Presentasi Kasus DHF
Presentasi Kasus DHF
DEMAM DENGUE
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat dalam Mengikuti Program Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Kesehatan Anak di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga
Diajukan kepada :
Disusun Oleh :
20050310135
RSUD Salatiga
2011
HALAMAN PENGESAHAN
DEMAM DENGUE
Menyetujui
Dokter pembimbing/Penguji :
Bismillahirrohmanirrohim
Alhamdulillahirobbilalamin, penulis panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala
berkah dan rahmat serta hidayahNya, sehingga penulisan presentasi kasus dengan judul Demam
Penulisan resentasi kasus ini disusun untuk memenuhi sebagian syarat dalam mengikuti program
kepaniteraan klinik bagian Ilmu Kesehatan Anak di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga.
Penulis menyadari bahwa selesainya penulisan prsentasi kasus ini berkat bimbingan, dorongan
dan bantuan dari semua pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Hj.
Dwi Ambarwati, Sp. A selaku dosen pembimbing penulisan presentasi kasus di bagian Ilmu
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.... i
HALAMAN PENGESAHAN... ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................iv
BAB I
I. IDENTITAS PASIEN................................................................................... 1
II. ANAMNESIS................................................................................................ 1
III. PEMERIKSAAN FISIK................................................................................2
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG..................................................................4
V. DIAGNOSIS BANDING..............................................................................5
VI. DIAGNOSIS KERJA.................................................................................... 5
VII. PENATALAKSANAAN.............................................................................. 5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................ 6
I. DEFINISI....................................................................................................... 6
II. ETIOLOGI..................................................................................................... 6
III. PATOGENESIS............................................................................................. 7
IV. MANIFESTASI KLINIK............................................................................... 9
V. DIAGNOSIS.................................................................................................. 12
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG...................................................................14
VII. PENATALAKSANAAN....................................................... 15
BAB III
PEMBAHASAN....................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 23
BAB I
PRESENTASI KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. A
Umur : 6 tahun
No.RM : 184550
II. ANAMNESIS
Keluhan utama:
Demam
Riwayat makanan
ASI eksklusif sampai usia 5 bulan, dilanjutkan dengan ASI dan PASI sampai umur 22
bulan.
Riwayat imunisasi
Lengkap sesuai jadwal, dilakukan di puskesmas, ibu pasien menyatakan lupa tanggal
dilakukan imunisasi.
Status Generalis
1. Pemeriksaan Kepala :
Normosefali, rambut warna hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut, edem pada
muka (-/-).
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, mata cekung (-)
Hidung : sekret -/-, konka hiperemis (-)
Telinga : sekret -/-, nanah (-), ruam belakang telinga (-), nyeri tekan (-)
Mulut : mukosa mulut basah (+), lidah kotor (-), tremor (-), stomatitis (-)
Gigi geligi : karies (+), tidak nyeri, perdarahan gusi (-)
Tenggorok :faring hiperemis (+), tonsil membesar (-), hiperemis (-), uvula
simetris ditengah
2. Pemeriksaan Leher :
Pembesaran kelenjar limfonodi (-), JVP tidak meningkat.
3. Pemeriksaan Thorak :
Inspeksi :
Dada simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi dada (-), iktus kordis tidak tampak.
Palpasi :
Ketinggalan gerak (-), fokal fremitus kanan=kiri, tidak teraba massa.
Perkusi :
seluruh lapangan paru sonor dx=sn
Auskultasi :
paru: vesikuler, ronkhi (-), wheezing (-)
Cor: S1S2 regular, bising (-)
4. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi :
Simetris, tidak tampak ada massa, sikatrik (-), flat, distensi (-)
Auskultasi :
Bising usus (+) normal
Palpasi :
Supel, nyeri tekan (-), massa (-), hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi :
timpani (+), distensi (-)
5. Pemeriksaan Ekstrimitas :
Akral hangat (+), oedema (-), CRT < 2, petechie spontan (-), RL tes (-)
Tes Widal
- S. typhi O : (-)
- S. paratyphi A-O : 1/160
- S. paratyphi B-O : 1/80
- S. paratyphi C-O : 1/80
- S. typhi H : (-)
- S. paratyphi A-H : (-)
- S. paratyphi B-H : (-)
- S. paratyphi C-H : (-)
Tes Serologi
- Dengue IgG : negatif
- Dengue IgM : positif
V. DIAGNOSIS BANDING
- DF
- DHF
- Malaria
- Campak
- OMA
- Tifoid Fever
VII. PENATALAKSANAAN
- Tirah baring
- Infus Kaen 3B
- Inj. Taxegram 2 x 475mg
- Metil Prednisolon 3 x 0,6 ml
- Radin 3 x 1/3ampul
- PO : Ibuprofen Syrup 3x1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEMAM DENGUE
I. DEFINISI
Demam Dengue (dengue fever, selanjutnya disingkat DF) adalah penyakit yang
terutama terdapat pada anak remaja atau orang dewasa, dengan tanda - tanda klinis demam,
nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, dengan/tanpa ruam (rash) dan
limfadenopati, demam bifasik, sakit kepala yang hebat, nyeri pada pergerakan bola mata,
rasa mengecap yang terganggu, trombositopenia ringan dan bintik-bintik perdarahan
(petekie) spontan (Mansjoer, 2005).
Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome, selanjutnya disingkat DSS) ialah
penyakit DHF yang disertai renjatan (Mansjoer, 2005).
II. ETIOLOGI
Demam Berdarah Dengue ialah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue (DEN).
Virus Dengue merupakan virus RNA untai tunggal yang terdiri atas 4 serotipe yaitu DEN-1,
DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Struktur antigen empat serotipe sangat mirip satu dengan yang
lain, namun antibodi terhadap masing-masing serotipe tidak dapat saling memberikan
perlindungan silang. Virus dengue termasuk dalam genus Flavivirus (famili Flaviviridae).
Virus ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus (Mansjoer,
2005).
III. PATOGENESIS
Virus dengue dibawa oleh nyamuk Aedes aegypty dan Aedes albopictus sebagai
vektor ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk tersebut. Apabila orang itu mendapat
infeksi berulang oleh tipe virus dengue yang berlainan akan menimbulkan reaksi yang
berbeda. DBD dapat terjadi, bila seseorang yang telah terinfeksi dengue pertama kali,
mendapat infeksi berulang dari virus dengue dengan serotipe lainnya. Virus akan bereplikasi
di nodus limfatikus regional dan menyebar ke jaringan lain, terutama ke sistem
retikuloendotelial dan kulit secara bronkogen maupun hematogen (Mansjoer, 2000).
Sejauh ini belum ada suatu teori yang dapat menjelaskan secara tuntas patogenesis
demam berdarah Dengue (Mansjoer, 2000). Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang
kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue.
Suhendro dkk (2006) menyebutkan bahwa respon imun yang diketahui berperan
dalam patogenesis DBD adalah:
1. respon imun humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam netralisasi
virus. Antibodi tersebut berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit
atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE).
2. limfosit T baik T-helper (CD4) maupun T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon
imun seluler terhadap virus dengue.
3. monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibody.
Namun proses ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh
makrofag yang kemudian dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh
darah.
4. Aktivasi komplemen oleh kopleks imun menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a.
Akibat aktivasi C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskuler ke ekstravaskuler.
Dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi dengue adalah
hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory) dan hipotesis immune
enhancement (Chen, dkk. 2009).
Gambar 2.1 Hipotesis infeksi sekunder
Menurut hipotesis infeksi sekunder yang diajukan oleh Suvatte, sebagai akibat
infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien
akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan titer
tinggi IgG antidengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi limfosit juga menyebabkan
tingginya angka replikasi virus dengue. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kompleks
virus-antibodi yang selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya cairan
ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan peningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium
dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa (Suhendro, 2006).
Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak langsung
bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai risiko berat yang
lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi herterolog yang telah ada akan mengenali
virus lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan Fc
reseptor dari membran leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini, akan
terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok (Suhendro, 2006).
Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan suatu spektrum manifestasi klinis
yang bervariasi antara penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness), dengue
fever, dengue haemorrhagic fever dan dengue shock syndrome; yang terakhir dengan
mortalitas tinggi yang disebabkan renjatan dan perdarahan hebat (Nimmanitya dkk., 1969;
Pongpanich dkk., 1973) Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi ini dapat disamakan
dengan sebuah gunung es.. DHF dan DSS sebagai kasus-kasus yang dirawat di rumah sakit
merupakan puncak gunung es yang kelihatan di atas permukaan laut, sedangkan kasus-kasus
dengue ringan (dengue klasik atau demam dengue, selanjutnya disebut.demam dengue dan
silent dengue infection; merupakan dasar gunung es. Diperkirakan untuk setiap kasus
renjatan yang dijumpai di rumah sakit telah terjadi 150 sampai 200 kasus silent dengue
infection (WHO, 1980).
Demam Dengue
Masa tunas berkisar antara 3-15 hari, pada umumnya 5-8 hari. Pcrmulaan penyakit
biasanya mendadak. Gejala prodromal meliputi nyeri kepala, nyeri berbagai bagian tubuh,
anoreksia, menggigil dan malaise. Pada umumnya ditemukan sindrom trias, yaitu demam
tinggi, nyeri pada anggota badan dan timbulnya ruam. Ruam biasanya timbul 5 - 12 jam
sebelum naiknya suhu pertama kali, yaitu pada hari ketiga sampai hari kelima dan biasanya
berlangsung selama 3 - 4 hari. Ruam bersifat makulopapular yang menghilang pada tekanan.
Ruam mula-mula dilihat di dada, tubuh serta abdomen dan menyebar ke anggota gerak dan
muka (Soedarmo, 2008).
Pada lebih dari separuh penderita gejala klinis timbul dengan mendadak, disertai
kenaikan suhu, nyeri kepala hebat, nyeri di belakang bola mata, punggung, otot dan sendi
disertai rasa menggigil. Pada beberapa penderita dapat dilihat kurve yang menyerupai pelana
kuda atau bifasik, tetapi pada penelitian selanjutnya bentuk kurve ini tidak ditemukan pada
semua penderita sehingga tidak dapat dianggap patognomonik (Soedarmo, 2008).
Anoreksia dan obstipasi sering dilaporkan; di samping itu perasaan tidak nyaman di
daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering ditemukan. Pada stadium
dini penyakit sering timbul perubahan dalam indra pengecap. Gejala klinis lain yang sering
terdapat ialah fotofobia, keringat yang bercucuran, suara serak, batuk, epistaksis dan disuria.
Demam menghilang secara lisis, disertai keluamya banyak keringat. Lama demam berkisar
di antara 3,9 dan 4,8 hari. Kelenjar getah bening servikal dilaporkan membesar pada
penderita; beberapa sarjana menyebutnya sebagai tanda Castelani, sangat patognomonik dan
merupakan patokan berguna untuk membuat diagnosis banding. Manifestasi perdarahan
tidak sering dijumpai (Soedarmo, 2008).
Kasus demam berdarah dengue ditandai dengan empat manifestasi klinis yaitu
demam tinggi, perdarahan, terutama perdarahan kulit, hepatomegali dan kegagalan peredaran
darah (Soedarmo, 2008).
2. leukositosis seringkali ditemukan pada DHF, berlainan dengan demam dengue yang
pada umumnya disertai dengan leukopenia berat.
4. limfadenopati, ruam makulopapular dan mialgia bersifat lebih ringan pada DHF.
Dengue shock syndrome
Disfungsi sirkulasi pada DBD, dengue shock syndrom, biasanya terjadi sesudah hari
2-7, disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskuler sehingga terjadi plasma leakage,
efusi cairan ke rongga interstisial sehingga terjadi disfungsi sirkulasi dan penurunan perfusi
organ. Gangguan perfusi ginjal ditandai oleh oliguria atau anuria dan gangguan perfusi
susunan saraf pusat ditandai oleh penurunan kesadaran.
Pada fase awal sindrom syok dengue fungsi organ vital dipertahankan dari
hipovolemia oleh sistem hemostatis dalam bentuk; takikardia, vasokonstriksi, penguatan
kontraktilitas miokard, takipnea, hiperpnea, dan hiperventilasi. Vasokonstriksi perifer
mengurangi perfusi perfusi non-esensial di kulit dan mneyebabkan sianosis, penurunan suhu
permukaan tubuh dan pemanjangan waktu pengisian kapiler(>5 detik). Perbedaan suhu kulit
dan suhu tubuh yang >20C menunjukkan mekanisme hemostatis masih utuh. Paad tahap
SSD kompensasi curah jantung dan tekanan darah normal kembali.
V. DIAGNOSIS
menuju ke dengue fever (DF), atau dengue haemorrhagic fever (DHF) dengan plasma
leakage yang dapat menimbulkan syok hipovolemik, dengue shock syndrome (DSS) (WHO,
1999).
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini
terpenuhi:
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji rumpele leed positif; petekie,
a. Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis kelamin.
(Suhendro, 2006).
1. Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan
2. Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdaran lain.
3. Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi
menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut kulit dingin
4. Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.
(Suhendro, 2006).
Tabel pembagian derajat DBD menurut WHO (1997) :
DBD
Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu
dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue. Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai
hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi
primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi sekunder dapat
terdeteksi mulai hari ke 2 (Suhendro, 2006).
Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah pemeriksaan
antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1). Antigen NS1
diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue. Masih terdapat perbedaan
dalam berbagai literatur mengenai berapa lama antigen NS1 dapat terdeteksi dalam darah.
Sebuah kepustakaan mencatat dengan metode ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam
kadar tinggi sejak hari pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi primer Dengue atau
sampai hari ke 5 pada infeksi sekunder Dengue. Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode
ELISA juga dikatakan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%).
Oleh karena berbagai keunggulan tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen
NS1 sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan primer (Suhendro, 2006).
Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan) dapat
dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan dan pada
keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua hemitoraks. Asites dan
efusi pleura dapat pula dideteksi dengan USG (Suhendro, 2006).
VII. PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan
ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan
terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal
terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris
(Suhendro, 2006).
- Hb, hmt, dan trombosit normal antara 100.000-150.000 pasien dapat dipulangkan
dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke poliklinik dalam waktu 24 jam
berikutnya.
- Hb, hmt normal, tetapi trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat.
- Hb, hmt meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk rawat
inap.
2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat (Gambar 2.2.)
penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis cairan dan kedua adalah
jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk
mengganti kehilangan cairan di ruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer
laktat, ringer asetat, cairan salin) maupun koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi
kristaloid sebagai cairan standar pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid,
kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya
dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular,
aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki
Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan efektif.
Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan kristaloid adalah edema,
bertahan yang singkat di dalam pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20
ml/kgBB) akan menyebabkan efek penambahan volume vaskular hanya dalam waktu yang
perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu jam hanya 5 ml yang
tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke dalam ruang interstisial. Namun
lain mudah tersedia dengan harga terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi
plasma, mudah disimpan dalam temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi
pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma (intravaskular)
yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang intravaskular. Dengan
kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan
hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin didapatkan dengan
penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya yang lebih besar. Namun
beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek samping koagulopati dan alergi yang rendah
(contoh: hetastarch). Penelitian cairan koloid dibandingkan kristaloid pada sindrom syok
dengue (DSS) pada pasien anak dengan parameter stabilisasi hemodinamik pada 1 jam
pertama renjatan, memberikan hasil sebanding pada kedua jenis cairan.17,18 Sebuah
penelitian lain yang menilai efektivitas dan keamanan penggunaan koloid pada penderita
dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di Indonesia telah selesai dilakukan, dan dalam proses
Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya kebocoran plasma
yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih akan berlangsung. Pada kondisi DBD
derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk kebutuhan rumatan (maintenance) dan untuk
mengganti cairan akibat kebocoran plasma. Secara praktis, kebutuhan rumatan pada pasien
dewasa dengan berat badan 50 kg, adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan
pada kebocoran plasma yang terjadi seba-nyak 2,5-5% dari berat badan sebanyak 1500-3000
ml/24 jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD dengan hemodinamik yang
stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian, pemantauan kadar hematokrit
perlu dilakukan untuk menilai apakah hemokonsentrasi masih berlangsung dan apakah
jumlah cairan awal yang diberikan sudah cukup atau masih perlu ditambah. Pemantauan lain
yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis pasien, stabilitas hemodinamik serta diuresis.
Pada DBD dengan kondisi hemodinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan
secara bolus atau tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan setelah hemodinamik
stabil secara bertahap kecepatan cairan dikurangi hingga kondisi benar-benar stabil (lihat
protokol pada gambar 6 dan 7). Pada kondisi di mana terapi cairan telah diberikan secara
adekuat, namun kondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan
(Suhendro, 2006).
BAB III
PEMBAHASAN
Dari anamnesis diperoleh, pasien mengeluh demam sejak 5 hari yang lalu. Demam
pada awalnya timbul perlahan-lahan kemudian meningkat. 4 hari SMRS pasien diperiksakan
ke puskesmas dan diberi obat penurun panas. Demam mereda setelah minum obat penurun
panas, tapi kemudian panas lagi setelah obat habis. Pasien juga mengeluh pusing (+) dan
nyeri kepala (+). Mimisan (-), gusi berdarah (-), ruam di ekstrimitas dan badan (-), menggigil
(-), nyeri otot (-), nyeri sendi (-), batuk kering (+), pilek (-), nyeri telan (-), nyeri ulu hati (-),
mual (-), muntah (-), kembung (-), riwayat bepergian ke daerah endemis malaria (-), telinga
merah (-), nyeri telinga (-), tidak ada cairan yang keluar dari telinga, nafsu makan turun (+),
BAK normal, warna kuning. BAB normal, konsistensi padat, diare (-). Dari pemeriksaan fisik
menunjukkan keadaan umum pasien tampak lemah, sedangkan dari pemeriksaan
laboratorium menunjukkan leucopenia dan trombositopenia tetapi belum menimbulkan
manifestasi perdarahan dan dari pemeriksaan serologi menunjukkan antibodi IgM positif
terhadap virus dengue, sehingga pasien dapat didiagnosis Demam Dengue.
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, A. 2005. Demam Berdarah Dengue dalam Kapita Selekta Kedokteran Eds.III. Media
Aesculapius Fakultas Kedkteran UI. Jakarta.
Pusponegoro. Dkk. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak Eds.I. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta.
Soedarmo, S. dkk. 2008. Infeksi Virus Dengue dalam Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis
Eds.II. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta.
Suhendro. Dkk. 2006. Demam Berdarah Dengue dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Eds.IV.
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.
WHO. 2008. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta.