Anda di halaman 1dari 26

PRESENTASI KASUS

DEMAM DENGUE

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat dalam Mengikuti Program Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Kesehatan Anak di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga

Diajukan kepada :

Dr. Dwi Ambarwati, Sp.A

Disusun Oleh :

Muhammad Yusuf Junaedi

20050310135

Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Bagian Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak

RSUD Salatiga

2011
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan presentasi kasus dengan judul

DEMAM DENGUE

Hari/Tanggal : Januari 2011

Menyetujui

Dokter pembimbing/Penguji :

Dr. Dwi Ambarwati, Sp.A


KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim

Alhamdulillahirobbilalamin, penulis panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala

berkah dan rahmat serta hidayahNya, sehingga penulisan presentasi kasus dengan judul Demam

Dengue dapat diselesaikan.

Penulisan resentasi kasus ini disusun untuk memenuhi sebagian syarat dalam mengikuti program

kepaniteraan klinik bagian Ilmu Kesehatan Anak di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga.

Penulis menyadari bahwa selesainya penulisan prsentasi kasus ini berkat bimbingan, dorongan

dan bantuan dari semua pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Hj.

Dwi Ambarwati, Sp. A selaku dosen pembimbing penulisan presentasi kasus di bagian Ilmu

Kesehatan Anak BPRSUD Salatiga.

Salatiga, Januari 2011

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL.... i

HALAMAN PENGESAHAN... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR ISI..............................................................................................................iv

BAB I

I. IDENTITAS PASIEN................................................................................... 1
II. ANAMNESIS................................................................................................ 1
III. PEMERIKSAAN FISIK................................................................................2
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG..................................................................4
V. DIAGNOSIS BANDING..............................................................................5
VI. DIAGNOSIS KERJA.................................................................................... 5
VII. PENATALAKSANAAN.............................................................................. 5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................ 6

I. DEFINISI....................................................................................................... 6
II. ETIOLOGI..................................................................................................... 6
III. PATOGENESIS............................................................................................. 7
IV. MANIFESTASI KLINIK............................................................................... 9
V. DIAGNOSIS.................................................................................................. 12
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG...................................................................14
VII. PENATALAKSANAAN....................................................... 15

BAB III
PEMBAHASAN....................................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 23
BAB I

PRESENTASI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : An. A

Umur : 6 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Pengilon RT03/03, Mangunsari, Salatiga

Masuk Rumah Sakit : 14 Januari 2011

No.RM : 184550

II. ANAMNESIS
Keluhan utama:
Demam

Riwayat penyakit sekarang:


Pasien datang ke IGD RSUD Salatiga dengan keluhan demam sejak 5 hari yang lalu.
Demam pada awalnya timbul perlahan-lahan kemudian meningkat. 4 hari SMRS pasien
diperiksakan ke puskesmas dan diberi obat penurun panas. Demam mereda setelah minum
obat penurun panas, tapi kemudian panas lagi setelah obat habis. Pasien juga mengeluh
pusing (+) dan nyeri kepala (+). Mimisan (-), gusi berdarah (-), ruam di ekstrimitas dan
badan (-), menggigil (-), nyeri otot (-), nyeri sendi (-), batuk kering (+), pilek (-), nyeri
telan (-), nyeri ulu hati (-), mual (-), muntah (-), kembung (-), riwayat bepergian ke daerah
endemis malaria (-), telinga merah (-), nyeri telinga (-), tidak ada cairan yang keluar dari
telinga, nafsu makan turun (+), BAK normal, warna kuning. BAB normal, konsistensi
padat, diare (-).

Riwayat penyakit dahulu:


Pasien pernah opname 3 tahun yang lalu di RSUD Salatiga dengan gejala tifoid.

Riwayat penyakit keluarga:


Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita penyakit seperti ini.

Riwayat kehamilan ibu:


ANC rutin dilakukan > 4 kali di bidan, keluhan selama kehamilan (-), kelainan (-).

