Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS

SINDROM KOMPARTEMEN

Disusun Oleh :
Juwita Kwan Ciu I 11106037

SMF BEDAH RSUD DR.SOEDARSO


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2011
LEMBAR PENGESAHAN

Sebagai salah satu syarat kelulusan Kepaniteraan Klinik


di SMF Bedah RSUD dr.Soedarso

Pembimbing Mahasiswa

dr. Oktavianus, Sp. OT Juwita Kwan Ciu


NIM. I11106037
BAB I
Kasus Sindrom Kompartemen

1.1 Identitas
Nama : Ny. T
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 70 Tahun
Agama : Islam
Status : Ibu rumah tangga
Alamat : Rasau Jaya II Dusun Banjar laut
Masuk RS : 11 Maret 2011

1.2 Anamnesis (14 maret 2011, autoanamnesis)


a. Keluhan Utama
Nyeri pada tungkai bawah kiri

b. Riwayat Penyakit Sekarang


Sejak 15 hari sebelum masuk rumah sakit timbul bercak merah
kehitaman pada tungkai bawah kiri Orang Sakit (OS). Bercak merah
kehitaman tersebut timbulnya mendadak, OS tidak mengeluhkan gejala
apapun sebelumnya. Bercak merah kehitaman tersebut awalnya hanya
berupa bercak kecil namun semakin lama melebar hingga dirasakan nyeri
dan gatal. Satu minggu sebelum masuk rumah sakit bercak semakin
banyak timbul, menjalar ke kaki dan paha kiri. Satu hari sebelum masuk
rumah sakit tungkai bawah kiri pasien semakin sakit dan membengkak
serta muncul rasa kesemutan dan kaki tidak bisa digerakkan lagi. Keluhan
demam disangkal. Riwayat mengalami jatuh atau terluka pada kaki kiri
disangkal, riwayat digigit ular beracun pada kaki kiri juga disangkal.
Setelah masuk rumah sakit pasien langsung menjalani operasi pada
tungkai bawah kirinya.
Lima hari perawatan di rumah sakit (pasca operasi) kaki kiri pasien
masih susah untuk digerakkan. Nyeri sudah dirasakan berkurang.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya.
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat diabetes mellitus disangkal.
d. Riwayat Operasi
OS belum pernah menjalani operasi sebelumnya.

1.3 Pemeriksaan Fisik (14 maret 2011)


a. Tanda Vital
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, kesan gemuk
Kesadaran : kompos mentis
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 84x/menit
Napas : 18x/menit

b. Status Generalis
Kepala-Leher :
Kepala : Tak ada kelainan
Mata : Konjungtiva anemis (-), Sklera ikterik (-)
Hidung : Sekret (-), Darah (-)
Telinga : Sekret (-), Darah (-)
Leher : Tidak ada keterbatasan gerak
Thorax :
Paru :
o Inspeksi : Bentuk dan Gerak Simetris
o Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri
o Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
o Auskultasi : Suara dasar vesikuler,
ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung :
o Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
o Palpasi : Ictus cordis tak teraba
o Perkusi : pembesaran jantung sulit dinilai
o Auskultasi : S1/S2 reguler, bising jantung (-)
Abdomen :
o Inspeksi : Tampak cembung
o Auskultasi : Bising usus (+)
o Palpasi : Hepar dan lien tak teraba, Nyeri tekan (-)
o Perkusi : Timpani
Extremitas :
Ekstremitas Atas
o Dextra : DOTS (-)
o Sinistra: DOTS (-)
Ekstremitas Bawah
o Dextra : DOTS (-)
o Sinistra: Status Lokalis

1.4 Status Lokalis


Tungkai atas kiri :
Look : oedem (+), bercak kemerahan (+)
Feel : Nyeri tekan (-)
Move : keterbatasan gerak (-)
Tungkai bawah kiri : sulit dinilai (diperban)
Kaki kiri :
Look : oedem (+), eritem/bercak kemerahan(+) di digiti
dan dorsalis pedis
Feel : Nyeri tekan (+), parestesi (+), paralisis (-), pulsasi
dorsalis pedis(+)
Move : keterbatasan gerak (+)

1.5 Usulan Pemeriksaan Penunjang


Darah Rutin

1.6 Diagnosis
Post fasciotomi dengan sindrom kompartemen

1.7 Penatalaksanaan
IVFD RL 20 tetes/menit
Ketorolac drip
Ceftriaxon 2x1gr
Gentamicin 2x1 amp
Ranitidin 2x1 amp
Diet tinggi protein

1.8 Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sindrom Kompertemen


2.1.1 Definisi
Sindrom kompartemen merupakan suatu kondisi dimana terjadi peningkatan
tekanan dalam suatu kompartemen sehingga mengakibatkan penekanan terhadap
saraf, pembuluh darah dan otot di dalam kompartemen osteofasial yang tertutup.
Hal ini mengawali terjadinya peningkatan tekanan interstisial, kurangnya oksigen
dari penekanan pembuluh darah, dan diikuti dengan kematian jaringan.

2.1.2 Anatomi
Kompartemen merupakan daerah tertutup yang dibatasi oleh tulang,
interosseus membran, dan fascia, yang melibatkan jaringan otot, saraf dan
pembuluh darah. Otot mempunyai perlindungan khusus yaitu fascia, dimana
fascia ini melindungi semua serabut otot dalam satu kelompok.
Secara anatomik, sebagian besar kompartemen terletak di anggota gerak
yaitu terletak di lengan atas (kompartemen anterior dan posterior), di lengan
bawah (yaitu kompartemen anterior, lateral, dan posterior). Di anggota gerak
bawah, terdapat tiga kompartemen di tungkai atas (kompartemen anterior, medial,
dan kompartemen posterior), empat kompartemen di tungkai bawah
(kompartemen anterior, lateral, posterior superfisial, posterior profundus).
Sindrom kompartemen yang paling sering terjadi di daerah tungkai bawah dan
lengan atas.
Setiap kompartemen pada tungkai bawah memiliki satu nervus mayor.
Kompartemen anterior memiliki nervus peroneus profundus, kompartemen lateral
memiliki nervus peroneus superfisial, kompartemen posterior profunda memiliki
nervus tibialis posterior dan kompartemen posterior superfisial memiliki nervus
suralis. Ketika tekanan kompartemen meningkat, suplai vaskuler ke nervus akan
terpengaruh menyebabkan timbulnya parestesia.
Tabel 1. Letak dan Isi Kompartemen
Letak Kompartemen Isi
Lengan Anterior M. Biceps brachii, M. Coracobrachialis, M.
Atas Brachialis;
A. Brachialis;
N. Musculocutaneus
Struktur yang Menembus Kompartemen : N.
Musculocutaneus, N. Medius, M. Ulnaris, A.
Brachialis, V. Basilica
Posterior M. Triceps brachii;
A. Profunda brachii, A. Collateralis ulnaris;
N. Radialis
Struktur yang Menembus Kompartemen : N.
Radialis dan N. Ulnaris
Lengan Anterior M. Pronator teres, M. Flexor carpi radialis, M.
Bawah Palmaris longus, M. Flexor carpi ulnaris, M.
Flexor digitorum superficialis, M. Flexor
pollicis longus, M. Flexor digitorum profundus,
M. Pronator quadratus;
A. Ulnaris, A. Radialis;
N. Medianus
Lateral M. Brachioradialis, m. Flexor carpi radialis
longus;
A. Radialis, a. Brachialis;
N. Radialis
Posterior M. Extensor carpi radialis brevis, M. Extensor
digitorum, M. Extensor digiti minimi, M.
Extensor carpi ulnaris, M. Anconeus, M.
Supinator, M. Abductor pollicis longus, M.
Extensor pollicis brevis, M. Extensor pollicis
longus, M. Extensor indicis;
Arteriae interoseus anterior dan posterior;
Ramus profundus nervi radialis
Tungkai Anterior M. Sartorius, M. Iliacus, M. Psoas, M.
Atas Pectineus, M. Quadriceps femoris;
A. Femoralis;
N. femoralis
Medial M. Gracilis, M. Adductor longus, M. Adductor
brevis, M. Adductor magnus, M. Obturatorius
externus;
A. profunda femoris, A. Obturatoria;
N. obturatorius
Posterior M. Biceps femoris, M. Semitendinosus, M.
Semimembranosus, M. Adductor magnus;
Cabang-cabang a. Profunda femoris
Tungkai Anterior M. Tibialis anterior, M. Extensor digitorum
Bawah longus, M. Peroneus tertius, M. Extensor
hallucis longus, M. Extensor digitorum brevis;
A. Tibialis anterior;
N. Peroneus profundus
Lateral M. Peroneus longus, M. Peroneus brevis;
Cabang-cabang dari a. Peronea;
N. peroneus superficialis
Posterior M. Gastrocnemius, M. Plantaris, M. Soleus;
A. Tibialis posterior;
Superfisial
N. Tibialis
Posterior M. Popliteus, M. Flexor digitorum longus, M.
Profundus Flexor hallucis longus, M. Tibialis posterior;
A. Tibialis posterior;
N. Tibialis

