Anda di halaman 1dari 9

Nilai dan Amanah Yang Terkandung Dalam Novel Sang Pemimpi

Tugas ini disusun guna memenuhi Ujian Akhir Semester mata kuliah Fiksi

Dosen Pengampu: Pror. Dr. Burhan Nurgiyantoro

Disusun oleh:

Fathul Hidayati (09201244054)

PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2011
Nilai dan Amanah Yang Terkandung Dalam Novel Sang Pemimpi

Amanat pada dasarnya merupakan pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada
pembaca atau penonton (Wiyatmi, 2009: 49).

Moral merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca,
merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya, makna yang disarankan lewat
cerita (Via, Nurgiantoro, 2010: 320).

Setiap karya sastra pasti memiliki sebuah pesan dan nilai dalam cerita. Sebuah cerita
dibuat melalui pengalaman hidup yang diberi daya khayal. Di mana memberikan
pelajaran yang bernilai di dalamnya. Pengarang menciptakan sebuah cerita tidak hanya
asal menuangkan tulisan saja. Namun membutuhkan pemikiran yang lama. Amanat
dan nilai yang terkandung dalam cerita menjadikan sebuah pelajaran bagi semua
pembaca.

Pada setiap karya sastra dan pengarang memiliki nilai pesan tersendiri. Dengan nilai
tersebut pembaca dapat menerapkan tindakan yang positif dan menjauhi tindakan yang
negative. Secara tidak langsung amanat yang ada dalam karya sastra tersebut memberi
pelajaran pada pembaca. Dalam novel Sang Pemimpi banyak mengandung nilai
pendidikan. Di mana Arai dan Ikal berjuang demi mewujudkan mimpinya untuk dapat
menginjakkan kaki ke altar suci almamater Sorbonne dan menjelajahi Eropa sampai ke
Afrika.

Perjuangan anak Belitong yang ingin tetap bersekolah menuntut ilmu. Walau mereka
harus berpisah dengan keluarganya agar dapat terus bersekolah demi impiannya
terwujud. Terlihat pada kutipan berikut.

Karena di kampung kami tidak ada SMA, setelah tamat SMP, aku, Arai, dan
Jimbron merantau ke Magai untuk sekolah di SMA negeri.....(Sang Pemimpi,
2009: 55).
Mereka berani bermimpi setelah Pak Balia mengatakan sesuatu yang menghujam hati
Arai. Mimpi-mimpi yang mustahil untuk dapat mencapainya. Sejak itu semangat Arai
makin bertambah. Aria bertekad akan menjadi salah satu orang yang bisa
menginjakkan kaki di sana. Pak Balia mengatakan:

Setiap peristiwa di jagad raya ini adalah potongan mozaik. Terserak di sana-sini,
tersebar dalam rentang waktu dan ruang. Namun, perlahan potongan itu akan
bersatu membentuk bak montase Antoni Gaudi. Mozaik-mozaik itu akan
membangun siapa dirimu dewasa nanti. Lalu, apa pun yang kaukerjakan dalam
hidupmu akan bergema dalam keabadian (Sang Pemimpi, 2009: 60).
Jelajahi kemegahan Eropa sampai ke Afrika. Temukan berliannya budaya sampai
ke Prancis. Langkahkan kakimu di atas altar suci almamater terhebat tiada tara:
Sorbonne. Ikutilah jejak Sartre, Louis Pasteur, sastra , dan seni hingga mengubah
peradaban! (Sang Pemimpi, 2009: 61).
Kerja keras yang telah mereka lakukan sebelumnya bersama dengan Jimbron. Dalam
meraih mimpinya bersama-sama menginjakkan kaki ke altar suci almamater Sorbonne
dan menjelajahi Eropa sampai ke Afrika. Arai, Ikal, dan Jimbron tidak pernah merasa
lelah dalam bekerja dari subuh hingga malam hari. Mereka kerjakan dengan hati yang
senang demi mewujudkan mimpinya. Walau kadang mereka merasa lelah tapi, apa
yang mereka cita-citakan tidak pernah mereka padam.

Arai dan Ikal selalu yakin bahwa mereka bisa mewujudkan impiannya. Mereka merasa
tertantang akan pesan Ibu Muslimah.

Jangan pernah pulang sebelum jadi sarjana, pesan Ibu Muslimah, guru SD-ku.
Di sampingnya, Pak Mustar mengangguk-angguk. Mereka tersenyum ketika kami
menyalami mereka karena mereka tahu itu pertanda kami menerima tantangan itu
(Sang Pemimpi, 2009: 206).
Bagi orang Melayu sekolah bukanlah sesuatu yang main-main. Jika mereka tidak bisa
mendudukkan orangtuanya di garda depan, maka mereka telah mempermalukan
orangtua mereka. Begitupun dalam menuntut ilmu. Arai dan Ikal tidak pernah
menyerah. Lulus SMA Arai dan Ikal merantau ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah
disana. Langkah awal sebelum menuju kota Prancis. Perjalanan di kapal yang
membuat mereka lemas tapi tetap semangat.

Orangtua mereka juga tidak meminta balas akan pendidikan yang telah diberikannya
sejak kecil. Orngtua mereka hanya berharap dapat mengenalkan anaknya pada arti
pendidikan. Orangtua mereka tidak ingin anaknya mengikuti jejak mereka yang tidak
memperoleh pendidikan.

Di pekarangan rumah, Ibu menengadahkan wajah ke langit dan mengangkat kedua


tangannya. Dia berdoa. Kedua orangtuaku adalah rakyat Indonesia yang tak
tersentuh sistem pendidikan. Orang seperti mereka tak pernah dikenal oleh
menteri pendidikan. Tapi, apa yang mereka lakukan selama dua hari dei
mengambil raporku, cukuplah bagiku untuk menunjukkan arti pendidikanku bagi
mereka (Sang Pemimpi, 2009: 79).
Ikal yang tadinya tidak yakin akan bisa melangkahkan kaki keluar dari tanah
kelahirannya. Ikal mengikuti keyakinan Arai yang dapat membawanya menuju impian.
Tanpa tersadari perjuangan yang mereka lakukan membawanya diterima di Universite
de Paris, Sorbonne, Prancis. Ikal dan Arai kembali belajar bersama di Universite de
Paris, Sorbonne, Prancis.

Raihlah cita-citamu dan wujudkan impianmu untuk melangkah menatap masa depan.
Jangan pernah menyerah dalam menghadapi rintangan.

Biar kau tahu, Ikal, orang seperti kita tak punya apa-apa, kecuali semangat dan
mimpi-mimpi, dan kita akan bertempur habis-habisan demi mimpi-mimpi itu!
(Sang Pemimpi, 2009: 143)
Usaha dalam menuntut ilmu akan sia-sia jika tanpa tujuan. Impian menjadi semangat
dalam merubah masa depan menjadi yang lebih baik.


Tanpa mimpi, orang seperti kita akan mati. (Sang Pemimpi, 2009: 143)
Bermimpilah setinggi-tingginya sebagai penyemangat dalam menuntut ilmu. Supaya
ilmu yang telah didapatkan tidak sia-sia terbuat. Walau hanya mimpi, suatu saat akan
terwujud.

Daftar Pustaka

Wiyatmi. 2009. Pengkajian Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.


Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Aku beranjak membawa suratku dan duduk di tangga rumah panggung. Ayah dan
ibu mengikutiku, lalu duduk di kiri kananku. Aku tak sanggup membaca surat itu,
maka kuserahkan kepada ibu. Ayah menunggu dengan gugup. Aku memalingkan
muka. Ibu membuka surat itu pelan-pelan dan membacanya. Dia tercenung lalu
mengangkat wajahnya, memandang jauh, matanya berkaca-kaca. Detik itu aku
langsung tahu bahwa aku lulus. Aku terbelalak ketika membaca nama universitas
yang menerimaku (Sang Pemimpi, 2009: 245).

.
Dari ambang pintu, kami melihat wajah Arai sembap berurai air mata. Dia
membekap erat foto ayah-ibunya serta surat keputusan beasiswa itu. dia menatap
kami dengan pandangan penuh kerinduan. Kerinduan pada ayah-bunya. Seumur
hidupku tak pernah aku melihat Arai menangis, tak pernah melihatnya begitu
sedih. Air mata berjatuhan membasahi bingkai plastic foto itu, membasahi kertas
tebal yang mengkilat yang dipegangnya bergetar-getar. Kami masih berdiri
mematung di ambang pintu ketika dia mengatakan dengan lirih sambil tersedu
sedan, Aku lulus. (Sang Pemimpi, 2009: 246).

Pesan religius
Setelah pulang sekolah, jangan harap kami bisa berkeliaran. Mengaji dan mengaji
Al-Quran sampai khatam berkali-kali. Kalau tamat SD belum hafal Juz Amma,
siap-siap saja dimasukkan ke dalam beduk dan beduknya dipukul keras-keras
sehingga ketika keluar berjalan zig-zag seperti ayam mabuk (Sang Pemimpi,
2009: 47).

Aku dan Arai sering dihukum Taikong Hamim. Karena napasku tak panjang kalau
mengaji, pada suatu subuh yang dingin, aku disuruh menimba air dan mengisi
tong sampai penih. Lalu, aku dipaksa menyelam ke dalam tong itu sambil
membawa jeriken lima liter. Leher jeriken itukecil sekali dan aku tidak boleh
timbul sebelum jeriken itu penuh. Aku megap-megap dengan bibir membiru dan
mata mau meloncat. Aria lebih parah. Karena terlambat sholat subuh, dia disuruh
berlari mengelilingi masjid sambil memikul gulungan kasur. Kami terpingkal-
pingkal melihatnya pontang-panting seperti orang kebakaran rumah (Sang
Pemimpi, 2009: 47-48).
Taikong Hamim melakukan hal tersebut agar nantinya setelah dewasa mereka tidak
melalaikan kewajiban agamanya. Apa yang mereka dapatkan tidak mudah mereka
lupakan begitu saja. Membuat mereka juga harus selalu mengutamakan ibadah.
Kebiasaan yang tidak dilakukan sedari kecil akan membuat mereka melupakannya
begitu saja saat dewasa. Pergaulan bebas yang semaki marak bisa menggoyahkan iman
mereka.
Pesan kritik sosial
Buktinya, jika tiba hari pembagian rapor, ayah mengambil cuti dua hari dari
menyekop xenotim di instalasi pencucian timah: wasrai. Hari pembagian raporku,
dan rapr Arai, adalah hari besar bagi ayah layaknya hari Maulud Nabi-peringatan
lahirnya Nabi Muhammad-bagi umat Islam (Sang Pemimpi, 2009: 76).
Bentuk penyampaian langsung
Aku sangat mafhum bahwa tabunganku tak akan pernah membawaku keluar dari
pulau kecil Belitong yang bau karat ini. Bagi kami, harapan sekolah ke Prancis tak
ubahnya pungguk merindukan dipeluk purnama, serupa kodok ingin dicium putri
agar berubah jadi pangeran. Altar suci almamater Sorbonne, menjelajah Eropa
sampai ke Afrika, hanyalah muslihat untuk menipu tubuh yang lelah agar tegar
bangun pukul dua pagi setiap hari untuk memikul ikan, untuk menyambung
hidup. Jika seluruh cita-cita itu disaring, yang tersisa hanyalah tiga orang anak
muda Melayuyang menggadaikan seluruh kesenangan masa muda pada kehidupan
dermaga yang keras, tanpa pilihan dan belas kasihan (Sang Pemimpi, 2009: 133-
134).
Melihatku pilu, kupikir Arai akan ikut terharu, tapi dia malah tersenyum. Lalu,
pelan-pelan dia merogohkan tangan ke dalam karung kecapangnya. Air
mukanyamemberi kesan kalau dia memiliki sebuah benda ajaib nan rahasia (Sang
Pemimpi, 2009: 20-21).
Sejak aksinya di bak truk kopra tempo hari, aku mengerti bahwa dia adalah
pribadi yang istimewa. Meskipun perasaannnya telah luluh lantak pada usia sangat
muda, dia berjiwa besar. Mengingat masa lalunya yang pilu, aku kagum pada
kepribadiannya dan gaya hidupnya. Kesediahna hanya tampak padanya ketika dia
mengaji Al-Quran. Dihadapan kitab suci itu, dia seperti orang mengadu, seperti
yang takluk, seperti orang yang lelah berjuang melawan rasa kehilangan pada
seluruh orang yang dicintainya (Sang Pemimpi, 2009: 26-27).
Bentuk penyampaian tidak langsung
keterlaluan! Orang sepertimu patut dibuat sekandang dengan Malin Kundang!
Anak durhaka! Itulah orang sepertiu kalau kau ingin tahu! Sangkamu kau siapa?
Kau piker bisa menjaga kursimu dengan belajar sekehendak hatimu? (Sang
Pemimpi, 2009: 137)
Jangan pernah pulang sebelum jadi sarjana, pesan Ibu Muslimah, guru SD-ku.
Di sampingnya, Pak Mustar mengangguk-angguk. Mereka tersenyum ketika kami
menyalami mereka karena mereka tahu itu pertanda kami menerima tantangan itu
(Sang Pemimpi, 2009: 206).
Pendidikan
Penyemangat
Setiap peristiwa di jagad raya ini adalah potongan mozaik. Terserak di sana-sini,
tersebar dalam rentang waktu dan ruang. Namun, perlahan potongan itu akan
bersatu membentuk bak montase Antoni Gaudi. Mozaik-mozaik itu akan
membangun siapa dirimu dewasa nanti. Lalu, apa pun yang kaukerjakan dalam
hidupmu akan bergema dalam keabadian (Sang Pemimpi, 2009: 60).
Jelajahi kemegahan Eropa sampai ke Afrika. Temukan berliannya budaya sampai
ke Prancis. Langkahkan kakimu di atas alatar suci almamater terhebat tiada tara:
Sorbonne. Ikutilah jejak Sartre, Louis Pasteur, sastra , dan seni hingga mengubah
peradaban! (Sang Pemimpi, 2009: 61).
sepuluh terbaik itu adalah anak-anak Melayu avant gare, garda depan, katanya
bangga ketika mengenalkan konsepnya pada rapat orangtua murid. Artinya, tak
satu pun orang Melayu boleh main-main soal sekolah. Ini perkara serius! (Sang
Pemimpi, 2009: 80-81)
Biar kau tahu, Ikal, orang seperti kita tak punya apa-apa, kecuali semangat dan
mimpi-mimpi, dan kita akan bertempur habis-habisan demi mimpi-mimpi itu!
(Sang Pemimpi, 2009: 143)

Tanpa mimpi, orang seperti kita akan mati. (Sang Pemimpi, 2009: 143)
Harapan orangtua
Di pekarangan rumah, Ibu menengadahkan wajah ke langit dan mengangkat kedua
tangannya. Dia berdoa. Kedua orangtuaku adalah rakyat Indonesia yang tak
tersentuh sistem pendidikan. Orang seperti mereka tak pernah dikenal oleh
menteri pendidikan. Tapi, apa yang mereka lakukan selama dua hari dei
mengambil raporku, cukuplah bagiku untuk menunjukkan arti pendidikanku bagi
mereka (Sang Pemimpi, 2009: 79).
Semangat
Aku selalu berlari. Aku suka berlari. Aku berlari berangkat sekolah. Aku senag
berlari menerobos hujan, seperti selendang menembus tirai air berlapis-lapis. Aku
tak pernah lelah berlari. Tubuhku ringan. Jika berlari, aku merasa seperti orang
Indian, aku merasa menjadi layingan kertas kajang berwarna-warni, aku merasa
seumpama anak panahyang meluncur deras menerabas angin (Sang Pemimpi,
2009: 131).
.
Berbekal selembar ijazah SMA, kami tak kunjung mendapatkan pekerjaan.
Bahkan, hanya sekedar ingin menjadi penjaga toko susahnya minta ampun (Sang
Pemimpi, 2009: 224).
Meskipun sibuk bekerja menyortir surat, aku tak lupa akan cita-cita awalku dan
Arai untuk kuliah. Sambil bekerja, aku mempersiapkan diri untuk tes masuk ke
Universitas Indonesia. tahun berikutnya aku diterima di sana (Sang Pemimpi,
2009: 231).
.
Tak lama kemudian, aku membaca pengumuman beasiswa pemdidikan strata dua
yang dibuka oleh Uni Eropa. Aku mendaftar dan mengikuti berbagai macam tes.
Aku melewati tahap-tahap tes dengan sukses sampai pada akhir penentu (Sang
Pemimpi, 2009: 237).
Aku beranjak membawa suratku dan duduk di tangga rumah panggung. Ayah dan
ibu mengikutiku, lalu duduk di kiri kananku. Aku tak sanggup membaca surat itu,
maka kuserahkan kepada ibu. Ayah menunggu dengan gugup. Aku memalingkan
muka. Ibu membuka surat itu pelan-pelan dan membacanya. Dia tercenung lalu
mengangkat wajahnya, memandang jauh, matanya berkaca-kaca. Detik itu aku
langsung tahu bahwa aku lulus. Aku terbelalak ketika membaca nama universitas
yang menerimaku (Sang Pemimpi, 2009: 245).

Anda mungkin juga menyukai