PMK.01/2012 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, bahwa KPKNL mempunyai
tugas melaksanakan pelayanan di bidang kekayaan negara, penilaian, piutang negara dan lelang.
Tugas KPKNL saat ini secara garis besar adalah mengelola dan menginventaris seluruh
kekayaan negara dan menyelenggarakan lelang yang bersumber dari aset2 negara ataupun aset
pihak swasta yang dimohonkan lelang secara sukarela. Di samping itu KPKNL masih tetap
menyelesaikan tugas KP2LN yang belum tuntas yaitu penagihan terhadap piutang negara dan
menyelenggarakan lelang terhadap barang jaminan dari piutang tersebut.
Menjadi pengelola Kekayaan Negara, Piutang Negara dan Lelang profesional dan
bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
MISI
1. Mewujudkan optimalisasi penerimaan, efisiensi pengeluaran dan efektifitas pengelolaan
Kekayaan Negara.
2. Mengamankan Kekayaan Negara secara fisik, administrasi dan hukum.
3. Mewujudkan nilai Kekayaan Negara yang wajar dan dapat dijadikan acuan dalam berbagai
keperluan penilaian.
4. Melakukan pengurusan piutang Negara yang efektif, efisien, transparan dan akuntabel.
5. Mewujudkan lelang yang efektif, efisien, transparan, akuntabel, adil dan kompetitif sebagai
instrumen jual beli yang mampu mengakomodasi kepentingan bersama.
Balai Lelang
Balai lelang adalah badan hukum indonesia berbentuk perseroan terbatas (PT) yang khusus
didirikan untuk melakukan kegiatan usaha di bidang lelang. Balai lelang berposisi layaknya event
organizer untuk penyelenggaraan lelang. Dalam melaksanakan tugasnya, balai lelang biasanya
mendapatkan surat perintah kerja dari pemohon lelang (baik perusahaan maupun perorangan)
untuk melakukan pengurusan lelang mulai dari permohonan lelang ke kantor pelayanan kekayaan
negara dan lelang (untuk lelang eksekusi)/ pejabat lelang kelas ii, membantu melakukan penagihan
(untuk lelang eksekusi), mengumumkan rencana pelaksanaan lelang, dan beberapa hal lain yang
diperjanjikan antara balai lelang dengan pengguna jasa balai lelang. Contoh balai lelang yang ada
di indonesia adalah bali auction house, pt jba indonesia, pt balai lelang tunjungan, balai lelang
serasi astra.
Dasar hukum penjualan lelang melalui Balai Lelang Swasta diatur dalam Keputusan Menteri
Keuangan No. 47/KMK.01/1996 tanggal 25 Januari 1996 dan Keputusan Kepala Badan Urusan
Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) No.1/PN/1996. Adapun peraturan yang mengatur tentang
perizinan, kegiatan usaha dan pelaksanaan lelang Balai Lelang Swasta diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.07/2005 tanggal 30 November 2005 tentang Balai Lelang.
Dalam Pasal 10 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.07/2005 ditegaskan
bahwasanya kegiatan usaha Balai Lelang meliputi Jasa Pralelang, Jasa Pelaksanaan Lelang dengan
Pejabat Lelang Kelas II, dan Jasa Pascalelang terhadap jenis lelang :
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (2) di atas, maka kegiatan lelang hak tanggungan yang
dilakukan melalui Balai Lelang Swasta terlebih dahulu secara formal hukumnya harus ada kata
sepakat antara Bank dengan debitornya. Tanpa adanya kata kesepakatan untuk menggunakan
mekanisme penjualan lelang melalui Balai Lelang Swasta, debitor dapat menuntut pembatalan atas
mekanisme tersebut.
Dalam praktek perbankan, umumnya dalam proses negoisasi dengan debitor, bank kerap
memaksakan kehendaknya bahkan cenderung menekan debitur untuk menyetujui menggunakan
mekanisme lelang melalui Balai Lelang Swasta. Penekanan atau pemaksaan ini terjadi karena
Bank umumnya beranggapan bahwasanya lelang hak tanggungan melalui Balai Lelang Swasta
lebih cepat dan murah disamping memang dari sudut aturan hukumnya, berdasarkan ketentuan
Pasal 6 UU No. 4 Tahun 1996, Bank selaku pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak untuk
menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaannya sendiri.
Dalam prakteknya, ternyata pelaksanaan lelang melalui Balai Lelang Swasta tidaklah mudah
dan cenderung membutuhkan biaya yang besar mengingat Balai Lelang Swasta sering mendapat
hambatan dalam pengosongan objek jaminan kredit bank berupa Hak Tanggungan yang telah
dilelang, karena untuk memperoleh fiat pengadilan (putusan. Penetapan pengadilan) tentang
eksekusi pengosongan terlebih dahulu harus disertakan Surat Pengantar dari KPKNL, walaupun
sudah ada Risalah Lelang yang dikukuhkan oleh Pejabat Lelang Kelas II dari KPKNL ketika
dilakukan lelang oleh Balai Lelang Swasta. Disamping itu, Bank juga harus memperhitungkan
besaran imbalan jasa kepada Balai Lelang Swasta, meskipun besaran imbalan jasa ini ditentukan
pula dengan adanya kesepakatan namun sedikit banyaknya pastinya akan mempengaruhi
pendapatan Bank atas hasil penjualan lelang tersebut.
