Anda di halaman 1dari 5

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Burung merpati merupakan salah satu unggas yang dekat dengan manusia.

Merpati merupakan burung yang mudah beradaptasi di daerah liar atau di kondisi

lingkungan pemukiman. Merpati tidak hanya dipelihara sebagai satwa

kesayangan, yaitu sebagai ternak hias dan balap, melainkan termasuk salah satu

penghasil daging yang cukup baik. Sampai saat ini, cara pemeliharaan burung

merpati umumnya masih tradisional. Burung merpati dipelihara secara ekstensif,

yaitu merpati dilepas dan sering berkeliaran mencari makan sendiri. Pakan burung

merpati berupa jagung, beras merah dan terkadang sisa makanan yang ada di

tanah.

Manajemen pemeliharaan yang kurang baik, seperti pemberian pakan,

kondisi kandang serta sanitasi yang kurang baik menyebabkan imunitas tubuh

merpati menurun sehingga seringkali ditemukan burung merpati yang sakit atau

rentan terhadap berbagai macam penyakit. Selain itu, wabah penyakit yang

dibawa oleh hewan lain, adanya kontak dengan hospes intermedier dan

kontaminasi dari makanan yang tercemar menyebabkan merpati mudah terinfeksi

penyakit. Salah satu penyakit yang terjadi akibat manajemen pemeliharaan yang

kurang baik adalah penyakit infestasi parasiter. Penyakit parasit yang sering

terjadi pada burung merpati adalah helminthiasis, baik oleh cacing nematoda,

trematoda maupun cestoda.

1
Saat ini sering dijumpai laporan adanya cacing trematoda pada ginjal

burung merpati di wilayah DIY dan sekitarnya (Sahara et al., 2010). Trematoda

yang berlokasi pada ginjal burung telah banyak dilaporkan di berbagai wilayah

negara lain (Menezes, 2001).

Salah satu cacing trematoda yang menyerang burung merpati adalah

cacing trematoda Paratanaisia sp.. Prevalensi infestasi cacing Paratanaisia sp.

pada burung merpati di wilayah Yogyakarta cukup tinggi, yaitu sekitar 28%

(Sahara et al., 2010). Cacing Paratanaisia sp. ini berlokasi pada ginjal burung

merpati dan menyebabkan kerusakan pada struktur ginjal. Intensitas perubahan

patologi pada ginjal akibat infestasi cacing Paratanaisia sp. sangat bervariasi.

Santos (1934) melaporkan tidak ditemukan reaksi keradangan akibat infestasi

cacing. Pinto et al. (2004) melaporkan adanya potongan cacing pada duktus

kolektivus tanpa diikuti reaksi keradangan, sedangkan perubahan berupa lesi

mikroskopis kerapkali dilaporkan.

Karakter morfologi Paratanaisia sp. bervariasi dan informasi tentang ciri-

ciri morfologis cacing tersebut di Indonesia masih terbatas. Cacing Paratanaisia

sp. asal Yogyakarta jika dibandingkan dengan cacing yang diteliti dari berbagai

wilayah negara lain, memiliki variasi struktur morfologi sedikit berbeda (Sahara

et al., 2010). Oleh karena itu, dirasakan perlu untuk dilakukan penelitian tentang

identifikasi Paratanaisia sp. pada sampel yang berasal dari daerah yang berbeda

sehingga diperoleh informasi tentang spesies cacing tersebut.

2
Penelitian untuk mengetahui spesies Paratanaisia sp. perlu dilakukan

karena belum ada identifikasi secara tepat. Selama ini identifikasi masih terbatas

pada karakter morfologi. Karakter morfologi sangat mudah dipengaruhi oleh

faktor lingkungan, sehingga sangat rentan terhadap subyektivitas peneliti.

Kesalahan dalam identifikasi akan menyebabkan kesalahan dalam klasifikasi.

Teknik molekuler dapat digunakan untuk menentukan suatu spesies yang

tidak dapat diidentifikasi berdasarkan ciri-ciri morfologi saja. Oleh karena itu

identifikasi secara molekuler dapat digunakan sebagai penunjang sistem

klasifikasi yang sebelumnya didasarkan pada karakter morfologi.

Metode identifikasi molekuler yang dapat digunakan salah satunya adalah

metode dengan menggunakan polymerase chain reaction (PCR). Perkembangan

metode PCR memberikan alternatif identifikasi parasit secara lebih cepat. Teknik

PCR merupakan salah satu metode genotyping yang mampu memberikan hasil

yang lebih sensitif dan akurat (Sulistyaningsih, 2007).

Karakter DNA diketahui relatif lebih konsisten dibandingkan karakter

morfologi. Dalam penelitian ini, identifikasi dan analisis filogenetik dilakukan

menggunakan DNA ribosomal (rDNA). Ribosomal DNA (rDNA) pada organisme

eukariotik terdiri dari susunan berulang (tandem arrays) yang dapat mencapai

beberapa ratus hingga beberapa ribu pengulangan dalam setiap susunannya

(Wasco et al., 2003). Pengamatan rDNA pada vertebrata dan invertebrata

mempunyai 3 coding region yaitu 18S, 5.8S dan 28S, sedangkan non coding

region terdiri dari external transcribed spacer, dua internal transcribed spacer

3
dan non transcribed spacer. Internal transcribed spacer (ITS1 dan ITS2) terletak

di antara 18S, 5,8S dan 28S, sangat variatif dan sering digunakan untuk indikator

yang menentukan hubungan antara spesies (Lutton et al., 1992).

Perumusan Masalah

1. Bagaimana sekuen nukleotida penyusun ITS1 cacing Paratanaisia sp. yang

berasal dari merpati wilayah Kulon Progo, Yogyakarta, Magelang dan

Klaten?

2. Bagaimana hubungan filogenetik cacing Paratanaisia sp. wilayah Kulon

Progo, Yogyakarta, Magelang dan Klaten berdasarkan ITS1?

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakter secara molekuler serta

hubungan filogenetik cacing Paratanaisia sp. yang berasal dari merpati wilayah

Kulon Progo, Magelang, Yogyakarta dan Klaten dengan mendapatkan sekuen

nukleotida penyusun ITS1.

Manfaat
Penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk penelitian lebih lanjut

mengenai parasit cacing Paratanaisia sp. dan dapat digunakan sebagai acuan

diagnosa. Selain itu dapat digunakan sebagai masukan bagi peternak dalam

pemeliharaan merpati yang lebih baik.

4
Keaslian Penelitian

Penelitian yang berhubungan dengan Paratanaisia sp. pernah dilakukan

oleh Brener et al. (2006) mengenai prevalensi dan perubahan patologi pada

kalkun yang disebabkan oleh cacing trematoda Paratanaisia bragai. Perubahan

patologi pada ginjal burung kakatua berupa nefritis granulomatous pernah diteliti

oleh Luppi et al. (2007) dan diketahui berkaitan dengan parasit trematoda P.

bragai. Di Indonesia, penelitian mengenai P. bragai baru dilakukan oleh Sahara et

al. (2010) mengenai identifikasi dan patologi cacing trematoda ginjal pada burung

merpati (Columbia livia).

Anda mungkin juga menyukai