Anda di halaman 1dari 334

Pak Suyadi, kami lebih mengenalnya sebagai Mbah Yadi.

Jika melihat kembali kegiatan yang telah beliau kerjakan, ada


rasa syukur, bangga, dan malu. Syukur atas karunia Tuhan
bagi warga Rembang dalam wujud Mbah Yadi, Bangga atas
prestasi beliau, dan malu karena demikian terbatasnya saham
Pemerintah Kabupaten Rembang dalam aksi Mbah Yadi. Buku
ini semoga menjadi penebar virus inisiatif dan inspirasi Mbah
Yadi.

Abdul Hafidz
Bupati Rembang

Mangrove sudah menjadi menu berita sejak lama. Ke-


rusakan dan konversi lahan mangrove telah lama karib dengan
kita. Meski Indonesia salah satu pemilik mangrove terbesar
dunia, reputasi kita menjaganya belum apik.

Upaya rehabilitasi juga sudah bertahun-tahun berdengung


kencang. Segala macam jurus dilakukan oleh semua pihak.
Pemerintah, LSM, swasta; semua turun tangan. Namun, belum
banyak kisah sukses yang dicatat.

Buku ini menjadi unik, karena berbicara tentang mangrove


dari kacamata yang justru tidak biasa. Bagaimana orang
kampung, tanpa background tata kelola mangrove yang solid,
juga tanpa dukungan dana masif, justru mampu menerobos,
menjadi pahlawan lingkungan, menjawab persoalan masyarakat
sekitarnya.

Kisah sukses merehabilitasi 3,5 kilometer mangrove


dengan ketebalan 65-150 meter ini sesungguhnya adalah
'tamparan'; autokritik sekaligus harapan bagi kita semua yang
ingin merehabilitasi mangrove. Suatu laboratorium belajar yang
cukup langka saat ini.

Buku ini berbicara tentang sebuah inspirasi, model, dan


kisah sukses seorang pemimpin yang lahir dari kepedulian,
dedikasi, dan komitmen kuat.

Muhammad Zulficar Mochtar


Kepala Balitbang Kementerian Kelautan dan Perikanan

Jika kita mendengar penanaman mangrove, pastinya sudah


amat banyak. Namun mereka yang dapat konsisten dalam
menjaga dan merawat mangrove, saya rasa belum begitu
banyak. Terlebih dengan konsep community development.
Karena, community development merupakan pekerjaan yang
membutuhkan kontinuitas dan kesungguhan. Tidak mudah
mengajak dan menggerakan masyarakat. Dengan hadirnya
buku ini, menjadi salah satu referensi untuk membangun
maritim dengan konsep community development dan kearifan
lokasl. Karena sebenarnya, ujung tombak kebangkitan maritim
adalah keberhasilan masyarakat untuk bersama membangun
maritim Indonesia dari setiap elemennya.

Ahlan Zulfakhri
Sekjen Asosiasi Pemuda Maritim Indonesia (APMI)

Keberhasilan rehabilitasi mangrove di Desa Pasar Banggi


Kecamatan Rembang Kabupaten Rembang dapat lebih
dikembangkan menjadi sektor penting perekonomian warga.
Tidak mustahil, jika semangat menjaga alam selalu dijaga dan
diakomodasi, ke depan hutan mangrove tidak lagi berkutat
pada aspek penyelamatan, tapi sudah menjadi kebanggaan
dan kekayaan yang menyejahterakan.

Sumber berbagai persoalan lingkungan hidup, tidak ter-


kecuali hutan mangrove, disebabkan oleh berbagai kebijakan
yang tidak memihak kepentingan mayoritas rakyat (majority of
people) dan perlindungan daya dukung ekosistem.

Perusakan, pencemaran, dan pengurasan sumberdaya alam,


bahkan terabaikannya potensi dan kepentingan masyarakat
adat maupun masyarakat setempat dalam memanfaatkan
potensi dan pemberdayaan keberadaan hutan mangrove
untuk keperluan hidup yang kurang ditangani maksimal oleh
pemegang kebijakan.

Pelaksanaan kebijakan melalui proses penegakan hukum


tidak berjalan, karena aparatur hukum kalah wibawa, sehingga
sulit menembus obyek penegakan hukum yang notabene
bagian dari kekuasaan. Praktik demikian terlestari dan ber-
langsung selama berpuluh-puluh tahun, karena elemen-elemen
negara yang seharusnya berfungsi melakukan check and
balance tidak berjalan

Keberhasilan rehabilitasi mangrove Pasar Banggi mem-


buka mata banyak pihak akan potensi Kabupaten Rembang.
Ketekunan ini menyadarkan kita bersama, ternyata masih
ada dan semangat anak manusia seperti Bapak Suyadi yang
telah memberikan kontribusi tak ternilai untuk membangun
optimisme masa depan Indonesia
Buku ini telah memberikan perspektif lain tentang bagai-
mana sebuah perjuangan dan iktikad penyelamatan seke-
lompok masyarakat terhadap eksistensi mangrove, serta
memberikan inspirasi, sekaligus harapan, terhadap potensi
kekayaan alam Indonesia yang harus dan wajib diselamatkan
untuk keberlangsungan masa depan generasi.

Albicia Hamzah
Praktisi promosi daerah

Rekomendasi buku buat para aktivis lingkungan. Segera


dapatkan bukunya.

M. Miftah Khoirul Fahmi


Sekjen Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia
(Himapikani)

Mangrove adalah kunci perlindungan ekosistem pesisir.


Jika mangrove-nya baik maka biasanya, ekosistem akan
menjadi baik. Upaya yang dilakukan oleh tokoh Suyadi
merupakan sedikit contoh dari masyarakat yang berupaya
melindungi mangrove. Di sisi lain, mangrove tidak terlindungi
secara benar dilihat dari sektoralisme mangrove, dan minimnya
upaya pemerintah dalam melakukan perlindungan terhadap
mangrove.

Ahmad Marthin Hadiwinata


Ketua Pengembangan dan Pembelaan Nelayan
Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI)
Memilih untuk hidup di negeri yang memiliki garis pantai
panjang, seharusnya menjadi satu kebanggaan bagi masyarakat
negeri ini. Karena, panjangnya garis pantai berarti panjang pula
rantai kehidupan sosio-ekonomi masyarakat. Hutan mangrove
adalah salah satu kekayaan negeri ini yang seharusnya di-
lestarikan demi kehidupan masyarakat yang lebih baik.

Meskipun hari ini luas hutan mangrove semakin berkurang,


namun tetap saja ada pribadi-pribadi yang tulus untuk tetap
menjaga lestarinya hutan mangrove kita. Bapak Suyadi menjadi
salah satu penggerak lestarinya hutan mangrove Indonesia.
Dengan kesungguhannya pulalah kita berharap generasi kita
bisa lebih mencintai dan memanfaatkan hutan mangrove,
karena nilai strategis dan ekonomisnya.

Syaiful Huda
Pengembang, Konsultan Bisnis, Pegiat Ekonomi Pesisir
Hutan
Mangrove
Pasar Banggi
Rembang
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari pemegang hak cipta,
kecuali mencantumkan identitas pemegang hak cipta.
Hutan Mangrove
Pasar Banggi
Rembang
Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Purwowibowo; Soni Akhmad Nulhaqim
Hutan Mangrove Pasar Banggi Rembang/Purwowibowo; Soni Akhmad
Nulhaqim, editor: Arif Giyanto. Yogyakarta: Pandiva Buku 2016.
xvi + 318 hal; 21 cm
ISBN: 978-602-73748-1-2
1. Judul I. Giyanto, Arif.

HUTAN MANGROVE PASAR BANGGI REMBANG


Penulis:
Purwowibowo
Soni Akhmad Nulhaqim
Editor:
Arif Giyanto
Perancang Isi:
d'Woch
(IG: @dwochdwoch)
Desain Kover:
AndDan Creative
(IG: @anddancreative)

Cetakan Pertama: April 2016

Penerbit:

PANDIVA BUKU
Jogokaryan MJ III/503 Mantrijeron Yogyakarta
Telp. 62 274 384657
www.pandivabuku.com
pandivabuku@gmail.com
@PandivaBuku
Kata Pengantar

Meski terbilang sederhana, tapi bila dilakukan terus-


menerus dan konsisten, sebuah pekerjaan akan berbuah besar.
Perubahan terjadi karena peran tokoh, sementara tokoh tidak
terlepas eksistensinya dari perubahan. Semuanya berpadu,
membentuk keteraturan dunia yang dapat ditemukan polanya,
lalu diteladani untuk kebaikan banyak orang.

Adalah H. Suyadi, seorang mantan anggota TNI yang per-


nah turut dalam misi penumpasan Gerakan PRRI di Sumatera
Barat. Ia pahlawan, inisiator, dan teladan Desa Pasar Banggi Ke-
camatan Rembang Kabupaten Rembang Provinsi Jawa Tengah.

Selama lebih dari lima dekade, Suyadi intens dalam


rehabilitasi mangrove yang ia prakarsai sendiri. Alasannya,
mangrove dapat melindungi tanggul tambak tempat ia dan
sebagian besar warga melakukan budidaya ikan dan bandeng
saat musim hujan serta garam saat kemarau.

xi
Bila mangrove rusak, tanggul tambak pun akan rusak.
Setelahnya, budidaya tidak akan pernah berhasil, karena air
laut merangsek ke dalam tambak.
Sekian waktu tak berhasil pada awal program, ia terus
konsisten melakukannya. Hingga pada titik ke sekian, ia berhasil
mengembangkan komunitas dan terbentuklah Kelompok Tani
Peduli Mangrove.
Fantastis. Upayanya berhasil. Kini, Anda dapat menjadi
saksi hidup keberhasilan Suyadi merehabilitasi mangrove di
Desa Pasar Banggi. Sabuk hijau itu membentang hingga 3,5
kilometer dengan ketebalan antara 65-150 meter.
Suyadi bukan hanya Ketua Kelompok Tani Peduli Mangrove,
tapi juga pemimpin informal yang berhasil. Ia mencontohkan
perbuatan, lalu ditiru banyak orang karena bersinggungan de-
ngan kebutuhan warga lebih luas. Ia dipercaya karena dianggap
paling berpengalaman dalam hal rehabilitasi mangrove dan
terbukti berhasil mengamankan tambaknya dari serbuan air laut.
Penulis buku adalah seorang pakar di bidangnya. Ia bukan
hanya memotret, mendokumentasikan, menemukan masalah,
dan berusaha merumuskan pola perubahan. Penulis manunggal
dengan realitas yang ada. Ia bahkan tinggal untuk beberapa
lama di Desa Pasar Banggi untuk menyelesaikan studinya.
Bagi siapa pun Anda yang memedulikan lingkungan,
sepeduli Anda pada jiwa dan raga Anda, pun dengan kema-
nusiaan, buku di tangan Anda ini dapat menjadi salah satu
rujukan bermanfaat. Bahwa untuk menjadi orang baik dan pah-
lawan, selalu dimulai dari diri sendiri. Semoga bermanfaat.
Penerbit

xii
Daftar Isi

Pengantar ............................................................................................v
Daftar Isi .............................................................................................vii

Bab 1. Pendahuluan ..........................................................................1

Bab 2. Community Development dan Pemimpin


Informal ............................................................................................. 17
A. Proses Pengembangan Komunitas ........................................................17
B. Modal Sosial dalam Komunitas .................................................................28
C. HubunganModal Sosial dan Proses Pengembangan
Komunitas .............................................................................................................43
D. Peran Pemimpin Informal dalam Pengembangan
Komunitas .............................................................................................................47
1. Model Kepemimpinan Agraris Jawa ...............................................50
2. Model Kepemimpinan Melayu ...........................................................51
3. Model Kepemimpinan Maritim ...........................................................51

xiii
E. Aspek-aspek Pemimpin Informal .............................................................62

Bab 3. Desa Pasar Banggi Kecamatan Rembang................... 67


A. Keadaan Geografi ............................................................................................68
B. Komunitas Desa Pasar Banggi .................................................................74
C. Penduduk Desa Pasar Banggi ...................................................................82
1. Pendidikan Komunitas Desa Pasar Banggi .................................83
2. Mata Pencarian ..........................................................................................85
C. Sosial-Ekonomi .................................................................................................87
D. Sistem Sosial Budaya dan Sistem Kepemimpinan .........................93

Bab 4. REHABILITASI HUTAN MANGROVE DESA PASAR


BANGGI .............................................................................................. 97
A. Asal Mula Rehabilitasi Hutan Mangrove ..............................................97
B. Proses Tumbuhnya Partisipasi Anggota Komunitas ..................124
C. Pemimpin Informal Komunitas dan Terbentuknya
Lembaga Lokal ...............................................................................................131
D. Peran-Peran Pemimpin Informal ...........................................................146
1. Inisiator Penanaman Mangrove serta Terbentuknya
Kelompok Tani Tambak dan Kelompok Perempuan ..........147
2. Membangun Modal Sosial Komunitas .......................................153
3. Revitalisasi Nilai Sosial-Budaya dan Lingkungan .................156
4. Membangun Kepercayaan (Trust) Komunitas .......................157
5. Membangun Jaringan Sosial ...........................................................158
6. Pengorganisisasi Anggota Komunitas .......................................160
7. Penggerak Partisipasi Petani Tambak .........................................164
E. Aspek Internal dan Eksternal Pemimpin Informal .......................167
1. Aspek Internal Pemimpin Informal ................................................168
2. Aspek Eksternal Pemimpin Informal ............................................176

xiv
Bab 5. REHABILITASI HUTAN MANGROVE
SEBAGAI MODEL PENGEMBANGAN KOMUNITAS ..............183
A. Rehabilitasi Hutan Mangrove sebagai Bentuk
Pengembangan Komunitas ....................................................................183
1. Pengembangan Komunitas dari Bawah ....................................184
2. Tujuan Pengembangan Komunitas dari Bawah ...................197
B. Pemimpin Informal dan Pengembangan Komunitas
dari Bawah .........................................................................................................221
C. Peran-peran Pemimpin Informal dalam Pengembangan
Komunitas ..........................................................................................................234
1. Sebagai Agen Perubahan Sosial dalam
Pengembangan Komunitas ..............................................................235
2. Sebagai Inisiator Terbentuknya Lembaga Lokal .................238
3. Membangun Modal Sosial Komunitas ........................................245
4. Sebagai Pengorganisasi Anggota Kelompok Tani .............257
5. Sebagai Penggerak Partisipasi Anggota Komunitas ..........263
6. Sebagai Relawan Sosial dalam Pengembangan
Komunitas ...................................................................................................268
D. Aspek-aspek Keberhasilan Pemimpin Informal dalam
Pengembangan Komunitas .....................................................................275
1. Aspek Internal Pemimpin Informal ................................................275
2. Aspek Eksternal, Dukungan Anggota Komunitas ................281

Bab 6. PENUTUP ............................................................................287

xv
BAB 1
Pendahuluan

Hutan mangrove merupakan lingkungan hidup alami yang


dapat dipulihkan dari kondisi rusak serta menghasilkan berbagai
sumberdaya ekologis, ekonomis, dan sosial. Berbagai sumber-
daya tersebut dapat didayagunakan untuk meningkatkan taraf
hidup masyarakat pesisir. Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove
dipelopori oleh seseorang warga masyarakat dan dilaksanakan
secara bersama-sama. Gerakan demikian disebut dengan
Community Development atau pengembangan komunitas.1

Gerakan kesadaran masyarakat atau komunitas untuk me-


lakukan rehabilitasi hutan mangrove dilandasi oleh kondisinya
yang terus mengalami kerusakan. Dalam masa dua puluh
tahun terakhir ini, semakin sedikit hutan mangrove yang masih

1. Brokensha and Hodge,1969: 35; Rubin and Rubin, 2001: 3, Kenny, 2007: 10.

1
lestari dan sebagian besarnya telah mengalami kerusakan.
Setiap tahun, degradasi hutan mangrove terus berlangsung
dan akselerasi kerusakannya terus meningkat. Kerusakan hutan
mangrove dan berbagai kawasan di wilayah pesisir semakin
meluas dan sulit dikendalikan.2

Gerakan kesadaran masyarakat atau komunitas peduli


rehabilitasi dan pelestarian hutan mangrove mulai berkurang
dan partisipasi mereka sangat rendah.3 Berdasarkan kenyataan
yang ada, banyak anggota masyarakat di wilayah pesisir
melakukan perusakan daripada melakukan penanaman dan
pelestarian. Banyak kawasan hutan mangrove dialih-fungsikan
menjadi tambak, area industri, dan perumahan, serta berbagai
fasilitas umum lainnya.

Hutan mangrove sebagai bagian lingkungan hidup me-


rupakan penopang kehidupan masyarakat pesisir. Keber-
adaannya dapat menyediakan berbagai sumberdaya alam yang
ada di wilayah pesisir dan dapat dimanfaatkan, baik langsung
maupun tidak langsung, untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Hutan mangrove seharusnya dipulihkan dan di-
lestarikan dari kondisi kerusakan karena keberadaan berbagai
sumberdaya alam yang ada di dalamnya dapat mendukung
kehidupan masyarakat pesisir pada khususnya dan masyarakat
luas pada umumnya.

Banyak masyarakat di berbagai tempat melakukan perusak-


an terhadap keberadaan hutan mangrove, namun masih ada

2. Soemarwoto, 1991; Brown, 1992, Anderson, et al., 1993; Parrilo, 2002.


3. Ertemeijer and Bualuang, 1998; Fikriani dan Mussadun, 2014.

2
anggota masyarakat yang peduli terhadap keberadaan dan
kelestariannya. Pemberian penghargaan Kalpataru yang diberi-
kan oleh Kementerian Lingkungan Hidup, misalnya, merupa-
kan wujud dari kepedulian masyarakat terhadap keberadaan
lingkungan dan hutan mangrove. Pada 2013, sebanyak 18
orang dan tahun 2014 ada 13 orang penerima Penghargaan
Kalpataru dari Pemerintah Republik Indonesia.4

Mereka tergolong dalam kelompok perintis lingkungan,


pengabdi lingkungan, penyelamat lingkungan, dan pembina
lingkungan. Keberadaan mereka yang mempunyai kepedulian
terhadap pelestarian hutan mangrove dan lingkungan di-
apresiasi oleh pemerintah melalui pemberian penghargaan
Kalpataru. Paling tidak, kepedulian mereka dapat memberikan
contoh kepada anggota masyarakat untuk melakukan kegiatan
rehabilitasi lingkungan hidup di sekitarnya. 5 Namun, gaung
pelestarian yang dilakukan oleh para penerima penghargaan
Kalpataru tersebut masih sangat kecil dibandingkan dengan
kegiatan perusakan yang dilakukan masyarakat.

Kebanyakan masyarakat memanfaatkan sumberdaya alam


dan lingkungan melebihi daya pulihnya, sehingga kondisinya
semakin rusak. Hutan mangrove misalnya, terus bertambah luas
kerusakannya seiring dengan bertambahnya jumlah manusia
yang tinggal di wilayah pesisir dan akselerasi pembangunan
yang menggunakan wilayah pesisir.6 Tidak bisa dihindari, keru-
sakan dan hilangnya hutan mangrove pun terus bertambah.

4. Berita KLH, 2013 dan 2014.


5. KLHRI, 2013.
6. Winarno dan Setyawan, 2006: 63-72.

3
Sesungguhnya, kerusakan hutan mangrove dan lingkungan
bertolak belakang dengan keberadaan berbagai peraturan
perundangan tentang pelestarian mangrove. Jumlah peraturan
yang berlaku mulai dari tingkat nasional, regional, hingga
lokal berjumlah sangat banyak dan berbagai kegiatan dalam
memulihkan dan melestarikan hutan mangrove terus ditingkat-
kan.7

Dalam kenyataannya, kerusakan hutan mangrove terus


bertambah dan kerusakan tersebut terlihat dari berkurangnya
luas hutan mangrove Indonesia. Berdasarkan survei pada
2006, luas hutan mangrove Indonesia mencapai 7,7 juta hektar
dan pada survei lanjutan tahun 2010, tinggal 3 juta hektar.8
Sementara data statistik Kementerian Kelautan dan Perikanan
tahun 2011 menyebutkan bahwa degradasi hutan mangrove
telah mencapai 70 persen, yakni 4,826 juta ha, dari total luas
hutan mangrove Indonesia 6,798 juta ha.9 Meskipun dua data
di atas berbeda jumlahnya, paling tidak dapat dipahami bahwa
hutan mangrove terus mengalami degradasi atau kerusakan
dan jumlah luasnya terus menurun.

Dengan kegiatan pembangunan yang berlangsung di wila-


yah pesisir, dipastikan luas hutan mangrove terus berkurang.
Penyebab berkurangnya hutan mangrove adalah berbagai
kegiatan manusia, yakni melakukan konversi hutan mangrove
menjadi lahan perkebunan, pertambakan, pabrik, tempat

7. KLH, 2014.
8. Kementerian Kehutanan, 2006 dan 2010.
9. Mahardi, 2012: 105-114.

4
tinggal manusia, dan sekadar ditebang batang pohonnya
untuk dijadikan kayu bakar.10

Terbatasnya luas hutan mangrove berdampak negatif


lebih luas bagi kehidupan dan kesejahteraan masyarakat
pesisir khususnya. Keberadaan hutan mangrove merupakan
sumberdaya alam penting di lingkungan laut dan pesisir, karena
keberadaannya menjadi sumber hidup bagi sumberdaya alam
lain yang dibutuhkan masyarakat di wilayah pesisir.11

Masyarakat pesisir secara langsung maupun tidak lang-


sung dipengaruhi oleh keberadaan hutan mangrove. Secara
langsung, hutan mangrove menyediakan berbagai sumber-
daya alam yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi ke-
butuhannya. Sedangkan secara tidak langsung menyediakan
oksigen dan pelindung wilayah pesisir.12 Kasus tsunami tahun
2004 di wilayah Aceh dan Sumatera Utara menunjukkan bahwa
keberadaan hutan mangrove mampu menahan gelombang
sangat besar dan dapat mengurangi terjadinya kerusakan
wilayah pesisir.13

Studi mengenai rehabilitasi hutan mangrove selama dua


puluh tahun terakhir lebih banyak ditekankan pada aspek
ekologis. Selain itu, studi yang secara khusus dilakukan ter-
hadap kegiatan rehabilitasi hutan mangrove hanya difokuskan
kepada fungsinya sebagai sumberdaya ekologis, ekonomi,

10. Wihardandi, 2012.


11. Sukardjo, 2012: 39.
12. ibid.
13. ibid.

5
dan sosial. 14 Studi lain yang membahas fungsi mangrove
sebagai sumberdaya sosial masih terbatas sebagai tempat
rekreasi atau ekowisata15, yang hanya memahami fungsi sosial
ekosistem hutan mangrove sebagai bamper atau mitigasi
bencana alam wilayah pesisir dan pantai.16 Studi tentang aspek
sosial hutan mangrove masih sangat terbatas, terutama aspek
pengembangan komunitas dari perspektif Ilmu Kesejahteraan
Sosial.

Dari aspek sosial, studi mengenai rehabilitasi hutan


mangrove hanya terkait dengan program pemberdayaan
masyarakat. Studi mengenai hal ini hanya melihat partisipasi
anggota masyarakat dikaitkan dengan program pemberdayaan
masyarakat. Dari program tersebut kemudian dilihat partisipasi
anggota masyarakatnya dalam gerakan rehabilitasi atau pe-
mulihan dan pelestarian hutan mangrove.17 Simanjuntak (2010)
melakukan studi mengenai pemberdayaan masyarakat yang
terkait dengan rehabilitasi hutan mangrove. Tujuannya hanya
memahami dan mengetahui pengetahuan masyarakat tentang
fungsi dan keberadaan hutan mangrove sebagai sumberdaya
alam di kawasan pesisir.

Studi yang memahami aspek sosial dalam rangka pe-


ngembangan komunitas bersifat bottom-up belum banyak
dilakukan. Dari sisi ini, studi mengenai rehabilitasi hutan
mangrove hanya dipahami sebagai gerakan komunitas yang

14. Purwoko, 2008; Mahmudi, 2010; Kusuma, 2010; Elyas, 2011.


15. Wahyudin, 2006; Fitriyani, 2010.
16. Studi Saru et al., 2009 dan Naryanto, 2009.
17. Tambunan et al., 2009; Umairoh, 2010; Telaumbanua, 2011; Rusdiyan , 2012.

6
diinisiasi pihak luar. Banyak rehabilitasi hutan mangrove
merupakan program pemerintah dan diinisiasi oleh lembaga
swadaya masyarakat.18

Gerakan rehabilitasi hutan mangrove yang diinisiasi


anggota komunitas masih sangat terbatas. Sebenarnya, pe-
mimpin informal sebagai bagian dari masyarakat perdesaan
dapat menjadi inisiator terjadinya gerakan rehabilitasi hutan
mangrove. Meski demikian, studi mengenai hal ini masih jarang
dilakukan.

Beberapa studi mengenai pemimpin informal masih ber-


sifat umum terkait pengembangan komunitas.19 Studi mereka
hanya memahami peran pemimpin informal dalam pengem-
bangan komunitas, khususnya sebagai agen perubahan sosial
masyarakat. Sedangkan Sulaksono (2002) melakukan studi
tentang peran pemimpin informal yang sangat penting dalam
pengembangan komunitas di perdesaan, khususnya program
kegiatan kepariwisataan.

Menurut Sudibyo (2006), pemimpin informal sangat me-


nentukan pengembangan komunitas, terutama terkait keber-
lanjutan gabungan kelompok koperasi petani (Gapoktan).
Selanjutnya, Foster (2008) menyatakan bahwa pemimpin infor-
mal dalam pengembangan komunitas mempunyai posisi unik
dan dapat menjadi agen perubahan sosial efektif serta dapat
menentukan keberhasilan pembangunan di level perdesaan.

18. De Groot et al., 2006.


19. Foster, 2008; Hancock, 2008; Atwell-Scrivner, 2010; Hall, 2010; Washington-
O ombre, 2010; Palmer, 2011.

7
Hal ini terkait dengan pemimpin informal yang mempunyai
basis modal sosial.

Barlan (2011) menyatakan, keberadaan pemimpin informal


di tengah masyarakat mempunyai posisi unik, karena disertai
basis modal sosial yang melekat dalam dirinya. Berdasarkan po-
sisinya yang unik, pemimpin informal mempunyai peran sangat
penting dan menentukan proses pengembangan komunitas.
Pemimpin informal juga dapat berfungsi sebagai komunikator,
artikulator, fasilitator, mediator, dan sebagai pintu masuk (entry
point) pengembangan komunitas di wilayah perdesaan.20

Posisi unik dan pentingnya pemimpin informal dalam


pengembangan komunitas dapat disebut sebagai strategi
pengembangan komunitas bottom-up. Hal ini berkaitan dengan
fungsi pemimpin informal yang dapat menjadi inisiator ter-
jadinya proses pengembangan komunitas. Selama ini, strategi
pengembangan komunitas bottom-up masih banyak diinisiasi
oleh pihak luar dan jika pun melibatkan pemimpin informal
hanya hal-hal tertentu.

Menurut Foster (2008), pemimpin informal dapat direkayasa


melalui pendidikan dan pelatihan tertentu, kemudian kembali
ke komunitasnya untuk menginisiasi proses pengembangan
komunitas. Pemimpin informal demikian ditumbuhkan atau
distimulasi oleh pihak luar agar mampu melakukan perubahan
sosial sesuai yang direncanakan. Banyak strategi pengembangan
komunitas di level perdesaan yang dapat digunakan untuk

20. Pa on, 2005; Sulasmi, 2008; Ros ya , 2009; Washington, 2010; Suradisastra,
2011.

8
membangun masyarakat. Menurut Hoy dan Rowley (1996), hal
terpenting untuk melakukan pengembangan komunitas adalah
melakukan pengembangan dan pembangunan sumberdaya
manusianya.

Sedangkan Greenberg (1999) dan Chaskin (2001) menyam-


paikan, hal yang diperlukan pengembangan komunitas adalah
upaya peningkatan kemampuan sumberdaya manusia melalui
jiwa wirausaha dan membangun kapasitas anggota komunitas
secara keseluruhan. Selain itu, strategi pengembangan komu-
nitas lainnya menekankan pentingnya penggunaan modal so-
sial.21 Keberadaan modal sosial yang ada di komunitas sangat
penting dan menentukan dalam proses pengembangan komu-
nitas. Penggunaan modal sosial dianggap sebagai strategi
penting dalam pelaksanaan proses pengembangan komunitas.

Cramb (2002) dan Khandewell (2007) lebih menekankan


pentingnya pembentukan dan keberadaan lembaga atau ins-
titusi lokal. Sehubungan dengan keberadaan lembaga lokal,
Khandewell menekankan pembentukan lembaga keuangan
mikro di komunitas perdesaan. Beberapa strategi pengem-
bangan komunitas lainnya menekankan pentingnya aset atau
sumberdaya komunitas. 22 Aset-aset komunitas berupa aset
ekologis, ekonomis, sosial-budaya dapat menopang pro ses
pengembangan komunitas secara keseluruhan. Aset-aset
komunitas tersebut dapat dipergunakan dalam mengakselerasi
kegiatan komunitas dan proses pengembangan komunitas.

21. Foster, 1997; Gi ell and Vidal, 1998; Zeuli and Radel, 2004; Traynor and Andor,
2005; dan Brown, 2007.
22. Delgado, 2000; Ife dan Tosoriero, 2008.

9
Penggunaan aset-aset ekologis dan hutan mangrove di-
sebut juga sebagai strategi pengembangan komunitas berbasis
lingkungan dan pariwisata.23 Sedangkan Zhang et al. (2011)
serta Ife dan Tosoriero (2008) menggunakan istilah strategi
pengembangan komunitas dengan model atau strategi hijau
(green model or green strategy). Dengan banyaknya strategi
pengembangan komunitas seperti diuraikan di atas, ternyata
masih sangat terbatas studi yang menggunakan model bottom-
up, khususnya mengenai keberadaan pemimpin informal di
komunitas perdesaan.

