NEUROLOGI
RUMAH SAKIT UNIVERSITAS RIAU
STROKE
1. Pengertian (Definisi) Stroke adalah suatu keadaan hilangnya sebagian atau seluruh
fungsi neurologis (defisit neurologik fokal atau global) yang terjadi
secara mendadak, berlangsung selama atau lebih dari 24 jam atau
menyebabkan kematian, yang semata-mata disebabkan oleh
gangguan peredaran darah otak karena berkurangnya suplai darah
(stroke iskemik) atau pecahnya pembuluh darah secara spontan
(stroke perdarahan).
2. Anamnesis Defisit neurologis yang terjadi secara tiba-tiba, saat
aktifitas/istirahat, kesadaran baik/terganggu, nyeri kepala/tidak,
muntah/tidak, kejang/tidak, kelemahan sesisi tubuh/ tidak,
gangguan sensibilitas/tidak, afasia/tidak, riwayat hipertensi, DM,
penyakit jantung (faktor risiko stroke lainnya), lamanya (onset),
serangan pertama/ulang.
3. Pemeriksaan Fisik Status generalis : kesadaran (Glasgow Coma Scale), vital sign
(TD, Nadi, RR, Temperatur) dan pemeriksaan umum lainnya
Status neurologis : ditemukan adanya defisit neurologis pada salah
satu atau lebih dari pemeriksaan berikut ini: pemeriksaan saraf-
saraf kranialis, fungsi motorik, sensorik, luhur, vegetatif, gejala
rangsang meningeal, gerakan abnormal, gait dan keseimbangan
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis
2.Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan penunjang ( CT Scan Kepala )
5. Diagnosis 1. Stroke Iskemik
2. Stroke perdarahan
6. Diagnosis Banding 1. Ensefalopati toksik atau metabolik
2. Kelainan non neurologis / fungsional ( contoh : kelainan jiwa)
3. Bangkitan epilepsi yang disertai paresis Todd’s
4. Migren hemiplegic
5. Lesi struktural intracranial (hematoma subdural, tumor otak,
AVM)
6. Infeksi ensefalitis, abses otak
7. Trauma kepala
8. Ensefalopati hipertensif
9. Sklerosis multiple
7. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium : darah perifer lengkap, faal hemostasis (PT,
APTT, Fibrinogen, INR, D-dimer), BSS, fungsi ginjal
( Ureum, Kreatinin, Asam urat),fungsi jantung (CK-NAK,
CK-MB), fungsi hati (SGOT, SGPT), Profil lipid (Kolesterol
total, LDL, HDL, Trigliserida), elektrolit, analisa gas darah
(AHA/AS, Class I, Level of evidence B)
EKG (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B)
Rontgen Thorak (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B)
CT SCAN kepala tanpa kontras sebagai golden standar
(AHA/ASA, Class II, Level of evidence A)
MRI kepala (AHA/ASA, Class II, Level of evidence A)
MRA (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A)
CT Angiografi (AHA/ASA, Class II, Level of evidence A)
Pungsi lumbal
Echocardiography (TTE dan atau TEE) (AHA/ASA, Class III,
Level of evidence B)
Carotid Doppler (USG Carotis)
Transcranial Doppler /TCD (AHA/ASA, Class II, Level of
evidence A)
8. Terapi Penatalaksanaan Umum Stroke Akut:
a. Stabilisasi jalan nafas dan pernapasan
b. Stabilisasi hemodinamik dengan cairan isotonis dengan
cairan kristaloid intravena
c. Penatalaksanaan hipertensi pada stroke akut dengan
menggunakan obat antihipertensi golongan Calcium
Channel Blocker secara intravena (Nicardipin atau
Diltiazem dengan dosis 5mg/jam 2,5 mg/jam tiap 15 menit
sampai 15 mg/jam)) dengan ketentuan sebagai berikut:
Pada stroke iskemik akut, TD diturunkan 15% (sistolik
maupun diastolik) dalam 24 jam pertama setelah
awitan apabila TD Sistolik >220 mmHg atau TD
Diastolik > 120 mmHg (AHA/ASA. Class I, Level of
evidence B)
Pada stroke perdarahan intraserebral akut, apabila
TDS>200mmHg atau MAP>150 mmHg, TD
diturunkan sampai TDS 140mmHg. (AHA/ASA, Class
IIa, Level of evidence B).