Riwayat persalinan ibu:


Lahir spontan di bidan, presentasi kepala, cukup bulan, sesuai masa kehamilan, BBLC
3200gr.

Riwayat pertumbuhan dan perkembangan


Pertumbuhan dan perkembangan baik dan sesuai umur.

Riwayat makanan
ASI eksklusif sampai usia 5 bulan, dilanjutkan dengan ASI dan PASI sampai umur 22
bulan.

Riwayat imunisasi
Lengkap sesuai jadwal, dilakukan di puskesmas, ibu pasien menyatakan lupa tanggal
dilakukan imunisasi.

III. PEMERIKSAAN FISIK (18-01-2011)


Keadaan Umum : Sedang, tampak lemah
Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign :
- HR : 110 x/menit (kuat, regular)
- Suhu : 36,7 C, saat datang 40 C
- RR : 20 x/menit (regular)
Data antropometri :
- Berat badan : 19 kg
- Status gizi : antara -2SD s/d +2SD (gizi baik)

Status Generalis
1. Pemeriksaan Kepala :
Normosefali, rambut warna hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut, edem pada
muka (-/-).
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, mata cekung (-)
Hidung : sekret -/-, konka hiperemis (-)
Telinga : sekret -/-, nanah (-), ruam belakang telinga (-), nyeri tekan (-)
Mulut : mukosa mulut basah (+), lidah kotor (-), tremor (-), stomatitis (-)
Gigi geligi : karies (+), tidak nyeri, perdarahan gusi (-)
Tenggorok :faring hiperemis (+), tonsil membesar (-), hiperemis (-), uvula
simetris ditengah
2. Pemeriksaan Leher :
Pembesaran kelenjar limfonodi (-), JVP tidak meningkat.
3. Pemeriksaan Thorak :
Inspeksi :
Dada simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi dada (-), iktus kordis tidak tampak.
Palpasi :
Ketinggalan gerak (-), fokal fremitus kanan=kiri, tidak teraba massa.
Perkusi :
seluruh lapangan paru sonor dx=sn
Auskultasi :
paru: vesikuler, ronkhi (-), wheezing (-)
Cor: S1S2 regular, bising (-)
4. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi :
Simetris, tidak tampak ada massa, sikatrik (-), flat, distensi (-)
Auskultasi :
Bising usus (+) normal
Palpasi :
Supel, nyeri tekan (-), massa (-), hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi :
timpani (+), distensi (-)
5. Pemeriksaan Ekstrimitas :
Akral hangat (+), oedema (-), CRT < 2, petechie spontan (-), RL tes (-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Laboratorium

Px. Darah 14-01-2011 15-01-2011 16-01-2011 17-01-2011 18-01-2011


Leukosit (103 /uL) 1,5 2,4 2,7 3,7 2,3
Eritrosit (106/uL) 4,99 6,03 5,6 5,34 5,3
Hemoglobin (g/dL) 10,1 12,2 11,5 11 11,3
Hematokrit (%) 31,5 37,2 35,2 32 34,1
MCV (FL) 63,1 78,3 62,9 60,2 64,1
MCH (Pg) 20,2 20,2 20,5 20,6 21,2
MCHC (g/dL) 32,1 25,8 32,7 34,2 33,1
Trombosit (103 /uL) 129 87 79 79 116

Tes Widal
- S. typhi O : (-)
- S. paratyphi A-O : 1/160
- S. paratyphi B-O : 1/80
- S. paratyphi C-O : 1/80
- S. typhi H : (-)
- S. paratyphi A-H : (-)
- S. paratyphi B-H : (-)
- S. paratyphi C-H : (-)

Tes Serologi
- Dengue IgG : negatif
- Dengue IgM : positif

V. DIAGNOSIS BANDING
- DF
- DHF
- Malaria
- Campak
- OMA
- Tifoid Fever

VI. DIAGNOSIS KERJA


Dengue Fever

VII. PENATALAKSANAAN
- Tirah baring
- Infus Kaen 3B
- Inj. Taxegram 2 x 475mg
- Metil Prednisolon 3 x 0,6 ml
- Radin 3 x 1/3ampul
- PO : Ibuprofen Syrup 3x1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DEMAM DENGUE
I. DEFINISI