Studi buku ini bermaksud meneliti peran pemimpin infor-


mal dalam pengembangan komunitas, khususnya rehabili-
tasi hutan mangrove terhadap kehidupan masyarakat pesisir.
Ke giatan dalam bentuk rehabilitasi hutan mangrove dapat
mempengaruhi kehidupan dan kesejahteraan seluruh masya-
rakat pesisir. Dalam perspektif ilmu kesejahteraan sosial, ke-
beradaan hutan mangrove dapat melindungi tanggul tambak,
sehingga merupakan salah satu usaha komunitas dalam
meningkatkan kesejahteraan sosialnya berbasis lingkungan
hidup sekitarnya.

Kehidupan masyarakat di desa pesisir sangat dipengaruhi


oleh keadaan sumberdaya alam dan kondisi tambak yang
dimiliki. Penananam dan pelestarian hutan mangrove dapat
melindungi tambak, sehingga dapat digunakan sebagai lahan
budidaya. Hasil dari budidaya tersebut dapat digunakan
memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu, sumberdaya alam

23. Shunnaq et al., 2008; Koen et al. 2009.

10
yang terkait dengan mangrove adalah mangrove itu sendiri
sebagai sumberdaya alam dan berbagai sumberdaya lain yang
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan seluruh komunitas.
Semua sumberdaya itu memberikan kontribusi kepada seluruh
komunitas untuk meningkatkat kualitas hidup dan kesejahteraan
seluruh komunitas desa pesisir.

Berdasarkan berbagai kajian literatur tentang konsep pe-


ngembangan komunitas, modal sosial dan komunitas, peran
pemimpin informal, dan aspek-aspek pemimpin informal, di-
asumsikan bahwa kegiatan pengembangan komunitas dalam
rangka merehabilitasi hutan mangrove merupakan usaha komu-
nitas dalam melakukan intervensi terhadap lingkungan hidup
di wilayah pesisir dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
hidupnya.

Selain itu, intervensi tersebut bertujuan mengembalikan dan


menjaga fungsi sosial hutan mangrove. Kegiatan rehabilitasi
hutan mangrove tersebut merupakan model pengembangan
komunitas dari bawah atau bottom-up. Pengembangan komu-
nitas tersebut diinisiasi masyarkat sendiri, dilaksanakan, dan
diikuti partisipasi aktif seluruh anggota komunitas. Tujuan akhir-
nya, sebagai upaya memenuhi kebutuhan hidup dan pening-
katan kesejahteraan serta kualitas hidup seluruh masyarakat.

Dalam proses pengembangan komunitas tersebut,


pemimpin informal berperan penting dan menentukan dalam
keseluruhan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove. Dengan
kata lain, keberhasilan masyarakat melakukan kegiatan pe-
mulihan dan pelestarian (rehabilitasi) hutan mangrove sangat
dipengaruhi oleh peran pemimpin informal, karena dapat

11
menjadi inisiator, membangun modal sosial, mengorganisasi
dan menggerakkan partisipasi seluruh anggota komunitas.

Pemimpin informal pada mulanya mampu membangun


modal sosial dengan merevitalisasi nilai sosial-budaya dan
lingkungan, membangun kepercayaan, dan membangun
jaringan sosial. Keberadaan modal sosial di masyarakat pesisir
dapat berupa norma atau nilai, kepercayaan (trust), jaringan,
dan aset-aset komunitas yang berkaitan dengan kawasan
pesisir dan hutan mangrove. Semua modal sosial demikian
tidak bermakna apa-apa karena semua modal sosial tersebut
dalam pengembangan komunitas masih merupakan aset statis
sebagai energi potensial. Modal sosial haruslah dibangun,
direvitalisasi, diorganisasi, didayagunakan oleh pemimpin
informal untuk kepentingan pengembangan komunitas, agar
dapat menjadi energi kinetik.

Dalam merevitalisasi nilai sosial-budaya dan nilai ling-


kungan dapat dijadikan visi komunitas. Visi tersebut digunakan
untuk membangun semangat dan kebersamaan dalam meng-
atasi kerusakan lingkungan tambak, yakni dengan melakukan
rehabilitasi hutan mangrove. Mereka yakin bahwa dengan
menanami pohon mangrove di tanggul tambak maka tambak
dapat didayagunakan secara optimal, baik musim penghujan
atau kemarau, karena telah terlindungi secara alami dengan
hutan mangrove. Oleh karena itu, segala upaya harus dilakukan
untuk mewujudkan hutan mangrove sebagai visi komunitas
tersebut. Selain itu, membangun kepercayaan komunitas ten-
tang pentingnya hutan mangrove sebagai pelindung alami
tambak.

12
Pada mulanya, anggota komunitas tidak percaya tentang
usaha yang dilakukan orang untuk dapat menanam mangrove.
Selama ini, mereka masih mempercayai bahwa hutan mangrove
tidak dapat ditanam manusia dan hanya Tuhan yang dapat
menumbuhkannya. Untuk membangun kepercayaan bahwa
hutan mangrove dapat ditanam manusia, mereka memerlukan
contoh keberhasilannya. Setelah ada wujud hutan mangrove
yang dapat tumbuh, anggota komunitas baru mempercayai
bahwa hutan mangrove dapat ditanam manusia.

Demikian pula agar proses pengembangan komunitas da-


pat berjalan dengan baik diperlukan jaringan sosial horizontal
dan vertikal. Untuk mengikat hubungan antar-anggota komu-
nitas dibentuk kelompok, sehingga hubungan atau jaringan
antar-anggota kelompok menjadi lebih kuat. Terbentuknya
jaringan sosial horizontal tersebut dapat memperkuat anggota
komunitas, sedangkan jaringan vertikal dibangun melalui
berbagai stakeholder.

Berdasarkan modal sosial yang telah direvitalisasi dan


dibangun, akhirnya anggota komunitas dapat diorganisasi
dan digerakkan untuk melakukan rehabilitasi hutan mangrove.
Keberadaan hutan mangrove dapat menjadi pelindung alami
tambak dan di dalam hutan mangrove dapat menghasilkan
berbagai sumberdaya alam yang dapat digunakan untuk pe-
ningkatan kesejahteraan komunitas. Pulihnya hutan mangrove
disertai pulihnya sumberdaya alam lain, sehingga dapat digu-
nakan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh komunitas.

Keberhasilan pengembangan komunitas dalam mereha-


bilitasi hutan mangrove didukung oleh partisipasi aktif anggota

13
komunitas. Partisipasi tersebut menjadi modal sosial penting
komunitas, karena terjadi kebersamaan dan tanggung jawab
bersama. Selain itu, keberhasilan dalam membangun modal
sosial dan mengorganisasi serta menggerakkan anggota komu-
nitas didukung oleh aspek intern yang ada di dalam diri pemim-
pin informal dan aspek berupa dukungan seluruh komunitas.

Aspek internal terkait asal-usul, pola kepemimpinan, cara


menerapkan kepemimpinan, dan kapasitas yang ada dalam
diri pemimpin informal. Sementara aspek eksternal adalah
dukungan pengembangan dari seluruh komunitas dan stake-
holder terkait fungsi sosial mangrove bagi peningkatan ke-
hidupan masyarakat. Dengan demikian, dapatlah dikatakan
bahwa pemimpin informal menjadi ruh terlaksananya proses
pengembangan komunitas. Menjadi inisiator, mengorganisasi,
menggerakkan partisipasi anggota komunitas, dan membangun
modal sosial. Hutan mangrove dan sumberdaya alam lain seba-
gai modal sosial, penting bagi komunitas pesisir. Selain itu, dapat
berfungsi dan dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas hidup
komunitas di masa sekarang maupun generasi mendatang.

Studi dilakukan di Desa Pasar Banggi, Kecamatan Rembang,


Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah, yang melakukan
kegiatan pengembangan komunitas dalam bentuk rehabilitasi
hutan mangrove. Berdasarkan perspektif Ilmu Kesejahteraan
Sosial menggunakan pendekatan ekologi manusia, manusia
dan lingkungan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan
yang lain. Lingkungan dapat mempengaruhi tingkah laku dan
kehidupan manusia dan manusia dapat melakukan intervensi
terhadap keadaan lingkungan.

14
Dalam konsep kesejahteraan sosial hijau (green social
welfare), kesejahteraan hidup manusia ditentukan oleh ke-
beradaan lingkungannya. Mangrove merupakan lingkungan
hidup komunitas pesisir dan dapat menentukan tingkat kesejah-
teraan hidup manusia di sekitarnya. Sumberdaya alam yang
ada dapat dimanfaatkan oleh seluruh anggota komunitas untuk
memenuhi kebutuhandan meningkatkan kualitas hidupnya.

Selain itu, rehabilitasi mangrove merupakan salah satu


bentuk usaha kesejahteraan sosial yang dilakukan komunitas
desa pesisir. Tujuannya adalah peningkatan kualitas hidup dan
memulihkan fungsi sosial lingkungan mangrove. Rehabilitasi
hutan mangrove dapat melindungi tanggul anggota komunitas,
sehingga tambaknya dapat digunakan sebagai tempat budi-
daya untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Usaha meningkat-
kan taraf hidup komunitas menggunakan sistem sumber ber-
dasarkan aset ekologi atau lingkungan, yakni hutan mangrove
dan sumberdaya yang ada serta keberadaan tambak.

Studi yang dilakukan menggunakan metode kualitatif,


yakni memahami secara mendalam proses pengembangan
komunitas dan peran pemimpin informal dalam rehabilitasi
hutan mangrove. Dalam memahami fenomena sosial mengenai
proses pengembangan komunitas yang telah berjalan dalam
kurun waktu lama dan berlangsung sampai saat ini dilakukan
dengan menggunakan metode kualitatif. Hal ini terkait dengan
semua fenomena sosial yang terjadi dari keseluruhan proses
pengembangan komunitas dan peran pemimpin informal dapat
diungkap sesuai kebutuhan data yang diperlukan.

15
Pengembangan komunitas yang telah menghasilkan
produk sosial berupa hutan mangrove dilakukan oleh ang-
gota komunitas dalam rangka memulihkan aset komunitas
dan lingkungan. Prosesnya dimulai sejak 1964 dan terus ber-
langsung sampai sekarang. Data yang telah tersimpan begitu
lama di tengah kehidupan komunitas dapat diungkap dengan
metode kualitatif. Dengan demikian studi ini berusaha mema-
hami keseluruhan proses pengembangan komunitas tersebut
sejak diinisiasi, dirancang, dilaksanakan, dievaluasi, sampai
dampaknya terhadap komunitas yang bersangkutan.

Sedangkan fokus studinya adalah memahami proses pe-


ngembangan komunitas, proses seseorang menjadi pemimpin
informal, serta peran pemimpin informal dalam membangun
modal sosial, mengorganisasi, dan menggerakkan anggota
komunitas dalam kegiatan rehabilitasi hutan mangrove. Selain
itu, memahami aspek-aspek yang dapat mendukung keber-
hasilan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove, baik aspek yang
dimiliki pemimpin informal maupun aspek dalam komunitas.

Secara perlahan-lahan dan berangsur-angsur, dapat di-


pahami semua proses terjadinya fenomena sosial tersebut.
Dengan cara demikian, semua informasi dari proses kegiatan
pengembangan komunitas dapat dikumpulkan sesuai ke-
butuhan informasi yang diperlukan. Penulis melibatkan diri ke
dalam obyek studi dan tinggal di tempat studi, sehingga dapat
menyelami kondisi dan situasi yang sebenarnya.

16
BAB 2
COMMUNITY
DEVELOPMENT
DAN PEMIMPIN
INFORMAL

A. Proses Pengembangan Komunitas


Pendekatan pembangunan di negara-negara sedang ber-
kembang terus mengalami perubahan sejak 1950-an hingga
1980-an. Pendekatan modernisasi banyak diterapkan dengan
mengutamakan pertumbuhan ekonomi (economic growth). Di
negara berkembang, pendekatan modernisasi disertai sistem
yang bersifat sentralistis. Pendekatan pembangunan pada
periode berikutnya berganti menjadi pembangunan masyarakat
dan kemudian menjadi arus utama dalam pelaksanaan pem-
bangunan, yakni berbasis masyarakat.

Menurut Korten (1984; 1987), pendekatan pembangunan


era 1980-an berpusat pada manusia yang disebut dengan
people centered development. Pendekatan pembangunan

17
sebelumnya mengutamakan modernisasi atau disebut pem-
bangunan konvensional. Korten menulis, Conventional deve-
lopment practice emphasizes capital transfers, formal planning,
specification, and central government control. 24 Pendekatan
pembangunan model tersebut di negara-negara berkembang
banyak mengalami kegagalan, sehingga para ilmuwan men-
cari alternatif pembangunan berlandaskan kondisi lokal atau
community development bersifat bottom-up.

Pembangunan dari bawah yang menekankan people


centered development merupakan reaksi dari pendekatan
pembangunan berbasis dari atas (top-down). Sesungguhnya,
pendekatan modernisasi diharapkan hasil pembangunan dapat
merembes ke bawah (trickle-down effects). Dalam kenyataan-
nya, trickle-down effects tersebut sulit diwujudkan. Bahkan pem-
bangunan yang menekankan modernisasi dan pertumbuhan
ekonomi menimbulkan banyak ketimpangan atau distorsi di
berbagai bidang. Misal, terkurasnya sumberdaya alam karena
hanya berorientasi pertumbuhan ekonomi.25

Pembangunan dari bawah berbasis pada konteks lokal


dan sumberdaya alam yang ada di lingkungan lokal, sehingga
dapat diartikan bahwa model bottom-up adalah strategi pem-
bangunan yang menekankan aspek lokalitas, yakni kreativitas,
pengetahuan, kebudayaan, sumberdaya, keterampilan, dan
proses serta pandangan lokal. 26 Kata kunci pengembangan
masyarakat adalah partisipasi dari anggota masyarakat dalam

24. Korten (1987: 145).


25. Midgley, 1995.
26. Ife dan Teroseiro, 2008.

18
seluruh proses kegiatan; dari anggota masyarakat, oleh ma-
syarakat, dan untuk masyarakat itu sendiri. Jika partisipasinya
rendah, berarti proses pengembangan komunitas bottom-up
tersebut tidak dapat berjalan dengan baik.

Menurut Sutomo (2011) 27, model pendekatan demikian,


masyarakat hingga komunitas terbawah, diberi peluang dan
kewenangan dalam pengelolaan pembangunan, termasuk
dalam proses pengambilan keputusan sejak identifikasi masa-
lah dan kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan
dalam menikmati hasil pembangunan. Apabila suatu program
pengembangan komunitas dirancang pihak luar, bukan ter-
masuk konsep pengembangan komunitas bottom-up. Para-
digma pembangunan masyarakat (bottom-up) sesungguhnya
bisa diartikan sebagai reaksi atas pendekatan moder ni sasi
yang menekankan pertumbuhan ekonomi. Dalam kenyata-
annya, pendekatan tersebut banyak mengalami distorsi atau
kegagalan. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi harus
selaras, seiring dengan pembangunan sosial, agar distorsi
pembangunan dapat diminimalisasi.28

Salah satu dampak negatif paradigma modernisasi adalah


kekuasan yang bersifat sentralistis, yakni semua kekuasaan
dikendalikan oleh pemerintah pusat. Selain itu, dalam sistem
sentralistis, pemegang kekuasaan menjadi semakin kuat
(powerfull), sedangkan masyarakat di pihak lain menjadi
semakin lemah (powerless). Hal tersebut berkaitan dengan

27. Sutomo, 2011: 65-66.


28. Midgley, 1995.

19
pendekatan yang digunakan lebih bersifat sentralistis, top-
down, dan mengutamakan keseragaman. Sebaliknya, asumsi
yang digunakan dalam paradigma pembangunan bottom-
up adalah masyarakat atau komunitaslah yang paling tahu
kebutuhannya sendiri. Jika mereka tidak dilibatkan dalam proses
pembangunan, tidak bisa dipungkiri bahwa pembangunan
tidak menyentuh kebutuhan dasar mereka, yang pada akhirnya
banyak gagal di tengah jalan dalam implementasinya.29

Berdasarkan antitesis dari perspektif sebelumnya maka


diperlukan perubahan paradigma, yakni suatu pembangunan
menekankan modernisasi yang beralih pada manusia. Model
sentralistis harus diubah menjadi desentralisasi; top-down
menjadi bottom-up; uniformity menjadi variasi lokal; sistem
komando menjadi proses belajar; ketergantungan menjadi
keberlanjutan; social exclution menjadi social inclusion; dan
improvement menjadi transformation.30

Dalam konsep Ilmu Kesejahteraan Sosial, pembangunan


yang berpusat pada manusia dapat diartikan sebagai pengem-
bangan komunitas, karena di dalamnya mengutamakan pengem-
bangan individu atau manusia. Brokensha dan Hodge (1969)
menulis, Community Development is a movement designed to
promote better living for the whole community with the active
participation and on the initiative of the community.31 Sementara
tujuan akhir dari kegiatan pengembangan komunitas adalah

29. Sutomo, 2011.


30. ibid. h. 71-88.
31. Brokensha dan Hodge, 1969: 35.

20
peningkatan kapasitas komunitas, sehingga taraf kehidupannya
menjadi lebih baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Green
and Haines (2007), Community Development as planned effort
to produce assets that increase the capacity of residents to
improve their quality of life.32

Sedangkan intisari pengembangan komunitas tersebut


sesungguhnya ditekankan pada proses, bukan pada hasilnya.
Kenny (2007) menjelaskan,

Community Development refer to processes, tasks, practice


and visions for empowering communities to take collective
responsibility for their own development. The aim of Community
Development is to enable communities to have effective
control oftheir own destinies. Effective control requires the
development of ongoing structures and processes by which
communities can indentify and address their own issues, needs
and problems within their own terms of reference. Effective
community control requires adequate resources, including
income, material resources and knowledge and a strong skills
base.33

Jadi sesungguhnya, strategi pengembangan komunitas


ditekankan pada pemberdayaan sebagai suatu proses mem-
bantu orang lain agar mampu mengatasi masalah kehidupannya
sendiri. Adam (1996) mendefinisikan pemberdayaan sebagai,
Suatu sarana bagi individu, kelompok, dan komunitas agar
menjadi lebih mampu untuk mendayagunakan lingkungannya

32. Green and Haines, 2007: vii.


33. Kenny, 2007: 10.

21
dan mencapai tujuannya. Untuk mencapai pemberdayaan
demikian bisa melalui jalan dan orientasi politik yakni dengan
melakukan pembelaan dari masalah konflik kekuasaan.34

Dalam pendekatan teori dan praktik pengembangan ko-


munitas, Popple (1996), menekankan pendekatan pluralis
yang merupakan perspektif politik, yakni melawan signifikansi
umum bagi kelompok penekan dan kelompok kepentingan
dalam melakukan pembelaan dengan memusatkan diri pada
kekuatan dan pengaruh. Perspektif ini yakin bahwa terdapat
banyak sekali kelompok kepentingan di masyarakat, seperti
kelompok keagamaan, organisasi perdagangan, partai politik,
kelompok penekan. Semua itu berkolaborasi dengan berbagai
kekuatan yang ada di pemerintahan pusat. Kesemuanya ber-
bagi keseimbangan di dalam bersaing untuk mendapatkan
kepentingannya melalui kekuasaan, sehingga dapat berdampak
pada kebijakan, serta tidak ada dominasi yang terlalu kuat dari
mekanisme pemerintahan. Dengan model demikian, pekerjaan
komunitas dapat memperjuangkan pemberdayaan komunitas
dari level makro.

Dalam pengembangan komunitas, Kenny (2007), mem-


berikan penjelasan tentang model strategi pengembangan
komunitas dengan menyediakan contoh nyata, yakni bagai-
mana mengorganisasikan keterampilan dan kekuatan komu-
nitas untuk ambil bagian (partisipasi) dalam mengendalikan
komu nitasnya. Pengembangan komunitas ini dimaksudkan
untuk mengembangkan struktur baru, sumberdaya, dan proses

34. Adam, 1996, p.5.

22
di mana komunitas dapat mengidentifikasi dan menempatkan
masalah, kebutuhan, dan problem yang dihadapinya sendiri.

Bahkan Hoy dan Rowley (1996) mengemukakan perlunya


jiwa entrepreneurship masyarakat perdesaan sebagai strategi
pembangunan yang cocok bagi komunitas desa. Untuk me-
nyambung hubungan antara komunitas urban dan rural,
sehingga terjadi hubungan yang saling menguntungkan, oleh
Foster-Bey (1997) haruslah dibangun jembatan-penghubung.
Sebagai strategi pengembangan komunitas lokal, jembatan
penghubung tersebut dapat menghubungkan perekonomian
perkotaan dan perdesaan. Jembatan diartikan sebagai terjalin-
nya jaringan antara perekonomian regional dengan lokal.

Keseimbangan hubungan perekonomian perkotaan de-


ngan perdesaan akan membantu terwujudnya pembangunan
berkelanjutan. Menurut Beder (1993), pembangunan demikian
merupakan strategi pengembangan komunitas yang dinilainya
sama dengan melaksanakan pembangunan berkelanjutan.
Karena, pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan
yang mampu memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengabaikan
kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi ke-
butuhannya. Artinya, kegiatan pemberdayaan masyarakat dan
pengembangan komunitas adalah upaya untuk meningkatkan
dan memenuhi kebutuhan ekonomi sekarang ini dengan tidak
melakukan penurunan sumberdaya alam, yang manusia tidak
mampu memenuhi kebutuhannya di masa depan.

Selanjutnya, Beder menambahkan bahwa generasi men-


datang mungkin tidak mampu memenuhi kebutuhan yang
diperlukan, jika tanah mengalami degradasi, sumberdaya alam

23
seperti ikan di laut dan hutan telah habis, atau seluruh badan air
mengalami polusi. Dengan demikian, strategi pengembangan
dan pemberdayaan komunitas merupakan upaya untuk men-
jamin kegiatan ekonomi yang dapat menyediakan bahan makan
bagi masyarakat, perumahan, barang produksi, dan dapat
memberikan layanan memadai bagi generasi mendatang.

Sejalan dengan pembangunan berkelanjutan, Ife dan Frank


Tesoriero35 menyampaikan, strategi pengembangan komunitas
lebih menekankan kearifan lokal (local genius), yakni (1) meng-
hargai pengetahuan lokal; (2) menghargai kebudayaan lokal;
(3) menghargai sumberdaya lokal; (4) menghargai keterampilan
lokal; (5) menghargai proses lokal; (6) bekerja dalam solidaritas.
Di sini Ife belum menyertakan kepemimpinan lokal. Oleh ka-
rena itu, kearifan lokal harus menyertakan kepemimpinan lokal
berupa pemimpin informal, yakni tumbuh dari akar rumput dan
dapat digunakan sebagai strategi pengembangan komunitas.

Sehubungan dengan itu, Cramb (2002) mengemukakan


perlunya menyertakan peranan lembaga tradisional dalam
masyarakat sebagai strategi pengembangan komunitas. Selain
itu, diperlukan kekompakan anggota komunitas yang oleh
Traynor dan Andans (2005) disebut dengan pengorganisasian
jaringan dalam rangka strategi membangun keutuhan masya-
rakat.

Strategi pengembangan komunitas lain dikemukakan oleh


Banks et al. (2004). Mereka mengemukakan bahwa strategi
pengembangan komunitas dan pemberdayaan masyarakat

35. Ife dan Frank Tesoriero, 2008: 241-260.

24
berkaitan dengan reformasi pemerintahan lokal. Hal ini di-
anggapnya sebagai bagian sangat penting untuk membawa
anggota dewan dan anggota pemerintahan lebih mendekat
kepada masyarakat lokal dengan melibatkan kepemimpinan
komunitas, mengajak masyarakat lokal dalam mengkonsultasi-
kan, dan berpartisipasi guna menentukan kebijakan pemba-
ngunannya.

Dalam studinya, Banks et al. menjelaskan mengenai tan-


tangan yang dihadapi, khususnya pengaruh manajer program,
proyek, dan pemberi layanan sosial dalam melibatkan mereka
ke dalam kebijakan pembangunan komunitas. Konsep tentang
praktik komunitas digunakan dalam kerangka kerja sama de-
ngan komunitas yang fokusnya tidak hanya pada pekerja sosial
dan pekerja pembangunan komunitas, tetapi juga melibatkan
profesi lain, anggota kelompok manajer komunitas itu sendiri.

Pengembangan komunitas dapat diartikan juga sebagai


investasi sosial dalam kehidupan masyarakat. Midgley dan
Conley (2010) menjelaskan tentang strategi pengembangan
komunitas dan pemberdayaan masyarakat yang lebih ditekankan
pada investasi sosial, yakni mengutamakan intervensi praktik
pada peran komunitas. Para praktisi pengembangan komunitas
yakin bahwa sebagian besar klien dalam pekerjaan sosial dapat
ditangani melalui setting komunitas. Meskipun menghadapi
berbagai tantangan, mereka akan dapat hidup mandiri di komu-
nitasnya.

Dengan setting komunitas tersebut, pemberdayaan ma-


syarakat dapat mengabaikan penggunaan fasilitas yang ada di
rumah klien atau tempat panti, sehingga dapat mempergunakan

25
fasilitas yang ada di komunitasnya. Pekerja sosial hanya
melakukan pendampingan secara profesional berdasarkan
pendekatan keahlian. Mereka harus lebih banyak melakukan
praktik pekerjaan sosial. Pekerja sosial pengembangan
komunitas bersama-sama dengan organisasi pengembangan
lainnya serta kelompok lain menggunakan keterampilan lobi
dan pembelaan (advocacy) untuk mendukung pencapaian
tujuan ideal yang diinginkan oleh pekerjaan sosial dalam
mengembangkan komunitas.

Strategi pengembangan komunitas merupakan suatu


tindakan terorganisasi dari masyarakat dan banyak gerakan
demikian berasal dari atas (top-down). Pengembangan komu-
nitas bukan merupakan suatu program yang dirancang oleh
pemerintah, tetapi lebih merupakan suatu gerakan kesadaran
komunitas (bottom-up). Chaskin (2001) menyebut pengem-
bangan komunitas sebagai membangun kapasitas komunitas
yang merupakan gerakan perubahan, bermula dari komunitas
itu sendiri. Gerakan komunitas demikian oleh Zeuli dan Radel
(2005), perlu disertai kebersamaan di antara anggota komu-
nitas. Secara khusus, Gittell dan Vidal (1998) mengemukakan
bahwa strategi pembangunan komunitas adalah membangun
dan mengorganisasi modal sosial.

Reaksi terhadap pengembangan komunitas di dalam


pemulihan dan pelestarian lingkungan oleh Ife dan Tesoriero
(2008) serta Zhang (2011) disebut dengan reaksi hijau.
Senada itu, Brown (2007) menulis, memulihkan lingkungan
tidak harus menggunakan teknologi canggih, tetapi yang
diperlukan adalah teknologi tepat guna dari masyarakat lokal.

26
Karena, banyak teknologi masyarakat lokal yang merupakan
lokal genius (kearifan lokal); bukan hanya murah dari segi
pembiayaan, tetapi juga ramah lingkungan.

Berbeda dengan strategi pengembangan komunitas


melalui gerakan Revolusi Hijau (Green Revolution) di bidang
pertanian sawah. Gerakan tersebut merupakan gerakan yang
diprogramkan oleh pemerintah pusat untuk menggerakkan
masyarakat agar mau menanam lahan pertanian mereka guna
meningkatkan hasil panen, bersifat top-down.36 Sementara itu,
Yuswadi (2000) mengungkapkan, gerakan sosial masyarakat
petani yang bersifat bottom-up untuk melawan kebijakan pem-
berlakuan penanaman padi secara masal dengan menanam
jeruk disebut gerakan perlawanan (resistensi).

Gerakan sosial dalam kerangka pengembangan komunitas


(community development) untuk pemulihan dan pelestarian
lingkungan, menurut De Groot et al. (2006) dapat dilakukan
dengan menginisiasi gerakan masyarakat yang dilakukan
oleh lembaga swadaya masyarakat. Pada awalnya, LSM yang
bermunculan di berbagai negara berkembang dan juga di
Indonesia merupakan reaksi terhadap kepedulian kerusakan
lingkungan hidup. Upaya pemulihan lingkungan dengan
mencari pemecahan masalah spesifik, menggunakan berbagai
cara, disebut reaksi hijau (green). Misalnya, menggunakan
teknologi alternatif, yakni teknologi anti-polusi maupun tekno-
logi tepat guna yang ramah lingkungan, maupun cara-cara lain
yang ramah lingkungan.

36. Sco , 1987.

27
Sedangkan pendekatan yang lebih radikal dalam me-
mulihkan lingkungan adalah melakukan perubahan sosial.
Langkah kedua ini mempunyai konsekuensi besar terhadap
perubahan masyarakat, karena lebih revolusioner. Pendekatan
radikal ini dilandasi atas pemikiran bahwa kerusakan lingkungan
bersumber dari kondisi sosial, ekonomi, dan politik dalam
masyarakat yang sudah karut marut, sehingga sulit dibenahi
dengan perundangan yang berlaku. Oleh karena itu, langkah
yang dilakukan adalah melakukan revolusi sosial.37

Selain itu, dalam kerangka pengembangan komunitas


untuk pemulihan lingkungan harus menyertakan partisipasi
warga komunitas, karena warga komunitaslah yang mempu-
nyai kepentingan langsung terhadap kelestarian lingkungan.
Yesaya et al. (2011) dan Pudjianto (2009) menjelaskan penting-
nya parti sipasi masyarakat nelayan dalam pemulihan hutan
mangrove, karena nelayanlah yang terkena dampak langsung
dari pulih atau rusaknya lingkungan hutan mangrove. Dengan
pulihnya hutan mangrove maka sumberdaya alam berupa ikan,
udang, dan berbagai biota laut lainnya mudah didapatkan oleh
nelayan.

B. Modal Sosial dalam Komunitas


Modal sosial berhubungan langsung dengan konsep
komunitas. Meskipun para ahli telah membuat batasan
atau definisi tentang komunitas yang berbeda-beda, namun

37. Ife, 2008.

28
kebanyakan para ahli dan praktisi sepakat bahwa komunitas
sesungguhnya merupakan bentuk perkumpulan orang dalam
suatu kesatuan dan terintegrasi ke dalam suatu sistem sosial
serta berupa jaringan modal sosial.38

Menurut Alperson (2002), ada dua dimensi komunitas,


yakni dimensi ekologis (geografis) dan dimensi normatif yang
meliputi interaksi sosial, struktur sosial, dan unsur simbolis atau
budaya komunitas. Dalam memahami komunitas dan modal
sosial, diperlukan pemahaman secara multidimensi, yakni dari
perspektif ruang, struktur sosial, dan unsur-unsur simbolisme
dalam komunitas.

Sesungguhnya, konsep modal sosial (social capital) me-


rupakan konsep khusus dari modal. Dalam konsep ini, modal
dapat dimaknai sebagai sejumlah cadangan sumberdaya yang
dapat dimanfaatkan oleh seseorang. Modal terdiri dari modal
ekonomi dan modal sosial.39 Modal sosial, merupakan unsur
penting dari transaksi ekonomi dan tindakan sosial kolektif
yang merupakan sumberdaya lingkungan langka. 40 Modal
sosial merupakan faktor menentukan kesejahteraan hidup
manusia, sepanjang modal sosial menjadi faktor produksi dan
modal alamiah.41

Modal ekonomi dan modal sosial tidak bisa dipisahkan


dalam hubungannya dengan tindakan kolektif anggota
komunitas, sehingga keberadaannya melekat dalam suatu

38. Alperson, 2002: 1.


39. Esser, 2007: 23.
40. Edger, 2003: 390.
41. ibid. h. 391.

29
komunitas. Sebagaimana dikemukakan oleh Schneider (2006),
Community as the conjunction of instances when individuals
develop the common recognition of share interest, culture, and
potential for trust envisioned as the basis for social capital and
mutual action.42

Merujuk pada apa yang dikemukakan Schneider, sesung-


guhnya modal sosial berkaitan erat dengan keberhasilan se-
seorang di suatu tempat tertentu dalam hubungannya dengan
struktur sosial di komunitas. Modal sosial merupakan refleksi
dari pendayagunaan kemampuan dan kompetensi sehingga
dapat mengatasi masalah dalam waktu singkat. Modal sosial
telah menjadi konsep inti dari bidang ilmu ekonomi, politik,
dan sosiologi.43

Pada mulanya, modal sosial merupakan kiasan dari ke-


majuan atau keberhasilan seseorang, kelompok, dan masya-
rakat, yang dapat melakukan pekerjaan lebih baik dalam
komunitasnya. Keberhasilan tersebut dapat diukur dengan pe-
ningkatan penghasilan yang nyata, karena seseorang menjadi
lebih cerdas, atraktif, dan lebih terampil dalam melakukan
segala pekerjaan.

Modal sosial merupakan pelengkap dari modal manusia


untuk menjelaskan tentang keberhasilan yang dicapai sese-
orang. Dengan tambahan modal sosial, seseorang menjadi lebih
baik dalam melakukan pekerjaan; merasa selalu berhubungan
dengan orang lain; merasa wajib untuk dapat membantu orang

42. Schneider, 2006: 14.


43. Burt, 2005: 4.

30
lain. Selain itu, dengan modal sosial, seseorang merasa yakin
akan keberadaan orang lain, bahkan merasakan ketergantungan
kepada orang lain dalam komunitas yang seseorang tersebut
hidup bersama. Oleh karena itu, keberhasilan seseorang bukan
semata-mata keberhasilan individu, tetapi lebih merupakan
keberhasilan bersama di dalam komunitas.

Terminologi mengenai modal sosial untuk pertama kali


dikemukakan oleh seorang pendidik di Amerika, Hanifan
(1916). Ia membuat definisi modal sosial yang menekankan
fungsi alamiah modal sosial, sebagai suatu investasi yang
dilakukan sekarang dan akan mendapatkan keuntungan
di masa datang. Modal sosial bermakna sebagai upaya
memperhitungkan sesuatu yang harus ditanam (diinvestasikan)
dan akan mendapatkan hasil di kelak kemudian hari. Dengan
demikian, dengan modal sosial, seseorang selalu berorientasi
ke masa depan.

Perkembangan konsep modal sosial selanjutnya di


dalam komunitas dikembangkan sebagai pengembangan
atau perluasan dari pengertian para ahli ekonomi mengenai
konsep modal manusia (human capital), yakni pendidikan dan
keterampilan yang dimiliki seseorang untuk digunakan bersaing
di dalam pasar tenaga kerja. Secara umum, Foley dan Edward
(1999) menjelaskan bahwa modal sosial menunjuk kepada
hubungan sosial yang dilandasi dengan kepercayaan dan
merupakan nilai yang dapat digunakan dalam kepentingan
produktivitas. Sesungguhnya, modal sosial (social capital)
merupakan suatu konsep yang berakar dari jaringan sosial dan
hubungan sosial dalam kerangka pemikiran sosiologis. Konsep

31
tersebut saat ini telah berkembang luas memasuki ranah ilmu
sosial lain, termasuk Ilmu Kesejahteraan Sosial.

Teori modal sosial sesungguhnya berkonsentrasi dan


memfokuskan pada hubungan individu dengan individu
lain, kelompok dengan kelompok, dan juga masyarakat satu
dengan lain. Konsep modal sosial berusaha mentransfer modal
relasional para aktor yang terlibat dan terikat dalam jaringan
hubungan untuk mendapatkan keuntungan yang diinginkan.44
Jaringan sosial tersebut mendasari terjadinya saling interaksi,
baik dalam jaringan sosial akrab dan kuat, misalnya dalam
hubungan antar-anggota keluarga, maupun jaringan sosial luas
dan jauh melalui pertemanan secara interpersonal.

Modal sosial merupakan bagian dari organisasi sosial (so-


cial organization). Menurut Putnam (1993), modal sosial terdiri
dari kepercayaan, norma, dan jaringan, yang dapat mem-
perbaiki efisiensi masyarakat dengan memberikan fasilitas
tindakan terkoordinasi.45 Modal sosial merupakan bagian dari
kehidupan sosial yang mendorong seseorang di dalam jaringan
itu bertindak bersama secara lebih efektif untuk mencapai
tujuan bersama.

Pada kehidupan sosial masyarakat modern seperti di


Amerika, modal sosial mulai mengalami degradasi. Hal ini
digambarkan oleh Putnam, tentang semakin sedikitnya orang
Amerika yang terlibat dalam kehidupan publik secara bersama-
sama, digambarkan dengan jelas dalam tulisannya berjudul

44. Lin, 2008.


45. Putnam, 1993: 169.

32
Bowling Alone. 46 Orang semakin senang bermain bowling
sendiri daripada bersama-sama mengikuti suatu kompetisi,
sehingga Liga Bowling di Amerika menjadi merosot.

Putnam (2000) menyampaikan dua jenis modal sosial, yaitu


modal sosial yang mengikat (closed social capital) dan modal
sosial yang menjembatani (bridging social capital). Modal sosial
mengikat tampak pada jaringan sosial dalam hubungannya
dengan interaksi individu satu dengan lain yang sangat ter-
batas. Dalam kelompok, para anggota lebih berorientasi ke
dalam dibandingkan ke luar kelompoknya. Selain itu, juga
lebih homogen.

Sementara modal sosial dapat menjembatani jaringan sosial


lebih terbuka luas, karena prinsipnya didasarkan atas persama-
an universal, kebebasan, nilai kemajemukan, dan kemandirian.
Kilduff dan Wenpin Tsai (2003) menjelaskan bahwa jaringan
sosial mengikat (bonding social capital) disebut juga dengan
micro-network, dan jaringan menjembatani (bridging social
capital) disebut dengan macro-network.

Konsep yang dikemukakan Putman seakan mengabaikan


aspek perselisihan dan ketidak-samaan di dalam pembagian
masyarakat dengan kelas dan ras. Dalam lembaga politik
se ring kali tidak dapat menggambarkan modal sosial untuk
mengembangkan kohesivitas masyarakat secara tepat, karena
modal sosial sesungguhnya bersangkut paut dengan kelompok
kecil yang sering kali melawan jaringan sosial di luar kelompok
yang lebih besar. Banyak kelompok kecil di dalam berbagai

46. Putnam, 1995: 21.

33
kelompok besar dapat secara efektif mengorganisasikan modal
sosial untuk mendukung apa yang mereka butuhkan, terutama
kepentingan politik tertentu (political interest group).

Meski demikian, kelompok kepentingan yang jumlahnya


kecil, sering kali dapat merugikan kelompok yang lebih besar
jumlahnya. Perhatian kelompok kepentingan tersebut adalah
mendayakan orang lain di dalam kelompoknya serta mampu
membuka dan menjalin hubungannya dengan kekuasaan. 47
Dalam banyak kasus, modal sosial dapat berfungsi sebagai
mekanisme pendorong anggota komunitas melakukan kegiatan
tertentu dan sebagai sumberdaya yang mereka butuhkan untuk
mencapai tujuannya.

Sementara modal sosial, berupa jaringan sosial di ma-


syarakat pesisir, menurut Kusnadi (2000), ada dua bentuk.
Pertama, jaringan sosial horizontal yang anggota-anggotanya
memiliki status sosial-ekonomi relatif sepadan. Kedua, jaringan
sosial vertikal yang anggota-anggotanya tidak memiliki status
sosial-ekonomi sepadan. 48 Jaringan sosial horizontal terdiri
atas jaringan kerabat dan jaringan campuran kerabat dan te-
tangga. Sementara jaringan sosial vertikal terdiri atas jaringan
kerabat, jaringan tetangga, jaringan campuran kerabat dan
tetangga, serta jaringan campuran tetangga dan teman. Da-
lam jaringan sosial vertikal terdapat hubungan sosial bersifat
patron-klien.49

47. Cruikshank, 1994.


48. Kusnadi, 2000: 127.
49. ibid.

34
Hubungan sosial merupakan istilah lain dari jaringan
sosial yang ada di komunitas. Field (2010) 50 menulis, inti
konsep dari modal sosial adalah soal hubungan sosial, yakni
hubungan seseorang dengan orang lain. Dengan membangun
hubungan sosial dengan orang lain, terus menjaganya agar
dapat berlangsung sepanjang waktu, seseorang akan mampu
mencapai berbagai hal dengan lebih mudah jika dibandingkan
dengan melakukan sendiri. Hubungan sosial antar-orang
tersebut menggunakan media yang disebut jaringan. Sejauh
jaringan yang dibangun menjadi sumberdaya maka jaringan
tersebut menjadi modal sosial baginya. Semakin banyak orang
memiliki jaringan sosial, ia akan memiliki modal sosial yang
banyak pula terhadap dirinya.

Sesungguhnya, jaringan dalam konsep teori sosial klasik


telah digambarkan oleh sosiolog Prancis, Durkheim (1933)
dengan istilah solidaritas. Dia membagi konsep solidaritas
menjadi dua, yakni solidaritas mekanis dan solidaritas organis.
Pada solidaritas mekanis, orang yang menjalani solidaritas ini
tanpa memikirkan apa yang dilakukan, karena telah menjadi
kebiasaan dan dilandasi oleh struktur sosial serta kewajiban
bersifat tetap dari orang yang ada dalam masyarakat. Sementara
solidaritas organis adalah solidaritas yang didasarkan atas
berbagai interaksi. Seseorang memasuki jaringan ini digunakan
untuk mencapai tujuan tertentu. Serupa Durkheim, Tonnies
(1935) membedakan jaringan asosiasi sengaja dengan istilah
Gemeinschaft, dan jaringan asosiasi instrumental dengan
Gesellschaft.

50. Field, 2010: 1.

35
Modal sosial berkaitan erat pula dengan modal ekonomi.51
Coleman (1988) mengatakan bahwa modal sosial memiliki
hubungan yang tidak bisa dipisahkan dengan modal ekonomi.
Keduanya paralel dengan istilah modal manusia yang atribut-
nya adalah keterampilan, pengetahuan, dan kondisi kesehatan
seorang individu. Konsep modal sosial sebagai cara meng-
integrasikan teori sosial dengan teori ekonomi, sehingga modal
sosial dan modal manusia keberadaannya saling melengkapi.
Sejalan dengan pemikiran Coleman, gagasan sentral modal
sosial adalah bahwa jaringan sosial merupakan aset yang
sangat bernilai ekonomi.52 Jaringan sosial tersebut akan mem-
berikan dasar bagi kohesi sosial, sehingga bisa mendorong
seseorang bekerja sama satu dengan yang lain, tidak sekadar
dengan orang yang mereka kenal secara langsung, tetapi
juga orang-orang yang lebih luas guna mendapatkan manfaat
timbal balik.

Dalam konsep ekonomi, istilah modal, berarti sejumlah


uang yang diakumulasi, kemudian diinvestasikan dengan
harapan memperoleh hasil atau keuntungan. Modal dalam kon-
sep ini, lebih menitikberatkan pada konsep modal fisik, yang
dipergunakan untuk menggambarkan peran mesin dan ba-
ngunan dalam peningkatan produktivitas dari aktivitas ekonomi.
Baru setelah tahun 1960-an, banyak ahli mengembangkan
konsep modal menjadi lebih luas; tidak hanya modal fisik
tetapi juga modal manusia dan kapasitasnya. Becker (1964)

51. Coleman, 1988: 9.


52. Lin, 2008.

36
mengatakan, modal manusia dapat digunakan sebagai alat
untuk meningkatkan produktivitas ekonomi.

Sejalan dengan modal manusia untuk meningkatkan pro-


duktivitas, Bourdieu (1984) menjelaskan bahwa modal sosial
disebutnya sebagai modal budaya, yang salah satu indikator
empirisnya adalah keanggotaan klub golf. Modal sosial di-
yakini sebagai jaringan yang dapat membantu memperlancar
jalannya roda bisnis. Modal jaringan sosial jika diperlukan akan
memberikan dukungan bermanfaat, misalnya modal harga diri
dan kehormatan yang sering kali diperlukan jika orang ingin
menarik para klien ke dalam posisi penting secara sosial dan
bisa menjadi alat tukar dalam karier politik.53

Selanjutnya, Bourdieu mengatakan bahwa modal sosial


adalah sejumlah sumberdaya aktual atau maya, yang ada
dalam diri seseorang atau kelompok karena mereka memiliki
jaringan timbal balik yang terlembagakan. Modal budaya dan
modal sosial, harus diperlakukan sebagai aset yang diwujudkan
ke dalam produk akumulasi kerja. 54 Produk akumulasi kerja
demikian, menurut sosiolog kontemporer, Ritzer (1996) disebut
dengan teori pilihan rasional atau tindakan rasional. Dalam
perspektif Kesejahteran Sosial disebut dengan pilihan sosial atu
tindakan sosial.55 Dalam teori ini, seseorang memiliki keyakinan
bahwa perilakunya bertujuan untuk mengejar kepentingan
mereka sendiri dengan melakukan interaksi sosial sebagai
bentuk pertukaran sosial dalam bekerja sama, yang tujuan

53. Bourdieu, 1984: 291.


54. Bourdieu, 1992: 119.
55. Pa anaik et al., 2008.

37
akhirnya adalah kesejahteraan sosial baik bagi individu maupun
komunitas.
Dengan interaksi sosial dan kerja sama, menurut Schneider,
fungsi modal sosial mencakup tiga hal berikut.
1. Fungsi mengikat (bonding), yang berarti bahwa ikatan
antar-orang dalam situasi sama, seperti keluarga dekat,
teman akrab, dan rukun tetangga.
2. Fungsi menjembatani (bridging), yang mencakup ikatan
lebih longgar dari beberapa orang seperti teman jauh dan
rekan sekerja.
3. Fungsi menghubungkan. Fungsi ini menjangkau orang-
orang yang berada pada situasi berbeda, seperti mereka
yang sepenuhnya ada di luar komunitas, sehingga men-
dorong anggotanya memanfaatkan banyak sumberdaya
daripada apa yang tersedia di dalam komunitasnya.56
Modal sosial dalam komunitas harus dimanfaatkan dalam
kerangka pengembangan komunitas. Delgado (2000) meng-
gunakan istilah modal sosial atau kapital sosial dengan sebutan
aset komunitas (communities asset).57 Aset komunitas tersebut
dapat digunakan untuk menggerakkan komunitas dalam me-
lakukan pembangunan komunitasnya. Aset komunitas dapat di-
gunakan untuk melakukan peningkatan kapasitas warga komu-
nitas dan juga disebut sumberdaya ekologi atau lingkungan.
Dengan menggunakan empat tipe aset komunitas yang
dikemukakan, yakni gambar dinding (murals), taman (gardens),

56. Schneider, 2006: 11-14.


57. Delgado, 2000: 73-75.

38
taman bermain (playground), dan patung-patung (sculptures),
pengembangan komunitas yang dilakukan oleh pekerja
sosial dapat mendayagunakan aset komunitas dalam rangka
peningkatan kapasitas warga komunitas dan untuk melakukan
pemberdayaan komunitas (community empowerment).

Foster (2008) menyebutnya sebagai asset-based commu-


nity, yakni suatu pendekatan pembangunan di tingkat komu-
nitas yang menggunakan aset unik komunitas (modal sosial),
termasuk keuangan, modal fisik, alam, sosial, dan manusia.
Dengan modal tersebut, komunitas didorong untuk meng-
gunakan kemampuan lokal dan sumberdayanya guna meren-
canakan usaha pembangunannya.58

Penggunaan modal sosial bisa pada level makro. Pada


tingkat ini, modal sosial digunakan dalam pengertian luas,
yakni termasuk lembaga pemerintah, norma hukum, masyarakat
sipil, dan kebebasan politik.59 Pada level ini, modal sosial mem-
punyai dampak terukur pada kinerja ekonomi nasional dan
menentukan bagaimana fungsi pemerintah dan sektor swasta
dikembangkan dalam suatu perekonomian. Dalam sektor pu-
blik, keterlibatan pemerintah sangat konstruktif dalam pem-
bangunan ekonomi, yakni menyeimbangkan antara hubungan
sosial eksternal dan kekompakan internal.

Selain itu, modal sosial berkaitan dengan efektivitas peme-


rintahan, akuntabilitas, dan kemampuan untuk menegakkan atur-
an secara adil, pertumbuhan ekonomi dalam hal mengaktifkan

58. Foster, 2008:17.


59. Grootaert, 1999.

39
atau menonaktifkan perkembangan perusahaan domestik dan
pasar, serta mendorong atau menghambat investasi asing.
Secara keseluruhan, modal sosial di tingkat makro lebih peduli
dengan perkembangan sosial dan pertumbuhan ekonomi.

Pada level meso, mengacu pada jaringan dan norma


yang mengatur interaksi di antara masyarakat.60 Pada tingkat
ini, modal sosial dapat dilihat dari perspektif struktural di
mana jaringan modal sosial terstruktur dengan sumberdaya-
sumberdaya melalui jaringan. Dengan demikian, analisis modal
sosial di tingkat meso, difokuskan pada proses pengembangan
jaringan struktur dan distribusi. Modal sosial di tingkat meso,
juga mengacu pada identitas sosial dari organisasi, dan
masuknya orang dalam maupun orang luar ke dalam lingkaran
sosial umum.61

Dengan demikian, asosiasi lokal dapat menjadi manifes-


tasi modal sosial level meso ini.62 Secara keseluruhan, modal
sosial di tingkat meso lebih peduli pada pembangunan daerah,
pertumbuhan organisasi, pengembangan komunitas, dan
pemberdayaan masyarakat.

Sedangkan pada level mikro, modal sosial menekankan ke-


mampuan individu untuk mengorganisasi sumberdaya melalui
jaringan lembaga local, seperti organisasi berbasis masyarakat,
keluarga besar, dan organisasi sosial. Jaringan sosial padat dan
tumpang tindih dapat meningkatkan kemungkinan kerja sama

60. ibid.
61. Coleman, 1990.
62. Grootaert, 1999.

40
ekonomi dengan membangun kepercayaan dan mendorong
norma-norma bersama.63

Modal sosial pada tingkat ini meningkatkan pertukaran


informasi berharga tentang produk dan layanan, mengurangi
biaya kontrak dan peraturan yang luas, serta penegakan
hukum. Dalam komunitas, tingkat modal sosial mikro mengacu
pada pengakuan, kerja sama, serta kepercayaan pribadi,
solidaritas, loyalitas, reputasi, dan akses terhadap informasi
yang masuk akal.64 Secara keseluruhan, modal sosial di tingkat
mikro adalah tentang hubungan stabil ego dengan orang lain,
pengembangan individu, dan pertumbuhan pribadi.

Modal sosial memiliki banyak fondasi filosofis dari posisi


komunitarian dan masyarakat yang merupakan bagian sangat
penting bagi kehidupan manusia. Etzioni (1988) menyatakan
bahwa individu dan masyarakat satu sama lain saling mem-
butuhkan. Individu termotivasi tidak hanya oleh kepentingan
diri sendiri dalam mengejar kesenangan, tetapi oleh komplek-
sitas tujuan sosial individu dan masyarakat. Moralitas adalah hal
penting dalam memahami pilihan individu, di mana moralitas
sosial dibangun oleh seorang individu.

Efek dari gabungan kepercayaan, jaringan, norma, secara


timbal balik dapat menciptakan masyarakat yang kuat, dengan
kepemilikan bersama atas sumberdaya milik bersama. Selama
suatu masyarakat kuat maka sumberdaya berupa modal sosial

63. ibid.
64. Lin, 2008.

41
di masyarakat dapat diorganisasi dari semua anggotanya dan
dapat digunakan secara bersama.

Teori Modal Sosial oleh Pirie (2011) dilandasi dua argumen


pokok.65 Pertama, membahas penerapan modal sosial dalam
hubungannya dengan kekuasaan yang terletak di jantung
fenomena sosial. Sementara itu, konsep modal sosial tersebut
berpotensi dapat digunakan untuk membahas pembagian
sosial dan konflik di ranah kekuasaan.

Kedua, argumen kunci lain dari modal sosial berkaitan


dengan signifikansi politik. Dalam hal ini, modal sosial memiliki
pengaruh pada proses pembuatan kebijakan publik. Gagasan
dari konsep modal sosial tersebut dapat dipandang sebagai
suatu hal yang bisa memainkan peran ideologis, karena
dikembangkan melalui paradigma neo-liberalisme yang me-
nekankan kesempurnaan masyarakat pasar.

Dalam masyarakat pasar, modal sosial menyediakan unsur


antara di antara lima unsur yang ada dalam implementasi
reformasi kesejahteraan sosial.66 Lima unsur tersebut adalah
kebijakan pemerintah (government policies), lembaga yang
menyediakan layanan (organizations providing service), sistem
kesejahteraan lokal (local social welfare system), sistem sosial-
ekonomi lokal (local socioeconomic system), dan penduduk
yang menerima layanan (population receiving service).

Sedangkan ada unsur antara yang dimaksudkan Schneider


adalah pola hubungan sosial dan pola hubungan timbal-balik,

65. Pirie, 2011: 54.


66. Schneider, 2006: 3.

42
serta memperkuat kepercayaan yang memungkinkan seseorang
atau individu untuk mendapatkan akses terhadap sumberdaya
sebagai layanan sosial, pekerjaannya, dan janji pemerintah.67
Schneider juga mengungkapkan dua unsur tambahan, yakni
hubungan yang didasarkan atas kepercayaan orang-orang atau
organisasi untuk mengakses sumberdaya, serta pengetahuan
mengenai modal budaya yang mengindikasikan seseorang
tersebut merupakan anggota dari suatu komunitas dan harus
diberikan akses dalam hubungan sosialnya. Hanya saja,
Schneider tidak menyertakan peran tokoh informal dalam
mengorganisasi modal sosial untuk mempertinggi atau
memperkuat kepercayaan, norma, dan jaringan sosial guna
mengakses sumberdaya lingkungan.

C. Hubungan Modal Sosial dan


Proses Pengembangan Komunitas
Modal sosial dan pengembangan komunitas merupakan
dua sisi mata uang; sama pentingnya dan saling berhubungan
antara sisi yang satu dengan sisi lainnya. Kusnadi mengemu-
kakan, filosofi pemberdayaan dan pengembangan komunitas
atau masyarakat dapat dieksplorasi melalui nilai-nilai yang
mendasari hakikat hubungan antara manusia dan Tuhan Yang
Maha Esa, manusia dengan manusia, dan manusia dengan
alam lingkungannya.68

Atas dasar hal itu, lahirlah prinsip-prinsip berikut.

67. ibid. h. 4-5.


68 Kusnadi, 2006: 14-15.

43
1. Mendorong pikiran dan sikap manusia untuk menghormati
dan menghargai sesama manusia dan sumberdaya alam.

2. Sikap menjaga kelestarian dan memanfaatkan SDA secara


proporsional.

3. Melahirkan sikap untuk bekerja sama, gotong royong, dan


persatuan.

4. Sikap menghargai terhadap nilai-nilai budaya, pranata


(kelembagaan) sosial, dan pengakuan akan eksistensi
suatu masyarakat.

5. Melahirkan sikap apresiatif terhadap etos kerja, kreativitas,


dan aspirasi sosial yang berkembang.

6. Sikap menghargai kebebasan sosial yang bertanggung


jawab dan konstruktif.

7. Dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara,


masyarakat berhak memperoleh perlindungan dan pe-
menuhan kebutuhan dasar kehidupannya.69

Tujuan pengembangan komunitas adalah tercapainya pem-


berdayaan masyarakat yang oleh Korten (1984) disebut dengan
people centered development. Paradigma tersebut mereaksi
paradigma modernisasi yang menekankan pertumbuhan eko-
nomi (economic growth), melalui peningkatan produksi massal.
Karena pertumbuhan ekonomi tidak mencapai kesejahteraan
masyarakat, kemudian berkembang paradigma berbasis
pemberdayaan masyarakat dan pengembangan komunitas.

69. Kusnadi, 2006.

44
Istilah pemberdayaan telah digunakan secara luas di ber-
bagai bidang ilmu sosial dan juga praktik pekerjaan sosial, baik
di lingkup mikro, makro, dan pekerjaan sosial klinis, berkaitan
dengan kebijakan sosial yang diambil oleh pemerintah.70 Pem-
berdayaan komunitas tidak bisa dilepaskan dari keberadaan
modal sosial, karena mempunyai sumbangan sangat penting
bagi pengembangan komunitas. Putnam (1993) menjelaskan
bahwa modal sosial bisa bekerja pada pemberdayaan komu-
nitas atau pengembangan komunitas di level internal dan
eksternal.

Pada level internal, bekerjanya modal sosial dapat diukur


dengan adanya kepercayaan (trust), perasaan sukarela untuk
melakukan sesuatu demi kelompoknya, serta keterikatan dalam
suatu komunitas, termasuk adanya toleransi dan kohesi sosial
tanpa politisasi.

Pada level eksternal, modal sosial bekerja dengan pilar


pendukungnya, yaitu human capital, financial capital, physical
dan cultural capital, serta natural capital. Kelemahan pada
salah satu pilar akan mempengaruhi bekerjanya modal sosial
pada level lain. Sejalan pemikiran di atas, Putnam (2000)
mempercayai bahwa modal sosial dapat diukur dengan
berbagai macam cara.

(a) Uses a composite indicator containing measures of:


Intensity of involvement in community andorganisational
life; public engagement (e.g. voting); voluntering; Informal

70. Adi, 2003.

45
socialising; nopolitization and reported levels of inter-personal
trust; (b) With associational membership more important for
tolerance and other indicators of socialcohesion, and trust
more important for economic outcomes; (c) Many prefer to use
a simple measure of social capital e.g. whether people think
other peoplecan, in general, be trusted, no preasure and no
politization and role of culture.71

Modal sosial hanya dapat diorganisasi ketika tiap individu


belajar dan mau mempercayai individu lain, sehingga mereka
mau membuat komitmen yang dapat dipertanggungjawabkan
untuk mengembangkan bentuk-bentuk hubungan yang saling
menguntungkan.72 Pendekatan dalam mengembangkan modal
sosial perlu menerapkan sosialisasi untuk membangun jaringan
sosial dan memperkuat kohesi sosial. Kohesi sosial akan
terbangun manakala ada trust, dan trust merupakan bentuk
modal sosial paling penting dibangun sebagai landasan dalam
membina kemitraan antara pemerintah dan masyarakat.

Namun, trust pun tidak akan memadai tanpa diimbangi


akuntabilitas dan transparansi, yang memberikan peluang bagi
stakeholders untuk mengawasi atau memverifikasi tindakan
atau keputusan yang dibuat pemerintah. Trust bersifat dinamis
karena dapat tumbuh dan sebaliknya dapat hilang manakala
mereka yang mendapat mandat kepercayaan ternyata tidak
dapat bertanggung jawab (tidak akuntabel) terhadap mandat
yang telah diberikan.

71. Putnam, 2000: 43.


72. Putnam, 1995.

46
Sesungguhnya, modal sosial dapat diukur dengan berbagai
dimensi. R. Liu, dan Terry Besser (2003) mengkaji secara kritis
konsep teoretis dan pengukuran modal sosial menggunakan
empat dimensi modal sosial, yakni hubungan sosial informal,
ikatan sosial formal, kepercayaan, dan norma-tindakan kolektif
dengan mengaitkannya melalui kesadaran komunitas berikut
partisipasinya dalam perbaikan sarana-sarana yang ada di
masyarakat perdesaan di Negara Bagian Iowa. Temuannya,
banyak anggota komunitas berusia lanjut terlibat aktif. Ikatan
informal dan kesadaran komunitas memiliki hubungan lebih
kuat dengan keterlibatan masyarakat terhadap kegiatan
komunitas setempat.

