Anda di halaman 1dari 10

KAMPUNG ADAT NAGA DI KABUPATEN TASIKMALAYA JAWA BARAT

oleh : Nandang Rusnandar


Tulisan ini, bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai berbagai tradisi yang masih
hidup dan dipertahankan oleh masyarakat Kampung adat. Dan diharapkan dapat
dijadikan bahan masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dengan masalah
kebudayaan. Juga bisa dijadikan sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam
menyusun dan mengoperasionalkan program-program pembangunan dengan
mempertimbangkan aspek-aspek budaya masyarakat.
Kebudayaan adalah hasil kreativitas manusia untuk menghadapi tantangan hidupnya.
Atau merupakan hasil kumulasi dari seluruh aspek kehidupan masyarakat pendukungnya
dalam memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, kebudayaan merupakan satu kesatuan
yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan nyata. Kebudayaan bukanlah milik
perseorangan melainkan milik masyarakat. Oleh karena itu, kebudayaan dan masyarakat
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kebudayaan
tidak mungkin timbul tanpa adanya masyarakat dan eksistensi masyarakat itu sendiri
dimungkinkan oleh adanya kebudayaan (Harsojo, 1982 : 144). Kesinambungan hidup,
masyarakat dari masa ke masa terjaga dengan adanya kebudayaan, melalui
pewarisan sejumlah tradisi yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat
dan merupakan akumulasi kebiasaan-kebiasaan hidup yang telah diakui keberadaannya
oleh masyarakat tersebut. Yudistira Garna dalam makalahnya mengenai perubahan sosial
di Indonesia menjelaskan bahwa tradisi yang ada di dalam setiap masyarakat adalah
tatanan sosial yang berwujud mapan, baik mapan sebagai bentuk hubungan antara unsur-
unsur kehidupan maupun sebagai bentuk aturan sosial yang memberi pedoman tingkah
laku dan tindakan anggota suatu masyarakat. Tak mengherankan kalau tradisi merupakan
warisan sosial budaya yang selalu ingin dipertahankan oleh warga masyarakat
pendukungnya sebagai identitas penting kehidupan mereka. Selanjutnya dikatakan bahwa
dalam suatu kebudayaan selalu ada suatu kebebasan tertentu pada para
individu. Kebebasan individu tersebut memperkenalkan variasi dalam cara-cara berlaku
dan variasi itu pada akhirnya dapat menjadi milik bersama.Dengan demikian, di
kemudian hari ia akan menjadi bagian dari kebudayaan atau mungkin beberapa aspek dari
lingkungannya akan mempengaruhi perubahan yang memerlukan proses adaptasi.
Gelombang modernisasi merupakan fenomena sosial yang menyertai dinamika hidup
masyarakat. Modernisasi yang dalam hal ini diartikan sebagai usaha untuk hidup sesuai
dengan jaman dan konstelasi dunia sekarang (Koentjaraningrat, 1983 : 140-141), semakin
dipertajam dengan berlangsungnya era globalisasi seperti sekarang ini, yang merebak ke
dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Modernisasi sebagai konsep dalam
kepustakaan ilmu-ilmu sosial dapat diartikan sebagai suatu sikap pikiran yang
mempunyai kecenderungan untuk mendahulukan sesuatu yang baru daripada yang
bersifat tradisi, dan satu pikiran yang hendak menyesuaikan soal-soal yang sudah
menetap dan menjadi adat kepada kebutuhan-kebutuhan yang baru (Harsojo, 1982 : 265).
Sementara itu globalisasi / era kejagatan seringkali dimuati unsur-unsur budaya asing
yang keberadaannya perlu dikaji lebih jauh kesesuaiannya dengan kebudayaan kita.
Menghadapi fenomena-fenomena sosial tersebut, tatanan hidup masyarakat yang berupa
sejumlah tradisi penting dan menjadi pedoman hidup suatu masyarakat eksistensinya
dipertaruhkan. Dalam hal ini, Yudistira Garna berpendapat bahwa pengaruh luar
cenderung merupakan suatu kekuatan mutlak yang tidak mudah ditolak oleh masyarakat
setempat, tetapi walaupun demikian kebudayaan tradisional memiliki mekanisme untuk
menghindarkan diri atau memiliki strategi budaya yang tidak secara mentah-mentah
tertelan pengaruh luar tersebut. Lebih jauh dijelaskan bahwa dinamika sosial yang terjadi
ditunjukkan oleh cara-cara pengambilalihan unsur sosial atau budaya luar yang karena
menghadapi ruang dan waktu memerlukan sikap dan tindakan yang akomodatif dari para
anggota masyarakat yang hakekatnya tiada lain adalah untuk mengembangkan kehidupan
mereka.
Negara Republik Indonesia yang wilayahnya sangat luas, merupakan sebuah negara besar
yang dihuni oleh penduduk dalam jumlah yang besar pula, yakni lebih dari 260 juta jiwa.
Penduduk di wilayah tersebut terdiri atas sejumlah kelompok masyarakat yang tinggal
menyebar di berbagai pulau yang membentang dari ujung barat hingga ke ujung timur.
Kelompok-kelompok masyarakat tersebut memiliki latar belakang budaya yang berbeda
satu sama lainnya, dan perbedaan tersebut dapat memberikan gambaran jati diri yang
khas bagi setiap kelompok masyarakat yang memilikinya. Sudah tentu beragamnya
kelompok masyarakat berikut karakteristik budaya yang mereka miliki mewarnai
kehidupan berbangsa dan bernegara. Melihat kenyataan bahwa masyarakat Indonesia
sangat heterogen, sudah tentu tidaklah mudah untuk menciptakan kondisi yang selaras
dengan tujuan pembangunan nasional. Ada kemungkinan karena mereka dapat menerima
pembaharuan atau modernisasi, baik yang berasal dari program-program pembangunan
maupun yang diperoleh melalui arus informasi akibat desakan globalisasi yang terjadi
pada saat ini. Namun tak bisa dipungkiri pula kalau hingga kini pun masih tersisa
sejumlah kelompok masyarakat yang tak perduli dengan hal yang berbau modern.
Kelompok masyarakat yang menggambarkan kondisi tersebut adalah masyarakat adat
yang hidup dalam sebuah lingkungan adat yang sangat dipatuhinya. Mereka hidup dalam
kelompok yang memisahkan diri secara formal dari tatanan budaya pada umumnya,
seperti :
1. Kelompok Masyarakat adat Kampung Kuta di Cisaga Kabupaten Ciamis
2. Kelompok Masyarakat adat Kampung Naga di Salawu Kabupaten Tasikmalaya
3. Kelompok Masyarakat adat Kampung Pulo Panjang di Leles / Cangkuang Kab. Garut
4. Kelompok Masyarakat adat Kampung Dukuh di Pemungpeuk Kabupaten Garut
5. Kelompok Masyarakat adat Kampung Mahmud di Margahayu Kabupaten Bandung
6. Kelompok Masyarakat adat Kampung Ciptarasa, Bayah, Citorek, Cicemet, Sirnarasa,
di Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi
7. Kelompok Masyarakat adat Kampung Urug di Kiarapandak - Cigudeg Kabupaten
Bogor
8. Kelompok Masyarakat adat Kampung Baduy / Kanekes di Leuwidamar Kabupaten
Lebak.
Kampung-kampung adat tersebut di atas merupakan perkampungan yang dihuni oleh
sekelompok masyarakat yang sangat kuat dalam memegang adat istiadatnya. Hal itu akan
terlihat jelas perbedaannya bila dibandingkan dengan masyarakat lain di luar kampung
tersebut. Masyarakat Kampung adat, hidup pada suatu tatanan yang dikondisikan dalam
suatu kesahajaan dan lingkungan kearifan tradisional yang lekat. Dengan demikian,
Kampung adat adalah potret masyarakat yang mampu melepaskan keterikatan akan
perkembangan modernisasi juga pengaruh globalisasi informasi yang tengah melanda
seluruh pelosok dunia.
Dengan ciri fisik seperti bentuk rumah yang masih mempergu-nakan arsitektur tradisional
dan dengan segala bentuk pantangan yang harus dipatuhi tanpa reserve.
Kesahajaan hidup dan lingkungan kearifan tradisional adalah ciri mandiri dalam segala
tingkah lakunya, sehingga dinamika hidupnya selalu diwarnai oleh keterikatan dirinya
akan pedoman hidup yang telah mempranata dan merupakan harta kekayaan yang tak
ternilai harganya. Masyarakat Kampung adat dengan kearifannya mampu bertahan hidup
'survive' dan tidak melepaskan kekhasannya yang menjadi ciri mandiri jati dirinya.
Atas dasar hal tersebut di atas, maka sangat diperlukan informasi, pengetahuan, dan
pemahaman tentang kondisi budaya yang dimiliki setiap kelompok masyarakat tersebut,
dalam rangka mengisi dan memperkaya khasanah budaya Indonesia umumnya dan Jawa
Barat khususnya. Untuk sedikit gambaran mengenai kehidupan masyarakat adat, di
bawah ini akan penulis paparkan gambaran Kampung adat Naga di Tasikmalaya.
Kampung Adat Naga di Tasikmalaya
Kampung Naga itu sendiri secara administratif berada di wilayah Desa Neglasari,
Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Dari Tasikmalaya
menuju Kampung adat Naga berjarak 30 km, sedangkan dari Garut jaraknya 26 km.
Adapun letak Desa Neglasari ke berbagai pusat pemerintahan, di antaranya ke ibukota
kecamatan jaraknya mencapai 5 km, yang dapat ditempuh dalam waktu 15 menit; ke
ibukota kabupaten berjarak 33 km dengan waktu tempuh 1 jam; sedangkan ke ibukota
provinsi jaraknya mencapai 80 km yang bisa ditempuh dalam waktu 3 jam.
Menurut data potensi desa, bentuk permukaan tanah wilayah Desa Neglasari berupa
perbukitan dengan produktivitas tanah bisa dikatagorikan sedang. Dari luas wilayah yang
ada, sebagian besar digunakan untuk pertanian tanah kering, ladang, dan tegalan. Adapun
selebihnya terpakai untuk perumahan dan pekarangan; sawah yang terdiri atas sawah
teknis, sawah setengah teknis, dan sawah sederhana; serta peruntukan lainnya seperti
pekuburan, tanah desa, dan sebagian lagi merupakan tanah milik negara.
Penduduk Desa Neglasari tinggal tersebar di 4 Rukun Warga (RW) yang terbagi lagi ke
dalam 19 Rukun Tetangga (RT). Salah satu RW dan RT-nya adalah perkampungan adat
Naga. Dalam kehidupan masyarakat di desa tersebut agama Islam merupakan satu-
satunya agama yang dianut dan dijadikan sebagai pedoman hidup oleh mereka. Oleh
karena itu, tak mengherankan kalau nuansa Islami begitu kental mewarnai berbagai aspek
kehidupan masyarakat di desa tersebut. Keselarasan dan keharmonisan hubungan
antarwarga masyarakat terjalin dengan baik, sehingga mereka terjaga dari hal-hal yang
dapat mengganggu kedamaian hidup mereka.
Untuk menjaga kelangsungan hidup, masyarakat Kampung Naga memiliki sumber mata
pencaharian yang cukup beragam. Namun demikian, sebagian besar dari mereka lebih
banyak yang menggantungkan hidupnya pada bidang pertanian tanah sawah dan
perladangan tanah kering, baik yang statusnya sebagai petani pemilik, petani penggarap,
maupun buruh tani. Adapun diversifikasi matapencaharian lainnya yang ditekuni
masyarakat Desa Neglasari bisa dikatakan cukup bervariasi, mulai dari perajin, petani,
tukang cukur, dukun bayi, pedagang,hingga pegawai negeri.
Kampung Naga merupakan sebuah potret kehidupan yang tampak spesifik dan khas
dalam menjalankan roda kehidupan sehari-hari. Masyarakat Kampung Naga yang begitu
kukuh memegang falsafah hidup yang diwariskan oleh nenek moyang mereka dari
generasi yang satu ke generasi berikutnya, tampak tak bergeming terhadap apa yang
terjadi di luar kehidupan mereka. Padahal sebagaimana kita ketahui pada era globalisasi
yang melanda seluruh dunia seperti sekarang ini, sungguh tidaklah mudah untuk menepis
dan menyeleksi berbagai unsur budaya luar yang masuk ke dalamnya. Modernisasi pada
berbagai aspek kehidupan pun tidak bisa dielakkan lagi, terjadi baik disengaja maupun
tidak. Meskipun gelombang modernisasi melanda berbagai kelompok masyarakat, tak
terkecuali masyarakat yang berada di sekitar perkampungan masyarakat Kampung Naga,
tidak berarti mereka pun harus hanyut di dalamnya. Mereka tetap hidup sebagaimana
adanya dengan tetap mempertahankan eksistensi mereka yang khas.
Keteguhan mereka dalam memegang akar budaya yang dijadikan sebagai pedoman hidup
masyarakat Kampung Naga, teraktualisasikan melalui berbagai aspek kehidupanseperti
dalam sistem religi, sistem pengetahuan, sistem ekonomi, sistem teknologi, dan sistem
kemasyarakatan yang semuanya terangkum ke dalam sistem budaya masyarakat
Kampung Naga.