d. Pentalaksanaan hipotensi pada stroke akut, apabila
TDS<100 mmHG atau TDD <70mmHg dengan pemberian
obat vasopressor intravena (Norephinefrin dengan dosis
4ug/ml dimulai 1ug/menit dititrasi atau Dopamin dengan
dosis >10ug/kgBB/menit).
e. Penatalaksanaan peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK)
dengan cara :
Elevasi kepala 30 derajat
Posisi pasien menghindari penekanan vena jugular
Hindari pemberian cairan hipotonik atau glukosa
Hindari hipertermia
Jaga normovolemia
Osmoterapi dengan pemberian cairan Manitol
intravena dengan dosis 0,25-0,5 g/kgBB selama >20
menit diulangi setiap 4-6 jam dengan target
<310mOsm/L (AHA/ASA, Class III, Level of
evidence C)
f. Pengendalian kejang dengan Diazepam bolus lambat
intravena 5-20 mg dan diikuti Fenitoin loading dose 15-20
mg/kgBB bolus dengan kecepatan 50 mg/menit jka masih
kejang (AHA/ASA, Class I, Level of evidence C)
g. Pengendalian hiperpireksia dengan antipiretika
Asetaminofen 650 mg jika suhu>38,5 derajat Celcius dan
diatasi penyebabnya (AHA/ASA, Class I, Level of
evidence C)
h. Penatalaksanaan hiperglikemia (BSS>180 mg/dl) pada
stroke akut dengan titrasi insulin (AHA/ASA, Class I,
Level of evidence C). Hipoglikemia berat (<50mg/dl)
diobati dengan Dekstrosa 40% intravena atau infus
glukosa 10-20%.Target yang harus dicapai adalah
normoglikemia.
i. Pemberian H2 antagonis (Ranitidin) atau penghambat
pompa proton (Omeprazole) secara intravena dengan dosis
80 mg bolus jika terjadi stress ulcer (Class I, Level of
evidence A)
j. Pemberian analgesik dan anti muntah sesuai indikasi.
k. Pemberian Neuroprotektor (Citicholin) dengan dosis
2x1000 mg intravena selama 3 hari dilanjutkan dengan
oral 2x1000 mg selama 3 minggu (ICTUS)
B. Perdarahan subarachnoid :
a. Untuk mencegah vasospasme dengan pemberian
Nimodipine dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam iv pada hari
ke-3 atau secara oral 60 mg setiap 6 jam selama 21 hari
(AHA/ASA, Class I, Level of evidence A)
b. Terapi antifibrinolitik dengan Asam Traneksamat loading
dose 1 g intravena kemudian dilanjutkan 1 g setiap 6 jam
selam 72 jam untuk mencegah perdarahan ulang
(rebleeding).
C. Perdarahan Intraserebral :
1. Konservatif :
a. Memperbaiki faal hemostasis (bila ada gangguan faal
hemostasis)
2. Operatif :
Dilakukan pada kasus yang indikatif /memungkinkan :
a. Volume perdarahan lebih dari 30 cc atau diameter >
3cm pada fossa posterior
b. Letak lobar dan kortikal dengan tanda-tanda
peninggian TIK akut dan ancaman herniasi otak
c. Perdarahan serebellum
d. Hidrosefalus akibat perdarahan intraventrikel atau
serebellum
e. GCS >7
REHABILITASI UNTUK STROKE :
a. Direkomendasikan untuk memulai rehabilitasi dini setelah
kondisi medis stabil (AHA/ASA, Class III, Level of
evidence C)
b. Setelah keluar dari unit stroke, direkomendasikan untuk
melanjutkan rehabilitasi dengan berobat jalan selama
tahun pertama setelah stroke (AHA/ASA, Class II, Level
of evidence A)
c. .Direkomendasikan untuk meningkatkan durasi dan
intensitas rehabilitasi (AHA/ASA, Class II, Level of
evidence B)
9. Edukasi Bertujuan melakukan pencegahan sekunder (serangan ulang
stroke) dengan memberikan konseling kepada penderita dan
keluarganya, diantaranya:
a. Pengaturan diet dengan mengkonsumsi makanan rendah
lemak jenuh dan kolesterol, tinggi serat, tinggi protein,
mengandung antioksidan
b. Istirahat yang teratur dan tidur yang cukup
c. Mengendalikan stress dengan berpikir positif bertujuan
respon relaksasi yang menurunkan denyut jantung dan
tekanan darah
d. Pengendalian faktor-faktor resiko yang telah diketahui
dengan obat-obat yang telah diberikan selama dirawat dan
rutin kontrol berobat pasca dirawat
e. Memodifikasi gaya hidup (olahraga, tidak merokok, tidak
mengkonsumsi alkohol, penurunan berat badan pada
obesitas)
f. Melanjutkan fisioterapi dengan berobat jalan
10. Prognosis a. Ad vitam
Tergantung berat stroke dan komplikasi yang timbul
b. Ad Functionam
Penilaian dengan parameter :
- Activity Daily Living (Barthel Index)
- NIH Stroke Scale (NIHSS)
EPILEPSI
ICD G40
1. Pengertian Suatu keadaan neurologik yang ditandai oleh bangkitan epilepsi yang berulang,
(Definisi) yang timbul tanpa provokasi. Sedangkan bangkitan epilepsi sendiri adalah
suatu manifestasi klinik yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang
abnormal, berlebih dan sinkron, dari neuron yang (terutama) terletak pada
korteks serebri. Aktivitas paroksismal abnormal ini umumnya timbul
intermiten dan “self-limited”.
Sindroma Epilepsi adalah penyakit epilepsi yang ditandai oleh sekumpulan
gejala yang timbul bersamaan (termasuk tipe bangkitan, etiologi, anatomi,
faktor presipitan usia saat awitan, beratnya penyakit, siklus harian dan
prognosa).
Klasifikasi Epilepsi: (menurut ILAE tahun 1989)
2. Anamnesa Auto dan allo-anamnesis dari orang tua atau saksi mata.
a. Gejala sebelum, selama dan pasca bangkitan :
Keadaan penyandang saat bangkitan :
duduk/berdiri/berbaring/tidur/berkemih.
Gejala awitan (aura, gerakan/sensasi awal/speech arrest).
Apa yang tampak selama bangkitan (pola/bentuk bangkitan) : gerakan
tonik/klonik, vokalisasi, otomatisme, inkontinensia, lidah tergigit,
pucat, berkeringat, deviasi mata.
Keadaan setelah kejadian : bingung, terjaga, nyeri kepala, tidur, gaduh
gelisah, Todds paresis.
Faktor pencetus : alkohol, kurang tidur, hormonal.
Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan, atau terdapat
perubahan pola bangkitan.
b. Ada/tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang, maupun riwayat
penyakit neurologik dan riwayat penyakit psikiatrik maupun penyakit
sistemik yang mungkin menjadi penyebab.
c. Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antar
bangkitan.
d. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap terapi (dosis,
kadar OAE, kombinasi terapi).
e. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga.
f. Riwayat keluarga dengan penyakit neurologik tlain, penyakit psikiatrik
atau sistemik.
g. Riwayat pada saat dalam kandungan, kelahiran dan perkembangan
bayi/anak.
h. Riwayat bangkitan neonatal/kejang demam.
i. Riwayat trauma kepala, infeksi SSP, dll.
3. Pemeriksaan Pemeriksaan Fisik Umum
Fisik Mengamati adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan
epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan
kongenital, kecanduan alkohol atau obat terlarang, kelainan pada kulit
(neurofakomatosis), kanker.
Pemeriksaan Neurologis
Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang dapat
berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit
setelah bangkitan, maka akan tampak tanda pasca bangkitan terutama
tanda fokal yang tidak jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi, seperti:
- Paresis Todd
- Gangguan kesadaran pasca iktal
- Afasia pascaiktal
4. Kriteria Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
Diagnosis
5. Diagnosis Dasar adanya bangkitan epilepsi berulang (minimum 2 kali) tanpa provokasi,
dengan atau tanpa adanya gambaran epileptiform pada EEG.
6. Diagnosis 1. Bangkitan Psychogenik
Banding 2. Gerak Involunter (tics, headnodding, paroxysmal
choreoathethosis/dystonia, benign sleep myoclonus, paroxysmal torticolis,
startle response, jitterness, dll)
3. Hilangnya tonus atau kesadaran (sinkop, drop attacks, TIA, TGA,
narkolepsi, attention deficit)
4. Gangguan respirasi (apnea, breath holding, hiperventilasi)
5. Gangguan perilaku (night terrors, sleepwalking, nightmares, confusion,
sindroma psikotik akut)
6. Gangguan persepsi (vertigo, nyeri kepala, nyeri abdomen)
7. Keadaan episodik dari penyakit tertentu (tetralogy speels, hydrocephalic
spells, cardiac arrhythmia, hipoglikemi, hipokalsemi, periodic paralysis,
migren, dll)
7. Pemeriksaan - EEG
Penunjang - CT scan kepala
- MRI kepala
- Laboratorium : darah rutin, elektrolit, BSS, ureum, creatinin, fungsi hati.
8. Terapi Dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE (obat anti epilepsi) sesuai
dengan jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi.
OAE Fokal Umum Tonik lena Mioklonik
Sekunder klonik
Phenytoin +(A) +(A) +(C) - -
Carbamazepin +(A) +(A) +(C) - -
Valproic acid +(B) +(B) +(C) +(A) +(D)
Phenobarbital +(C) +(C) +(C) 0 ?+
Gabapentin +(C) +(C) ?+(D) 0 ?-
Lamotrigine +(C) +(C) +(C) +(A) +-
Topiramate +(C) +(C) +(C) ? ?+(D)
Zonisamide +(A) +(A) ?+ ?+ ?+
Levetiracetam +(A) +(A) ?+(D) ?+ ?+
Oxcarbamazepi +(C) +(C) +(C) - -
ne
Clonazepam +(D) - - - -
1. Jalan nafas
Dilihat :
Agitasi : Kesan hipoksemia
Gerakan nafas : dada
Retraksi sel iga, dinding perut, subcosta clavikula
Didengar suara tambahan berupa dengkuran,
kumuran, siulan : ada sumbatan.
Diraba :
getaran ekspirasi
getaran dileher
fraktur mandibuler
Pola pernafasan
Lesi sentral : Pola nafas
o apnea
o cheyne stoke
o Sentral neurogenik Hiperventilasi
Lesi Perifer
o Nafas intercostal
o Nafas diafragma (dinding perut)
Diusahakan:
Hemodinamik stabil (tidak naik turun)
Kondisi tensi normal
Dihindari: hipertensi/meninggi, syok
Jenis Syok:
o Hipovolemik
o Kardiogenik
o Sepsis
o Penimbunan vena perifer (polling)
3. Cairan Tubuh
o Cegah hidrasi berlebihan
o Cairan hipotonik, hipoprotein dan lama pakai
ventilator mudah terjadi hidrasi
o Tekanan osmotik dipertahankan dengan albumin
o Hindari hiponatrermia
6. Posisi
Hindari posisi Trendelemberg
Posisi kepala 30 derajat lebih tinggi
Pada koma yang lama hindari:
o dekubitus: sering alih posisi
o Vena dalam thrombosis: pakai stocking
7. Katheter Urine
Untuk memudahkan penghitungan balans cairan
Mencegah kebocoran urin
Berguna pada gangguan kencing
B. Terapi Kausatif/Spesifik
1. Gangguan kesadaran dengan kaku kuduk dengan panas
yang mulai beberapa hari sebelumnya sangat mungkin
primer infeksi (meningitis, ensefalitis) di otak bila
gangguan kesadaran tanpa kaku kuduk sangat mungkin
primer infeksi bukan di otak.
2. Gangguan kesadaran dengan kaku kuduk tanpa panas
sangat mungkin perdarahan subaraknoid
3. Gangguan kesadaran dengan didapatkan gangguan
neurologis fokal (hemiparesis, heminervikranial palsy)
penyebabnya lesi intrakranial.
4. Gangguan kesadaran disertai tanda-tanda tekanan
intrakranial meninggi: (muntah-muntah proyektil, parese
N.III, kaku kuduk, penglihatan kabur secepatnya diberi
manitol, dexamethason, dibuat hiperventilasi.
5. Gangguan kesadaran tanpa disertai kaku kuduk dan/atau
gejala neurologis fokal, bradikardi sangat mungkin
penyebabnya metabolik
6. Gangguan kesadaran dengan tanda herniasi intrakranial
(anisokor, isokor miosis/midriasis dengan tetraparesis)
termasuk gawat darurat secepatnya perlu tindakan.
7. Gangguan kesadaran dengan penyebab yang sudah jelas,
dapat diterapi spesifik untuk penyebab:
Hipoglikemi: glukosa
Overdosis opiat: nalokson
Overdosis benzodiazepin: flumazenil
Wernicke ensephalopaty: thiamin
9. Edukasi Edukasi yang diberikan meliputi kondisi pasien, penyebab
terjadinya penurunan kesadaran, penatalaksanaan yang dilakukan,
serta prognosis.
10. Prognosis Penegakan prognosis didasarkan pada derajat penurunan kesadaran,
etiologi, kelainan organ-organ tubuh yang menyertai, serta penyulit
atau penyakit penyerta.
11. Tingkat Evidens - Perbaikan jalan nafas termasuk pisa orofaring pada pasien tidak
sadar : level C
- Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia: level C
- CT scan kepala diperlukan untuk membedakan penyebab gejala
neurologis penurunan kesadaran: level B
12. Tingkat Rekomendasi - Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi
oksigen <95%: kelas IV
- Perbaikan jalan nafas termasuk pisa orofaring pada pasien tidak
sadar : kelas I
- Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia: kelas I
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis - Perawatan ICU: jika terjadi gagal nafas yang memerlukan
perawatan dengan menggunakan ventilator
- Perbaikan klinis: jika terjadi perbaikan nilai GCS dan tanda
vital lain.
- Perburukan klinis: jika terjadi penurunan nilai GCS dan tanda
vital lain disertai dengan adanya gangguan organ-organ.
15 Kepustakaan 1. Brust, J. C. M., 2007, Current Diagnosis & Treatment of
Neurology, International ed, Mc GrawHill, New York.
2. DeMyer, W.E., 2004, Technique of the Neurologic
Examination, 5th ed. McGrawHill, New York.
3. Ganong W.F., 2005, Review of Medical Physiology, 22nd ed.
Mc GrawHill, Boston.
4. Harsono, 2007, Kapita Selekta Neurologi, Edisi Kedua Cet.ke-6;
Gadjah Mada University Press Yogyakarta
5. Kumar, P. & Clarck, M. 2006 Clinical Medicine, 6th. Elsevier
Saunders, Edinburgh London
6. Mardjono,M., & Sidartha,P. 1994 Neurologi Klinis Dasar, edisi
6; Dian Rakyat Jakarta
7. Ropper, A.H. & Brown, R.H., 2005, Adams & Victor’s
Principle of Neurology, 8th ed. Mc Graw Hill, New York.
PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)
NEUROLOGI
RUMAH SAKIT UNIVERSITAS RIAU
LCS:
- Disosiasi sitoalbumin
- Pada fase akut terjadi peningkatan protein LCS > 0,55 g/l,
tanpa peningkatan dari sel < 10 lymposit/mm3
- Hitung jenis dan panel metabolik tidak begitu bernilai
- Peningkatan titer dari agent seperti CMV, EBV/micoplasma
membantu penegakan etiologi. Untuk manfaat epidemiologi
- Antibodi glycolipid
- Antibodi GMI
- Ro: CT/MRI untuk mengeksklusi diagnosis lain seperti
mielopati
- EMG
8. Terapi Tidak ada drug of choice
Waspadai memburuknya perjalanan klinis dan gangguan
pernafasan
Bila ada gangguan pernafasan rawat ICU
Roborantia saraf parenteral
Perlu NGT bila kesulitan mengunyah/menelan
Kortikosteroid masih controversial, bila terjadi paralisis otot
berat maka perlu kortkosteroid dosis tinggi
Plasmafaresis beberapa pasien memberi manfaat yang besar
terutama kasus akut
Plasma 200-250 ml/kgBB dalam 4-6x pemberian sehingga
waktu sehari diganti cairan kombinasi garam +5% albumin
Imunoglobulin intravena (expert consensus): IVIG
direkomendasikan untuk terapi GBS 0,4 g/kgBB/tiap hari untuk
5 hari berturut-turut ternyata sama efektifnya dengan
penggantian plasma. Expert consensus merekomendasikan IVIG
sebagai pengobatan GBS
9. Edukasi Pasien dengan GBS dan keluarga mereka harus dididik tentang
penyakit, proses penyakit, dan tentu saja pencegahan. GBS adalah
penyakit dengan pengaruh potensial jangka panjang terhadap fisik
dan kesejahteraan psikososial pasien. Pendidikan keluarga dan
pelatihan juga dianjurkan untuk mencegah komplikasi selama tahap
awal penyakit dan untuk membantu dalam pemulihan fungsi pada
tahap rehabilitasi.
13. Indikator Medis 1. Fungsi motorik membaik, termasuk gerakan dan kekuatan serta
refleks fisiologis kembali normal merupakan indikator fase
penyembuhan.
2. Fungsi pernafasan terganggu merupakan indikator untuk
perawatan ICU.
3. Terjadinya perbaikan kecepatan hantar saraf pada ENMG
merupakan indikator perbaikan klinis pada pasien SGB secara
elektrofisiologis
14. Kepustakaan 1. Lindenbaum Y, Kissel JT, Mendell JR. Treatment approaches for
Guillain-Barré syndrome and chronic inflammatory
demyelinating poly radiculoneuropathy. Neuro Clin.2001;19:187–
204.
2. Hahn AF. Guillain-Barré syndrome. Lancet. 1998;352:635–41.
3. Seneviratne U. Guillain-Barré syndrome. Postgrad Med J.
2000;76:774–82.
4. Jiang GX, de Pedro-Cuesta J, Strigard K, Olsson T, Link H.
Pregnancy and Guillain-Barré syndrome: a nationwide register
cohort study. Neuroepidemiology. 1996;15:192–200.
5. The prognosis and main prognostic indicators of Guillain-Barré
syndrome: a multicentre prospective study of 297 patients. The
Italian Guillain-Barré Study Group. Brain. 1996;119(pt 6):2053–
61.
6. Fletcher DD, Lawn ND, Wolter TD, Wijdicks EF. Long-term
outcome in patients with Guillain-Barré syndrome requiring
mechanical ventilation. Neurology. 2000;54:2311–5.
7. Ropper AH. The Guillain-Barré syndrome. N Engl J Med.
1992;326:1130–6.
8. Ropper AH, Shahani BT. Pain in Guillain-Barré syndrome. Arch
Neurol. 1984;41:511–4.
9. Asbury AK, Cornblath DR. Assessment of current diagnostic
criteria for Guillain-Barré syndrome. Ann Neurol.
1990;27(suppl):S21–4.
10. Gordon PH, Wilbourn A J. Early electrodiagnostic findings in
Guillain-Barré syndrome. Arch Neurol. 2001;58:913–7.
11. Jozefowicz RF. Neurologic diagnostic procedures. In: Goldman
L, Bennett C, eds. Cecil textbook of medicine. 21st ed.
Philadelphia: W.B. Saunders, 2000:2010–6.
12. McKhann GM, Cornblath DR, Griffin JW, Ho TW, Li CY,
Jiang Z, et al. Acute motor axonal neuropathy: a frequent cause
of acute flaccid paralysis in China. Ann Neurol. 1993;33:333–
42.
13. Ho TW, Li CY, Cornblath DR, Gao CY, Asbury AK, Griffin
JW, et al. Patterns of recovery in the Guillain-Barré syndromes.
Neurology. 1997;48:695–700.
14. Griffin JW, Li CY, Ho TW, Tian M, Gao CY, Xue P, et al.
Pathology of the motor-sensory axonal Guillain-Barré
syndrome. Ann Neurol. 1996;39:17–28.
15. Mori M, Kuwabara S, Fukutake T, Yuki N, Hattori T. Clinical
features and prognosis of Miller Fisher syndrome. Neurology.
2001;56:1104–6.
16. Zochodne DW. Autonomic involvement in Guillain-Barré
syndrome: a review. Muscle Nerve. 1994;17:1145–55.
17. Rees JH, Soudain SE, Gregson NA, Hughes RA. Campylobacter
jejuni infection and Guillain-Barré syndrome. N Engl J Med.
1995;333:1374–9.
18. Hadden RD, Karch H, Hartung HP, Zielasek J, Weissbrich B,
Schubert J, et al. Preceding infection, immune factors, and
outcome in Guillain-Barré syndrome. Neurology. 2001;56:758–
65.
19. Lasky T, Terracciano GJ, Magder L, Koski CL, Ballesteros M,
Nash D, et al. The Guillain-Barré syndrome and the 1992–1993
and 1993–1994 influenza vaccines. N Engl J Med.
1998;339:1797–802.
20. Zhou W, Pool V, Iskander JK, English-Bullard R, Ball R, Wise
RP, et al. Surveillance for safety after immunization: Vaccine
Adverse Event Reporting System (VAERS)—United States,
1991–2001. MMWR Surveill Summ. 2003;52:1–24.
21. Lawn ND, Fletcher DD, Henderson RD, Wolter TD, Wijdicks
EF. Anticipating mechanical ventilation in Guillain-Barré
syndrome. Arch Neurol. 2001;58:893–8.
22. Sharshar T, Chevret S, Bourdain F, Raphael JC. Early predictors
of mechanical ventilation in Guillain-Barré syndrome. French
Cooperative Group on Plasma Exchange in Guillain-Barré
Syndrome. Crit Care Med. 2003;31:278–83.
23. Tripathi M, Kaushik S. Carbamazepine for pain management in
Guillain-Barré syndrome patients in the intensive care unit. Crit
Care Med. 2000;28:655–8.
24. Pandey CK, Bose N, Garg G, Singh N, Baronia A, Agarwal A,
et al. Gabapentin for the treatment of pain in Guillain-Barré
syndrome: a double-blind, placebo-controlled, crossover study.
Anesth Analg. 2002;95:1719–23.
25. Van Der Meche FG, Schmitz PI. A randomized trial comparing
intravenous immune globulin and plasma exchange in Guillain-
Barré syndrome. Dutch Guillain-Barré Study Group. N Engl J
Med. 1992;326:1123–9.
26. Hughes RA, Wijdicks EF, Barohn R, Benson E, Cornblath DR,
Hahn AF, et al. Practice parameter: immunotherapy for
Guillain-Barré syndrome: report of the Quality Standards
Subcommittee of the American Academy of Neurology.
Neurology. 2003;61:736–40.
27. Hughes RA, Raphaël JC, Swan AV, van Doorn PA. Intravenous
immunoglobulin for Guillain-Barré syndrome. Cochrane
Database Syst Rev. 2004;(1):CD002063
28. Randomised trial of plasma exchange, intravenous
immunoglobulin, and combined treatments in Guillain-Barré
syndrome. Plasma Exchange/Sandoglobulin Guillain-Barré Trial
Group. Lancet. 1997;349:225–30.
29. Hund EF, Borel CO, Cornblath DR, Hanley DF, McKhann GM.
Intensive management and treatment of severe Guillain-Barré
syndrome. Crit Care Med. 1993;21:443–46.
30. Raphaël JC, Chevret S, Hughes RA, Annane D. Plasma
exchange for Guillain-Barré syndrome. Cochrane Database Syst
Rev. 2004;(1):CD001798
31. Appropriate number of plasma exchanges in Guillain-Barré
syndrome. The French Cooperative Group on Plasma Exchange
in Guillain-Barré Syndrome. Ann Neurol. 1997;41:298–306.
32. Sater RA, Rostami A. Treatment of Guillain-Barré syndrome
with intravenous immunoglobulin. Neurology. 1998;51(6 suppl
5):S9–15.
33. Hughes RA, van Der Meche FGA. Corticosteroids for treating
Guillain-Barré syndrome. Cochrane Database Syst Rev. 2003;
(4):CD001446. Review.
34. Lawn ND, Wijdicks EF. Fatal Guillain-Barré syndrome.
Neurology. 1999;52:635–8.
35. Standar Pelayanan Medik (SPM) Neurologi, Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI)