Panduan Praktek Klinik Rawap Inap
Panduan Praktek Klinik Rawap Inap
DEPARTEMEN/SMF NEUROLOGI
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
STROKE
1. Pengertian (Definisi) Stroke adalah suatu keadaan hilangnya sebagian atau seluruh fungsi
neurologis (defisit neurologik fokal atau global) yang terjadi secara
mendadak, berlangsung selama atau lebih dari 24 jam atau menyebabkan
kematian, yang semata-mata disebabkan oleh gangguan peredaran darah
otak karena berkurangnya suplai darah (stroke iskemik) atau pecahnya
pembuluh darah secara spontan (stroke perdarahan).
2. Anamnesis Defisit neurologis yang terjadi secara tiba-tiba, saat aktifitas/istirahat,
kesadaran baik/terganggu, nyeri kepala/tidak, muntah/tidak, kejang/tidak,
kelemahan sesisi tubuh/ tidak, gangguan sensibilitas/tidak, afasia/tidak,
riwayat hipertensi, DM, penyakit jantung (faktor risiko stroke lainnya),
lamanya (onset), serangan pertama/ulang.
3. Pemeriksaan Fisik Status generalis : kesadaran (Glasgow Coma Scale), vital sign (TD, Nadi,
RR, Temperatur) dan pemeriksaan umum lainnya
Status neurologis : ditemukan adanya defisit neurologis pada salah satu
atau lebih dari pemeriksaan berikut ini: pemeriksaan saraf-saraf kranialis,
fungsi motorik, sensorik, luhur, vegetatif, gejala rangsang meningeal,
gerakan abnormal, gait dan keseimbangan
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis
2.Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan penunjang ( CT Scan Kepala )
5. Diagnosis 1. Stroke Iskemik
2. Stroke perdarahan
6. Diagnosis Banding 1. Ensefalopati toksik atau metabolik
2. Kelainan non neurologis / fungsional ( contoh : kelainan jiwa)
3. Bangkitan epilepsi yang disertai paresis Todds
4. Migren hemiplegic
5. Lesi struktural intracranial (hematoma subdural, tumor otak, AVM)
6. Infeksi ensefalitis, abses otak
7. Trauma kepala
8. Ensefalopati hipertensif
9. Sklerosis multiple
7. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium : darah perifer lengkap, faal hemostasis (PT, APTT,
Fibrinogen, INR, D-dimer), BSS, fungsi ginjal ( Ureum, Kreatinin,
Asam urat),fungsi jantung (CK-NAK, CK-MB), fungsi hati ( SGOT,
SGPT), Profil lipid
(Kolesteroltotal,LDL,HDL,Trigliserida), elektrolit, analisa gas darah
(AHA/AS, Class I, Level of evidence B)
EKG (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B)
Rontgen Thorak (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B)
CT SCAN kepala tanpa kontras sebagai golden standar (AHA/ASA,
Class II, Level of
evidence A)
MRI kepala (AHA/ASA, Class II, Level of evidence A)
MRA (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A)
CT Angiografi (AHA/ASA, Class II, Level of evidence A)
Pungsi lumbal
Echocardiography ( TTE dan atau TEE) (AHA/ASA, Class III, Level
of evidence B)
Carotid Doppler (USG Carotis)
Transcranial Doppler /TCD (AHA/ASA, Class II, Level of evidence
A)
Mengetahui/ Menyetujui
Ketua Bagian/Departemen Neurologi Palembang, Agustus 2014
FK. Unsri / RSUP Dr. M. Hoesin Palembang Ka. Divisi Stroke
MENINGITIS TUBERKULOSA
ICD A 17.0
1. Pengertian (Definisi) Meningitis tuberkulosa adalah reaksi peradangan yang mengenai selaput
otak yang disebabkan oleh kuman tuberkulosa
2. Anamnesa Didahului oleh gejala prodormal berupa nyeri kepala, anoreksia,
mual/muntah, demam subfebris, disertai dengan perubahan tingkah laku dan
penurunan kesadaran, onset subakut, riwayat penderita TB atau adanya
fokus infeksi sangat mendukung.
3. Pemeriksaan Fisik Berdasarkan stadium didapatkan
Stadium I (Stadium awal)
Gejala prodromal non spesifik yaitu apatis, iritabilitas, nyeri kepala
ringan, malaise, demam, anoreksia, muntah, nyeri abdomen
Stadium II (Stadium intermediate)
Gejala menjadi jelas ditemukan drowsy perubahan mental, tanda
iritasi meningen, kelumpuhan saraf III,IV, VI
Stadium III (Stadium lanjut)
Penderita mengalami penurunan kesadaran menjadi stupor atau koma,
kejang, gerakan involunter, dapat ditemukan hemiparese
4. Kriteria Diagnosis Gambaran klinis memeperlihatkan gejala yang bervariasi dan tidak spesifik.
Selama 2-8 minggu dapat ditemukan malaise anoreksia, demam, nyeri
kepala yang semakin memburuk, perubahan mental, penurunan kesadaran,
kejang, kelumpuhan saraf kranial, hemiparese. Pemeriksaan funduskopi
kadang-kadang memperlihatkan tuberkel pada khoroid dan edema papil
menandakan adanya peninggian tekanan intrakranial
5. Diagnosis Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis dan
pemeriksaan penunjang
6. Diagnosis Banding Meningoensefalitis karena virus
Meningitis bakterial yang pengobatannya tidak sempurna
Meningitis oleh karena infeksi jamur / parasit (Cryptococcus neofarmans
atau Toxoplasma gondii), Sarkoid meningitis
Tekanan selaput yang difus oleh sel ganas, termasuk karsinoma,
limfoma, leukemia, glioma, melanoma, dan meduloblastoma
7. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan LCS, dilakukan jika tidak ada tanda-tanda peningkatan
tekanan intrakranial (terdapat peningkatan tekanan pada lumbal pungsi
40-75% pada anak dan 50% pada dewasa. Warna jernih atau
xanthokrom terdapat pada peningkatan protein dan 150-200 mg/dl dan
penurunan glukosa pada cairan serebrospinal
pemeriksaan darah rutin, kimia, elektrolit
Pemeriksaan Sputum BTA (+)
Pemeriksaan Radiologik
- Foto polos paru
- CT Scan kepala atau MRI dibuat sebelum dilakukan pungsi
lumbal bila dijumpai peninggian tekanan intrakranial
Pemeriksaan penunjang lain :
- IgG anti TB (untuk mendapatkan antigen bakteri diperiksa
counter-immunoelectrophoresis, radioimmunoassay, atau teknik
ELISA).
- PCR
8. Terapi TATALAKSANA
Umum
Terapi kausal : Kombinasi Obat Anti Tuberkulosa (OAT)
o INH
o Pyrazinamida
o Rifampisin
o Etambutol
Kortikosteroid
9. Edukasi Penyelesain terapi (makan obat anti tuberkulosis) sampai selesai batas waktu
pengobatan, fisioterapi
10. Prognosis Meningitis tuberkulosis sembuh lambat dan umumnya meninggalkan
sekuele neurologis
Bervariasi dari sembuh sempurna, sembuh dengan cacat atau meninggal
11. Tingkat Evidens I
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis Kolegium Neurologi Indonesia Sub divisi Neuro Infeksi
14. Indikator Medis Terdapat peningkatan kesadaran dan tidak adanya kejang
15 Kepustakaan Infeksi pada Sistem Saraf POKDI Neuroinfeksi 2011
Mengetahui/ Menyetujui
Ketua Bagian/Departemen Neurologi Palembang,
FK. Unsri / RSUP Dr. M. Hoesin Palembang Ka. Divisi Meningitis Tuberkulosa
MENINGITIS BAKTERIAL
ICD G 00
1. Pengertian (Definisi) Meningitis bakterial (disebut juga meningitis piogenik akut atau meningitis
purulenta) adalah suatu infeksi cairan likuor serebrospinalis dengan proses
peradangan yang melibatkan piamater, arakhnoid, ruang subarakhnoid dan
dapat meluas ke permukaan otak dan medula spinalis
2. Anamnesa Gejala timbul dalam 24 jam setelah onset, dapat juga subakut antara 1-7
hari. Gejala berupa demam tinggi, menggigil, sakit kepala, fotofobia,
myalgia, mual, muntah, kejang, perubahan status mental sampai penurunan
kesadaran.