2.1.3 Patofisiologi
Patofisiologi sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan lokal
normal yang menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan aliran darah
kapiler, dan nekrosis jaringan lokal yang disebabkan hipoksia.
Tanpa memperhatikan penyebabnya, peningkatan tekanan jaringan
menyebabkan obstruksi vena dalam ruang yang tertutup. Peningkatan tekanan
terus meningkat hingga tekanan arteriolar intramuskuler bawah meninggi. Pada
titik ini, tidak ada lagi darah yang akan masuk ke kapiler, menyebabkan
kebocoran ke dalam kompartemen, sehingga tekanan dalam kompartemen
semakin meningkat. Penekanan saraf perifer disekitarnya akan menimbulkan
nyeri hebat.
Bila terjadi peningkatan intrakompartemen, tekanan vena meningkat.
Setelah itu, aliran darah melalui kapiler akan berhenti. Dalam keadaan ini
penghantaran oksigen juga akan terhenti, Sehingga terjadi hipoksia jaringan
(pale). Jika hal ini terus berlanjut, maka terjadi iskemia otot dan nervus, yang
akan menyebabkan kerusakan ireversibel komponen tersebut.
Ada 3 teori tentang penyebab iskemia, yaitu:
1. Spasme arteri akibat peningkatan tekanan kompartemen
2. Theori of critical closing pressure. Akibat diameter yang kecil dan
tekanan mural arteriol yang tinggi, tekanan transmural secara signifikan berbeda
(tekanan arteriol-tekanan jaringan) ini dibutuhkan untuk memelihara patensi. Bila
tekanan jaringan meningkat atau tekanan arteriol menurun perbedaan tidak ada,
yaitu critical closing pressure dicapai, arteriol akan menutup.
3. Karena dinding vena yang tipis, vena akan kolaps bila tekanan jaringan
melebihi tekanan vena. Bila darah mengalir secara kontinyu dari kapiler, tekanan
vena secara kontinyu akan meningkat pula sampai melebihi tekanan jaringan dan
drainase vena dibentuk kembali.
Sedangkan respon otot terhadap iskemia yaitu dilepaskannya histamine like
substances mengakibatkan dilatasi kapiler dan peningkatan permeabilitas endotel.
Ini berperan penting pada transudasi plasma dengan endapan sel darah merah ke
intramuskular dan menurunkan mikrosirkulasi.
Alasan yang mendasari untuk peningkatan tekanan pada sindrom
kompartemen yaitu peningkatan isi cairan atau berkurangnya ukuran
kompartemen.
1. Peningkatan isi cairan dapat disebabkan sebagai berikut :
a. Penggunaan otot yang terus-menerus (antara lain : tetanus, kejang)
b. Aktivitas sehari-hari (bersepeda, menunggang kuda)
c. Terbakar
d. Injeksi intraarterial (paling sering karena iatrogenik)
e. Osmolaritas serum menurun
f. Perdarahan (terutama dari cedera pembuluh darah yang besar)
2. Penurunan volume kompartemen dapat disebabkan sebagai berikut :
a. Military Antishock Trousers (MAST)
b. Terbakar
c. Penutupan defek fascia
d. Traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas

2.1.4 Manifestasi klinik


Secara klasik ada 5 P yang terkumpul dalam sindrom kompartemen, yaitu
Pain, Paresthesia, Pallor, Paralysis, Pulseness.
1. Pain (Nyeri ) :
Nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena,
ketika ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling
penting, terutama jika munculnya nyeri tak sebanding dengan keadaan
klnik (pada anak-anak tampak semakin gelisah atau memerlukan
analgesia lebih banyak dari biasanya). Otot yang tegang pada
kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering. Gambarannya
biasa berat, konstan dan nyeri terlokalisasi.
2. Parestesia : Rasa kesemutan
3. Pallor (pucat) : diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daerah tersebut
4. Pulseness : berkurangnya atau hilangnya denyut nadi.
5. Paralisis : merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang
berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena sindrom
kompartemen.. Pemeriksaan dengan uji sensasi raba dengan jarum dan
peniti ) pada saraf kulit.
Gambar 1. Sindrom Kompartemen

2.1.5 Diagnosis
Dalam mendiagnosis suatu kasus sindrom kompartemen, sama seperti kasus
lainnya, dengan anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik menyeluruh dan dengan
bantuan pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan carilah tanda-tanda khas dari
sindrom kompartemen yang ada pada pasien, karena dapat membantu penegakkan
diagnosis.
Pada anamnesis biasanya pasien datang dengan keluhan nyeri hebat setelah
kecelakaan atau patah tulang, ada dua yang dapat dijadikan dasar untuk
mendiagnosis kompartemen sindrom yaitu nyeri dan parestesia (namun parestesia
gejala klinis yang datangnya belakangan).
Pada pemeriksaan fisik kita harus mencari tanda-tanda fisik tertentu yang
terkait dengan sindrom kompartemen, diawali dengan rasa nyeri dan rasa terbakar,
penurunan kekuatan dan akhirnya kelumpuhan ekstremitas. Pada bagian distal
didapatkan pallor (pucat) dan pulseness (denyut nadi melemah) akibat
menurunnya perfusi ke jaringan tersebut. Menindak lanjuti pemeriksaan fisik
penting untuk mengetahui perkembangan gejala yang terjadi, antara lain nyeri
pada saat istirahat atau saat bergerak dan nyeri saat bergerak ke arah tertentu,
terutama saat peregangan otot pasif dapat meningkatkan kecurigaan kita dan
merupakan awal indikator klinis dari sindrom kompartemen. Nyeri tersebut
biasanya tidak dapat teratasi dengan pemberian analgesik termasuk morfin.
Kemudian bandingkan daerah yang terkena dan daerah yang tidak terkena.
Nyeri yang dikeluhkan pasien, harus kita pantau dan pertimbangkan ada
saraf yang terkena.
a. Saraf sensoris mulai hilang kemampuannya, diikuti oleh saraf motorik.
b. Beberapa saraf dapat mengakibatkan efek meningkatkan tekanan.
c.Sebagai contoh, dalam kompartemen tungkai bawah bagian depan, saraf
peroneal cepat terpengaruh, dan sensasi di anatara jari-jari kaki bisa
hilang.

2.1.6 Diagnosis Banding


Diagnosis yang paling sering membingungkan dan sangat sulit dibedakan
dengan sindrom kompartemen adalah oklusi arteri dan kerusakan saraf primer,
dengan beberapa ciri yang sama yang ditemukan pada masing-masingnya.
Pada sindrom kompartemen kronik didapatkan nyeri yang hilang timbul,
dimana nyeri muncul pada saat berolahraga dan berkurang pada saat beristirahat.
Sindrom kompartemen kronik dibedakan dengan claudikasio intermitten yang
merupakan nyeri otot atau kelemahan otot pada tungkai bawah karena latihan dan
berkurang dengan istirahat, biasanya nyeri berhenti 2-5 menit setelah beraktivitas.
Hal ini disebabkan oleh adanya oklusi atau obstruksi pada arteri bagian proksimal,
tidak ada peningkatan tekanan kompartemen dalam hal ini. Sedangkan sindrom
kompartemen kronik adanya kontraksi otot berulang-ulang yang dapat
meningkatkan tekanan intramuskuler sehingga menyebabkan iskemia kemudian
menurunkan aliran darah dan otot menjadi kram.
Diagnosis banding dari sindrom kompartemen antara lain :
1. Selulitis
2. Coelenterate dan Jellyfish Envenomations
3. Deep Vein Trombosis dan Thrombophlebitis
4. Gas Ganggrene
5. Necrotizing Fasciitis
6. Peripheral Vascular Injuries
7. Rhabdomyolis

