Depresi Dan Psikosis Postpartum
Depresi Dan Psikosis Postpartum
I.PENDAHULUAN
Secara umum sebagian besar wanita mengalami gangguan emosional setelah melahirkan.
Bentuk gangguan postpartum yang umum adalah depresi dan psikosis. Gangguan emosional
selama periode postpartum merupakan salah satu gangguan yang paling sering terjadi pada
wanita baik primipara maupun multipara. (1)
Sebagian perempuan menganggap bahwa masamasa setelah melahirkan adalah masa-
masa sulit yang akan menyebabkan mereka mengalami tekanan secara emosional. Kelahiran
seorang bayi dapat menimbulkan stress berat pada sang ibu. Ia bertanggung jawab atas
perawatan bayi yang tak berdaya itu, ia harus pula memberikan perhatian terhadap suami atau
pasangannya, malam hari sering terganggu, ia merasa tidak mampu atau tidak yakin akan
kemampuannya menjadi seorang ibu. Gangguan-gangguan psikologis yang muncul tersebut akan
mengurangi kebahagiaan yang dirasakan, dan sedikit banyak mempengaruhi hubungan anak dan
ibu dikemudian hari. Hal ini bisa muncul dalam durasi yang sangat singkat atau berupa serangan
yang sangat berat selama berbulanbulan atau bertahun-tahun lamanya.(1)
Ada 3 tipe gangguan jiwa pascapersalinan, diantaranya adalah postpartum blues,
postpartum depression dan postpartum psikosis. (1,3,4,5)
Postpartum blues atau sering disebut juga sebagai maternity blues yaitu kesedihan pasca
persalinan yang bersifat sementara. Postpartum depression yaitu depresi pasca persalinan yang
berlangsung saat masa nifas, dimana para wanita yang mengalami hal ini kadang tidak
menyadari bahwa yang sedang dialaminya merupakan penyakit. Postpartum psikosis, dalam
kondisi seperti ini terjadi tekanan jiwa yang sangat berat karena bisa menetap sampai setahun
dan bisa juga selalu kambuh gangguan kejiwaannya setiap pasca melahirkan.(1,2,3)
II. EPIDEMIOLOGI
Secara epidemiologi, depresi postpartum dapat terjadi pada semua golongan umur
persalinan dan di berbagai daerah di dunia, maupun di Indonesia. Berdasarkan laporan WHO
(1999) diperkirakan wanita melahirkan yang mengalami depresi postpartum ringan berkisar 10
per 1000 kelahiran hidup dan depresi postpartum sedang atau berat berkisar 30 sampai 200 per
1000 kelahiran hidup. Beberapa penelitian juga mengemukakan bahwa depresi postpartum
bervariasi disetiap daerah penelitian. Hasil penelitian OHara dan Swain (1996) menemukan
kejadian depresi postpartum di Belanda sekitar 2%-10%, di AmerikaSerikat 8%-26%, di Kanada
50%-70%. (5)
Hasil penelitian lain yang dilakukan Wratsangka (1996) di RSUP. Hasan Sadikin
Bandung mencatat wanita yang mengalami depresi dan psikosis postpartum pada wanita
primipara sekitar 50-80%. Dan yang mengalami depresi dan psikosis pada multipara sekitar
33%. Hasil penelitian yang dilakukan Alfiben (2000) di Rs.Cipto Mangunkusumo tidak berbeda
jauh dengan yang dilakukan oleh Wratsangka, 70% wanita primipara mengalami depresi dan
psikosis postpartum dan 30 % pada wanita multipara.(5)
III. DEFINISI
DEPRESI
Depresi adalah merupakan salah satu bentuk gangguan jiwa yang dilatarbelakangi oleh
berbagai permasalahan kehidupan yang dihadapi oleh setiap individu. Gangguan yang paling
sering terjadi adalah depresi postpartum.(5)
Menurut Hawan (2001), depresi adalah gangguan perasaan (mood) yang ditandai dengan
kemurungan , kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan sehingga hilang gairah hidup, apatis,
pesimisme, kemudian dapat diikuti gangguan perilaku.(6)
Menurut Chaplain (2005), depresi adalah gangguan kemurungan, kesedihan, patah
semangat yang ditandai dengan perasaan gelisah, menurunnya kegiatan, pesimisme menghadapi
masa yang akan datang.(3,5)
Beberapa faktor penyebab depresi adalah sebagai berikut :
