BAB II
LANDASAN TEORI
Data curah hujan tersebut biasanya data curah hujan jam-jaman, hujan harian, distribusi curah
hujan pada saat terjadi hujan yang lebat, dan lain lain.
Adapun nantinya data-data yang akan digunakan untuk perhitungan hidrologi antara
lain penetapan banjir rancangan, penentuan kala ulang (return period) banjir rancangan ,
penentuan debit maksimum banjir yang mungkin terjadi (probable maximum flood),
pembuatan hidrograf banjir rancangan sebagai debit inflow banjir untuk perencanaan
bangunan pelepasan (outlet works) pada konstruksi bendungan.
P 1 exp L T (2-1)
dengan:
P = adalah resiko kegagalan
L = adalah umur rencana (design life)
T = adalah tahun berulangnya
Pemilihan suatu teknik analisa penentuan banjir rancangan tergantung dari data-data
yang tersedia dan macam dari bangunan air tersebut. Kriteria pemilian banjir dengan hanya
meninjau kemungkinan terjadinya banjir yang lebih besar atau sama dengan banjir rencana,
sekali atau lebih selama bangunan air tersebut berdiri. Kriteria lain yang dapat menjadi bahan
pertimbangan adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1. Kriteria Pemilihan Kala Ulang Banjir Rancangan
Perencanaan penentuan lokasi waduk, ditentukan dari peta kontur dan survei
topografi lokasi bendungan. Luas yang tertandai di peta kontur berikut ini adalah lokasi
waduk rencana. Elevasi kontur dan area yang direncanakan di masing-masing elevasi dapat
diplot dari kurva hasil hubungan antara kapasitas waduk dan elevasi pada peta kontur,
hubungan kapasitas waduk dan elevasi disebut kurva kapasitas tampungan waduk. Untuk
lebih jelasnya seperti pada Gambar 2.2
S
h
3
A1 A2 A1 . A2 (2-3)
yang dapat menyebabkan genangan genangan pad daerah calon tubuh bendungan yang sedang
dikerjakan.
Beberapa faktor terpenting yang akan menentukan karakteristika hidrolika suatu
saluran pengelak adalah :
Kemiringan dasar saluran pengelak
Ukuran saluran pengelak
Karakteristika terpenting saluran pengelak
Panjang saluran pengelak
Kekasaran dinding saluran pengelak
Kombinasi dari beberapa faktor-faktor tersebut akan sangat menentukan kapasitas
saluran pengelak.
Kemiringan saluran pengelak yang berupa terowongan (terowongan Pengelak)
biasanya diambil untuk aliran sub-kritis ataupun untuk aliran superkritis. Pada kedua kondisi
tersebut, maka posisi titik kontrol hidrlisnya biasanya tergantung dari hubungan antara bentuk
daerah pemasukan aliran serta tinggi tekanan air di daerah ini dan tergantung pula pada
kondisi pengaliran di ujung saluran tersebut.
Untuk analisis hidrolika pada saluran pengelak ini dibahas mengenai kapasitas
pengaliran melalui saluran pengelak, baik melalui terowongan maupun conduit karena prinsip
dasar dari ke-dua pengelak tersebut adalah sama. Kapasitas pengaliran saluran ini dibedakan
menjadi dua kondisi yaitu, pada saat aliran bebas (free flow) yaitu pada saat sifat hidrolik
yang terjadi berupa hidrolika saluran terbuka dan kondisi pada saat aliran tertekan yaitu pada
saat sifat hidrolik yang terjadi berupa hidrolika saluran tertutup.
2.3.1 Kriteria Aliran pada Terowongan
a. Kriteria Aliran pada Terowongan Menurut USBR
Menurut USBR (United States Bureau of Reclamation) kriteria aliran pada
terowongan dapat dibagi menjadi delapan tipe aliran. Faktor geometri saluran, faktor aliran
dalam aliran tekan maupun aliran bebas, kemiringan saluran, ukuran, bentuk, panjang, dan
kekasaran menentukan jenis aliran pada terowongan. Kombinasi efek dari faktor tersebut
menentukan lokasi kontrol yang dalam bagiannya juga menentukan karakteristik debit
terowongan. Lokasi dari kontrol saluran apakah berupa aliran penuh total (tekan) atau penuh
sebagian, membentuk hubungan tinggi muka air dengan debit yang lewat.
Jika masukan terowongan tidak dalam kondisi tenggelam, kontrol terowongan dengan
kemiringan yang landai maka aliran penuih sebagian akan terjadi di keluaran. Jika keluaran
terowongan penuh total, aliran pada titik ini akan mengalir dengan kedalaman kritis. Kondisi
ini ditunjukkan pada kondisi 1 Gambar 2.3. Jika muka air hilir cukup tinggi untuk
membentuk kedalaman lebih besar dari kritis, tinggi muka air hilir akan mengontrol aliran
pada hulu tubuh terowongan. Jika muka air hilir menenggelamkan keluaran, terowongan
mungkin penuh sebagian sepanjang terowongan dan akhirnya akan menenggelamkan
masukan. Kondisi aliran ini digambarkan sesuai kondisi 6 pada Gambar 2.2. Sampai aliran
terowongan penuh, alirannya biasanya pada subkritis, dan debit ditentukan dengan persamaan
Bernoulli. Perhitungan dimulai pada outlet dimana level muka air menenggelamkan inlet dan
dimana H/D > 1,2. Kontrol pada kedalaman kritis bisa diletakkan di inlet jika terowongan
relatif pendek sehingga loncatan tidak terjadi di dalam tubuh terowongan. Kondisi ini
ditunjukkan pada kondisi 4.
Jika terowongan memiliki kemiringan yang curam dan mulut masukan tidak
tengggelam, aliran akan dikontrol oleh kedalaman aliran di inlet, seperti diindikasikan pada
kondisi 3. Permukaan air akan turun secara tiba-tiba menuju kedalaman kritis pada mulut
masukan, dan aliran saluran terbuka berada pada kecepatan superkritis akan terjadi sepanjang
tubuh terowongan. Debit pada tampungan akan berpengaruh pada aliran saluran, dengan
asumsi kedalaman aliran kritis terjadi di mulut masukan terowongan.
Setelah inlet tenggelam atau dimana H melampaui 1,2D, masih dimungkinkan terjadi
aliran saluran terbuka pada tingkatan superkritis pada tubuh terowongan, seperti digambarkan
pada kondisi 5, jika kontrol tetap pada mulut masukan. Pada kasus ini, aliran pada inlet dapat
disamakan dengan aliran pada orifice atau pada pintu sorong. Kondisi aliran ini bergantung
pada formasi konstruksi pada atas mulut masukan sehibgga ruang batas udara terbentuk
sepanjang bagian atas tubuh terowongan sehingga terjadi aliran penuh sebagian sepanjang
terowongan.
Karena tinggi muka air pada mulut masukan dan hasil dari peningkatan debit, gesekan
saluran atau disturbansi lokal akan menekan tubuh terowongan menjadi aliran penuh total
sampai dekat pada outlet, menutup terowongan hingga akhir hilir. Kecepatan aliran yang
tinggi di dalam terowongan akan membawa beberapa udara yang terjebak pada bagian atas
tubuh terowongan, mengurangi tekanan pada tekanan hingga di bawah tekanan atmosfer.
Lebih lanjut lagi, jika mulut masukan memiliki bentuk yang bertujuan untuk mengurangi
konstraksi inlet, tubuh terowongan akan mulai mengalir pada aliran penuh total dekat inlet,
setelah itu zona aliran penuh total akan memanjang secara tiba-tiba sampai turun pada outlet.
Efek dari kondisi aliran penuh total ini akan menjadi draft-tube action (mirip dengan siphonic
action) yang akan meningkatkan debit. Peningkatan debit mengakibatkan penurunan lebih
dalam dari hulu pada inlet. Sebuah vortex akan terbentuk, dan udara akan masuk ke dalam
terowongan yang akan merusak draft-tube action. Pengurangan debit akan menghasilkan
Mugiwara 64- FTUB Page 9
2016
Proposal Rancang Bangun Bendungan Dibaya 10
kembalinya kontrol orifice pada inlet. Dengan seketika, gaya aliran penuh total akan terbentuk
lagi, dan siklusnya terus berulang. Pergantian antara gaya-gaya pemulaian dan penghentian
akan menyebabkan aliran berpusar/ bergetar yang menyebabkan fenomena hantaman yang
ditunjukkan pada kondisi 7. Ketika kondisi tampungan berada pada H/D > 1,5 penurunan
muka air pada mulut masukan tidak akan cukup kuat untuk menghasilkan gaya aliran penuh
total, dan aliran mantap pada pipa penuh ditunjukkan pada kondisi 8 akan berlaku.
Jika diinginkan bahwa terowongan tidak berupa aliran penuh total, geometri pada inlet
menjadi pertimbangan penting. Inletnya harus dibentuk untuk menghasilkan efisiensi debit
maksimum dan mengatasi dengan baik konstraksi bagian atas inlet yang akan membuat
permukaan pada udara bebas di dalam tubuh terowongan untuk semua tingkatan muka air
tampungan. Bentuk inlet bersudut menghasilkan konstraksi yang diinginkan tanpa
mengurangi kapasitas debit utama. Konstraksi pada inlet dapat terbentuk (tetapi pada
kapasitas hidrolik yang dikurangi) dengan inlet yang diproyeksikan, dengan mengubah sudut
inlet dengan menyamakan dengan kemiringan hilir, dengan bentuk gelang orifice yang lebih
kecil dari diameter terowongan, atau dengan menutup dinding muka bagian atas dari mulut
masukan terowongan.
Jika terowongan diizinkan untuk mengalir penuh total hingga tinggi muka air yang
lebih tinggi, kontrolnya akan terjadi pada outlet dan geometri inlet akan berpengaruh lebih
kecil. Pada kasus ini inlet harus dibentuk untuk meminimalisasikan konstraksi pancar untuk
mencegah abrasi dari aliran masuk dari tubuh terowongan karena aliran pipa penuh total
diinginkan pada semua kondisi kecuali ketika inlet tidak tenggelam. Bentuk yang lebih
streamline akan mengurangi kehilangan pada mulut masukan untuk kondisi penuh total.
Penghilangan konstraksi dicapai dengan membulatkan inlet atau dengan membuat sudut
transisi bertahap menuju ke tubuh terowongan.
Gambar 2.2 Model Kondisi Aliran pada Terowongan dengan Kemiringan/ Slope Landai dan
Curam.
Sumber: Design of Small Dams, 1987:423
b. Kriteria Aliran pada Terowongan Menurut Richard French
Berdasar dari buku Open Channel Hydraulics dari Richard H. French debit yang
melewati terowongan ditentukan melalui aplikasi dari persamaan kontinuitas dan energi
diantara bagian pengarah dan bagian hilir terowongan yang berada pada tubuh terowongan.
Lokasi bagian hilir tergantung pada pembagian aliran di dalam terowongan.
hilir. Pada jenis aliran ini, aliran subkritis terjadi pada seluruh panjang terowongan. Agar
aliran tipe 3 ini bisa terjadi persyaratan yang harus dipenuhi :
1. Rasio tinggi muka air dan diameter terowongan harus kurang dari 1,5.
2. Elevasi muka air hilir tidak cukup untuk menenggelamkan mulut keluaran
terowongan. Bagaimanapun elevasinya melampaui kedalaman kritis pada mulut keluaran.
3. Batas terendah dari muka air hilir adalah seperti berikut: (a) elevasi muka air hilir
lebih besar dari elevasi kedalaman kritis pada mulut masukan terowongan jika kondisi aliran
serupa pada kedalaman kritis seperti pada mulut masukan, dan (b) elevasi muka air hilir lebih
besar dari elevasi muka air kritis pada mulut keluaran jika kemiringan terowongan serupa
dengan kedalaman muka air kritis akan terjadi pada kondisi jatuh-bebas.
d. Aliran Tipe 4
Pada jenis aliran ini, aliran terowongan penuh, dan besar aliran bisa diperkirakan
secara langsung dari persamaan energi. Untuk aliran tipe 4 ini, kehilangan energi terjadi
diantara bagian 1 dan 2 dan bagian 3 dan 4 biasanya diabaikan. Kehilangan berdasarkan
perluasan aliran berubah tiba-tiba pada mulut keluaran terowongan diasumsi dengan
persamaan (h3-h4)
e. Aliran Tipe 5
Pada jenis aliran ini, aliran superkritis pada mulut masukan terowongan dan rasio
tinggi muka air hulu dengan diameter terowongan melampaui 1,5. Namun elevasi muka air
hilir masih di bawah terowongan, atau terowongan hampir penuh.
f. Alliran Tipe 6
Pada jenis aliran ini, rasio tinggi muka air hulu-diameter terowongan melampaui 1,5,
aliran terowongan hampir penuh, dan mulut keluaran terowongan tidak tenggelam. Flowchart
di bawah nanti menjelaskan cara mengklasifikasikan aliran terowongan dari keenam kategori
berikut di atas.
bahwa bila perendaman tidak menentu, maka ketepatan per hitungan yang lebih besar
didapatkan dengan menganggap masukan dalam keadaan tidak terendam.
Gambar 2.6 Kriteria untuk Terowongan Pipa, Kotak Panjang dan Pendek Secara Hidrolis
dengan Kubah Beton; dan Masukan Berbentuk Persegi, Lingkaran atau Pengurasan Miring
dari Dinding Ujung Vertikal; Dilengkapi dengan atau Tanpa Dinding Samping
Sumber: Hidrolika Saluran Terbuka, Ven Te Chow, 1997:444
Penelitian laboratorium juga menunjukkan bahwa pada suatu terowongan (biasanya
mempunyai potongan persegi pada bagian atas masukan), tidak akan memiliki aliran penuh
sekalipun masukan berada di bawah ketinggian air atas, bila saluran keluar tidak terendam.
Pada kondisi demikan, aliran yang masuk ke terowongan akan menyusut, hingga
kedalamannya lebih kecil daripada tinggi kubah terowongan; dengan cara yang sangat mirip
dengan penyusutan aliran air pada pintu air geser tegak. Kecepatan air yang tinggi akan
berlanjut sepanjang kubah, kemudian akan berkurang secara perlahan-lahan, akibat
kehilangan gesekan. Bila terowongan tidak cukup panjang untuk mengizinkan penambahan
kedalaman aliran di penyempitan hingga memenuhi kubah, maka aliran pada terowongan
tidak akan terisi penuh. Keadaan demikian dinamakan pendek secara hidrolis. Sebaliknya,
dikatakan panjang secara hidrolis, bila aliran pada terowongan penuh, seperti yang terjadi
pada pipa.
Penentuan suatu terowongan panjang atau pendek secara hidrolis, tidak dapat
ditentukan oleh panjang kubah saja. Tetapi tergantung pada karakteristik yang lain,
diantaranya: kemiringan, ukuran, geometri masukan, air atas, keadaan saluran masuk dan
keluar, dan lain-lainnya. Suatu terowongan, mungkin menjadi pendek secara hidrolis, bila
aliran hanya sebagian penuh, atau bila air atas lebih besar dari niali kritis. Untuk situasi
demikian, suatu grafik yang dibuat Carter (Gambar 2.6 dan Gambar 2.7), dapat digunakan
untuk membedakan secara kasar antara terowongan pendek secara hidrolis, dengan saluran
masuk terendam, dapat memperlengkapi dirinya sendiri secara otomatis, aliran menjadi
penuh. Dari hasil penelitian laboratorium yang dilakukan Li dan Patterson, terjadinya aksi
memperlengkapi dirinya sendiri, disebabkan oleh kenaikan air hingga bagian atas gorong-
gorong. Kenaikan ini pada kebanyakan kasus disebabkan oleh loncatan hidrolik, pengaruh
air balik pada jalan keluar, atau terbentuknya gelombang permukaan diam di dalam kubah.
Gambar 2.7 Kriteria untuk Terowongan Pendek dan Panjang Secara Hidrolis, dengan Kubah
Kasar dari Pipa Bergelombang.
Sumber : Hidrolika Saluran Terbuka,Ven Te Chow, 1997:445
Untuk keperluan praktis, aliran gorong-gorong dapat digolongkan dalam 6 jenis, dan
ditunjukkan pada Gambar 2.8. ldentifikasi masing-masing jenis dapat diielaskan sesuai
dengan sketsa berikut:
A. Jalan keluar terendam Jenis 1
B. Jalan keluar tidak direndam
1. Air atas lebih tinggi daripada nilai kritis
a. Terowongan panjang secara hidrolis. Jenis 2
b. Terowongan yang pendek secara hidrolis.. Jenis 3
2. Air atas lebih rendah daripada nilai kritis
a. Air bawah lebih tinggi daripada kedalaman kritis Jenis 4
b. Air bawah lebih rendah daripada kedalaman kritis
3. Kemiringan subkritis. Jenis 5
4. Kemiringan superkritis. Jenis 6
Gambar 2.9 Grafik untuk Nilai Air Atas Pendekatan Pada Terowongan Kotak, dengan Satuan
untuk Bujur Sangkar, Aliran Sebagian Penuh.
Sumber : Hidrolika Saluran Terbuka, Ven Te Chow, 1997:448
Gambar 2.10 Grafik untuk Nilai Air Atas Pendekatan pada Terowongan Lingkaran, dengan
Saluran Masuk Bujur Sangkar, Aliran Sebagian Penuh.
Sumber : Hidrolika Saluran Terbuka, Ven Te Chow, 1997:448
2.3.2 Aliran Bebas (free flow)
Dalam hal ini diasumsikan bahwa akan terjadi aliran bebas apabila tinggi muka air di
waduk (H) 1,5diameter pengelak (D). Untuk menentukan besarnya debit yang lewat
pengelak pada keadaan aliran bebas dapat digunakan rumus Manning bila aliran adalah
subkritis.
Untuk memeriksa pada kedalaman berapa terjadi pengaliran kritis digunakan rumus :
g. A 3 z
Qc = (2-6)
B
v
F = g .H
(2-7)
Dimana:
Qc = debit yang melewati pengelak dalam kondisi kritis (m3/detik)
g = percepatan gravitasi (= 9,81 m/detik2)
A = luas penampang basah (m2)
F = bilangan Froude
H = kedalaman aliran (m)
Kondisi aliran tersebut sangat perlu untuk diketahui, karena dengan demikian dapat
diketahui karakteristik hidrolisnya. Bila kondisi aliran pada berbagai kedalaman air superkritis
(Q > Qc atau F > 1), maka rumus Manning tidak berlaku dan harus digunakan rumus dalam
kondisi kritis sebagai berikut:
2 g ( H L. sin D / 2)
v = (2-12)
(1 C )
dimana:
H = kedalaman air waduk dihitung dari dasar inlet pengelak (m)
D = tinggi pengelak (m)
L = panjang pengelak (m)
= sudut yang dibentuk oleh alur pengelak
c = jumlah koefisien kehilangan energi
Untuk jumlah kehilangan energi dapat dihitung berdasarkan desain saluran yang
dibuat oleh perencana.
2.4. Perencanaan Coferdam
2.4.1 Tinggi Bendungan
Yang dimaksud dengan tinggi bendungan adalah perbedaan antara elevasi
permukaan pondasi dan elevasi mercu bendungan. Permukaan pondasi adalah dasar dinding
kedap air atau dasar daripada zone kedap air. Apabila pada bendungan tidak terdapat dinding
kedap air, maka yang dianggap permukaan pondasi adalah garis perpotongan antara bidang
vertikal yang melalui tepi udik mercu bendungan dengan permukaan pondasi alas bendungan
tersebut. Untuk menentukan tinggi bendungan secara optimal harus memperhatikan tinggi
ruang bebas dan tinggi air untuk operasi waduk (Soedibyo, 1993)
2.4.2 Tinggi Jagaan (freeboard)
Tinggi jagaan adalah perbedaan antara elevasi permukaan maksimum rencana air
dalam waduk dan elevasi mercu bendungan. Elevasi permukaan air maksimum rencana
biasanya merupakan elevasi banjir rencana waduk. Kadang kadang elevasi permukaan air
penuh normal atau elevasi permukaan banjir waduk lebih tinggi dari elevasi banjir rencana
dan dalam keadaan yang demikian, yang disebut permukaan air maksimum rencana adalah
elevasi yang paling tinggi yang diperkirakan akan dicapai oleh permukaan waduk tersebut.
Selain itu dalam halhal tertentu tambahan tinggi tembok penahan ombak di atas mercu
bendungan kadangkadang diperhitungkan pula pada penentuan tinggi jagaan.
Dalam menentukan tinggi jagaan perlu memperhatikan halhal sebagai berikut :
1. Kondisi dan situasi tempat kedudukan calon bendungan
2. Pertimbanganpertimbangan tentang karakteristika dari banjir abnormal
3. Kemungkinan timbulnya ombakombak besar dalam waduk yang disebabkan oleh
angin dengan kecepatan tinggi ataupun gempa bumi
4. Kemungkinan terjadinya kenaikan permukaan air waduk di luar dugaan, karena
timbulnya kerusakankerusakan atau kemacetan pada bangunan pelimpah
5. Tingkat kerugian yang mungkin dapat ditimbulkan dengan jebolnya bendungan yang
berangkutan
Kemudian untuk perhitungan secara teknis tinggi jagaan (Hf) untuk bendungan ditentukan
dari dua keadaan muka air waduk sewaktu bajir dengan kriteria sebagai berikut:
a. Tinggi kenaikan permukaan air akibat banjir dengan periode ulang 1000 tahun
melimpah di atas bangunan pelimpah dan pada keadaan ini tidak boleh terjadi kerusakan
sedikitpun pada bendungan.
b. Dikontrol dengan tinggi kenaikan permukaan air akibat banjir boleh jadi terbesar
(Probable Maximum Flood= PMF) melilmpah di atas bangunan pelimpah dan pada keadaan
ini bendungan diizinkan mengalami kerusakan ringan tetapi harus tetap stabil.
Oleh karena kriteria di atas maka pada keadaan (a) tinggi jagaan harus mempertimbangkan
sebagai berikut:
1. Tinggi kenaikan muka air waduk karena angin sangat kuat (S)
2. Tinggi kenaikan ombak/ gelombang yang diakibatkan karena angin (Hw)
3. Tinggi kenaikan ombak/ gelombang yang diakibatkan oleh gempa (He)
4. Tinggi rayapan gelombang/ ombak pada lereng bendungan (Hr)
5. Tinggi kenaikan permukaan air akibat kemacetan pada waktu operasi pintu pelimpah
(h). tinggi kenaikan permukaan air ini didasarkan pada perbandingan debit banjir dan lamanya
kemacetan yang terjadi dan sebaliknya perbandingan luas permukaan daerah genangan dan
jumlah pintu. Untuk pelimpah yang dilengkapi pintu, sebagai perkiraan diambil sebesar
0,50m.
Sedangkan pada keadaan (b) hanya akan mempertimbangkan hal sebagai berikut:
1. Tinggi kenaikan muka air waduk karena angin kuat (S)
2. Tinggi kenaikan ombak/ gelombang yang diakibatkan oleh karena angin kuat (Hw)
3. Tinggi rayapan gelombang/ ombak pada lereng bendungan yang diakibatkan oleh
angin kuat (Hr)
2.4.2.1 Perhitungan Tinggi Jagaan
a. Pada banjir 1000 tahunan, tinggi jagaaan dihitung dengan rumus:
Hf = Hw + S + Hr + He + h
Dimana :
Hf = tinggi jagaan
Hw = tinggi kenaikan ombak karena angin
S = tinggi kenaikan muka air karena angin sangat kuat
Hr = tinggi rayapan gelombang pada lereng bendungan
He = tinggi kenaikan ombak akibat gempa
h = tinggi kenaikan muka air waduk akibat kemacetan operasi pintu
1. Hw dihitung dengan rumus Molitor Stevenson sebagai berikut:
Hw = 0,032 F .v 0,763 0,2714 F (2-13)
berlaku untuk F < 32 km
dimana :
Hw = tinggi kenaikan ombak/ gelombang (m)
v = kecepatan angin (km/ jam)
F = panjang efektif fetch = lintasan ombak (km)
Mugiwara 64- FTUB Page 23
2016
Proposal Rancang Bangun Bendungan Dibaya 24
pengelak ditambah tinggi jagaan yang diperlukan untuk keamanan cofferdam tersebut. Untuk
detail perhitungan tinggi cofferdam bisa dilakukan perhitungan penelusuran banjir.
2.5. Stabilitas
2.5.1 Perhitungan Stabilitas pada Lereng
2.5.1.1 Stabilitas Lereng Bendungan
Dalam banyak kasus, untuk membangun sebuah bendungan urugan diharapkan
mampu membuat perhitungan stabilitas talud guna memeriksa keamanan talud alamiah, talud
galian, dan talud timbunan yang didapatkan. Faktor yang perlu dilakukan dalam pemeriksaan
tersebut adalah menghitung dan membandingkan tegangan geser yang terbentuk sepanjang
permukaan retak yang paling mungkin dengan kekuatan geser dari tanah yang bersangkutan
(Das, BM; 1994).
2.5.1.2 Analisis Stabilitas Talud Metode Irisan Fellenius
Untuk keseimbangan blok percobaan ABC, momen gaya dorong terhadap titik O
adalah sama dengan momen gaya perlawanan terhadap titik O, atau
n p n p
1 W cos n
Wn r sin n = F c n
L n
tan (Ln )(r ) (2-22)
n 1 n 1 s
atau
n p
(c L
n 1
n Wn cos n tan )
Fs = n p (2-23)
W
n 1
n sin n
bn
Dimana Ln pada persamaan di atas sama dengan dengan bn = lebar
cos n
minimum yaitu angka keamanan untuk lingkaran kritis beberapa percobaan dibuat dengan
cara mengubah letak pusat lingkaran yang dicoba.
2.5.1.3 Analisis Stabilitas Talud Metode Irisan Bishop
Pada tahun 1995, Bishop memperkenalkan suatu penyelesaian yang lebih teliti
daripada metode irisan yang sederhana. Dalam metode ini, pengaruh gayagaya pada sisi tepi
tiap irisan diperhitungkan. Gaya gaya yang bekerja pada irisan nomor n, yang ditunjukkan
dalam Gambar 2.16, digambarkan dalam Gambar 2.16 (a). Sekarang, misalkan Pn Pn+1 =
P; Tn Tn+1 = T. Juga, kita dapat menulis bahwa
tan c Ln
Tr = N r tan( d ) c d Ln N r (2-24)
F
s Fs
Gambar 2.16 Metode Irisan Bishop Yang Disederhanakan; (a) Gaya Gaya yang Bekerja
Pada Irisan Nomor N, (b) Poligon Gaya Untuk Keseimbangan
Sumber : Das, BM; 1994
Gambar 2.16(b) menunjukkan poligon gaya untuk keseimbangan dari irisan nomor n.
Jumlahkan gaya dalam arah vertikal.
N r tan c Ln
Wn + T = N r cos n sin n (2-25)
Fs Fs
atau,
c Ln
Wn T sin n
Fs
Nr = (2-26)
tan sin n
cos n
Fs
Wn r sin n
n 1
= T rn 1
r (2-27)
dengan,
1 1
Tr = (c tan ) Ln = (c Ln N r tan ) (2-28)
Fs Fs
Dengan memasukkan persamaan (2-26) dan (2-27) ke persamaan (2-28), maka didapatkan :
n p
1
(cb
n 1
n Wn tan T tan )
m ( n )
Fs = (2-29)
n p
W n 1
n sin n
dengan
tan sin n
m (n ) = cos n (2-30)
Fs
W
n 1
n sin n
c L
n 1
n (Wn cos n u n Ln ) tan
Fs = n p (2-32)
W n 1
n sin n
Begitu juga persamaan (2-31) untuk metode irisan yang disederhanakan menurut
Bishop akan disempurnakan ke persamaan berikut
n p
1
c b
n 1
n (Wn u n bn ) tan
m ( ) n
Fs = (2-33)
n p
W
n 1
n sin n
2.6. Pelimpah/Spillway
Bagian Fungsi
a. Digunakan untuk mengarahkan dan mengatur aliran
air agar kecepatannya kecil tetapi debitnya besar.
b. Tipe/jenisnya anatara lain: ambang bebas (untuk
Saluran Pengarah
debit kecil), ambang berbentuk bendung pelimpah
(debit besar), bendung pelimpah menggantung (pada
bendungan beton)
a. Digunakan untuk membuat agar kecepatan air yang
meluncur ke hilir di bawah kecepatan kritis yang
diizinkan.
b. v = k.R 2/3.S0,5
Saluran Peluncur
c. Fr = v/(g.L) 0,5 1 (kritis dan superkritis)
d. Upaya yang dilakukan adalah:
s dibuat landai
Artificial aeration
Pelapisan Beton dengan baja tahan karat
Digunakan untuk menghilangkan atau mengurangi
energi air agar tidak merusak tebing, dan atau bangunan
Peredam Energi
lain di hilir bangunan pelimpah yaitu dengan loncatan
energi/loncatan ski (kolam olakan)
Pada perencanaan pelimpah sebenarnya belum ada cara perhitungan yang benar-benar
mantap. Kebanyakan masih mendasarkan pada asumsi-asumsi yang kebenarannya belum
teruji. Oleh karena itu, maka pengujian dengan model test sangat dianjurkan. Data yang
diperlukan dalam perencanaan pelimpah antara lain adalah koefisien limpahan (berdasar
literatur/tipe antara 1,6-2,2), elevasi pelimpah (berdasarkan lengkung kapasitas waduk),
persamaan lengkung kapasitas waduk.
2.6.1. Penelusuran Banjir
Penelusuran banjir adalah sebuah konfigurasi gelombang banjir yang bergerak pada
suatu tampungan (saluran atau waduk). Pada rekayasa hidrologi, penelusuran banjir
merupakan teknik yang penting, yang diperlukan untuk mendapatkan penyelesaian yang
lengkap mengenai persoalan pengendalian banjir dan peramalan banjir. Untuk memenuhi
keperluan ini, penelusuran banjir dipandang sebagai prosedur yang dibutuhkan untuk
menentukan hidrograf yang diketahui dari suatu titik tinjau.
Penelusuran banjir di waduk diperlukan untuk mengetahui data debit outflow
maksimum dan tinggi air maksimum pada debit outflow yang bersesuaian sebagai dasar
perencanaan hidrolika struktur, dalam hal ini antara lain adalah untuk menentukan:
a. Dimensi lebar pelimpah
b. Profil pelimpah
c. Tinggi jagaan pelimpah
d. Dimensi peredam energi dan sebagainya
Perilaku perubahan elevasi muka air pada proses penelusuran banjir di waduk adalah
ketika hidrograf banjir yang terjadi masuk ke tampungan waduk, muka air waduk akan terus
mengisi ke kapasitas tampungan sementara (surcharge storage) yaitu tampungan yang
terletak di atas ambang pelimpah. Aliran keluar melalui pelimpah akan terus mengalami
kenaikan sampai elevasi tertentu hingga mencapai elevasi maksimum setara dengan debit
outflow maksimumnya, walaupun peningkatan tidak setaraf dengan peningkatan aliran yang
masuk. Proses ini akan terjadi sampai puncak banjir tercapai, ketika inflow dan outflow akan
menjadi sama. Sesudah itu debit outflow akan berangsur-angsur mengalami pengurangan yang
selanjutnya pada waktu tertentu debit outflow lebih besar dari inflow.
Selama proses penelusuran banjir berlangsung, jumlah air yang dsimpan sementara di
dalam waduk disebut reduksi banjir. Hidrograf outflow dari waduk akan mempunyai puncak
terendah tergantung pada ukuran waduk dan besarnya kapasitas banjir yang tersedia.
2.6.2. Penelusuran Banjir pada Pelimpah
Untuk mendapatkan muka air banjir pada tubuh embung perlu dilakukan penelusuran
banjir untuk menentukan debit outflow untuk mendesain spillway dan tampungan banjir dalam
waduk (Soemarto, 1999).
Data-data yang diperlukan pada penelusuran banjir lewat waduk adalah:
Hubungan volume tampungan dengan elevasi waduk.
Hubungan debit keluar dengan elevasi muka air di waduk serta hubungan
debit keluar dengan tampungan.
Hidrograf inflow, I.
Nilai awal dari tampungan S, inflow I, debit keluar pada t =0.
Perhitungan koefisien debit dapat ditetapkan dengan persamaan sebagai berikut.
Q = Cd B H (2-34)
2.6.3. Penentuan Lebar Pelimpah
Ada banyak tipe profil pelimpah ogee modifikasi, tipe standart biasanya ditetapkan
berdasarkan aliran di atas ambang rencana. Cara pembentukan tipe ogee ini disebut metode
US ARMY. As ambang pelimpah tepat pada puncak ambang. Satu cara lagi disebut Metode
USBR.
1. Tipe I (Tipe Tegak)
Mugiwara 64- FTUB Page 33
2016
Proposal Rancang Bangun Bendungan Dibaya 34
Berdasarkan metode The United State Army Corps of Engineers telah menyusun
beberapa bentuk baku pelimpah di Waterways experiment Station (WES), dinyatakan berdasar
lengkung Harrold (Chow 1989: 330):
Xn = K Hdn-1 Y (2-35)
dengan:
X, Y = koordinat profil dengan titik awal pada titik tertinggi mercu
Hd = tinggi tekan rancangan tanpa tinggi kecepatan dari aliran yang masuk
K, n = parameter yang tergantung pada kemiringan muka pelimpah bagian hulu
Tabel 2.7. Nilai K dan n
(2-36)
Sambungan lengkung Harrold dan garis lereng hulu bendung harus merupakan garis
singgung. Titik singgung berkoordinat:
(2-37)
sungai harus diperlambat dan dirubah pada kondisi aliran subkritis agar tidak terjadi gerusan
yang membahayakan geometri sungai pada bagian dasar dan tebing sungai.Rumus hidrolika
yang digunakan sebagai dasar perencanaan peredam energi adalah berasal dari prinsip hukum
kekekalan energi dengan fenomena gaya-gaya yang bekerja pada pias saluran untuk keadaan
aliran yang mengalami perubahan dengan superkritis menjadi aliran subkritis.
Peredam energi mempunyai berbagai tipe, dan khusus untuk bendungan urugan
biasanya digunakan tipe-tipe sebagai berikut:
1. Tipe loncatan (water jump type)
2. Tipe kolam olakan (stilling basin type)
3. Tipe bak pusaran (roller bucket type)
1. Peredam Energi Tipe Loncatan
Peredam tipe loncatan biasanya dibuat untuk sunga-sungai yang dangkal (dengan
kedalaman yang kecil dibandingkan dengan kedalaman loncatan hidroulis aliran di ujung
udik peredam energi). Akan tetapi tipe ini hanya cocok untuk sungai dengan dasar yang
kokoh. Demikian pula biaya pembuatannya cukup rendah, tetapi efektifitas kerjanya lebih
rendah dari tipe yang lain.
2. Peredam Energi Tipe Kolam Olakan
Peredam energi yang secara luas digunakan sebagai dasar perencanaan umumnya
adalah peredam energi tipe kolam olakan, yang prinsip peredam energinya sebagian besar
terjadi akibat gesekan atau benturan diantara molekul-molekul air, sehingga timbul olakan-
olakan di dalam kolam tersebut, oleh karenanya dinamakan peredam energi tipe kolam olakan
atau disingkat dengan nama kolam olak.
a. Kolam olakan datar tipe I
Kolam olakan tipe I adalah suatu kolam olakan dengan dasar yang datar dan terjadinya
peredam energi yang terkandung dalam aliran air dengan benturan secara langsung aliran
tersebut ke atas permukaan dasar kolam. Benturan langsung tersebut menghasilkan peredam
energi yang cukup tinggi, sehingga perlengkapan-perlengkapan lainnya guna penyempurnaan
peredaman tidak diperlukan lagi pada kolam olakan tersebut.
Karena penyempurnaan redamannya terjadi akibat gesekan-gesekan yang terjadi
antara molekul-molekul air di dalam kolam olakan, sehingga air yang meninggalkan kolam
tersebut mengalir memasuki alur sungai dalam kondisi yang sudah tenang. Akan tetapi kolam
olakan menjadi lebih panjang dan karenanya tipe I ini hanya sesuai untuk mengalirkan debit
yang relatif kecil dengan kapasitas peredam energi yang kecil pula dan kolam olakannyapun
akan berdimensi kecil. Dan kolam olakan tipe I ini biasanya dibangun untuk suatu kondisi
yang tidak memungkinkan pembuatan perlengkapan-perlengkapan lainnya pada kolam olakan
tersebut. Kolam olakan datar tipe I secara teori cocok untuk keadaan sebagai berikut:
1) Aliran dengan tekanan hidrostatis yang rendah (Pw 60 m)
dengan:
v = kecepatan aliran (m/det)
g = percepatan gravitasi (9,81 m/det2)
h = kedalaman aliran (m)
Kedalamanaliransetelahloncatan (kedalamankonjugasi)
(2-39)
Panjangkolamolakan (lihatgrafik)
Tinggidrempel (sillsebagaipenahanenergi yang di tempatkan di akhirperedamenergi):
Mugiwara 64- FTUB Page 37
2016
Proposal Rancang Bangun Bendungan Dibaya 38
(2-40)
dengan:
d = tinggidrempel (m)
h1 = kedalamanaliranpadaawalperedamenergi (m)
Fr = bilanganfroudepadaawalperedamenergi
g = percepatangravitasibumi (9,81 m/dt2)
C = koefisien (1,40)
(2-41)
dengan:
E = kehilangan energi
E1 = energi spesifik sebelum loncatan
E2 = energi spesifik setelah loncatan
Y1 = kedalaman air sebelum loncatan
Y2 = kedalaman air setelah loncatan
Kehilangan relatif adalah besarnya rasio atau perbandingan antara kehilangan energi
dengan spesifik sebelum loncatan (E/E1). Efektifitas peredam adalah rasio antara energi
spesifik setelah loncatan dengan sebelum loncatan didefinisikan sebagai efisiensi loncatan,
yang besarnya dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
(2-42)
dengan:
E1 = energi spesifik sebelum loncatan
E2 = energi spesifik setelah loncatan
F1 = bilangan Froude
Berikut adalah gambar kolam olakan datar tipe I, II, III dan IV.
- 0.2
0.98
H1
1.0
- 0.1 H2
0.995
0.97
0.99
p p2
0
0.940.96
0.1
1.0 1.0
0.90 0.92
0.2
0.995
0.995
2 /H 1
0.3 0.99
0.85
0.99
0.4
0.98
0.80
perbandingan aliran tenggelam H
0.94
0.7 0.94
0.92
0.92
0.90 0.90
0.8
0.85
0.85 0.80
0.80
0.9 0.70 0.70
0.60 0.60
0.40 0.40
0.20 0.20
1.0
0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0
perbandingan p2/H1
Gambar 2.31. Perbandingan Koefisien Debit karena Pengaruh Aliran Tenggelam
Sumber:PrastumidanpMasrevaniah (2008:105)
(2-43)
(2-46)
(2-47)
dengan:
Q = debit aliran (m3/dt)
L = lebar efektif pelimpah
Vz = kecepatan aliran (m/det)
g = percepatan gravitasi
Z = tinggi jatuh atau jarak vertikal dari permukaan hulu sampai lantai kaki hilir (m)
Sedangkan untuk menghitung tinggi muka air di atas mercu (crest) pelimpah,
digunakan persamaan dimana kondisi di atas mercu pelimpah dianggap kritis (Fr = 1),
sehingga:
(2-48)
(2-49)
(2-50)
dengan:
Ycr= tinggi muka air kritis diatas mercu pelimpah
q = debit aliran persatuan lebar
g = percepatan gravitasi (m/dt2)
sangat tnggi sehingga semakin mudah longsor dan runtuh. Selain itu bahann yang sama, akan
memberikan nilai K yang berbeda, apabila tingkat kepadatannya dan angka kadar airnya
berbeda-beda. Nilai K suatu bahan akan paling rendah pada tingkat kelembaban yang agak
lebih basah dari angka kadar air optimumnya.
b. Kekuatan geser
Suatu bahan berbutir kasar, biasanya mempunai kekuatan geser yang tinggi. Tingkat
kekuatan gesernya dipengaruhi oleh angka kadar air serta tingkat pemadatannya, karena itu
walaupun dari bahan yang sama kekuatan gesernya akan berubah-ubah, apabila angka kadar
air serta tingkat pemadatannya berubah-ubah pula. Akan tetapi pada bahan berbutir kasar
tersebut perubahan-perubahan kekuatan gesernya tidak terlalu besar walaupun bahan tersebut
mempunyai kemampuan penyerapan air yang tinggi (angka porinya besar). Pemadatan-
pemadatan suatu bahan biasanya dilakukan pada keadaan agak kering (di daerah kering dari
garis kadar air optimum) dan akan memberikan kekuatan geser jauh lebih besar. Akan tetapi
setelah waduk terisi air dan bahan akan menjadi jenuh air, maka kekuatan gesernya akan
menurun. Karena suatu penelitian-penelitian pada hubungan-hubungan antara kekuatan geser,
tingkat pemadatan dan tingkat kadar air suatu bahan perlu dilaksanakan dengan seksama,
untuk mendapatkan gambaran yang sejelas-jelasnya pada karakteristika suatu bahan, baik
pada tingkat pelaksanan pembangunan suatu tubuh bendungan, maupun pada tingkat
eksploitasinya.
Kekuatan geser suatu bahan terutama ditentukan oleh daya kohesi (C) dan sudut geseran
dalamnya (Q). Pada umunya suatu bahan dengan harga D = 95 s/d 98 merupakan harga cukup
baik untuk digunakan pada penimbunan tubuh bendungan. Sedang bahan-bahan dengan harga
D = 90 s/d 95 biasanya digunakan untuk pembangunan bendungan yang rendah (<30 meter)
atau untuk bendungan dari timbunan bahan berbutiran halus, dimana penimbunannya
dilakukan pada kondisi kelembaban di daerah yang lebih basah dari angka kadar air
optimumnya.
Gambar 2.34 Gradasi bahan yang dapat dipergunakan untuk penimbunan zone kedap air
bendungan urugan
Sumber : Sosrodarsono, Bendungan Type Urugan.
konsolidasi, maka tekanan air pori akan meningkat dan kemungkinan dapat melampaui batas-
batas kemampuan stabilitas dari tubuh bendungan tersebut.
b. Kondisi bahan pada saat pelaksanaan pembangunan bendungan
Pada umumnya penimbunan dan pemadatan bahan-bahan berbutir kasar lebih mudah
dilaksanakan, dibandingkan dengan bahan-bahan berbutir halus. Demikian pula tingkat
kelembaban suatu bahan dapat mempengaruhi kondisi penggarapannya, dimana dalam
kondisi kelembaban yang terletak di sekitar angka kadar air optimumnya, penimbunan dan
pemadatan bahan tersebut akan lebih mudah dilaksanakan dibandingkan dengan bahan yang
tingkat kelembabannya mungkin hanya beberapa prosen saja bergeser ke arah yang lebih
basah dari titik optimum tersebut.
Selanjutnya penentuan suatu peralatan yang tepat akan sangat mempengaruhi kondisi
penggarapan suatu bahan, terutama kwalitas hasil penimbunannya. Lebih-lebih untuk
pemadatan zone kedap air, pemilihan peralatan untuk pemadatan harus dilakukan dengan
sangat hati-hati, disesuaikan dengan karakteristika bahan, angka kadar air aslinya, kondisi
cuaca di daerah tempat kedudukan calon bendungan dan banyak faktor-faktor lainnya lagi.
Contoh sederhana dalam pemilihan peralatan tersebut dapat kiranya diikuti uraian di bawah
ini:
Apabila diketahui hal-hal sbb:
Bendungan yang akan dibangun merupakan bendungan yang rendah, sehingga tidak
memerlukan kekuatan geser yang terlalu besar, karenanya tidak memerlukan
pelaksanaan pemadatan yang intensif.
Bahan yang tersedia untuk zone kedap air merupakan bahan berbutir halus, sehingga
hanya dengan pemadatan-pemadatan yang ringan saja, tingkat kekedapannya dapat
dicapai dengan mudah
Sebaiknya kelembaban bahan terletak pada daerah yang lebih basah dari titik
optimumnya.
Dari data-data tersebut di atas, maka penggunaan suatu mesin pemadat (roller) ringan
mungkin merupakan alat paling sesuai dan paling menguntungkan.
c. Zat-zat organis yang terkandung di dalam bahan
Zat-zat organis, merupakan zat-zat yang mudah terurai yang mengakibatkan terjadinya
perubahan-perubahan fisik dari zat-zat tersebut, dan akan menurunkan stabilitas dari bahan,
dimana zat-zat organis tersebut terdapat. Karenanya bahan-bahan yang terpilih untuk tubuh
bendungan supaya bebas dari campuran-campuran zat-zat organis, atau kandungan zat-zat
organis pada organis pada bahan tersebut tidak diperkenankan melebihi 5%.
2.7.2. Material Filter Halus dan Kasar
Mugiwara 64- FTUB Page 47
2016
Proposal Rancang Bangun Bendungan Dibaya 48
Zone-zone timbunan tanah dan zone-zone timbunan batu pada tubuh suatu bendungan,
biasanya dipisahkan dengan suatu zone-zone peralihan. Zone-zone yang tipis biasanya
disebut lapisan filter (yang selanjutnya disebut filter), sedangkan yang tebal biasanya disebut
zone transisi.
Bahan-bahan pasir dan kerikil yang akan dipergunakan untuk lapisan filter atau zone
transisi supaya mempunyai kekuatan geser dan kemampuan kelulusan yang memadai.
Kemampuan kelulusan bahan, biasanya sangat berbeda-beda, tergantung dari gradasi
bahan tersebut, terutama pada bahan-bahan berbutir halus. Sedang besarnya sudut geser
dalam suatu bahan biasanya tergantung pada hal-hal yang antara lain adalah bentuk butiran,
kekerasan dan kestabilan butiran terhadap pengaruh-pengaruh mekanis maupun fisik,
gradasi, kepadatan, tekanan-tekanan yang bekerja pada bahan tersebut, d.l.l.
Tabel 2.8. Hasil-hasil pengujian kompresi tri-sumbu dalam skala yang besar untuk bahan
zone transisi (Dilakukan oleh Department of Civil Engineering, U.S. Army, Electric Power
Co. in France)
Sudut geser dalam suatu bahan akan besar pada bahan-bahan yang bentuk butirannya
bersegi-segi, kekerasan dan kestabilan tinggi, gradasinya baik dan tingkat kepadatannya
tinggi.
Kemampuan pemadatan untuk bahan-bahan pasir dan kerikil dapat diperoleh dengan
cara seperti yang dilakukan untuk bahan kedap air yang telah diuraikan terdahulu. Selain itu
untuk bahan-bahan yang hampir tidak mengandung butiran-butiran halus, kemampuan
pemadatannya dapat dihitung dengan rumus berat isi relatif (y,) sebagai berikut :
Bahan- bahan pasir ataupun kerikil yang akan dipergunakan untuk lapisan filter,
disarankan agar mempunyai kesanggupan menahan keluarnya butiran-butiran halus dari
susunan bahan pada zone yang dilindungi, akan tetapi mempunyai kemampuan kelulusan
yang memadai untuk menampung air filtrasi dari zone yang dilindungi dan melintasi lapisan
filter tersebut secara terarah serta teratur, yang selanjutnya mengalir ke hilir melalui sistim
drainage.
Agar filter dapat berfungsi sebagai penahan keluarnya butiran-butiran halus dari
susunan zone yang dilindungi, maka kedua bahan tersebut sekurang-kurangnya supaya
memenuhi persyaratan tersebut :
(a) F15/B15 > 5
F 15/B85 < 5
dimana:
F15 : ukuran butiran bahan filter yang terletak di garis 15% pada kurva gradasinya.
B15 : ukuran butiran bahan zone yang dilindungi yang terletak di garis 15% pada kurva
gradasinya
B85 : ukuran butiran bahan zone yang dilindungi yang terletak di garis 85 % pada kurva
gradasinya.
(b) Kurva-kurva gradasi bahan filtrasi dan bahan zone yang dilindungi (kurva F dan kurva
B) apabila digambar pada sebuah grafik, agar merupakan garisgaris yang hampir paralel.
(c) Apabila di dalam susunan bahan zone yang dilindungi tempat kerikil yang berdiameter
lebih dari 4,76 mm, maka batas diameter terbesarnya adalah 25 mm dan kerikil yang
berdiameter melebihi 25 mm supaya dikeluarkan dari susunan bahan tersebut.
(d) Di dalam susunan bahan filter tidak diperkenankan adanya butiran halus melebihi 5%
(yang dapat melalui ayakan No. 200) dan juga pada bahan filter tidak diperkenankan adanya
butiran yang bersifat kohesif.
Pada hakekatnya persyaratan-persyaratan yang telah diuraikan tersebut di atas,
merupakan persyaratan yang paling aman, terutama untuk melindungi zone-zone yang terdiri
dari bahan yang mengandung banyak lempung atau bahan-bahan dengan butiran yang hampir
seragam.
Karena itu sampai batas-batas tertentu persyaratan terse but di atas dapat diperingan,
disesuaikan baik dengan karakteristika bahan yang akan dilindungi, maupun dengan ketebalan
filter yang mungkin dapat dicapai dan mungkin pula disesuaikan dengan hal-hal lain yang
akan mempengaruhi fungsi dari filter tersebut.
Penentuan ketebalan filter, bukan hanya didasarkan pada perhitungan-perhitungan
teoritis, tetapi juga dipertimbangkan faktor-faktor praktis serta faktor keamanan lainnya.
Sebagai contoh dapat kiranya diikuti uraian sbb. :
Apabila diperoleh bahan pasir sungai berbutir hampir seragam dan butirannya berbentuk
bulat dengan koeffisien filtrasi K = 1 x 10-2 ~ 1 x 10-3 cm/dt, maka secara teoritis bahan seperti
ini dapat digunakan sebagai filter dengan ketebalan antara 20 s/d 30 cm saja.
Akan tetapi dengan mempertimbangkan faktor-faktor praktis dan faktor-faktor keamanan
baik pada saat penimbunannya, maupun exploitasinya serta faktor besamya debit filtrasi yang
harus diluluskan, maka dalam pelaksanaannya filter dari bahan semacam ini dapat mencapai
ketebalan antara 2 s/d 3 meter
Daerah filter dan transisi merupakan daerah peralihan yang berfungsi menahan keluarnya
butiran inti dari lapisan inti dan meloloskan air yang merembes melalui tubuh bendungan.