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang


Pada kasus-kasus dengan sindrom kompartemen dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang, antara lain :
1. Laboratorium
Hasil laboratorium biasanya normal dan tidak dibutuhkan untuk
mendiagnosis kompartemen sindrom, tetapi dapat menyingkirkan diagnosis
banding lainnya.
a. Complete Metabolic Profile (CMP)
b. Hitung sel darah lengkap
c. Kreatinin fosfokinase dan urin myoglobin
d. Serum myoglobin
e. Toksikologi urin : dapat membantu menentukan penyebab, tetapi tidak
membantu dalam menentukan terapi pasiennya.
f. Urin awal : bila ditemukan myoglobin pada urin, hal ini dapat mengarah
ke diagnosis rhabdomyolisis.
g. Protrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin time (aPTTT)
2. Imaging
a. Rontgen : pada ekstremitas yang terkena.
b. USG
USG membantu untuk mengevaluasi aliran arteri dalam memvisualisasi
Deep Vein Thrombosis (DVT)

3. Pemeriksaan Lainnya
a. Pengukuran tekanan kompartemen

Gambar 2. Alat Pengukur Tekanan Kompartemen

b. Pulse oximetry
Sangat membantu dalam mengidentifikasi hipoperfusi ekstremitas, namun
tidak cukup sensitif.