Terkait lelang hak tanggungan atas tanah dan bangunan, dalam Pasal 22 Peraturan Menteri
Keuangan No. 93/PMK.06/2010, KPKNL juga mensyaratkan Bank selaku pemegang hak
tanggungan harus melengkapi dengan Surat Keterangan Tanah (SKT) dari Kantor Pertanahan
setempat. Jika tanah atau tanah dan bangunan yang akan dilelang belum terdaftar di Kantor
Pertanahan setempat, Kepala KPKNL atau Pejabat Lelang Kelas II mensyaratkan kepada Bank
untuk melengkapi Surat Keterangan dari Lurah/Kepala Desa yang menerangkan status
kepemilikan tanah atau bangunan tersebut. Dan atas segala biaya pengurusan tersebut menjadi
tanggung jawab pihak bank. Rumitnya, jika Bank selaku pemegang hak tanggungan tidak
menguasai dokumen kepemilikan maka, berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (4) Peraturan
Menteri Keuangan No. 93/PMK.06/2010, setiap dilaksanakan lelang harus dimintakan SKT baru.
Kemudian yang harus diperhatikan jika ingin menggunakan jasa lelang KPKNL adalah
ketentuan Pasal 64 Peraturan Menteri Keuangan No. 93/PMK.06/2010 yang menyatakan, setiap
pelaksanaan lelang dikenakan Bea Lelang dan Uang Miskin. Disamping itu, perlu diperhatikan
pula bahwasanya Pasal 65 Peraturan Menteri Keuangan No.93/PMK.06/2010 juga mengatur
pengenaan bea pembatalan lelang.
Proses lelang melalui pengadilan ini hanya dapat dilakukan apabila jaminan/ barang yang
akan dilelang tersebut masih dalam kondisi:
Dari segi prosedur dan biaya, lelang melalui pengadilan negeri ini relatif rumit dan cukup
memakan biaya karena Bank selaku pemegang hak tanggungan tidak cukup mengajukan hanya
permohonan lelang kepada Ketua Pengadilan Negeri tetapi juga harus mengajukan permohonan
sita jaminan (meskipun dari segi kepraktisan, permohonan sita jaminan dan permohonan lelang ini
dapat disatukan dalam satu permohonan, sayangnya dalam praktek, banyak Pengadilan yang
menghendaki satu persatu permohonan).
Jika permohonan lelang disetujui maka Pengadilan akan menerbitkan penetapan lelang yang
dikemudian dilanjutkan dengan penetapan sita jaminan. Dengan diterbitkannya sita jaminan, maka
Pengadilan akan melakukan penyitaan terhadap objek lelang yang kemudian akan didaftarkan
kepada kantor Badan Pertanahan setempat sekaligus mengajukan permohonan SKPT (Surat
Keterangan Pendaftaran Tanah).
Setelah keluarnya SKPT tersebut, maka Pengadilan Negeri mengajukan kegiatan Taksasi
(penaksiran) dengan melibatkan pihak kelurahan dan pihak Dinas Pekerjaan Umum (PU), untuk
dapat ditetapkannya berapa nilai atau harga wajar atas jaminan/barang yang akan dilelang. Setelah
didapatkannya harga, maka Kepala Pengadilan akan menetapkan harga limit terendah atas
jaminan/barang yang akan dilelang tersebut. Bandingkan dengan kegiatan lelang yang dilakukan
oleh Balai Lelang Swasta atau KPKNL dimana penjual/ pemegang hak tanggungan yang berhak
menentukan harga limit terendah atas objek lelang.
Adapun untuk pelaksanaan lelangnya, Pengadilan bekerjasamana dengan KPKNL. Ini
berarti, secara praktis dan biaya, lelang melalui KPKNL tetap lebih efektif dibandingkan lelang
melalui Pengadilan Negeri karena pada akhirnya akan tetap bekerjasama dengan KPKN. Demikian
juga pada akhirnya akta Risalah Lelang pada akhirnya akan diurus dan diterbitkan oleh
Pejabat Lelang yang notabene merupakan bagian dari KPKNL.
Kerumitan yang lain adalah meskipun Akta Risalah lelang sama fungsinya dengan akta Jual
Beli yang biasa dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) pada proses jual beli biasa,
pembeli tidak bisa langsung mengajukan balik nama sebelum mengajukan permohonan
pengosongan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang dilanjutkan dengan proses pengosongan atas
jaminan/barang dimaksud dengan perintah dari Pengadilan.