D. Peran Pemimpin Informal dalam


Pengembangan Komunitas
Masyarakat terus mengalami perubahan sosial dan pe-
mimpin, baik informal maupun formal, menjadi pendorong
terdepan terjadinya pembangunan. Pemimpin selalu muncul
dari anggota masyarakat dan mampu mengidentifikasi, meng-
hubungkan, serta mengorganisasi anggota komunitas dan
membangun modal sosial untuk kepentingan pembangunan.
Pemimpin yang muncul dari komunitas demikian disebut
pemimpin informal karena dapat menjadi agen pembangunan
atau agen perubahan sosial (agent of social change).
Dalam menjalankan tugasnya seorang pemimpin dapat
diidentifikasi melalui pola atau bentuk kepemimpinannya, misal
autokratis, demokratis, atau partisipatif; tugas dan tanggung
jawabnya; orientasi hubungan dengan komunitas yang

47
dipimpinnya; juga bisa dari sudut formal dan informalnya. Ada
pemimpin formal dan pemimpin informal. Pemimpin formal ada-
lah pemimpin yang mampu mempengaruhi orang lain melalui
cara-cara resmi dilandasi kekuasaan, misalnya pemimpin politik
atau pemimpin negara, serta pemimpin perusahaan.
Sementara pemimpin informal adalah pemimpin berlandas
kemampuan yang ada dalam dirinya, sehingga mampu secara
personal berdasarkan pengalaman, keterampilan, dan kemam-
puannya menjadi seorang pemimpin di level komunitas. Dalam
organisasi informal, hubungan antar-anggotanya diikat dalam
suatu kepercayaan dan bersifat informal. Keberadaan pemimpin
informal dalam suatu komunitas sangat penting, karena dapat
menggerakkan anggota komunitas mencapai tujuannya.
Leadership is the relationship in which one person, or the
leader, influences others to work together willingly on related
task to attain that which the leaders desire.73

Pemimpin informal adalah pemimpin yang tidak didasar-


kan atas pengangkatan dalam organisasi formal, tetapi lebih
didasarkan atas kemampuan seorang individu mengendalikan
masyarakat dan pengakuan anggota masyarakat secara suka-
rela tanpa ditentukan oleh kekuatan (power) dalam hierarki
organisasi.
Walgito (2002) menyatakan bahwa pemimpin informal
adalah pemimpin yang mempunyai batas-batas tertentu da-
lam kepemimpinanya. Ia memimpin kelompok informal yang
statusnya tidak resmi dan tidak didukung oleh seperangkat

73. Terry, 1997: 458.

48
peraturan-pertaturan tertulis, seperti pada kelompok atau
organisasi formal. 74 Selain itu, pemimpin informal, menurut
Darmaputera (2004), tidak memerlukan faktor legalitas, tetapi
lebih kepada faktor legitimasi. Artinya, walaupun tidak ada
kongres atau muktamar, maupun kegiatan lain untuk memilih
seorang pemimpin informal, namun masyarakat secara spontan
menerima dan memperlakukan yang bersangkutan sebagai
pemimpin mereka.
Jadi, pemimpin informal tidak ditetapkan dengan surat
keputusan tertentu, tetapi berdasarkan suara hati masyarakat
atau komunitas, sehingga ikatan antara pemimpin informal
dengan orang yang dipimpinnya tidak diatur secara resmi,
melainkan hubungan secara spontan, karena ada rasa hormat
dan cinta yang tidak dipaksa-paksakan.

Hubungan spontan antara pemimpin informal dengan


anggota komunitasnya, menurut Sarwono (2005), akan me-
nentukan keberhasilan kepemimpinannya.75 Pemimpin informal
mempunyai ciri kepribadian tertentu, sehingga menyebabkan
timbulnya kewibawaan pribadi dari pemimpin yang bersangkut-
an dan merupakan bakat, sifat, dan karisma khas dalam diri
pemimpin informal. Hal tersebut dapat diwujudkan dalam peri-
laku kepemimpinan informalnya.

Pemimpin informal dapat mempengaruhi keberhasilan


tujuan kelompok atau komunitas. Foster (2008) menjelaskan
tentang pemimpin informal sebagai berikut.

74. Walgito, 2002: 93.


75. Sarwono, 2005: 44.

49
Informal leader is a person who influences the behaviour
of others, even though he or she does not have a formal
position of authority. He or she is generally recognized by
peers to prosses some leadership capacity. Informal leader are
sometimes referred to as authentic leaders, servant leaders,
grassroots leaders, emergent leaders, volunteer leaders, or
community leaders.76

Atas dasar penjelasan Foster, keberadaan pemimpin


informal bisa di mana saja, ketika suatu komunitas ingin
mencapai suatu tujuan. Bisa di suatu komunitas perdesaan atau
perkotaan; di komunitas kecil maupun besar; komunitas yang
masih tradisional maupun yang sudah maju; komunitas petani,
industri, pegunungan, pesisir, dan lain sebagainya. Keberadaan
suatu komunitas sudah tentu memunculkan pemimpin informal,
apalagi suatu komunitas melaksanakan suatu kegiatan terkait
pengembangan komunitas.

Secara tradisional, terdapat tiga model kepemimpinan


di Indonesia. Kusnadi (2007) mengemukakan tiga model ke-
pemimpinan tradisional atau informal sebagai berikut.

1. Model Kepemimpinan Agraris Jawa


Model kepemimpinan ini berkonsentrasi dan bertumpu
pada konsep Paku Buwono. Dalam konsep ini, wilayah bawahan
ditentukan oleh kekuasaan pusat (kraton/raja). Bawahan hanya
sebagai pelengkap raja/kraton yang wajib memelihara kesetiaan

76. Foster, 2008:16.

50
dan kepatuhan mutlak. Kekuasaannya bersifat sentralistis dan
otoriter, namun semua warga merasa terayomi, sehingga
kekuasaan tetap memiliki sifat hakiki kerakyatan.

Demokrasi menurut pola ini adalah sentralitas bersifat


autokratis, yakni demokrasi integralistis dari segenap upaya
penataan masyarakat melalui keserasian, keseimbangan, dan
keselarasan. Segala pertentangan harus diserap ke dalam ke-
serasian, keseimbangan, dan keselarasan.

2. Model Kepemimpinan Melayu


Model kepemimpinan melayu (menjinjing alam) berdasar-
kan pada persekutuan kaum. Dalam pola ini, penataan keku-
asaan dan kepemimpinan kaum demokratis dan lebih terbuka
memungkinkan adanya perbedaan pendapat.

Kesatuan-kesatuan asli kaum memelihara tata cara penye-


lenggaraan kekuasaan dalam masyarakat yang demokratis.
Pola ini dapat dikatakan seperti demokrasi liberal yang amat
luwes.

3. Model Kepemimpinan Maritim


Model kepemimpinan maritim berbasis pada asas kapitan
laut atau nakhoda kapal/perahu, yakni suatu kepemimpinan
berdasarkan kemampuan dan prestasi untuk sampai ke puncak
piramida sosial.

Dalam kepemimpinan ini, hal yang diutamakan adalah


pengalaman, kemampuan, dan prestasi. Untuk mencapai pucuk

51
pimpinan, seseorang harus mempunyai kemampuan berjen-
jang, terutama dari anak tangga terbawah hingga pemimpin
perahu.

Keberhasilan kepemimpinan informal juga menentukan ke-


berhasilan di suatu lembaga formal, seperti di sekolah. Falmer
(2011) menyebutkan bahwa kehadiran model kepemimpinan
informal menyertai kepemimpinan formal di sekolahan. Seorang
guru tidak hanya bertindak sebagai seorang pemimpin formal
agar bisa menjalankan misinya, tetapi sekaligus melekat dalam
dirinya kepemimpinan informal. Oleh karena itu, adanya faktor-
faktor yang dia sebut sebagai unsur budaya sekolah dan mo-
tivasi kepemimpinan informal guru dalam menerima tanggung
jawab di luar yang telah ditentukan oleh lembaganya.

Hal ini menunjukkan bahwa sangatlah penting pemimpin


dan kepemimpinan informal di dalam lingkup sekolahan
untuk mencapai tujuan organisasi, meskipun sesungguhnya
lembaga resmi atau formal seperti sekolahan telah memiliki
pemimpin formal, yakni kepala sekolah dan wakil-wakilnya.
Komunitas perguruan tinggi juga dipengaruhi kepemimpinan
informal. Guy (2005) mengatakan, kepemimpinan informal di
kampus memainkan peran sangat penting dalam transformasi
kelembagaan. Model yang ditawarkan adalah kepemimpinan
kolektif informal (informal kolegial) di lingkungan kepemimpinan
lingkup fakultas. Meskipun tidak dirancang secara formal,
kepemimpinan informal sangat mempengaruhi penentuan
kurikulum fakultas. Model kepemimpinan demikian lebih
diterima oleh civitas akademika, baik sesama dosen, dosen
dengan mahasiswa, atau dosen dengan karyawan, daripada

52
kepemimpinan formal yang kesemuanya dilandasi aturan
bersifat formal.

Secara khusus, dalam komunitas kecil di lingkungan pro-


gram studi, kepemimpinan informal dapat mempengaruhi ke-
berhasilan seorang mahasiswa. Tung-Yuang (2007) membahas
peran pemimpin program studi melalui penggunaan teori
modal sosial yang dimiliki seseorang dan modal sosial dalam
kampus. Sebuah peran penting dari pemimpin program studi
di dalam kampus ini secara informal adalah mengorganisasi
modal sosial pribadi dan kelompok dari siswa yang berstatus
sosial ekonomi rendah untuk mencapai prestasi akademik
tinggi.

Pemimpin program studi secara informal mengadopsi


beberapa strategi untuk memobilisasi dan menjembatani
sumber luar modal sosial individu agar bisa digunakan untuk
meningkatkan kapasitas seorang siswa. Siswa dengan kondisi
sosial ekonomi rendah yang didorong pemimpin program
dapat meningkatkan kapasitasnya, mencapai prestasi akademik
tinggi, dibandingkan dengan mereka yang tidak mengikuti
program peningkatan kapasitas siswa.

Dalam komunitas lebih luas, pemimpin informal mem-


pengaruhi suatu keberhasilan dalam sosialisasi suatu pro-
gram tertentu. Washington-Otombre (2010) menemukan peran
pemimpin informal dalam lembaga lokal yang dapat mem-
berikan pemahaman terhadap rumah-tangga (household)
untuk melakukan respons (tanggapan) terhadap perubahan
lingkungan. Perubahan lingkungan itu mencakup perubahan
iklim dan kondisi wilayah yang berbeda-beda dalam rangka

53
pengembangan komunitas. Pemimpin informal dan lembaga
lokal sangat penting keberadaannya dan mempunyai peran
penting di dalam wilayah perdesaan yang berada di lereng-
lereng pegunungan Kenya. Pemimpin informal dapat berperan
secara aktif dan tanpa lelah, sehingga bisa diterima oleh
anggota masyarakat setempat. Akhirnya, anggota komunitas
dapat memahami kondisi lingkungan, sehingga terjadi
kesadaran dalam melakukan rehabilitasi lingkungan.

Pengembangan komunitas juga dilakukan pemimpin


informal, yakni mengembangkan model pengembangan ko-
munitas dengan menguji peran pentingnya pemimpin informal
sebagai agen perubahan sosial (agents of social change). 77
Dalam praktik pembangunan, pemimpin informal dapat menjadi
agen perubahan sosial yang dilakukan dengan baik, karena
mampu memberikan dorongan kuat terhadap pembangunan
komunitas, di mana pembangunan itu dilaksanakan.

Foster (2008) menguji tantangan yang harus dihadapi


oleh pemimpin informal dalam melakukan transformasi di tiga
komunitas perdesaan di Filipina. Hasilnya, pemimpin informal
mempunyai posisi unik dalam kerangka perspektif perubahan
sosial di tingkat komunitas dan dapat digunakan sebagai strategi
pengembangan komunitas.78 Hal ini disebabkan kemampuan
secara individu yang tidak diragukan dan anggota komunitas
sangat respek terhadap perubahan sosial yang dibawa atau
ditransformasikan pemimpin informal. Selain itu, dalam diri

77. Foster, 2008.


78. ibid, 2008: 3.

54
pemimpin informal melekat (inherent) trust, kepemimpinan,
pendidik, dan dapat memberikan inspirasi, sehingga
warga komunitas melakukan apa yang ditransformasikan
kepadanya.

Keberhasilan suatu program pembangunan juga sangat


ditentukan oleh keterlibatan pemimpin informal di wilayah
perdesaan.79 Keterlibatan pemimpin informal dipengaruhi basis
dan modal sosial yang dimilikinya. Modal sosial merupakan
basis dominasi yang dimiliki seorang pemimpin informal untuk
mempengaruhi orang lain, serta memperjuangkan posisi atau
sesuatu yang diinginkan.

Pemimpin informal adalah individu yang mempunyai tujuan


dan maksud yang ditunjukkan dalam bentuk tindakan, yakni
mempengaruhi masyarakat sekitarnya secara efektif. Besarnya
pengaruh dari tindakan tersebut dipengaruhi modal sosial
yang dimiliki pemimpin informal. Dalam komunitas tradisional,
pemimpin informal mempunyai peran yang penting. Menurut
Sudibyo (2006), pengambilan keputusan komunitas perdesaan
dengan tipe kepemimpinan paternalistik ternyata sangat
dipengaruhi oleh tingginya peran pemimpin informal.80

Dalam masyarakat perdesaan yang masih memegang


budaya paternalistik, pemimpin informal mempunyai peran vital
dan sentral dalam menentukan segala arah dan perkembangan
kehidupan komunitas atau masyarakatnya. Apa pun yang
dikatakan dan diinginkan pemimpin informalnya akan diikuti

79. Barlan, 2011.


80. Sudibyo, 2006: 10.

55
sepenuhnya tanpa dipikirkan (taken for granted) anggota ko-
munitasnya. Jika ada suatu keinginan dari pemimpin informal
dalam rangka pengembangan komunitas misalnya maka untuk
pelaksanaan kegiatan sosial dalam komunitas semacam itu
masih lebih efektif menggunakan sistem komando pemimpin
informal daripada menggunakan jalur komando pemimpin
formal. Selain itu, pemimpin informal mempunyai banyak
prakarsa, terutama berkaitan dengan upaya melestarikan
ekosistem lingkungan.

Ginting (1999) menambahkan, peran pemimpin informal


yang besar tidak hanya dalam merencanakan suatu kegiatan
pembangunan dengan memobilisasi modal sosial setempat,
tetapi sampai ikut serta dalam melaksanakan dan menjaga
hasil pembangunan di komunitas. Sulaksana (2002) menam-
bahkan, peran pemimpin informal terhadap keberadaan dan
keberlanjutan Gabungan Koperasi Kelompok Petani (Gapoktan)
sawah dalam komunitas perdesaan menentukan keberhasilan
kelompok tersebut.

Sementara itu, di masyarakat modern pun seperti di Je-


pang, keberadaan pemimpin informal masih sangat penting
dan menentukan. Banyai (2009), menulis bahwa di Jepang,
meskipun masyarakatnya telah mengalami kemajuan luar biasa
dan modern, ada suatu komunitas kecil di Pulau Himeshina yang
masih sangat dipengaruhi pemimpin informal mereka.81 Banyai
mengemukakan bahwa pemimpin informal mempunyai peran
besar dalam merancang dan mengimplementasikan kegiatan di

81. Banyai, 2009: 243-260.

56
level komunitas kecil tersebut, sehingga dapat berhasil dengan
baik dalam usaha melestarikan lingkungannya.

Komunitas di pulau kecil tersebut, sebagian besar menjadi


nelayan dan dengan melestarikan lingkungan mereka, hasil
tangkapan ikan terus dapat dipertahankan, sehingga dapat
mensuplai kebutuhan akan ikan di kota-kota besar Jepang.
Selain itu, pemimpin informal mampu mendorong munculnya
inisiatif warga masyarakat untuk mencapai visi ke depan
komunitasnya, sehingga mereka mampu menyadari tujuan
dari komunitas. Anggota komunitas pun mengikuti apa yang
menjadi tujuan pemimpin informalnya, karena apa yang di-
transformasikan sesuai kebutuhan hidup mereka.

Pemimpin informal disebut pula komunikan pembangunan,


yakni sebagai mediator atau komunikator dalam proses ko-
munikasi pengembangan komunitas di wilayah perdesaan,
khususnya di kawasan Pesisir Utara Jawa.82 Pada kenyataannya,
kemampuan pemerintah dalam menyediakan prasarana di
perdesaan sangat terbatas, sedang partisipasi masyarakat tidak
selalu muncul dengan sendirinya. Oleh karena itu, perlu terus-
menerus didorong melalui kegiatan komunikasi pembangunan.
Pemimpin informal sangat dibutuhkan dan berperan penting
dalam proses komunikasi pembangunan, juga merupakan
stakeholders pembangunan perdesaan.

Pemimpin informal mampu mengkomunikasikan pe-


ngembangan komunitas melalui pembangunan, yakni melalui

82. Mahmud, 2007.

57
tahapan kegiatan komunikasi sejak perencanaan, pengorga-
nisasian, penggerakan, hingga pengawasan pembangunan.
Sebagai komunikator dan mediator, ia dapat berperan men-
dorong terjadinya forum-forum kegiatan di perdesaan, sehingga
warga berperan serta (partisipasi) secara aktif di berbagai
kegiatan pengembangan komunitas. Sebagai komunikator dan
mediator, pemimpin informal mampu berperan secara persuasif,
dialogis, dan deliberatif terhadap komunitas perdesaan
dalam mengkomunikasikan program-program pembangunan
perdesaan.

Pemimpin informal di wilayah Kampung Ternak Kabupaten


Pandeglang, Provinsi Banten, berperan dijadikan pintu masuk
(entry point) dalam pengembangan komunitas di kawasan
penyangga hutan. 83 Keberhasilan program kampung ternak
sangat erat kaitannya dengan faktor-faktor sosial-budaya, yakni
kultur dasar masyarakat Banten, kepemimpinan lokal, serta
pola dan proses pengambilan keputusan. Dalam penerapan
pengembangan kampung ternak tersebut sangat ditentukan
oleh peran pemimpin informal di suatu kawasan tertentu.
Pemimpin informal dapat berperan mempercepat keberhasilan
pengembangan kampung ternak secara berkelanjutan, yaitu
berperan sangat efektif dan disegani oleh seluruh anggota
masyarakat perdesaan. Oleh karena itu, pemimpin informal
bisa digunakan sebagai celah masuk (entry point) yang perlu
diperhatikan dalam mendukung penerimaan program kampung
ternak yang sifatnya dari atas (top-down).

83. Suradisastra dan Priyanto, 2011.

58
Pemimpin informal di wilayah Kasepuhan Cicarucub
Kabupaten Lebak disebut dengan pemimpin adat atau olot.84
Model kepemimpinan ini didasarkan pada adat-istiadat yang
telah menjadi tradisi, mencakup kepercayaan, aturan atau
norma, dan pantangan. Pengaruh olot sangat besar dan
berperan penting dalam keseluruhan kehidupan komunitas.
Hubungannya dengan warga sangat kuat dan terjalin secara
harmonis. Olot menjadi panutan warga; tempat meminta
pendapat mengenai berbagai kegiatan sosial, terutama yang
berkaitan dengan pertanian dan lingkungan hidup sekitarnya;
dan menjadi pemimpin informal seumur hidup.

Secara umum, Sulasmi (2008) menjelaskan bahwa


pemimpin formal dan pemimpin informal sangat berperan
dalam kelompok masyarakat. Pemimpin informal khususnya
harus kooperatif dalam memperkokoh dan memperbesar
semangat kerja sama di antara anggota kelompok, demikian
juga anggota dalam suatu komunitas. Hal tersebut berkaitan
dengan sikap yang harus dimiliki seorang pemimpin informal,
yakni mengutamakan pentingnya pertemuan, baik secara
formal atau pun informal. Pemimpin informal dapat bertukar
pendapat, berarti menunjukkan seorang pemimpin yang
memiliki kemampuan untuk bertukar pikiran dan mengatasi
berbagai macam persoalan.

Hubungan kooperatif demikian dapat membangun ke-


kuatan bersama yang sinergis secara vertikal dan horizontal,
antara pemimpin dan pengikutnya, maupun di antara anggota

84. Merlina, 2008..

59
kelompok masyarakat. Dengan berlandaskan hubungan
kooperatif secara vertikal akan memperbesar kapasitas kedua
belah pihak, sehingga menghasilkan sesuatu yang lebih
besar, daripada bila kekuasaan hanya berpusat dan bertumpu
pada atasan. Demikian pula, hubungan kooperatif secara
horizontal akan memperbesar semangat kerja sama dan saling
menghormati serta menghargai, sehingga dapat membentuk
kekuatan yang luar biasa dalam komunitas.

Rostiyati (2009) menyebut pemimpin informal dalam ma-


syarakat Baduy, sebagai pemimpin adat atau Puun. Komunitas
atau masyarakat setempat sangat tergantung pada pemimpin
adat tersebut, karena warga komunitas meyakini bahwa pe-
mimpin adat mempunyai kemampuan dan kelebihan tertentu.
Selain itu, masyarakat percaya bahwa kehadiran pemimpin
adat (pemimpin informal) dapat berperan memberikan kete-
nangan dan harmoni dalam komunitasnya. Pemimpin adat
dapat merepresentasikan masyarakat untuk berhubungan
dengan leluhur mereka, sehingga ia merupakan mediator
antara masyarakat dengan leluhurnya. Dengan demikian, pe-
mimpin informal mempunyai kedudukan dan peran penting,
karena dapat berperan sebagai pemimpin masyarakat dalam
hukum adat dan melindungi tradisi leluhur. Selain itu, sebagai
figur yang berperan sebagai mediator pemerintah di bidang
sosial dan adat.

Selain sebagai mediator, Patton (2005) mengatakan, pe-


mimpin informal dapat berperan menjadi fasilitator, artikulator,
dan motivator. Pola kepemimpinan efektif dari pemimpin infor-
mal turut berdampak pada pelaksanaan pembangunan desa.

60
Hal tersebut dapat diukur dari adanya beberapa hasil pem-
bangunan desa yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Pemimpin informal dapat berperan membantu kelompok (ko-
munitas) dalam mencapai tujuannya; memungkinkan para
anggota memenuhi kebutuhannya; mewujudkan nilai kelompok
di mana pemimpin informal merupakan personifikasi dari nilai,
dan aspirasi dari anggotanya; merupakan pilihan para anggota
kelompok untuk mewakili pendapat mereka dalam berinteraksi
dengan pimpinan yang lebih tinggi; serta merupakan seorang
fasilitator yang dapat menyelesaikan konflik kelompok.85

Peran pemimpin informal dalam pembangunan desa


sangat beragam. 86 Dalam komunitas yang anggotanya
mayoritas beragama Islam, tercipta hubungan harmonis antara
pemimpin informal dengan masyarakat. Dalam masyarakat
agamis demikian, pemimpin informal adalah Kyai atau ahli
di bidang agama dan mempunyai pondok pesantren. Kyai
biasanya diperankan pemerintah dalam menggalang dan
memotivasi anggota komunitas, sehingga terjadi kesadaran
anggota komunitas terhadap pemerintah. Selain itu, berperan
menyadarkan warga akan kewajiban membayar pajak, maupun
dalam memberikan sumbangan pemikiran mengenai proses
perencanaan pembangunan perdesaan.

Kyai sebagai pemimpin informal merupakan sosok kreatif


dan penuh ide atau gagasan yang dapat memberikan sum-
bangan dalam pengembangan komunitas perdesaan. Sebagai

85. Pa on, 2005.


86. Provianto, 2005.

61
pemimpin informal, oleh banyak orang, Kyai diyakini mem-
punyai pengaruh kuat di komunitas dan mempunyai otoritas
kebenaran. Selain itu, Kyai mempunyai karisma luar biasa di
tengah komunitas, sehingga dianggap sebagai orang suci yang
dianugerahi berkah Ilahi.87

Karisma tersebut menyebabkan Kyai mempunyai otoritas


tunggal di tengah-tengah masyarakat dan mengental dalam
bentuk pola hubungan patron-klein yang terus berlanjut sam-
pai saat ini. Di samping itu, di tengah-tengah masyarakat, Kyai
mempunyai status sakral, sehingga pelecehan terhadap apa
yang disampaikan oleh Kyai atau melakukan sesuatu yang ber-
dampak pada ketidakhormatan merupakan perbuatan sangat
dilarang. Otoritas dan karisma Kyai di bidang keagamaan ter-
sebut berimbas pada pengaruh dan harapan akan peran yang
dilakukan Kyai pada masyarakat sebagai pemimpin informal,
terutama berkaitan dengan pengembangan komunitas.

E. Aspek-aspek Pemimpin Informal


Keberhasilan seorang pemimpin informal bukan hanya
ditentukan oleh posisi dan peran yang dilakukannya dalam
pengembangan komunitas, melainkan dipengaruhi oleh aspek-
aspek yang ada di dalam diri pemimpin informal maupun
kondisi sosial budaya komunitas. Salah satu aspek yang dapat
mempengaruhi keberhasilan pemimpin informal adalah asal
usulnya. Pemimpin informal merupakan pemimpin yang tumbuh

87. Sirodj, 2009.

62
dari komunitas setempat, sehingga disebut sebagai pemimpin
asli atau authentic informal leaders.

Aspek ini berpengaruh terhadap keberhasilan seorang


pemimpin, khususnya pemimpin informal dalam kerangka
pengembangan komunitas. Pemimpin demikian mempunyai
ciri berasal dari komunitas setempat, serta berdasarkan penge-
tahuan dan pengalaman, sehingga dalam bertingkah laku
sehari-harinya ditunjukkan untuk kepentingan komunitasnya.
Pada akhirnya, tingkah laku tersebut diikuti anggota pengikut-
nya dengan penuh kesadaran.88

Aspek lain, menurut Goffee dan Jones (1983), pemimpin


informal paling tidak membangun dan mengembangkan tiga
hal, yakni relational, non-hierarchical, dan contextual.89

Membangun relasional sama artinya membangun jaringan


(networking). Pemimpin informal komunitas bekerja bukan untuk
kepentingan diri dan atasannya, melainkan untuk kepentingan
komunitasnya. Sebagaimana hubungan sosial pada umumnya,
berdasarkan hubungan relasional, pemimpin informal asli harus
berhati-hati dalam bertindak. Bisa saja hubungan di antara
mereka mengalami masalah, baik di antara anggota komunitas
maupun anggota komunitas dengan pemimpin informalnya.
Kondisi demikian dapat memperburuk hubungan relasional
hingga berupa putusnya hubungan relasional tersebut.

Selanjutnya, aspek dari pemimpin informal lokal adalah


nonheirarchical. Dalam hal ini, pemimpin informal lokal dapat

88. Pescosolido, 2001; Kouzes & Posner, 1988.


89. Goee dan Jones, 1983: 1.

63
mengabaikan kondisi dan situasi struktural. Dalam istilah
lain, tidak membedakan antara anggota dengan pemimpin
dari sisi hierarki-struktural, tetapi lebih nonheirarchical.
Pemimpin informal dapat menempatkan diri di mana saja,
tidak tergantung posisi struktural yang dimiliki. Pemimpin
informal harus bertingkah laku sesuai kondisi dan situasi di
mana berada (contextual). Dalam komunitas, ia bisa berperan
sebagai pemimpin yang dapat menggerakkan pengembangan
komunitas dengan mendudukkan posisinya; di mana dan
kapan harus menjadi pemimpin dan kapan serta di mana dia
menjadi anggota kelompok dari komunitasnya.

Aspek lain yang dapat mempengaruhi keberhasilan


pemimpin informal lokal berkaitan dengan keberadaan atau
asal-usul posisi pemimpin tersebut. Aspek keberadaan dan
asal usul ini dapat dikatakan bahwa pemimpin informal pada
umumnya berasal dari akar rumput (grassroot leader).

Menurut Foster (2008), pemimpin informal akar rumput


adalah pemimpin yang keberadaannya tidak berasal dari
anggota komunitas lain, melainkan tumbuh dan bekembang
dari komunitas yang bersangkutan. 90 Pemimpin informal
akar rumput bukan hanya berarti bahwa yang bersangkutan
keberadaannya dari masyarakat setempat, tetapi juga menjadi
pemimpin di level paling bawah.

Model kepemimpinan akar rumput mengindikasikan bahwa


yang bersangkutan di tengah kehidupan komunitas dapat

90. Foster, 2008: 16.

64
menggerakkan anggota komunitas dalam proses pengem-
bangan komunitas. Status pemimpin demikian berarti sama
dengan anggota komunitas lain, sehingga mempunyai posisi
strategis. Dengan kondisi ini, pemimpin informal dan anggota
komunitas mempunyai kedudukan yang sama pula, sehingga
hubungan di antara mereka bersifat egaliter.

Foster melanjutkan, agar berhasil sebagai pemimpin infor-


mal, seseorang harus selalu membantu anggota komunitasnya,
sehingga dapat disebut sebagai pemimpin informal pembantu
(servant leader). Aspek pemimpin informal ini mengindikasikan
bahwa yang bersangkutan terus-menerus membantu anggota
komunitas yang menjadi bawahannya dalam menyelesaikan
segala persoalan. Pielsticks (2000) mengemukakan bahwa
pemimpin informal pembantu selalu berusaha membantu
orang lain. Secara alamiah, ia selalu membantu mereka yang
mengalami kesulitan. Keberhasilan seorang pemimpin informal
juga ditentukan tata cara melayani anggota komunitasnya.
Menurut Patterson (2003), aspek pemimpin informal disebut
pemimpin pembantu berciri to serve and serve first, visioner,
dedication, to work effective and to be exellence.

Selanjutnya, Patterson menegaskan bahwa pemimpin


informal pembantu dalam merealisasikan dan menerapkan
kepemimpinannya dilandasi dengan cinta (love), kerendahan
hati (humility), sifat yang lebih mementingkan orang lain (al-
truism), visi ke depan (vision), kepercayaan (trust), kewenangan
(authority), dan selalu memberikan layanan (services).

Sementara aspek lain dari pemimpin informal agar berhasil


menjalankan kepemimpinannya adalah kualitas dari pemimpin

65
itu sendiri. Aspek ini mencakup banyak hal berkaitan dengan
diri pemimpin informal. Menurut Maxwell (2011), aspek yang
mempengaruhi seorang pemimpin dalam menjalankan ke-
pemimpinan mencakup 21 hal, di antaranya karakter, karisma,
komitmen, tanggung jawab, disiplin, selalu mau belajar, dan
lain sebagainya.

66
BAB 3
DESA
PASAR BANGGI
KECAMATAN
REMBANG

Secara umum, Desa Pasar Banggi tidak berbeda dengan


wilayah lain di Kabupaten Rembang, terutama wilayah-wilayah
perdesaan berpesisir. Dengan wilayah pesisir, kehidupan
masyarakatnya banyak menekuni bidang pekerjaan sesuai
kondisi dan situasi. Beberapa pekerjaan yang ditekuni
komunitas pesisir adalah nelayan kecil, petambak, penyewa
tambak, buruh tambak, petani sawah, petani garam, buruh tani,
dan berbagai usaha ekonomi subsisten lain yang berkaitan
dengan kehidupan alam pesisir.

Secara khusus, Desa Pasar Banggi berbeda dengan wila-


yah lain, karena memiliki sabuk hijau berupa hutan mangrove.
Hutan tersebut membentang sejauh 3,5 kilometer dengan
ketebalan antara 65-150 meter. Hutan mangrove di desa ini
merupakan produk sosial dari hasil kegiatan pengembangan

67
komunitas yang dilakukan komunitas Desa Pasar Banggi. Hutan
mangrove tersebut sekarang menjadi kebanggaan mereka dan
masyarakat Rembang pada umumnya. Dibandingkan desa-
desa lain di sekitarnya, seperti Desa Tireman di sebelah barat
dan Desa Tritunggal di sebelah timur yang juga merupakan
desa berpesisir maka tampak di kedua desa tersebut hanya
beberapa batang pohon mangrove yang tersisa.

Keberadaan hutan mangrove dikenal masyarakat luas


sebagai salah satu wilayah perdesaan di Kabupaten Rembang
berpesisir yang masih peduli pada kelestarian lingkungannya,
terutama pemulihan dan kelestarian hutan mangrove. Desa
Pasar Banggi bukan hanya dikenal di Indonesia oleh kalangan
akademis (mahasiswa, dosen, peneliti) dan masyarakat luas pada
umumnya, tetapi juga masyarakat mancanegara yang tertarik
tentang keberadaan hutan mangrove hasil pengembangan
komunitas berbasis kearifan lokal (community development
local wisdom-based).

Berdasarkan ciri khas tersebut, Desa Pasar Banggi banyak


dikunjungi sebagai tempat studi banding berbagai kelompok
peduli mangrove dan lingkungan, penelitian mahasiswa dan
dosen, serta tempat rekreasi atau ekowisata masyarakat yang
berbasis lingkungan (tourism environmental-based), khususnya
hutan mangrove.

A. Keadaan Geografi
Desa Pasar Banggi merupakan salah satu desa berpesisir
di Kecamatan Rembang, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa

68
Tengah. Wilayah Kabupaten Rembang mempunyai beberapa
desa berpesisir di wilayah utara yang berbatasan dengan Laut
Jawa. Sedangkan wilayah Kabupaten Rembang terletak di ujung
timur Provinsi Jawa Tengah. Secara umum, kondisi tanahnya
berdataran rendah dengan ketinggian wilayah maksimum
kurang lebih 70 meter di atas permukaan air laut.91

Secara topografi, wilayah Kabupaten Rembang merupakan


daerah yang lengkap, karena mempunyai daerah berpantai
(berpesisir), dataran rendah, dataran tinggi, dan daerah pegu-
nungan. Pertanian sawahnya kebanyakan mengandalkan air
hujan (sawah tadah hujan). Pegunungan Kendeng di sebelah
selatan tergolong dalam kelompok pegunungan rendah dan
berbatuan gamping serta tidak banyak memunculkan sumber-
sumber mata air, sehingga sungai-sungai di wilayah Rembang
tergolong kecil dan tidak banyak yang digunakan sebagai
sumber pengairan sawah secara teknis.92

Dengan kondisi seperti itu, wilayah Kabupaten Rembang


lebih menekankan sumberdaya alam di wilayah pesisir dari-
pada di daratan. Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Desa Tasik
Agung merupakan TPI terbesar di Jawa Tengah bagian Timur.
Hasil tang kapan ikannya dapat mensuplai dan memenuhi
kebutuhan ikan dan sumberdaya laut lain di kota-kota lain
di Provinsi Jawa Tengah. Luas wilayah kabupaten Rembang
adalah 1014,08 km2 dan diapit oleh Laut Jawa di sebelah utara
serta Pegunungan Kendeng di sebelah selatan.93

91. Rembang Dalam Angka, 2012.


92. ibid.
93. ibid.

69
Secara topografi, ketinggian wilayah Desa Pasar Banggi
mulai dari 2 meter sampai dengan 10 meter dari permukaan
laut. Oleh karena itu, desa ini juga disebut sebagai desa pesisir.
Sebelah barat Desa Pasar Banggi berbatasan dengan Desa
Tireman, sebelah selatan Desa Padaran, sebelah timur Desa
Tritunggal, dan Laut Jawa di sebelah utara. Jarak desa ini
dengan pusat Kota Rembang sekitar 5 kilometer, sedangkan
dengan kantor Kecamatan Rembang sekitar 7 kilometer.94

Luas wilayah Desa Pasar Banggi 421 ha, terdiri dari


permukiman 36 ha, luas sawah tadah hujan 275 ha, perkebunan
7 ha, pekarangan 9 ha, tambak 72 ha, dan sarana-prasarana
umum desa 22 ha.95

Wilayah desa ini tergolong kering, karena sawah-sawah


yang ada merupakan sawah tadah hujan, sebagaimana wilayah
Kabupaten Rembang pada umumnya. Para petaninya tidak
mengandalkan hasil pertanian dari sawah mereka, tetapi lebih
mengandalkan hasil dari sumberdaya alam laut dan pesisir.
Sawah-sawah yang membentang di bagian selatan desa ini
banyak dimiliki oleh orang luar desa, termasuk orang yang
tinggal di Kota Rembang. Tanaman yang ada sebagian besar
berupa Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) dan sebagian lainnya
ditanami padi, mengandalkan pengairan air tadah hujan.

94. Monografi Desa Pasar Banggi, 2011.


95. ibid.

70
Tabel 3.1
Penggunaan Wilayah Desa Pasar Banggi

No. Penggunaan Luas Ha Persentase


1. Permukiman 36 8,57
2. Persawahan 275 65,48
3. Perkebunan 7 1,67
4. Kuburan (makam umum) 6 1,43
5. Pekarangan 9 2,14
6. Perkantoran 3 0,071
7. Prasarana Umum 12 2,86
8. Tambak 72 17,14
J u m l a h 421 100
Sumber: Monografi Desa Pasar Banggi 2011

Bagi anggota komunitas yang masih mempunyai tambak


mengandalkan hasil tambak dan merupakan penghasilan utama
bagi warga komunitas desa ini. Sebagaimana tanah pertanian
sawah, tambak-tambak yang ada juga sebagian dimiliki oleh
orang kota atau orang luar Desa Pasar Banggi. Sebagian tambak
yang dimiliki warga luar desa juga disewa anggota komunitas
Pasar Banggi untuk dikerjakan sebagai tempat budidaya ikan
bandeng dan udang di musim penghujan, sedangkan di musim
kemarau dijadikan tempat pembuatan garam rakyat.

Karena tidak semua anggota komunitas mampu menyewa


tambak, sebagian lain menjadi buruh tani tambak, baik di saat
budidaya ikan maupun pembuatan garam rakyat. Dengan
banyaknya anggota komunitas yang terlibat di dalam budi-
daya pertambakan, terutama pembuatan garam, di desa ini
ada Kelompok Usaha Garam Rakyat (KUGAR) yang selama

71
ini mendapatkan bantuan teknis dan pendanaan dari Dinas
Perindustrian Kabupaten Rembang.

Hasil produksi garam rakyat ini biasanya tidak langsung


dijual, tetapi ditempatkan di gudang-gudang garam milik warga
Desa Pasar Banggi. Jikalau harganya baik, dalam arti bahwa
harga dikurangi biaya produksi, petani garam mendapatkan
keuntungan, para petani akan langsung menjualnya. Namun,
jika harga masih rendah dibandingkan biaya produksi, garam-
garam tersebut disimpan sampai mencapai harga yang meng-
untungkan, baru dijual.

Pada umumnya, garam yang disimpan di gudang akan dijual


pada musim penghujan. Ketika itu stock garam di masyarakat
mulai berkurang dan harganya lebih baik dibandingkan dengan
musim produksi. Kenyataannya, petani garam di Desa Pasar
Banggi masih menggunakan teknologi tradisional, sehingga
hasil garam produksinya digolongkan sebagai garam konsumsi.
Jenis garam ini dianggap masih mempunyai kualitas rendah,
sehingga harganya berkisar antara Rp250 sampai Rp500 per
kilogram. Harga Rp500 per kilogram dianggap harga yang
paling baik dan menguntungkan petani, karena harga jual
dibandingkan dengan biaya produksi, petani mendapatkan
keuntungan memadai.

Bilamana harga hanya berkisar Rp250 sampai Rp300, se-


sungguhnya petani belum mendapatkan keuntungan. Mereka
menjual seharga itu di musim panen garam, ketika produksinya
melimpah sedangkan yang dibutuhkan (demand) sedikit atau
kecil. Itulah sebabnya, petani garam dan juga petani lain, selalu

72
menjadi korban perekonomian kapitalis. Dibentuknya kelompok
KUGAR (Kelompok Usaha Garam Rakyat) di desa ini tidak bisa
berbuat apa-apa untuk melawan sistem ekonomi kapitalis yang
banyak merugikan masyarakat kecil.

Sementara hasil panen bandeng atau udang, pada


umumnya setelah panen langsung dijual. Biasanya petani
tambak yang membudidayakan bandeng atau udang sebelum
panen telah menghubungi tengkulak yang bersedia menerima
hasil panen. Jika masih belum ada pembelinya, bandeng masih
terus dipelihara di kolam atau tambak sampai petani pemilik
bandeng atau udang tersebut mendapatkan pembeli dan
setelah itu barulah panen dilaksanakan. Ada kalanya petani
tambak yang membudidayakan bandeng dan udang tidak
perlu mencari pembeli. Model sekarang ini, para tengkulak
berkeliling mencari petani yang mau menjual hasil panen
tambaknya, baik berupa udang maupun bandeng.

Wilayah Desa Pasar Banggi di sebelah selatan jalur Pantura


merupakan pekarangan kering, sementara di bagian utara
jalan merupakan sawah-sawah tadah hujan dan tambak.
Sebagaimana wilayah pesisir pada umumnya, tambak-tambak
petani membentang luas antara rumah-rumah permukiman
penduduk dengan bentangan hutan mangrove buatan (man-
made environment) hasil pembudidayaan anggota komunitas
setempat.

Luas hutan mangrove tersebut sekitar 60 Ha dan me-


rupakan pelindung alami dari abrasi dan gelombang air laut
bagi tambak-tambak. Tambak merupakan aset utama komunitas

73
desa karena dapat dibudidayakan sepanjang tahun. Sawah
digunakan untuk budidaya pada musim hujan dengan ditanami
padi, dan tanaman pertanian lain pada musim kemarau,
sehingga sawah tersebut disebut sawah tadah hujan.

B. Komunitas Desa Pasar Banggi


Desa Pasar Banggi terdiri dari dua dusun, yakni Dusun
Pasar Banggi dan Dusun Kaliuntu. Desa ini memang tergolong
desa kecil. Sebagaimana bagian dari suatu desa dalam
wilayah kota di tempat lain pada umumnya di Pulau Jawa
yang mengarah menjadi bagian dari perkotaan, namun Desa
Pasar Banggi sampai sekarang ini masih menunjukkan kondisi
alam perdesaan masyarakat pesisir yang mewarnai denyut
kehidupan sehari-hari komunitasnya.

Para petani tambak (ikan, udang, dan garam), buruh


tambak, petani sawah, buruh tani, nelayan kecil, dan berbagai
kehidupan sektor informal alam pesisir menjadi ciri khas warga
masyarakat Desa Pasar Banggi. Mereka menghiasi wajah
desa ini sehari-hari dengan berbagai bentuk kegiatan non-
formalnya.

Pola permukiman di antara dua dukuh di Desa Pasar


Banggi juga menunjukkan dua pola yang berbeda. Pola
permukiman Dusun Krajan atau Dusun Pasar Banggi khas
kehidupan komunitas pesisir, yakni rumah-rumah kecil yang
berimpitan sangat padat berikut atribut lain seperti jemuran
jaring penangkap ikan di sekitar rumah maupun tong-tong
plastik tempat hasil tangkapan ikan nelayan.

74
Sistem sanitasi lingkungan Dusun Pasar Banggi belum
memadai. Di sekitar permukiman digenangi air laut dan air
tambak sepanjang tahun. Bahkan di musim-musim rob (air laut
naik) banyak rumah di perkampungan Dusun Pasar Banggi
dimasuki air laut. Sebelah utara permukiman, berjajar perahu-
perahu nelayan tradisional berbagai ukuran dan berwarna-
warni sebagai ikon kehidupan komunitas pesisir.

Dusun Kaliuntu lebih berwajah pola permukiman pertanian


tambak, yakni lebih menyebar dan tertata rapi. Rumah-rumahnya
lebih besar dan layak huni serta fasilitas sanitasi lingkungan
tersedia cukup memadai. Pada dusun ini tidak ditemukan
perahu sebagaimana Dusun Pasar Banggi. Dusun ini lebih
banyak ditandai dengan kehidupan petani tambak, yakni alat-
alat untuk mengerjakan berbagai kegiatan di area tambak.

Mesin disel pompa air, kipas angin besar dari kayu


(kincir kayu), dan berbagai alat lain, serta gudang-gudang
garam menjadi ciri khas Dusun Kaliuntu. Hamparan tambak
berbagai ukuran luas sampai dibatasi oleh hutan mangrove
(bakau) tampak di belakang rumah-rumah penduduk di Dusun
Kaliuntu.

Warga komunitas Dusun Kaliuntu lebih menunjukkan desa


pesisir yang berhubungan dengan pembudidayaan ikan, udang,
dan pembuatan garam sebagai petani tambak. Banyak berdiri
gudang-gudang kecil di belakang perumahan warga untuk
menimbun hasil pembuatan garam di musim kemarau.

Desa Pasar Banggi tidak terlalu jauh dari Kota Rembang


dan merupakan bagian dari Kecamatan Kota Rembang serta

75
dilewati jalur utama Pantura (Pantai Utara Jawa) antara
Semarang-Surabaya. Setiap hari, selama 24 jam, berbagai
kendaraan besar dan kecil hilir-mudik melewati desa ini.

Desa Pasar Banggi termasuk desa swasembada namun


tidak mengalami perubahan sosial budaya drastis. Kehidupan
alam perdesaan mewarnai semua sudut desa pesisir dengan
berbagai jenis kegiatan masyarakat, baik yang bekerja di
pertambakan dengan segala atributnya dan nelayan kecil
dengan perahu-perahu kecil berjajar beraneka warna serta
ukuran menghiasi pantai Desa Pasar Banggi.

Sebagai desa di kawasan pesisir, Desa Pasar Banggi


mempunyai Tempat Pelelangan Ikan (TPI) tersendiri. TPI di
desa ini telah berdiri dan beroperasi sebagai tempat pelelangan
ikan bagi nelayan setempat sejak 1995 lalu. Namun, dengan
semakin terbatasnya kemampun mencari ikan bagi nelayan
yang masih tradisional dari Desa Pasar Banggi, TPI tersebut
tidak digunakan lagi sebagai transaksi jual-beli ikan. Hal ini
berkaitan dengan kemampuan nelayan dalam mencari ikan di
laut yang kalah dibandingkan kemampuan dan keterampilan
serta peralatan yang canggih dari kapal besar pencari ikan.
Kapal-kapal besar, bukan hanya menjadi pesaing utama kapal-
kapal tradisional, tetapi peralatan yang canggih telah menguras
habis sumberdaya laut.

Perahu-perahu atau kapal-kapal besar tersebut dimiliki


pengusaha besar di Pelabuhan Tasik Agung Kota Rembang.
Para nelayan kecil di Desa Pasar Banggi sekarang ini banyak
yang bekerja pada perahu-perahu besar tersebut, karena lebih

76
menjanjikan pendapatan yang diperoleh daripada mencari
ikan sendiri. Perahu mereka yang rusak dibiarkan dan tidak
diperbaiki. Mereka lebih senang menjadi pekerja nelayan pada
perahu-perahu besar.

Banyak nelayan tidak melaut karena biaya operasional yang


harus dikeluarkan dengan hasil tangkapan tidak seimbang.
Bahkan banyak perahu nelayan di Pasar Banggi yang dibiarkan
rusak tidak diperbaiki. Sebagian nelayan telah bergabung
dengan pemilik perahu besar. Mereka mencari ikan di laut
lepas yang memerlukan waktu berminggu-minggu hingga
sebulan penuh, kemudian baru kembali ke pelabuhan.

Persaingan yang tidak sehat ini menjadikan hasil nelayan


kecil terus menurun dan akhirnya berdampak pada sepinya
Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Desa Pasar Banggi. TPI tersebut,
yang beberapa tahun lalu mejadi ikon desa, tetapi sekarang
sekadar ikon tanpa makna, karena kegiatan pelelangan ikan
tidak bisa dilihat di tempat tersebut. Bahkan berbagai sudut
dari TPI telah banyak yang rusak dan dibiarkan tanpa ada
upaya perbaikan.

Selain TPI, ikon lain dari desa Pasar Banggi adalah hutan
mangrove buatan sepanjang 3,5 kilometer di pesisir wilayah
utara desa. Keberadaan hutan mangrove ini bukan alamiah,
tetapi hasil kegiatan pengembangan komunitas (community
development) warga komunitas setempat. Hutan mangrove
menjadi sabuk hijau (greenbelt) di wilayah pesisir desa dan
menjadi ikon alami Desa Pasar Banggi.

77
Gambar 3.1
Hutan Mangrove sebagai
Sabuk Hijau (Greenbelt) Desa Pasar Banggi

Sumber: Foto pribadi tahun 2013

Asal mula kegiatan tersebut dilakukan oleh seseorang yang


peduli pada kerusakan tambak dan abrasi air laut terhadap
lingkungan di sekitarnya. Ia melakukan kegiatan penanaman
batang-batang mangrove di perbatasan tanggul tambaknya
sendiri. Penanaman batang-batang mangrove tersebut dimulai
sejak 1964. Setelah beberapa tahun, upaya tersebut menuai
hasil positif, yakni terlindunginya tambak yang ia miliki dari
gempuran gelombang laut dan abrasi, karena tanggul tam-
baknya ditanami mangrove. Selanjutnya, ia mengajak orang
lain untuk melakukan hal sama, yakni menanam bibit-bibit
mangrove secara bersama-sama di seluruh area wilayah pesisir
Desa Pasar Banggi sampai sekarang.

78
Kegiatan anggota komunitas yang melakukan penanaman,
penyulaman, pemeliharaan, perlindungan, dan pelestarian
mangrove sekarang dapat dilihat hasilnya, yakni kawasan
pesisir desa tertanami dan terlindungi hutan mangrove. Oleh
karena itu, mulai 1968 sampai sekarang, hutan mangrove
dikatakan sebagai ikon abadi Desa Pasar Banggi. Setiap kali
orang menyebut Desa Pasar Banggi, bukan TPI yang mereka
kenal, tetapi hutan mangrove yang membentang sebagai sabuk
hijau (greenbelt) di desa tersebutlah yang banyak dikenal.
Orang-orang akan selalu teringat di dalam benak mereka
masing-masing bahwa Desa Pasar Banggi adalah desa dengan
hutan mangrove.

Apabila melewati jalur Pantura antara Semarang-Surabaya


menggunakan kendaraan, akan tampak plangboard besar di
Dusun Kaliuntu bertuliskan Kawasan Konservasi Mangrove.
Setelah memasuki dusun tersebut dan berada di tengah-tengah
Dusun Kaliuntu juga terpasang plangboard Dilarang Merusak
Lingkungan di Kawasan Hutan Mangrove. Berbagai plangboard
tersebut menunjukkan bahwa desa tersebut merupakan desa
yang peduli dengan hutan mangrove. Keberadaan mangrove
sangat diperlukan sebagai bagian penting lingkungan di
komunitas pesisir desa.

79
Gambar 3.2
Desa Pasar Banggi sebagai
Kawasan Konservasi Hutan Mangrove

Sumber: Foto pribadi tahun 2013

Sesungguhnya, hutan mangrove yang menjadi pelindung


abrasi, peredam tsunami, dan menyediakan berbagai sumber-
daya alam tersebut merupakan jerih payah kegiatan anggota
komunitas Dusun Kaliuntu. Bahkan sekarang ini, Dusun Kaliuntu
menjadi lebih terkenal bila dibandingkan dengan Desa Pasar
Banggi. Jika membicarakan hutan mangrove, bisa dipastikan
berhubungan dengan Dusun Kaliuntu. Oleh karena itu, Dusun
Kaliuntu menjadi terkenal dengan ikon hutan mangrove tersebut.

Dusun Kaliuntu mempunyai Kelompok Tani Tambak ber-


nama Sidodadi Maju yang berdiri tahun 1972. Kelompok ini
merupakan kelompok tani yang bukan dibentuk pemerintah
(top-down), seperti layaknya BUUD, KUD, dan semacamnya.
Kelompok Tani Perikanan atau Tambak Sidodadi Maju berasal
dari aspirasi anggota komunitas itu sendiri yang peduli ter-

80
hadap kerusakan lingkungan tambaknya dengan melakukan
penanaman, penyulaman, perawatan, dan pelestarian pohon
mangrove mulai 1964 sampai sekarang.

Gambar 3.3
Plangboard Kelompok Perikanan Sidodadi Maju

Sumber: Foto pribadi tahun 2013

Organisasi lokal tersebut berasal dan diinisiasi oleh


masyarakat sendiri serta pengelolaannya dilakukan oleh
masyarakat bersangkutan. Oleh karena itu, organisasi ini bisa
disebut sebagai organisasi yang tumbuh, berkembang, dan
dikelola untuk kepentingan komunitas itu sendiri. Dengan
kondisi kelahiran seperti itu, lembaga sosial ini dapat disebut
sebagai organisasi yang tumbuh dari bawah (bottom-up) dan
bukannya dibentuk atas saran atau keputusan pemerintah.

Organisasi ini lahir dari kepedulian anggota komunitas


untuk menyelematkan aset-aset mereka. Tambak-tambak

81
merupakan aset yang menjadi sumber kehidupan anggota
komunitas setempat. Mereka menanam pohon mangrove agar
tanggul tambaknya tidak rusak dari abrasi dan gempuran
ombak air laut. Tanggul-tanggul yang ditanami bakau atau
mangrove dapat digunakan sebagai tempat budidaya. Oleh
karena itu, organisasi lokal ini bisa disebut sebagai indigenous
organization. Suatu organisasi dalam bentuk kelompok
beranggotakan petani tambak yang mempunyai kepedulian
terhadap pelestarian hutan mangrove.

C. Penduduk Desa Pasar Banggi


Jumlah penduduk desa ini tidak terlalu banyak, karena luas
wilayah desa yang hanya 421 ha dan jumlah dukuhnya yang
hanya dua buah. Jumlah kepala keluarganya hanya 855 dan
keseluruhan penduduknya 2945 jiwa. Dari jumlah penduduk
sebesar itu, laki-lakinya 1474 jiwa dan perempuannya berjumlah
1471 jiwa. Sedangkan kepadatan penduduknya 717 jiwa/km2.
Berdasarkan jumlah kepala keluarga dan jumlah jiwa dapat
diketahui bahwa tanggungan keluarga dari masing-masing
keluarga (anak) antara 1-2 anak.96 Suatu kondisi demografis
yang menunjukkan bahwa beban keluarga tidaklah terlalu
berat.

Desa Pasar Banggi tergolong desa yang mengalami


kerentanan kemiskinan, terutama komunitas di Dukuh Pasar
Banggi. Aset-aset berupa tambak dan tanah pertanian banyak
berada di Dusun Kaliuntu. Banyak aset komunitas Dusun Pasar

96. Monografi Desa Pasar Banggi, 2011.

82
Banggi merupakan aset komunal, yakni perairan laut. Laut
merupakan satu-satunya aset mereka yang tidak hanya dimiliki
sendiri, tetapi juga masyarakat luas. Itulah sebabnya, dukuh
tersebut lebih miskin dibandingkan dengan Dusun Kaliuntu.

Sebagai dukuh nelayan, anggota komunitas Dukuh Pasar


Banggi lebih banyak memanfaatkan potensi dan hasil dari
sumberdaya laut serta pesisir. Komunitas nelayan dukuh Pasar
Banggi merupakan suatu komunitas yang bermukin di kawasan
pesisir dan sangat tergantung hasil kerja dari laut. Oleh karena
itu, sangat rentan kehidupannya. Kondisi dan keberadaan laut
dan pesisir dapat mempengaruhi kehidupan mereka setiap
saat.

1. Pendidikan Komunitas Desa Pasar Banggi


Berikut tingkat pendidikan masyarakat Desa Pasar
Banggi.

Tabel 3.2
Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Pasar Banggi
No. Tingkat Pendidikan Jumlah Dalam %
1 Belum sekolah 49 01,66
2. Lulus pendidikan SD 2549 86,55
3. Lulus setingkat SLTP 201 06,83
4. Lulus setingkat SLTA 121 04,11
Lulus pendidikan Tinggi
5. 25 00,85
(Diploma dan S-1)
J u m l a h 2945 100,00
Sumber: Monografi Desa Pasar Banggi 2011

83
Gambaran pendidikan yang dimiliki masyarakat Desa
Pasar Banggi menunjukkan bahwa desa ini masih belum
mementingkan pendidikan dan keterampilan. Bagi mereka
yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi dan keterampilan
tertentu, melakukan migrasi ke daerah lain atau ke kota besar
untuk mencari pekerjaan. Tujuannya adalah untuk men-
dapatkan pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan dan ke-
terampilan yang mereka miliki. Sementara mereka yang masih
terus bertahan dan menekuni hidup di desa, berpendidikan
menengah ke bawah. Desa Pasar Banggi hanya ada berbagai
pekerjaan yang berkaitan dengan alam perdesaan berpesisir,
yakni berkaitan dengan tambak dan mencari hasil laut.

Meskipun tidak terlalu jauh dari Kota Rembang, tidak ada


instansi atau lembaga negara dan swasta yang bertempat di
desa ini. Oleh karena itu, mudah dipahami bahwa dengan
meng gantungkan kehidupan dari laut dan tambak, mereka
tidak memerlukan keterampilan tertentu sebagaimana peker-
jaan di sektor formal atau kantor-kantor. Pendidikan formal
di desa ini tidak begitu penting dan tidak diperlukan dalam
kegiatan sehari-hari. Mereka lebih mengandalkan pengalaman
dan pengetahuan orangtuanya untuk menjalani kehidupan
di bidang pertambakan, memelihara bandeng dan membuat
garam, serta mencari sumberdaya berupa ikan, udang, serta
lainnya di pesisir dan laut.

Desa Pasar Banggi memiliki sebuah lembaga pendidikan


Sekolah Dasar (SD) terletak berdekatan dengan kantor desa.
Anak-anak yang ada di Dusun Pasar Banggi menempuh

84
pendidikan di SD tersebut, sedangkan anak-anak yang berada
di Dusun Kaliuntu bersekolah di SD lain.

Ada lagi yang bersekolah di SD sebelah desa, yakni SD


Tireman dan bahkan ada yang disekolahkan di Kota Rembang.
Selain itu, untuk kepentingan pendidikan pra-sekolah, terdapat
dua buah PAUD, satu di Dukuh Kaliuntu dan lainnya di Dukuh
Pasar Banggi. Bagi mereka yang melanjutkan pendidikan ke
jenjang lebih tinggi seperti SLTP dan SLTA, banyak yang
bersekolah ke Kota Rembang. Sedikit orang yang kuliah di
perguruan tinggi swasta di Kota Rembang, sedangkan hanya
beberapa orang yang melanjutkan kuliah di Kota Semarang
dan kota terdekat lain.

2. Mata Pencarian
Masyarakat Desa Pasar Banggi Kecamatan Rembang
mempunyai variasi sangat beragam tentang jenis pekerjaan
yang ditekuni. Pekerjaan sebagai nelayan merupakan pekerjaan
yang banyak, yakni mencapai 694 orang atau 47,08 persen.
Sedangkan petani lahan kering dan buruh tani jumlahnya se-
banyak 118 orang atau 7,99 persen. Pekerjaan petani tambak
dan buruh tambak mencapai 59 orang atau 4 peresn. Jumlah
tersebut merupakan keseluruhan anggota petani tambak yang
ada di Desa Pasar Banggi. Jumlah jenis pekerjaan lain, seperti
PNS, pedagang keliling, montir, pedagang kecil, buruh pabrik,
sangatlah kecil.97

97. Monografi Desa Pasa Banggi, 2011.

85
Petani sawah dan buruh taninya hanya berjumlah 118
orang. Hal ini tentu berkaitan dengan sawah yang ada di desa
ini hampir semuanya sawah tadah hujan, sehingga mereka
hanya bisa mengerjakan sawah untuk ditanami padi di musin
hujan. Selebihnya, dibiarkan tanpa tanaman apa pun, karena
memang sumber air sungai dan air tanah sulit didapatkan
untuk bisa digunakan mengairi sawah pertanian mereka.
Selain itu, banyak sawah mereka telah dijual kepada warga
komunitas desa lain untuk ditanami tebu, sementara pekerjanya
didatangkan dari daerah lain.

Petani tambak dan nelayan merupakan jumlah bidang


pekerjaan yang paling banyak dijalani oleh masyarakat Pasar
Banggi. Jumlah mereka yang bergelut dengan pertanian
tambak dan nelayan mencapai 753 orang (petambak dan
buruh tambak 59 orang dan 694 orang nelayan). Berkaitan
dengan kondisi alam wilayah pesisir pada umumnya, desa ini
menunjukkan dominasi pekerjaan yang berkaitan dengan dua
bidang tersebut.

Para petani tambak, khususnya di musim kemarau, yaitu


Bulan Juli sampai September, akan menggunakan tambak-
tambaknya untuk memproduksi garam rakyat, yakni garam
konsumsi. Pada berbagai sudut desa banyak ditemukan
gudang-gudang garam milik masyarakat. Sedangkan di musim
penghujan, tambak-tambak mereka ditebari berbagai jenis ikan,
seperti bandeng dan udang.