1. Kehilangan orang yang dicintai misalnya karena kematian.
2. Peristiwa traumatik.
3. Penyakit fisik yang kronis.
4. Adanya penyakit mental.
5. Seseorang yang mempunyai orang tua atau saudara kandung akan mengalami
peningkatan resiko depresi 8-18%.(5,6)
Menurut Muslim (2000) gejala-gejala yang dapat terlihat dari seorang yang mengalami
depresi adalah sebagai berikut :
a). Konsentrasi dan perhatian yang kurang.
b). Harga diri dan kepercayaan diri yang kurang.
c). Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna.
d). Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis.
e) Nafsu makan yang berkurang.(5)
Depresi menurut Caplain (2005) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Depresi ringan.
Minimal harus ada dua dari tiga gejala utama depresi, ditambah sekurang-kurangnya dua
gejala sampingan (yang tidak boleh ada gejala berat diantaranya) lamanya seluruh
episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar dua minggu, hanya sedikit kesulitan
dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang bisa dilakukannya.
2. Depresi sedang.
Minimal harus ada dua dari tiga gejala utama, ditambah sekurang-kurangnya empat dari
gejala lainnya, seluruh episode berlangsung minimal dua minggu, menghadapi kesulitan
nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan urusan rumah tangga, tanpa gejala
somatik, atau dengan gejala somatik.
3. Depresi berat tanpa gangguan psikotik.
Semua gejala utama harus ada, ditambah minimal empat dari gejala lainnya, dan
beberapa diantaranya harus berintensitas berat, sangat tidak mungkin pasien untuk
meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan, atau urusan rumah tangga kecuali pada taraf yang
sangat terbatas.
4. Depresi berat dengan gangguan psikotik.
Memenuhi seluruh kriteria depresi berat tanpa gejala psikotik, disertai waham, halusinasi
atau stupor depresi.(3,5)
DEPRESI POSTPARTUM
Depresi postpartum pertama kali ditemukan oleh Pitt pada tahun 1988. Pitt Regina dkk
(2001), depresi postpartum adalah depresi pasca persalinan yang mulai terjadi pada hari ketiga
setelah melahirkan dan berlangsung sampai berminggu-minggu atau bulan yang dikategorikan
sebagai sindrom gangguan mental ringan dengan menunjukkan kelelahan, perasaan sedih, mudah
marah, gangguan tidur, gangguan nafsu makan, dan kehilangan libido (kehilangan selera untuk
berhubungan dengan suami). Masih menurut Pitt Regina dkk (2001), tingkat keparahan depresi
postpartum bervariasi. Keadaan ekstrem yang paling ringan yaitu saat ibu mengalami kesedihan
sementara yang berlangsung sangat cepat pada masa awal postpartum, ini disebut dengan baby
blues atau maternity blues. Gangguan postpartum yang paling berat disebut psikosis postpartum
atau melankolia. Diantara 2 keadaan ekstrem tersebut terdapat keadaan yang relatif mempunyai
tingkat keparahan sedang yang disebut neurosa depresi atau depresi postpartum.(1,5)
Menurut Duffet-Smith (1995), depresi postpartum bisa berkaitan dengan terjadinya
akumulasi stres. Ada stres yang tidak dapat dihindari, seperti operasi. Depresi adalah
pengalaman yang negatif ketika semua persoalan tampak tidak terpecahkan. Persoalan juga tidak
akan terpecahkan dengan berpikir lebih positif, tetapi sikap itu akan membuat depresi lebih dapat
dikendalikan. Masih menurut Duffet-Smith, faktor kunci dalam depresi pasca persalinan adalah
kecapaian yang menjadi kelelahan total. Kepercayaan diri ibu dapat luntur jika ibu merasa tidak
mampu menanganinya dan menjadi frustasi karena kelemahan fisiknya.(1,5)
Inwood (Regina dkk, 2001) menghubungkan fenomena depresi postpartum dengan
gangguan perasaan mayor seperti kesedihan, perasaan tidak mampu, kelelahan, insomnia dan
anhedonia. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Sloane dan Bennedict (1997), depresi
postpartum merupakan tekanan jiwa sesudah melahirkan, mungkin seorang ibu baru akan merasa
benar benar tidak berdaya dan merasa serba kurang mampu, tertindih oleh beban tanggung
jawab terhadap bayi dan keluarganya, tidak bisa melakukan apapun untuk menghilangkan
perasaan itu.(5)
Wilkinson, (1995) Depresi postpartum dapat berlangsung sampai 3 bulan atau lebih dan
berkembang menjadi depresi lain yang lebih berat atau lebih ringan. Gejalanya sama saja tetapi
disamping itu ibu mungkin terlalu memikirkan kesehatan bayinya dan kemampuannya sebagai
seorang ibu.(5)
Monks dkk (1988), menyatakan bahwa depresi postpartum merupakan problem psikis
sesudah melahirkan seperti labilitas afek, kecemasan dan depresi pada ibu yang dapat
berlangsung berbulan-bulan. Sloane dan Bennedict (1997) menyatakan bahwa depresi
postpartum biasanya terjadi pada 4 hari pertama masa setelah melahirkan dan berlangsung terus
1 2 minggu.(5)
LewellynJones (1994), menyatakan bahwa wanita yang didiagnosa secara klinis pada
masa postpartum mengalami depresi dalam 3 bulan pertama setelah melahirkan. Wanita yang
menderita depresi postpartum adalah mereka yang secara sosial dan emosional merasa
terasingkan atau mudah tegang dalam setiap kejadian hidupnya.(1,5)
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa depresi postpartum adalah gangguan
emosional pasca persalinan yang bervariasi, terjadi pada 10 hari pertama masa setelah
melahirkan dan berlangsung terus menerus sampai 6 bulan bahkan sampai satu tahun.(5)
PSIKOSIS POSTPARTUM
Psikosis postpartum ialah suatu sindrom yang ditandai oleh depresi berat dan waham.
Umumnya terjadi pada minggu pertama dalam 6 minggu setelah melahirkan. Perempuan yang
menderita bipolar disorder atau masalah psikotik lainnya yang disebut Skizoafektif disorder
mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terkena postpartum psikosis. Gejalanya antara lain
mengalami delusi, halusinasi, gangguan saat tidur dan obsesi mengenai bayinya. Penderita dapat
terkena perubahan mood secara drastis, dari depresi ke gusaran dan berganti menjadi euforia
dalam waktu yang singkat.(2)
V. PATOGENESIS
1) Faktor Hormon
Kadar hormon estrogen dan progesteron menurun drastis saat persalinan.
Perubahan kadar hormon estrogen dan progesteron pada saat kehamilan memicu
peningkatan ikatan pada reseptor dopamin dan penurunan kadar hormon saat persalinan
menyebabkan terjadinya suatu supersensitivitas reseptor dopamin yang mencetuskan
terjadinya psikotik postpartum. (1,4,5,6)
Tidak ada hubungan yang konsisten, kadar estrogen dan perubahan pada estrogen
dengan depresi post partum yang benar-benar terbukti. OHara dkk menemukan
hubungan kadar estradiol pada usia kehamilan 36 minggu dan depresi postpartum pada
penelitian terhadap 182 perempuan. Penelitian lain terhadap blue syndrome dan depresi
postpartum menemukan kadar estrogen yang sama pada ibu-ibu yang mengalami
gangguan mood dan yang tidak mengalami gangguan mood. Ada bukti menunjukkan
interaksi estrogen dengan neurotransmitter (Joffe & Cohen 1988). Sebagian data
mendapatkan estradiol mungkin memberi efek pada system transmitter dan menganggu
fungsi kognitif dan proses emosional. Reseptor estrogen menyebar luas dalam otak pada
manusia (Osterlund et al. 2000a, 2000b). Efek estrogen yang paling di akui adalah
interaksinya dengan reseptor dopamine terutama efek menghambat. Estrogen juga
memberi efek terhadap reseptor norepinephrine, adrenalin dan serotonin. (11)
Penelitian sebelumnya menyatakan aktifitas dopamine mungkin berkurang pada
(10)
pasien depresi. Hormon ovarium ditemukan memberi perubahan pada aktifitas
dopamine, primernya pada nigrostriatal dan jalur mesolimbik. Thompson dkk telah
melakukkan penelitian yang serial menyatakan estrogen menghambat uptake dopamine
pada area ini, sehingga mekanisma pasti masih ditelusuri. Ada bukti menyatakan
perubahan aktifitas dopamine oleh estrogen akibat berubahnya protein G pada reseptor
D2 dopamin.(9)
Norepinefrin juga dipercaya berperanan sebagai faktor utama patofisiologi
depresi. Penelitian sebelumnya menunjukkan hubungan antara regulasi reseptor B-
andrenergic postsinaps dengan respons antidepresan, yang mana menunjukkan efektivitas
antidepresan dengan efek norandrenergik. Selain itu, terjadi peningkatan densitas
reseptor a2-andrenergik dilaporkan pada pasien depresi dan cubaan bunuh diri.
Peningkatan regulasi ini juga mungkin disebabkan kekurangan relative norepinefrin di
sinaps.(10)
Banyak dari penelitian gangguan mood, secara umumnya difokuskan ke system
serotonergik, yang mana system ini mengalami efek pada korteks prefrontal, system
limbic, aktifitas pituitary, dan perilaku seks. Sistem serotonergik telah diketahui sensitive
terhadap estrogen dan progestron. Bethea dkk melakukkan penelitian lanjut terhadap
primate bukan manusia atas hormone ovarian dengan system serotonergik, dengan hasil
terjadi pada system serotonergik, akibat efek perubahan dari hormone ovarium dalam
(9)
susunan saraf pusat.
Kadar prolaktin yang rendah dan berkurangnya respon prolaktin terhadap test D-
fenfl uramine ditemukan pada pasien depresi. Ini mungkin hubungannya dengan depressi
post partum yang mana kadar prolkatin rendah pada saat kelahiran. (10) Abou Salah dkk
menyatakan ibu postpartum yang mengalami depresi menunjukkan penurunan kadar
prolaktin plasma yang signifikan dibanding ibu yang tidak mengalami depresi. Dan pada
ibu-ibu yang melakukkan Inisiasi menyusu Dini mendapatkan skor mood yang lebih baik
dan kadar prolaktin lebih tinggi.(9)
2) Faktor Psikososial
3) Faktor Biologis
Sistem Sistem
Estrogen/Pro Serotonin
serotonergik Limbik
g
Dopamin Aktifitas
Norepinefrin Pituatari
Menghambat uptake
dopamine (mengubah Perilaku
Merubah protein G pada seksual
receptor dopamine)
resptor D2 Dopamin
DEPRESI
POSTPARTUM
VIII. DIAGNOSIS
Menurut DSM-IV-TR, tidak ada kriteria bagi gangguan depresi dan psikosis pada
postpartum, namun diagnosis bisa ditegakkan apabila depresi dan psikosis yang terjadi
mempunyai hubungan dengan persalinan dan perlangsungannya hanya sementara.(4,5,6)
Sedang menurut PPDGJ-III, maka pedoman diagnostik untuk gangguan psikiatrik pada
postpartum (F.53) yaitu:(7)
F.53.1 Gangguan Mental dan Perilaku Berat yang Berhubungan dengan Masa Nifas YTK
Termasuk : psikosis masa nifas YTT.
IX. PENATALAKSANAAN
Postpartum Blue Syndrome
Pasien dengan postpartum blue syndrome tidak perlu penanganan atau pengobatan
khusus. Penanganan pada pasien ini sering adalah bersifat konservatif dengan dukungan social.
(3,8)
Depresi postpartum
Tingkat keparahan penyakit akan menentukan terapi yang tepat. Strategi pengobatan
yang sering digunakan yaitu pengobatan non-farmakologis dan pengobatan
farmakologis.(1,2,3,4,5,6,7)
NON FARMAKOLOGIS
Pengobatan ini berguna untuk wanita dengan gejala depresi ringan sampai sedang.
Pengobatan non farmakologis ini seperti :
Psikosis postpartum
Psikosis postpartum merupakan suatu kondisi emergensi dan memerlukan perhatian dan
penanganan segera. Pasien mungkin akan membutuhkan terapi obat untuk jangka waktu tertentu,
seperti haloperidol atau flufenazin, keduanya diberikan dalam dosis 2-5 mg per os 3 kali perhari.
Bila agitasi maka pasien membutuhkan anti psikotika berpotensi tinggi dan diberikan IM. Mood
stabilizer seperti lithium, valproid acid, carbamazepine digunakan sebagai terapi akut yang
dikombinasi dengan obat anti psikotik dan benzodiapezine.(4)
Indikasi pemakaian ECT sama seperti psikosis tanpa persalinan tetapi dianjurkan ditunda
sampai satu bulan postpartum untuk menghindari terjadinya emboli(4)
X. PROGNOSIS
Hampir pada semua kasus depresi postpartum prognosisnya adalah baik, kebanyakan
sembuh dalam waktu 3 bulan, 70% dalam waktu 6 bulan dan 30% kemungkinan rekurensi pada
kehamilan yang berikutnya. Prognosis pada serangan pertama relatif lebih baik, seperti juga pada
skizofrenia yang mempunyai penyakit fisik sebagai faktor presipitasi. Kira-kira 90% penderita
ini sembuh dari keadaan psikotik dalam waktu relatif singkat dan kemungkinan terjadinya lagi
diperkirakan berkisar antara 15-30%.(1,2,3,4,5)
Prognosis psikosis postpartum relatif lebih jelek dibanding gangguan psikotik pada
(1,2,3,4,5)
postpartum lainnya.
XI. PENCEGAHAN
Berikut adalah beberapa cara pencegahan dari terjadinya gangguan psikotik dan depresi
pada postpartum :
1. Wanita yang beresiko tinggi untuk terjadinya gangguan psikotik dan depresi pada
postpartum harus diidentifikasi sebelum persalinan. Deteksi dini psikosis dan depresi
post partum dapat dilaksanakan melalui pelayanan kesehatan ibu hamil dan imunisasi.
2. Psikosis dan depresi post partum dapat dicegah dengan memberikan pemahaman kepada
masyarakat khususnya ibu hamil tentang faktor resiko terjadinya depresi.
3. Pengobatan farmakologis dan non-farmakologis sangat diperlukan bagi wanita atau ibu
dengan psikosis dan depresi post partum. Wanita dengan gangguan bipolar atau dengan
riwayat psikosis dan depresi postpartum dapat diberikan lithium yang diberikan pertama
kali sebelum atau 24 sebelum persalinan. (1,2,3,4,5,6,7)
DAFTAR PUSTAKA
1. Bambang Sumantri, S.kep. Depresi Postpartum. [cited March 2012]. Available from:
URL:http://www.mantrinews.medical world.blogspot.com.
2. Riordan, Jan. EdD, Prof: Postpartum Depression in Breastfeeding and Human Lactation ,
Third Edition. Jones and Bartlett publishers.London . 2004. Hal. 476-484.
3. Kaplan. Usmle Step 2 CK Obsetriccs and Gynecology Lecture Notes.Edisi 2005-2006.
Kaplan medical. 2006.Hal.98-100.
4. Harms,Roger.W.M.D. Mayo Clinical guide to a Healthy Pregnancy. HarperCollinse-
books.2009.Hal.261-264.
5. Soep. Pengaruh Intervensi Psikoedukasi dalam Mengatasi Depresi Postpartum di RSU
Dr. Pirngandi Medan. Univ. Sumatra Utara, Medan.2009
6. Cockburn,Jayne. And Michael E.P. Psychological Challenges in Obstetrics and
Gynecology The Clinical Management. Springer.London.2007. Hal.140-154.
7. Rusdi maslim.Dr, Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta.
2002. Hal 125-126
8. Hibbert C. G. Postpartum Mood Disorders [cited March 2012].
Available from: URL:http://www/psychotherapy.com/mom.html
9. Zonana J, Gorman J M. The Neurobilogy of Postpartum Depression. CNS Spectrum. Vol
10. October 2005.
10. Suttajit S. Roles Of Neurotransmitters, Hormones And Brain-Derived Neurothrophic
Factors In Pathogenesis Of Depression. Chiang Mai Medical Journal. 2009. Chiang Mai
University.
11. Jossefson A. Post Partum Depression-Epidemiological and Biological Aspect. Linkoping
University Medical Dissertation No. 781. University of Linkoping. 2003. Sweden.