Anda di halaman 1dari 20

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)

NEUROLOGI
RUMAH SAKIT UNIVERSITAS RIAU

STROKE

1. Pengertian (Definisi) Stroke adalah suatu keadaan hilangnya sebagian atau seluruh
fungsi neurologis (defisit neurologik fokal atau global) yang terjadi
secara mendadak, berlangsung selama atau lebih dari 24 jam atau
menyebabkan kematian, yang semata-mata disebabkan oleh
gangguan peredaran darah otak karena berkurangnya suplai darah
(stroke iskemik) atau pecahnya pembuluh darah secara spontan
(stroke perdarahan).
2. Anamnesis Defisit neurologis yang terjadi secara tiba-tiba, saat
aktifitas/istirahat, kesadaran baik/terganggu, nyeri kepala/tidak,
muntah/tidak, kejang/tidak, kelemahan sesisi tubuh/ tidak,
gangguan sensibilitas/tidak, afasia/tidak, riwayat hipertensi, DM,
penyakit jantung (faktor risiko stroke lainnya), lamanya (onset),
serangan pertama/ulang.
3. Pemeriksaan Fisik Status generalis : kesadaran (Glasgow Coma Scale), vital sign
(TD, Nadi, RR, Temperatur) dan pemeriksaan umum lainnya
Status neurologis : ditemukan adanya defisit neurologis pada salah
satu atau lebih dari pemeriksaan berikut ini: pemeriksaan saraf-
saraf kranialis, fungsi motorik, sensorik, luhur, vegetatif, gejala
rangsang meningeal, gerakan abnormal, gait dan keseimbangan
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis
2.Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan penunjang ( CT Scan Kepala )
5. Diagnosis 1. Stroke Iskemik
2. Stroke perdarahan
6. Diagnosis Banding 1. Ensefalopati toksik atau metabolik
2. Kelainan non neurologis / fungsional ( contoh : kelainan jiwa)
3. Bangkitan epilepsi yang disertai paresis Todd’s
4. Migren hemiplegic
5. Lesi struktural intracranial (hematoma subdural, tumor otak,
AVM)
6. Infeksi ensefalitis, abses otak
7. Trauma kepala
8. Ensefalopati hipertensif
9. Sklerosis multiple
7. Pemeriksaan Penunjang  Laboratorium : darah perifer lengkap, faal hemostasis (PT,
APTT, Fibrinogen, INR, D-dimer), BSS, fungsi ginjal
( Ureum, Kreatinin, Asam urat),fungsi jantung (CK-NAK,
CK-MB), fungsi hati (SGOT, SGPT), Profil lipid (Kolesterol
total, LDL, HDL, Trigliserida), elektrolit, analisa gas darah
(AHA/AS, Class I, Level of evidence B)
 EKG (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B)
 Rontgen Thorak (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B)
 CT SCAN kepala tanpa kontras sebagai golden standar
(AHA/ASA, Class II, Level of evidence A)
 MRI kepala (AHA/ASA, Class II, Level of evidence A)
 MRA (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A)
 CT Angiografi (AHA/ASA, Class II, Level of evidence A)
 Pungsi lumbal
 Echocardiography (TTE dan atau TEE) (AHA/ASA, Class III,
Level of evidence B)
 Carotid Doppler (USG Carotis)
 Transcranial Doppler /TCD (AHA/ASA, Class II, Level of
evidence A)
8. Terapi Penatalaksanaan Umum Stroke Akut:
a. Stabilisasi jalan nafas dan pernapasan
b. Stabilisasi hemodinamik dengan cairan isotonis dengan
cairan kristaloid intravena
c. Penatalaksanaan hipertensi pada stroke akut dengan
menggunakan obat antihipertensi golongan Calcium
Channel Blocker secara intravena (Nicardipin atau
Diltiazem dengan dosis 5mg/jam 2,5 mg/jam tiap 15 menit
sampai 15 mg/jam)) dengan ketentuan sebagai berikut:
 Pada stroke iskemik akut, TD diturunkan 15% (sistolik
maupun diastolik) dalam 24 jam pertama setelah
awitan apabila TD Sistolik >220 mmHg atau TD
Diastolik > 120 mmHg (AHA/ASA. Class I, Level of
evidence B)
 Pada stroke perdarahan intraserebral akut, apabila
TDS>200mmHg atau MAP>150 mmHg, TD
diturunkan sampai TDS 140mmHg. (AHA/ASA, Class
IIa, Level of evidence B).
d. Pentalaksanaan hipotensi pada stroke akut, apabila
TDS<100 mmHG atau TDD <70mmHg dengan pemberian
obat vasopressor intravena (Norephinefrin dengan dosis
4ug/ml dimulai 1ug/menit dititrasi atau Dopamin dengan
dosis >10ug/kgBB/menit).
e. Penatalaksanaan peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK)
dengan cara :
 Elevasi kepala 30 derajat
 Posisi pasien menghindari penekanan vena jugular
 Hindari pemberian cairan hipotonik atau glukosa
 Hindari hipertermia
 Jaga normovolemia
 Osmoterapi dengan pemberian cairan Manitol
intravena dengan dosis 0,25-0,5 g/kgBB selama >20
menit diulangi setiap 4-6 jam dengan target
<310mOsm/L (AHA/ASA, Class III, Level of
evidence C)
f. Pengendalian kejang dengan Diazepam bolus lambat
intravena 5-20 mg dan diikuti Fenitoin loading dose 15-20
mg/kgBB bolus dengan kecepatan 50 mg/menit jka masih
kejang (AHA/ASA, Class I, Level of evidence C)
g. Pengendalian hiperpireksia dengan antipiretika
Asetaminofen 650 mg jika suhu>38,5 derajat Celcius dan
diatasi penyebabnya (AHA/ASA, Class I, Level of
evidence C)
h. Penatalaksanaan hiperglikemia (BSS>180 mg/dl) pada
stroke akut dengan titrasi insulin (AHA/ASA, Class I,
Level of evidence C). Hipoglikemia berat (<50mg/dl)
diobati dengan Dekstrosa 40% intravena atau infus
glukosa 10-20%.Target yang harus dicapai adalah
normoglikemia.
i. Pemberian H2 antagonis (Ranitidin) atau penghambat
pompa proton (Omeprazole) secara intravena dengan dosis
80 mg bolus jika terjadi stress ulcer (Class I, Level of
evidence A)
j. Pemberian analgesik dan anti muntah sesuai indikasi.
k. Pemberian Neuroprotektor (Citicholin) dengan dosis
2x1000 mg intravena selama 3 hari dilanjutkan dengan
oral 2x1000 mg selama 3 minggu (ICTUS)