Bagi mereka yang mengandalkan hasil laut, hampir setiap


hari bisa melakukan pekerjaan melaut untuk mencari ikan. Bila

86
terjadi Musim Angin Barat (Desember-Februari), mereka tidak
bisa melaut, karena hambatan gelombang yang besar. Selain
Musim Angin Barat, hambatan lain adalah Musim Angin Timur
(Maret-Mei). Ketika itu akan terjadi hal sama, yakni gelombang
besar dan pasang, sehingga para nelayan tidak bisa menjalani
pekerjaannya mencari ikan di laut. Pada bulan-bulan itu, mereka
banyak yang tidak melaut. Ada yang memperbaiki jaring dan
banyak pula yang menganggur.

Meskipun ada berbagai jenis pekerjaan lain, seperti pe-


dagang keliling, peternak, montir, sopir, kernet, dan berbagai
usaha kecil lain, namun bidang pekerjaan masyarakat Desa
Pasar Banggi tidak begitu dominan bila dibandingkan dengan
pekerjaan yang berkaitan dengan pengelolaan tambak dan
mencari ikan di laut. Sesungguhnya, hutan mangrove yang
ada di wilayah ini memberikan varian pekerjaan tambahan,
yakni melakukan pembibitan mangrove dan juga mengolah
buah mangrove menjadi berbagai jenis makanan dan minuman.
Namun, usaha ini masih tergolong terbatas, karena masyarakat
belum mempunyai keterampilan yang diperlukan untuk mengo-
lah buah mangrove menjadi beraneka makanan dan minuman.
Selain itu, di sekitar kawawan hutan mangrove juga menghasil-
kan kepiting dan hasil laut lain. Bahkan sekarang ini, hutan
mangrove dijadikan tempat rekreasi bagi masyarakat.

C. Sosial-Ekonomi
Kondisi sosial ekonomi masyarakat Desa Pasar Banggi me-
rupakan pencerminan dari kehidupan alam pesisir. Kehidupan

87
masyarakat lebih banyak bergantung pada sumberdaya alam
yang tersedia di wilayah pesisir dan laut, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Oleh karena itu, kehidupan masyarakat
desa ini tidak terlepas dari denyut kehidupan alam pesisir,
mulai dari nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan
dan udang, petani pembuat garam, buruh pembuat garam,
pedagang ikan, pengolah ikan. Selain itu, ada penyedia sarana
produksi perikanan.

Kesemuanya merupakan kelompok subsisten, yang hasil


usahanya hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka
(makan dan pakaian) dalam rentang waktu pendek. Jumlah
mereka yang menggantungkan kehidupan pada sumberdaya
alam tambak, pesisir, dan laut mencapai 753 orang. Dengan
terus bertambahnya jumlah orang yang menyandarkan hidupnya
pada sumberdaya tambak, pesisir, dan laut, memberikan
tekanan terhadap keberlangsungan sumberdaya yang ada.
Sumberdaya ikan, misalnya, semakin sulit diperoleh. Selain
akibat kerusakan lingkungan laut yang terus terjadi, jumlah
nelayan pencari ikan yang semakin banyak mengakibatkan
pertumbuhan ikan lebih lambat dibanding dengan yang ikan
diambil para nelayan. Sekarang ini, banyak dirasakan para
nelayan sulit mencari ikan dan sumberdaya laut lainnya.

Selain itu, jumlah tambak tidak bertambah. Meskipun masih


mampu dipertahankan, luas tambak di Desa Pasar Banggi,
yakni 72 Ha, namun jumlah orang yang bekerja di pertambakan
juga terus bertambah. Akibat tidak tersedianya lapangan kerja
di sektor lain yang dapat menampung pertambahan tenaga
kerja, alternatif yang memungkinkan adalah menyerap limpahan

88
pertumbuhan tenaga kerja tersebut pada sumberdaya pesisir,
tambak, dan laut.

Contoh yang dialami oleh seorang buruh di pertambakan


dapat memberikan penjelasan mengenai kondisi sosial ekonomi
masyarakat. Buruh tambak yang bekerja sehari mendapatkan
upah sebesar Rp25 ribu sampai Rp30 ribu. Jika mereka bekerja
sebulan penuh, pendapatannya hanya sebesar Rp750 ribu
sampai Rp900 ribu. Angka tersebut masih di bawah ketentuan
Upah Minimum Kabupaten Rembang tahun 2014 yang dipatok
sebesar Rp985 ribu. Selain itu, buruh tambak di Desa Pasar
Banggi juga sulit mencari tambahan penghasilan lain dari
bidang di luar pertambakan.

Buruh tambak mengalami kesulitan ekonomi dan sangat


rentan, karena mereka tidak memiliki perlindungan sosial. Buruh
tambak tidak terlindungi dengan ketentuan upah minimum,
sehingga mereka tidak mungkin mendapatkan upah yang layak
sebagai buruh tambak. Penghasilan yang kurang dari Rp985
ribu, sesuai ketentuan Upah Minimum Kabupaten Rembang
sebulan akan menyulitkan mereka keluar dari lingkaran setan
kemiskinan. Buruh tambak akan melahirkan generasi buruh
tambak berikutnya, yang tidak memungkinkan mereka keluar
dari kemiskinan struktural tersebut.

Demikian pula, penghasilan nelayan kecil di Desa Pasar


Banggi tidak jauh berbeda dengan kondisi buruh tambak.
Nelayan kecil dihadapkan pada persoalan dilematis. Tidak
melaut berarti tidak mempunyai penghasilan, namun jika ter-
paksa melaut, biaya operasional yang harus ditanggung dan

89
hasil tangkapan ikan tidak sebanding. Misalnya, semalam
melaut, nelayan memerlukan bahan bakar 3 liter solar seharga
sekitar Rp16.500. Jikalau mendapatkan 2-3 kilogram udang
kecil seharga Rp30 ribu sampai Rp45 ribu, penghasilan
nelayan kecil banyak yang gulung tikar atau tidak melaut lagi.
Banyak di antara nelayan kecil ikut perahu besar yang ada di
Pelabuhan Tasik Agung di Kota Rembang sebagai buruh kapal
yang melaut menggunakan kapal besar dalam rentang waktu
berminggu-minggu sampai satu bulan penuh.

Buruh tambak dan nelayan kecil memasuki lingkaran setan


kemiskinan dari sisi lain, ditunjukkan perilaku yang berkaitan
dengan produktivitas kerja mereka. Hal ini banyak dialami
masyarakat pesisir dan komunitas Desa Pasar Banggi yang
lebih banyak menggantungkan kehidupannya dari sumberdaya
alam ekologis. Ketergantungan tersebut menimbulkan perilaku
kurang produktif dan kreatif dalam mengolah sumberdaya alam
yang ada. Malas dan kurang kreatif dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan mereka yang rendah, sehingga buruh tambak
dan nelayan kecil dapat dikatakan sebagai komunitas miskin
permanen.

Dengan penghasilan sangat sedikit, buruh tambak dan


nelayan kecil tidak bisa memberikan pendidikan kepada gene-
rasi berikutnya atau anak-anaknya ke jenjang pendidikan yang
lebih tinggi. Keadaan ini berdampak pada pendidikan dan
keterampilan anak-anak mereka. Pendidikan yang rendah dan
kurangnya keterampilan membuat mereka pada akhirnya hanya
bekerja di lingkup pertambakan sebagai buruh dan nelayan
kecil. Tidak ada pilihan lain yang memungkinkan mereka dapat

90
keluar dari lingkaran pertambakan dan laut sebagai upaya
meningkatkan taraf kehidupan.

Selain itu, masih dijumpai di dalam komunitas Desa Pasar


Banggi sebagai kawasan pesisir yang melekat atribut masya-
rakat pesisir, seperti tingkat pendidikan rendah, keterampilan
terbatas, gaya hidup, pengetahuan, adat, budaya, kepercayaan,
kesetiaan pada pandangan tertentu, berakibat pada sulitnya
masyarakat pesisir, khususnya buruh tambak dan nelayan kecil
yang sulit keluar dari jeratan kemiskinan yang dialami.

Jumlah penduduk yang belum lulus sekolah dasar (SD)


dan penduduk yang tidak lulus pendidikan dasar mencapai
jumlah 2549 orang atau 87 persen.98 Dengan kondisi tersebut,
kapasitas anggota komunitas sangat rendah, sehingga selalu
berputar dalam kehidupan kemiskinan. Kondisi pendidikan
tersebut berdampak pada kreativitas dan produktivitas yang
rendah, karena kualitas sumberdaya manusianya. Meskipun
banyak tersedia sumberdaya alam di sekitar mereka sebagai
aset, namun dengan kondisi sumberdaya dalam komunitas
pesisir, sebagaimana dialami masyarakat Desa Pasar Banggi,
akan sulit dimanfaatkan guna memperbaiki kehidupan. Saat ini,
kondisi lingkungan laut tidak kondusif lagi terhadap nelayan,
yakni berbagai kerusakan terumbu karang dan pencemaran
mengakibatkan sumberdaya alam laut berupa ikan dan udang
pun sulit didapatkan.

Buruh tambak dan nelayan kecil di Desa Pasar Banggi tidak


tersentuh semua kebijakan yang diambil pemerintah, misalnya

98. Monografi Desa Pasar Banggi, 2011.

91
yang berkaitan dengan kebijakan keuangan, perkreditan, dan
perundangan-undangan lain. Kebijakan lebih banyak berpihak
pada kelompok kaya dibandingkan dengan kelompok miskin,
terutama nelayan kecil dan buruh tambak yang tidak memiliki
aset. Dengan kondisi buruh tani dan nelayan yang merupakan
bagian terbesar dari bidang pekerjaan masyarakat pesisir di
Desa Pasar Banggi, akan terus mengalami keadaan kemiskinan
yang terus-menerus.

Gambaran kemiskinan buruh tambak dan nelayan kecil di


Desa Pasar Banggi dapat dilihat dari kondisi kehidupan mereka
sehari-hari. Dusun Pasar Banggi yang sering disebut dengan
Krajan, berpusat pemerintahan Balai Desa, masjid besar, dan
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskemas). Sementara Dusun
Kaliuntu menjadi ikon Desa Pasar Banggi dengan tambak dan
hutan mangrove yang membentang sepanjang 3,5 kilometer
di belakang rumah-rumah warga dan dapat dilihat dari jalan
besar.

Dari kondisi ekonominya, dua dukuh mencirikan karakter


berbeda. Dilihat dari perumahan yang ada, Dukuh Kaliuntu
lebih tampak bagus dan ada kesan bahwa kondisi ekonomi
masyarakatnya lebih baik. Rumah-rumah yang ada tergolong
besar dengan berbagai isi dengan perhiasan parabola
yang menjadi ciri khas. Sementara Dusun Krajan atau Pasar
Banggi menunjukkan kondisi ekonomi yang kurang bagus.
Rumah-rumah kecil berimpitan dengan berbagai fasilitas ala
kadarnya.

Dusun Pasar Banggi berciri khas masyarakat nelayan


pesisir miskin, seperti kondisi nelayan lain pada umumnya

92
di pesisir utara Pulau Jawa. Sebagian besar penduduknya
mengandalkan hasil laut sebagai nelayan kecil. Itulah sebabnya,
mereka berbeda sangat mencolok bila dibandingkan dengan
kondisi Dusun Kaliuntu. Sebagai nelayan, penghasilannya
bukan hanya kecil, tetapi tidak menentu dan tidak pernah
menghasilkan ikan dalam jumlah besar. Alat-alat tangkap yang
digunakan masih sederhana dan perahu mereka yang kecil
tidak akan mampu menghasilkan tangkapan ikan banyak. Hal
ini tentu berbeda dengan komunitas Dukuh Kaliuntu yang
mempunyai tambak. Tambak bisa menghasilkan ikan bandeng,
udang, dan produksi garam dengan jumlah banyak, sehingga
bisa dipahami bahwa kehidupannya lebih baik secara sosial-
ekonomi, bila dibandingkan dengan masyarakat yang ada di
Dusun Krajan (Pasar Banggi). Selain itu, banyaknya jumlah
penduduk mengakibatkan tidak meratanya sumberdaya yang
terbatas.

D. Sistem Sosial Budaya dan


Sistem Kepemimpinan
Dalam perspektif sistem sosial budaya, masyarakat
Desa Pasar Banggi merupakan masyarakat yang tergolong
masyarakat pesisir; mayoritas didominasi satu etnis tertentu.
Paling tidak, dari aspek etnisitas ini, masyarakat Desa Pasar
Banggi dapat digolongkan sebagai satu komunitas besar,
yakni etnis Jawa. Hal ini berkaitan dengan etnis yang hidup
di desa ini sebagian besar adalah etnis Jawa, karena mereka
menggunakan adat istiadat Jawa.

93
Sebagaimana etnis Jawa pada umumnya, etnis ini di-
tandai dengan penggunaan Bahasa Jawa dalam kehidupan
sehari-hari saat berkomunikasi, baik antar-anggota komunitas
setempat maupun berkomunikasi dengan orang lain yang
belum dikenalnya. Bahkan tidak jarang saat berkunjung ke
kantor desa, kantor kecamatan, dan kantor-kantor lain warga
menggunakan Bahasa Jawa sebagai alat komunikasi. Meski
demikian, jika diajak berkomunikasi dengan menggunakan
Bahasa Indonesia, baik orang tua maupun anak-anak, hampir
semua orang bisa dan mengerti.

Dari segi keagamaan, sebagian besar warga Desa Pasar


Banggi beragama Islam. Sejumlah tiga orang beragama Kris-
ten dan dua orang beragama Budha. Mereka yang bukan
beragama Islam merupakan penduduk pendatang kemudian
menetap di Desa Pasar Banggi. Terdapat tiga buah masjid,
dua di antaranya di Dusun Pasar Banggi dan satunya di Dusun
Kaliuntu. Suasana keagamaan cukup ramai, terutama saat
Shalat Magrib, karena anak-anak yang menjadi siswa-siswi
Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) ikut sholat, baik di Dusun
Pasar Banggi maupun di Dusun Kaliuntu.

Dengan latar belakang etnis dan keagamaan demikian,


sistem sosial budaya komunitas Pasar Banggi lebih banyak
dipengaruhi norma-norma agama Islam dan norma masyarakat
Jawa. Dengan adanya dua masjid di Dusun Pasar Banggi dan
satu di Dusun Kaliuntu, paling tidak menunjukkan norma-
norma keagamaan, khususnya Islam, mewarnai kehidupan
komunitas. Selain itu, etnis Jawa sangat mempengaruhi ke-
hidupan komunitas. Meskipun beragama Islam, tetapi dapat

94
ditemukan suatu kebiasaan atau tradisi-tradisi tertentu yang
tidak ditinggalkan, seperti upacara selamatan, upacara petik
laut, upacara menanam tanam padi, dan upacara memulai
pembuatan garam.

Apabila dilihat dari struktur kepemilikan aset berupa tam-


bak, sawah, dan rumah, tampak perbedaan mencolok. Pemilik
tambak memiliki rata-rata luas 1,5 Ha dari luas tambak yang
mencapai 72 Ha. Hanya sekitar 45 orang yang memiliki aset
berupa tambak; sebagian di antaranya bukan warga komunitas
Desa Pasar Banggi. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar
dari 753 orang yang terlibat di dalam pembudidayaan tambak
menjadi penyewa dan buruh tambak.

Para nelayan kecil hanya mempunyai aset perahu, karena


laut merupakan aset komunitas yang dapat dimiliki oleh siapa
pun. Secara struktur sosial ekonomi dan sosial budaya, seba-
gian besar komunitas di Desa Pasar Banggi dalam kelompok
ekonomi bawah atau kelompok miskin. Sebagian kecil, yakni
pemilik tambak dan pemilik lahan sawah, dapat digolongkan ke
dalam ekonomi atas. Berkenaan dengan kondisi sosial budaya
yang ada di komunitas Pasar Banggi, sistem kepemimpinan
komunitas tidak terlepas dari hal tersebut. Model kepemim-
pinan yang ada di Desa Pasar Banggi adalah kepemimpinan
formal dan kepemimpinan informal. Kepemimpinan formal
berkaitan dengan kelembagaan yang ada di desa, sedangkan
kepemimpinan informal, berkaitan dengan kegiatan pemulihan
dan pelestarian hutan mangrove.

Keberadaan pemimpin informal tidak dipilih secara lang-


sung oleh anggota masyarakat, tetapi lebih didasarkan pada

95
pengakuan atas kapasitas orang tersebut dalam bidang ter-
tentu untuk menjadi pemimpin informal. Dalam hal ini, model
pemimpin informal adalah pemimpin dalam bidang keaga-
maan dan pemimpin informal yang menggerakkan anggota
komunitas dalam pemulihan dan pelestarian hutan mangrove.
Pemimpin informal di komunitas desa ini tidak bersifat paternal-
istik, meskipun yang bersangkutan sebagai pemimpin informal
di bidang keagamaan. Pemimpin informal di komunitas Desa
Pasar Banggi tidak dibatasi oleh masa kerja tertentu, melainkan
selama yang bersangkutan mampu menjadi pemimpin informal
komunitas, akan diakui sebagai pemimpin informal.

Pemimpin informal berkaitan erat dengan lembaga


lokal yang ada, yakni lembaga keagamaan dan lembaga
lokal yang berbentuk kelompok tani tambak. Kyai berkaitan
dengan lembaga keagamaan, sedangkan pemimpin informal
lain berhubungan dengan lembaga yang ada di komunitas
setempat. Organisasi kelompok tani tambak yang peduli
terhadap pemulihan dan pelestarian hutan mangrove memiliki
pemimpin informal. Pemimpin informal lebih merupakan
kebutuhan masyarakat daripada pemimpin yang dibentuk
melalui lembaga tertentu oleh pemerintah. Oleh karena itu,
pemimpin informal di komunitas Desa Pasar Banggi dapat
disebut sebagai pemimpin asli (authentic informal leader) atau
pemimpin dari akar rumput (grass-root leader).

96
BAB 4
REHABILITASI
HUTAN MANGROVE
DESA PASAR BANGGI

A. Asal Mula Rehabilitasi Hutan Mangrove


Pentingnya rehabilitasi atau pemulihan dan pelestarian
hutan mangrove tergambar dalam pepatah yang disampaikan
informan kunci berikut.
Hutan mangrove hilang
Lahan dan tambak gersang
Hidup masyarakat meradang

Hutan mangrove tumbuh


Desaku teduh
Tambak subur
Masyarakat hidup makmur

Pohon-pohon mangrove selalu berzikir


dengan bergoyang setiap diterpa angin

97
Selain berzikir kepada dirinya sendiri
juga mendoakan yang menanam dan yang melestari-
kannya

Pengembangan komunitas (community development)


dalam rangka rehabilitasi hutan mangrove di Desa Pasar Banggi,
Kecamatan Rembang, Kabupaten Rembang telah berjalan lebih
dari 50 tahun. Suatu proses pengembangan komunitas yang
dapat berjalan dalam durasi waktu sangat panjang. Kegiatan
tersebut dimulai tahun 1964 dan terus berlangsung sampai
sekarang.

Pada awalnya, kegiatan komunitas dimulai oleh seorang


bernama H. Suyadi yang kemudian sekaligus menjadi Ketua
Kelompok Tani Peduli Mangrove. Dari Ketua Kelompok Tani
Tambak Peduli Mangrove, ia kemudian menjadi pemimpin
informal komunitas. Sebelumnya, pekerjaannya adalah anggota
TNI yang turut dalam misi penumpasan Gerakan PRRI di
Sumatera Barat. Karena tidak suka menjadi tentara, kemudian
keluar dari kesatuan dan pulang ke kampung halaman. Setelah
berada di kampungnya, yakni Dukuh Kaliuntu Desa Pasar
Banggi, tidak mempunyai pekerjaan tetap, pilihan pekerjaannya
adalah mengelola tambak warisan orangtua.

Sebagai penduduk asli Dukuh Kaliuntu Desa Pasar Banggi,


sejak dilahirkan sampai sekarang dan tinggal di suatu rumah
yang berbatasan dengan tambak-tambak warga komunitas.
Bertempat tinggal di desa tersebut, menempati rumah warisan
orangtua. Meski dikaruniai 5 orang anak, kini hanya tinggal
bersama istri, anak terakhir, cucu-cucu, dan seorang menantu.

98
Beberapa anaknya telah berumah tangga dan menetap di
daerah lain. Pekerjaan utamanya adalah petani tambak, sejak
1964 sampai sekarang. Tambak seluas 2 Ha merupakan satu-
satunya sumber kehidupan keluarga. Tambak tersebut bukan
hasil pembelian dirinya, melainkan warisan orangtua.

Bersama anggota komunitas lain yang tergabung dalam


kelompok tani, membudidayakan tambak sebagai sumber
penghasilan utama. Sebagian besar anggota kelompok tani
tambak tinggal di Dukuh Kaliuntu. Hal ini juga terkait dengan
tambak-tambak yanga ada berada di Desa Pasar Banggi me-
mang berada di wilayah dukuh tersebut. Dengan membudi-
dayakan tambak, anggota kelompok tidak hanya terdiri dari
pemilik tambak, melainkan juga penyewa dan buruh tambak.
Budidaya yang dilakukan berupa pemeliharaan ikan, udang,
dan pembuatan garam.

Tambak-tambak di Desa Pasar Banggi seluas 72 Ha. Hingga


kini, belum ada yang direklamasi menjadi pabrik, perumahan,
atau fasilitas umum lain. Seluruh tambak dibatasi dengan hutan
mangrove. Sekarang ini, tambak dibudidayakan sebagai tem-
pat memelihara ikan, udang, dan pembuatan garam. Kegiatan
budidaya tersebut tidak hanya melibatkan pemilik tambak, me-
lainkan penyewa dan buruh tambak. Tambak menjadi bagian
penting dari kehidupan komunitas desa ini.

Sebelum diserahi tugas mengelola tambak oleh orang-


tuanya tidak mempunyai pekerjaan tetap. Sebelum 1964,
tambak tidak bisa dibudidayakan, karena banyaknya air laut
yang masuk ke dalam tambak secara leluasa. Meskipun ada
batas, yakni tanggul yang dibuat oleh para petani tambak,

99
tetapi tidak dapat berfungsi dengan baik melindungi tambak.
Setelah melihat kondisi tersebut, kesadarannya muncul. Setelah
diselidiki dan diamati, ternyata tanggul tambak banyak yang
mengalami kerusakan dan hancur akibat abrasi dari gelombang
air laut. Dengan masuknya air laut ke dalam tambak, para
petani tambak, penyewa tambak, dan buruh tambak tidak bisa
memfungsikan tambak sebagai tempat budidaya.

Dari pengamatannya dapat ditemukan bahwa tanggul


tambak di kawasan Desa Pasar Banggi yang masih memiliki
pohon mangrove. Di balik pepohonan mangrove, tanggul tam-
bak aman. Ia lantas menginginkan semua tanggul tambak yang
berbatasan dengan air laut ditanami mangrove. Kesimpulannya
bahwa dengan adanya pohon mangrove mampu menjadi
pelindung tanggul tambak secara alami dan permanen.

Pengetahuannya itu menjadi modal berharga untuk me-


nanami tanggul tambaknya sendiri dengan pohon mangrove,
agar tambaknya dapat dipergunakan sebagai tempat budidaya.
Keyakinannya sangat besar bahwa hanya dengan tanaman
mangrove, tanggul dapat aman dan tambak dapat difungsikan.
Selanjutnya lantas berpikir, bagaimana cara menanam mangrove
dan dapat segera tumbuh. Dengan tumbuhnya mangrove, ada
harapan bahwa tambaknya dapat digunakan sebagai tempat
budidaya dan kebutuhan hidup keluarganya dapat tercukupi.
Tambak yang dapat difungsikan berarti akan memperoleh
penghasilan dan dapat digunakan memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya.

Saat melakukan penanaman pohon mangrove, tidak


sampai berpikir bahwa kegiatan tersebut akan menjadi

100
gerakan komunitas di desanya. Sesungguhnya, penanaman
mangrove dimaksudkan agar bisa bekerja mengelola tambak
dan mempunyai penghasilan yang dapat digunakan memenuhi
kebutuhan hidup. Karena pengunduran diri dari keanggotaan
TNI secara baik-baik dan baru bergabung selama dua tahun,
akhirnya tidak mendapatkan hak pensiun. Harapan satu-satunya
untuk memperoleh penghasilan adalah membudidayakan
tambak. Kepeduliannya terhadap rehabilitasi hutan mangrove,
sesungguhnya sebagai suatu usaha tidak langsung dalam
mengembalikan fungsi tambak sebagai tempat budidaya ikan,
udang, dan pembuatan garam. Dengan menanam mangrove,
harapannya tambak dapat berfungsi dengan baik dan
digunakan sebagai tempat kerja.

Ada berbagai usaha petani tambak yang dilakukan secara


mandiri di tanggul tambaknya adalah membuat tiang pancang
dari kayu atau bambu. Hal ini tidak berjalan lama, karena
dalam kenyataannya tidak mampu menahan gelombang air
laut. Selain itu, mereka juga membuat tanggul tambaknya
dari beton, yakni semen dan batu. Usaha ini juga mengalami
kegagalan. Tanggul demikian ternyata tidak mampu menahan
gelombang dan abrasi air laut. Akhirnya, tanggul tambak yang
rusak dibiarkan saja, sehingga air laut masuk ke tambak dengan
leluasa. Kondisi tersebut mengakibatkan petani tambak tidak
bisa bekerja dan tidak memperoleh penghasilan.

Jadi, beberapa petani tambak telah melakukan perbaikan


tanggul tambak dengan membuat tanggul secara permanen.
Bentuknya berupa tiang pancang dari bambu dan membuat
tanggul beton dari semen dan batu. Usaha yang dilakukan oleh

101
para petani tambak tersebut hanya bisa bertahan sementara.
Jika ada gelombang air laut yang besar dari biasanya, tanggul
dengan tiang pancang bambu dan batu dengan semen
tersebut juga mengalami kerusakan atau abrasi.

Selain membuat tanggul demikian, mereka tidak dapat


memikirkan alternatif lain melindungi tanggul tambak. Bahkan
setelah berkali-kali tanggul yang dibuat rusak dan tidak bisa
melindungi tambak, mereka membiarkan begitu saja tanggul
tambaknya. Melihat kenyataan ini, sebagai salah satu pemilik
tambak piomer penanaman mangrove tersebut berusaha men-
cari jalan keluar lain yang berbeda. Yakni berusaha menanam
pohon mangrove di tanggul tambaknya sendiri. Keinginan
untuk memperbaiki tanggul tambak dengan menanam pohon
mangrove dipikirkan, kemudian dilaksanakan sendiri.

Berdasarkan usahanya itu kemudian disebut sebagai pionir


atau penggagas dari pelestarian lingkungan, khususnya dalam
melakukan penanaman mangrove di Desa Pasar Banggi. Selain
itu, sebagai perintis lingkungan, karena sebelumnya, warga
membiarkan tanggul tambak yang rusak begitu saja, dan tidak
ada upaya melakukan penanaman mangrove. Sebagai cikal-
bakal kepedulian terhadap lingkungan di desa dalam me-
rehabilitasi mangrove, aktivitasnya dibenarkan oleh beberapa
tetangganya yang juga petani tambak. Mereka termasuk dalam
anggota Kelompok Peduli Mangrove sejak didirikan pada 1972
sampai sekarang. Mereka pemilik tambak yang bersebelahan
dengan tambak Sang Pionir gerakan penanaman mangrove.

Sebagai pionir dari gerakan penanaman mangrove,


dianggapnya sebagai sosok pertama di Desa Pasar Banggi

102
yang mempunyai niat untuk melakukan usaha menanam
mangrove di tanggul tambaknya. Inisiatifnya tersebut dilandasi
faktor sosial ekonomi, yakni memulihkan tempat budidaya
berupa tambak agar dapat dimanfaatkan sebagai budidaya
dan tempat kerja. Hingga sekarang, mereka mengandalkan
kehidupannya dari hasil budidaya tambak. Mereka saling
memahami dan mengerti kegiatan yang mereka lakukan, satu
dengan yang lain. Keadaan tersebut mudah dipahami, karena
kehidupan di wilayah perdesaan memang masih menjalin
solidaritas mekanis, sehingga masing-masing orang dapat
mengenal lebih dekat dan akrab dengan anggota komunitas
di lingkungan desanya.

Meskipun demikian, para tetangganya baru berniat serupa


beberapa tahun kemudian, setelah Sang Pionir berhasil
menanam pohon mangrove. Dalam menanami tanggul tambak
dengan pohon mangrove kemudian atas bantuan teknis yang
diberikannya. Sebagai anggota komunitas, para petani tambak
yang tergabung dalam kegiatan rehabilitasi hutan mangrove,
melakukan penananaman setelah penanaman mangrove yang
dilakukan Sang Pionir berhasil.

Informasi yang diperoleh dari informan lain menunjukkan


bahwa pionir penanaman pohon mangrove diakui sebagai
orang yang pertama kali melakukan kegiatan penanaman
pohon mangrove di Desa Pasar Banggi. Dengan demikian
dapatlah dikatakan bahwa pioner tersebut memang benar-benar
orang yang menjadi inisiator dan penggagas terjadinya proses
pengembangan komunitas, khususnya kegiatan rehabilitasi
hutan mangrove.

103
Sebagai pencetus, kegiatan penanaman pohon mangrove
yang dilakukan adalah menanam sampai berhasil. Kegiatannya
sedikit demi sedikit diikuti oleh anggota komunitas lain.
Dapat disebut pelopor atau perintis pelestarian lingkungan,
khususnya hutan mangrove karena menjadi inisiator gerakan
rehabilitasi hutan mangrove dan agen perubahan sosial di
tingkat komunitas pesisir sekaligus.

Dalam kenyataannya, yang bersangkutan memang


merupakan salah seorang di antara anggota komunitas yang
pertama kali peduli terhadap kerusakan tanggul tambak dengan
menanami mangrove. Pengetahuannya tentang mangrove
sangat banyak, sehingga paham betul tentang segala hal
berkaitan dengan pohon mangrove. Setiap orang yang datang
dari luar desa atau dari mana pun akan menemuinya. Keperluan
mereka pada umumnya ingin mengetahui segala hal tentang
hutan mangrove dan kegiatan pengembangan komunitas di
wilayah desanya. Semua orang di Desa Pasar Banggi juga
mengenal betul bahwa Suyadi memang pionir, pelopor, atau
perintis lingkungan dalam melakukan gerakan rehabilitasi
hutan mangrove.

Jika ada tamu yang datang dari mana pun untuk mencari
tahu proses rehabilitasi dan pelestarian hutan mangrove pasti
datang dan menemuinya. Pengetahuan dan pengalamannya
sangatlah luas dan mendalam tentang pohon dan hutan
mangrove dan mengenal dan hafal berbagai jenis pohon
mangrove di luar kepala serta dapat menunjukkan kelebihan
dan kelemahan masing-masing jenis pohon mangrove. Dengan
kemampuannya itu, dapat menceritakan dan menjelaskan

104
tanaman mangrove dengan teperinci, mulai pembibitan, pe-
nanaman, perawatan, jenis penyakit, berbagai jenis mangrove,
dan lain sebagainya.

Sebagaimana diuraikan sebelumnya, inisiatif menanami


tanggul tambak dengan pohon mangrove dilakukannya setelah
membandingkan kondisi tanggul yang rusak dengan tanggul
yang baik. Ada sedikit tanggul tambak di wilayah desanya
yang tersisa dan masih ditumbuhi pohon mangrove, sehingga
memberikan inspirasi untuk melakukan penanaman mangrove.
Dari pengamatannya mendapatkan kesimpulan bahwa jika
tanggul tambak ditanami pohon mangrove akan aman dan
tambaknya dapat digunakan sebagai tempat budidaya. Pohon
mangrove, menurut pengamatannya, mampu menjadi pelindung
alami tanggul, sekaligus melindungi tambak. Jika suatu tambak
yang dibatasi pohon mangrove ternyata aman dari gelombang
air laut, ia kemudian melakukan rehabilitasi pohon mangrove
sampai menjadi hutan mangrove.

Selanjutnya, pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh


tersebut memberikan inspirasi, gagasan, dan pemikiran bahwa
tanggul tambak akan aman jika ada pohon mangrove-nya.
Jadi, pohon mangrove dapat menjadi benteng alami yang kuat
dan kokoh terhadap keberadaan tambak. Pemikiran demikian
dilandasi oleh adanya perbedaan yang menimbulkan kerusakan
tanggul di satu pihak dan kondisi tanggul yang aman berkat
adanya pohon mangrove di pihak lain.

Keadaan ini merupakan contoh nyata dalam memberikan


pengetahuan tentang cara terbaik melindungi tanggul tam-
bak. Keberadaan tanggul yang aman dan pohon mangrove

105
menggugah kesadaran dan membangkitkan niat Suyadi untuk
menanami tanggul tambak miliknya. Rencana menanam
mangrove di tanggulnya, kemudian ia pikirkan sendiri, mulai
dari cara mencari bibit sampai pelaksanaan penanamannya.
Hal ini dilakukan dilandasi motivasi kuat bahwa tanggul tambak
dapat aman jika ada pohon mangrove-nya.

Pada awalnya, tidak sampai memikirkan partisipasi anggota


petani tambak lain untuk ikut menanam mangrove. Hal tersebut
dilandasi rasa kekhawatiran jika ternyata hasilnya nanti tidak
memuaskan, yakni tanaman tidak dapat hidup, akan berdampak
negatif pada sikapnya sendiri dalam merehabilitasi mangrove.
Dalam pikirannya, jika tidak berhasil menanam mangrove
dampaknya bisa lebih jauh. Anggota komunitas akan bersikap
apatis atau menolak gagasan penanaman mangrove seperti
yang direncanakan. Akhirnya, ide atau pemikirannya mengenai
penanaman mangrove tidak disampaikan kepada siapa pun
dan hanya disimpan di benaknya sendiri.

Setelah berpikir tenang dan serius, pada 1964, mulailah


ia mewujudkan tanaman mangrove di tanggul tambaknya.
Perasaannya akan senang jika suatu waktu dapat segera
melihat tanggul tambaknya tertanami mangrove, sebagaimana
yang pernah dilihatnya di suatu tempat sebelumnya. Pohon
mangrove menghasilkan buah bernama propagul. Jumlah
buah tersebut sangat banyak dalam satu pohon. Bentuknya
panjang sekitar 20 centimeter. Ada pula yang bulat. Jika sudah
tua, propagul yang panjang akan jatuh di sekitar pohon. Jika
menancap di tanah dengan posisi tegak lurus maka akan
menjadi bibit pohon mangrove.

106
Dengan mengumpulkan bibit yang diambil dari sela-sela
pohon mangrove kemudian ditaruh di sekitar pohon yang sudah
besar. Pohon besar dapat menjadi pelindung bibit mangrove.
Selain itu, dengan menempatkan bibit di antara pohon yang
sudah besar akan memudahkan pengambilan dan penanaman.
Bibit yang ada tidak perlu perawatan, seperti menyiangi atau
memberi air. Dengan kebutuhan yang banyak, juga dilakukan
pembibitan menggunakan polybag yang ditempatkan di
belakang rumah. Hal ini memudahkan perawatan agar dapat
tumbuh menjadi bibit yang baik. Berdasarkan hal tersebut,
dalam mempersiapkan bibit, sehingga tidak perlu melakukan
persemaian, tetapi cukup mengumpulkan bibit-bibit mangrove
yang tersedia. Setelah bibit yang didapatkan, kemudian barulah
mulai penanaman bibit pohon mangrove di tanggul tambaknya
sendiri.

Pengalaman tahun pertama, penanaman pohon mangrove


di area tanggul tambaknya sendiri mengalami kegagalan. Dari
batang-batang pohon bibit mangrove yang ditanam, berjumlah
kurang lebih seribu batang, hanya beberapa pohon yang dapat
hidup. Pada akhirnya, beberapa batang pohon mangrove
yang hidup itu pun tidak dapat bertahan, sebagaimana yang
diinginkannya. Semua bibit mangrove yang ditanam di tanggul
tambak akhirnya mati. Waktu itu, penanaman bibit mangrove
yang gagal merupakan pengalaman pahit, menyakitkan,
menyedihkan, dan mengecewakan. Upayanya untuk menanam
pohon mangrove yang diinginkan tidak dapat berhasil.
Kekecewaan ini sangat beralasan karena bibit mangrove yang
telah disiapkan beberapa bulan sebelumnya dan kemudian

107
ditanam sendiri di area tanggul tambak miliknya tidak berhasil
diwujudkan.

Semua tanaman itu tidak dapat tumbuh, bahkan mati.


Padahal sebelumnya, sangat yakin bahwa tanaman mangrove-
nya dapat berhasil. Menanam pohon mangrove dianggapnya
sebagai pekerjaan mudah dan dapat dilakukan oleh semua
orang, termasuk dirinya. Ternyata pemikirannya tidak sesuai
kenyataan yang dilakukan. Praktik menanam mangrove yang
mengalami kegagalan tersebut menimbulkan dampak psikologis
terhadapnya dan hampir saja menurunkan semangat. Menanam
pohon mangrove yang dikiranya mudah, ternyata tidak bisa
diwujudkan seperti yang diinginkan. Namun, dengan kegagalan
tersebut, memicunya untuk memahami lebih lanjut perilaku
tananam mangrove.

Dengan dilandasi keinginan kuat menanam mangrove


sampai berhasil, semangatnya bangkit kembali untuk mempelajari
tata cara penanaman. Semangatnya terus dikobarkan dengan
berusaha mempelajari perilaku tanaman mangrove dan faktor
lingkungan yang dijadikan media untuk menanam. Dengan
kegagalan yang dialami, tidak menjadikannya patah arang.
Semangatnya justru bertambah untuk segera mewujudkan
tanaman mangrove yang diidamkan.

Dalam menanam pohon mangrove di tahun pertama,


walaupun tidak ada yang hidup, ia merasa masih beruntung,
karena tidak rugi. Prinsip demikian dipegangnya, sebagaimana
komunitas desa pesisir lain. Apa pun dinilai untung atau
hikmahnya dari apa yang dikerjakannya; meskipun gagal masih
merasa untung. Menurutnya, meskipun tidak ada yang hidup,

108
paling tidak ia mendapatkan pengalaman dan pengetahuan
berharga tentang sulitnya menanam pohon mangrove. Selain
itu, kegagalan yang dilakukan tidak mempengaruhi penghasilan
dan kondisi ekonomi keluarga. Karena, bibit batang mangrove
sangat mudah didapat di sela-sela pohon mangrove yang
sudah dewasa. Pengumpulan buah mangrove juga tidak
memerlukan biaya. Asal mau mengambil akan didapatkan
bibit mangrove yang banyak jumlahnya. Kegiatan pembibitan
pun mudah dilakukan.

Berdasarkan pengalaman dari kegagalan menanam pohon


mangrove, pioner tersebut mendapatkan pengetahuan penting.
Meskipun pada mulanya setelah mengalami kegagalan ber-
dampak psikologis, tetapi paling tidak mendapat pengetahuan
dan pengalaman berharga. Dengan menambah pengetahuan
dan pengalaman, terus berusaha mewujudkan hutan mangrove
pada tahun berikutnya. Hal tersebut ditunjukkannya dengan
mempersiapkan bibit mangrove dan segala hal yang berkaitan
dengan tata cara penanamannya. Semula, dalam pikirannya
menanam pohon mangrove dianggapnya sebagai pekerjaan
yang mudah dilakukan dan siapa pun yang ingin menanam
bisa menghasilkan tanaman mangrove. Kenyataannya, dan
atas hasil menanami pohon mangrove di tanggul tambaknya
pada tahun pertama, bertolak belakang dengan pemikiran dan
keinginan untuk mewujudkan tanggul tambak yang tertanami
pohon mangrove.

Pergulatan pemikiran tersebut menimbulkan konflik batin


dalam dirinya, sampai akhirnya terus berusaha mencari jalan
keluar agar keinginannya mewujudkan tanaman mangrove di

109
tambaknya berhasil diwujudkan. Upayanya mencari jalan keluar
tersebut menemui jalan buntu, karena tidak bisa bertanya
kepada siapa pun di lingkungan masyarakat desanya Tidak
ada yang mempunyai pengalaman menanam pohon mangrove
sampai berhasil.

Selain kesulitan menemui orang yang berpengalaman


menanam mangrove, usaha lain seperti mencari buku atau
bacaan mengenai tata cara menanam pohon mangrove
di berbagai tempat juga tidak didapatkan. Pada 1965-an,
belum ada buku panduan atau tulisan mengenai tata cara
menanam mangrove. Kesulitan yang ditemuinya tersebut justru
mendorong keinginannya untuk mempelajari sendiri tata cara
mewujudkan pohon mangrove agar dapat hidup jika ditanam
di tanggul tambaknya.

Kesulitan mencari orang yang berpengalaman menanam


mangrove dan tidak tersedianya buku panduan menanam
mangrove, bukan merupakan hambatan. Kedua hal tersebut
dianggapnya sebagai tantangan tersendiri. Oleh karena itu,
untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman dalam
menanam pohon mangrove, ia pelajari sendiri tata caranya.
Dengan semangat kuat, akhirnya pengalaman dan penge-
tahuan dapat ia peroleh melalui praktik menanam di tahun
berikutnya.

Didorong oleh motivasi tinggi dan semangat yang berkobar,


usaha melakukan penanaman pohon mangrove terus dilaku-
kan. Hal ini terkait dengan kebutuhan tambak yang dimilikinya
agar dapat digunakan sebagai tempat budidaya. Berdasarkan
pengalaman dan kemampuannya, kemudian memutuskan

110
untuk mempelajari sendiri tata cara penanaman yang bisa
menghidupkan tanaman mangrove.

Berbekal pengalaman bertani dan mengolah tambak


yang serba-terbatas, belajar perilaku dan tata cara tanam
pohon mangrove pun tidak berjalan lancar, sebagaimana
yang diharapkan. Hal ini terkait spesifikasi pohon mangrove
yang hidup di air pasang surut dan sangat berbeda dengan
pengalamannya menanam tanaman padi dan palawija yang
biasa ia tanam di daratan. Dengan semangat atau motivasi
tinggi ternyata tidak cukup untuk melakukan penanaman
tahun berikutnya, karena bibit mangrove yang ditanam masih
banyak yang mati.

Kegagalan penanaman pohon mangrove pada tahun


kedua tidak seperti pada tahun pertama. Kegagalan tahun
kedua masih menghasilkan sisa pohon hidup yang dapat
tumbuh di tanggul tambak. Dari jumlah bibit yang disiapkan,
berjumlah ribuan batang, hanya sekitar 10 persen yang dapat
hidup. Sisa tanaman mangrove yang hidup itu pun, seiring
pertumbuhannya, ada juga yang mati. Namun, tidak semuanya
mati. Masih ada sisa tanaman yang dapat hidup, sehingga
memberikan harapan baru baginya. Kenyataan tersebut
memberikan semangat tersendiri baginya bahwa menanam
pohon mangrove, meskipun sulit, ternyata masih bisa dilakukan,
ditandai adanya tanaman mangrove yang bisa hidup.

Pengalaman tahun kedua memberikan harapan baginya


bahwa kelak di kemudian hari, tanggul tambaknya akan dapat
ditanami pohon mangrove secara keseluruhan seperti yang
diinginkan. Hal ini sesuai pemikirannya bahwa hanya dengan

111
menanami pohon mangrove, tanggul tambaknya dapat aman
secara alami dari gempuran atau abrasi dan gelombang air
laut. Jika suatu saat nanti tanggul tambaknya aman maka
seluruh petani tambak bisa melakukan budidaya ikan bandeng
dan udang di musim penghujan dengan aman, sedangkan di
musim kemarau dapat memproduksi garam.

Pada penanaman tahun pertama (1964) dan tahun kedua


(1965), seluruh penanaman pohon mangrove hanya dilaku-
kannya seorang diri dan di area tanggul tambaknya sendiri.
Kegiatan yang dilakukan sendiri tersebut meliputi pengambilan
dan pengumpulan biji yang diambil dari batang mangrove
yang sudah tua. Satu batang mangrove yang sudah tua bisa
menghasilkan ribuan buah mangrove. Itulah sebabnya, proses
pengambilan dan pengumpulan biji mangrove tersebut tidak
sulit dilakukan, meskipun dilakukan seorang diri.

Selain itu, kegiatan penyemaian tidak sulit dilakukan, karena


tempat menyemai yang dipilih adalah suatu tempat yang tidak
terlalu jauh dengan pohon mangrove yang menghasilkan
buah. Sesungguhnya, biji mangrove mudah sekali disemai
dan tumbuh, namun di sisi lain juga mudah mati. Dikatakan
mudah disemai, karena biji-biji itu bila ditancapkan di tanah
yang gembur di sekitar pohon mangrove akan segera bertunas.
Biji buah mangrove yang sudah masak, jika jatuh sendiri dan
menancap di tanah, langsung dapat menjadi bibit mangrove.

Proses penanaman bibit batang mangrove juga tidak terlalu


sulit. Bibit mangrove yang sudah bertunas dapat langsung
ditanam di tempat yang diinginkan. Meskipun jumlah yang

112
ditanam juga ribuan bibit, penanamannya dapat dilakukan
seorang diri dan memerlukan waktu penanaman beberapa
bulan.

Pada umumnya, penanaman dilakukan pada Bulan Juli


hingga November. Proses penanaman yang dipilih pada bulan
tersebut, karena bibit mangrove yang sudah disiapkan telah
mulai bertunas dan siap ditanam. Mangrove mulai berbuah
pada Bulan Januari sampai Bulan Maret atau April. Pada Bulan
April, banyak buah mangrove yang masak. Sedangkan pada
akhir Bulan April sampai akhir bulan Mei, buah yang masak
diambil dan dikumpulkan untuk diproses dalam persemaian
biji mangrove; dijadikan bibit. Proses persemaian biasanya
memerlukan waktu selama tiga bulan dan setelah itu bibit
mangrove siap ditanam.

Pemilihan Bulan Juli sampai Bulan Desember tersebut


mempunyai alasan tersendiri. Menurutnya, pada bulan-bulan
itu, air laut sedang surut sehingga tanggul tambak menjadi
lebih mudah ditanami. Dengan durasi waktu sekitar 4 sampai
5 bulan, masa tanam tersebut memberikan kesempatan bibit
mangrove untuk tumbuh tanpa gangguan dari gelombang air
laut. Setelah tumbuh beberapa bulan, bibit mangrove dengan
sendirinya akan mampu menahan gelombang air laut. Dengan
pengalaman ini, menambah tingkat keberhasilan penanaman
tahun berikutnya, yakni tahun ketiga pada 1966. Proses
penanamannya masih dilakukan seorang diri.

Dengan melakukannya seorang diri dan mengalami


kegagalan pada awal tahun dan tahun kedua, penanaman

113
tersebut banyak menuai ejekan dari anggota komunitas. Ada
yang mengatakan bahwa mimpi Suyadi mewujudkan hutan
mangrove dengan menanam bibit pohon mangrove di tanggul
tambak sebagai suatu pekerjaan sia-sia. Anggota komunitas lain
mengatakan bahwa keinginannya untuk mewujudkan hutan
mangrove merupakan keinginan orang gila dan suatu pekerja-
an yang tidak ada gunanya. Pernyataan anggota komunitas
itu justru membakar semangatnya untuk menanam pohon
mangrove di tanggul tambaknya pada tahun berikutnya.

Cemoohan dan ejekan warga komunitas ditujukan kepada


pioner lingkungan yang ingin mewujudkan hutan mangrove di
tanggul tambaknya sendiri. Berdasarkan ejekan dan perlakuan
tidak simpati dari anggota komunitas pemilik tambak kanan dan
kiri, memberikan dorongan dan menambah semangat Suyadi
lebih kuat untuk mewujudkan mimpinya, yakni melindungi
tambak dengan tanaman mangrove. Usahanya semakin
diintensifkan pada tahun berikutnya, yakni terus menanami
tanggul tambaknya dengan pohon mangrove. Hal itu dilakukan
sambil terus melakukan pengumpulan buah mangrove untuk
disemai agar bisa menghasilkan bibit pohon mangrove yang
bagus dan dapat tumbuh dengan baik. Selain itu, juga terus
mempelajari perilaku tata cara tanaman yang bisa menghasilkan
tanaman pohon mangrove yang bagus dibandingkan tahun-
tahun sebelumnya.

Dengan kesabaran, keuletan, dan selalu mencari tahu tata


cara penanaman bibit mangrove yang dilakukan seorang diri,
sedikit demi sedikit mulai tampak hasilnya. Setelah menemukan,
tata cara penanaman bibit mangrove ternyata tidak hanya

114
dilakukan penanaman, kemudian dibiarkan. Penanaman bibit
mangrove harus dilanjutkan dengan melakukan perawatan,
pemeliharaan, dan kegiatan lain yang berkaitan dengan per-
kembangan dan pertumbuhan penanaman pohon mangrove
itu sendiri. Pohon mangrove diibaratkan sebagai anak kecil,
mulai dari persemaian, penanaman, pemeliharaan, sampai
pohon mangrove dapat berbuah memerlukan perawatan
secara intensif. Setelah menanam pohon mangrove, tugas
berikutnya adalah memelihara agar tingkat kematiannya tidak
terlalu tinggi.

Batang mangrove yang masih kecil memang rentan dari


berbagai kematian. Misalnya, pohon mangrove kecil yang baru
beberapa bulan ditanam belum kuat menahan gelombang air
laut. Batang-batang kecil tersebut mudah patah, sehingga tidak
bisa tumbuh. Selain itu, daun batang mangrove yang masih
kecil dan hanya beberapa buah, rentan diserang hama tikus
dan keong laut. Jika daun batang mangrove kecil tersebut
hilang maka mangrove mengalami kematian.

Predator alami lainnya adalah hama yang masuk ke dalam


batang pohon mangrove. Kalau ini terjadi, batang mangrove
akhirnya mengering sendiri. Kematian pohon mangrove di-
sebabkan adanya sampah plastik yang tersangkut di batang.
Sampah plastik tersebut berasal dari pembuangan di berbagai
tempat kemudian dibawa arus air sungai dan sampai ke laut.
Sesampainya di laut dibawa arus laut dan ada yang me-
nempel di batang pohon mangrove kecil. Jika hal ini terjadi
dapat menyebabkan pohon mangrove tidak bisa mengalami
pertumbuhan dan akhirnya juga mati.

115
Dengan berbagai kasus kematian bibit-bibit batang
mangrove tersebut akhirnya menambah pengalaman dan
pengetahuan baru baginya. Dengan usaha yang tidak me-
ngenal lelah dalam mempelajari perilaku tanaman mangrove
dan pola pasang surut air laut, Suyadi akhirnya mendapatkan
pengetahuan dan pengalaman yang cukup memadai untuk
diterapkan dalam menanam bibit pohon mangrove pada tahun-
tahun berikutnya.

Penanaman mangrove yang dilakukan tahun keempat


(1967), masih dilakukannya seorang diri. Tanaman mangrove
yang sudah tumbuh masih belum mampu menjadi pelindung
alami tambak. Selain itu, pohon-pohon mangrove yang berhasil
hidup baru berusia dua tahunan terlihat masih kecil batangnya
dan jumlah daunnya pun masih sedikit. Itulah sebabnya, anggota
komunitas lain belum tertarik untuk melakukan penanaman,
sebagaimana yang dilakukannya. Anggota komunitas yang
tidak peduli dengan penanaman mangrove mengejek apa
yang dilakukannya.

Hal tersebut tidak menyurutkan semangatnya untuk me-


nyosialisasikan pentingnya pohon mangrove sebagai pelindung
alami tambak. Suyadi terus berusaha mengkomunikasikannya
kepada anggota komunitas pemilik tambak akan pentingnya
tanaman mangrove. Tujuannya, agar anggota komunitas ikut
serta atau berpartisipasi dalam melakukan penanaman pohon
mangrove. Hanya dengan pohon mangrove, tambak-tambak
akan aman dari gelombang air laut. Dengan motivasi tinggi da-
lam memberikan penjelasan mengenai fungsi pohon mangrove
sebagai pelindung alami tambak, mulai tahun 1968, beberapa

116
anggota komunitas turut berpartisipasi dalam kegiatan pena-
naman pohon mangrove.

Sebelumnya, anggota komunitas masih ragu-ragu dan


tidak mempercayai pentingnya pohon mangrove sebagai
pelindung alami tambak. Banyak yang belum tertarik dan
masih enggan terlibat penanaman pohon mangrove. Namun
demikian, usahanya menanam mangrove mendapatkan
dukungan dari keluarga, khususnya untuk mewujudkan
tanaman mangrove di tanggul tambaknya sendiri. Hal tersebut
didasarkan pada mangrove yang dapat tumbuh, sehingga
mulailah anggota keluarganya yang mendukung. Istri dan
anak-anaknya mendukung apa yang ia lakukan dan ikut
melakukan penanaman pohon mangrove. Mereka membantu
dengan mengikuti dan melakukan penanaman mangrove.
Contoh nyata berupa pohon mangrove yang dapat tumbuh di
tanggul tambak, menjadi pendorong anggota keluarga untuk
mendukung dan mengikuti jejak Suyadi, yakni mendukung apa
yang dilakukannya.

Selain itu, keberhasilan menanam mangrove menimbulkan


kepercayaan diri yang tinggi karena jumlah pohon yang hidup
terus bertambah banyak. Meskipun belum mampu menahan
gelombang air laut, paling tidak, pohon mangrove sudah dapat
terus hidup dan tumbuh menjadi pelindung alami tanggul
tambaknya. Setelah mendapat dukungan dari keluarga dalam
mewujudkan hutan mangrove dan dapat berhasil maka mulailah
Suyadi mengajak keluarga terdekat lain, kemudian tetangga
sebelah kiri maupun kanan untuk melakukan penanaman
pohon mangrove.

117
Pada awalnya, banyak yang tidak mau melakukan pe-
nanaman, karena memang hasilnya belum memuaskan. Ber-
dasarkan kenyataan ini, semangatnya terus berkobar dan tidak
patah arang. Dengan terus berusaha memelihara batang-
batang pohon mangrove yang sudah tumbuh dari hasil kerja-
nya yang menjadi semakin besar, kegiatan menyosialisasikan
pentingnya pohon mangrove terus lakukan. Pertumbuhan
pohon mangrove yang semakin besar, akhirnya dapat memberi-
kan keyakinan kepada tetangganya bahwa pohon mangrove
dapat ditanam dan bisa tumbuh dengan baik. Dari kenyataan
tersebut, tetangga kanan dan kiri pemilik tambak mulai tertarik
menanam bibit pohon mangrove di masing-masing tanggulnya
sendiri.

Tetangga kiri-kanan mengikuti jejaknya menanam bibit


mangrove di tanggul tambak masing-masing dengan bantuan-
nya, baik dilakukan sendiri-sendiri maupun bersama anggota
komunitas lain. Kegiatan bersama melakukan penanaman
pohon mangrove tersebut dibantunya dengan menyediakan
bibit. Selain itu, mengajari tata cara taman atau perilaku yang
benar dalam melakukan kegiatan penanaman, agar tanaman
mangrove dapat tumbuh dengan baik.

Tahun-tahun berikutnya, kegiatan penanaman bibit


mangrove tidak dilakukan sendiri, melainkan lebih banyak
dengan anggota komunitas petani tambak, mulai dari pe-
nyiapan bibit hingga pelaksanaan kegiatan penanaman dan
pemeliharaan. Penanamannya bukan hanya terhadap tanggul
tambak masing-masing, melainkan melakukan penanaman
dan pemeliharaan tanaman mangrove yang dilakukan secara

118
bersama-sama di area lebih luas. Mereka juga menanami bibit
pohon mangrove di tanah milik pemerintah desa dan tanah
negara.

Penanaman pohon mangrove pada tahun-tahun berikutnya


terus menampakkan keberhasilan. Dengan terus bertambah-
nya keberhasilan tersebut, memperluas wilayah penananam
pohon mangrove. Penanaman dilakukan pula pada wilayah
pesisir yang merupakan tanah-tanah negara di Desa Pasar
Banggi, juga di Desa Tireman dan Desa Tritunggal. Kegiatan
bersama komunitas desa lain kurang efektif, karena hasil
penanaman secara bersama tersebut tidak terpelihara dengan
baik, sehingga banyak yang mati. Hanya tersisa sedikit pohon
mangrove di kedua desa tetangga. Berbeda sangat mencolok
bila dibandingkan dengan hutan mangrove di Desa Pasar
Banggi.

Kegiatan menanam pohon mangrove di tanggul tambak


masing-masing pemilik tambak terus dilakukan, baik secara
sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Untuk penanaman bibit
mangrove di tanah negara kebanyakan dilakukan bersama-
sama, yakni secara gotong royong. Kegiatan rehabilitasi atau
pemulihan dan pelestarian hutan mangrove masih terus dilaku-
kan oleh komunitas Desa Pasar Banggi sampai sekarang, meski
intensitas penanaman sudah berkurang, karena seluruh wilayah
pesisir desa tersebut sudah dapat ditanami pohon mangrove.
Kegiatan komunitas sekarang ini lebih dikonsentrasikan pada
pemeliharaan dan pencegahan terjadinya kerusakan. Kerusak-
an alami atau pun kerusakan yang dilakukan oleh anggota
komunitas lain.

119
Rehabilitasi hutan mangrove demikian berkat usaha Suyadi
sebagai pionir kegiatan dalam menyosialisasikan pentingnya
tanaman pohon mangrove dan menjaga kelestarian sebagai
pelindung alami tambak mereka. Setelah berjalan delapan
tahun, gerakan menanam mangrove yang dilakukan secara ber-
sama berhasil membentuk kelompok sebagai inisiasi akselerasi
kegiatan pemulihan dan pelestarian hutan mangrove. Tepatnya
pada 1972, warga sepakat membentuk suatu kelompok tani
perikanan peduli kelestarian mangrove. Kelompok lokal ter-
sebut dimaksudkan untuk mengintensifkan gerakan komunitas
dalam melakukan kegiatan penanaman, pemeliharaan, dan
pelestarian pohon mangrove yang sudah tumbuh.

Melihat namanya, yakni Kelompok Tani Perikanan Sidodadi


Maju, sesungguhnya kelompok ini adalah perkumpulan petani
tambak. Namun, kelompok ini lebih berorientasi pada upaya
pemulihan dan pelestarian hutan mangrove untuk melindungi
tanggul tambak mereka. Kelompok Tani Tambak Sidodadi Maju
sampai sekarang masih terus bekerja bersama-sama (gotong
royong) dalam menjaga kelestarian hutan mangrove yang
telah diwujudkan. Jika terjadi gangguan berupa kematian
pohon mangrove di mana pun, anggota komunitas berusaha
untuk menanaminya kembali. Gangguan kematian bisa terjadi
secara alamiah, tetapi juga unsur kesengajaan yang dilakukan
oleh seseorang dari anggota komunitas maupun orang luar.
Jika terjadi kematian alamiah anggota kelompok berusaha
menanaminya kembali secara bersama-sama.

Berdasarkan kesepakatan, jika kerusakan disebabkan oleh


tindakan yang dilakukan orang dalam atau anggota komunitas

120
akan diberi sanksi penanaman kembali sebanyak tiga kali luas
hutan mangrove yang dirusaknya. Sanksi tersebut berupa
pernyataan secara tertulis, kemudian dipegang oleh ketua
kelompok dan pengawasan terhadap sanksi tersebut dilakukan
oleh anggota kelompok yang tergabung dalam pemulihan dan
pelestarian hutan mangrove.

Jika yang melakukan perusakan adalah orang dari luar desa,


perusak tersebut akan diberi sanksi untuk tidak mengulangi
lagi perbuatannya. Orang luar dari komunitas biasanya hanya
mengambil sumberdaya dalam hutan mangrove, seperti batang
mangrove, ranting sebagai kayu bakar, dan sumberdaya lain.
Namun demikian, pelanggar tersebut diberi sanksi untuk tidak
mengulangi perbuatannya. Apabila masih mengulangi lagi,
akan diproses secara hukum, yakni dibawa ke polisi.

