Disusun oleh :
DINA LORENZA PASARIBU (214420152)
ERNA DEWI M. SITORUS (214420158)
KELAS : 7 PAUB
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS METHODIST INDONESIA
MEDAN
2017
BAB 1
Akuntansi Forensik
AKUNTANSI FORENSIK
Istilah akuntansi forensik merupakan terjemahan dari forensic accounting
dalam bahasa inggris. Menurut Merriam Websters Collegiate Dictionary (edisi
ke- 10):
Fo-ren-sic adj [ L forensic public, fr. Forum forum] (1659) 1: belonging to, used
in, or suitable to court of judicatureorto public discussion and debate 2:
ARGUMENTATIVE RHETORICAL 3: relating to or dealing with the aplication
of scientific knowledge to legal problems <~medicine> <~science>
<~pathologist> <~expert>
Akuntansi Forensik adalah penerapan disiplin akuntansi dalam arti luas, termasuk
auditing, pada masalah hukum untuk penyelesaian hukum di dalam atau di luar
pengadilan, di sektor publik maupun privat.
Kotak 1.1
Beberapa Profesi Forensik
Forensic anthropologist:
Specialit who can determine whether or not bones or other remains are human in
origin and, if so, reveal details about how the victims died and how they appeared
in life.
Forensic chemist
Specialist in the analyses of drugs, dyes, paint samples and other chemicals
involved in crimes.
Forensic dentist
Specialist in examining theteeth of murder or accident victims for identification
purpose, and for comparison with bite-mark evidence at crime scenes.
Forensic document investigator:
Specialist in examining forget documents and forget signatures
Forensic entomologist:
Specialist in different types of insect life which may be found on corpses or at
murder scenes, as an indication of the time, season an weather a crime may
havebeen commited.
Forensic geologist:
Specialist in the characteristics of soil samples, and what these can in terms
ofthemovement ofa victim suspect.
Forensic Phatologist:
Specialist phatologist responsible for carrying out autopsies ofmurder victims and
recording of evidence found on or inthe body body as tothe manner andtime
ofdeath.
Forensic photographer
Specialit who records forensic evidence on film at the crime scene or in the
forensic laboratory.
Forensic psychiatrist/psychologist:
Experst who evaluatea murder scene and victim to produce a possible
pyschological profile ofthe murderer.
Forensic serologist:
Specialist in the study ofblood and other bodily fluids in addition to DNA
foridentifiying suspects.
Sumber: David Owen, Hidden Evidence (Periplus, 2000), hlm.236.
Kotak 1.2
Beberapa Profesi Forensik
Forensic engineering.
The application ofthe principles and practice of engineering to the evaluation of
question before courts of law. Practiceby legally qualified profesional engineers
who are experts intheirfield by both educations and experiance, and who have
experiance in the court and understanding of surispendence.
A forensicengineering angagement may require investigations,studies evaluations,
advice to connects,report, advisory opinions, depositions and/or testonomy to
assist in the resolution of disputes relatingto life or property in case before courts,
or other lawful tribunails.
Forensic linguistics.
A technique concerned with in depth evaluation of linguistics characteristic of text
including grammer syntax, spelling vovcabularry and phraseologs, wich is
accomplished through a comparison oftextual material of known and unknown
and unknown authorshop to determine whether the authors could be identical.
Forensic medicine:
That sciencewich teaches the application of every branch of medical knowledge to
the purpose of the law; hence its limits are, on the hand, the requirements ofthe
law, and on the other, the whole range of medicine. Anatomy, phsiology,
medicine surgery,chemistr, physics, and botany lend their andanecessity arises;
and in some cases all these branches of science are required to enable a court of
law to arrive at a proper conclusion on a contestedquestion affecting life
propertys.
Forensic phatology:
The branch of medicine dealing with disorders of the body in relation to legal
principles and cases.
Forensic psychiatry
That branch of medicine dealing with disorders of the mind in relation to legal and
cases.
Sumber:Blacks Law Dictionary.
Tabel 1.1
Ahli Selaku Pribadi Dan Lembaga (BPK)
SENGKETA
Bermacam-macam hal dapat memicu terjadinya sengketa. Sengketa bisa terjadi
karena satu pihak merasa haknya dikurangi, dihilangkan atau dirampas oleh pihak
lain. Hak yang dikurangi atau dihilangkan ini bisa berupa:
1. Uang atau aset lain, baik aset berwujud (tangible asset) maupun aset
tak berwujud (intangible asset), yang dapat diukur dengan uang.
2. Reputasi, misalnya tercemarnya nama baik apakah itu nama pribadi,
keluarga, atau nama perusahaan.
3. Peluang bisnis, misalnya tidak bisa ikut dalam proses tender dengan
alasan yang terkesan diskriminatif.
4. Gaya hidup, misalnya ditolak memasuki klub atau kawasan yang
dinyatakan eksklusif.
5. Hak-hak lain yang berkaitan dengan transaksi bisnis.
Kotak 1.3
Penggunaan Debt Collector
KRIMINALITAS
Mantan Atlet Diduga Keroyok Pengusaha
Jumat, 8 Mei 2009 / 04.51 WIB
Jakarta, Kompas Dua laki-laki diperiksa polsek Metro Pulo Gadung,
Kamis (7/5). Mereka diduga mengeroyok seorang pengusaha batu bara hingga
tewas. Salah seorang dari mereka adalah AH (37), mantan atlet nasional
taekwondo SEA Games 1993 dan Asian Games 1994.
Penangkapan terhadap kedua orang ini bermula dari perjanjian usaha
antara AH dan Tjokro Sanjoyo (58). AH menanamkan uang senilai Rp. 1,7
Milliar. Sebagai imbalannya, Tjoko akan mengirimkan empat kali batu bara dalam
waktu dua bulan. Kenyataannya, Tjokro hanya mengirimkan satu kali.
Albert Susanto, salah seorang putra Tjokro, kepada pers mengakui
ayahnya lalai menepati perjanjian bisnis ini.
AH pun meminta Tjoko mengembalikan uangnya dengan memakai jasa
penagih (debt collector). Agus, salah seorangrekan Tjokro, juga sempat dipukuli
oleh tenaga penagih AH. Akhirnya, terjadi kesepakatan Tjokro akan menyerahkan
uang Rp.200 juta. Namun, sampai hari yang dijanjikan, yakni Rabu (29/4). Tjokro
hanya bisa menyiapkan uang Rp.70 juta. Penyerahan itu dilakukan di sebuah
tempat di Pulomas, Jakarta Timur.
Menurut Albert, ayahnya sempat pulang kembali untuk mengambil uang
tambahan Rp.20 juta yang dipinjam dari teman-teman ibunya. Ibu menyerahkan
uang tersebut keayah di mobil, kata Albert.
Pada malam harinya, Albert mendapat telepon dari Agus mengatakan
Tjokro berada di RS Omni Medical Center, Pulomas. Tidak lama kemudian,
Tjokro meninggal dunia.
Menurut keterangan dokter, Tjokro meninggal karena penyakit jantung.
Namun, ketika jenazah akan dimandikan, pihak keluarga melihat banyak luka
gores dan luka lebam di tubuh korban.
Hasil otopsi dari RS Cipto Mangunkusumo menunjukkan, Tjokro tewas
karena kekerasan. Selama hidup, ayah saya tidak punya riwayat penyakit
jantung, kata Albert.
Sementara itu, Kapolsek Metro Pulo Gadung Komisaris P.Simarmata
mengakui, ada dua orang yang sedang diperiksa, tetapi belum bisa ditetapkan
statusnya karena pemeriksaan belum selesai. Kemungkinan mereka akan dikenai
Pasal 170 KUHP (Kitab UndangUndang Hukum Pidana) tentang Pengeroyokan,
katanya. (ARN)
Tabel 1.3
Mission Accomplished
Investigating Bank Bali was tough-and risky
Bagan 1.2
Diagram Akuntansi Forensik
AKUNTANSI
HUKUM
Dalam kasus yang lebih pelik, ada satu bidang tambahan ( di samping
Akuntansi dan Hukum). Bidang tambahan ini adalah audit, sehingga model
akuntansi forensiknya dipresentasikan dalam tiga bidang (Bagan 1.3).
Bagan 1.3
Diagram Akuntansi Forensik
AKUNTANSI
HUKUM AUDITING
Dalam suatu audit secara umum maupun audit yang khusus untuk
mendeteksi fraud (kecurangan), si auditor (internal maupun eksternal) secara
proaktif berupaya melihat kelemahan-kelemahan dalam sistem pengendalian
intern, terutama yang berkenaan dengan perlindungan terhadap aset (safeguarding
of asset), yang rawan akan terjadinya fraud. Ini adalah sebagian dari keahlian
yang harus dimiliki seorang auditor. Sama seperti seorang ahli sekuriti memriksa
instalasi keamanan di perusahaan minyak atau di hotel, dan member laporan
mengenai titik-titik lemah dari segi keamanan dan pengamanan perusahaan
minyak atau hotel tersebut.
Kalau dari suatu audit umum (general audit atau opinion audit) diperoleh
temuan audit, atau ada tuduhan (allegation) dari pihak lain, atau ada keluhan
(complaint), auditoe bersikap reaktif. Ia menanggapi temuan, tuduhan atas
keluhan tersebut. Contoh: temuan audit menunjukkan kepala bagian pengadaan
berulang kali meminta kasir membayar pemasok A yang tagihannya belum jatuh
tempo; padahal pemasok lain yang tagihannya melewati tanggal jatuh tempo,
tidak dimintakan pembayarannya. Pemasok yang dirugikan menuduh kepala
bagian pengadaan itu berkolusi dengan pemasok A, sejak dalam proses tender
dimulai. Pemakai barang yang dibeli mengeluh bahwa barang yang dipasok A
mutunya jauh dibawah spesifikasi yang disetujui.
Laporan (tip-off) dapat juga diberikan oleh para whistleblowers yang
mengetahui terjadinya atau masih berlangsungnya suatu fraud.
Dalam contoh di atas, temuan audit, tuduhan dan keluhan kebetulan untuk
hal yang sama atau terkait.akan tetapi temuan audit, tuduhan dan keluhan bisa
juga mengenai hal-hal yang tidak berkaitan, tetapi mengarah kepada petunjuk
adanya fraud. Auditor bereaksi terhadap temuan audit, tuduhan, dan keluhan serta
mendalaminya dengan melaksanakan audit investigatif. Dalam Bagan 1.4
digambarkan dua bagian dari suatu fraud audit; yang bersifat proaktif dan
investigatif. Audit investigatif dimulai pada bagian kedua dari audit fraud yang
bersifat reaktif, yakni sesudah ditemukannya indikasi awal adanya fraud. Audit
investigatif merupakan bagian dan titik awal dari akuntansi forensik.
Bagan 1.4
Diagram Akuntansi Forensik
Akuntansi Forensik
Jenis
Fraud Audit
Penugasan
Proaktif Investigatif
AKUNTANSI
Temuan audit
HUKUM
Proaktif Investigatif
Tuduhan
Risk
Sumber Informasi Keluhan Temuan Audit
Assessment
Temuan audit
Besarnya
Bukti Mencari
Identifikasi Indikasi awal kerugian
Output ada/tidaknya keterangan dan
potensi fraud adanya fraud keuangan
pelanggaran barang bukti
negara
Hitungan Penyelidikan
Akuntansi Forensik
Keyakinan Alasan
Memeriksa alat
Mencari bukti Berkas perkara berdasarkan alat pembuktian
bukti
bukti penerapan
Pemeriksaan di Putusan
Penyidikan Penuntutan Upaya hukum
sidang pengadilan
Akuntansi Forensik
Jenis
Fraud Audit
Penugasan
Proaktif Investigatif Hukum :
Temuan -Pidana
audit -Perdata
Sumber Risk Akuntansi -Administratif
Tuduhan Temuan Audit
Informasi Assessment Kerugian -Arbitrase
Keluhan
Tip Dan alternatif
Indikasi penyelesaian
Bukti sengketa
Identifikasi awal
Output ada/tidaknya
potensi fraud adanya
pelanggaran
fraud
Bagan 1.7
Diagram Akuntansi Forensik
Akuntansi Forensik
Jenis
Fraud Audit
Penugasan Hukum :
Proaktif Investigatif -Pidana
Temuan -Perdata
audit -Administratif
Sumber Risk Akuntansi -Arbitrase
Tuduhan Temuan Audit
Informasi Assessment Kerugian Dan alternatif
Keluhan
Tip penyelesaian
Indikasi sengketa
Bukti -Ekstradisi
Identifikasi awal
Output ada/tidaknya dan MLA
potensi fraud adanya
pelanggaran
fraud
Kerugian Hubungan
Kausalitas
Penyelesaian Masalah
Lepas dari kenyataan ini, penyebab utama ketidakjelasan penyelesaian
masalah kasus Lapindo ini adalah masih belum jelas penyebab semburan
lumpur. Davies et al. (2008) mengatakan, gempa Yogyakarta (26/5/2006)
tidak bisa memicu semburan karena jarak yang jauh, serta telah terjadi gempa-
gempa lain disekitar wilayah Sidoarjo, tetapi tidak menyebabkan semburan.
Namun, Davies juga tidak bisa mengatakan bahwa luapan lumpur adalah 100
persen murni akibat kesalahan pengeboran.
Ketidakjelasan penyebab semburan ini berdampak pada siapa yang
harus bertanggung jawab atas kasus ini? Apakah pemerintah pusat, jika ini
adalah bencana alam? Ataukah Lapindo, jika ini adalah bencana teknologi?
Sulit untuk menelusuri terjadinya luapan lumpur itu karena semua
bukti sudah terbenam lumpur. Akan tetapi, penanganan bencana yang terjadi
akibat luapan lumpur itu tidak bisa hanya menunggu kepastian status hukum
itu. Pembayaran ganti rugi adalah salah satu dari sekian banyak problem yang
muncul akibat luapan lumpur tersebut. Salah satunya adalah tentang
pembangunan kembali (relokasi) infrastruktur transportasi utama di Jawa
Timur, yang adalah jalur penguubung utama Pelabuhan Tanjung Perak,
Surabaya, dengan wilayah-wilayah industry di sekitarnya. Tak bisa dipungkiri,
Pelabuhan Surabaya adalah pintu keluar, sekaligus pintu masuk barang dan
jasa tidak hanya bagi wilayah-wilayah tersebut, tetapi juga Indonesia bagian
timur (Dick, 2005)
Pada kasus Lapindo, posisi Negara selalu buram. Sikap permisif yang
diberikan Negara pada Lapindo, yang selalu mengingkari regulasi penanganan
dampak lumpur di Sidoarjo menunjukkan lemahnya posisi tawar Negara atas
korporat. Negara tak berkutik pada apa yang diinginkan korporat. Sering kali
Negara diharuskan mendukung dan memenuhi kebutuhan korporat, sekalipun
harus mengorbankan rakyat. Namun, ketika korporat merugi, rakyatlah yang
harus menanggung beban kerugian itu.
Kini, kerugian yang dialami korporat (Lapindo) akibat krisis keuangan
sedang ditanggung oleh korban lumpur. Dengan menunggak pembayaran,
Lapindo tengah menumpuk utang (tanpa bunga) pada para korban lumpur.
Oleh karena itu, yang dibutuhkan korban lumpur saat ini adalah ketegasan dari
Negara sebagai institusi yang menjamin hak-hak warga negaranya. Oleh
karena itu, jika Negara tak bisa lagi menjamin itu, kepada siapakah korban
harus berlindung?
Kotak 1.7
Kajian Sistem
Oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Dari situs Web KPK dan pemberitaan di media massa, dapat dilihat salah satu
tugas KPK menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK,
yakni memonitor penyelenggaraan pemerintahan Negara (Pasal 6 huruf e).
KPK melakukan kajian terhadap sistem di berbagai lembaga,
diantaranya kajian atas sistem pelayanan pertanahan di Badan Pertanahan
Nasional, perizinan investasi di BKPM, pelayanan keimigrasian, administrasi
impor di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, pelayanan perpajakan di
Direktorat Jenderal Pajak, pengelolaan di Kantor Pelayanan dan
Perbendaharaan Negara, pelayanan di dan implementasi e-announcement
terhadap kontrak-kontrak badan rehabilitasi dan rekonstruksi Nangroe Aceh
Darussalam dan Nias (pasca-tsunami Desember 2004).
Hasil kajian di beberapa lembaga dibawah Departemen Keuangan yang
diliput oleh media massa disajikan di bawah.
Catatan:
1. Ada perubahan dalam pelaksana kajian sistem. Pada awalnya, kajian
sistem dilakukan oleh Direktorat Monitor KPK; sekarang oleh Direktorat
Litbang KPK.
2. Dalam kajian sistem, KPK merekomendasikan perbaikan yang secara
umum meliputi: peningkatan komitmen oleh pimpinan lembaga;
pembenahan sistem (reformasi birokrasi) yang meliputi manajemen
sumber daya manusia, business process dan infrastruktur, serta anggaran;
dan peningkatan pengawasan serta penindakan (law enforcement).
3. Sebagai tindak lanjut atas hasil kajian sistem, lembaga yang sistemnya
dikaji menyusun rencana tindak (action plan) untuk mengimplemetasikan
rekomendasi perbaikan sistem yang disampaikan KPK. Action plan
tersebut akan digunakan KPK sebagai dasar untuk memantau
implementasi rekomendasi perbaikan sistem.
Bagan 1.9 terdiri atas tiga kotak yang menggambarkan tiga langkah dalam
FOSA, yakni:
1. Kotak 1- menilai adanya potensi atau risiko fraud
2. Kotak 2- menganalisis potensi atau risiko fraud
3. Kotak 3- menilai risiko atau potensi fraud
Langkah pertama adalah mengumpulkan materi untuk menilai adanya
potensi atau risiko fraud dalam sistem entitias yang dikaji. Dalam langkah ini ada
berbagai peralatan FOSA yang dapat dipergunakan, antara lain berikut ini.
1. Memahami entitas dengan baik. Dalam buku teks auditing bahasa Inggris,
konsep ini dikenal sebagai understanding clients business and industry.
Secara umum, suatu lembaga mempunyai kekuasaan atau kekuatantertentu.
Kekuasaan atau kekuatan cenderung korup, dan kekuasaan mutlak akan
korup secara mutlak (ungkapan Lord Acton, power corrupts, and absolute power
corrupts absolutely). Kasus-kasus korupsi yang melibatkan oknum anggota
DPR menunjukkan perdagangan wewenang dalam bidang legislasi, pengawasan
anggaran, fit and proper test, dan lain-lain. Kasus korupsi di kalangan oknum
penegak hukum mencerminkan perdagangan kasus. Kasus-kasus perbankan
mencerminkan kekuasaan bank Indonesia atas bermacam-macam izin dan
persetujuan Bank Indonesia, termasuk kekuasaan dalam bidang pengawasan.
Pelaksana FOSA atau COSA bukan saja harus menginventarisasi kekuasaan dan
wewenang yang diberikan oleh ketentuan perundang-undangan, tetapi kekuasaan
yang sengaja direkayasa oleh lembaga atau oknum di lembaga tersebut (lihat
Lampiran B bab ini, khususnya bagian mengenai Kebiasaan di Polri).
Kemudian ada lembaga Negara yang berurusan dengan penerimaan
Negara seperti perpajakan, bea dan cukai, penerimaan dari sektor pertambangan,
sampai penerimaan Negara bukan pajak atau pungutan lainnya (PNBP). Potensi
korupsinya terlihat dari kajian sistem oleh KPK di Ditjen Bea dan Cukai, Ditjen
Pajak, dan KPPN (lihat Kotak 1.7). kasus tindak pidana korupsi atas Duta Besar
dan karyawan kedutaan mengenai penetapan besarnya biaya pengurusan visa,
merupakan contoh lain. Hal yang belum terungkap adalah penerimaan dari
perdagangan senjata.
Suatu lembaga Negara mempunyai anggaran belanja. Anggaran belanja,
khusunya belanja barang dan jasa merupakan sasaran empuk untuk korupsi, baik
yang berbentuk suap maupun pemerasan.
Lembaga Negara yang mempunyai anggaran yang besar untuk belanja
modal dari luar negeri punya kecenderungan atau berisiko melanggar ketentuan
perundangan di bidang tindak pidana korupsi dalam maupun luar negeri (lihat
pembahasan tentang U.S. Foreign Corrupt Practices Act di Bab 27).
Kemudian ada adepartemen atau lembaga yang menerima subsidi besar,
seperti subsidi BBM. Ketika harga BBM di pasar dunia naik, terjadi disparitas
harga yang besar antara harga BBM di pasar bebas dan harga BBM yang
disubsidi. Disparitas harga ini merupakan insentif yang besar untuk menjual BBM
bersubsidi melalui penyelundupan ke daerah perbatasan dengan Negara tetangga
tertentu.
Kekhasan entitas membawa pola korupsi yang khas pula. Tidak jarang
pola atau potensi korupsi berlangsung sejak bebrapa pemerintahan yang lalu
sampai sekarang. Potensi korupsi ini terjadi karena struktur dan prosesnya
memang dirancang untuk para rent seekers.
2. Segitiga fraud (fraud triangle). Konsep ini dibahas dalam Bab 6.
3. Wawancara, bukan interogasi. Wawancara dan interogasi dibahas dalam Bab
19.
4. Kuesioner, ditindaklanjuti dengan substansiasi. Tidak jarang entitas meminta
pelaksanaan FOSA dilakukan melalui kuesioner atau pelaksana FOSA
memandang perlu menggunakan kuesioner. Sesudah entitas mengembalikan
kuesioner yang diisinya, pelaksana FOSA wajib memastikan bahwa jawaban
atas kuesioner tersebut memang benar. Proses mengecek kebenaran jawaban
kuesioner ini disebut substansiasi (substantiation).
5. Observasi lapangan. Wawancara dan kuesioner merupakan peralatan
pengumpulan materi yang penting. Namun, tidak kalah pentingnya apabila
pelaksana FOSA bisa menyaksikan sendiri apa yang terjadi di lapangan.
Dengan melakukan observasi di lapangan, pelaksana bisa melihat bagaimana
entitas memberikan pelayanan kepada publik, apakah suap terjadi dalam
pemberian pelayanan ini, apakah ada prosedur tambahan (yang tidak ada dalam
Buku Petunjuk atau jawaban kuesioner), dan seterusnya.
6. Sampling dan timing. Kedatangan pelaksana FOSA di lapangan sangat boleh
jadi sudah ditunggu-tunggu oleh entittas. Entittas dapat mengatur apa yang
boleh ada di lapangan, siapa yang boleh hadir, dan lain-lain. Unsur pendadakan
(surprise element) sering kali merupakan kunci sukses pelaksanaan FOSA.
Sampling dan timing dapat membantu.
7. Titik lemah dalam sistem pengadaan barang dan jasa. Pengadaan barang dan
jasa sering kali merupakan kegiatan yang paling banyak menghabiskan
anggaran di sektor publik. Oleh karena itu, melihat titik-titik lemah dalam
proses ini sangatlah penting. Bab 17 membahas hal ini.
8. Profiling. Lihat Bab 10.
9. Analisis data (data analytics). Lihat berbagai teknik computer forensics di bab
18.
Potensi atau risiko fraud dalam sistem dari entittas yang bersangkutan
dapat dilihat pada:
1. Kelemahan sistem dan kepatuhan. Istilah yang dipakai untuk sistem bisa
bermacam-macam. Ada yang menggunakan istilah sistem pengendalian
intern (internal control systems); ada yang melihat dari segi yang lebih
luas, termasuk budaya perusahaan dan pemaksaannya (enforcement) dan
menyebutkan lingkup pengendalian intern (internal control environment).
Bahkan ada yang menggunakan istilah yang lebih canggih, yakni
governance.
Pelaksana FOSA berupaya melihat kelemahan dalam sistem atau lingkup
pengendalian intern atau kelemahan dalam governance yang membuka
peluang atau dilihat sebagai peluang (perceived opportunity) untuk
melakukan fraud. Perceived opportunity ini merupakan satu dari tiga sisi
dalam fraud triangle.
Sistemnya secara teoritis bisa kuat, namun kalau terjadi banyak
ketidakpatuhan tanpa pelaksanaan sanksi, ini pun merupakan perceived
opportunity dalam pandangan calon pelaku fraud. Data historis seperti
laporan audit internal maupun eksternal yang menemukan indikasi fraud
tanpa ada tindak lanjut dari pimpinan, merupakan petunjuk tentang budaya
yang lemah dari entitas tersebut.
2. Entitas sering kali menyajikan pihak-pihak yang disebut stakeholders
(pemangku kepentingan). Tidak jarang, yang disebut oleh entittas sebagai
pemangku kepentingan, sebenarnya adalah benalu untuk entitas itu. Dalam
ilmu ekonomi, mereka dikenal sebagai rent seekers. Mereka mungkin
pemasok barang dan jasa satu-satunya dalam jenis barang atau jasa yang
diperlukan entitas itu.
Itulah sebabnya kita perlu mengetahui titik-titik lemah dalam setiap
pengadaan barang dan jasa entititas yang bersangkutan. Dari observasi dan
bertanya (inquiry), pelaksana FOSA bisa mengetahui siapa saja pemasok
ini dan beberapa lama mereka berkiprah di entitas itu. Daftar ini sering
kali serupa dengan daftar sponsor dari berbagai kegiatan social dan
keagamaan yang dilakukan entitas. Kesamaan ini bisa merupakan petunjuk
tentang rent seekers.
Bentuk lain dari para benalu ini adalah para calo di lembaga-
lembaga penegak hukum. Bisnis mereka adalah memeprdagangkan
perkara-perkara dengan imbala yang besar bagi penegak hukum. Dalam
tahun 2008 pengadilan tipikor berhasil mengungkapkan dan menghukum
pelaku praktik ini, baik oknum jaksa maupun penyusup yang merupakan
pebisnis swasta. Rekaman percakapan Anggodo Widjojo dengan berbagai
pihak yang disiarkan secara terbuka pada tanggal 3 November 2009,
mengidikasikan para makelar kasus di lembaga-lembaga penegakan
hukum.
Juga ada organisasi yang menjual informasi mengenai apa yang dikenal
sebagai politically exposed persons. Politically exposed persons ini dapat
merugikan bahkan menghancurkan lembaga Negara.
Pelaksana FOSA bisa dan seharusnya memanfaatkan data historis yang
member petunjuk tentang titik-titik rawan fraud di entitas tersebut.
1. Di sektor publik, misalnya, ada kajian-kajian seperti survey integritas
(lihat Bab 2) atau COSA yang dilakukan KPK di berbagai entitas atau
lembaga.
2. Mungkin di masa lalu sudah ada perkara pengadilan, atau kasus yang
masih berjalan, atau kasus yang ditutup atau di SP3-kan karena
berbagai alasan.
3. Kajian tentang persepsi korupsi (lihat Bab 2)
4. Bank Dunia (World Bank) mendokumentasikan praktik-praktik korupsi
di berbagai Negara, termasuk Indonesia. Beberapa bagian dari terbitan
tersebut (The Many Faces of Corruption) memberikan petunjuk
mengenai praktik-praktik korupsi di sektor publik yang merupakan
referensi historis (kalau kasus itu terjadi di Indonesia) atau referensi
pembanding (kalau kasus itu terjadi di negara lain). A custom risk map
(peta risiko Bea dan Cukai) merupakan contoh dari referensi
pembanding.
Langkah kedua dalam FOSA adalah menganalisis dan menyimpulkan
berbagai informasi yang diperoleh dalam langkah pertama. Pelaksana FOSA
menggabungkan berbagai analisis tentang potensi atau risiko fraud yang satu
sama lain mungkin tidak sejalan, dan ada kesenjangan. Pelaksana FOSA
melakukan analisis kesenjangan untuk mengetahui mengapa satu analisis berbeda
dari analisis yang lain, termasuk tanggapan yang diberikan entitas terhadap
kesimpulan sementara.
Analisis dalam langkah kedua, dan khususnya analisis kesenjangan,
mendorong terjadinya proses check dan recheck pada akhir langkah kedua. Hal ini
terlihat dari lingkaran umpan balik (feedback loop).
Baru sesudah Pelaksana FOSA puas dengan gabungan dari berbagai analisis
itu, ia memberikan kesimpulan atau penilaian mengenai risiko atau potensi fraud
(assessment of potential fraud or risk of fraud). Kesimpulan mengenai potensi
risiko dalam langkah ketiga lazimnya diikuti dengan rekomendasi seperti terlihat
dalam kajian sistem oleh KPK. (Kotak 1.7).
PENUTUP
Akuntansi forensik pada dasarnya menangani fraud. Tindak pidana korupsi,
seperti akan dibahas dalam bab ini, adalah salah satu contoh dari sekian banyak
bentuk fraud atau white-collar crime (kejahatan kerah putih). Bagaimana profil
dari pelaku fraud ini? Ada yang menggambarkan mereka sebagai serakah, licik
dan lihai (cerdik dalam konotasu yang jelek).
Di Amerika Serikat, pelaku fraud ini dimanfaatkan untuk mendeteksi
fraud lainnya dan menangkap pelakunya. Pelaku fraud yang cerdik, dimanfaatkan
Negara.
Barry Minkow adalah pendiri, pemegang saham utama dan CEO dari
ZZZZ Best (perusahaan pembersih karpet). Bulan maret 1989 dalam usia 23
tahun, Barry Minkow dengan penuh penyesalan mengakui telah melakukan fraud.
Dengan marah, hakim Dickran Tevrizian menghukumnya 25 tahun penjara
ditambah dengan uang pengganti $26 juta. Anda berbahaya, kata hakim. Anda
tidak punya nurani. Bulan November 2005, Barry Minkow berdiri di depan
mantan-mantan penegak hukum dari Securities and Exchange Commission yang
berkumpul di Philadelphia untuk mendengarkan ceramahnya tentang kejahatan
keuangan.
Barry Minkow mendirikan Fraud Discovery Institute yang membantu FBI,
penegak hukum dan perusahaan-perusahaan untuk mengungkapkan fraud. Melalui
kegiatan penyamaran (sting operation) FBI, Barry Minkow berpura-pura akan
menanam $2 juta dan berhasil mengungkapkan kecurangan tingkat global yang
dilakukan seorang Selandia Baru bernama Derek Turner.
Ada juga pemanfaatan kecerdikan penjahat oleh FBI, yang kisahnya
diangkat ke layar putih dengan judul Catch Me if You Can. Film ini mengisahkan
Frank Abagnale Jr. yang berhasil mengelabui FBI dengan mengganti identitasnya.
Keahliannya dalam memalsukan uang dan surat-surat berharga dimanfaatkan FBI
untuk menangkap penjahat lain (dalam film ini Leonardo dicaprio memainkan
peran Frank Abagnale Jr. dan Tom Hanks sebagai agen FBI).
Apakah kita mau memanfaatkan keahlian para koruptor? Kecerdikan
Adrian Waworuntu, misalnya, bisa dimanfaatkan Bank Indonesia atau Otoritas
Jasa Keuangan untuk mengantisipasi dan melacak kejahatan perbankan.
Contoh konkret di mana Negara memanfaatkan pelaku fraud sudah ada.
Terakhir, dalam kasus Vincentius Amin Sutanto, mantan Financial Controller
Asian Agri Group. Ia membobol uang Asian Agri Abadi Oil & Fats Ltd. Di
Fortis Bank, Singapura sebesar US$3,1 juta (sekitar Rp 28 miliar). Perbuatannya
terbongkar ketika ia baru mencairkan sebagian kecil uang tersebut, yakni sebesar
Rp 200 juta.
Perbuatan Vincentius Amin Sutanto diadukan Asian Agri ke kepolisian. Ia
melarikan diri ke singapura, dan polisi memasukkan namanya ke dalam daftar
pencarian orang (DPO). Tidak lama kemudian ia menyerahkan diri ke Polda
Metro Jaya. Ia meminta ampun kepada Sukanto Tanoto, permintaannya ditolak.
Asian Agri Group dimiliki oleh pengusaha Sukanto Tanoto.
Vincentius Amin Sutanto mengadukan dugaan manipulasi pajak Asian
Agri ke KPK. Penyelidikan gabungan Direktorat Jenderal Pajak dan KPK
terhadap 14 unit usaha Asian Agri, menunjukkan indikasi kuat terjadinya
menipulasi isi Surat Pemberitahuan Tahunan pajak sepanjang 2002-2005 lewat
berbagai modus. Negara diduga kehilangan penerimaan Pajak Penghasilan sekitar
Rp 1,3 triliun.
Tanggal 9 Agustus 2007, Vincentius Amin Sutanto divonis 11 tahun
penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Vincentius Amin Sutanto dan dua
rekannya terbukti melakukan pencucian uang (money laundering) dan
memalsukan dokumen untuk pencucian uang tersebut. Kedua rekannya, Hendri
Susilo dan Agustinus Ferry Sutanto, masing-masing divonis 8 tahun.
Hukuman tersebut lebih ringan daripada tuntutan jaksa penuntut umum
Supardi B.P. Marbun selama 10-12 tahun. Vincentius terbukti melakukan
pencucian uang USD3,1 juta (sekitar Rp 28 miliar) milik Asian Agri.
Permohonan bandingnya ditolak Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tanggal 2
November 2007. Mahkamah Agung juga menolak permohonan kasasinya. Kepala
Biro Humas MA Nurhadi menyatakan, putusan majelis hakim agung yang
diketuai Djoko Sarwoko itu menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat
dan Pengadilan Tinggi Jakarta yang menghukum Vincentius Amin Sutanto 11
tahun penjara. Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana pencucian uang dan pemalsuan surat, dan
menghukum terdakwa penjara selama 11 tahun dan denda Rp 150 juta subsider 1
tahun kurungan, kata Nurhadi mengutip putusan majelis hakim tanggal 26 Maret
2008.
Ketua Indonesia Court Monitoring, Denny Indrajana menyatakan mestinya
Vincentius Amin Sutanto dilindungi. Bagaimanapun, dia membantu
membongkar kasus pajak, katanya. Perlindungan bagi Vincent, menurut Denny,
bisa berupa pengurangan hukuman sampai pembebasan. Denny menambahkan,
Untuk kasus-kasus berskala besar seperti ini sering kali penyidik menemui
kesulitan jika tidak dibantu informasi orang dalam.
Majalah Tempo (edisi 19 April 2009) menyajikan jejak kasus manipulasi
pajak Asian Agri sejak Vincentius Amin Sutanto menyerahkan datanya ke KPK
(Desember 2006) sampai saat Kejaksaan Agung, Departemen Keuangan, dan
Direktorat Jenderal Pajak melakukan gelar perkara (April 2009). Perjalanan waktu
yang sangat panjang ini baru sampai tahap gelar perkara.
CATATAN KAKI
1. Tulisan D. Larry Crumbley ini diambil dari home page: Journal of
Forensic Accounting.
2. Abdul Rahman Saleh, Bukan Kampung Maling Bukan Desa Ustadz, hlm.
228.
3. Theodorus M. Tuanakotta, Menghitung Kerugian Keuangan Negara
dalam Tindak Pidana Korupsi, lihat Bab 8 dan Aneks 2.
4. Lihat dokumen Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia
mengenai Auditor Forensik dan pembahasannya tanggal 22 Desember
2008 di Jakarta.
5. Kompas, 25 Februari 2006.
6. Laporan Pricewaterhouse Coopers, Report to the Audit Board of the
Republic of Indonesia in relation to a Special Investigation of the
circumstance surrounding the dealings by PT Bank Bali Tbk. (and others)
in funds obtained from the Indonesian Government Guarantee Scheme.
7. Figur 1.2 dan 1.3 merupakan bagian dari rekaman KPK dalam persidangan
Adrian Waworuntu. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs.
Amien Sunsryadi, Wakil Ketua KPK yang memperkenankan penulis
menggunakan video klip tersebut.
8. Theodorus M. Tuanakotta, Menghitung Kerugian Keuangan Negara
dalam Tindakan Pidana Korupsi, lihat Bab 1 dan 2.
9. Ibid., Bab 8.
10. Ibid., Bab 6.
11. Konsep hukum ini dibahas secara khusus dalam ibid., Bab 3. Para akuntan
forensik dapat menggunakan disertasi Dr. Rosa Agustina sebagai acuan.