Mengetahui/ Menyetujui
Ketua Bagian/Departemen Neurologi Palembang,
FK. Unsri / RSUP Dr. M. Hoesin Palembang Ka. Divisi Meningitis Bakterial
STATUS EPILEPTIKUS
ICD G41.0
3. PemeriksaanFisik Pemeriksaanfisikumum:
Terdapatpenurunankesadaran.
Secara visual didapatkanterjadinyabangkitan.
Mencaritanda-tandagangguan yang berkaitandenganepilepsi:
- Trauma kepala
- Tandainfeksi
- Kelainankongenital
- Kelainankulit (neurofakomatosis)
- Tandakeganasan
Pemeriksaanneurologis:
Mencaritanda-tandadefisitneurologisfokalataudifus yang
dapatberhubungandenganepilepsi.
6. Diagnosis Banding Syncope with secondary jerking movement, gangguan cardiac danrespirasi
yang munculbersamaandengansecondary anoxic seizure, Non-Epileptic Attack
Disorder (NEAD), microsleeps, panic attacks, ensefalopatiakut, intermittent
phychosis, hysterical fugue, narkolepsi.
Kontraindikasiabsolut:
- Penyakitneurologik yang progresif
(baikmetabolikmaupundegeneratif).
- Sindromaepilepsi yang benigna,
dimanadiharapkanterjadiremisidikemudianhari.
Jenis-jenisoperasi:
- Operasireseksi: pada mesial temporal lobe, neokortikal.
- Diskoneksi: korpuskalosotomi, multiple supialtransection.
- Hemispherektomi.
StimulasiNervusVagus
Urgent treatment
Phenytoin/fosphenytoin Class IIa, level B
Midazolam (continuous infusion) Class IIb, level B
Phenobarbital Class IIb, level C
Refractory treatment
Midazolam Class IIa, level B
Propofol Class IIb, level B
Pentobarbital/thiopental Class IIb, level B
Valproate sodium Class IIa, level B
Phenytoin/fosphenytoin Class IIb, level C
Lacosamide Class IIb, level C
Topiramate Class IIb, level C
Phenobarbital Class IIb, level C
Mengetahui/ Menyetujui
Ketua Bagian/Departemen Neurologi Palembang,
FK. Unsri / RSUP Dr. M. Hoesin Palembang Ka. Divisi Status Epileptikus
TETANUS
ICD X : A35
1. Pengertian (Definisi) Penyakit sistem saraf yang perlangsungannya akut dengan karakteristik
spasme tonik persisten dan eksaserbasi singkat.
2. Anamnesa Sulit membuka mulut.
Perut terasa keras dan kaku
Kejang tonik berulang dengan rangsangan berupa suara, cahaya, dll.
3. Pemeriksaan Fisik Trismus
Perut papan
Opistotonus
4. Kriteria Diagnosis Hipertoni dan spasme otot
o Trismus, risus sardonikus, otot leher kaku dan nyeri,
opistotonus, dinding perut tegang, anggota gerak spastik.
o Lain-lain: Kesukaran menelan, asfiksia dan sianosis, nyeri
pada otot-otot di sekitar luka.
Kejang tonik dengan kesadaran tidak terganggu/terganggu
Umumnya ada luka/riwayat luka
Retensi urine dan hiperpireksia
Tetanus lokal
5. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari anamnesa yaitu didapatkan riwayat kejang
rangsang tonik berulang dan juga dari pemeriksaan fisik didapatkan
hipertoni dan spasme otot, fokal infeksi ( baik karnna trauma atau karna
infeksi dari retrofaringeal, gigi dan telinga)
6. Diagnosis Banding Kejang karena hipokalsemia
Reaksi distonia
Rabies
Meningitis
Abses retrofaringeal, abses gigi, subluksasi mandibula
Sindrom hiperventilasi/reaksi histeria
Epilepsi/kejang tonik klonik umum
7.Pemeriksaan Penunjang Bila memungkinkan, periksa bakteriologik untuk menemukan C.
Tetani.
Pemeriksaan darah rutin, elektrolit, AGD.
EKG serial bila ada tanda-tanda gangguan jantung.
Foto toraks bila ada tanda-tanda komplikasi paru-paru.
Rontgen tulang jika ada trauma berat atau curiga patah tulang.
8. Terapi TATALAKSANA
IVFD dekstrose 5% : RL = 1 : 1 / 6 jam
Kausal :
o Antitoksin tetanus:
a. Serum antitetanus (ATS) diberikan dengan dosis
100.000 IU//i.m. dengan dosis maksimal 40.000/hari.
TES KULIT SEBELUMNYA, atau
b. Human Tetanus Immunoglobulin (HTIG). Dosis 500-
3.000 IU/i.m. Diberikan SINGLE DOSE.
o Tetanus Toxoid diberikan pada pasien dengan riwayat
imunisasi booster terakhir lebih dari 10 tahun yang lalu atau
riwayat imunisasi tidak diketahui dengan dosis
a. Usia 7 tahun: 0,5 ml (5IU) i.m
b. Usia < 7 tahun: gunakan DTP atau Dtap sebagai
pengganti Tt. Jika kontraindikasi terhadap pertusis,
berikan DT, dosis 0,5 ml i.m, atau
o TIG (Tetanus Immune Globuline)diberikan jika imunisasi
lebih dari 10 tahun dengan dosis
a. Profilaksis dewasa: 250-500 U i.m pada extremitas
kontralateral lokasi penyuntikan Tt.
b. Profilaksis anak: 250 U i.m pada extremitas
kontralateral lokasi penyuntikan Tt.
o Antibiotik :
a. Metronidazole 500 mg/6 jam drips i.v.
b. Penisilin 2 mega unit i.v/6 jam
Bila alergi terhadap Penisilin dapat diberikan:
Eritromisin 500 mg/6 jam/oral. ATAU
Tetrasiklin 500 mg/6 jam/oral.
o Penanganan luka :
Dilakukan cross incision dan irigasi menggunakan H2O2.
o Simtomatis dan supportif
o Kekakuan otot dan rigiditas/ spasme otot
Diazepam
Digunakan dengan dosis 0,5-10 mg/kgBB atau dengan dosis
a. Spasme ringan: 5-20 mg p.o/8 jam
b. Spasme sedang: 5-10 mg i.v. Bila perlu, tidak melebihi
dosis 80-120 mg dalam 24 jam atau dalam bentuk drip
c. Spasme berat: 50-100 mg dalam 500 ml larutan dextrose
5% dan diinfuskan dengan kecepatan 10-15 mg/jam dalam
24 jam
MgSO4 dengan dosis 70 mg/kgBB dalam bentuk larutan
dextrose 5% 100 ml i.v selama 30 menit. Dilanjutkan dengan
dosis rumatan 2 gr/jam (untuk usia < 60 th) dan 1 gr/jam(untuk
usia 60 th) dalam larutan dextrose 5% 500 ml/6 jam.
o Kontrol disfungsi otonom
Propanolol 5- 10 mg, dapat dinaikkan hingga 40 mg tiga kali
sehari.
MgSO4 dengan dosis 70 mg/kgBB dalam bentuk larutan
dextrose 5% 100 ml i.v selama 30 menit. Dilanjutkan dengan
dosis rumatan 2 gr/jam (untuk usia < 60 th) dan 1 gr/jam(untuk
usia 60 th) dalam larutan dextrose 5% 500 ml/6 jam.
o Oksigen, diberikan bila terdapat tanda-tanda hipoksia, distres
pernapasan, sianosis.
o Gangguan Gastrointestinal
Ranitidin 50 mg/8 jam
Pemberian transfusi darah jika didapatkan perdarahan masif
saluran cerna
o Gangguan Renal dan elektrolit
Hipokalemi diatasi dengan pemberian KCL 20-80 mEq
diberikan dalm infus lambat dalam 24 jam.
Hipernatremia diatasi dengan pemberian dextrose 5%.
Hiponatremia dikoreksi dengan pemberian normal saline.
o Nutrisi
Diberikan TKTP dalam bentuk lunak, saring, atau cair. Bila
perlu, diberikan melalui pipa nasogastrik.
o Menghindari tindakan/perbuatan yang bersifat merangsang,
termasuk rangsangan suara dan cahaya yang intensitasnya bersifat
intermitten.
o Mempertahankan/membebaskan jalan nafas: pengisapan lendir
oro/nasofaring secara berkala.
o Posisi/letak penderita diubah-ubah secara periodik.
o Pemasangan kateter bila terjadi retensi urin.
9. Edukasi -
10. Prognosis Angka kematian tinggi bila :
o Usia tua
o Masa inkubasi singkat
o Onset periode yang singkat
o Demam tinggi
o Spasme yang tidak cepat diatasi
o Disfungsi otonom
11. Tingkat Evidens Class I
12. Tingkat Rekomendasi Level A
13. Penelaah Kritis 1.WHO
2.CDC
3.Perdossi: kelompok Studi Neuro Infeksi
14. Indikator Medis o Anamnesis
Kejang rangsang tonik berulang
Fokal infeksi
o Pemeriksaan Fisik
Trismus
Perut papan
Opistotonus
Disfungsi otonom
o Pemeriksaan penunjang
Biakan C. Tetani (+)
Indikator infeksi meningkat.
15. Kepustakaan 1. Rhee P, Nunley M.K, Demetriades D, Velmahos G, Doucet JJ. Tetanus
and Trauma: A Review and Recomendations. J Trauma. 2005: 58:
1082-88.
2. Sofiati D. Tetanus. Guideline Infeksi Pada Sistem Saraf, Kelompok
Studi Neuro Infeksi, Perdossi. 2011: 131-150.
Mengetahui/ Menyetujui
Ketua Bagian/Departemen Neurologi Palembang, Agustus 2014
FK. Unsri / RSUP Dr. M. Hoesin Palembang Ka. Divisi Tetanus
Diraba :
-getaran ekspirasi
-getaran dileher
-fraktur mandibuler
Pola pernafasan
Lesi sentral : Pola nafas
-aupnea
-cheyne stoke
-Sentral neurogenik Hiperventilasi
-Apnea
Lesi Perifer
-Nafas intercostal
-Nafas diafragma (dinding perut)
Diusahakan:
Hemodinamik stabil (tidak naik turun)
Kondisi tensi normal
Dihindari: hipertensi/meninggi, syok
Jenis Syok:
Hipovolemik
Kardiogenik
Sepsis
Penimbunan vena perifer (polling)
3. Cairan Tubuh
Cegah hidrasi berlebihan
Cairan hipotonik, hipoprotein dan lama pakai ventilator
mudah terjadi hidrasi
Tekanan osmotik dipertahankan dengan albumin
Hindari hiponatrermia
6. Posisi
Hindari posisi Trendelemberg
Posisi kepala 30 derajat lebih tinggi
Pada koma yang lama hindari:
dekubitus: sering alih posisi
Vena dalam thrombosis: pakai stocking
7. Katheter Urine
Untuk memudahkan penghitungan balans cairan
Mencegah kebocoran urin
Berguna pada gangguan kencing
B. Terapi Kausatif/Spesifik
1. Gangguan kesadaran dengan kaku kuduk dengan panas yang
mulai beberapa hari sebelumnya sangat mungkin primer infeksi
(meningitis, ensefalitis) di otak bila gangguan kesadaran tanpa
kaku kuduk sangat mungkin primer infeksi bukan di otak.
2. Gangguan kesadaran dengan kaku kuduk tanpa panas sangat
mungkin perdarahan subaraknoid
3. Gangguan kesadaran dengan didapatkan gangguan neurologis
fokal (hemiparesis, heminervikranial palsy) penyebabnya lesi
intrakranial.
4. Gangguan kesadaran disertai tanda-tanda tekanan intrakranial
meninggi: (muntah-muntah proyektil, parese N.III, kaku kuduk,
penglihatan kabur secepatnya diberi manitol, dexamethason,
dibuat hiperventilasi.
5. Gangguan kesadaran tanpa disertai kaku kuduk dan/atau gejala
neurologis fokal, bradikardi sangat mungkin penyebabnya
metabolik
6. Gangguan kesadaran dengan tanda herniasi intrakranial (anisokor,
isokor miosis/midriasis dengan tetraparesis) termasuk gawat
darurat secepatnya perlu tindakan.
7. Gangguan kesadaran dengan penyebab yang sudah jelas, dapat
diterapi spesifik untuk penyebab:
Hipoglikemi: glukosa
Overdosis opiat: nalokson
Overdosis benzodiazepin: flumazenil
Wernicke ensephalopaty: thiamin
9. Edukasi Edukasi yang diberikan meliputi kondisi pasien, penyebab terjadinya
penurunan kesadaran, penatalaksanaan yang dilakukan, serta prognosis.
10. Prognosis Penegakan prognosis didasarkan pada derajat penurunan kesadaran,
etiologi, kelainan organ-organ tubuh yang menyertai, serta penyulit atau
penyakit penyerta.
11. Tingkat Evidens - Perbaikan jalan nafas termasuk pisa orofaring pada pasien tidak sadar :
level C
- Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia: level C
- CT scan kepala diperlukan untuk membedakan penyebab gejala
neurologis penurunan kesadaran: level B
12. Tingkat Rekomendasi - Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen
<95%: kelas IV
- Perbaikan jalan nafas termasuk pisa orofaring pada pasien tidak sadar :
kelas I
- Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia: kelas I
13. Penelaah Kritis 1. Kolegium Neurologi Indonesia
14. Indikator Medis - Perawatan ICU: jika terjadi gagal nafas yang memerlukan perawatan
dengan menggunakan ventilator
- Perbaikan klinis: jika terjadi perbaikan nilai GCS dan tanda vital lain.
- Perburukan klinis: jika terjadi penurunan nilai GCS dan tanda vital lain
disertai dengan adanya gangguan organ-organ.
15 Kepustakaan 1. Brust, J. C. M., 2007, Current Diagnosis & Treatment of Neurology,
International ed, Mc GrawHill, New York.
2. DeMyer, W.E., 2004, Technique of the Neurologic Examination, 5th
ed. McGrawHill, New York.
3. Ganong W.F., 2005, Review of Medical Physiology, 22nd ed. Mc
GrawHill, Boston.
4. Harsono, 2007, Kapita Selekta Neurologi, Edisi Kedua Cet.ke-6;
Gadjah Mada University Press Yogyakarta
5. Kumar, P. & Clarck, M. 2006 Clinical Medicine, 6th. Elsevier
Saunders, Edinburgh London
6. Mardjono,M., & Sidartha,P. 1994 Neurologi Klinis Dasar, edisi 6;
Dian Rakyat Jakarta
7. Ropper, A.H. & Brown, R.H., 2005, Adams & Victors Principle of
Neurology, 8th ed. Mc Graw Hill, New York.
Mengetahui/ Menyetujui
Ketua Bagian/Departemen Neurologi Palembang,
FK. Unsri / RSUP Dr. M. Hoesin Palembang Ka. Divisi Kesadaran Menurun dan
Koma
Mengetahui/ Menyetujui
Ketua Bagian/Departemen Neurologi Palembang, Agustus 2014
FK. Unsri / RSUP Dr. M. Hoesin Palembang Ka. Divisi Sindroma Guillain Barre