Anda di halaman 1dari 9

3.

PEMBANTAIAN TERHADAP TENGKU BANTAQIYAH DAN MURIDNYA DI ACEH


TAHUN 1999
Beutong Ateuh, dalam terjemahan bahasa Indonesia berarti Betung atas, memiliki sejarah yang
cukup panjang, dimana daeraha ini dibangun sejak zaman belanda-begitu orang beutong bersaksi
dan melihat letak geografisnya sangat nyaman untuk istirahat beberapa bulan lamanya.
Daerah yang terletak diantara dua gunung ini mengalir sungi betung yang jernih dan sejuk.
Sedangkan pegunungan yang termasuk dari gususan bukit barisan ini, memang sangat potensial
untuk dijadikan markas pertanan pejuang Aceh semasa penjajahan belanda. Di daerah inilah Cut
Nyak Dien dan Tengku Cik Citiro pernah bertahan dari kejaran belanda, walau keduanya
tertangkap oleh belanda di daerah ini. Lebatnya hutan dan suburnya tanah membuat warga yang
bermukim enggan meninggalkan lembah ini, mengingat di daerah ini adalah daerh yang cocok
untuk bercocok tanam. Sebelum daerah ini dibuka pada tahun 1996, untuk kendaraan roda
empat, warga yang ingin kedalam dan keluar desa ini harus berjalan kaki dua sampai empat hari
lamanya. Menelusuri hutan lembah berliku guna mencapai daerah yang berbatasan dengan
Takengon Aceh Tengah. Sedangkan Beutong Ateuh sendiri masuk dalam kabupaten Aceh Barat,
Meulaboh sebagai kota kabupaten.
Pada daerah inilah brdiri sebuah pesantren pada tahun 1982 yang dipimpin oleh seorang Kyai
bernama Tengku Bantaqiah. Abu Bantaqiyah begitu para mudirnya memanggil adalah seorang
alim ulama yang segani dan dihormati keberadaanya. Tak heran bila dikalangan masyarakat
Aceh sendiri beliau ditokohkan, mengingat begitu banyak masyarakat Aceh yang belajar agama
di pesanteren yang ia pimpin. Mudir-muridnya yang berasal dari pelosok daerah Aceh ini,
diajrkan pendidikan agama langsung dari beliau dan dibantu oleh seorang kepercayaannya.
Aktivitas belajar mengajar dilakukan pada areal yang ia miliki yang berada ditepi sungai
beutong. Murid-murid yang berjumlah ratusan ini, selain beljar mereka bercocok tanam seperti
nila dan lain sebaginya. Dari hasil pertanian ini mereka bahu membantu untuk menghidupkan
aktivitas sehari-harinya. Selin murid-murid menetap di pesantern ini, masih ada lagi murid-murid
yang tinggal hanya pada saat mereka beribur dari kerja atau sekolah dan jumlah lebih banyak
daripada yang menetap. Tak heran bila banyak murid-murid beliau yang tersebar di segenap
penjuru Aceh.

Tengku Bantaqiah yang pernah menolak untuk bergabung dengan Majelis Ulama Indonesia
cabang Aceh ini, sekali waktu turung gunung untuk mempersoalkan kemaksiatan di Aceh, dan
akhirnya ia dituduh sebagai orang yang memiliki ajaran sesat. Hal ini beliau lakukan pada tahun
1988 dengan beberapa anak muridnya dengan menamakan dirinya Anggota Jubah Putih. Untuk
melunakkan hatinya pemerintah daerah Aceh melalui gubernur memberikan bantuan guna
membangun sebuah pesantren. Namun rumah pesantren ini, gedung yang sudah terbangun di
kecamatan beutong bawah ulu Ulee Jalan, mereka tolak karena lokasinya jauh dari tempat
pesantren mereka. Dengan menolak pemberian ini, Tengku Bantaqiah menjadi orang yang sangat
tidak sekuler dikalangan birokrat Aceh pada waktu itu. Sehingga pada tahun 1992 dengan
suruhan sebagai Mentri Urusan Pangan Cerakan Aceh Merdeka, beliau dijebloskan dalam
tahanan dengan masa tahanan 20 tahun lamanya. Namun saat presiden ke tiga Indonesia (BJ
Habibie) hadir di Banda Aceh, atas permintaan warga masyarakat Aceh, Habibie melepaskan
Tengku Bantaqiah.
Kronologi Pembantaian
Tengku Bantaqiah dan Muridnya
Kamis 22 Juli 99 : Pasukan TNI yang terdiri dari Kostrad, brimob, dan lain sebaginya
mendirikan tenda-tenda diseputar pegunungan beutong Ateuh. Saat itu warga desa telah
mengetahui akan keberadaan mereka, namun warga tidak mengetahui tujuan dari didirikannya
tenda-tenda tersebut. Pada saat itu juga telah terjadi penembakan terhadap warga yang sedang
mencari udang. Peristiwa ini mengakibat satu orang terluka sedangkan yang melarikan diri ke
hutan sekitarnya.
Jum'at 23 Juli 99 : pukul 08.00 pasukan TNI mengamati pesantren Tengku Bantaqiah dari
seberang sungai.
Pukul 09.00 pasukan TNI melakukan pembakaran ruma penduduk yang letaknkya kira2 100
meter disebelah Timur pesantren Tengku bantaqiah.
Pukul 10.00 Pasukan tersebut mulai mendekati pesantren Tengku Bantaqiah.
Pukul 11.00 Pasukan TNI yang berseragam dan mengenakan senjata lengkap dan sebagian dari
mereka menutupi wajahnya dengan cat hitam dan hijau. Mulai memasuki wilayah pesantren.
Pukul 11.30 Pasukan tersebut dengan mencaci maki dan menghujat Tengku Bantaqiah agar
Tengku Bantaqiah mau segera menemui mereka. Dikarenakan pada waktu itu hari Jum'at dan
sudah menjadi kebiasaan di pesantren, para santri - berkumpul di pesantren yang memiliki dua
lantai yang terbuat dari papan dan kayu balok tetap melakukan seperti biasanya. Setelah cukup
lama tengku Bantaqiah turun bersama dengan seorang muridnya untuk menemui pasukan
tersebut. Setelah berbincang-bincang, semua murid/santri laki-laki disuruh turun sedangkan yang
wanita diatas pesantren, dikumpulkan ditanah lapang dengan duduk jongkok dan menghadap
kesungai.
Pukul 12.00 setelah santri laki-laki berkumpul, pimpinan pasukan tersebut meminta kepada
Tengku Bantaqiah untuk menyerahkan senjata yang ia miliki. Karena Tengku Bantaqiah merasa
tidak pernah memiliki senjata yang mereka maksud, maka Tengku Bantaqiah hanya membantah
tuduhan tersebut. Namun dengan pengakuan Tengku Bantaqiah tentara tidak puas dan lalu
mereka mempersoalkan sebuah antenna radio pemancar yang terpasang pada atap pesantren.
Lalu pompinan pasukan tersebut memerintahkan agar segerap melepaskan antenna tersebut
dengah menyuruh putra Tengku Bantaqiah yang bernama Usman untuk menaiki atap pesantren.
Sebelum Usman menaiki atap pesantren tersebut ia menuju rumah untuk mengambil peralatan,
namun sebelum mencapai rumah yang jaraknya hanya 7 meter dari tempat berkumpul para
santri, seorang pasukan memukul Usman dengan senjata api. Melihat perlakuan ini, Tengku
Bantaqiah mencoba untuk mendekati putranya tersebut. Bersamaan dengan mendekatnya tengku
Bantaqiah ke tempat pemukulan tersebut, dengan aba-aba tentara menembak Tengku Bantaqiah
dengan menggunakan senjata pelontar BOM sehingga tersungkurlah Tengku Bantaqiah, setelah
itu tembakan beruntun ditujukan ke arah kumpulan Santri. Tanpa perlawanan sama sekali
pasukan ini menembak dengan membabi buta sehingga santri yang jumlahnya mencapi puluhan
orang itu tewas dan terluka.
Setelah penembakan yag dilakukan berulang ulang ini, pasukan mengumpulkan santri yang
masih hidup untuk dibariskan disebelah rumah tengku Bantaqiah. Beberapa saat kemudian
dengan dalih akan membawa mereka berobat, santri yang mengalami luka atau tidak sama sekali
diangkut dengan menggunakan truk menuju Takengon Aceh Tengah. Hanya beberapa orang saja
yang sengaja ditinggalkan. Ditengah perjalanan menuju takengon tersebut, santri-santri ini pada
kilometer 7 diturunkan dan diperintahkan untuk duduk jongkok ditepi jurang. Setelah jongkok
satu orang dari para santri ini terjun ke dalam jurang masuk kedalam hutan yang lebat.
Mengetwhui salah santri terjun ke jurang santri yang langsung di tembak beruntun oleh pasukan
pengalawalan ini.
Pukul 16.00 pasukan dengan memerintahkan warga setempat untuk menguburkan Tengku
Bantaqiah dan murid. Sedangkan santri wanita dan istri-istri almarhum dibawa menujua Mushola
yang berada diseberang sungai. Setelah penguburan usai, wanita tersebut disuruh kembali ke
pesantren.
Keadaan terakhir: pesantren ini sulit untuk dapat melanjutkan aktivitas keshariannya mengingat
saran dan prasarana antara lain kitab-kitab berserta Al-qur'an yang tersedia telah habis terbakar
bersamaan dengan tewasnya Tengku Bantaqiah beserta sebagian muridnya.
Sebagai akibat penembakan oleh pasukan TNI terhadap warga pesantren tersebut. Dimana
mereka?
Hasil dari operasi yang dilakukan oleh TNI terhadap pesantren Tengku Bantaqiah ini masih
menyisakan berbagai pertanyaan yang sampai saat ini belum terjawab. Sehingga warga
Meulaboh atau Aceh Barat menjadi resah. Keresahan ini sangat beralasan sebab bagaimana
mungkin seorang ulama ternama dapat dicabut nyawanya oleh TNI tanpa prosedur, apalagi
mereka rakyat biasa, tentunya lebih gampang lagi melakukannya. Begitu kira-kira alasan mereka.
Dari hasil penelitian warga setempat, masih belum jelas jumlah yang tewas, sebab menurut saksi,
masih banyak dari murid-murid Bantaqiah sampai saat ini belum ditemukan makamnya atau
keberaaanya. Adapun nama-nama yang tewas dan hilang adalah sebagai berikut : Korban yang
Tewas dan Hilang :
No Nama Umur Alamat
1 Tengku Bantaqiah 54 th Blang Meurandeh, Beutong Ateuh
2 Usman Bantaqiah 25 th Sda
3 Zubir 28 th Sda
4 M. Harun Jalludin 18 th Sda
5 Muhammadin 40 th Sda
6 Tarmizi Daud 30 th Sda
7 M.Amin M. 28 th Sda
8 M. Amin Baron 25 th Sda
9 M. Huewin 32 th Sda
10 Jamalol Ade 27 th Sda
11 Syamsuar 27 th Sda
12 Tengku Suhaimi 28 yh Sda
13 Tengku Muhammadin 40 th Sda
14 Abdul Wahed 20 th Sda
15 Saidi 30 th Sda
16 M. Ali Ben 26 th Sda
17 Muhammad Janata 24 th Sda
18 Tengku Munir 35 th Desa Pusong, Langsa Aceh Timur
19 Latana 24 th Sda
20 Tengku Kupendi 30 th Sda
21 Mak Ali 32 th Sda
22 Tengku Yusuf 32 th Sda
23 Saifl 22 th Sda
24 Tengku Daud 30 th Desa Kuede Gerebak, Idi Aceh Timur
25 Salaiman 24 th Sda
26 Ridwan 25 th Sda
27 Iqbar 26 th Sda
28 Junaidi 23 th Sda
29 Tulisman 30 th Ranup Dong Kecamatan Kaway XVI
30 Junaidi 28 th Sda
31 Azis 30 th Desa Kuta Balang
32 Amir 32 th Sda
33 Tengku Zainal Abidin 35 th Idi Aceh Timur
34 Buchari 26 th Sda
35 Siabang 29 th Buloh, Lhokseumawe Aceh Utara
36 Saifullah 26 th Sda
37 Aidit 28 th Aceh Selatan
38 Tengku Saimi 35 th Sda
39 Nurdin 24 th Julok
40 Bustamin 24 th Sda
41 Tengku Tamam 35 th Krueng Mane
42 Tengku Jamin 45 th Sda
43 Majid 26 th Desa Geuregok
44 Dedi Muktar 27 th Sda
45 Iwan 32 th Matang, Aceh Jeumpa
46 Usman 30 th Sda
47 Samsul Bahri 28 th Desa Matang Sijuk
48 Razali 24 th Menasah Barok Aceh Pidie
49 Nasrul 27 th Tringgadeng, Aceh Pidie
50 Tengku Zulkarnaen 42 th Kila, Aceh Pidie
51 Mahdi Ubit 30 th Kuta Blang
52 Tengku Mursidin 35 th Babah Rot, Aceh Selatan
53 Tengku Manaf 50 th Lhok Sukon, Aceh Utara
54 Sayuti 29 th Kandang Aceh Utara
55 Tengku Sayuti 26 th Lamno, Kecamatan Jaya Aceh Besar
56 Tengku Sukri 27 th Menasah Baro Krueng Mane
Sumber data : Keluarga Tengku Bantaqiah.

Begitu banyak pameran kekejaman dan kebiadaban yang ditimpakan terhadap Muslim Aceh oleh rezim
Suharto, sehingga jika dijadikan buku maka bukan mustahil, riwayat Tragedi Aceh akan menyamai
tebalnya jumlah halaman koleksi perpustakaan Iskandariyah sebelum dibakar habis pasukan Mongol.

Dari jutaan kasus kejahatan HAM di Aceh, salah satunya adalah tragedi yang menimpa Tengku
Bantaqiah, pemimpin Dayah (Pondok Pesantren) Babul Nurillah di Beutong Ateuh pada 23 Juli 1999.
Ironisnya, walau secara resmi DOM sudah dicabut, namun kekejaman dan kebiadaban yang menimpa
Muslim Aceh tidaklah surut. Tragedi yang menimpa Tengku Bantaqiah dan santrinya merupakan bukti.

Lengsernya Suharto pada Mei 1998 tidak berarti lengsernya sistem dan tabiat kekuasaan represif ala
Orde Baru. Para presiden setelah Suharto seperti Habbie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo
Bambang Yudhoyono, semuanya pada kenyataannya malah melestarikan sistem Orde Baru ini. Salah
satu buktinya adalah KKN yang di era reformasi ini bukannya hilang namun malah tetap abadi dan
berkembang penuh inovasi.

Sebab itulah, dicabutnya status DOM di Aceh pada 1998 tidak serta-merta tercerabutnya teror dan
kebiadaban yang selama ini bergentayangan di Aceh. Feri Kusuma, salah seorang aktivis Komisi untuk
Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Aceh menulis secara khusus tentang Tragedi Tengku
Bantaqiah ini. Dalam artikel berjudul Jubah Putih di Beutong Ateuh, Feri mengawali dengan kalimat,
Beutong Ateuh memiliki sejarah yang cukup panjang. Daerah ini dibangun sejak masa kolonial Belanda,
begitu orang Beutong bersaksi. Kecamatan Beutong Ateuh terdiri dari empat desa yaitu Blang
Meurandeh, Blang Puuk, Kuta Teungoh dan Babak Suak. Kondisi geografisnya cocok untuk bersantai
sambil menikmati panorama alam yang indah. Di daerah yang terletak di antara dua gunung ini mengalir
sungai Beutong yang sejuk dan jernih. Pegunungannya yang mengelilingi Beutong Ateuh termasuk
gugusan Bukit Barisan

Eramuslim yang pernah mengunjungi hutan belantara ini di tahun 2001, dua tahun setelah tragedi,
menjumpai kondisi yang sangat mengenaskan. Bukan saja di Beutong Ateuh, namun juga nyaris di
seluruh wilayah Aceh. Kemiskinan ada di mana-mana, padahal tanah Aceh adalah tanah yang sangat
kaya raya dengan sumber daya alamnya. Jakarta telah menghisap habis kekayaan Aceh!

Beutong Ateuh terletak di perbatasan Aceh Tengah dan Aceh Barat. Dari Ule Jalan ke Beutong Ateuh,
kita akan melewati pos kompi Batalyon 113/Jaya Sakti yang terletak di areal kebun kelapa sawit. Di areal
kompi ini, tepatnya di gapura, terpasang papan pengumuman berisi tulisan TEMPAT LATIHAN PERANG
TNI. Sekitar 10 kilometer dari kompi itu terpancang sebuah petunjuk jalan yang bertuliskan SIMPANG
CAMAT; tanda menuju ke sebuah pemukiman. Namun tidak ada sebuah rumah pun di daerah ini.
Sejauh mata memandang hanya tampak rerimbunan pohon besar di atas bukit dan jurang yang
menganga. Tak heran jika hutan Cut Nyak Dien dan pasukannya memilih hutan ini sebagai pertahanan
terakhir.

Walau berjarak lebih kurang 15 kilometer dari hutan ini, namun Kecamatan Beutong Ateuh tidak
berbeda dengan hutan Simpang Camat. Di tengah-tengah hutan, kain putih usang terlihat berkibaran di
areal Dayah. Kubah mushola, atap beberapa rumah, dan bilik pengajian yang berhadapan langsung
dengan sungai Beutong terlihat jelas.

Tengku Bantaqiah mendirikan pesantren di desa Blang Meurandeh pada 1982 dan memberinya nama
Babul Al Nurillah. Abu Bantaqiah, begitu para murid memanggilnya, adalah alim ulama yang disegani
dan dihormati. Disini, Dayah Babul Al Nurillah mengajarkan ilmu agama, seni bela diri, dan juga
berkebun dengan menanam berbagai macam sayuran untuk digunakan sendiri.

Kegiatan di Dayah ini tidak berbeda dengan pesantren lainnya di berbagai daerah di Indonesia. Selain
mereka yang menetap di Dayah, ada pula orang-orang yang sengaja datang dan belajar agama untuk
mengisi libur kerja atau sekolah. Jumlahnya lebih banyak daripada santri yang tinggal di pesantren.

Di Dayah ini, para santrinya kebanyakan adalah mereka yang pernah melakukan tindakan-tindakan tak
terpuji di masyarakat seperti mabuk-mabukan, mencuri atau kejahatan lain yang merugikan dirinya
sendiri maupun orang banyak. Menurut Tengku Bantaqiah, untuk apa mengajak orang yang sudah ada
di dalam masjid, justru mereka yang masih di luar masjidlah yang harus kita ajak. Itulah dasar dari
penerimaan orang-orang seperti mereka tadi menjadi murid di sini, tulis Feri Kusuma.
Bantaqiah adalah ulama yang teguh pendirian, sederhana, dan tidak goyah dengan godaan dunia.
Baginya, dunia ada di dalam genggamannya, bukan di hatinya. Mungkin sebab itu dia pernah menolak
bergabung sebagai anggota MUI cabang Aceh. Bantaqiah juga tidak bersedia masuk ke dalam partai
politik mana pun. Baginya, Partai Allah sudah lebih dari cukup, tidak untuk yang lain. Sebab itu,
Bantaqiah sering difitnah oleh orang yang berseberangan dengan dirinya. Ia dituduh mengajarkan
kesesatan dan pada 1985 dicap dengan sebutan Gerombolan Jubah Putih.

Pemerintah Aceh berusaha melunakkan sikap Bantaqiah dengan membangunkan sebuah pesantren
untuknya, namun lokasinya di kecamatan Beutong Bawah, jauh dari Babul Al Nurillah. Ini membuatnya
menolak pesantren sogokan tersebut. Hal ini membuat hubungan Bantaqiah dengan Pemerintah
setempat kurang harmonis. Dia dituduh sebagai salah satu petinggi GAM pada 192 dan dijebloskan ke
penjara dengan hukuman 20 tahun.

Ketika Habibie menggantikan Suharto dan menyempatkan diri ke Aceh, Bantaqiah dibebaskan. Namun
hal ini rupanya tidak berkenan di hati tentara hasil didikan rezim Suharto.

Di mata tentara, Bantaqiah adalah sama saja dengan kelompok-kelompok bersenjata Aceh yang tidak
mau menerima Pancasila. Sebab itu keberadaannya harus dienyahkan dari negeri Pancasila ini. Para
tentara Suharto itu lupa, berabad-abad sebelum Pancasila lahir, berabad-abad sebelum Negara
Kesatuan Republik Indonesia lahir, Nanggroe Aceh Darussalam sudah menjadi sebuah negeri merdeka
dan berdaulat lengkap dengan Kanun Meukota Alam, sebuah konstitusi yang sangat lengkap. Bahkan
jauh lebih lengkap ketimbang UUD 1945 yang diamandemen di tahun 2002.

Pada Kamis, 22 Juli 1999, pasukan TNI yang terdiri dari berbagai kesatuan seperti angkatan darat dan
Brimob mendirikan banyak tenda di sekitar pegunungan Beutong Ateuh. Walau warga setempat curiga,
karena pengalaman membuktikan, di mana aparat bersenjata hadir dalam jumlah banyak, maka pasti
darah rakyat tumpah, namun warga tidak bisa berbuat apa-apa. Firasat warga sipil terbukti. Tiba-tiba di
hari itu juga terjadi insiden penembakan terhadap warga yang tengah mencari udang. Satu luka dan
yang satu lagi berhasil menyelamatkan diri masuk hutan. Teror ini meresahkan warga.

Sedari subuh keesokan harinya, Jumat pagi, 23 Juli 1999, TNI dan Brimob sudah bergerak diam-diam
mendekati pesantren dengan perlengkapan tempur garis pertama, yang berarti senjata api sudah terisi
amunisi siap tembak. Pukul 08.00 tentara dan Bribom sudah berada di seberang sungai dekat pesantren.
Dengan alasan mencari GAM, pada pukul 09.00 mereka membakar rumah penduduk yang letaknya
hanya 100 meter di timur pesantren. Satu jam kemudian, pasukan tersebut mulai bergerak ke
pesantren. Dengan seragam tempur lengkap dengan senjata serbu laras panjang, wajah dipulas dengan
cat kamuflase berwarna hijau dan hitam, mereka mengepung pesantren dan berteriak-teriak mencaci-
maki Tengku Bantaqiah dan memintanya segera menemui mereka.

Menjelang waktu sholat Jumat, para santri biasa berkumpul dengan Tengku Bantaqiah guna mendengar
segala nasehat dan ilmu agama. Mendengar teriakan dari tentara yang menyebut-nyebut namanya,
Bantaqiah pun datang bersama seorang muridnya. Aparat bersenjata itu tidak sabaran. Mereka
merangsek ke dalam dan memerintahkan semua santri laki-laki untuk berkumpul di lapangan dengan
berjongkok menghadap sungai.

Aparat dengan suara keras dan mengancam meminta agar Bantaqiah menyerahkan senjata apinya.
Tengku Bantaqiah bingung karena memang tidak punya senjata apa pun, kecuali hanya pacul dan parang
yang sehari-hari digunakan untuk berkebun dan membuka hutan. Aparat tidak percaya dengan semua
keterangan Bantaqiah. Sebuah antena radio pemancar yang terpasang di atap pesantren dijadikan bukti
oleh aparat jika selama ini Bantaqiah menjalin komunikasi dengan GAM. Padahal itu antene radio biasa.

Komandan pasukan memerintahkan agar antena tersebut dicopot, dengan menyuruh putra Bantaqiah
yang bernama Usman untuk menaiki atap pesantren. Usman langsung berjalan menuju rumahnya untuk
mengambil peralatan, namun sebelum ia mencapai rumah yang jaraknya hanya tujuh meter dari tempat
tentara mengumpulkan para santri, seorang anggota pasukan memukul Usman dengan popor senapan,
tulis Feri Kusuma, aktivis Kontras Aceh, berjudul Jubah Putih di Beutong Ateuh.

Melihat anaknya terjatuh, secara refleks Bantaqiah berlari mendekatnya hendak menolong. Tiba-tiba
tentara memberondongnya dengan senjata yang dilengkapi pelontar bom. Bantaqiah dan puteranya
syahid. Dengan membabi-buta, aparat murid dari Jenderal Suharto ini mengalihkan tembakan ke arah
kumpulan santri. Lima puluh enam santri langsung syahid bertumbangan. Tanah Aceh kembali disiram
darah para syuhadanya. Santri yang terluka dinaikkan ke truk dengan alasan akan diberi pengobatan dan
yang masih hidup diminta berbaris lalu naik ke truk yang sama. Truk ini bergerak menuju Takengon,
Aceh Tengah, yang berada di tengah rimba.

Di tengah perjalanan menuju Takengon, para santri diturunkan di Kilometer Tujuh. Mereka
diperintahkan berjongkok di tepi jurang. Tiba-tiba salah seorang santri langsung terjun ke jurang dan
menghilang dalam rimbunan hutan lebat di bawah sana. Para tentara mengguyur jurang itu dengan
tembakan. Nasib para santri yang tersisa tak diketahui sampai kini. Kuat dugaan, para santri ini dibantai
aparat Suharto dan dibuang ke jurang.

Sore hari, tentara memerintahkan warga setempat untuk menguburkan jasad yang ada. Para
perempuan digiring menuju mushola yang ada di seberang sungai dan dilarang melihat prosesi
penguburan. Aparat bersenjata ini kemudian mengamuk di pesantren. Mereka merusak dan
menghancurkan semua yang ada, mereka membakar kitab-kitab agama termasuk kitab suci al-Quran
dan surat Yasin yang ada di pesantren. Setelah puas membakar ayat-ayat Allah, aparat bersenjata
didikan Suharto ini, kemudian kembali ke barak dengan sejumlah truk, meninggalkan warga yang tersisa
yang hanya bisa menangis dan berdoa.

Setelah tragedi tersebut, warga Beutong Ateuh hanya bisa pasrah berdiam diri. Dengan segenap daya
dan upaya, para santri yang tersisakebanyakan perempuan tua dan anak-anak kecilmembangun
kembali pesantren tersebut dan meneruskan pendidikan dengan segala keterbatasan. Sampai kini,
pesantren ini belum memiliki cukup dana untuk mengganti seluruh al-Quran, kitab-kitab kuning, dan
surat-surat Yassin yang dibakar aparat. Juga barang-barang lain seperti seluruh pakaian, kartu tanda
pengenal, dan sebagainya yang musnah terbakar. Sampai detik ini, tidak ada seorang pun pelaku
pembantaian terhadap Tengku Bantaqiah dan santri Beutong Ateuh yang diseret ke pengadilan. Tidak
ada satu pun komandan tentara yang dimintai pertanggungjawaban atas ulahnya membakar kitab suci
Al-Quran dan surat Yassin, sampai hari ini. Para pelakunya masih bebas berkeliaran.

Anda mungkin juga menyukai