Demam Dengue (dengue fever, selanjutnya disingkat DF) adalah penyakit yang
terutama terdapat pada anak remaja atau orang dewasa, dengan tanda - tanda klinis demam,
nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, dengan/tanpa ruam (rash) dan
limfadenopati, demam bifasik, sakit kepala yang hebat, nyeri pada pergerakan bola mata,
rasa mengecap yang terganggu, trombositopenia ringan dan bintik-bintik perdarahan
(petekie) spontan (Mansjoer, 2005).

Demam Berdarah Dengue (dengue haemorrhagic fever, selanjutnya disingkat DHF),


ialah penyakit yang terdapat pada anak dan dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot
dan sendi, yang biasanya memburuk setelah dua hari pertama. Uji tourniquet akan positif
dengan tanpa ruam disertai beberapa atau semua gejala perdarahan seperti petekie spontan
yang timbul serentak, purpura, ekimosis, epitaksis. hematemesis, melena, trombositopenia,
masa perdarahan dan masa protrombin memanjang, hematokrit meningkat dan gangguan
maturasi megakariosit (Mansjoer, 2005).

Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome, selanjutnya disingkat DSS) ialah
penyakit DHF yang disertai renjatan (Mansjoer, 2005).

II. ETIOLOGI

Demam Berdarah Dengue ialah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue (DEN).
Virus Dengue merupakan virus RNA untai tunggal yang terdiri atas 4 serotipe yaitu DEN-1,
DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Struktur antigen empat serotipe sangat mirip satu dengan yang
lain, namun antibodi terhadap masing-masing serotipe tidak dapat saling memberikan
perlindungan silang. Virus dengue termasuk dalam genus Flavivirus (famili Flaviviridae).
Virus ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus (Mansjoer,
2005).

III. PATOGENESIS

Virus dengue dibawa oleh nyamuk Aedes aegypty dan Aedes albopictus sebagai
vektor ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk tersebut. Apabila orang itu mendapat
infeksi berulang oleh tipe virus dengue yang berlainan akan menimbulkan reaksi yang
berbeda. DBD dapat terjadi, bila seseorang yang telah terinfeksi dengue pertama kali,
mendapat infeksi berulang dari virus dengue dengan serotipe lainnya. Virus akan bereplikasi
di nodus limfatikus regional dan menyebar ke jaringan lain, terutama ke sistem
retikuloendotelial dan kulit secara bronkogen maupun hematogen (Mansjoer, 2000).

Sejauh ini belum ada suatu teori yang dapat menjelaskan secara tuntas patogenesis
demam berdarah Dengue (Mansjoer, 2000). Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang
kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue.

Suhendro dkk (2006) menyebutkan bahwa respon imun yang diketahui berperan
dalam patogenesis DBD adalah:

1. respon imun humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam netralisasi
virus. Antibodi tersebut berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit
atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE).

2. limfosit T baik T-helper (CD4) maupun T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon
imun seluler terhadap virus dengue.

3. monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibody.
Namun proses ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh
makrofag yang kemudian dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh
darah.

4. Aktivasi komplemen oleh kopleks imun menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a.
Akibat aktivasi C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskuler ke ekstravaskuler.
Dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi dengue adalah
hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory) dan hipotesis immune
enhancement (Chen, dkk. 2009).
Gambar 2.1 Hipotesis infeksi sekunder

Menurut hipotesis infeksi sekunder yang diajukan oleh Suvatte, sebagai akibat
infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien
akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan titer
tinggi IgG antidengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi limfosit juga menyebabkan
tingginya angka replikasi virus dengue. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kompleks
virus-antibodi yang selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya cairan
ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan peningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium
dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa (Suhendro, 2006).
Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak langsung
bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai risiko berat yang
lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi herterolog yang telah ada akan mengenali
virus lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan Fc
reseptor dari membran leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini, akan
terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok (Suhendro, 2006).

IV. MANIFESTASI KLINIS

Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan suatu spektrum manifestasi klinis
yang bervariasi antara penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness), dengue
fever, dengue haemorrhagic fever dan dengue shock syndrome; yang terakhir dengan
mortalitas tinggi yang disebabkan renjatan dan perdarahan hebat (Nimmanitya dkk., 1969;
Pongpanich dkk., 1973) Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi ini dapat disamakan
dengan sebuah gunung es.. DHF dan DSS sebagai kasus-kasus yang dirawat di rumah sakit
merupakan puncak gunung es yang kelihatan di atas permukaan laut, sedangkan kasus-kasus
dengue ringan (dengue klasik atau demam dengue, selanjutnya disebut.demam dengue dan
silent dengue infection; merupakan dasar gunung es. Diperkirakan untuk setiap kasus
renjatan yang dijumpai di rumah sakit telah terjadi 150 sampai 200 kasus silent dengue
infection (WHO, 1980).

Demam Dengue

Masa tunas berkisar antara 3-15 hari, pada umumnya 5-8 hari. Pcrmulaan penyakit
biasanya mendadak. Gejala prodromal meliputi nyeri kepala, nyeri berbagai bagian tubuh,
anoreksia, menggigil dan malaise. Pada umumnya ditemukan sindrom trias, yaitu demam
tinggi, nyeri pada anggota badan dan timbulnya ruam. Ruam biasanya timbul 5 - 12 jam
sebelum naiknya suhu pertama kali, yaitu pada hari ketiga sampai hari kelima dan biasanya
berlangsung selama 3 - 4 hari. Ruam bersifat makulopapular yang menghilang pada tekanan.
Ruam mula-mula dilihat di dada, tubuh serta abdomen dan menyebar ke anggota gerak dan
muka (Soedarmo, 2008).

Pada lebih dari separuh penderita gejala klinis timbul dengan mendadak, disertai
kenaikan suhu, nyeri kepala hebat, nyeri di belakang bola mata, punggung, otot dan sendi
disertai rasa menggigil. Pada beberapa penderita dapat dilihat kurve yang menyerupai pelana
kuda atau bifasik, tetapi pada penelitian selanjutnya bentuk kurve ini tidak ditemukan pada
semua penderita sehingga tidak dapat dianggap patognomonik (Soedarmo, 2008).

Anoreksia dan obstipasi sering dilaporkan; di samping itu perasaan tidak nyaman di
daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering ditemukan. Pada stadium
dini penyakit sering timbul perubahan dalam indra pengecap. Gejala klinis lain yang sering
terdapat ialah fotofobia, keringat yang bercucuran, suara serak, batuk, epistaksis dan disuria.
Demam menghilang secara lisis, disertai keluamya banyak keringat. Lama demam berkisar
di antara 3,9 dan 4,8 hari. Kelenjar getah bening servikal dilaporkan membesar pada
penderita; beberapa sarjana menyebutnya sebagai tanda Castelani, sangat patognomonik dan
merupakan patokan berguna untuk membuat diagnosis banding. Manifestasi perdarahan
tidak sering dijumpai (Soedarmo, 2008).

Demam berdarah dengue

Kasus demam berdarah dengue ditandai dengan empat manifestasi klinis yaitu
demam tinggi, perdarahan, terutama perdarahan kulit, hepatomegali dan kegagalan peredaran
darah (Soedarmo, 2008).

Fenomena patofisiologi utama yang menentukan beratnya penyakit dan membedakan


demam berdarah dengue dari demam dengue adalah meningginya permeabilitas kapiler
pembuluh darah, menurunnya volume plasma, hipotensi, trombositopenia, dan diatesis
hemoragik. Halstead mengemukakan gejala yang harus dipertimbangkan dalam diferensiasi
demam berdarah dengue dengan demam dengue, adalah:

1. DHF biasanya disertai dengan pembesaran hati.

2. leukositosis seringkali ditemukan pada DHF, berlainan dengan demam dengue yang
pada umumnya disertai dengan leukopenia berat.

3. manifestasi perdarahan seperti petekhie, echimosis, uji tornikuet positif dan


trombositopenia lebih menonjol pada DHF.

4. limfadenopati, ruam makulopapular dan mialgia bersifat lebih ringan pada DHF.
Dengue shock syndrome

Disfungsi sirkulasi pada DBD, dengue shock syndrom, biasanya terjadi sesudah hari
2-7, disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskuler sehingga terjadi plasma leakage,
efusi cairan ke rongga interstisial sehingga terjadi disfungsi sirkulasi dan penurunan perfusi
organ. Gangguan perfusi ginjal ditandai oleh oliguria atau anuria dan gangguan perfusi
susunan saraf pusat ditandai oleh penurunan kesadaran.

Pada fase awal sindrom syok dengue fungsi organ vital dipertahankan dari
hipovolemia oleh sistem hemostatis dalam bentuk; takikardia, vasokonstriksi, penguatan
kontraktilitas miokard, takipnea, hiperpnea, dan hiperventilasi. Vasokonstriksi perifer
mengurangi perfusi perfusi non-esensial di kulit dan mneyebabkan sianosis, penurunan suhu
permukaan tubuh dan pemanjangan waktu pengisian kapiler(>5 detik). Perbedaan suhu kulit
dan suhu tubuh yang >20C menunjukkan mekanisme hemostatis masih utuh. Paad tahap
SSD kompensasi curah jantung dan tekanan darah normal kembali.

Penurunan tekanan darah merupakan manifestasi lambat SSD, berarti sistem


hemostatis sudah terganggu dan kelainan hemodinamik sudah berat, sudah terjadi
dekompensasi. Mula-mula tekanan nadi turun, < 20 mmHg misalnya 100/90, karena tekanan
sistolik turun sesuai dengan penurunan venous return dan volume sekuncup, dan tekanan
diastolik meninggi sesuai dengan peningkatan tonus vaskuler.SSD berlanjut dengan
kegagalan mekanisme hemostatis, terjadi iskemia jaringan yang irreversibel dan pasien akan
meninggal dalam 12-24 jam.

V. DIAGNOSIS

Infeksi keempat serotipe virus dengue (DEN 1, 2, 3 and 4) dapat asimptomatik,

menuju ke dengue fever (DF), atau dengue haemorrhagic fever (DHF) dengan plasma

leakage yang dapat menimbulkan syok hipovolemik, dengue shock syndrome (DSS) (WHO,

1999).
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini

terpenuhi:

1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.

2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji rumpele leed positif; petekie,

ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan melena.

3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).

4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb:

a. Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis kelamin.

b. Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan

nilai hematokrit sebelumnya.

c. Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia, hiponatremia.

(Suhendro, 2006).

Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD menurut WHO 1997, yaitu:

1. Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan

adalah uji torniquet.

2. Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdaran lain.

3. Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi

menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut kulit dingin

dan lembab, tampak gelisah.

4. Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.

(Suhendro, 2006).
Tabel pembagian derajat DBD menurut WHO (1997) :

DD/ Derajat Gejala Laboratorium

DBD

DD Demam disertai 2 atau lebih Leukopenia, Serologi


tanda: sakit kepala, nyeri trombositopenia, dengue
retro orbital, mialgia dan tidak ditemukan positif
atralgia. bukti kebocoran
plasma

DBD I Gejala diatas ditambah uji Trombositopeni


bendung positif (<100.000/ul)

DBD II Gejala diatas ditambah ditemukan bukti

perdarahan spontan kebocoran plasma

DBD III Gejala diatas ditambah


kegagalan sirkulasi ditandai
dengan kulit dingin dan
lembab serta gelisah.

DBD IV Syok berat disertai dengan


nadi tak teraba dan tekanan
darah tak terukur

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah


trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran
limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia umumnya dijumpai pada hari ke 3-8
sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3 demam.
Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya gangguan
koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau
FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/
kreatinin (Suhendro, 2006).

Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui


pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara tiga jenis
uji etiologi, yang dianggap sebagai gold standart adalah metode isolasi virus. Namun,
metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih dari 12
minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena keterbatasan ini, seringkali yang dipilih
adalah metode diagnosis molekuler dengan deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan
reverse transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR
memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan isolasi virus,
tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah mengalami kontaminasi yang dapat
menyebabkan timbulnya hasil positif semu (Suhendro, 2006).

Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu
dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue. Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai
hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi
primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi sekunder dapat
terdeteksi mulai hari ke 2 (Suhendro, 2006).

Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah pemeriksaan
antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1). Antigen NS1
diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue. Masih terdapat perbedaan
dalam berbagai literatur mengenai berapa lama antigen NS1 dapat terdeteksi dalam darah.
Sebuah kepustakaan mencatat dengan metode ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam
kadar tinggi sejak hari pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi primer Dengue atau
sampai hari ke 5 pada infeksi sekunder Dengue. Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode
ELISA juga dikatakan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%).
Oleh karena berbagai keunggulan tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen
NS1 sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan primer (Suhendro, 2006).

Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan) dapat
dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan dan pada
keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua hemitoraks. Asites dan
efusi pleura dapat pula dideteksi dengan USG (Suhendro, 2006).

VII. PENATALAKSANAAN

Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan
ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan
terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal
terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris
(Suhendro, 2006).

Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi


antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma
akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan
pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah
pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya
kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif perlu selalu
diwaspadai (Suhendro, 2006).

Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada trombositopenia


yang berat) dan pemberian makanan dengan kandungan gizi yang cukup, lunak dan tidak
mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis,
dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi
keluhan dispepsia. Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya
dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas
(lambung/duodenum) (Suhendro, 2006).

Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan DBD dewasa


mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini terbagi dalam 5 kategori,
sebagai berikut:

1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok


Protokol ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada
penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan juga sebagai
petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat, yaitu dengan melakukan pemeriksaan
hemoglobin, hematokrit, dan trombosit, bila :

- Hb, hmt, dan trombosit normal antara 100.000-150.000 pasien dapat dipulangkan
dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke poliklinik dalam waktu 24 jam
berikutnya.
- Hb, hmt normal, tetapi trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat.

- Hb, hmt meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk rawat
inap.

2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat (Gambar 2.2.)

3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20% (Gambar 2.3.)

4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa (Gambar 2.4.)


5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa (gambar 2.5.)
(Suhendro, 2006).

Gambar 2.2. Penanganan tersangka DBD tanpa syok


Gambar 2.3. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat

Gambar 2.4. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%


Gambar 2.5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya pada

penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis cairan dan kedua adalah

jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk

mengganti kehilangan cairan di ruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer

laktat, ringer asetat, cairan salin) maupun koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi

kristaloid sebagai cairan standar pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid,

kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya

dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular,

aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki

efek alergi yang minimal (Suhendro, 2006).

Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan efektif.

Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan kristaloid adalah edema,

asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan hemokonsentrasi. Kristaloid memiliki waktu

bertahan yang singkat di dalam pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20

ml/kgBB) akan menyebabkan efek penambahan volume vaskular hanya dalam waktu yang

singkat sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial (ekstravaskular) dengan

perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu jam hanya 5 ml yang

tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke dalam ruang interstisial. Namun

demikian, dalam aplikasinya terdapat beberapa keuntungan penggunaan kristaloid antara

lain mudah tersedia dengan harga terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi

plasma, mudah disimpan dalam temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi

anafilaktik (Suhendro, 2006).


Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa keunggulan yaitu:

pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma (intravaskular)

yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang intravaskular. Dengan

kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan

hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin didapatkan dengan

penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya yang lebih besar. Namun

beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek samping koagulopati dan alergi yang rendah

(contoh: hetastarch). Penelitian cairan koloid dibandingkan kristaloid pada sindrom syok

dengue (DSS) pada pasien anak dengan parameter stabilisasi hemodinamik pada 1 jam

pertama renjatan, memberikan hasil sebanding pada kedua jenis cairan.17,18 Sebuah

penelitian lain yang menilai efektivitas dan keamanan penggunaan koloid pada penderita

dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di Indonesia telah selesai dilakukan, dan dalam proses

publikasi (Suhendro, 2006).

Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya kebocoran plasma

yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih akan berlangsung. Pada kondisi DBD

derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk kebutuhan rumatan (maintenance) dan untuk

mengganti cairan akibat kebocoran plasma. Secara praktis, kebutuhan rumatan pada pasien

dewasa dengan berat badan 50 kg, adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan

pada kebocoran plasma yang terjadi seba-nyak 2,5-5% dari berat badan sebanyak 1500-3000

ml/24 jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD dengan hemodinamik yang

stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian, pemantauan kadar hematokrit

perlu dilakukan untuk menilai apakah hemokonsentrasi masih berlangsung dan apakah

jumlah cairan awal yang diberikan sudah cukup atau masih perlu ditambah. Pemantauan lain
yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis pasien, stabilitas hemodinamik serta diuresis.

Pada DBD dengan kondisi hemodinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan

secara bolus atau tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan setelah hemodinamik

stabil secara bertahap kecepatan cairan dikurangi hingga kondisi benar-benar stabil (lihat

protokol pada gambar 6 dan 7). Pada kondisi di mana terapi cairan telah diberikan secara

adekuat, namun kondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan

hematokrit perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan terjadinya perdarahan internal

(Suhendro, 2006).
BAB III

PEMBAHASAN

Dari anamnesis diperoleh, pasien mengeluh demam sejak 5 hari yang lalu. Demam
pada awalnya timbul perlahan-lahan kemudian meningkat. 4 hari SMRS pasien diperiksakan
ke puskesmas dan diberi obat penurun panas. Demam mereda setelah minum obat penurun
panas, tapi kemudian panas lagi setelah obat habis. Pasien juga mengeluh pusing (+) dan
nyeri kepala (+). Mimisan (-), gusi berdarah (-), ruam di ekstrimitas dan badan (-), menggigil
(-), nyeri otot (-), nyeri sendi (-), batuk kering (+), pilek (-), nyeri telan (-), nyeri ulu hati (-),
mual (-), muntah (-), kembung (-), riwayat bepergian ke daerah endemis malaria (-), telinga
merah (-), nyeri telinga (-), tidak ada cairan yang keluar dari telinga, nafsu makan turun (+),
BAK normal, warna kuning. BAB normal, konsistensi padat, diare (-). Dari pemeriksaan fisik
menunjukkan keadaan umum pasien tampak lemah, sedangkan dari pemeriksaan
laboratorium menunjukkan leucopenia dan trombositopenia tetapi belum menimbulkan
manifestasi perdarahan dan dari pemeriksaan serologi menunjukkan antibodi IgM positif
terhadap virus dengue, sehingga pasien dapat didiagnosis Demam Dengue.
DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer, A. 2005. Demam Berdarah Dengue dalam Kapita Selekta Kedokteran Eds.III. Media
Aesculapius Fakultas Kedkteran UI. Jakarta.

Pusponegoro. Dkk. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak Eds.I. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta.

Soedarmo, S. dkk. 2008. Infeksi Virus Dengue dalam Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis
Eds.II. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta.

Suhendro. Dkk. 2006. Demam Berdarah Dengue dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Eds.IV.
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.

WHO. 2008. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai