Pneumo Thorak
Pneumo Thorak
Pembimbing :
Disusun oleh :
2014
LEMBAR PENGESAHAN
Disusun oleh :
Mengetahui,
Pembimbing
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. S
Usia : 65 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Suku/bangsa : Jawa
Pekerjaan : 10 tahun terakhir hanya beraktifitas di rumah
Alamat : Segaralangu, RT 6/II Cipari, Cilacap
Tanggal/Jam Masuk : 14 Juni 2014, Pukul 01.20 WIB
Tanggal Pemeriksaan : 16 Juni 2014, Pukul 15.00 WIB
No CM : 00763596
II. SUBJEKTIF
1. Keluhan Utama
Sesak nafas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh sesak nafas berat sejak tanggal 2/6/2014, 7 hari setelah
pasien pulang dirawat inap di Puskesmas Cipari oleh sebab batuk, pilek, dan
demam. Sepulang dari rawat inap di Puskesmas kondisi pasien membaik, pasien
mampu beraktifitas di rumah seperti biasa selama + 1 minggu. Oleh sebab yang
tidak diketahui, pasien mengeluhkan sesak nafas berat yang tidak disertai bunyi
ngik-ngik, dirasakan seperti ada sesuatu yang berat yang menindih dadanya hingga
terasa sulit untuk menarik dan menghembuskan nafas serta berlangsung terus
menerus, sehingga oleh pihak keluarga pasien dibawa kembali ke Puskesmas
Cipari namun oleh pihak Puskesmas dirujuk ke RSUD Majenang dan dirawat
selama 12 hari.
Selama menjalani perawatan di RSUD Majenang, pasien mengaku keluhan
sesak nafas berkurang setelah diberikan terapi penguapan dan memposisikan
dirinya setengah duduk menggunakan bantal tinggi. Akan tetapi, pada 3 hari
terakhir perawatan di RSUD Majenang keluhan sesak nafas dirasakan memberat
dan mengganggu tidur malam sehingga oleh pihak RSUD Majenang pasien dirujuk
ke RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo (RSMS) Purwokerto pada tanggal 14/6/14.
Pasien mengaku sudah merasa sesak nafas sejak 10 tahun yang lalu, namun
keluhan sesak nafas dirasakan hilang timbul dan tidak mengganggu aktifitas. Sesak
nafas dirasakan terutama setelah pasien melakukan aktifitas yang cukup berat dan
mereda ketika beristirahat dan memposisikan diri setengah duduk. Oleh sebab itu,
pasien menghentikan kegiatannya bertani dan hanya beraktifitas di rumah saja.
Pasien mengaku tidak pernah mengalami bengkak-bengkak di kaki dan nyeri dada.
Kesan: - Corakan bronkovaskuler menghilang pada bagian thorax kanan, paru kanan kolaps
- Cor dalam batas normal
RESUME
1. Anamnesis
a. Sesak nafas berat dirasakan muncul 12 hari sebelum masuk RSMS, 7 hari
setelah pulang dari perawatan di Puskesmas selama 4 hari oleh karena batuk,
pilek, dan demam. Selama 12 hari dirawat di RSUD Majenang, keluhan
berkurang dengan posisi setengah duduk dan pemberian nebulizer. 3 hari
sebelum masuk RSMS keluhan sesak memberat sehingga mengganggu
istirahat malam.
b. Sesak nafas pertama kali muncul sejak 10 tahun terakhir, namun hanya
bersifat kambuh-kambuhan, muncul setelah beraktifitas berat, serta tidak
mengganggu aktifitas.
c. Pasien adalah mantan perokok aktif selama + 35 tahun dan teman-teman di
lingkungan kerja dan tempat tinggalnya juga perokok aktif. Pasien berhenti
merokok sejak 10 tahun terakhir.
2. Pemeriksaan Fisik
Ku/ Kes : Sedang / CM
Vital Sign
- Tekanan Darah : 110/80 mmHg
- Nadi : 88 x/menit
- RR : 24 x/menit
- Suhu : 36,5 oC (axillar)
Paru
- Inspeksi : dada simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi (-), jejas (-)
- Palpasi : vocal fremitus kanan < kiri
Tidak ada ketinggalan gerak, kanan = kiri
- Perkusi : hipersonor di lapang paru kanan, sonor pada lapang paru kiri
- Auskultasi : suara dasar vesikuler kanan < kiri
Suara inspirasi < ekspirasi, suara tambahan rhonki basah kasar
(-), rhonki basah halus (-) di kedua lapang paru, tidak
ditemukan wheezing parahiler.
RO thorax:
- Corakan bronkovaskuler menghilang pada bagian thoraks kanan, paru kanan
kolaps
- Kesan cor dalam batas normal
ASSESSMENT
1. Diagnosis Klinis:
Pneumothorax dextra pada bekas TB paru
PPOK
CAP (Community Acquired Pneumonia)
IV. PLANNING
1. Diagnosis Kerja:
Pneumothorax dextra pada bekas TB paru
PPOK
CAP
2. Terapi
a. Farmakologi
- O2 4 LPM NK
- Nebuliser ventolin + fluoxetide/12 jam
- IVFD RL 20 tpm
- Inj ceftriaxon 1 x 2 gram
- Inj rantin 2 x 50 mg
- Inj ketorolac 2 x 30 mg
- po fartolyn syr 60 ml, 3 x 1 cth
- po laxadyn syr 60 ml, 1 x 2 cth
b. Dekompresi dengan pemasangan WSD (dapat dilanjutkan dengan continous
suction)
c. Non Farmakologi
- Bed rest, menghindari aktifitas berat seperti mengangkat beban
- Edukasi agar tidak batuk, bersin dan mengejan terlalu keras agar tidak
menambah buruk kondisi pneumothoraks
- Edukasi tentang PPOK, menghindari pencetus atau faktor risiko seperti zat-
zat kimia seperti asap rokok, asap hasil pembakaran (sampah, kayu bakar,
dll), polusi udara yang merupakan faktor resiko yang dapat memperberat
PPOK
- Pengenalan tanda-tanda eksaserbasi (batuk atau sesak bertambah, produksi
dahak bertambah atau berubah warna)
- Minum dan makanan bergizi. Memperbanyak konsumsi buah dan sayuran
berserat agar memperlancar defekasi, mengurangi konsumsi makanan
berlemak dan berminyak untuk meminimalisasi risiko penyakit akibat
kelainan jantung dan pembuluh darah mengingat kondisi pasien dengan usia
lanjut.
3. Monitoring
a. Keadaan umum dan kesadaran
b. Tanda vital
c. Gejala klinis
d. Fungsi paru
e. Respon terapi
f. Nutrisi
4. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam
BAB II
PEMBAHASAN
PNEUMOTHORAKS
A. DEFINISI
Pneumothoraks adalah suatu kondisi dimana terjadi akumulasi udara pada cavum
pleura yang dapat terjadi secara spontan atau pasca traumatik (Patel dan Gwilt, 2008).
B. ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI
Pneumothorax diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis berdasarkan beberapa
kriteria sebagai berikut (Alsagaf dan Pradjoko, 2010):
1. Berdasarkan Terjadinya
a. Pneumothorax spontan
Pneumothorax yang terjadi tiba-tiba tanpa adanya suatu penyebab trauma
atau kecelakaan. Terdiri dari pneumothorax spontan primer, dimana
pneumothorax terjadi tanpa adanya penyakit paru yang mendasari dan
pneumothorax spontan sekunder, dimana pneumothorax disebabkan oleh adanya
penyakit paru yang mendasari seperti TB paru, PPOK, asma bronkiale,
pneumonia, tumor paru, dll (Hisyam dan Budiono, 2009).
b. Pneumothorax traumatik
Pneumothorax yang terjadi akibat suatu trauma, baik trauma penetrasi atau
kontusio yang dapat menyebabkan robeknya pleura, dinding dada, ataupun paru.
Berdasarkan kejadiannya, pneumothorax traumatik dibedakan menjadi
pneumothorax traumatik non iatrogenik yang disebabkan oleh jejas kecelakaan
dan pneumothorax traumatik artifisial yang disebabkan adanya tindakan tertentu
atau memang disengaja dilakukan untuk tujuan tertentu (Hisyam dan Budiono,
2009).
2. Berdasarkan Lokasi
a. Pneumothorax parietalis
b. Pneumothorax mediastinalis
c. Pneumothorax basalis
3. Berdasarkan Derajat Kolaps
a. Pneumothorax totalis
b. Pneumothorax parsialis
Derajat kolaps paru pada pneumothorax dapat dinyatakan dalam persen dan
dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
Luas hemithorax (A x B) Luas paru yang kolaps (a x b) : (A x B) x 100 %
( ) ( )
100 %
C. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Anamnesis pada pasien dimulai dari penemuan faktor resiko dan gejala yang
muncul pada pasien. Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan),
dan adanya riwayat pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun polusi
tempat kerja (PDPI, 2003). Gejala klinis yang dapat ditemui pada pasien PPOK antara
lain batuk kronis, batuk berdahak, dan juga sesak nafas. Batuk kronik adalah batuk
hilang timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan.
Kadang-kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk.
Selain itu, Sesak napas merupakan gejala yang sering dikeluhkan pasien terutama pada
saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak
napas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan (GOLD,
2009).
Pemeriksaan fisik pada PPOK dimulai dari inspeksi dapat berupa bentuk dada
seperti tong (barrel chest), terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang
meniup), terlihat penggunaan dan hipertrofi otot-otot bantu napas, pelebaran sela iga,
dan bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat distensi vena jugularis dan edema
tungkai. Pada perkusi biasanya ditemukan adanya hipersonor. Pemeriksaan auskultasi
dapat ditemukan fremitus melemah, suara napas vesikuler melemah atau normal,
ekspirasi memanjang, ronki, dan mengi (PDPI, 2003). Laboratorium darah rutin yang
sebaiknya diperiksa pada penderita PPOK adalah Haemoglobin, Hematocrit, dan
Leukosit (PDPI, 2003).
Pemeriksaan penunjang pada PPOK antara lain Spirometri, Radiologi,
Laboraturium darah rutin, Analisa Gas Darah, dan Mikrobiologi sputum. Pada spirometri
(VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP), obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1
prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%). VEP1 merupakan parameter yang paling umum
dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. Apabila
spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang
tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi dan
sore, tidak lebih dari 20% (PDPI, 2003).
Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemukan kelainan paru berupa hiperinflasi
atau hiperlusen, diafragma mendatar, corakan bronkovaskuler meningkat, jantung
pendulum, dan ruang retrosternal melebar. Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan
radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi
juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan
diagnosis banding dari keluhan pasien (GOLD, 2009).
Diagnosis PPOK pada pasien ini ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan foto thoraks PA.
1. Anamnesis
1) Sesak nafas pertama kali sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit, dan dirasa
terus menerus dan semakin memberat hingga mengganggu aktivitas sejak 2 hari
sebelum masuk rumah sakit
2) Batuk berdahak warna putih kental, demam hilang timbul, pilek dengan cairan
hidung berwarna putih encer, nafsu makan menurun dan pusing
3) Pasien adalah perokok aktif, dan teman-teman di lingkungan kerjanya juga
perokok aktif.
4) Riwayat memasak dengan menggunakan tungku.
2. Pemeriksaan Fisik
1) Suara ekspirasi memanjang, suara tambahan rhonki basah kasar (-), rhonki
basah halus (+) di kedua lapang paru,
3. Foto thorax PA
1) Emfisematous lung dengan infiltrat di kedua lapang paru terutama paracardial
sinistra dengan air broncogram prominen
2) Cor dalam batas normal
D. KLASIFIKASI PPOK
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2007,
dibagi atas 4 derajat (Antonio et all, 2007):
a. Derajat I: PPOK ringan
Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum). Keterbatasan aliran udara
ringan Volume Ekspirasi Paksa Detik 1 (VEP1) /Kapasitas Vital Paksa(KVP)< 70%;
VEP1> 80% Prediksi). Pada derajat ini, orang tersebut mungkin tidak menyadari
bahwa fungsi parunya abnormal.
b. Derajat II: PPOK sedang
Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP1 / KVP < 70%; 50% < VEP1<
80%), disertai dengan adanya pemendekan dalam bernafas. Dalam tingkat ini pasien
biasanya mulai mencari pengobatan oleh karena sesak nafas yang dialaminya.
c. Derajat III: PPOK berat
Ditandai dengan keterbatasan / hambatan aliran udara yang semakin memburuk
(VEP1 / KVP < 70%; 30% < VEP1 < 50% prediksi). Terjadi sesak nafas yang semakin
memberat, penurunan kapasitas latihan dan eksaserbasi yang berulang yang
berdampak pada kualitas hidup pasien.
d. Derajat IV: PPOK sangat berat
Keterbatasan / hambatan aliran udara yang berat (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 < 30%
prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi ditambah dengan adanya gagal nafas kronik dan
gagal jantung kanan.
E. PATOGENESIS PPOK
Alsagaf, Hood dan Isnu Pradjoko. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru 2010. Surabaya:
FK Unair
Hisyam, Barnawi dan Eko Budiono. 2009. Pneumothoraks Spontan, dalam Buku Ajar
Ilmu penyakit Dalam, edisi V jilid II. Jakarta : Interna Publishing
Patel, Harish dan Catherine Gwilt. 2008. Crash Course: Respiratory System, 3rd edition.
London: Elseiver
PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia). 2003. Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : PDPI
R/ Fartolyn syr 60 ml fl no I
S 3 dd I cth p.c
R/ Laxadyn syr 60 ml fl no I
S 1 dd II cth p.c.
Pro: Tn. S
Usia: 65 tahun
Alamat: Segaralangu RT 06/II Kec. Cipari, Cilacap