Anda di halaman 1dari 7

2. Suku Bangsa Serawai.

Suku bangsa Serawai merupakan suku bangsa kedua terbesar yang hidup di daerah
Bengkulu. Sebagian besar masyarakat suku Serawai berdiam di Kabupaten Bengkulu
Selatan yakni di kecamatan Sukaraja, Seluma, Talo Pino, Kelutum, Manna dan Seginim.
Suku bangsa Serawai mempunyai mobilitas yang cukup tinggi, saat ini banyak dari
mereka yang pindah ke daerah-daerah lain untuk mencari penghidupan baru, seperti ke
Rejang Lebong, Bengkulu Utara dan sebagainya.
Secara tradisional, suku bangsa Serawai hidup dari kegiatan di sektor pertanian,
khususnya perkebunan. Banyak di antara mereka mengusahakan tanaman perkebunan
atau jenis tanaman keras, misalnya cengkeh, kopi, kelapa dan karet. Meskipun demikian,
mereka juga mengusahakan tanaman pangan, palawija, hortikultura dan peternakan untuk
kebutuhan hidup.

Asal-usul suku bangsa Serawai masih belum bisa dirumuskan secara ilmiah, baik dalam
bentuk tulisan maupun dalam bentuk-bentuk publikasi lainnya. Asal-usul suku bangsa
Serawai hanya diperoleh dari uraian atau ceritera dari orang-orang tua. Sudah tentu
sejarah tutur seperti ini sangat sukar menghindar dari masuknya unsur-unsur legenda atau
dongeng sehingga sulit untuk membedakan mana yang bernilai sejarah dan mana yang
bukan. Ada satu tulisan yang diketemukan di makam Leluhur Semidang Empat Dusun
yang terletak di Maras, Kecamatan Talo. Tulisan tersebut ditulis di atas kulit kayu dengan
menggunakan huruf yang menyerupai huruf Arab kuno. Namun sayang sekali sampai
saat ini belum ada di antara para ahli yang dapat membacanya.

Berdasarkan ceritera para orang tua, suku bangsa Serawai berasal dari leluhur yang
bernama Serunting Sakti bergelar Si Pahit Lidah. Asal-usul Serunting Sakti sendiri masih
gelap. Sebagian orang mengatakan bahwa Serunting Sakti berasal dari suatu daerah di
Jazirah Arab, yang datang ke Bengkulu melalui kerajaan Majapahit. Di Majapahit,
serunting Sakti minta suatu daerah untuk didiaminya dan oleh Raja Majapahit dia
diperintahkan untuk memimpin di daerah Bengkulu Selatan. Ada pula yang berpendapat
bahwa Serunting Sakti berasal dari langit, ia turun ke bumi tanpa melalui rahim seorang
ibu. Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa Serunting Sakti adalah anak hasil
hubungan gelap antara Puyang Kepala Jurai dengan puteri Tenggang.
Di dalam Tembo Lebong terdapat ceritera singkat mengenai seorang puteri yang bernama
puteri Senggang. Puteri Senggang adalah anak dari Rajo Megat, yang memiliki dua orang
anak yakni Rajo Mawang dan Puteri Senggang. Dalam tembo tersebut kisah mengenai
Rajo Mawang terus berlanjut sedangkan kisah puteri Senggang terputus begitu saja.
Hanya saja ada disebutkan bahwa puteri Senggang terbuang dari keluarga Rajo Mawang.
Apabila kita simak ceritera tentang kelahiran Serunting Sakti, diduga ada hubungannya
dengan kisah puteri Senggang ini dan ada kemungkinan bahwa puteri Senggang inilah
yang disebut oleh orang Serawai dengan nama puteri Tenggang. Diceriterakan bahwa
Puyang Kepala Jurai yang sangat sakti jatuh cinta pada Puteri Tenggang, tapi cintanya
ditolak. Namun berkat kesaktiannya, Puyang Kepala Jurai dapat melakukan hubungan
dengan puteri Tenggang, tanpa disadari oleh puteri itu sendiri. Akibat dari perbuatan ini
puteri Tenggang menjadi hamil. Setelah puteri Tenggang melahirkan seorang anak
perempuan yang diberi nama Puteri Tolak Merindu barulah terjadi perkawinan antara
putri Tenggang dengan Puyang Kepala Jurai, itupun dilakukan setelah puteri Tolak
Merindu dapat berjalan dan bertutur kata
Setelah perkawinan tersebut, keluarga Puyang Kepala Jurai belum lagi memperoleh anak
untuk jangka waktu yang lama. Kemudian Puyang Kepala Jurai mengangkat tujuh orang
anak, yaitu : Semidang Tungau; Semidang Merigo; Semidang Resam; Semidang Pangi;
Semidang Babat; Semidang Gumay dan Semidang Semitul. Setelah itu barulah Puyang
Kepala Jurai memperoleh seorang putera yang diberi nama Serunting. Serunting inilah
yang kemudian hari menjadi Serunting Sakti bergelar Si Pahit Lidah. Serunting Sakti
berputera tujuh orang, yaitu :
a. Serampu Sakti, yang menetap di Rantau Panjang (sekarang termasuk marga
Semidang Alas), Bengkulu Selatan;
b. Gumatan, yang menetap di Pasemah Padang Langgar, Lahat;
c. Serampu Rayo, yang menetap di Tanjung Karang Enim, Lematang Ilir Ogan
Tengah (LIOT);
d. Sati Betimpang, yang menetap di Ulak Mengkudu, Ogan;
e. Si Betulah, yang menetap di Saleman Lintang, Lahat;
f. Si Betulai, yang menetap di Niur Lintang, Lahat; dan
g. Bujang Gunung, yang menetap di Ulak Mengkudu Lintang, Lahat.
Putera Serunting Sakti yang bernama Serampu Sakti mempunyai 13 orang putera yang
tersebar di seluruh tanah Serawai. Serampu Sakti dengan anak-anaknya ini dianggap
sebagai cikal bakal suku bangsa Serawai. Putera ke 13 Serampu Sakti yang bernama Rio
Icin bergelar Puyang Kelura mempunyai keturunan sampai ke Lematang Ulu dan
Lintang.
Dalam istilah daerah Rejang, suku bangsa Serawai sering disebut Jang Sawei (Rejang
Serawai). Dari sini kita dapat mengetahui bahwa suku bangsa Rejang menganggap bahwa
suku bangsa Serawai merupakan salah satu pecahan dari Suku bangsa Rejang atau sejak
dulu sudah berasimilasi dengan suku bangsa Rejang. Hal ini mungkin ada benarnya,
banyak tarian adat suku bangsa Rejang yang memiliki banyak kesamaan dengan tarian
adat suku Serawai, terlebih lagi bila kita menyimak kisah tentang puteri Senggang di atas.
Kata Serawai sendiri masih belum jelas artinya. Sebagian orang mengatakan bahwa
Serawai berarti "satu keluarga", hal ini tidak mengherankan apabila dilihat rasa
persaudaraan atau kekerabatan di antara orang-orang Serawai sangat kuat. Selain itu ada
pula tiga pendapat lain mengenai asal kata Serawai, yaitu :
a. Serawai berasal dari kata Sawai yang berarti Cabang. Cabang di sini
maksudnya adalah cabang dua buah sungai yakni Sungai Musi dan Sungai
Seluma yang dibatasi oleh Bukit Campang;
b. Serawai berasal dari kata Seran. Kata Seran sendiri bernakna Celaka, hal ini
dihubungkan dengan legenda anak raja dari hulu yang dibuang karena terkena
penyakit menular. Anak raja ini dibuang ke sungai dan terdampar di muara dan
disitulah anak raja tersebut membangun negeri.
c. Serawai berasal dari kata Selawai yang berarti Gadis atau Perawan. Pendapat
ini mendasarkan diri pada ceritera yang mengatakan bahwa suku bangsa Serawai
adalah keturunan sepasang suami-isteri. Sang Suami berasal dari Rejang Sabah
(penduduk asli pesisir pantai Bengkulu) dan isterinya adalah seorang puteri atau
gadis yang berasal dari Lebong. Dalam bahasa Lebong, puteri atau gadis disebut
Selawai. Kedua suami-isteri ini kemudian beranak-pinak dan mendirikan kerajaan
kecil yang oleh orang Lebong dinamakan Selawai.
Suku bangsa Serawai juga telah memiliki tulisan sendiri. Tulisan itu, seperti halnya huruf
Ka Ga Nga suku Rejang, disebut oleh para ahli dengan nama huruf Rencong. Suku
bangsa Serawai sendiri menamakan tulisan itu sebagai Surat Ulu. Susunan bunyi huruf
pada Surat Ulu sangat mirip dengan tulisan Ka Ga Nga pada huruf Rejang. Oleh sebab itu
tidak aneh apabila pada masa lalu para pemimpin suku-suku bangsa Rejang dan Serawai
dapat saling berkomunikasi dengan menggunakan bentuk-bentuk tulisan ini.

Suku Serawai, adalah suatu komunitas suku yang berdiam di kabupaten Bengkulu Selatan,
tersebar di kecamatan Sukaraja, Seluma, Talo, Pino, Kelutum, Manna dan Seginim. Suku
Serawai selain terpusat di Bengkulu, mereka terdapat juga di beberapa daerah di provinsi
Sumatra Selatan. Ras suku Malayan adalah proto Malayan.

Suku Serawai memiliki kebiasaan merantau ke daerah lain dengan minat yang sangat tinggi.
Banyak dari masyarakat suku Serawai merantau ke daerah lain, mulai dari Sumatra Selatan
hingga ke wilayah Lampung.

Asal-usul suku Serawai tidak diketahui secara pasti, karena tidak adanya bukti-bukti sejarah
yang tersimpan dalam masyarakat suku Serawai. Beberapa cerita asal-usul suku Serawai
diperoleh dari cerita orang-orang tua yang memang masih mengingat cerita asal usul mereka,
walaupun sebenarnya cerita asal usul suku Serawai ini masih berbau dongeng. Ada satu tulisan
yang ditemukan di makam Leluhur Semidang Empat Dusun yang terletak di Maras, Talo.
Tulisan tersebut ditulis di atas kulit kayu dengan menggunakan huruf kuno. Namun sayangnya,
para ahli sejarah belum bisa membaca tulisan kuno tersebut.

suku Serawai
Sedangkan istilah "serawai", pun belum jelas artinya, sebagian orang Serawai nya sendiri
mengatakan bahwa serawai berarti "satu keluarga". Kalau makna itu benar, maka dapatlah
dilihat rasa persaudaraan atau kekerabatan antar sesama suku Serawai sangat kuat (khususnya
mereka yang menumpang hidup di komunitas suku bangsa lainnya/merantau).
Sementara itu pendapat lain mengenai arti dari kata Serawai,
serawai berasal dari kata sawai, yang berarti cabang, yang mengatakan wilayah
pemukiman mereka berasal dari dua cabang sungai, yaitu sungai Musi dan sungai Seluma
yang dibatasi oleh bukit Campang;
Pendapat lain serawai berasal dari kata seran, yang bermakna celaka. Hal ini
berhubungan dengan legenda anak raja dari hulu yang dibuang karena terkena penyakit
menular. Anak raja ini dibuang ke sungai dan terdampar di muara, kemudian di situlah
anak raja tersebut membangun negeri.
Terakhir kata serawai berasal dari kata selawai yang berarti gadis atau perawan,
berdasarkan pada cerita yang mengatakan bahwa suku Serawai adalah keturunan
sepasang suami-istri. Sang suami berasal dari Rejang Sabah (penduduk asli pesisir pantai
Bengkulu) dan istrinya adalah seorang puteri atau gadis yang berasal dari Lebong. Dalam
bahasa Rejang dialek Lebong, puteri atau gadis disebut Selaweie. Kedua suami-isteri ini
kemudian beranak-pinak dan mendirikan kerajaan kecil yang oleh orang Lebong
dinamakan Selawai.

Suku Serawai berbicara dalam bahasa Serawai, yang termasuk ke dalam rumpun bahasa Melayu
Tengah, tetapi lebih tua dari bahasa Melayu nya sendiri
Bahasa Serawai oleh masyarakat Serawai dalam setiap katanya selalu menggunakan kata "au".
Bahasa dan adat Serawai ini dipakai oleh masyarakat yang berada di distrik Pino, Ulu Manna,
Manna, dan Bengkenang yaitu dalam : Marga Anak Gumai, Marga Tanjung Raya, Marga VII
Pucukan, Marga Anak Lubuk Sirih, Marga Anak Dusun Tinggi, Sumbai Besar Manna, Sumbai
Kecil Manna dan Luar Khalifah Manna.

Suku Serawai sebenarnya memiliki aksara tulisan sendiri, yang menurut para ahli sejarah disebut
dengan nama huruf Rencong. Sedangkan suku Serawai menamakan aksara ini sebagai Surat Ulu.
Tata cara dan susunan bunyi huruf pada Surat Ulu hampir sama dengan dengan aksara Kaganga.
Jadi pada masa lalu dalam hubungan komunikasi antara para pemimpin suku Serawai dan suku
Rejang dapat saling berkomunikasi dengan menggunakan bentuk tulisan ini.

Masyarakat suku Serawai pada umumnya hidup pada sektor pertanian, khususnya perkebunan.
Banyak dari mereka berusaha pada bidang tanaman perkebunan pada jenis tanaman keras, seperti
cengkeh, kopi, kelapa, dan karet. Selain itu mereka juga mengusahakan tanaman pangan,
palawija, hortikultura, dan peternakan untuk kebutuhan hidup. Di luar dari itu beberapa dari
mereka memelihara hewan ternak untuk menambah penghasilan.

sumber:

word-dialect.blogspot.com
budayasukuserawai.blogspot.com
wikipedia
dan sumber lain

sumber-foto:

blog.djarumbeasiswaplus.org
ahmadkanedi.com
Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to Facebook

Ritual suku serawai

1. Tunggu Dusun", Penghormatan Suku Serawai terhadap Alam

Ritual adat tahunan itu bernama "Tunggu Dusun". Ritual ini merupakan sebuah tradisi masyarakat Suku
Serawai, salah satu suku terbesar yang menempati Provinsi Bengkulu. Ritual adat "Tunggu Dusun" di
jalan desaWalana menyebutkan, sesaji dan doa dilakukan di empat titik desa, pertama di mata air.
TercederaiKetua adat yang lain, Nahadin, menyebutkan, ritual adat melambangkan penghormatan
masyarakat terhadap alam dan sekitarnya. "Kami sudah tidak punya apa-apa lagi, sementara tanah yang
kami harapkan untuk hidup sudah menjadi milik perkebunan sawit," sebut Nahadin.

Meski Masyarakat Manna sedang tumbuh menjadi masyarakat modern, mereka juga masih
terikat kuat dengan Adat, yang membuat kebudayaaan mereka relatif masih terpelihara dan
dilestarikan oleh masyarakat setempat. Hal ini dapat dilihat dari adanya mitos-mitos yang
masih terpelihara kuat di daerah mereka, Demikian pula masih terpelihara warisan budaya
seperti hukum adat, kesenian adat yang bernuansa religius ataupun upacara adat yang syarat
dengan muatan-muatan nasehat dan budi pekerti. Selain itu, terdapat pula upacara-upacara
ritual ziarah sebagai bentuk penghormatan dan ibadah masyarakat terhadap para
pendahulunya atau untuk para leluhur dan orang tua.

Hukum adat, masyarakat Manna terdiri atas yang tertulis dan yang tidak tertulis. Aturan yang
dipedomani secara lisan memang tidaklah ada sangsi nyata berbentuk kesepakatan hukuman
tetapi, bentuk sangsi moral yang lebih menyakitkan dalam jangka panjang bagi pelanggaran
aturan itu seperti, dijauhi orang, dan bicara tidak didengarkan orang. Adapun aturan yang
tidak tertulis tersebut, seperti: istinja, petata petitih, etika, dan norma-norma adat lainnya.

Selain itu, di Manna juga masih terdapat berbagai kesenian tradisional, yang meliputi,
kesenian yang bernuansa religius, seperti kaligrafi, tadut, serapal anam. Ada juga kesenian
yang merupakan perpaduan antara seni tari, seni musik, dan seni suara seperti, berdendang,
tembang, dll. Sedangkan tarian tanpa alat musik ada beberapa seperti, tari Bubu, tari Pisau
Dua, tari Pedang, tari Silat, dan juga tari Andun ada pada setiap kecamatan, kecuali di
Kecamatan Kedurang.

Seni Tari di Bumi Rafflesia (Serawai)

Tari Bengkulu
1. Tari Andun
Tari Andun merupakan salah satu tarian rakyat yang dilakukan pada saat pesta
perkawinan. Biasanya dilakukan oleh para bujang dan gadis secara berpasangan pada
malam hari dengan diringi musik kolintang. Pada zaman dahulu, tari andun biasanya
digunakan sebagai sarana mencari jodoh setelah selesai panen padi. Sebagai bentuk
pelestariannya, saat ini dilakukan sebagai salah satu sarana hiburan bagi masyarakat
khususnya bujang gadis.

2. Tari Persembahan
Tari persembahan merupakan tari menyambut tamu penting yang datang di suatu
daerah di Kabupaten Seluma. Tamu yang datang disambut dengan permainan pencak
silat yang dimainkan oleh 2 orang laki-laki dengan iringan rebana. Kemudian tamu
dipersilahkan berjalan dan disambut oleh pasangan bujang gadis yang berpakaian adat
daerah yang menawarkan sekapur sirih untuk dikunyah sebagai simbol penerimaan
masyarakat terhadap tamu yang datang.
3. Bedendang
Bedendang merupakan kesenian masyarakat yang dimainkan pada malam hari pada
kegiatan perkawinan. Para pemainnya umumnya laki-laki dengan alat musik pendukung
lainnya. Disamping itu, secara bergiliran para pemain musik tersebut juga memainkan
tarian secara berpasangan.
4. Rebana
Rebana merupakan kesenian masyarakat yang dimainkan oleh para ibu-ibu atau kaum
perempuan pada waktu ada keramaian baik desa. Rebana dimainkan untuk mengiringi
lagu yang dibawakan seseorang.
5. Tari Ulu-Ulu
Tarian khas rakyat Seluma ini biasanya diselenggarakan pada saat tertentu misalnya
pawa waktu pesta pernikahan.

Analisis pendapat mengenai eksistensi suku serawai

Meski kini banyak produk kebudayaan asli yang mulai punah, sebagai implikasi logis dari
modernitas, di Manna Bengkulu Selatan masih dilaksanakan berbagai upacara adat yang
bernuansa agamis dan sakral, seperti upacara adat Nundang Padi, upacara adat Ziarah,
upacara Sedekah Pengobatan, dan upacara adat Bimbang. Pada setiap acara adat, masyarakat
mengenakan pakaian adat, yang telah disepakati pada zaman pasirah, jauh sebelum
kabupaten ini menjadi tingkat dua. Untuk laki-laki, pakaian yang dikenakan adalah baju lakan
dengan kerah belah buluh, detar bewarna benang emas, dan celana warna hitam.

Implikasi logis dari modernitas kebudayaan, menurut para ahli, telah menimbulkan dua
gejala, yaitu gejala erosi nilai-nilai tradisional, dan gejala retradisionalisasi. Hal ini mulai
tampak pula dalam realitas sosial masayarakat Manna. Sebagai contoh, prosesi bimbang
gedang di Manna yang biasanya dilakukan secara besar-besaran, biasanya kini hanya dapat
dilaksnakan oleh anggota masyarakat yang kemampuan ekonominya tinggi. Gejala erosi nilai-
nilai tradisional dalam kehidupan masyarakat mulai pula menimbulkan kesimpangsiuran
norma-norma, dan kemerosotan nilai-nilai tradisional, sebagai akibat modernisasi.
Walaupun demikian, bentuk-bentuk seni budaya dan tradisi di Manna yang masih ada dan
bernafaskan Islam sekaligus bernuansa adat tradisional. Dalam upacara perkawinan misalnya,
bagi mereka yang sudah berpandangan modern, merupakan rangkaian prosesi yang panjang
dan melelahkan, dan sudah seharusnya ditinggalkan atau dimodifkasi. Namun karena hal itu
telah menjadi adat dan tradisi, sebagian besar masyarakat masih melaksanakan prosesi yang
panjang tersebut hingga sekarang walaupun membutuhkan waktu dan biaya yang cukup besar.

Anda mungkin juga menyukai