A. Stroke iskemik / infark :


a. Aspirin dengan dosis awal 325 mg dalam 24 - 48 jam pada
stroke iskemik akut (AHA/ASA, Class I, Level of
evidence A)
b. Pasien stroke iskemik atau TIA yang tidak mendapatkan
antikoagulan harus diberikan antiplatelet Aspirin (80-325
mg) atau Clopidogrel 75 mg, atau terapi kombinasi
Aspirin dosis rendah 25 mg dengan extended release
dipyridamole 200 mg (AHA/ASA, Class I, Level of
evidence A)
c. Clopidogrel 75 mg lebih baik dibandingkan dengan
aspirin saja (AHA/ASA, Class II b, Level of evidence B)
d. Kombinasi Aspirin dan Clopidogrel tidak
direkomendasikan pada pasien pasien stroke iskemik akut,
kecuali pada pasien dengan indikasi spesifik (misalnya
angina tidak stabil, atau non Q wqve atau recent stenting),
pengobatan diberikan sampai 9 bulan sesudah kejadian
(AHA/ASA, Class I, Level of evidence A)
e. Penambahan Aspirin pada terapi Clopidogrel yang
diberikan pada populasi resiko tinggi akan meningkatkan
resiko perdarahan bila dibandingkan dengan pemakaian
Clopidogrel saja, sehingga pemakaian rutin seperti ini
tidak direkomendasikan untuk stroke iskemik atau TIA
(AHA/ASA, Class III, Level of evidence A)
f. Pada penderita tidak toleran dengan Aspirin, Clopidogrel
75 mg atau extended release dipyridamole 2x200 mg dapat
digunakan (AHA/ASA, Class Iia, Level of evidence B)
g. Pada stroke iskemik aterotrombotik dan arterial stenosis
simptomatik dianjurkan memakai Cilostazol 100 mg 2 kali
sehari (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A)
h. Trombolitik (harus memenuhi kriteria inklusi) : pemberian
iv rTPA dosis 0,9 mg/kgBB (maksimum 90 mg), 10% dari
dosis total diberikan sebagai bolus inisial, dan sisanya
sebagai infus selama 60 menit. Direkomendasikan secepat
mungkin dalam rentang waktu 3 jam. (AHA/ASA, Class I,
Level of evidence A)
i. Antikoagulan ( heparin, LMWH, heparinoid) atau
antagonis vitamin K (warfarin) direkomendasikan untuk
stroke iskemik atau TIA yang disertai denngan fibrilasi
atrial intermitten atau permanen yang paroksismal. (target
INR 2,5 dengan rentang 2,0-3,0) (AHA/ASA, Class I,
Level of evidence A)
j. Pemberian statin dengan efek penurunan lipid
direkomendasikan pada stroke iskemik dan TIA yang
disertai aterosklerosis tanpa PJK dengan LDL 100mg/dl
(AHA/ASA, Class I, Level evidence B)

B. Perdarahan subarachnoid :
a. Untuk mencegah vasospasme dengan pemberian
Nimodipine dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam iv pada hari
ke-3 atau secara oral 60 mg setiap 6 jam selama 21 hari
(AHA/ASA, Class I, Level of evidence A)
b. Terapi antifibrinolitik dengan Asam Traneksamat loading
dose 1 g intravena kemudian dilanjutkan 1 g setiap 6 jam
selam 72 jam untuk mencegah perdarahan ulang
(rebleeding).

C. Perdarahan Intraserebral :
1. Konservatif :
a. Memperbaiki faal hemostasis (bila ada gangguan faal
hemostasis)
2. Operatif :
Dilakukan pada kasus yang indikatif /memungkinkan :
a. Volume perdarahan lebih dari 30 cc atau diameter >
3cm pada fossa posterior
b. Letak lobar dan kortikal dengan tanda-tanda
peninggian TIK akut dan ancaman herniasi otak
c. Perdarahan serebellum
d. Hidrosefalus akibat perdarahan intraventrikel atau
serebellum
e. GCS >7
REHABILITASI UNTUK STROKE :
a. Direkomendasikan untuk memulai rehabilitasi dini setelah
kondisi medis stabil (AHA/ASA, Class III, Level of
evidence C)
b. Setelah keluar dari unit stroke, direkomendasikan untuk
melanjutkan rehabilitasi dengan berobat jalan selama
tahun pertama setelah stroke (AHA/ASA, Class II, Level
of evidence A)
c. .Direkomendasikan untuk meningkatkan durasi dan
intensitas rehabilitasi (AHA/ASA, Class II, Level of
evidence B)
9. Edukasi Bertujuan melakukan pencegahan sekunder (serangan ulang
stroke) dengan memberikan konseling kepada penderita dan
keluarganya, diantaranya:
a. Pengaturan diet dengan mengkonsumsi makanan rendah
lemak jenuh dan kolesterol, tinggi serat, tinggi protein,
mengandung antioksidan
b. Istirahat yang teratur dan tidur yang cukup
c. Mengendalikan stress dengan berpikir positif bertujuan
respon relaksasi yang menurunkan denyut jantung dan
tekanan darah
d. Pengendalian faktor-faktor resiko yang telah diketahui
dengan obat-obat yang telah diberikan selama dirawat dan
rutin kontrol berobat pasca dirawat
e. Memodifikasi gaya hidup (olahraga, tidak merokok, tidak
mengkonsumsi alkohol, penurunan berat badan pada
obesitas)
f. Melanjutkan fisioterapi dengan berobat jalan
10. Prognosis a. Ad vitam
 Tergantung berat stroke dan komplikasi yang timbul
b. Ad Functionam
Penilaian dengan parameter :
- Activity Daily Living (Barthel Index)
- NIH Stroke Scale (NIHSS)

12. Penelaah Kritis


13. Indikator Medis a. Semua faktor-faktor resiko pada penderita stroke telah
diidentifikasi dan diatasi dengan pendekatan multidisiplin
b. Perbaikan klinis penderita stroke pasca perawatan dengan
parameter : ADL (Activity Daily Living/Barthel Index) dan
NIHSS ( NIH Stroke Scale)
c. Pencegahan dan pengurangan komplikasi neurologis maupun
non neurologis akibat stroke baik pada fase akut maupun
kronis
d. Konseling terhadap pasien stroke dan keluarga ttg perawatan
di rumah (home care) dan kontrol rutin pasca perawatan utk
pencegahan sekunder stroke

15 Kepustakaan -Standar Pelayanan Medis Neurologi 2006


-Standar Pelayanan Operasional 2006
-AHA/ASA Guideline Stroke 2011
PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)
NEUROLOGI
RUMAH SAKIT UNIVERSITAS RIAU

EPILEPSI
ICD G40
1. Pengertian Suatu keadaan neurologik yang ditandai oleh bangkitan epilepsi yang berulang,
(Definisi) yang timbul tanpa provokasi. Sedangkan bangkitan epilepsi sendiri adalah
suatu manifestasi klinik yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang
abnormal, berlebih dan sinkron, dari neuron yang (terutama) terletak pada
korteks serebri. Aktivitas paroksismal abnormal ini umumnya timbul
intermiten dan “self-limited”.
Sindroma Epilepsi adalah penyakit epilepsi yang ditandai oleh sekumpulan
gejala yang timbul bersamaan (termasuk tipe bangkitan, etiologi, anatomi,
faktor presipitan usia saat awitan, beratnya penyakit, siklus harian dan
prognosa).
Klasifikasi Epilepsi: (menurut ILAE tahun 1989)
2. Anamnesa Auto dan allo-anamnesis dari orang tua atau saksi mata.
a. Gejala sebelum, selama dan pasca bangkitan :
 Keadaan penyandang saat bangkitan :
duduk/berdiri/berbaring/tidur/berkemih.
 Gejala awitan (aura, gerakan/sensasi awal/speech arrest).
 Apa yang tampak selama bangkitan (pola/bentuk bangkitan) : gerakan
tonik/klonik, vokalisasi, otomatisme, inkontinensia, lidah tergigit,
pucat, berkeringat, deviasi mata.
 Keadaan setelah kejadian : bingung, terjaga, nyeri kepala, tidur, gaduh
gelisah, Todds paresis.
 Faktor pencetus : alkohol, kurang tidur, hormonal.
 Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan, atau terdapat
perubahan pola bangkitan.
b. Ada/tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang, maupun riwayat
penyakit neurologik dan riwayat penyakit psikiatrik maupun penyakit
sistemik yang mungkin menjadi penyebab.
c. Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antar
bangkitan.
d. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap terapi (dosis,
kadar OAE, kombinasi terapi).
e. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga.
f. Riwayat keluarga dengan penyakit neurologik tlain, penyakit psikiatrik
atau sistemik.
g. Riwayat pada saat dalam kandungan, kelahiran dan perkembangan
bayi/anak.
h. Riwayat bangkitan neonatal/kejang demam.
i. Riwayat trauma kepala, infeksi SSP, dll.
3. Pemeriksaan  Pemeriksaan Fisik Umum
Fisik Mengamati adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan
epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan
kongenital, kecanduan alkohol atau obat terlarang, kelainan pada kulit
(neurofakomatosis), kanker.
 Pemeriksaan Neurologis
Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang dapat
berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit
setelah bangkitan, maka akan tampak tanda pasca bangkitan terutama
tanda fokal yang tidak jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi, seperti:
- Paresis Todd
- Gangguan kesadaran pasca iktal
- Afasia pascaiktal
4. Kriteria Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
Diagnosis
5. Diagnosis Dasar adanya bangkitan epilepsi berulang (minimum 2 kali) tanpa provokasi,
dengan atau tanpa adanya gambaran epileptiform pada EEG.
6. Diagnosis 1. Bangkitan Psychogenik
Banding 2. Gerak Involunter (tics, headnodding, paroxysmal
choreoathethosis/dystonia, benign sleep myoclonus, paroxysmal torticolis,
startle response, jitterness, dll)
3. Hilangnya tonus atau kesadaran (sinkop, drop attacks, TIA, TGA,
narkolepsi, attention deficit)
4. Gangguan respirasi (apnea, breath holding, hiperventilasi)
5. Gangguan perilaku (night terrors, sleepwalking, nightmares, confusion,
sindroma psikotik akut)
6. Gangguan persepsi (vertigo, nyeri kepala, nyeri abdomen)
7. Keadaan episodik dari penyakit tertentu (tetralogy speels, hydrocephalic
spells, cardiac arrhythmia, hipoglikemi, hipokalsemi, periodic paralysis,
migren, dll)
7. Pemeriksaan - EEG
Penunjang - CT scan kepala
- MRI kepala
- Laboratorium : darah rutin, elektrolit, BSS, ureum, creatinin, fungsi hati.
8. Terapi Dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE (obat anti epilepsi) sesuai
dengan jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi.
OAE Fokal Umum Tonik lena Mioklonik
Sekunder klonik
Phenytoin +(A) +(A) +(C) - -
Carbamazepin +(A) +(A) +(C) - -
Valproic acid +(B) +(B) +(C) +(A) +(D)
Phenobarbital +(C) +(C) +(C) 0 ?+
Gabapentin +(C) +(C) ?+(D) 0 ?-
Lamotrigine +(C) +(C) +(C) +(A) +-
Topiramate +(C) +(C) +(C) ? ?+(D)
Zonisamide +(A) +(A) ?+ ?+ ?+
Levetiracetam +(A) +(A) ?+(D) ?+ ?+
Oxcarbamazepi +(C) +(C) +(C) - -
ne
Clonazepam +(D) - - - -

Penjelasan bahwa epilepsi tidak menular, dapat dikontrol, dapat menikah,


9. Edukasi hamil dan memiliki anak, seberapa jauh pengaruh epilepsi dan efek OAE pada
ibu dan anak dan berbagai tipe bangkitan yang dapat terjadi pada penyakit dan
apa yang dilakukan saat terjadi bangkitan
10. Prognosis Bonam
11. Evidens & Level A: efektif sebagai monoterapi
tingkat Level B: sangat mungkin efektif sebagai monoterapi
Rekomendasi Level C: mungkin efektif sebagai monoterapi
Level D: berpotensi untuk efektif sebagai monoterapi
12. Penelaah Kritis

13. Indikator Medis Kuantitas bangkitan


EEG
14. Kepustakaan Pedoman Tatalaksana Epilepsi PERDOSSI 2014

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


NEUROLOGI
RUMAH SAKIT UNIVERSITAS RIAU
VERTIGO
1. Pengertian (Definisi) Vertigo adalah adanya sensasi gerakan atas rasa gerak dari tubuh
atau lingkungan sekitarnya dengan gejala lain yang timbul, terutama
dari jaringan otonomik yang disebabkan oleh gangguan alat
keseimbangan tubuh oleh berbagai keadaan atau penyakit.
2. Anamnesa  Bentuk vertigo: melayang, goyang berputar, dsb.
 Keadaan yang memprovokasi: perubahan posis kepala dan
tubuh, keletihan, ketegangan.
 Profil waktu: Akut, paroksismal, kronik.
 Adanya gangguan pendengaran yang menyertai.
 Penggunaan obat-obatan misalnya streptomisin, kanamisin,
salisilat.
 Adanya penyakit sistemik seperti anemia, penyakit jantung,
hipertensi, hipotensi, penyakit paru.
 Adanya nyeri kepala.
 Adanya kelemahan anggota gerak.
3. Pemeriksaan Fisik Umum: Keadaan umum, anemia, tekanan darah berbaring dan
tegak, nadi, jantung, paru, abdomen.
Pemeriksaan neurologis umum:
- Kesadaran
- Saraf-saraf otak: visus, kampus, okulomotor, sensori di muka,
otot wajah, pendengaran, dan menelan.
4. Kriteria Diagnosis Vertigo merupakan suatu sindroma atau kumpulan gejala subjektif
(symptoms) dan objektif (signs) dari gangguan alat keseimbangan
tubuh.
 Gejala subjektif
 Pusing, rasa kepala ringan
 Rasa terapung, terayun
 Mual
 Gejala objektif
 Keringat dingin
 Pucat
 Muntah
 Sempoyongan waktu berdiri atau berjalan
 Nistagmus
Gejala tersebut di atas dapat diperhebat/diprovokasi
perubahan posisi kepala.
 Dapat disertai gejala berikut:
 Kelainan THT
 Kelainan Mata
 Kelainan Saraf
 Kelainan Kardiovaskular
 Kelainan Penyakit Dalam lainnya
 Kelainan Psikis
 Konsumsi obat-obat ototoksik
5. Diagnosis Vertigo
6. Diagnosis Banding Penyakit meniere
Labirintitis bakterial
Neuronitis vestibuler
Neuroma akustik
BPPV (Benign Paroxysmal Positional Vertigo)
Vertigo sentral
7. Pemeriksaan Penunjang  Pemeriksaan laboratorium: darah rutin, kimia darah, urin, dan
pemeriksaaan lain sesuai indikasi.
 Pemeriksaan Radiologi: Foto tulang tengkorak leher, Stensvers
(pada neurinoma akustik).
 Pemeriksaan neurofisiologi: elektroensefalografi (EEG),
elektromiografi (EMG).
 Pemeriksaan Neuro-imaging: CT-scan kepala,
pneumoensefalografi, Transcranial Doppler.
8. Terapi - Terapi kausal: sesuai dengan penyebab
- Terapi simptomatik:
Pengobatan simptomatik vertigo:
 Ca-entry blocker (mengurangi aktivitas eksitatori SSP dengan
menekan pelepasan glutamate, menekan aktivitas NMDA
spesial channel, bekerja langsung sebagai depressor labirin):
Flunarisin (Sibelium) 3x 5-10 mg/hr
 Antihistamin (efek antikolinergik dan merangsang inhibitory-
monoaminergik dengan akibat inhibisi n.vestibularis):
Cinnarizine 3x25 mg/hr, Dimenhidrinat (Dramamine) 3x50
mg/hr.
 Histaminik(inhibisi neuron polisinaptik pada n. verstibularis
lateralis): Betahistine (Merislon) 3x8 mg
 Fenotiazine (pada kemoreseptortrigger zone dan pusat muntah
di medulla oblongata): Chlorpromazine (largaktil): 3x25 mg/hr
 Benzodiazepine (Diazepam menurunkan resting activity
neuron pada n. vestibularis) 3x2-5 mg/hr
 Antiepileptik: Carbamazepine (Tegretol) 3x200 mg/hr,
Fenotoin (Dilantin) 3x100 mg (bila ada tanda kelainan
epilepsy dan kelainan EEG)
 Campuran obat-obat di atas
Pengobatan simptomatik otonom (mis. muntah):
 Metoclopramide (Primperan, Raclonid) 3x10 mg/hr
Terapi rehabilitasi
 Latihan visual-vestibular, Metode Brandt-Daroff, Gait
exercise.
9. Edukasi  Istirahat Cukup
 Menghindari Pencetus Vertigo
 Menghindari aktivitas yang dapat memperberat
keluhan
10. Prognosis Ad vitam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam
Ad fumgsionam : ad bonam
11. Tingkat Evidens B
12. Tingkat Rekomendasi IV
13. Penelaah Kritis

14. Indikator Medis Pelayanan Pratama


Pelayanan Sekunder
15 Kepustakaan 1. Mardjono,M. & Sidharta, P., Neurologi Klinis
Dasar , Jakarta: PT Dian Rakyat, 1978, hlm.
169-170
2. Buku Pedoman Standar Pelayanan Medik
dan Standar Prosedur Operasional Neurologi

PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)


NEUROLOGI
RUMAH SAKIT UNIVERSITAS RIAU
TETANUS
ICD X : A35
1. Pengertian (Definisi) Penyakit sistem saraf yang perlangsungannya akut dengan
karakteristik spasme tonik persisten dan eksaserbasi singkat.

2. Anamnesa  Sulit membuka mulut.


 Perut terasa keras dan kaku
 Kejang tonik berulang dengan rangsangan berupa suara,
cahaya, dll.
3. Pemeriksaan Fisik  Trismus
 Perut papan
 Opistotonus
4. Kriteria Diagnosis  Hipertoni dan spasme otot
o Trismus, risus sardonikus, otot leher kaku dan nyeri,
opistotonus, dinding perut tegang, anggota gerak
spastik.
o Lain-lain: Kesukaran menelan, asfiksia dan sianosis,
nyeri pada otot-otot di sekitar luka.
 Kejang tonik dengan kesadaran tidak terganggu/terganggu
 Umumnya ada luka/riwayat luka
 Retensi urine dan hiperpireksia
 Tetanus lokal
5. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari anamnesa yaitu didapatkan riwayat
kejang rangsang tonik berulang dan juga dari pemeriksaan fisik
didapatkan hipertoni dan spasme otot, fokal infeksi ( baik karnna
trauma atau karna infeksi dari retrofaringeal, gigi dan telinga)

6. Diagnosis Banding  Kejang karena hipokalsemia


 Reaksi distonia
 Rabies
 Meningitis
 Abses retrofaringeal, abses gigi, subluksasi mandibula
 Sindrom hiperventilasi/reaksi histeria
 Epilepsi/kejang tonik klonik umum
7.Pemeriksaan Penunjang  Bila memungkinkan, periksa bakteriologik untuk menemukan
C. Tetani.
 Pemeriksaan darah rutin, elektrolit, AGD.
 EKG serial bila ada tanda-tanda gangguan jantung.
 Foto toraks bila ada tanda-tanda komplikasi paru-paru.
 Rontgen tulang jika ada trauma berat atau curiga patah tulang.
8. Terapi TATALAKSANA
 IVFD dekstrose 5% : RL = 1 : 1 / 6 jam
 Kausal :
o Antitoksin tetanus:
a. Serum antitetanus (ATS) diberikan dengan dosis
100.000 IU//i.m. dengan dosis maksimal
40.000/hari. TES KULIT SEBELUMNYA, atau
b. Human Tetanus Immunoglobulin (HTIG). Dosis
500-3.000 IU/i.m. Diberikan SINGLE DOSE.
o Tetanus Toxoid diberikan pada pasien dengan riwayat
imunisasi booster terakhir lebih dari 10 tahun yang lalu
atau riwayat imunisasi tidak diketahui dengan dosis
a. Usia ≥ 7 tahun: 0,5 ml (5IU) i.m
b. Usia < 7 tahun: gunakan DTP atau Dtap sebagai
pengganti Tt. Jika kontraindikasi terhadap pertusis,
berikan DT, dosis 0,5 ml i.m, atau
o TIG (Tetanus Immune Globuline)diberikan jika
imunisasi lebih dari 10 tahun dengan dosis
a. Profilaksis dewasa: 250-500 U i.m pada extremitas
kontralateral lokasi penyuntikan Tt.
b. Profilaksis anak: 250 U i.m pada extremitas
kontralateral lokasi penyuntikan Tt.
o Antibiotik :
a. Metronidazole 500 mg/6 jam drips i.v.
b. Penisilin 2 mega unit i.v/6 jam
Bila alergi terhadap Penisilin dapat diberikan:
 Eritromisin 500 mg/6 jam/oral. ATAU
 Tetrasiklin 500 mg/6 jam/oral.
o Penanganan luka :
Dilakukan cross incision dan irigasi menggunakan
H2O2.
o Simtomatis dan supportif
o Kekakuan otot dan rigiditas/ spasme otot
 Diazepam
 Digunakan dengan dosis 0,5-10 mg/kgBB atau
dengan dosis :
1. Spasme ringan: 5-20 mg p.o/8 jam
2. Spasme sedang: 5-10 mg i.v. Bila
perlu, tidak melebihi dosis 80-120 mg
dalam 24 jam atau dalam bentuk drip
3. Spasme berat: 50-100 mg dalam 500
ml larutan dextrose 5% dan diinfuskan
dengan kecepatan 10-15 mg/jam dalam
24 jam
 MgSO4 dengan dosis 70 mg/kgBB dalam bentuk
larutan dextrose 5% 100 ml i.v selama 30 menit.
Dilanjutkan dengan dosis rumatan 2 gr/jam (untuk usia
< 60 th) dan 1 gr/jam(untuk usia ≥ 60 th) dalam larutan
dextrose 5% 500 ml/6 jam.
o Kontrol disfungsi otonom
 Propanolol 5- 10 mg, dapat dinaikkan hingga 40 mg
tiga kali sehari.
 MgSO4 dengan dosis 70 mg/kgBB dalam bentuk
larutan dextrose 5% 100 ml i.v selama 30 menit.
Dilanjutkan dengan dosis rumatan 2 gr/jam (untuk usia
< 60 th) dan 1 gr/jam(untuk usia ≥ 60 th) dalam larutan
dextrose 5% 500 ml/6 jam.
o Oksigen, diberikan bila terdapat tanda-tanda hipoksia,
distres pernapasan, sianosis.
o Gangguan Gastrointestinal
 Ranitidin 50 mg/8 jam
 Pemberian transfusi darah jika didapatkan perdarahan
masif saluran cerna
o Gangguan Renal dan elektrolit
 Hipokalemi diatasi dengan pemberian KCL 20-80 mEq
diberikan dalm infus lambat dalam 24 jam.
 Hipernatremia diatasi dengan pemberian dextrose 5%.
 Hiponatremia dikoreksi dengan pemberian normal
saline.
o Nutrisi
 Diberikan TKTP dalam bentuk lunak, saring, atau
cair. Bila perlu, diberikan melalui pipa
nasogastrik.
o Menghindari tindakan/perbuatan yang bersifat merangsang,
termasuk rangsangan suara dan cahaya yang intensitasnya
bersifat intermitten.
o Mempertahankan/membebaskan jalan nafas: pengisapan
lendir oro/nasofaring secara berkala.
o Posisi/letak penderita diubah-ubah secara periodik.
o Pemasangan kateter bila terjadi retensi urin.
9. Edukasi -

10. Prognosis  Angka kematian tinggi bila :


o Usia tua
o Masa inkubasi singkat
o Onset periode yang singkat
o Demam tinggi
o Spasme yang tidak cepat diatasi
o Disfungsi otonom
11. Tingkat Evidens Class I

12. Tingkat Rekomendasi Level A

13. Penelaah Kritis

14. Indikator Medis o Anamnesis


 Kejang rangsang tonik berulang
 Fokal infeksi
o Pemeriksaan Fisik
 Trismus
 Perut papan
 Opistotonus
 Disfungsi otonom
o Pemeriksaan penunjang
 Biakan C. Tetani (+)
 Indikator infeksi meningkat.
15. Kepustakaan 1. Rhee P, Nunley M.K, Demetriades D, Velmahos G, Doucet JJ.
Tetanus and Trauma: A Review and Recomendations. J Trauma.
2005: 58: 1082-88.

2. Sofiati D. Tetanus. Guideline Infeksi Pada Sistem Saraf,


Kelompok Studi Neuro Infeksi, Perdossi. 2011: 131-150.
PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)
DEPARTEMEN/SMF NEUROLOGI
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

KESADARAN MENURUN DAN COMA


ICD R40
1. Pengertian (Definisi) Sadar: disebut sadar bila memiliki waspada dengan kesiagaan terus
menerus terhadap diri dan lingkungan sekitarnya.
Kesadaran menurun: berkurangnya kewaspadaan dan kesiagaan
terhadap diri dan lingkungan sekitarnya.
Coma: tidak adanya respon fisiologis terhadap stimulus external
atau kebutuhan tubuh.
2. Anamnesa 1. Riwayat penyakit sebelumnya: hipertensi, diabetes melitus,
penyakit ginjal, gangguan fungsi hati, epilepsi, penggunaan
obat-obat narkotik
2. Keluhan sebelum terjadi gangguan kesadaran: nyeri kepal yang
mendadak atau sudah lama, perasaan pusing berputar, mual dan
muntah, penglihatan ganda, kejang, kelumpuhan anggota gerak
3. Obat-obat yang diminum secara rutin oleh pasien, misalnya obat
penenang, obat tidur, antikoagulansia, abat antidiabetes (dapat
dalam bentuk injeksi), antihipertensi.
4. Apakah gangguan kesadaran terjadi ecara bertahap atau
mendadak, apakah disertai gejala lain/ikutan?
5. Apakah ada inkontinensia urin dan atau alvi
3. Pemeriksaan Fisik 1. Nadi, meliputi frekuensi, isi dan irama denyut
2. Tekanan darah, suhu tubuh
3. Respirasi, .eliputi frekuensi, keteraturan, kedalaman, dan bau
pernafasan (aseton, amonis, alkohol, bahan kimiawi tertentu,
dll)
4. Kulit, meliputi turgor, warna dan permukaan kulit (dehidrasi,
ikterus, sianosis, bekas suntikan, luka karena trauma, dll)
5. Kepala, apakah ada luka dan fraktur
6. Konjungtiva, apakah normal, pucat atau ada perdarahan
7. Mukosa mulut dan bibir, apakah dana perdarahan, perubahan
warna
8. Telinga, apakah keluar cairan bening, keruh, darah, termasuk
bau cairan juga perlu diperhatikan
9. Hidung, apakah ada darah dan atau cairan yang keluar dari
hidung
10. Orbita, apakah ada brill hematoma, trauma pada bulbus okuli,
kelainan pasangan bola mata (paresis n.III, IV, VI), pupil, celah
palpebra, ptosis
11. Leher, apakah ada fraktur vertebra, bila yakin tidak ada fraktur
maka diperiksa apakah ada kaku kuduk
12. Dada, pemeriksaan fungsi jantung dan paru secara sistematik
dan teliti
13. Perut, meliputi pemeriksaan hati, limpa, ada distensi atau tidak,
suara peristaltik usus, nyeri tekan di daerah tertentu
14. Penilaian derajat kesadaran dengan menggunakan GCS
15. Pemeriksaan rangsang meningeal
16. Pemeriksaan saraf kranial
17. Pemeriksaan motorik
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesa
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
6. Diagnosis Banding 1. Tidur : Keadaan non patologis dimana ada penurunan kesadaran
yang dengan mudah dibangunkan
2. Akinetik mutisme : Penderita dalam keadaan bangun, mata
terbuka tapi sangat lamban berespon terhadap pertanyaan yang
di ajukan.
3. Sindroma locked-in : Penderita dengan mata terbuka/sadar
dengan komunikasi terganggu , ada sedikit gerakan terutama
gerakan mata melirik keatas, kebawah.
4. Status katatonik : sadar penuh fungsi motorik normal tapi tidak
bisa berkomunikasi dengan baik.
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium; darah (darah rutin, elektrolit, faal hati, faal ginjal)
dan LCS
2. CT-scan kepala
3. EEG
8. Terapi Gangguan kesadaran sampai koma adalah keadaan darurat medis,
untuk itu perlu penanganan yang cepat, tepat dan akurat mulai dari
ruang unit gawat darurat sampai ke ruang perawatan intensif.
Penanganan terbagi atas dua besar yaitu:
A. Supportif
Penderita kesadaran menurun dilihat / dinilai dari :
1. Jalan nafas
2. Pernafasan
3. Tekanan Darah
4. Cairan tubuh (asam basa elektrolit)
5. Posisi tubuh
6. Pasang Nasogastric tube
7. Katheter Urine

1. Jalan nafas
Dilihat :
 Agitasi : Kesan hipoksemia
 Gerakan nafas : dada
 Retraksi sel iga, dinding perut, subcosta clavikula
 Didengar suara tambahan berupa dengkuran,
kumuran, siulan : ada sumbatan.

Diraba :
 getaran ekspirasi
 getaran dileher
 fraktur mandibuler

Yang menyebabkan gangguan jalan nafas :


 Lidah/epiglotis
 muntahan, darah, sekret benda asing
 trauma mandibula/maksila

Alat yang dipakai


 jalan napas orofaringeal
 jalan napas nasofaringeal
 jalan napas definitis : intubasi, pembedahan

Pola pernafasan
 Lesi sentral : Pola nafas
o apnea
o cheyne stoke
o Sentral neurogenik Hiperventilasi

 Lesi Perifer
o Nafas intercostal
o Nafas diafragma (dinding perut)

2. Perhatikan aliran darah


 perfusi : perifer, ginjal : produksi urine
 Nadi : ritme, rate, pengisian
 Tekanan darah

Diusahakan:
 Hemodinamik stabil (tidak naik turun)
 Kondisi tensi normal
 Dihindari: hipertensi/meninggi, syok

Jenis Syok:
o Hipovolemik
o Kardiogenik
o Sepsis
o Penimbunan vena perifer (polling)

3. Cairan Tubuh
o Cegah hidrasi berlebihan
o Cairan hipotonik, hipoprotein dan lama pakai
ventilator mudah terjadi hidrasi
o Tekanan osmotik dipertahankan dengan albumin
o Hindari hiponatrermia

4. Gas Darah dan Keseimbangan Asam Basa


 Alat bantu oksimeter untuk mengetahui oksigenasi
diusahakan SaO2 > 95 dan PaO2 > 80 mg (dengan
analisa gas darah)
 PO2 dibuat sampai 100-150 mmHg dengan cara diberi
O2
 PaCo2 : 25-35 mm dengan hiperventilasi

5. Pasang Naso Gastric Tube


Pengeluaran isi lambung berguna:
o Mencegah aspirasi, intoksikasi
o Nutris parenteral

6. Posisi
 Hindari posisi Trendelemberg
 Posisi kepala 30 derajat lebih tinggi
 Pada koma yang lama hindari:
o dekubitus: sering alih posisi
o Vena dalam thrombosis: pakai stocking

7. Katheter Urine
 Untuk memudahkan penghitungan balans cairan
 Mencegah kebocoran urin
 Berguna pada gangguan kencing

B. Terapi Kausatif/Spesifik
1. Gangguan kesadaran dengan kaku kuduk dengan panas
yang mulai beberapa hari sebelumnya sangat mungkin
primer infeksi (meningitis, ensefalitis) di otak bila
gangguan kesadaran tanpa kaku kuduk sangat mungkin
primer infeksi bukan di otak.
2. Gangguan kesadaran dengan kaku kuduk tanpa panas
sangat mungkin perdarahan subaraknoid
3. Gangguan kesadaran dengan didapatkan gangguan
neurologis fokal (hemiparesis, heminervikranial palsy)
penyebabnya lesi intrakranial.
4. Gangguan kesadaran disertai tanda-tanda tekanan
intrakranial meninggi: (muntah-muntah proyektil, parese
N.III, kaku kuduk, penglihatan kabur secepatnya diberi
manitol, dexamethason, dibuat hiperventilasi.
5. Gangguan kesadaran tanpa disertai kaku kuduk dan/atau
gejala neurologis fokal, bradikardi sangat mungkin
penyebabnya metabolik
6. Gangguan kesadaran dengan tanda herniasi intrakranial
(anisokor, isokor miosis/midriasis dengan tetraparesis)
termasuk gawat darurat secepatnya perlu tindakan.
7. Gangguan kesadaran dengan penyebab yang sudah jelas,
dapat diterapi spesifik untuk penyebab:
 Hipoglikemi: glukosa
 Overdosis opiat: nalokson
 Overdosis benzodiazepin: flumazenil
 Wernicke ensephalopaty: thiamin
9. Edukasi Edukasi yang diberikan meliputi kondisi pasien, penyebab
terjadinya penurunan kesadaran, penatalaksanaan yang dilakukan,
serta prognosis.
10. Prognosis Penegakan prognosis didasarkan pada derajat penurunan kesadaran,
etiologi, kelainan organ-organ tubuh yang menyertai, serta penyulit
atau penyakit penyerta.
11. Tingkat Evidens - Perbaikan jalan nafas termasuk pisa orofaring pada pasien tidak
sadar : level C
- Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia: level C
- CT scan kepala diperlukan untuk membedakan penyebab gejala
neurologis penurunan kesadaran: level B
12. Tingkat Rekomendasi - Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi
oksigen <95%: kelas IV
- Perbaikan jalan nafas termasuk pisa orofaring pada pasien tidak
sadar : kelas I
- Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia: kelas I
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis - Perawatan ICU: jika terjadi gagal nafas yang memerlukan
perawatan dengan menggunakan ventilator
- Perbaikan klinis: jika terjadi perbaikan nilai GCS dan tanda
vital lain.
- Perburukan klinis: jika terjadi penurunan nilai GCS dan tanda
vital lain disertai dengan adanya gangguan organ-organ.
15 Kepustakaan 1. Brust, J. C. M., 2007, Current Diagnosis & Treatment of
Neurology, International ed, Mc GrawHill, New York.
2. DeMyer, W.E., 2004, Technique of the Neurologic
Examination, 5th ed. McGrawHill, New York.
3. Ganong W.F., 2005, Review of Medical Physiology, 22nd ed.
Mc GrawHill, Boston.
4. Harsono, 2007, Kapita Selekta Neurologi, Edisi Kedua Cet.ke-6;
Gadjah Mada University Press Yogyakarta
5. Kumar, P. & Clarck, M. 2006 Clinical Medicine, 6th. Elsevier
Saunders, Edinburgh London
6. Mardjono,M., & Sidartha,P. 1994 Neurologi Klinis Dasar, edisi
6; Dian Rakyat Jakarta
7. Ropper, A.H. & Brown, R.H., 2005, Adams & Victor’s
Principle of Neurology, 8th ed. Mc Graw Hill, New York.
PANDUAN PRAKTEK KLINIK (PPK)
NEUROLOGI
RUMAH SAKIT UNIVERSITAS RIAU

SINDROMA GUILLAIN BARRE


1. Pengertian (Definisi) Sindrom Guillain-Barré (GBS) dapat digambarkan sebagai
kumpulan sindrom klinis yang bermanifestasi sebagai inflamasi
akut berupa polyradiculoneuropathy dengan kelemahan yang
dihasilkan dan refleks berkurangnya.

2. Anamnesa 2-4 minggu gangguan berupa pilineuropati setelah sebelumnya


mengalami penyakit pernapasan atau pencernaan (diare) dengan
keluhan jari dysesthesias, kelemahan otot proksimal ekstremitas
bawah berkembang selama jam untuk hari juga melibatkan lengan,
otot truncal, saraf kranial, dan otot-otot pernapasan.

Droop Facial (mungkin meniru Bell palsy), diplopia, disartria,


disfagia, oftalmoplegia.

3. Pemeriksaan Fisik - Kelemahan N. cranialis VII, VI, III, V, IX, X


- Kelemahan ekstremitas bawah, ascenden, asimetris upper
extremitas, facial
- Reflex: absen atau hiporefleksi
- Refleks patologis –

4. Kriteria Diagnosis Klinis:

 Kelemahan ascenden dan simetris


 Anggota gerak bawah terjadi lebih dulu dari anggota gerak atas.
Kelemahan otot proksimal lebih dulu terjadi dari otot distal
kelemahan otot trunkal, bulbar, dan otot pernafasan juga terjadi.
 Kelemahan terjadi akut dan progresif bisa ringan sampai
tetraplegia dan gangguan nafas.
 Puncak deficit dicapai 4 minggu.
 Recovery biasanya dimulai 2-4 minggu
 Gangguan sensorik biasanya ringan
 Gangguan sensorik bisa parasthesi, baal atau sensasi sejenis
 Gangguan N. cranialis bisa terjadi: facial drop, diplopia,
disartria, disfagia
 Banyak pasien mengeluh nyeri punggung dan tungkai
 Gangguan otonom dari takikardia, bradikardia, flushing
paroxysmal, hipertensi ortostastik, dan anhidrosis.
 Retensio urin dan ileus paralitik
 Gangguan pernafasan:
- Dyspnoe
- Nafas pendek
- Sulit menelan
- Bicara serak
- Gagal nafas
5. Diagnosis Yang diperlukan untuk diagnosis :

Kelemahan progresif di kedua lengan dan kaki dan Arefleksia

Sangat mendukung diagnosis :

- Perkembangan gejala selama hari, hingga empat minggu


- gejala relatif Simetris
- Gejala sensorik ringan
- Keterlibatan saraf kranial, kelemahan terutama bilateral dari
otot-otot wajah
- Pemulihan mulai dua sampai empat minggu setelah
perkembangan berhenti
- Disfungsi otonom
- Tidak adanya demam saat onset
- Konsentrasi tinggi protein dalam cairan serebrospinal, dengan
kurang dari 10 sel per milimeter kubik (disosiasi sitoalbumin
pada pemeriksaan lumbal punksi)
- Gambaran demielinating polineuropati pada pemeriksaan
Elektrofisiologi (ENMG)
6. Diagnosis Banding  Polineuropati terutama karena defisiensi metabolik
 Tetraparesis penyebab lain
 Hipokalemia
 Miasthenia gravis
7. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium:

 LCS:
- Disosiasi sitoalbumin
- Pada fase akut terjadi peningkatan protein LCS > 0,55 g/l,
tanpa peningkatan dari sel < 10 lymposit/mm3
- Hitung jenis dan panel metabolik tidak begitu bernilai
- Peningkatan titer dari agent seperti CMV, EBV/micoplasma
membantu penegakan etiologi. Untuk manfaat epidemiologi
- Antibodi glycolipid
- Antibodi GMI
- Ro: CT/MRI untuk mengeksklusi diagnosis lain seperti
mielopati
- EMG
8. Terapi  Tidak ada drug of choice
 Waspadai memburuknya perjalanan klinis dan gangguan
pernafasan
 Bila ada gangguan pernafasan rawat ICU
 Roborantia saraf parenteral
 Perlu NGT bila kesulitan mengunyah/menelan
 Kortikosteroid masih controversial, bila terjadi paralisis otot
berat maka perlu kortkosteroid dosis tinggi
 Plasmafaresis beberapa pasien memberi manfaat yang besar
terutama kasus akut
 Plasma 200-250 ml/kgBB dalam 4-6x pemberian sehingga
waktu sehari diganti cairan kombinasi garam +5% albumin
 Imunoglobulin intravena (expert consensus): IVIG
direkomendasikan untuk terapi GBS 0,4 g/kgBB/tiap hari untuk
5 hari berturut-turut ternyata sama efektifnya dengan
penggantian plasma. Expert consensus merekomendasikan IVIG
sebagai pengobatan GBS
9. Edukasi Pasien dengan GBS dan keluarga mereka harus dididik tentang
penyakit, proses penyakit, dan tentu saja pencegahan. GBS adalah
penyakit dengan pengaruh potensial jangka panjang terhadap fisik
dan kesejahteraan psikososial pasien. Pendidikan keluarga dan
pelatihan juga dianjurkan untuk mencegah komplikasi selama tahap
awal penyakit dan untuk membantu dalam pemulihan fungsi pada
tahap rehabilitasi.

10. Prognosis - tingkat kematian 2-12% meskipun manajemen dilakukan di ICU


(sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS), sepsis,
pneumonia, penyakit tromboemboli vena, dan serangan jantung
karena disfungsi otonom)
- pasien berusia 60 tahun atau lebih, risiko kematian adalah 6 kali
lipat dari orang yang berusia 40-59 tahun dan 157 kali lipat dari
pasien yang lebih muda dari 15 tahun
- Tingkat kecacatan : 80% pasien dengan GBS berjalan secara
independen setelah 6 bulan, dan sekitar 60% pasien mencapai
pemulihan penuh pada kekuatan motorik dalam waktu 1 tahun.
Pemulihan pada sekitar 5-10% pasien dengan GBS memerlukan
waktu yang lebih panjang dari 1 tahun, dengan beberapa bulan
ketergantungan terhadap ventilator, dan kadang pemulihan tidak
sempurna.
11. Tingkat Evidens dan tingkat Tingkat evidens terapi sindroma guillain barre berpedoman kepada
rekomendasi American Academy of Neurology (AAN) adalah:

Tingkat evidens kuat (strong evidence support)

1. Plasmafaresis direkomendasikan pada pasien yang tidak dapat


berjalan tanpa bantuan (nonambulant) yang masih berada
dalam waktu 4 minggu onset dari gejala neuropatinya. (Level
A, tingkat rekomendasi Kelas II)
2. IVIG (Imunoglobulin intravena) dengan dosis 0,4/KgBB/ hari,
diberikan selama 5 hari berturut turut direkomendasikan pada
pasien yang tidak dapat berjalan tanpa bantuan (nonambulant)
yang masih berada dalam waktu 2 minggu onset dari gejala
neuropatinya (Level A, tingkat rekomendasi Kelas II)
3. Terapi kombinasi antara plasmaparesis dan IVIG : perlakuan
plasmaparesis dan diikuti dengan pemberian IVIG tidak
memiliki efek terapi yang lebih baik dibandingkan dengan
perlakuan plasmaparesis sendiri atau IVIG saja. (Level A,
tingkat rekomendasi Kelas I)

Pemberian cortikosteroid tidak direkomendasikan pada terapi


sindroma guillain Barre (Level A, tingkat rekomendasi Kelas I)

Tingkat evidens baik (good evidence support)

1. Plasmaparesis direkomendasikan pada pasien yang


masih dapat berjalan tanpa bantuan (ambulant) dalam waktu 2
minggu onset dari gejala neuropatinya. (Level B, tingkat
rekomendasi kelas II terbatas)
2. Jika plasmaparesis dimulai dalam waktu 2 minggu
onset, didapatkan efek terapi yang equivalent atau setara
dengan pasien yang diberikan IVIG yang memerlukan alat
bantu berjalan (Level B, tingkat rekomendasi kelas I)
3. Plasmaparesis adalah terapi pilihan pada anak anak
dengan SGB yang berat (Level B, tingkat rekomendasi kelas II)
4. IVIG direkomendasikan pada pasien yang tidak
dapat berjalan tanpa bantuan dapat diberikan dalam 4 minggu
onset neuropatinya (level B, tingkat rekomendasi kelas II)
5. Jika pemberian IVIG dimulai dalam waktu 2
minggu onset, IVIG memiliki kemanjuran yang sebanding
dengan plasmaparesis pada pasien yang memerlukan alat bantu
berjalan jika dimulai dalam 2 minggu onset (level B, tingkat
rekomendasi kelas I)
6. IVIG adalah terapi pilihan bagi anak anak dengan
SGB yang parah (level B, tingkat rekomendasi kelas II)

12. Penelaah Kritis

13. Indikator Medis 1. Fungsi motorik membaik, termasuk gerakan dan kekuatan serta
refleks fisiologis kembali normal merupakan indikator fase
penyembuhan.
2. Fungsi pernafasan terganggu merupakan indikator untuk
perawatan ICU.
3. Terjadinya perbaikan kecepatan hantar saraf pada ENMG
merupakan indikator perbaikan klinis pada pasien SGB secara
elektrofisiologis

14. Kepustakaan 1. Lindenbaum Y, Kissel JT, Mendell JR. Treatment approaches for
Guillain-Barré syndrome and chronic inflammatory
demyelinating poly radiculoneuropathy. Neuro Clin.2001;19:187–
204.
2. Hahn AF. Guillain-Barré syndrome. Lancet. 1998;352:635–41.
3. Seneviratne U. Guillain-Barré syndrome. Postgrad Med J.
2000;76:774–82.
4. Jiang GX, de Pedro-Cuesta J, Strigard K, Olsson T, Link H.
Pregnancy and Guillain-Barré syndrome: a nationwide register
cohort study. Neuroepidemiology. 1996;15:192–200.
5. The prognosis and main prognostic indicators of Guillain-Barré
syndrome: a multicentre prospective study of 297 patients. The
Italian Guillain-Barré Study Group. Brain. 1996;119(pt 6):2053–
61.
6. Fletcher DD, Lawn ND, Wolter TD, Wijdicks EF. Long-term
outcome in patients with Guillain-Barré syndrome requiring
mechanical ventilation. Neurology. 2000;54:2311–5.
7. Ropper AH. The Guillain-Barré syndrome. N Engl J Med.
1992;326:1130–6.
8. Ropper AH, Shahani BT. Pain in Guillain-Barré syndrome. Arch
Neurol. 1984;41:511–4.
9. Asbury AK, Cornblath DR. Assessment of current diagnostic
criteria for Guillain-Barré syndrome. Ann Neurol.
1990;27(suppl):S21–4.
10. Gordon PH, Wilbourn A J. Early electrodiagnostic findings in
Guillain-Barré syndrome. Arch Neurol. 2001;58:913–7.
11. Jozefowicz RF. Neurologic diagnostic procedures. In: Goldman
L, Bennett C, eds. Cecil textbook of medicine. 21st ed.
Philadelphia: W.B. Saunders, 2000:2010–6.
12. McKhann GM, Cornblath DR, Griffin JW, Ho TW, Li CY,
Jiang Z, et al. Acute motor axonal neuropathy: a frequent cause
of acute flaccid paralysis in China. Ann Neurol. 1993;33:333–
42.
13. Ho TW, Li CY, Cornblath DR, Gao CY, Asbury AK, Griffin
JW, et al. Patterns of recovery in the Guillain-Barré syndromes.
Neurology. 1997;48:695–700.
14. Griffin JW, Li CY, Ho TW, Tian M, Gao CY, Xue P, et al.
Pathology of the motor-sensory axonal Guillain-Barré
syndrome. Ann Neurol. 1996;39:17–28.
15. Mori M, Kuwabara S, Fukutake T, Yuki N, Hattori T. Clinical
features and prognosis of Miller Fisher syndrome. Neurology.
2001;56:1104–6.
16. Zochodne DW. Autonomic involvement in Guillain-Barré
syndrome: a review. Muscle Nerve. 1994;17:1145–55.
17. Rees JH, Soudain SE, Gregson NA, Hughes RA. Campylobacter
jejuni infection and Guillain-Barré syndrome. N Engl J Med.
1995;333:1374–9.
18. Hadden RD, Karch H, Hartung HP, Zielasek J, Weissbrich B,
Schubert J, et al. Preceding infection, immune factors, and
outcome in Guillain-Barré syndrome. Neurology. 2001;56:758–
65.
19. Lasky T, Terracciano GJ, Magder L, Koski CL, Ballesteros M,
Nash D, et al. The Guillain-Barré syndrome and the 1992–1993
and 1993–1994 influenza vaccines. N Engl J Med.
1998;339:1797–802.
20. Zhou W, Pool V, Iskander JK, English-Bullard R, Ball R, Wise
RP, et al. Surveillance for safety after immunization: Vaccine
Adverse Event Reporting System (VAERS)—United States,
1991–2001. MMWR Surveill Summ. 2003;52:1–24.
21. Lawn ND, Fletcher DD, Henderson RD, Wolter TD, Wijdicks
EF. Anticipating mechanical ventilation in Guillain-Barré
syndrome. Arch Neurol. 2001;58:893–8.
22. Sharshar T, Chevret S, Bourdain F, Raphael JC. Early predictors
of mechanical ventilation in Guillain-Barré syndrome. French
Cooperative Group on Plasma Exchange in Guillain-Barré
Syndrome. Crit Care Med. 2003;31:278–83.
23. Tripathi M, Kaushik S. Carbamazepine for pain management in
Guillain-Barré syndrome patients in the intensive care unit. Crit
Care Med. 2000;28:655–8.
24. Pandey CK, Bose N, Garg G, Singh N, Baronia A, Agarwal A,
et al. Gabapentin for the treatment of pain in Guillain-Barré
syndrome: a double-blind, placebo-controlled, crossover study.
Anesth Analg. 2002;95:1719–23.
25. Van Der Meche FG, Schmitz PI. A randomized trial comparing
intravenous immune globulin and plasma exchange in Guillain-
Barré syndrome. Dutch Guillain-Barré Study Group. N Engl J
Med. 1992;326:1123–9.
26. Hughes RA, Wijdicks EF, Barohn R, Benson E, Cornblath DR,
Hahn AF, et al. Practice parameter: immunotherapy for
Guillain-Barré syndrome: report of the Quality Standards
Subcommittee of the American Academy of Neurology.
Neurology. 2003;61:736–40.
27. Hughes RA, Raphaël JC, Swan AV, van Doorn PA. Intravenous
immunoglobulin for Guillain-Barré syndrome. Cochrane
Database Syst Rev. 2004;(1):CD002063
28. Randomised trial of plasma exchange, intravenous
immunoglobulin, and combined treatments in Guillain-Barré
syndrome. Plasma Exchange/Sandoglobulin Guillain-Barré Trial
Group. Lancet. 1997;349:225–30.
29. Hund EF, Borel CO, Cornblath DR, Hanley DF, McKhann GM.
Intensive management and treatment of severe Guillain-Barré
syndrome. Crit Care Med. 1993;21:443–46.
30. Raphaël JC, Chevret S, Hughes RA, Annane D. Plasma
exchange for Guillain-Barré syndrome. Cochrane Database Syst
Rev. 2004;(1):CD001798
31. Appropriate number of plasma exchanges in Guillain-Barré
syndrome. The French Cooperative Group on Plasma Exchange
in Guillain-Barré Syndrome. Ann Neurol. 1997;41:298–306.
32. Sater RA, Rostami A. Treatment of Guillain-Barré syndrome
with intravenous immunoglobulin. Neurology. 1998;51(6 suppl
5):S9–15.
33. Hughes RA, van Der Meche FGA. Corticosteroids for treating
Guillain-Barré syndrome. Cochrane Database Syst Rev. 2003;
(4):CD001446. Review.
34. Lawn ND, Wijdicks EF. Fatal Guillain-Barré syndrome.
Neurology. 1999;52:635–8.
35. Standar Pelayanan Medik (SPM) Neurologi, Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI)

Anda mungkin juga menyukai