2.1.8 Tatalaksana
Tujuan dari terapi sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi
neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, biasanya dengan
bedah dekompresi. Tindakan non-operatif tertentu mungkin bisa berhasil, seperti
menghilangkan selubung eksternal. Jika hal tersebut tidak berhasil maka tindakan
operasi dekompresi perlu dipertimbangkan. Indikasi mutlak untuk operasi
dekompresi sulit untuk ditentukan, tiap pasien dan tiap sindrom kompartemen
memiliki individualitas yang berpengaruh pada cara untuk menindaklanjutinya.
Berbeda dengan kompleksitas diagnosis, terapi kompartemen sindrom
sederhana yaitu fasciotomi kompartemen yang terlibat. Walaupun fasciotomi
disepakati sebagai terapi yang terbaik, namun beberapa hal, seperti timing, masih
diperdebatkan. Semua ahli bedah setuju bahwa adanya disfungsi neuromuskular
adalah indikasi mutlak untuk melakukan fasciotomi.
Penanganan sindrom kompartemen meliputi :
1. Terapi medikamentosa/non operatif
Pemilihan terapi secara medikamentosa digunakan apabila masih menduga
suatu sindrom kompartemen, yaitu :
a. Menempatkan ekstremitas yang terkena setinggi jantung, untuk
mempertahankan ketinggian kompartemen yang minimal, elevasi dihindari
karena dapat menurunkan aliran darah dan akan lebih memperberat iskemia.
b. Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka dan pembalut
konstriksi dilepas.
c. Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat
perkembangan sindrom kompartemen.
d. Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah.
e. Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakaian manitol dapat
mengurangi tekanan kompartemen. Manitol mereduksi edema seluler, dengan
memproduksi kembali energi seluler yang normal dan mereduksi sel otot
yang nekrosis melalui kemampuan dari radikal bebas.
2. Terapi pembedahan / operatif
Terapi operatif untuk sindrom kompartemen apabila tekanan
intrakompartemen lebih dari 30 mmHg memerlukan tindakan yang cepat dan
segera dilakukan fasciotomi. Tujuannya untuk menurunkan tekanan dengan
memperbaiki perfusi otot. Apabila tekanannya kurang dari 30 mmHg, tungkai
dapat diobservasi dengan cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya,
kalau keadaan tungkai itu membaik, evaluasi klinik yang berulang-ulang
dilanjutkan hingga bahaya telah terlewati. Kalau tidak ada perbaikan, atau
kalau tekanan kompartemen meningkat, fasiotomi harus segera dilakukan.
Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam. Ada dua teknik
dalam fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan insisi ganda. Tidak ada
keuntungan yang utama dari kedua teknik ini. Insisi ganda pada tungkai bawah
paling sering digunakan karena lebih aman dan lebih efektif, sedangkan insisi
tunggal membutuhkan diseksi yang lebih luas dan resiko kerusakan arteri dan
vena peroneal. Pada tungkai bawah, fasiotomi dapat berarti membuka ke empat
kompartemen, kalau perlu dengan mengeksisi satu segmen fibula. Luka harus
dibiarkan terbuka, kalau terdapat nekrosis otot, dapat dilakukan debridemen,
kalau jaringan sehat, luka dapat di jahit (tanpa regangan), atau dilakukan
pencangkokan kulit.
Terapi untuk sindrom kompartemen biasanya adalah operasi. Insisi
panjang dibuat pada fascia untuk menghilangkan tekanan yang meningkat di
dalamnya. Luka tersebut dibiarkan terbuka (ditutup dengan pembalut steril)
dan ditutup pada operasi kedua, biasanya 5 hari kemudian. kalau terdapat
nekrosis otot, dapat dilakukan debridemen, kalau jaringan sehat, luka dapat di
jahit (tanpa regangan), atau skin graft mungkin diperlukan untuk menutup luka
ini.
Indikasi untuk melakukan operasi dekompresi antara lain:
1. Adanya tanda-tanda sindrom kompartemen seperti nyeri hebat dan
2. Gambaran klinik yang meragukan dengan resiko tinggi (pasien koma, pasien
dengan masalah psikiatrik, dan dibawah pengaruh narkotik) dengan tekanan
jaringan lebih dari 30 mmHg pada pasien yang diharapkan memiliki tekanan
jaringan yang normal.
Bila ada indikasi, operasi dekompresi harus segera dilakukan karena
penundaan akan meningkatkan kemungkinan kerusakan jaringan
intrakompartemen.
Waktu adalah inti dari diagnosis dan terapi sindrom kompartemen.
Kerusakan nervus permanen mulai setelah 6 jam terjadinya hipertensi
intrakompartemen. Jika dicurigai adanya sindrom kompartemen, pengukuran
tekanan dan konsultasi yang diperlukan harus segera dilakukan secepatnya.
Beberapa teknik telah diterapkan untuk operasi dekompresi untuk
semua sindrom kompartemen akut. Prosedur ini dilakukan tanpa torniket untuk
mencegah terjadinya periode iskemia yang berkepanjangan dan operator juga
dapat memperkirakan derajat dari sirkulasi lokal yang akan didekompresi.
Setiap yang berpotensi membatasi ruang, termasuk kulit, dibuka di sepanjang
daerah kompartemen, semua kelompok otot harus lunak pada palpasi setelah
prosedur selesai. Debridemant otot harus seminimal mungkin selama operasi
dekompresi kecuali terdapat otot yang telah nekrosis.

2.1.9 Komplikasi
Tekanan yang tidak dapat teratasi dapat mengakibatkan terjadinya nekrosis
jaringan, saat perfusi kapiler mengalami gangguan terjadi hipoksia pada jaringan.
Hal ini dapat meningkatkan Volkman contracture. Bila semakin parah tidak
teratasi maka akan terjadi rhabdomyolis dan kidney failure.
Sindrom kompartemen dapat mengalami komplikasi antara lain :
1. Kerusakan saraf yang permanen
2. Infeksi
a.Sepsis
b. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
3. Deformitas kosmetik akibat fasciotomi
4. Kehilangan anggota tubuh
5. Kematian

2.1.10 Prognosis
Prognosis pada kasus sindrom kompartemen bisa menjadi baik atau
bertambah buruk, tergantung seberapa cepat penanganan kompartemen sindrom
dilaksanakan dan pada ada tidaknya komplikasi.

2.1.11 Pencegahan
1. Lakukan pemeriksaan dengan yang ahli dan dipantau
perkembangan
2. Hubungi atau kembali ke rumah sakit bila nyeri terasa berat, kaku,
sensasi terbakar atau kelemahan pada ekstremitas yang terkena.
3. Rujuk bila sindrom kompartemen disertai dengan :
a. ketidakmampuan atau tidak akurat dalam mendiagnosis sindrom
kompartemen karena keterbatasan alat atau diagnostik imaging
b. Penanganan dengan bedah yang tidak memadai
c. Tidak tersedianya fasilitas ICU

BAB III
PEMBAHASAN

Pasien datang dengan keluhan nyeri pada tungkai bawah kiri. Dari
anamnesis didapatkan bahwa pada awalnya pasien hanya mengeluhkan adanya
bercak berwarna merah kehitaman yang muncul tiba-tiba semakin lama semakin
melebar. Pasien juga mengeluhkan adanya nyeri yang semakin bertambah hebat,
bengkak, kesemutan dan kaki yang tidak bisa digerakkan. Hal ini menandakan
telah munculnya 3 dari 5 tanda klasik dari sindrom kompartemen yaitu pain,
paresthesia dan paralysis. Pasien menyangkal adanya trauma dan terkena gigitan
ular. Saat masuk rumah sakit pasien langsung menjalani fasciotomi.
Dari pemeriksaan fisik yang dilakukan lima hari setelah fasciotomi
didapatkan oedem dan eritem pada tungkai atas dan kaki kiri pasien. Selain itu,
juga terdapat nyeri tekan dan parestesi pada kaki kiri. Tungkai bawah pasien
masih dalam keadaan diperban setelah dilakukannya fasciotomi.
Dari anamnesis diperoleh 3 dari 5 tanda klasik sindrom kompartemen yaitu
pain, paresthesia, dan paralysis. Untuk 2 tanda yang lain (pallor dan pulseness)
mungkin dapat diperoleh dari pemeriksaan fisik sebelum pasien menjalani
fasciotomi, namun pemeriksaan fisik pada pasien ini dilakukan lima hari setelah
pasien menjalani fasciotomi sehingga tidak didapatkan lagi kedua tanda tersebut.
Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan
tekanan dalam suatu kompartemen sehingga mengakibatkan penekanan terhadap
saraf, pembuluh darah dan otot didalam kompartemen osteofasial yang tertutup.
Kompartemen merupakan daerah tertutup yang dibatasi oleh tulang, interosseus
membran, dan fascia, yang melibatkan jaringan otot, saraf dan pembuluh darah.
Secara anatomik, sebagian besar kompartemen terletak di anggota gerak. Sindrom
kompartemen paling sering terjadi di tungkai bawah dan lengan atas. Secara
klasik ada 5 P yang terkumpul dalam sindrom kompartemen Pain, Paresthesia,
Pallor, Paralysis, Pulseness.
Untuk penatalaksanaan sindrom kompartemen dapat dilakukan dengan
menempatkan ekstremitas yang terkena sejajar dengan jantung dan harus segera
dilakukan fasciotomi untuk mencegah kerusakan jaringan intrakompartemen.
Pada pasien ini fasciotomi dilakukan segera setelah pasien dirawat di rumah sakit.
Penatalaksanan yang dianjurkan pada pasien ini meliputi ketorolac sebagai
analgesik untuk mengurangi nyeri yang dirasakan oleh pasien. Ceftriaxon dan
gentamisin diberikan sebagai antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi pada
pasien ini. Pada pasien ini juga diberikan ranitidine untuk mencegah stress ulcer.
DAFTAR PUSTAKA

Apley, A Grahm. Solomo, Louis. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur system Apley.
Edisi ketujuh. 1995. Jakarta: Widya Medika.
Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi kedua. 2005.
Jakarta : EGC.
Snell, Richard S.Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi keenam.
2006. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai