Anda di halaman 1dari 24

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)

DEPARTEMEN/SMF NEUROLOGI
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

STROKE

1. Pengertian (Definisi) Stroke adalah suatu keadaan hilangnya sebagian atau seluruh fungsi
neurologis (defisit neurologik fokal atau global) yang terjadi secara
mendadak, berlangsung selama atau lebih dari 24 jam atau menyebabkan
kematian, yang semata-mata disebabkan oleh gangguan peredaran darah
otak karena berkurangnya suplai darah (stroke iskemik) atau pecahnya
pembuluh darah secara spontan (stroke perdarahan).
2. Anamnesis Defisit neurologis yang terjadi secara tiba-tiba, saat aktifitas/istirahat,
kesadaran baik/terganggu, nyeri kepala/tidak, muntah/tidak, kejang/tidak,
kelemahan sesisi tubuh/ tidak, gangguan sensibilitas/tidak, afasia/tidak,
riwayat hipertensi, DM, penyakit jantung (faktor risiko stroke lainnya),
lamanya (onset), serangan pertama/ulang.
3. Pemeriksaan Fisik Status generalis : kesadaran (Glasgow Coma Scale), vital sign (TD, Nadi,
RR, Temperatur) dan pemeriksaan umum lainnya
Status neurologis : ditemukan adanya defisit neurologis pada salah satu
atau lebih dari pemeriksaan berikut ini: pemeriksaan saraf-saraf kranialis,
fungsi motorik, sensorik, luhur, vegetatif, gejala rangsang meningeal,
gerakan abnormal, gait dan keseimbangan
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis
2.Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan penunjang ( CT Scan Kepala )
5. Diagnosis 1. Stroke Iskemik
2. Stroke perdarahan
6. Diagnosis Banding 1. Ensefalopati toksik atau metabolik
2. Kelainan non neurologis / fungsional ( contoh : kelainan jiwa)
3. Bangkitan epilepsi yang disertai paresis Todds
4. Migren hemiplegic
5. Lesi struktural intracranial (hematoma subdural, tumor otak, AVM)
6. Infeksi ensefalitis, abses otak
7. Trauma kepala
8. Ensefalopati hipertensif
9. Sklerosis multiple
7. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium : darah perifer lengkap, faal hemostasis (PT, APTT,
Fibrinogen, INR, D-dimer), BSS, fungsi ginjal ( Ureum, Kreatinin,
Asam urat),fungsi jantung (CK-NAK, CK-MB), fungsi hati ( SGOT,
SGPT), Profil lipid
(Kolesteroltotal,LDL,HDL,Trigliserida), elektrolit, analisa gas darah
(AHA/AS, Class I, Level of evidence B)
EKG (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B)
Rontgen Thorak (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B)
CT SCAN kepala tanpa kontras sebagai golden standar (AHA/ASA,
Class II, Level of
evidence A)
MRI kepala (AHA/ASA, Class II, Level of evidence A)
MRA (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A)
CT Angiografi (AHA/ASA, Class II, Level of evidence A)
Pungsi lumbal
Echocardiography ( TTE dan atau TEE) (AHA/ASA, Class III, Level
of evidence B)
Carotid Doppler (USG Carotis)
Transcranial Doppler /TCD (AHA/ASA, Class II, Level of evidence
A)

8. Terapi Penatalaksanaan Umum Stroke Akut:


a..Stabilisasi jalan nafas dan pernapasan
b.stabilisasi hemodinamik dengan cairan isotonis dengan cairan kristaloid
intravena
c.Penatalaksanaan hipertensi pada stroke akut dengan menggunakan obat
antihipertensi golongan Calcium Channel Blocker secara intravena
(Nicardipin atau Diltiazem dengan dosis 5mg/jam 2,5 mg/jam tiap 15
menit sampai 15 mg/jam)) dengan ketentuan sebagai berikut:
-Pada stroke iskemik akut, TD diturunkan 15% (sistolik maupun diastolik)
dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila TD Sistolik >220 mmHg
atau TD Diastolik > 120 mmHg (AHA/ASA. Class I, Level of evidence B)
-Pada stroke perdarahan intraserebral akut, apabila TDS>200mmHg atau
MAP>150 mmHg, TD diturunkan sampai TDS 140mmHg. (AHA/ASA,
Class IIa, Level of evidence B)
d. Pentalaksanaan hipotensi pada stroke akut, apabila TDS<100 mmHG
atau TDD <70mmHg dengan pemberian obat vasopressor intravena
(Norefinefrin dengan dosis 4ug/ml dimulai 1ug/menit dititrasi atau
Dopamin dengan dosis >10ug/kgBB/menit)
e.Penatalaksanaan peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK) dengan cara :
-Elevasi kepala 30 derajat
-Posisi pasien menghindari penekanan vena jugular
-Hindari pemberian cairan hipotonik atau glukosa
-Hindari hipertermia
-Jaga normovolemia
-Osmoterapi dengan pemberian cairan Manitol intravena dengan dosis
0,25-0,5 g/kgBB selama >20 menit diulangi setiap 4-6 jam dengan target
<310mOsm/L (AHA/ASA, Class III, Level of evidence C)
f.Pengendalian kejang dengan Diazepam bolus lambat intravena 5-20 mg
dan diikuti Fenitoin loading dose 15-20 mg/kgBB bolus dengan kecepatan
50 mg/menit jka masih kejang (AHA/ASA, Class I, Level of evidence C)
g.Pengendalian hiperpireksia dengan antipiretika Asetaminofen 650 mg
jika suhu>38,5 derajat Celcius dan diatasi penyebabnya (AHA/ASA, Class
I, Level of evidence C)
h.Penatalaksanaan hiperglikemia (BSS>180 mg/dl) pada stroke akut
dengan titrasi insulin (AHA/ASA, Class I, Level of evidence C).
Hipoglikemia berat (<50mg/dl) diobati dengan Dekstrosa 40% intravena
atau infus glukosa 10-20%.Target yang harus dicapai adalah
normoglikemia.
i.Pemberian H2 antagonis (Ranitidin) atau penghambat pompa proton
(Omeprazole) secara intravena dengan dosis 80 mg bolus jika terjadi stress
ulcer (Class I, Level of evidence A)
j.Pemberian analgesik dan anti muntah sesuai indikasi.
h.Pemberian Neuroprotektor (Citicholin) dengan dosis 2x1000 mg
intravena selama 3 hari dilanjutkan dengan oral 2x1000 mg selama 3
minggu (ICTUS)

A.Stroke iskemik / infark :


- Aspirin dengan dosis awal 325 mg dalam 24 - 48 jam pada stroke
iskemik akut (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A)
- Pasien stroke iskemik atau TIA yang tidak mendapatkan
antikoagulan harus diberikan antiplatelet Aspirin (80-325 mg) atau
Clopidogrel 75 mg, atau terapi kombinasi Aspirin dosis rendah 25 mg
dengan extended release dipyridamole 200 mg (AHA/ASA, Class I, Level
of evidence A)
- Clopidogrel 75 mg lebih baik dibandingkan dengan aspirin saja
(AHA/ASA, Class II b, Level of evidence B)
- Kombinasi Aspirin dan Clopidogrel tidak direkomendasikan pada
pasien pasien stroke iskemik akut, kecuali pada pasien dengan indikasi
spesifik (misalnya angina tidak stabil, atau non Q wqve atau recent
stenting), pengobatan diberikan sampai 9 bulan sesudah kejadian
(AHA/ASA, Class I, Level of evidence A)
- Penambahan Aspirin pada terapi Clopidogrel yang diberikan pada
populasi resiko tinggi akan meningkatkan resiko perdarahan bila
dibandingkan dengan pemakaian Clopidogrel saja, sehingga pemakaian
rutin seperti ini tidak direkomendasikan untuk stroke iskemik atau TIA
(AHA/ASA, Class III, Level of evidence A)
- Pada penderita tidak toleran dengan Aspirin, Clopidogrel 75 mg atau
extended release dipyridamole 2x200 mg dapat digunakan (AHA/ASA,
Class Iia, Level of evidence B)
- Pada stroke iskemik aterotrombotik dan arterial stenosis simptomatik
dianjurkan memakai Cilostazol 100 mg 2 kali sehari (AHA/ASA, Class I,
Level of evidence A)
- Trombolitik (harus memenuhi kriteria inklusi) : pemberian iv rTPA
dosis 0,9 mg/kgBB (maksimum 90 mg), 10% dari dosis total diberikan
sebagai bolus inisial, dan sisanya sebagai infus selama 60 menit.
Direkomendasikan secepat mungkin dalam rentang waktu 3 jam.
(AHA/ASA, Class I, Level of evidence A)
- Antikoagulan ( heparin, LMWH, heparinoid) atau antagonis vitamin
K (warfarin) direkomendasikan untuk stroke iskemik atau TIA yang
disertai denngan fibrilasi atrial intermitten atau permanen yang
paroksismal. (target INR 2,5 dengan rentang 2,0-3,0) (AHA/ASA, Class I,
Level of evidence A)
- Pemberian statin dengan efek penurunan lipid direkomendasikan
pada stroke iskemik dan TIA yang disertai aterosklerosis tanpa PJK
dengan LDL 100mg/dl (AHA/ASA, Class I, Level evidence B)
B. Perdarahan subarachnoid :
- Untuk mencegah vasospasme dengan pemberian Nimodipine
dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam iv pada hari ke-3 atau secara oral 60 mg
setiap 6 jam selama 21 hari (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A)
- Terapi antifibrinolitik dengan Asam Traneksamat loading dose 1 g
intravena kemudian dilanjutkan 1 g setiap 6 jam selam 72 jam untuk
mencegah perdarahan ulang (rebleeding)
C. Perdarahan Intraserebral :
Konservatif :
- Memperbaiki faal hemostasis (bila ada gangguan faal hemostasis)
Operatif :
Dilakukan pada kasus yang indikatif /memungkinkan :
- Volume perdarahan lebih dari 30 cc atau diameter > 3cm pada fossa
posterior
- Letak lobar dan kortikal dengan tanda-tanda peninggian TIK akut
dan ancaman herniasi otak
- Perdarahan serebellum
- Hidrosefalus akibat perdarahan intraventrikel atau serebellum
- GCS >7

- Rehabilitasi untuk stroke :


a. Direkomendasikan untuk memulai rehabilitasi dini setelah kondisi
medis stabil (AHA/ASA, Class III, Level of evidence C)
b.Setelah keluar dari unit stroke, direkomendasikan untuk melanjutkan
rehabilitasi dengan berobat jalan selama tahun pertama setelah stroke
(AHA/ASA, Class II, Level of evidence A)
c.Direkomendasikan untuk meningkatkan durasi dan intensitas rehabilitasi
(AHA/ASA, Class II, Level of evidence B)
9. Edukasi Bertujuan melakukan pencegahan sekunder (serangan ulang stroke)
dengan memberikan konseling kepada penderita dan keluarganya,
diantaranya:
a. Pengaturan diet dengan mengkonsumsi makanan rendah lemak jenuh
dan kolesterol, tinggi serat, tinggi protein, mengandung antioksidan
b. Istirahat yang teratur dan tidur yang cukup
c. Mengendalikan stress dengan berpikir positif bertujuan respon relaksasi
yang menurunkan denyut jantung dan tekanan darah
d. Pengendalian faktor-faktor resiko yang telah diketahui dengan obat-obat
yang telah diberikan selama dirawat dan rutin kontrol berobat pasca
dirawat
e. Memodifikasi gaya hidup (olahraga, tidak merokok, tidak
mengkonsumsi alkohol, penurunan berat badan pada obesitas)
f. Melanjutkan fisioterapi dengan berobat jalan
10. Prognosis -Ad vitam
Tergantung berat stroke dan komplikasi yang timbul
-Ad Functionam
Penilaian dengan parameter :
- Activity Daily Living (Barthel Index)
- NIH Stroke Scale (NIHSS)
11. Tingkat Evidens Laboratorium : darah perifer lengkap, faal hemostasis (PT, APTT,
12. Tingkat Rekomendasi Fibrinogen, INR, D-dimer), BSS, fungsi ginjal ( Ureum, Kreatinin,
Asam urat),fungsi jantung (CK-NAK, CK-MB), fungsi hati ( SGOT,
SGPT), Profil lipid
(Kolesteroltotal,LDL,HDL,Trigliserida), elektrolit, analisa gas darah
(AHA/AS, Class I, Level of evidence B)
EKG (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B)
Rontgen Thorak (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B)
CT SCAN kepala tanpa kontras sebagai golden standar (AHA/ASA,
Class II, Level of
evidence A)
MRI kepala (AHA/ASA, Class II, Level of evidence A)
MRA (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A)
CT Angiografi (AHA/ASA, Class II, Level of evidence A)
Pungsi lumbal
Echocardiography ( TTE dan atau TEE) (AHA/ASA, Class III, Level
of evidence B)
Carotid Doppler (USG Carotis)
Transcranial Doppler /TCD (AHA/ASA, Class II, Level of evidence
A)
Penatalaksanaan Umum Stroke Akut:
a..Stabilisasi jalan nafas dan pernapasan
b.stabilisasi hemodinamik dengan cairan isotonis dengan cairan kristaloid
intravena
c.Penatalaksanaan hipertensi pada stroke akut dengan menggunakan obat
antihipertensi golongan Calcium Channel Blocker secara intravena
(Nicardipin atau Diltiazem dengan dosis 5mg/jam 2,5 mg/jam tiap 15
menit sampai 15 mg/jam)) dengan ketentuan sebagai berikut:
-Pada stroke iskemik akut, TD diturunkan 15% (sistolik maupun diastolik)
dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila TD Sistolik >220 mmHg
atau TD Diastolik > 120 mmHg (AHA/ASA. Class I, Level of evidence B)
-Pada stroke perdarahan intraserebral akut, apabila TDS>200mmHg atau
MAP>150 mmHg, TD diturunkan sampai TDS 140mmHg. (AHA/ASA,
Class IIa, Level of evidence B)
d. Pentalaksanaan hipotensi pada stroke akut, apabila TDS<100 mmHG
atau TDD <70mmHg dengan pemberian obat vasopressor intravena
(Norefinefrin dengan dosis 4ug/ml dimulai 1ug/menit dititrasi atau
Dopamin dengan dosis >10ug/kgBB/menit)
e.Penatalaksanaan peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK) dengan cara :
-Elevasi kepala 30 derajat
-Posisi pasien menghindari penekanan vena jugular
-Hindari pemberian cairan hipotonik atau glukosa
-Hindari hipertermia
-Jaga normovolemia
-Osmoterapi dengan pemberian cairan Manitol intravena dengan dosis
0,25-0,5 g/kgBB selama >20 menit diulangi setiap 4-6 jam dengan target
<310mOsm/L (AHA/ASA, Class III, Level of evidence C)
f.Pengendalian kejang dengan Diazepam bolus lambat intravena 5-20 mg
dan diikuti Fenitoin loading dose 15-20 mg/kgBB bolus dengan kecepatan
50 mg/menit jka masih kejang (AHA/ASA, Class I, Level of evidence C)
g.Pengendalian hiperpireksia dengan antipiretika Asetaminofen 650 mg
jika suhu>38,5 derajat Celcius dan diatasi penyebabnya (AHA/ASA, Class
I, Level of evidence C)
h.Penatalaksanaan hiperglikemia (BSS>180 mg/dl) pada stroke akut
dengan titrasi insulin (AHA/ASA, Class I, Level of evidence C).
Hipoglikemia berat (<50mg/dl) diobati dengan Dekstrosa 40% intravena
atau infus glukosa 10-20%.Target yang harus dicapai adalah
normoglikemia.
i.Pemberian H2 antagonis (Ranitidin) atau penghambat pompa proton
(Omeprazole) secara intravena dengan dosis 80 mg bolus jika terjadi stress
ulcer (Class I, Level of evidence A)
j.Pemberian analgesik dan anti muntah sesuai indikasi.
h.Pemberian Neuroprotektor (Citicholin) dengan dosis 2x1000 mg
intravena selama 3 hari dilanjutkan dengan oral 2x1000 mg selama 3
minggu (ICTUS)

A.Stroke iskemik / infark :


- Aspirin dengan dosis awal 325 mg dalam 24 - 48 jam pada stroke
iskemik akut (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A)
- Pasien stroke iskemik atau TIA yang tidak mendapatkan
antikoagulan harus diberikan antiplatelet Aspirin (80-325 mg) atau
Clopidogrel 75 mg, atau terapi kombinasi Aspirin dosis rendah 25 mg
dengan extended release dipyridamole 200 mg (AHA/ASA, Class I, Level
of evidence A)
- Clopidogrel 75 mg lebih baik dibandingkan dengan aspirin saja
(AHA/ASA, Class II b, Level of evidence B)
- Kombinasi Aspirin dan Clopidogrel tidak direkomendasikan pada
pasien pasien stroke iskemik akut, kecuali pada pasien dengan indikasi
spesifik (misalnya angina tidak stabil, atau non Q wqve atau recent
stenting), pengobatan diberikan sampai 9 bulan sesudah kejadian
(AHA/ASA, Class I, Level of evidence A)
- Penambahan Aspirin pada terapi Clopidogrel yang diberikan pada
populasi resiko tinggi akan meningkatkan resiko perdarahan bila
dibandingkan dengan pemakaian Clopidogrel saja, sehingga pemakaian
rutin seperti ini tidak direkomendasikan untuk stroke iskemik atau TIA
(AHA/ASA, Class III, Level of evidence A)
- Pada penderita tidak toleran dengan Aspirin, Clopidogrel 75 mg atau
extended release dipyridamole 2x200 mg dapat digunakan (AHA/ASA,
Class Iia, Level of evidence B)
- Pada stroke iskemik aterotrombotik dan arterial stenosis simptomatik
dianjurkan memakai Cilostazol 100 mg 2 kali sehari (AHA/ASA, Class I,
Level of evidence A)
- Trombolitik (harus memenuhi kriteria inklusi) : pemberian iv rTPA
dosis 0,9 mg/kgBB (maksimum 90 mg), 10% dari dosis total diberikan
sebagai bolus inisial, dan sisanya sebagai infus selama 60 menit.
Direkomendasikan secepat mungkin dalam rentang waktu 3 jam.
(AHA/ASA, Class I, Level of evidence A)
- Antikoagulan ( heparin, LMWH, heparinoid) atau antagonis vitamin
K (warfarin) direkomendasikan untuk stroke iskemik atau TIA yang
disertai denngan fibrilasi atrial intermitten atau permanen yang
paroksismal. (target INR 2,5 dengan rentang 2,0-3,0) (AHA/ASA, Class I,
Level of evidence A)
- Pemberian statin dengan efek penurunan lipid direkomendasikan
pada stroke iskemik dan TIA yang disertai aterosklerosis tanpa PJK
dengan LDL 100mg/dl (AHA/ASA, Class I, Level evidence B)
B. Perdarahan subarachnoid :
- Untuk mencegah vasospasme dengan pemberian Nimodipine
dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam iv pada hari ke-3 atau secara oral 60 mg
setiap 6 jam selama 21 hari (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A)
- Terapi antifibrinolitik dengan Asam Traneksamat loading dose 1 g
intravena kemudian dilanjutkan 1 g setiap 6 jam selam 72 jam untuk
mencegah perdarahan ulang (rebleeding)
C. Perdarahan Intraserebral :
Konservatif :
- Memperbaiki faal hemostasis (bila ada gangguan faal hemostasis)
Operatif :
Dilakukan pada kasus yang indikatif /memungkinkan :
- Volume perdarahan lebih dari 30 cc atau diameter > 3cm pada fossa
posterior
- Letak lobar dan kortikal dengan tanda-tanda peninggian TIK akut
dan ancaman herniasi otak
- Perdarahan serebellum
- Hidrosefalus akibat perdarahan intraventrikel atau serebellum
- GCS >7

-Rehabilitasi untuk stroke :


a. Direkomendasikan untuk memulai rehabilitasi dini setelah kondisi
medis stabil (AHA/ASA, Class III, Level of evidence C)
b.Setelah keluar dari unit stroke, direkomendasikan untuk melanjutkan
rehabilitasi dengan berobat jalan selama tahun pertama setelah stroke
(AHA/ASA, Class II, Level of evidence A)
c.Direkomendasikan untuk meningkatkan durasi dan intensitas rehabilitasi
(AHA/ASA, Class II, Level of evidence B)
13. Penelaah Kritis 1.AHA/ASA
2.Perdossi Pokdi Stroke
14. Indikator Medis - Semua faktor-faktor resiko pada penderita stroke telah diidentifikasi dan
diatasi dengan pendekatan multidisiplin
- Perbaikan klinis penderita stroke pasca perawatan dengan parameter :
ADL (Activity Daily Living/Barthel Index) dan NIHSS ( NIH Stroke
Scale)
- Pencegahan dan pengurangan komplikasi neurologis maupun non
neurologis akibat stroke baik pada fase akut maupun kronis
- Konseling terhadap pasien stroke dan keluarga ttg perawatan di rumah
(home care) dan kontrol rutin pasca perawatan utk pencegahan sekunder
stroke
15 Kepustakaan -Standar Pelayanan Medis Neurologi 2006
-Standar Pelayanan Operasional 2006
-AHA/ASA Guideline Stroke 2011

Mengetahui/ Menyetujui
Ketua Bagian/Departemen Neurologi Palembang, Agustus 2014
FK. Unsri / RSUP Dr. M. Hoesin Palembang Ka. Divisi Stroke

dr. Achmad Junaidi, Sp.S dr. Alwi Shahab, Sp.S (K)


NIP.19720628200212 1 004 NIP. 130318835
PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN/SMF NEUROLOGI
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

MENINGITIS TUBERKULOSA
ICD A 17.0
1. Pengertian (Definisi) Meningitis tuberkulosa adalah reaksi peradangan yang mengenai selaput
otak yang disebabkan oleh kuman tuberkulosa
2. Anamnesa Didahului oleh gejala prodormal berupa nyeri kepala, anoreksia,
mual/muntah, demam subfebris, disertai dengan perubahan tingkah laku dan
penurunan kesadaran, onset subakut, riwayat penderita TB atau adanya
fokus infeksi sangat mendukung.
3. Pemeriksaan Fisik Berdasarkan stadium didapatkan
Stadium I (Stadium awal)
Gejala prodromal non spesifik yaitu apatis, iritabilitas, nyeri kepala
ringan, malaise, demam, anoreksia, muntah, nyeri abdomen
Stadium II (Stadium intermediate)
Gejala menjadi jelas ditemukan drowsy perubahan mental, tanda
iritasi meningen, kelumpuhan saraf III,IV, VI
Stadium III (Stadium lanjut)
Penderita mengalami penurunan kesadaran menjadi stupor atau koma,
kejang, gerakan involunter, dapat ditemukan hemiparese
4. Kriteria Diagnosis Gambaran klinis memeperlihatkan gejala yang bervariasi dan tidak spesifik.
Selama 2-8 minggu dapat ditemukan malaise anoreksia, demam, nyeri
kepala yang semakin memburuk, perubahan mental, penurunan kesadaran,
kejang, kelumpuhan saraf kranial, hemiparese. Pemeriksaan funduskopi
kadang-kadang memperlihatkan tuberkel pada khoroid dan edema papil
menandakan adanya peninggian tekanan intrakranial
5. Diagnosis Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis dan
pemeriksaan penunjang
6. Diagnosis Banding Meningoensefalitis karena virus
Meningitis bakterial yang pengobatannya tidak sempurna
Meningitis oleh karena infeksi jamur / parasit (Cryptococcus neofarmans
atau Toxoplasma gondii), Sarkoid meningitis
Tekanan selaput yang difus oleh sel ganas, termasuk karsinoma,
limfoma, leukemia, glioma, melanoma, dan meduloblastoma
7. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan LCS, dilakukan jika tidak ada tanda-tanda peningkatan
tekanan intrakranial (terdapat peningkatan tekanan pada lumbal pungsi
40-75% pada anak dan 50% pada dewasa. Warna jernih atau
xanthokrom terdapat pada peningkatan protein dan 150-200 mg/dl dan
penurunan glukosa pada cairan serebrospinal
pemeriksaan darah rutin, kimia, elektrolit
Pemeriksaan Sputum BTA (+)
Pemeriksaan Radiologik
- Foto polos paru
- CT Scan kepala atau MRI dibuat sebelum dilakukan pungsi
lumbal bila dijumpai peninggian tekanan intrakranial
Pemeriksaan penunjang lain :
- IgG anti TB (untuk mendapatkan antigen bakteri diperiksa
counter-immunoelectrophoresis, radioimmunoassay, atau teknik
ELISA).
- PCR
8. Terapi TATALAKSANA
Umum
Terapi kausal : Kombinasi Obat Anti Tuberkulosa (OAT)
o INH
o Pyrazinamida
o Rifampisin
o Etambutol
Kortikosteroid
9. Edukasi Penyelesain terapi (makan obat anti tuberkulosis) sampai selesai batas waktu
pengobatan, fisioterapi
10. Prognosis Meningitis tuberkulosis sembuh lambat dan umumnya meninggalkan
sekuele neurologis
Bervariasi dari sembuh sempurna, sembuh dengan cacat atau meninggal
11. Tingkat Evidens I
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis Kolegium Neurologi Indonesia Sub divisi Neuro Infeksi

14. Indikator Medis Terdapat peningkatan kesadaran dan tidak adanya kejang
15 Kepustakaan Infeksi pada Sistem Saraf POKDI Neuroinfeksi 2011

Mengetahui/ Menyetujui
Ketua Bagian/Departemen Neurologi Palembang,
FK. Unsri / RSUP Dr. M. Hoesin Palembang Ka. Divisi Meningitis Tuberkulosa

dr. Achmad Junaidi, Sp.S dr. Theresia Christin, Sp.S


NIP.19720628200212 1 004 NIB. 730911022003201000
PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN/SMF NEUROLOGI
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

MENINGITIS BAKTERIAL
ICD G 00
1. Pengertian (Definisi) Meningitis bakterial (disebut juga meningitis piogenik akut atau meningitis
purulenta) adalah suatu infeksi cairan likuor serebrospinalis dengan proses
peradangan yang melibatkan piamater, arakhnoid, ruang subarakhnoid dan
dapat meluas ke permukaan otak dan medula spinalis
2. Anamnesa Gejala timbul dalam 24 jam setelah onset, dapat juga subakut antara 1-7
hari. Gejala berupa demam tinggi, menggigil, sakit kepala, fotofobia,
myalgia, mual, muntah, kejang, perubahan status mental sampai penurunan
kesadaran.

3. Pemeriksaan Fisik - Tanda-tanda rangsang meningeal


- Papil edema biasanya tampak beberapa jam setelah onset
- Gejala neurologis fokal berupa gangguan saraf kranialis
- Gejala lain: infeksi ekstrakranial misalnya sinusitis, otitis media,
mastoiditis, pneumonia, infeksi saluran kemih, arthritis (N.
meningitidis).
4. Kriteria Diagnosis - Gejala dan tanda klinis meningitis plus parameter LCS abnormal:
predominasi PMN, rasio glukosa LCS : darah < 0.4 plus didapatkannya
bakteri penyebab di dalam LCS secara makroskopis dan atau hasil
kultur positif
- Gejala dan tanda klinis meningitis plus parameter LCS abnormal:
predominansi PMN, rasio glukosa LCS : darah < 0.4 plus kultur LCS
negatif plus satu dari hal berikut:
o Kultur darah positif
o Tes antigen atau PRC dari LCS menunjukkan hasil positif
- Dengan atau tanpa riwayat infeksi saluran nafas atas yang baru, riwayat
faktor predisposisi seperti pneumonia, sinusitis, otitis media, gangguan
imunologi tubuh, alkoholisme, dan DM.
5. Diagnosis - Gejala dan tanda klinis
- Pemeriksaan LCS:
o Jumlah sel meningkat, kadang bisa mencapai puluh ribu
o Pada hitung jenis didapatkan predominansi neutrofil sebagai tanda
infeksi akut. Pada meningitis bakterial yang sudah diobati namun
tidak sempurna (partially treated) dapat dijumpai predominansi
monosit.
o Kadar glukosa LCS rendah, umumnya kurang dari 30% dari kadar
gula sewaktu lumbal pungsi dikerjakan
o Pewarnaan gram dan kultur umumnya dapat menemukan kuman
penyebab
- Pemeriksaan tes aglutinasi latex (jika tersedia)
- Pemeriksaan PCR (jika tersedia)
- Kultur darah positif pada 30-80% kasus
- CT-Scan/MRI kepala pada keadaan-keadaan tertentu.
6. Diagnosis Banding Meningitis virus, Perdarahan Subarakhnoid, Meningitis Khemikal,
Meningtis TB, Meningitis Leptospira, Meningoensefalitis fungal.
7. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium
- Lumbal pungsi
- Pemeriksaan likuor
- Pemeriksaan kultur likuor dan darah
- Pemeriksaan darah rutin,
- Pemeriksaan kimia darah (gula darah, fungsi ginjal, fungsi hati) dan
elektrolit darah
- Analisis gas darah
Radiologis
- Foto polos paru
- CT Scan Kepala
- MRI kepala pada kondisi tertentu
Pemeriksaan penunjang lain: pemeriksaan antigen bakteri spesifik seperti C-
Reactive Protein atau PCR (Polymerase Chain Reaction) (jika tersedia)
8. Terapi - Perawatan umum
- Kausal: Lama pemberian 10-14 hari
Usia Bakteri Penyebab Antibiotika
50 S. Pneumoniae Cefotaxime 2g/6 jam max. 12
tahun N. Meningitidis g/hari atau ceftriaxone 2g/12 jam
L. + Ampicillin 2g/4 jam/IV (200
Monocytogenes mg/kgBB/IV/hari).
Chloramphenicol 1g/6 jam +
Trimetoprim/sulfametoxazole
20mg/kg BB/hari.
Bila prevalensi S. Pneumoniae
resisten Cephalosporin 2%
diberikan:
Cefotaxime / ceftriaxone +
Vancomycin 1g/12 jam/ IV (max.
3 g/ hari)

50 S. Pneumoniae Cefotaxime 2g/6 jam max. 12


tahun H. Influenzae g/hari atau ceftriaxone 2g/12 jam
Species Listeria + Ampicillin 2g/4 jam/IV (200
Pseudomonas mg/kgBB/IV/hari)
aeroginosa
N. Meningitidis Bila prevalensi S. Pneumoniae
resisten Cephalosporin 2%
diberikan:
Cefotaxime / ceftriaxone +
Vancomycin 1g/12 jam/ IV (max.
3 g/ hari)

Ceftazidime 2g/8 jam/ IV


Terapi antibiotik disesuaikan dengan bakteri penyebab. Bila bakteri
penyebab tidak dapat diketahui, maka terapi antibiotik empiris sesuai
dengan kelompok umur, harus segera dimulai
- Terapi tambahan: dianjurkan hanya pada penderita risiko tinggi,
penderita dengan status mental sangat terganggu, edema otak atau
TIK meninggi yaitu dengan deksametason 0,15 mg/kgBB/6 jam/IV
selama 4 hari dan diberikan 20 menit sebelum pemberian antibiotik
- Penanganan peningkatan TIK
o Meninggikan letak kepala 30 dari tempat tidur
o Cairan hiperosmoler: manitol atau gliserol
o Hiperventilasi untuk mempertahankan pCO2 dalam darah
antara 27-30 mmHg
- Mencari kemungkinan sumber infeksi (berasal dari THT, paru,
gigi, dan lainnya)
9. Edukasi - Menjaga kebersihan
- Menutup mulut dan hidung ketika batuk dan bersin
- Imunisasi untuk pencegahan
10. Prognosis Bervariasi dari sembuh sempurna, sembuh dengan cacat, meninggal
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis Kolegium Neurologi Indonesia
14. Indikator Medis Meningitis bakteri biasanya menunjukkan perbaikan dalam 48-72 jam
setelah pengobatan awal tetapi kemungkinan besar mengalami komplikasi
yang disebabkan oleh penyakit.
15. Kepustakaan - Kelompok Studi Neuro Infeksi PERDOSSI. Infeksi Pada Sistem Saraf.
Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan UNAIR. 2011.
- Ropper AH, Brown RH. Adams and Victors Principles of Neurology,
Eight Edition. United States of America: McGraw-Hill.2005.
- National Institute of Neurological Disorders and Stroke (NIH)

Mengetahui/ Menyetujui
Ketua Bagian/Departemen Neurologi Palembang,
FK. Unsri / RSUP Dr. M. Hoesin Palembang Ka. Divisi Meningitis Bakterial

dr. Achmad Junaidi, Sp.S dr. Theresia Christin, Sp.S


NIP.19720628200212 1 004 NIB. 730911022003201000
PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN/SMF NEUROLOGI
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

STATUS EPILEPTIKUS
ICD G41.0

1. Pengertian (Definisi) (Epilepsy Foundation of Americas Working Group on Status Epilepticus)


Adalahbangkitan yang berlangsunglebihdari 30 menit,
atauadanyaduabangkitanataulebih, dimana di
antaraduabangkitantersebuttidakterdapatpemulihankesadaran.
Penangananbangkitanharusdimulaidalam 5-10 menitsetelahawitansuatukejang.
2. Anamnesa Alloanamnesadarisaksimatamengenaihal-hal yang terjadiselamabangkitan:
- Onset bangkitan.
- Polabangkitan (Apakahbangkitandimulaidenganadanyadeviasimata,
gerakankepala, gerakantubuh, vokalisasi,
atauautomatisasi?Apakahbangkitanterjadipadasalahsatuekstremitastu
buhatauseluruhtubuh?Bagaimanakesadaraanpasiensebelumbangkitan,
saatbangkitan, dansesudahbangkitan?).
- Durasibangkitanberlangsunglebihdari 30 menit.
- Frekuensibangkitan.
- Lamanya interval antarbangkitan.
- Tidakterdapatpemulihankesadaranantarbangkitan.
- Faktorpencetus (ApakahterdapatKelelahan, kurangtidur, hormonal,
stress psikologis, ataualkohol?)
- Terapiepilepsisebelumnyadanbagaimanaresponnya.
- Riwayatpenyakitsekarangdandahulu.
- Riwayatbangkitanataupenyakitepilepsidalamkeluarga.

3. PemeriksaanFisik Pemeriksaanfisikumum:
Terdapatpenurunankesadaran.
Secara visual didapatkanterjadinyabangkitan.
Mencaritanda-tandagangguan yang berkaitandenganepilepsi:
- Trauma kepala
- Tandainfeksi
- Kelainankongenital
- Kelainankulit (neurofakomatosis)
- Tandakeganasan
Pemeriksaanneurologis:
Mencaritanda-tandadefisitneurologisfokalataudifus yang
dapatberhubungandenganepilepsi.

4. Kriteria Diagnosis Adanyabangkitan yang berlangsunglebihdari 30 menit,


atauadanyaduabangkitanataulebih, dimana di
antaraduabangkitantersebuttidakterdapatpemulihankesadaran.
Terdapattanda-tandagelombangepileptiformpada video EEG
(jikafasilitastersedia)

5. Diagnosis Klinissesuaidengankriteria diagnosis status epileptikus.


Dikatakanpasti (established) jikapemberian benzodiazepine
awaltidakefektifdalammenghentikanbangkitan.

6. Diagnosis Banding Syncope with secondary jerking movement, gangguan cardiac danrespirasi
yang munculbersamaandengansecondary anoxic seizure, Non-Epileptic Attack
Disorder (NEAD), microsleeps, panic attacks, ensefalopatiakut, intermittent
phychosis, hysterical fugue, narkolepsi.

7.PemeriksaanPenunjang EEG monitoring


Pemeriksaanlaboratorium:
Pemeriksaandarahlengkap, kadarglukosadarahsewaktu, fungsiginjal,
fungsihati, kadarelektrolitdarah, analisa gas darah, faal hemostasis,
kadarobatepilepsi, toksikologi (terutamajikapenyebab status
epileptikustidakjelas).
Pencitraanotak:
CT-Scan kepala, MRI kepala, Positron Emission Tomography (PET), Single
Photon Emission Computed Tomography (SPECT), Magnetic
ResonanseSpectrography (MRS).
Rontgen thorax
Pungsilumbal
EKG

8. Terapi Stadium Penatalaksanaan


Stadium I (0-10 Memperbaikifungsikardio-respiratorik.
menit) Memperbaikijalannafas, pemberianoksigen,
resusitasijikaperlu.

Stadium II ( 0-60 -Pemeriksaanfisikumum (tekanandarah,


menit) nadi, suhu, respiratory
rate)danpemeriksaanneurologis.
-
Memasanginfuspadapembuluhdarahbesarde
nganNaCl 0,9%.
-Mengambil 5-10
ccdarahuntukpemeriksaanlaboratorium.
-Pemberian OAE emergensi: diazepam 10-
20 mg iv (kecepatanpemberian 5
mg/menitataurektaldapatdiulang 15
menitkemudian.
-Memasukkan 50 cc glukosa 40%
padakeadaanhipoglikemia.
-Pemberian thiamin 250 mg iv
padapenyandangalkoholisme.
-Menanganiasidosisdenganbikarbonat.
Stadium III -Menentukanetiologi.
(0-60/90 menit) -Bilakejangberlangsungterus 30
menitsetelahpemberian diazepam pertama,
beri phenytoin iv 15-18
mg/kgBBdengankecepatan 50mg/menit
(monitor tekanandarahdan EKG
padasaatpemberian).
-Bilakejangmasihberlangsung,
dapatdiberikan phenytoin tambahan 5-10
mg/kgBB.
-Bilakejangmasihberlanjut, berikan
phenobarbital 20
mg/kgBBdengankecepatan 50-75 mg/menit
(monitor respirasipadasaatpemberian).
-
Memulaiterapidenganvasopresorbiladiperlu
kan.
-Mengoreksikomplikasi.
Stadium IV (30- -Bilakejangtetaptidakteratasiselama 30-60
90 menit) menit, transfer pasienke ICU, beripropofol
(2mg/kgBB bolus iv, diulangbilaperlu)
atauthiopentone (100-250 mg bolus iv
pemberiandalam 20 menit,
dilanjutkandengan bolus 50 mg setiap 2-3
menit, dilanjutkansampai 12-24 jam
setelahbangkitanklinisataubangkitan EEG
terakhir, lalutapering off.
-Memonitorbangkitandan EEG,
tekananintrakranial, memulaipemberian
OAE dosisrumatan.
Tindakan:
1. Operasi
Indikasioperasi:
- Fokalepilepsi yang intraktabelterhadapobat-obatan.
- Sindromaepilepsifokaldansimptomatik.

Kontraindikasiabsolut:
- Penyakitneurologik yang progresif
(baikmetabolikmaupundegeneratif).
- Sindromaepilepsi yang benigna,
dimanadiharapkanterjadiremisidikemudianhari.

Jenis-jenisoperasi:
- Operasireseksi: pada mesial temporal lobe, neokortikal.
- Diskoneksi: korpuskalosotomi, multiple supialtransection.
- Hemispherektomi.
StimulasiNervusVagus

9. Edukasi Memberikanpenjelasanmengenaipenyakit yang


dideritadanpenyebabterjadinyabangkitankepadakeluarga,
mmberikanpenjelasanmengenaifaktor-faktor yang
memicuterjadinyabangkitansupayadapatdihindariseoptimalmungkin,
menjelaskanmengenaipengaruhbangkitandanefek OAE padapenderita.

10. Prognosis Mortalitas:


Selamaperawatan di RS: 9-21%
Standardized 10-year mortality ratio: 2.8 padapopulasiumum
Morbiditas:
Sequelegangguankognitifdanneurologisberat: 11-16%
90 harisetelah status epileptikus: 39% mengalamigangguankesadarandan 43%
mengalamiperbaikan.

11. Tingkat Emergent treatment


Evidens/Rekomendasi Lorazepam Class I, level A
Midazolam Class I, level A
Diazepam Class IIa, level A
Phenytoin/fosphenytoin Class IIb, level A
Phenobarbital Class IIb, level A

Urgent treatment
Phenytoin/fosphenytoin Class IIa, level B
Midazolam (continuous infusion) Class IIb, level B
Phenobarbital Class IIb, level C

Refractory treatment
Midazolam Class IIa, level B
Propofol Class IIb, level B
Pentobarbital/thiopental Class IIb, level B
Valproate sodium Class IIa, level B
Phenytoin/fosphenytoin Class IIb, level C
Lacosamide Class IIb, level C
Topiramate Class IIb, level C
Phenobarbital Class IIb, level C

12. PenelaahKritis 1.Neuro Critical Care (NCS)


2.Perdossi subdivisiepilepsi

13. IndikatorMedis Bilakejangtetaptidakteratasiselama 30-60 menit (setelahpemberian OAE


Phenytoin) atauterdapattanda-tandaancamangagalnafas, transfer pasienke
ICU.
Adanyakeadaanbebaskejanghingga 12-24 jam
setelahbangkitanklinisatauelektografisterakhir,
kemudiandosisobatditurunkanperlahan.

14. Kepustakaan -PedomanTatalaksanaEpilepsiEdisiKelimaTahun 2014


-StandarPelayananMedik (SPM) NeurologiPerdossi
-Neuro Critical Care

Mengetahui/ Menyetujui
Ketua Bagian/Departemen Neurologi Palembang,
FK. Unsri / RSUP Dr. M. Hoesin Palembang Ka. Divisi Status Epileptikus

dr. Achmad Junaidi, Sp.S dr.Hj. Rasrinam Rasyad, Sp.S (K)


NIP.19720628200212 1 004 NIP. 19450713197109 2 001
PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN/SMF NEUROLOGI
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

TETANUS
ICD X : A35
1. Pengertian (Definisi) Penyakit sistem saraf yang perlangsungannya akut dengan karakteristik
spasme tonik persisten dan eksaserbasi singkat.
2. Anamnesa Sulit membuka mulut.
Perut terasa keras dan kaku
Kejang tonik berulang dengan rangsangan berupa suara, cahaya, dll.
3. Pemeriksaan Fisik Trismus
Perut papan
Opistotonus
4. Kriteria Diagnosis Hipertoni dan spasme otot
o Trismus, risus sardonikus, otot leher kaku dan nyeri,
opistotonus, dinding perut tegang, anggota gerak spastik.
o Lain-lain: Kesukaran menelan, asfiksia dan sianosis, nyeri
pada otot-otot di sekitar luka.
Kejang tonik dengan kesadaran tidak terganggu/terganggu
Umumnya ada luka/riwayat luka
Retensi urine dan hiperpireksia
Tetanus lokal
5. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari anamnesa yaitu didapatkan riwayat kejang
rangsang tonik berulang dan juga dari pemeriksaan fisik didapatkan
hipertoni dan spasme otot, fokal infeksi ( baik karnna trauma atau karna
infeksi dari retrofaringeal, gigi dan telinga)
6. Diagnosis Banding Kejang karena hipokalsemia
Reaksi distonia
Rabies
Meningitis
Abses retrofaringeal, abses gigi, subluksasi mandibula
Sindrom hiperventilasi/reaksi histeria
Epilepsi/kejang tonik klonik umum
7.Pemeriksaan Penunjang Bila memungkinkan, periksa bakteriologik untuk menemukan C.
Tetani.
Pemeriksaan darah rutin, elektrolit, AGD.
EKG serial bila ada tanda-tanda gangguan jantung.
Foto toraks bila ada tanda-tanda komplikasi paru-paru.
Rontgen tulang jika ada trauma berat atau curiga patah tulang.
8. Terapi TATALAKSANA
IVFD dekstrose 5% : RL = 1 : 1 / 6 jam
Kausal :
o Antitoksin tetanus:
a. Serum antitetanus (ATS) diberikan dengan dosis
100.000 IU//i.m. dengan dosis maksimal 40.000/hari.
TES KULIT SEBELUMNYA, atau
b. Human Tetanus Immunoglobulin (HTIG). Dosis 500-
3.000 IU/i.m. Diberikan SINGLE DOSE.
o Tetanus Toxoid diberikan pada pasien dengan riwayat
imunisasi booster terakhir lebih dari 10 tahun yang lalu atau
riwayat imunisasi tidak diketahui dengan dosis
a. Usia 7 tahun: 0,5 ml (5IU) i.m
b. Usia < 7 tahun: gunakan DTP atau Dtap sebagai
pengganti Tt. Jika kontraindikasi terhadap pertusis,
berikan DT, dosis 0,5 ml i.m, atau
o TIG (Tetanus Immune Globuline)diberikan jika imunisasi
lebih dari 10 tahun dengan dosis
a. Profilaksis dewasa: 250-500 U i.m pada extremitas
kontralateral lokasi penyuntikan Tt.
b. Profilaksis anak: 250 U i.m pada extremitas
kontralateral lokasi penyuntikan Tt.
o Antibiotik :
a. Metronidazole 500 mg/6 jam drips i.v.
b. Penisilin 2 mega unit i.v/6 jam
Bila alergi terhadap Penisilin dapat diberikan:
Eritromisin 500 mg/6 jam/oral. ATAU
Tetrasiklin 500 mg/6 jam/oral.
o Penanganan luka :
Dilakukan cross incision dan irigasi menggunakan H2O2.
o Simtomatis dan supportif
o Kekakuan otot dan rigiditas/ spasme otot
Diazepam
Digunakan dengan dosis 0,5-10 mg/kgBB atau dengan dosis
a. Spasme ringan: 5-20 mg p.o/8 jam
b. Spasme sedang: 5-10 mg i.v. Bila perlu, tidak melebihi
dosis 80-120 mg dalam 24 jam atau dalam bentuk drip
c. Spasme berat: 50-100 mg dalam 500 ml larutan dextrose
5% dan diinfuskan dengan kecepatan 10-15 mg/jam dalam
24 jam
MgSO4 dengan dosis 70 mg/kgBB dalam bentuk larutan
dextrose 5% 100 ml i.v selama 30 menit. Dilanjutkan dengan
dosis rumatan 2 gr/jam (untuk usia < 60 th) dan 1 gr/jam(untuk
usia 60 th) dalam larutan dextrose 5% 500 ml/6 jam.
o Kontrol disfungsi otonom
Propanolol 5- 10 mg, dapat dinaikkan hingga 40 mg tiga kali
sehari.
MgSO4 dengan dosis 70 mg/kgBB dalam bentuk larutan
dextrose 5% 100 ml i.v selama 30 menit. Dilanjutkan dengan
dosis rumatan 2 gr/jam (untuk usia < 60 th) dan 1 gr/jam(untuk
usia 60 th) dalam larutan dextrose 5% 500 ml/6 jam.
o Oksigen, diberikan bila terdapat tanda-tanda hipoksia, distres
pernapasan, sianosis.
o Gangguan Gastrointestinal
Ranitidin 50 mg/8 jam
Pemberian transfusi darah jika didapatkan perdarahan masif
saluran cerna
o Gangguan Renal dan elektrolit
Hipokalemi diatasi dengan pemberian KCL 20-80 mEq
diberikan dalm infus lambat dalam 24 jam.
Hipernatremia diatasi dengan pemberian dextrose 5%.
Hiponatremia dikoreksi dengan pemberian normal saline.
o Nutrisi
Diberikan TKTP dalam bentuk lunak, saring, atau cair. Bila
perlu, diberikan melalui pipa nasogastrik.
o Menghindari tindakan/perbuatan yang bersifat merangsang,
termasuk rangsangan suara dan cahaya yang intensitasnya bersifat
intermitten.
o Mempertahankan/membebaskan jalan nafas: pengisapan lendir
oro/nasofaring secara berkala.
o Posisi/letak penderita diubah-ubah secara periodik.
o Pemasangan kateter bila terjadi retensi urin.
9. Edukasi -
10. Prognosis Angka kematian tinggi bila :
o Usia tua
o Masa inkubasi singkat
o Onset periode yang singkat
o Demam tinggi
o Spasme yang tidak cepat diatasi
o Disfungsi otonom
11. Tingkat Evidens Class I
12. Tingkat Rekomendasi Level A
13. Penelaah Kritis 1.WHO
2.CDC
3.Perdossi: kelompok Studi Neuro Infeksi
14. Indikator Medis o Anamnesis
Kejang rangsang tonik berulang
Fokal infeksi
o Pemeriksaan Fisik
Trismus
Perut papan
Opistotonus
Disfungsi otonom
o Pemeriksaan penunjang
Biakan C. Tetani (+)
Indikator infeksi meningkat.
15. Kepustakaan 1. Rhee P, Nunley M.K, Demetriades D, Velmahos G, Doucet JJ. Tetanus
and Trauma: A Review and Recomendations. J Trauma. 2005: 58:
1082-88.
2. Sofiati D. Tetanus. Guideline Infeksi Pada Sistem Saraf, Kelompok
Studi Neuro Infeksi, Perdossi. 2011: 131-150.

Mengetahui/ Menyetujui
Ketua Bagian/Departemen Neurologi Palembang, Agustus 2014
FK. Unsri / RSUP Dr. M. Hoesin Palembang Ka. Divisi Tetanus

dr. Achmad Junaidi, Sp.S dr. Theresia Christin, Sp.S


NIP.19720628200212 1 004 NIB. 730911022003201000
PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN/SMF NEUROLOGI
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

KESADARAN MENURUN DAN COMA


ICD R40
1. Pengertian (Definisi) Sadar: disebut sadar bila memiliki waspada dengan kesiagaan terus
menerus terhadap diri dan lingkungan sekitarnya.
Kesadaran menurun: berkurangnya kewaspadaan dan kesiagaan terhadap
diri dan lingkungan sekitarnya.
Coma: tidak adanya respon fisiologis terhadap stimulus external atau
kebutuhan tubuh.
2. Anamnesa 1. Riwayat penyakit sebelumnya: hipertensi, diabetes melitus, penyakit
ginjal, gangguan fungsi hati, epilepsi, penggunaan obat-obat narkotik
2. Keluhan sebelum terjadi gangguan kesadaran: nyeri kepal yang
mendadak atau sudah lama, perasaan pusing berputar, mual dan
muntah, penglihatan ganda, kejang, kelumpuhan anggota gerak
3. Obat-obat yang diminum secara rutin oleh pasien, misalnya obat
penenang, obat tidur, antikoagulansia, abat antidiabetes (dapat dalam
bentuk injeksi), antihipertensi.
4. Apakah gangguan kesadaran terjadi ecara bertahap atau mendadak,
apakah disertai gejala lain/ikutan?
5. Apakah ada inkontinensia urin dan atau alvi
3. Pemeriksaan Fisik 1. Nadi, meliputi frekuensi, isi dan irama denyut
2. Tekanan darah, suhu tubuh
3. Respirasi, .eliputi frekuensi, keteraturan, kedalaman, dan bau
pernafasan (aseton, amonis, alkohol, bahan kimiawi tertentu, dll)
4. Kulit, meliputi turgor, warna dan permukaan kulit (dehidrasi, ikterus,
sianosis, bekas suntikan, luka karena trauma, dll)
5. Kepala, apakah ada luka dan fraktur
6. Konjungtiva, apakah normal, pucat atau ada perdarahan
7. Mukosa mulut dan bibir, apakah dana perdarahan, perubahan warna
8. Telinga, apakah keluar cairan bening, keruh, darah, termasuk bau
cairan juga perlu diperhatikan
9. Hidung, apakah ada darah dan atau cairan yang keluar dari hidung
10. Orbita, apakah ada brill hematoma, trauma pada bulbus okuli, kelainan
pasangan bola mata (paresis n.III, IV, VI), pupil, celah palpebra, ptosis
11. Leher, apakah ada fraktur vertebra, bila yakin tidak ada fraktur maka
diperiksa apakah ada kaku kuduk
12. Dada, pemeriksaan fungsi jantung dan paru secara sistematik dan teliti
13. Perut, meliputi pemeriksaan hati, limpa, ada distensi atau tidak, suara
peristaltik usus, nyeri tekan di daerah tertentu
14. Penilaian derajat kesadaran dengan menggunakan GCS
15. Pemeriksaan rangsang meningeal
16. Pemeriksaan saraf kranial
17. Pemeriksaan motorik
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesa
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
6. Diagnosis Banding 1. Tidur : Keadaan non patologis dimana ada penurunan kesadaran yang
dengan mudah dibangunkan
2. Akinetik mutisme : Penderita dalam keadaan bangun, mata terbuka tapi
sangat lamban berespon terhadap pertanyaan yang di ajukan.
3. Sindroma locked-in : Penderita dengan mata terbuka/sadar dengan
komunikasi terganggu , ada sedikit gerakan terutama gerakan mata
melirik keatas, kebawah.
4. Status katatonik : sadar penuh fungsi motorik normal tapi tidak bisa
berkomunikasi dengan baik.
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium; darah (darah rutin, elektrolit, faal hati, faal ginjal) dan
LCS
2. CT-scan kepala
3. EEG
8. Terapi Gangguan kesadaran sampai koma adalah keadaan darurat medis, untuk itu
perlu penanganan yang cepat, tepat dan akurat mulai dari ruang unit gawat
darurat sampai ke ruang perawatan intensif. Penanganan terbagi atas dua
besar yaitu:
A. Supportif
Penderita kesadaran menurun di lihat /di nilai
-Jalan nafas
-Pernafasan
-Tekanan Darah
-Cairan tubuh (asam basa elektrolit)
-Posisi tubuh
-Pasang Nasogastric tube
-Katheter Urine
1. Jalan nafas
Dilihat:
-Agitasi : Kesan hipoksemia
-Gerakan nafas : dada
-Retraksi sel iga, dinding perut, subcosta clavikula
Didengar suara tambahan berupa dengkuran, kumuran,
siulan : ada sumbatan.

Diraba :
-getaran ekspirasi
-getaran dileher
-fraktur mandibuler

Yang menyebabkan gangguan jalan nafas :


-Lidah/epiglottis
-muntahan, darah, sekret benda asing
-trauma mandibula/maksila

Alat yang dipakai


-jalan napas orofaringeal
-jalan napas nasofaringeal
-jalan napas definitis : intubasi, pembedahan

Pola pernafasan
Lesi sentral : Pola nafas
-aupnea
-cheyne stoke
-Sentral neurogenik Hiperventilasi
-Apnea

Lesi Perifer
-Nafas intercostal
-Nafas diafragma (dinding perut)

2. Perhatikan aliran darah


-perfusi : perifer, ginjal : produksi urine
-Nadi : ritme, rate, pengisian
-Tekanan darah

Diusahakan:
Hemodinamik stabil (tidak naik turun)
Kondisi tensi normal
Dihindari: hipertensi/meninggi, syok
Jenis Syok:
Hipovolemik
Kardiogenik
Sepsis
Penimbunan vena perifer (polling)

3. Cairan Tubuh
Cegah hidrasi berlebihan
Cairan hipotonik, hipoprotein dan lama pakai ventilator
mudah terjadi hidrasi
Tekanan osmotik dipertahankan dengan albumin
Hindari hiponatrermia

4. Gas Darah dan Keseimbangan Asam Basa


Alat bantu oksimeter untuk mengetahui oksigenasi
diusahakan SaO2 > 95 dan PaO2 > 80 mg (dengan analisa
gas darah)
PO2 dibuat sampai 100-150 mmHg dengan cara diberi O2
PaCo2 : 25-35 mm dengan hiperventilasi
5. Pasang Naso Gastric Tube
Pengeluaran isi lambung berguna:
Mencegah aspirasi, intoksikasi
Nutris parenteral

6. Posisi
Hindari posisi Trendelemberg
Posisi kepala 30 derajat lebih tinggi
Pada koma yang lama hindari:
dekubitus: sering alih posisi
Vena dalam thrombosis: pakai stocking
7. Katheter Urine
Untuk memudahkan penghitungan balans cairan
Mencegah kebocoran urin
Berguna pada gangguan kencing

B. Terapi Kausatif/Spesifik
1. Gangguan kesadaran dengan kaku kuduk dengan panas yang
mulai beberapa hari sebelumnya sangat mungkin primer infeksi
(meningitis, ensefalitis) di otak bila gangguan kesadaran tanpa
kaku kuduk sangat mungkin primer infeksi bukan di otak.
2. Gangguan kesadaran dengan kaku kuduk tanpa panas sangat
mungkin perdarahan subaraknoid
3. Gangguan kesadaran dengan didapatkan gangguan neurologis
fokal (hemiparesis, heminervikranial palsy) penyebabnya lesi
intrakranial.
4. Gangguan kesadaran disertai tanda-tanda tekanan intrakranial
meninggi: (muntah-muntah proyektil, parese N.III, kaku kuduk,
penglihatan kabur secepatnya diberi manitol, dexamethason,
dibuat hiperventilasi.
5. Gangguan kesadaran tanpa disertai kaku kuduk dan/atau gejala
neurologis fokal, bradikardi sangat mungkin penyebabnya
metabolik
6. Gangguan kesadaran dengan tanda herniasi intrakranial (anisokor,
isokor miosis/midriasis dengan tetraparesis) termasuk gawat
darurat secepatnya perlu tindakan.
7. Gangguan kesadaran dengan penyebab yang sudah jelas, dapat
diterapi spesifik untuk penyebab:
Hipoglikemi: glukosa
Overdosis opiat: nalokson
Overdosis benzodiazepin: flumazenil
Wernicke ensephalopaty: thiamin
9. Edukasi Edukasi yang diberikan meliputi kondisi pasien, penyebab terjadinya
penurunan kesadaran, penatalaksanaan yang dilakukan, serta prognosis.
10. Prognosis Penegakan prognosis didasarkan pada derajat penurunan kesadaran,
etiologi, kelainan organ-organ tubuh yang menyertai, serta penyulit atau
penyakit penyerta.
11. Tingkat Evidens - Perbaikan jalan nafas termasuk pisa orofaring pada pasien tidak sadar :
level C
- Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia: level C
- CT scan kepala diperlukan untuk membedakan penyebab gejala
neurologis penurunan kesadaran: level B
12. Tingkat Rekomendasi - Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen
<95%: kelas IV
- Perbaikan jalan nafas termasuk pisa orofaring pada pasien tidak sadar :
kelas I
- Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia: kelas I
13. Penelaah Kritis 1. Kolegium Neurologi Indonesia
14. Indikator Medis - Perawatan ICU: jika terjadi gagal nafas yang memerlukan perawatan
dengan menggunakan ventilator
- Perbaikan klinis: jika terjadi perbaikan nilai GCS dan tanda vital lain.
- Perburukan klinis: jika terjadi penurunan nilai GCS dan tanda vital lain
disertai dengan adanya gangguan organ-organ.
15 Kepustakaan 1. Brust, J. C. M., 2007, Current Diagnosis & Treatment of Neurology,
International ed, Mc GrawHill, New York.
2. DeMyer, W.E., 2004, Technique of the Neurologic Examination, 5th
ed. McGrawHill, New York.
3. Ganong W.F., 2005, Review of Medical Physiology, 22nd ed. Mc
GrawHill, Boston.
4. Harsono, 2007, Kapita Selekta Neurologi, Edisi Kedua Cet.ke-6;
Gadjah Mada University Press Yogyakarta
5. Kumar, P. & Clarck, M. 2006 Clinical Medicine, 6th. Elsevier
Saunders, Edinburgh London
6. Mardjono,M., & Sidartha,P. 1994 Neurologi Klinis Dasar, edisi 6;
Dian Rakyat Jakarta
7. Ropper, A.H. & Brown, R.H., 2005, Adams & Victors Principle of
Neurology, 8th ed. Mc Graw Hill, New York.

Mengetahui/ Menyetujui
Ketua Bagian/Departemen Neurologi Palembang,
FK. Unsri / RSUP Dr. M. Hoesin Palembang Ka. Divisi Kesadaran Menurun dan
Koma

dr. Achmad Junaidi, Sp.S dr. Achmad Junaidi, Sp.S


NIP.19720628200212 1 004 NIP. 19720628200212 1 004
PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN/SMF NEUROLOGI
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

SINDROMA GUILLAIN BARRE


1. Pengertian (Definisi) Sindrom Guillain-Barr (GBS) dapat digambarkan sebagai kumpulan
sindrom klinis yang bermanifestasi sebagai inflamasi akut berupa
polyradiculoneuropathy dengan kelemahan yang dihasilkan dan refleks
berkurangnya.
2. Anamnesa 2-4 minggu gangguan berupa pilineuropati setelah sebelumnya mengalami
penyakit pernapasan atau pencernaan (diare) dengan keluhan jari
dysesthesias, kelemahan otot proksimal ekstremitas bawah berkembang
selama jam untuk hari juga melibatkan lengan, otot truncal, saraf kranial,
dan otot-otot pernapasan.
Droop Facial (mungkin meniru Bell palsy), diplopia, disartria, disfagia,
oftalmoplegia.
3. Pemeriksaan Fisik Kelemahan N. cranialis VII, VI, III, V, IX, X
Kelemahan ekstremitas bawah, ascenden, asimetris upper extremitas,
facial
Reflex: absen atau hiporefleksi
Refleks patologis
4. Kriteria Diagnosis Klinis:
Kelemahan ascenden dan simetris
Anggota gerak bawah terjadi lebih dulu dari anggota gerak atas.
Kelemahan otot proksimal lebih dulu terjadi dari otot distal kelemahan
otot trunkal, bulbar, dan otot pernafasan juga terjadi.
Kelemahan terjadi akut dan progresif bisa ringan sampai tetraplegia
dan gangguan nafas.
Puncak deficit dicapai 4 minggu.
Recovery biasanya dimulai 2-4 minggu
Gangguan sensorik biasanya ringan
Gangguan sensorik bisa parasthesi, baal atau sensasi sejenis
Gangguan N. cranialis bisa terjadi: facial drop, diplopia, disartria,
disfagia
Banyak pasien mengeluh nyeri punggung dan tungkai
Gangguan otonom dari takikardia, bradikardia, flushing paroxysmal,
hipertensi ortostastik, dan anhidrosis.
Retensio urin dan ileus paralitik
Gangguan pernafasan:
- Dyspnoe
- Nafas pendek
- Sulit menelan
- Bicara serak
- Gagal nafas
5. Diagnosis Yang diperlukan untuk diagnosis :
Kelemahan progresif di kedua lengan dan kaki dan Arefleksia
Sangat mendukung diagnosis :
- Perkembangan gejala selama hari, hingga empat minggu
- gejala relatif Simetris
- Gejala sensorik ringan
- Keterlibatan saraf kranial, kelemahan terutama bilateral dari otot-otot
wajah
- Pemulihan mulai dua sampai empat minggu setelah perkembangan
berhenti
- Disfungsi otonom
- Tidak adanya demam saat onset
- Konsentrasi tinggi protein dalam cairan serebrospinal, dengan
kurang dari 10 sel per milimeter kubik (disosiasi sitoalbumin pada
pemeriksaan lumbal punksi)
- Gambaran demielinating polineuropati pada pemeriksaan
Elektrofisiologi (ENMG)
6. Diagnosis Banding Polineuropati terutama karena defisiensi metabolik
Tetraparesis penyebab lain
Hipokalemia
Miasthenia gravis
7. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium:
LCS:
- Disosiasi sitoalbumin
- Pada fase akut terjadi peningkatan protein LCS > 0,55 g/l, tanpa
peningkatan dari sel < 10 lymposit/mm3
- Hitung jenis dan panel metabolik tidak begitu bernilai
- Peningkatan titer dari agent seperti CMV, EBV/micoplasma
membantu penegakan etiologi. Untuk manfaat epidemiologi
- Antibodi glycolipid
- Antibodi GMI
- Ro: CT/MRI untuk mengeksklusi diagnosis lain seperti mielopati
- EMG
8. Terapi Tidak ada drug of choice
Waspadai memburuknya perjalanan klinis dan gangguan pernafasan
Bila ada gangguan pernafasan rawat ICU
Roborantia saraf parenteral
Perlu NGT bila kesulitan mengunyah/menelan
Kortikosteroid masih controversial, bila terjadi paralisis otot berat
maka perlu kortkosteroid dosis tinggi
Plasmafaresis beberapa pasien memberi manfaat yang besar terutama
kasus akut
Plasma 200-250 ml/kgBB dalam 4-6x pemberian sehingga waktu
sehari diganti cairan kombinasi garam +5% albumin
Imunoglobulin intravena (expert consensus): IVIG direkomendasikan
untuk terapi GBS 0,4 g/kgBB/tiap hari untuk 5 hari berturut-turut
ternyata sama efektifnya dengan penggantian plasma. Expert
consensus merekomendasikan IVIG sebagai pengobatan GBS
9. Edukasi Pasien dengan GBS dan keluarga mereka harus dididik tentang penyakit,
proses penyakit, dan tentu saja pencegahan. GBS adalah penyakit dengan
pengaruh potensial jangka panjang terhadap fisik dan kesejahteraan
psikososial pasien. Pendidikan keluarga dan pelatihan juga dianjurkan
untuk mencegah komplikasi selama tahap awal penyakit dan untuk
membantu dalam pemulihan fungsi pada tahap rehabilitasi.
10. Prognosis - tingkat kematian 2-12% meskipun manajemen dilakukan di ICU
(sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS), sepsis, pneumonia,
penyakit tromboemboli vena, dan serangan jantung karena
disfungsi otonom)
- pasien berusia 60 tahun atau lebih, risiko kematian adalah 6 kali
lipat dari orang yang berusia 40-59 tahun dan 157 kali lipat dari
pasien yang lebih muda dari 15 tahun
- Tingkat kecacatan : 80% pasien dengan GBS berjalan secara
independen setelah 6 bulan, dan sekitar 60% pasien mencapai
pemulihan penuh pada kekuatan motorik dalam waktu 1 tahun.
Pemulihan pada sekitar 5-10% pasien dengan GBS memerlukan
waktu yang lebih panjang dari 1 tahun, dengan beberapa bulan
ketergantungan terhadap ventilator, dan kadang pemulihan tidak
sempurna.
11. Tingkat Evidens dan tingkat Tingkat evidens terapi sindroma guillain barre berpedoman kepada
rekomendasi American Academy of Neurology (AAN) adalah:
Tingkat evidens kuat (strong evidence support)
1. Plasmafaresis direkomendasikan pada pasien yang tidak dapat berjalan
tanpa bantuan (nonambulant) yang masih berada dalam waktu 4 minggu
onset dari gejala neuropatinya. (Level A, tingkat rekomendasi Kelas II)
2. IVIG (Imunoglobulin intravena) dengan dosis 0,4/KgBB/ hari, diberikan
selama 5 hari berturut turut direkomendasikan pada pasien yang tidak
dapat berjalan tanpa bantuan (nonambulant) yang masih berada dalam
waktu 2 minggu onset dari gejala neuropatinya (Level A, tingkat
rekomendasi Kelas II)
3. Terapi kombinasi antara plasmaparesis dan IVIG : perlakuan
plasmaparesis dan diikuti dengan pemberian IVIG tidak memiliki efek
terapi yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan plasmaparesis
sendiri atau IVIG saja. (Level A, tingkat rekomendasi Kelas I)
Pemberian cortikosteroid tidak direkomendasikan pada terapi sindroma
guillain Barre (Level A, tingkat rekomendasi Kelas I)
Tingkat evidens baik (good evidence support)
1. Plasmaparesis direkomendasikan pada pasien yang masih dapat berjalan
tanpa bantuan (ambulant) dalam waktu 2 minggu onset dari gejala
neuropatinya. (Level B, tingkat rekomendasi kelas II terbatas)
2. Jika plasmaparesis dimulai dalam waktu 2 minggu onset, didapatkan
efek terapi yang equivalent atau setara dengan pasien yang diberikan IVIG
yang memerlukan alat bantu berjalan (Level B, tingkat rekomendasi kelas
I)
3. Plasmaparesis adalah terapi pilihan pada anak anak dengan SGB yang
berat (Level B, tingkat rekomendasi kelas II)
4. IVIG direkomendasikan pada pasien yang tidak dapat berjalan tanpa
bantuan dapat diberikan dalam 4 minggu onset neuropatinya (level B,
tingkat rekomendasi kelas II)
5. Jika pemberian IVIG dimulai dalam waktu 2 minggu onset, IVIG
memiliki kemanjuran yang sebanding dengan plasmaparesis pada pasien
yang memerlukan alat bantu berjalan jika dimulai dalam 2 minggu onset
(level B, tingkat rekomendasi kelas I)
6. IVIG adalah terapi pilihan bagi anak anak dengan SGB yang parah
(level B, tingkat rekomendasi kelas II)
12. Penelaah Kritis - American Academy of Neurology and the Cochrane
Collaboration
- Perdossi subdivisi neuroimunology
13. Indikator Medis 1. fungsi motorik membaik, termasuk gerakan dan kekuatan serta refleks
fisiologis kembali normal merupakan indikator fase penyembuhan.
2. fungsi pernafasan terganggu merupakan indikator untuk perawatan ICU
3. Terjadinya perbaikan kecepatan hantar saraf pada ENMG merupakan
indikator perbaikan klinis pada pasien SGB secara elektrofisiologis
14. Kepustakaan 1. Lindenbaum Y, Kissel JT, Mendell JR. Treatment approaches for
Guillain-Barr syndrome and chronic inflammatory demyelinating poly
radiculoneuropathy. Neuro Clin.2001;19:187204.
2. Hahn AF. Guillain-Barr syndrome. Lancet. 1998;352:63541.
3. Seneviratne U. Guillain-Barr syndrome. Postgrad Med J. 2000;76:774
82.
4. Jiang GX, de Pedro-Cuesta J, Strigard K, Olsson T, Link H. Pregnancy
and Guillain-Barr syndrome: a nationwide register cohort study.
Neuroepidemiology. 1996;15:192200.
5. The prognosis and main prognostic indicators of Guillain-Barr
syndrome: a multicentre prospective study of 297 patients. The Italian
Guillain-Barr Study Group. Brain. 1996;119(pt 6):205361.
6. Fletcher DD, Lawn ND, Wolter TD, Wijdicks EF. Long-term outcome
in patients with Guillain-Barr syndrome requiring mechanical
ventilation. Neurology. 2000;54:23115.
7. Ropper AH. The Guillain-Barr syndrome. N Engl J Med.
1992;326:11306.
8. Ropper AH, Shahani BT. Pain in Guillain-Barr syndrome. Arch
Neurol. 1984;41:5114.
9. Asbury AK, Cornblath DR. Assessment of current diagnostic criteria for
Guillain-Barr syndrome. Ann Neurol. 1990;27(suppl):S214.
10. Gordon PH, Wilbourn A J. Early electrodiagnostic findings in
Guillain-Barr syndrome. Arch Neurol. 2001;58:9137.
11. Jozefowicz RF. Neurologic diagnostic procedures. In: Goldman L,
Bennett C, eds. Cecil textbook of medicine. 21st ed. Philadelphia:
W.B. Saunders, 2000:20106.
12. McKhann GM, Cornblath DR, Griffin JW, Ho TW, Li CY, Jiang Z, et
al. Acute motor axonal neuropathy: a frequent cause of acute flaccid
paralysis in China. Ann Neurol. 1993;33:33342.
13. Ho TW, Li CY, Cornblath DR, Gao CY, Asbury AK, Griffin JW, et al.
Patterns of recovery in the Guillain-Barr syndromes. Neurology.
1997;48:695700.
14. Griffin JW, Li CY, Ho TW, Tian M, Gao CY, Xue P, et al. Pathology
of the motor-sensory axonal Guillain-Barr syndrome. Ann Neurol.
1996;39:1728.
15. Mori M, Kuwabara S, Fukutake T, Yuki N, Hattori T. Clinical features
and prognosis of Miller Fisher syndrome. Neurology. 2001;56:11046.
16. Zochodne DW. Autonomic involvement in Guillain-Barr syndrome: a
review. Muscle Nerve. 1994;17:114555.
17. Rees JH, Soudain SE, Gregson NA, Hughes RA. Campylobacter jejuni
infection and Guillain-Barr syndrome. N Engl J Med.
1995;333:13749.
18. Hadden RD, Karch H, Hartung HP, Zielasek J, Weissbrich B, Schubert
J, et al. Preceding infection, immune factors, and outcome in Guillain-
Barr syndrome. Neurology. 2001;56:75865.
19. Lasky T, Terracciano GJ, Magder L, Koski CL, Ballesteros M, Nash
D, et al. The Guillain-Barr syndrome and the 19921993 and 1993
1994 influenza vaccines. N Engl J Med. 1998;339:1797802.
20. Zhou W, Pool V, Iskander JK, English-Bullard R, Ball R, Wise RP, et
al. Surveillance for safety after immunization: Vaccine Adverse Event
Reporting System (VAERS)United States, 19912001. MMWR
Surveill Summ. 2003;52:124.
21. Lawn ND, Fletcher DD, Henderson RD, Wolter TD, Wijdicks EF.
Anticipating mechanical ventilation in Guillain-Barr syndrome. Arch
Neurol. 2001;58:8938.
22. Sharshar T, Chevret S, Bourdain F, Raphael JC. Early predictors of
mechanical ventilation in Guillain-Barr syndrome. French
Cooperative Group on Plasma Exchange in Guillain-Barr Syndrome.
Crit Care Med. 2003;31:27883.
23. Tripathi M, Kaushik S. Carbamazepine for pain management in
Guillain-Barr syndrome patients in the intensive care unit. Crit Care
Med. 2000;28:6558.
24. Pandey CK, Bose N, Garg G, Singh N, Baronia A, Agarwal A, et al.
Gabapentin for the treatment of pain in Guillain-Barr syndrome: a
double-blind, placebo-controlled, crossover study. Anesth Analg.
2002;95:171923.
25. Van Der Meche FG, Schmitz PI. A randomized trial comparing
intravenous immune globulin and plasma exchange in Guillain-Barr
syndrome. Dutch Guillain-Barr Study Group. N Engl J Med.
1992;326:11239.
26. Hughes RA, Wijdicks EF, Barohn R, Benson E, Cornblath DR, Hahn
AF, et al. Practice parameter: immunotherapy for Guillain-Barr
syndrome: report of the Quality Standards Subcommittee of the
American Academy of Neurology. Neurology. 2003;61:73640.
27. Hughes RA, Raphal JC, Swan AV, van Doorn PA. Intravenous
immunoglobulin for Guillain-Barr syndrome. Cochrane Database
Syst Rev. 2004;(1):CD002063
28. Randomised trial of plasma exchange, intravenous immunoglobulin,
and combined treatments in Guillain-Barr syndrome. Plasma
Exchange/Sandoglobulin Guillain-Barr Trial Group. Lancet.
1997;349:22530.
29. Hund EF, Borel CO, Cornblath DR, Hanley DF, McKhann GM.
Intensive management and treatment of severe Guillain-Barr
syndrome. Crit Care Med. 1993;21:44346.
30. Raphal JC, Chevret S, Hughes RA, Annane D. Plasma exchange for
Guillain-Barr syndrome. Cochrane Database Syst Rev.
2004;(1):CD001798
31. Appropriate number of plasma exchanges in Guillain-Barr syndrome.
The French Cooperative Group on Plasma Exchange in Guillain-Barr
Syndrome. Ann Neurol. 1997;41:298306.
32. Sater RA, Rostami A. Treatment of Guillain-Barr syndrome with
intravenous immunoglobulin. Neurology. 1998;51(6 suppl 5):S915.
33. Hughes RA, van Der Meche FGA. Corticosteroids for treating
Guillain-Barr syndrome. Cochrane Database Syst Rev.
2003;(4):CD001446. Review.
34. Lawn ND, Wijdicks EF. Fatal Guillain-Barr syndrome. Neurology.
1999;52:6358.
35. Standar Pelayanan Medik (SPM) Neurologi, Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI)

Mengetahui/ Menyetujui
Ketua Bagian/Departemen Neurologi Palembang, Agustus 2014
FK. Unsri / RSUP Dr. M. Hoesin Palembang Ka. Divisi Sindroma Guillain Barre

dr. Achmad Junaidi, Sp.S dr. H.M. Hasnawi Haddani, Sp.S


NIP.19720628200212 1 004 NIP.19621201199002 1 002

Anda mungkin juga menyukai