Masyarakat Kampung Naga juga mempercayai bahwa benda-benda pusaka
peninggalannya mempunyai kekuatan magis. Benda-benda pusaka itu disimpan di tempat
suci atau Bumi Ageung yang merupakan bangunan pertama yang didirikan di Kampung
adat Naga. Selanjutnya, dari masa ke masa bangunan tersebut dirawat serta diurus oleh
seorang wanita tua yang masih dekat garis keturunannya.
Meskipun penduduk Kampung Naga dan sa-Naga adalah penganut agama Islam yang
taat, mereka pun tetap memegang teguh adat istiadat yang telah turun temurun. Sebagai
rasa hormat kepada nenek moyangnya, mereka menjalankan dan memelihara adat istiadat
itu.
Kendati pun mereka dianggap sebagai masyarakat yang teguh memegang adat istiadat,
masih memungkinkan bagi mereka untuk menerima pengaruh dari luar sepanjang tidak
merusak atau mengganggu kehidupan adat istiadat warisan budaya nenek moyang
mereka. Mereka mempunyai pancen untuk memelihara dan melestarikan budayanya.
Apabila dilanggar, berarti durhaka kepada nenek moyang yang seharusnya mereka
junjung tinggi. Mereka mengatakan sieun doraka 'takut durhaka'.
Dari uraian di atas, mengenai salah satu kampung adat, yaitu Kampung Adat Naga yang
ada di Kabupaten Tasikmalaya, kita dapat mengetahui bahwa unsur-unsur kebudayaan
(sistem pengetahuan) yang dimiliki suatu komunitas masyarakat kecil akan berbeda bila
dibandingkan dengan komunitas masyarakat yang lebih besar. Hal itu disebabkan karena
kebudayaan dipandang sebagai sesuatu yang bersifat dinamis, bukan sesuatu yang
bersifat kaku atau statis. Demikian pula pengertian tentang kebudayaan, bukan lagi
sebagai sekumpulan barang seni atau benda-benda, tapi kebudayaan akan selalu dikaitkan
dengan gerak hidup manusia dalam kegiatannya, seperti membuat peralatan hidup,
norma-norma, sistem pengetahuan, sistem jaringan sosial, kehidupan ekonomi, sistem
religi atau kepercayaan, adat istiadat, serta seperangkat aturan yang masih didukung oleh
masyarakat tersebut.
Selanjutnya, bahwa kehidupan di seluruh masyarakat kampung adat yang ada di Jawa
Barat, memang terlihat agak eksklusif dibanding dengan masyarakat
sekelilingnya. Mereka masih melakukan tradisi kehidupan yang sederhana sesuai dengan
pedoman hidupnya. Sehingga wujud kebudayaan yang spesifik sangat berpengaruh pada
pola-pola kehidupan, bahkan menjadi pedoman bagi kelangsungan hidup anggota
masyarakatnya.
Dalam perkembangan selanjutnya, masyarakat kampung-kampung adat yang terkurung
oleh gelombang modernisasi, tidak membiarkan diri hanyut di dalamnya. Mereka
berupaya mempertahankan eksistensinya melalui kekuatan spiritual, seperti yang
tercermin dalam norma-norma yang dijadikan sebagai pedoman hidupnya. Secara tidak
sadar mereka mengaktualisasikan diri melalui sistem pengetahuan tradisional yang
menjadi dasar dan pedoman akan kesadaran moral, keyakinan religius, kesadaran
nasional, dan kemasya-rakatan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem pengetahuan suatu masyarakat,
merupakan identifikasi dari tinggi rendahnya peradaban yang dimiliki masyarakat
tersebut. Maka dengan demikian sistem pengetahuan dapat pula dijadikan barometer bagi
tinggi rendahnya budaya suatu bangsa. Hal itu disebabkan karena sistem pengetahuan
merupakan aktualisasi dari segala sikap dan perilaku manusia atau masyarakat yang
secara empiris dapat dirasakan, dilaksanakan, dilestarikan, dan dipedomani sebagai
sesuatu yang dapat memberikan keseimbangan dalam kehidupannya.
Sistem pengetahuan ini pun mengatur seluruh aktivitas hidup dan kehidupan untuk
keseimbangan dan berinteraksi antara manusia dengan manusia, manusia dengan
masyarakatnya, manusia dengan alam lingkungannya, dan manusia dengan Tuhannya.
Oleh karena itu, sistem pengetahuan suatu masyarakat tercakup dalam segala aspek yang
mengatur hidup dan perilaku manusia.
Begitu pula sistem pengetahuan yang ada dan dimiliki oleh masyarakat adat Kampung-
kampung adat di Jawa Barat, adalah merupakan manifestasi dan aktualisasi dari seluruh
aktivitas masyarakatnya dalam berinteraksi untuk mencari keseimbangan baik dirinya -
orang per orang - maupun orang dengan alam sekelilingnya. Bahkan di samping itu,
sistem pengetahuan ini dapat pula dijadikan sebagai benteng dalam menghadapi arus
budaya luar yang mencoba memasuki wilayah budaya miliknya. Dengan kata lain bahwa
pengetahuan mengenai pamali, teu wasa, buyut, atau tabu yang berlaku di kampung-
kampung adat merupakan salah satu bentuk penyeimbang dalam berinteraksinya.
Pandangan mengenai masyarakat kampung adat adalah masyarakat yang kuat memegang
tradisi warisan nenek moyangnya adalah benar, tetapi masyarakat kampung adat tersebut
tidak mengisolir diri dari masyarakat di sekitarnya, mereka bersama-sama dengan
anggota masyarakat lain ikut berpartisipasi secara aktif. Mereka berintegrasi dengan
masyarakat lainnya terutama dalam kepentingan hidup bersama untuk mencapai
kesejahteraan bersama pula.
Ketentuan-ketentuan adat seperti pamali, tabu atau lebih dikenal lagi dengan sebutan
pantangan dan sebagainya hanya berlaku bagi orang-orang di lingkungan kampung adat
sendiri.
Bentuk-bentuk penyeimbang lainnya dapat dilihat dari nilai-nilai yang terdapat dalam
ungkapan sehari-hari sebagai pedoman hidupnya khususnya untuk Kampung Naga,
seperti yang tertuang dalam tiga kata : amanat, wasiat, dan akibat. Ketiga ungkapan ini
adalah bentuk pengetahuan yang harus ditaati, dilaksanakan, dan dipedomani sebagai
ajaran yang mengandung kristalisasi nilai-nilai luhur kehidupannya. Ketiga ungkapan itu
mengandung fungsi nilai-nilai filosofis di samping fungsi sosial dan fungsi nilai religius
magis.
Kampung-kampung adat di Jawa Barat yang memiliki ciri-ciri keunikan tersendiri, kukuh
dalam memegang falsafah hidup, tak bergeming akan perubahan jaman; di mana
gelombang modernisasi dan globalisasi yang terus melanda. Arus modernisasi dan
globalisasi telah membawa perubahan yang menggilas seluruh aspek kehidupan, sehingga
kita sebagai manusia yang hidup di jamannya secara langsung ikut pula dalam
perubahan-nya, baik yang terjadi dalam tata nilai maupun dalam norma-norma. Salah
satu dampaknya membuat manusia menjadi schinzofrenia 'terpecah kepribadiannya', dan
menyebabkan terjadinya pergeseran nilai sakral menjadi profan.
Kampung-kampung adat jika dikaji dari segi budaya, termasuk kampung adat yang
mampu mempertahankan eksistensinya dari generasi ke generasi. Walaupun dalam
perjalanan sejarahnya Kampung-kampung adat tersebut pernah menghadapi berbagai
masalah bahkan sampai sekarang di mana era globalisasi melanda dunia, mereka tak
bergeming dalam kepatuhan dan kelestarian sistem budaya yang dianut sejak dahulu.
Budaya yang mengatur semua gerak langkahnya, adalah benteng yang kokoh dan
menjadi pegangan erat kaumnya. Sehingga nuansa perubahan di luar dirinya tidak
menjadi beban berat.
Kelestarian budaya masyarakat kampung adat dapat diukur dari potret kesahajaan hidup
dalam menghadapi gelombang modernisasi. Mereka hidup dalam kesederhanaan, akan
tetapi di balik kesederhanaan itu tercermin kebebasan dan kearifan yang sangat dalam.
Sistem pengetahuan tradisionalnya adalah gambaran kekayaan batin mereka, dan itu
merupakan barometer betapa tinggi budaya mereka, sehingga merupakan panutan bagi
masyarakatnya.
Dalam sistem kepemimpinan pada umumnya, di kampung-kampung adat bersifat kokolot
sentris, puun sentris, olot sentris, atau kuncen sentris, artinya segala bentuk kegiatan
selalu berpusat kepada mereka selaku pimpinan yang secara turun menurun. Kampung
adat sebagai pranata sosial memberikan ciri bahwa adat istiadat adalah ciri utamanya.
Sehingga regenerasi pun akan terus berlanjut dari generasi yang satu ke generasi yang
lainnya.
Sejalan dengan kehidupan dewasa ini, sebagian dari masyarakat kampung adat mampu
berintegrasi dengan situasi dan kondisi masyarakat di luar. Dalam kehidupan sehari-hari,
dewasa ini sudah mulai menerima bentuk-bentuk perubahan. Bentuk perubahannya tidak
mendasar ke dalam bentuk tradisi, misalnya dengan kehadiran TV, bentuk rumah yang
lebih artistik --dibanding dengan bentuk rumah yang lain--, radio, bentuk rumah dengan
mempergunakan kaca, dan asesoris interior rumah (kehadiran kursi tamu). Hal itu diakui
secara langsung oleh masyarakat. Apabila jauh mengusik dan menerobos tradisi, mereka
tetap khawatir akan akibatnya.
Kearifan dalam menghadapi tantangan alam, di mana faktor alam sangat dibutuhkan,
mereka dengan arif melaksanakan sistem teknologi penjagaan alam yang alami, dengan
menjaga leuweung tutupan, leuweung larangan, atau leuweung karamat sebagai
penyeimbang sehingga terjadi keselarasan antara kelestarian hutan lindung dengan
manusia. Di samping itu dalam menyelaraskan hidup dengan keadaan alam -- karena
keadaan kampung adat sebagian besar yang ada di Jawa Barat terletak di sebuah lengkob
'lembah' dengan kontur tanah yang bertebing, (lihat kampung adat Naga, Dukuh, Kuta,
dan Urug) dan sebagian lagi ada di badan bukit, seperti Kampung Adat Ciptarasa-- maka
penyesuaian dalam mendirikan rumah, mereka membuat sengked batu 'trap-trap dari batu'
antara pelataran rumah yang satu dengan rumah yang lainnya. Bahkan dalam pembuatan
rumah pun menabukan tembok, untuk menjaga kestabilan tanah.
Bukan suatu kebetulan bahwa dalam Kampung Adat, kita menemukan kearifan-kearifan
dan nilai-nilai falsafah hidup dalam menjaga kelestarian tradisi yang telah melembaga,
karena mereka menyadari bahwa hanya dengan melestarikan tradisinyalah eksistensi
hidupnya akan lebih mantap. Kampung-kampung adat merupakan kampung yang
memiliki keunikan tersendiri; khususnya dalam nilai-nilai luhur dan falsafah hidup,
dalam menjalankan salah satu tradisi Sunda yang dipedomani sebagai satu ajaran oleh
masyarakatnya.
Budaya yang dipedomaninya, merupakan pegangan anggota masyarakat yang relevan
dengan situasi dan kondisi alam sekitarnya. Bahkan menjadi benteng penghalang bagi
pergeseran nilai-nilai yang diakibatkan adanya gelombang modernisasi dan globalisasi.
Kampung-kampung adat sebagai kampung tradisionaldapat dijadikan sebuah musium
budaya, karena memiliki keunikan budaya. Keunikan budaya ini adalah mozaik budaya
Jawa Barat khususnya dan Indonesia umumnya yang sangat penting bagi para pakar
untuk mengungkap lebih jauh nilai-nilai dan falsafah hidup manusia dalam memberikan
informasi bagi kekayaan nilai-nilai budaya Indonesia umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Harsoyo, 1982, Pengantar Antropologi, Bina Cipta, Bandung
Keontjaraningrat, 1983, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, jakarta, Gramedia.
Nandang Rusnandar, Drs. Dkk. 1992, Ungkapan Tradisional yang
Mengandung Nilai Moral dan Nilai Tabu atau Magis di Masyarakat Kampung Kuta
Kabupaten Ciamis dan Kampung-kampung adat Kabupaten Tasikmalaya di Jawa Barat,
Balai kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung.
Teguh Meinanda dan D. Akhmad 1981, Tanya Jawab Pengantar Antropologi, CV.
Armico, Bandung.
T.O. Ihromi (Ed), 1980, Pokok-pokok Antropologi, Gramedia, Jakarta.
Yudistira Garna, 1980, Makalah : Perubahan Sosial di Indonesia, Tradisi, Akomodasi,
dan Modernisasi (Simposium Kebudayaan Indonesia-Malaysia III di Bandung).

Anda mungkin juga menyukai