Kebanyakan orang luar tidak mengetahui bahwa hutan


mangrove itu merupakan hasil penanaman anggota komunitas
Desa Pasar Banggi dan menjadi aset komunitas, sehingga
mereka melakukan pengambilan sumberdaya seperti halnya
laut atau di hutan. Mereka menganggap hutan mangrove seba-
gai milik bersama, sehingga orang luar pun boleh mengambil
sumberdaya alam di dalamnya.

Dengan pulih dan lestarinya hutan mangrove telah mem-


berikan perlindungan secara alami tanggul tambak. Dengan
keberadaan hutan mangrove, para anggota komunitas yang
tergabung di dalam kelompok petani perikanan tersebut dapat
membudidayakan tambaknya dan mencari sumberdaya alam
laut di sekitarnya. Hutan mangrove yang menjadi kebanggaan

121
anggota komunitas petani tambak dan seluruh masyarakat
Desa Pasar Banggi sekarang menjadi pelindung alami tambak-
tambak seluas 72 Ha. Sedangkan luas hutan mangrove
sendiri mencapai 60 Ha atau sepanjang 3,5 kilometer dengan
ketebalan antara 65-150 meter. Sumberdaya alam dan hutan
mangrove pun pulih serta tambak sebagai tempat budidaya
perikanan dapat terlindungi.

Selain itu, dapat memunculkan kegiatan ikutan untuk


peningkatan akselerasi pencapaian kualitas hidup komunitas
agar lebih baik. Usaha ini merupakan wujud upaya komunitas
untuk meningkatkan kapasitas anggota komunitas, sehingga
dapat mengatasi masalahnya sendiri, yakni kerusakan tanggul
tambak dengan menanam pohon mangrove. Pengembangan
komunitas yang dilakukan oleh komunitas Desa Pasar Banggi
merupakan proses pengembangan komunitas, khususnya
kegiatan dalam kerangka pemulihan dan pelestarian hutan
mangrove. Pulihnya hutan mangrove dapat meningkatkan
kehidupan komunitas yang lebih baik kepada keseluruhan
komunitas. Masalah lain yang datang pun akhirnya dapat di-
pecahkan berdasarkan pengalaman dan kemampuan yang
dimiliki.

Dengan keberhasilan komunitas Desa Pasar Banggi dalam


melakukan rehabilitasi atau pemulihan dan pelestarian hutan
mangrove dapat disebut sebagai gerakan sosial masyarakat
peduli mangrove atau proses pengembangan komunitas.
Gerakan ini kemudian dilakukan oleh komunitas desa lain
yang mendapatkan fasilitas dari pemerintah setempat.
Namun, gerakan penanaman pohon yang bersifat massal di

122
berbagai tempat di wilayah Rembang pada khususnya, dan
Jawa Tengah pada umumnya, ternyata banyak mengalami
kegagalan. Karena, orang-orang yang terlibat dalam gerakan
penanaman pohon mangrove tidak memahami benar tata
cara dan pola tanam pohon mangrove. Selain itu, tidak ada
pionir yang bertanggung jawab dan dapat menggerakkan serta
memberikan pengetahuan mengenai tata cara penanaman
mangrove yang benar dan baik.

Pentingnya seorang pionir atau perintis lingkungan


sebagai tokoh peduli mangrove merupakan hal yang sangat
penting untuk memberikan sosialisasi dan mengkomunikasi-
kan pentingnya pohon mangrove bagi wilayah pesisirnya. Jika
gerakan penanaman pohon mangrove hanya bersifat sesaat
dan tidak dilakukan pemeliharaan dan penyulaman maka bibit
mangrove yang sekadar ditanam akan segera mati dengan
sendirinya.

Kegiatan dari keseluruhan pengembangan komunitas yang


dilakukan petani tambak yang tergabung dalam Kelompok
Tani Sidodadi Maju dengan melakukan rehabilitasi hutan
mangrove bertujuan melindungi aset-aset komunitas. Dengan
aset-aset yang terlindungi dan aman, para petani tambak dan
nelayan dapat memperoleh penghasilan tanpa ada kekawatiran
terjadinya kerugian. Secara khusus, tambak dapat digunakan
petani sebagai tempat budidaya ikan dan pembuatan garam,
agar kualitas hidup komunitas meningkat. Selain itu, dengan
adanya hutan mangrove, menyediakan berbagai sumberdaya
alam laut dan pesisir yang dapat dimanfaatkan untuk kepen-
tingan komunitas.

123
B. Proses Tumbuhnya
Partisipasi Anggota Komunitas
Proses pengembangan dalam melakukan kegiatan pemu-
lihan dan pelestarian atau rehabilitasi hutan mangrove yang
terjadi di Desa Pasar Banggi tidak mungkin dapat diwujudkan
jika tidak disertai partisipasi secara aktif anggota komunitasnya.
Partisipasi anggota komunitas merupakan faktor penting dan
bahkan dapat menentukan keberhasilan keseluruhan proses
pengembangan komunitas.
Kegiatan dalam melakukan pemulihan dan pelestarian
hutan mangrove tidak bisa dilakukan seorang diri dari pionir
atau perintis maupun kelompok kecil orang tertentu. Kegiatan
tersebut dapat diwujudkan dengan partisipasi yang dilakukan
anggota komunitas lain secara bersama-sama. Sebagaimana
ditunjukkan oleh anggota komunitas desa tersebut dalam
mendukung upaya mewujudkan tanggul tambak dan pesisir
pantai dengan menanam hutan mangrove sebagai pelindung
alami tambak diikuti partisipasi aktif anggota petani tambak.
Partisipasi anggota komunitas petani tambak tidak be-
gitu saja muncul dan terwujud dengan mudah. Terwujudnya
partisipasi anggota komunitas, dimulai dari upaya yang tidak
mengenal lelah dari seorang perintis dan pelestari lingkungan,
khususnya hutan mangrove dalam mengkomunikasikan pen-
tingnya hutan mangrove sebagai pelindung alami tambak. Hal
ini melihat kenyataan bahwa pelindung tambak yang terbuat
dari tiang pancang, berupa bambu atau batang kayu maupun
campuran batu bata semen, tidak mampu menahan gelombang
dan abrasi air laut.

124
Melihat kenyataan tersebut, pionir dari gerakan rehabilitasi
mangrove berinisiatif untuk menanami tanggul tambak dengan
pohon mangrove, yang diyakini dapat memberi contoh nyata
pelindung alami tambak. Meskipun hal ini merupakan sesuatu
yang logis dan dapat diterima oleh akal, akan tetapi anggota
komunitas pemilik tambak tidak serta-merta mau mengikuti
dan melakukan penanaman pohon mangrove. Sebagai orang
awam, anggota komunitas pemilik tambak perlu contoh
nyata tentang fungsi hutan mangrove yang dapat menjadi
pelindung alami tambak. Oleh karena itu, mengajak anggota
komunitas untuk berpartisipasi dalam kegiatan pemulihan
dan pelestarian hutan mangrove diperlukan kerja keras untuk
mengkomunikasikannya.

Pada tahun-tahun awal, yakni empat tahun pertama sejak


dilakukan penanaman pohon mangrove, belum ada partisipasi
anggota komunitas. Sesungguhnya, telah ada usaha untuk
melibatkan petani tambak lain. Usahanya tersebut dilakukan
dengan berusaha memberikan penjelasan tentang pentingnya
pohon mangrove bagi tanggul tambak warga komunitas petani
tambak. Namun, transformasi yang dilakukan belum menarik
para pemilik tambak yang berbatasan dengan laut, sehingga
belum satu pun anggota komunitas tertarik melakukannya.
Hal ini juga disebabkan oleh upaya yang dilakukannya saat
itu dalam melakukan penanaman mangrove yang belum
menunjukkan keberhasilan.

Pada awal menanam pohon mangrove di tahun pertama


dan kedua, banyak mengalami kegagalan, sehingga mempenga-
ruhi sikap anggota komunitas terhadap upaya yang dilakukan.

125
Sikap tidak percaya tersebut diikuti penolakan dari anggota
komunitas dengan menentang hingga mengejek. Bahkan
kegiatan penanaman pohon mangrove dianggap sia-sia dan
tidak ada gunanya, serta belum tentu mampu melindungi
tambak mereka.

Setelah pohon mangrove dapat tumbuh di tanggul tambak,


sedikit demi sedikit anggota komunitas menaruh perhatian
mengenai penanaman mangrove. Oleh karena itu, keikutsertaan
atau partisipasi anggota komunitas melalui proses panjang
memerlukan kesabaran dan contoh nyata. Itulah sebabnya,
partisipasi anggota komunitas untuk terlibat di dalam gerakan
pemulihan dan pelestarian hutan mangrove tidak langsung
berjalan mulus dan melibatkan seluruh anggota komunitas,
melainkan satu demi satu dan pada akhirnya, seluruh anggota
komunitas.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa sejak tahun


kelima, yakni tahun 1968, anggota komunitas mulai berpar-
tisipasi dalam kegiatan penanaman pohon mangrove. Dalam
tahun itu, anggota komunitas yang terlibat penanaman pohon
mangrove mencapai lima orang. Penanaman pohon mangrove
bersama lima orang anggota komunitas tersebut, selain me-
nanami tanggul tambak orang-orang tersebut, juga melakukan
penanaman di kawasan tanah negara. Luas secara keseluruhan
tanah tanggul yang ditanami pohon mangrove mencapai 0,8
Ha. Sedangkan jumlah bibit yang ditanam, termasuk bibit untuk
menyulam yang mati, kurang lebih 8000-an batang.

Pada tahun berikutnya, 1969, anggota komunitas yang


berpartisipasi masih seperti tahun sebelumnya, yakni hanya 5

126
orang. Hal tersebut menunjukkan bahwa melibatkan anggota
komunitas untuk berpartisipasi dalam penanaman pohon
mangrove bukan perkara mudah. Namun demikian, dengan
keterlibatan lima orang tersebut, kegiatan penanaman pohon
mangrove semakin diperluas. Pada 1969, luas tanam pohon
mangrove bertambah 1 Ha, dengan jumlah bibit yang ditanam
sebanyak kurang lebih 9000-an batang.

Selanjutnya pada 1970, keterlibatan anggota komunitas


terus bertambah. Hal ini disebabkan keberhasilan dalam
menanam pohon mangrove yang sudah menampakkan bukti
nyata dan bahkan hasilnya mulai dapat melindungi tanggul
tambak. Oleh karena itu, anggota komunitas yang terlibat
bertambah 2 orang, sehingga secara keseluruhan menjadi
7 orang. Sebagaimana tahun sebelumnya, tahun 1970 juga
dilakukan penanaman di tanggul tambak anggota komunitas
dan area tanah negara yang luas tanamnya mencapai 1,2 Ha
dan jumlah bibit yang ditanam sebanyak 12000-an batang.

Pada 1971, partisipasi anggota komunitas yang terlibat


dalam penanaman pohon mangrove terus meningkat. Meski-
pun pertambahannya tidak terlalu signifikan, namun hal ini
menunjukkan bahwa kegiatan penanaman pohon mangrove
yang dilakukan anggota komunitas dapat berhasil dan mampu
memikat anggota komunitas yang belum terlibat. Pada tahun
itu, pertambahan anggota komunitas yang terlibat dalam
penanaman pohon mangrove bertambah dan menjadi 9 orang.
Dengan terus bertambahnya jumlah anggota komunitas yang
terlibat, akselerasi kegiatan penanaman pohon mangrove juga
semakin bertambah dan wilayah yang ditanami pun diperluas.

127
Selanjutnya, pada 1972, merupakan awal terbentuknya
Kelompok Tani Tambak yang melakukan penanaman pohon
mangrove. Jumlah anggota yang terlibat kegiatan mengalami
kenaikan, yakni 11 orang. Berdasarkan kesepakatan, akhirnya
11 orang petani tambak membentuk kelompok tani yang
dinamai Kelompok Tani Perikanan Sidodadi Maju. Kelompok
ini terbentuk atas kesadaran anggota komunitas mengenai
pentingnya kegiatan bersama dalam melakukan penanaman
pohon mangrove. Dengan kelompok tersebut, para petani
tambak semakin intensif melakukan kegiatan penanaman
bersama. Selain itu, kegiatan pembibitan, penanaman, dan
pemeliharaan dilakukan bersama-sama.

Pada 1973 hingga 1980, kegiatan penanaman pohon


mangrove yang dilakukan anggota kelompok tani semakin
intensif. Warga menilai, penanaman pohon mangrove telah
dirasakan dan menjadi kebutuhan mereka. Pohon yang tumbuh
benar-benar telah dapat menjadi pelindung alami tambak.
Selain itu, bibit-bibit yang telah ditanam di tahun sebelumnya,
sudah mulai besar. Pohon yang sudah tumbuh dan besar
tersebut memberikan keyakinan besar dan nyata bahwa pohon
mangrove dapat memberikan manfaat langsung, yakni menjadi
pelindung alami tambak. Oleh karena itu, anggota kelompok
bertekad menanam pohon mangrove di sebelah desa mereka,
yakni pantai Desa Tireman yang ada di sebelah barat dan
pantai Desa Tritunggal yang ada di sebelah timur desanya.

Pada perkembangan selanjutnya, keikutsertaan anggota


komunitas yang terlibat dalam penanaman pohon mangrove
terus bertambah. Sebagaimana tahun sebelumnya, pertambahan

128
juga hanya beberapa orang. Pada 1981 sampai 1987, anggota
kelompok tani yang peduli pada penanaman mangrove
bertambah menjadi 18 orang. Bertambahnya anggota kelompok
tani ini menambah sumberdaya manusia (SDM) yang ada,
sehingga kegiatan penanaman yang dilakukan semakin meluas.
Tidak hanya lokasi pantai di Desa Pasar Banggi, penanaman
mangrove dilakukan pula desa lain di kawasan Kecamatan
Lasem. Jika pada tahun sebelumnya, hanya sebelah kiri dan
kanan desa Pasar Banggi, kegiatan penanaman pohon mang-
rove sudah sangat luas, bahkan di luar kecamatan.

Keanggotaan petani tambak peduli mangrove terus ber-


tambah pada tahun-tahun berikutnya, yakni tahun 1988 sampai
tahun 1990. Jumlah kelompok tani di akhir tahun 1990-an
adalah 28 orang. Dengan jumlah sebesar, dinamika kelompok
mulai banyak dikenal oleh masyarakat luas, baik itu pemerintah
kecamatan, kabupaten, provinsi, dan perguruan tinggi. Oleh
karena itu, kegiatan kelompok tani peduli mangrove akhirnya
mendapat dukungan dari berbagai pihak.

Tahun 1988 misalnya, penanaman pohon mangrove yang


dilakukan oleh anggota komunitas mendapat dukungan dari
Pemerintah Kabupaten Rembang dengan memberikan insentif
berupa pengadaan bibit dan biaya operasional penanaman.
Untuk melakukan pembibitan, berbagai instansi menyumbang
polybag sebagai media, sehingga hasil pembibitan lebih baik
dan berkualitas. Selain itu, jumlah pembibitan semakin banyak
dan sisa dari bibit yang ditanam dapat dijual guna menambah
penghasilan kelompok. Hal ini berkaitan dengan kegiatan pe-
nanaman di luar wilayah desa yang mencapai 3 Ha. Pada 1988,

129
luas penanaman berlokasi di Desa Tireman dan Tritunggal,
serta Desa Lasem. Bahkan ada pemerintah daerah lain yang
memesan bibit mangrove dari Kelompok Tani Sidodadi Maju.

Itulah sebabnya, pada tahun berikutnya, banyak instansi


pemerintah dan lembaga perguruan tinggi ikut berpartisipasi
mendukung kegiatan penanaman pohon mangrove yang
dilakukan Kelompok Tani Sidodadi Maju Desa Pasar Banggi.
Perguruan tinggi besar yang mendukung kegiatan penanaman
mangrove adalah Universitas Diponegoro Semarang, Univer-
sitas Gadjah Mada Yogyakarta, dan Institut Pertanian Bogor.
Dengan kegiatan yang didukung oleh perguruan tinggi, usaha
pemulihan dan pelestarian atau rehabilitasi hutan mangrove
yang ada di Desa Pasar Banggi semakin dikenal masyarakat
luas. Pemimpin informal atau ketua kelompoknya pun diundang
untuk menceritakan keberhasilan bersama anggota komunitas
dalam melakukan penanaman pohon mangrove serta kondisi
hutan mangrove yang ada di desanya.

Pada gilirannya, Desa Pasar Banggi banyak dikunjungi


sebagai tempat studi banding masyarakat kampus dan
komunitas peduli mangrove dari seluruh Indonesia. Mereka
datang dari seluruh penjuru Nusantara, bahkan banyak juga
yang datang dari mancanegara. Sampai 2013, jumlah anggota
kelompok menjadi 57 orang dan kegiatan para anggota
komunitas terus berlanjut. Namun, jumlah kegiatan penanaman
mulai berkurang. Karena, wilayah pesisir Desa Pasar Banggi
telah tertanami pohon mangrove. Kegiatan anggota komunitas
diintensifkan pada pemeliharaan dan penyulaman tanaman
mangrove yang mati.

130
Pengembangan kegiatan anggota kelompok terus di-
lakukan dan tidak terbatas pada menanam dan memelihara
tanaman mangrove, melainkan kegiatan sosial-ekonomi
yang dapat mendukung peningkatan kesejahteraan seluruh
anggota komunitas. Kegiatan arisan, simpan pinjan, dana
taktis, dan pemberdayaan anggota komunitas perempuan terus
dikembangkan terkait keberadaan sumberdaya alam hutan
mangrove dan sumberdaya alam lain yang tersedia.

C. Pemimpin Informal Komunitas dan


Terbentuknya Lembaga Lokal
Pada setiap proses perubahan sosial dalam komunitas
pesisir melakukan rehabilitasi hutan mangrove diikuti dengan
munculnya seorang pemimpin informal. Kegiatan tersebut
merupakan gerakan perubahan sosial dalam komunitas yang
secara alamiah memunculkan pemimpin. Pemimpin tersebut
pada umumnya berasal dari salah satu anggota komunitas
bersangkutan dan jarang berasal dari daerah lain.

Hal tersebut terjadi pula pada komunitas Desa Pasar Banggi


dalam melakukan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove yang
diikuti muncul dan diakuinya seseorang menjadi pemimpin
informal. Pemimpin tersebut adalah putra asli desa yang lahir,
tumbuh, dan besar di masyarakat pesisir serta melakukan
gerakan rehabilitasi hutan mangrove. Pemimpin informal itu
merupakan seorang perintis atau inisiator kegiatan rehabilitasi
hutan mangrove di Desa Pasar Banggi. Keberadaannya sebagai
pemimpin disetujui dan disepakati oleh anggota komunitas
peduli mangrove untuk menjadi pemimpin informal mereka.

131
Pengakuan demikian sangat terkait erat dengan keseluruhan
proses pengembangan komunitas yang dimulai tahun 1964
sampai dengan 2013.

Pada proses awal terjadinya pemulihan dan pelestarian


mangrove di Desa Pasar Banggi, seorang menjadi perintis
lingkungan yang mempunyai ide dan penggagas dari kegiatan
penanaman mangrove. Kegiatan yang mulanya dilaksanakan
sendiri kemudian diikuti oleh anggota komunitas petani
tambak. Dengan terlibatnya anggota komunitas dan semakin
luas wilayah yang dijangkau untuk ditanami pohon mangrove,
ada keinginan untuk membentuk kelompok.

Melalui pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh


anggota komunitas setiap ada kegiatan, Sang Pionir secara
terbuka terus menyampaikan keinginannya untuk mengikat
anggota peduli mangrove ke dalam suatu kelompok lokal.
Keinginannya untuk membentuk kelompok tani tambak ter-
sebut disampaikan kepada petani tambak lain yang telah aktif
berpartisipasi dalam penanaman pohon mangrove. Semua
anggota menyetujui bahwa untuk kepentingan yang lebih luas
dan besar dalam melakukan rehabilitaasi hutan mangrove,
harus ada lembaga lokal atau dalam bentuk kelompok, sebagai
wadahnya.

Selain itu, kebutuhan akan kelompok atau lembaga lokal


sebagai wadah kegiatan anggota komunitas peduli mang-
rove sangat diperlukan, mengingat kegiatan pemulihan dan
peles tarian hutan mangrove ada yang mengkoordinasi dan
bertanggung jawab. Setelah berjalan delapan tahun, kegiat-
an penanaman pohon mangrove yang dilakukan anggota

132
komunitas, lembaga, atau kelompok lokal baru dapat dibentuk.
Berdasarkan kesepakatan anggota komunitas peduli mangrove
melalui berbagai pertemuan, pemimpin tersebut menyampai-
kan pentingnya kelompok. Dalam menyampaikan pentingnya
kelompok, dilakukan di berbagai tempat, misalnya di tempat
pembibitan dan sewaktu melakukan kegiatan penanaman
pohon mangrove secara gotong royong, atau kegiatan bersama
lainnya. Dalam semua situasi, ia selalu mengungkapkan ke-
inginannya untuk membentuk kelompok.

Kelompok diyakininya sebagai lembaga lokal yang sa-


ngat dibutuhkan, terkait dengan kegiatan anggota komunitas
yang terlibat gerakan peduli penanaman pohon mangrove.
Dalam bentuk kelompok lokal, diyakini dapat digunakan
sebagai wadah anggota komunitas untuk lebih mengikat
dan mengintensifkan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.
Sebelumnya, anggota komunitas peduli mangrove hanya
melakukan pertemuan-pertemuan informal tanpa ada bentuk
kelompok dan juga ketua.

Dalam pertemuan-pertemuan informal tersebut, perintis


kegiatan rehabilitasi mangrove menyampaikan laporan
perkembangan kegiatan yang telah dilakukan dan rencana
kegiatan selanjutnya di kemudian hari. Agenda-agenda ter-
sebut hanya disampaikannya secara lisan, tanpa ada bukti
tertulis atau catatan tertentu. Selain itu, disampaikan hal-
hal mengenai persiapan dalam melakukan pembibitan dan
pelaksanaan penanaman bibit mangrove secara bersama. Ia
juga menyampaikan tata cara pembibitan yang baik dan tata
cara melakukan penanaman mangrove yang benar.

133
Hal-hal tersebut sangat penting disampaikan kepada
anggota komunitas yang sudah terlibat dalam penanaman
pohon mangrove, agar apa yang dikerjakan, yakni dalam
melakukan pembibitan mangrove dapat menghasilkan bibit
pohon mangrove berkualitas. Selanjutnya, disampaikan tata
cara menanam mangrove yang baik dan benar, sehingga
menghasilkan tanaman mangrove yang dapat tumbuh sem-
purna. Dengan menanam baik dan benar, diharapkan tingkat
kematian bibit mangrove yang ditanam menjadi lebih kecil per-
sentasenya. Semua itu ia sampaikan kepada anggota komunitas
yang terlibat penanaman mangrove berdasarkan pengetahuan
dan pengalaman yang dimiliki.

Pada perkembangan selanjutnya, dalam kegiatan rehabilitasi


hutan mangrove di Desa Pasar Banggi, adalah niatnya untuk
segera membentuk kelompok. Niat tersebut selalu disampaikan
kepada anggota komunitas yang telah berpartisipasi dalam
penanaman bibit pohon mangrove berulang kali. Setelah
semua kegiatan pembibitan dan penanaman bibit pohon
mangrove selesai dilakukan akhir 1972, barulah diadakan rapat
di rumahnya. Pada 20 Desember 1972, melalui rapat tersebut,
secara aklamasi seluruh anggota yang terlibat penanaman
bibit pohon mangrove yang hadir menyetujui dibentuknya
kelompok. Tanggal tersebut disepakati sebagai hari lahir
Kelompok Tani Tambak. Untuk mengenang dan memperingati
berdirinya kelompok lokal tersebut, setiap tanggal 20 diadakan
pertemuan kelompok bulanan, sampai sekarang.

Dalam rapat tersebut, tidak ada anggota komunitas yang


mengusulkan nama kelompok. Hal ini tentu berkaitan dengan

134
kapasitas dan pengalaman anggota yang sangat terbatas,
sehingga tidak ada usulan mengenai nama kelompok yang
dibentuknya. Berdasarkan usulan yang disampaikan inisiatornya
kemudian anggota kelompok menyetujuinya, yakni adanya
nama kelompok. Nama kelompok tani tambak yang disepakati
adalah Kelompok Tani Perikanan Sidodadi Maju. Makna
dari nama tersebut menurut pencetusnya bahwa kelompok
tani tambak peduli mangrove tersebut dapat memajukan
dan memakmurkan masyarakat desanya melalui gerakan
penanaman pohon mangrove.

Sebenarnya, selain menghimpun anggota petani tambak


di dalam mengelola tambak dan hasil tambak, tujuan utama
kelompok ini adalah peduli terhadap pemulihan dan pelestarian
atau rehabilitasi hutan mangrove. Kelompok lokal tersebut me-
lakukan penanaman pohon mangrove di seluruh wilayah pesisir
Desa Pasar Banggi bahkan sampai pesisir wilayah desa lain,
yakni desa Tireman dan Tritunggal. Untuk mewujudkan tujuan
besar tersebut, yakni tertanaminya wilayah pesisir desa dengan
pohon mangrove, anggota komunitas secara sukarela dan
aklamasi akhirnya membentuk kelompok peduli mangrove.

Kelompok tani tersebut bersifat informal karena tidak


merupakan bagian dari organisasi Desa Pasar Banggi atau
organisasi di bawah pemerintahan desa. Selain sebagai
kelompok informal, kelompok tersebut melakukan gerakan
perubahan sosial atas inisiatif mereka sendiri, yakni rehabilitasi
hutan mangrove. Gerakan rehabilitasi hutan mangrove atau
gerakan menanam pohon mangrove di tanggul tambak di
wilayah pesisir Desa Pasar Banggi.

135
Gerakan ini juga disebut sebagai gerakan dari bawah
(bottom-up), karena merupakan gerakan yang muncul atas
kesadaran diri dari anggota komunitas setempat. Kesadaran
tersebut mengenai pentingnya pohon mangrove dan hutan
mangrove sebagai bagian dari lingkungan pesisir di wilayah
perdesaannya. Hutan mangrove diyakini sebagai lingkungan
yang harus dipulihkan dan dilestarikan karena dapat menjadi
pelindung alami tambak dan di dalam hutan mangrove itu
sendiri mengandung berbagai sumberdaya alam yang dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan seluruh komunitas desa.

Selain itu, pembentukan kelompok ini didasarkan atas


kenyataan bahwa kegiatan penanaman dan pelestarian pohon
mangrove tidak mungkin dilakukan seorang diri, tetapi sudah
melibatkan banyak anggota komunitas. Dengan banyaknya
orang yang terlibat maka gerakan penanamannya dapat
dilakukan di dalam area lebih luas. Hal tersebut terkait dengan
pohon mangrove yang ditanam oleh anggota komunitas telah
dilakukan pada area milik pemerintah desa dan tanah milik
negara. Kegiatan yang sudah bersentuhan dengan kepentingan
orang banyak dan masyarakat luas tersebut disadari akan
rawan terjadinya benturan kepentingan atau kesalahpahaman.
Untuk menjembatani kepentingan anggota tersebut diperlukan
kelompok lokal sebagai wadahnya.

Pembentukan kelompok, diyakini dapat membantu pen-


carian jalan keluar dan memberikan mediasi anggota kelompok,
jika terjadi gesekan atau benturan kepentingan di antara
anggota komunitas. Benturan kepentingan bukan hanya antara
anggota komunitas, melainkan dapat terjadi antara komunitas

136
peduli mangrove dengan komunitas lain. Kelak di kemudian
hari, jika terjadi kesalahpahaman akan lebih mudah diatasi,
daripada bertindak sendiri-sendiri. Dengan kata lain, kegiatan
pemulihan dan pelestarian hutan mangrove memerlukan
kehadiran lembaga lokal. Konflik akan mudah terjadi, karena
hutan mangrove merupakan aset milik bersama, sehingga
banyak orang mempunyai hak sama. Dengan kepentingan
seperti itu, gesekan kepentingan mudah terjadi.

Selain itu, kegiatan yang sudah melampaui batas-batas


kepemilikan pribadi dan masyarakat luas sangat mungkin me-
nimbulkan konflik, baik sesama anggota, anggota kelompok
dengan masyarakat luas, dan bahkan dengan pemerintah desa
maupun pemerintah yang lebih tinggi. Dengan kesepakatan
bersama, akhirnya semua anggota komunitas setuju untuk di-
bentuk kelompok tani peduli mangrove. Kelompok lokal tani
perikanan tersebut disebut juga sebagai kelompok peduli
mangrove yang para anggotanya adalah petani tambak. Namun,
mereka secara bersama-sama melakukan penanaman pohon
mangrove. Ketika itu, jumlah anggotanya masih sedikit, karena
mungkin benturan kepentingan lebih mudah diatasi. Untuk
mengatasi berbagai kepentingan saat jumlah bertambah banyak,
diperlukan lembaga sosial lokal yang berbentuk kelompok.

Perkembangan dan pertambahan anggota kelompok


terus terjadi, setiap tahun. Hal ini berkaitan dengan kesadaran
anggota komunitas yang tambaknya jauh dari perbatasan
air laut, akhirnya ikut bergabung. Bergabungnya anggota
komunitas lain tersebut dilandasi kesadaran bahwa pemilik
tambak, yang meskipun tempatnya jauh dari perbatasan air laut,

137
membutuhkan sumberdaya air laut. Air laut tersebut digunakan
untuk mengisi tambak demi kepentingan memelihara ikan
dan udang serta dibutuhkan untuk membuat garam. Dengan
kepentingan yang sama tersebut, akhirnya anggota kelompok
terus bertambah jumlahnya setiap tahun.

Bahkan pada 2013, jumlah anggota kelompok tersebut


menjadi 59 orang. Dari sejumlah anggota kelompok tani
tersebut, ternyata bukan semuanya pemilik tambak, sebagai-
mana anggota kelompok tani sebelumnya. Kelompok tani
dengan jumlah sebanyak itu terdiri dari pemilik tambak, penyewa
tambak, dan buruh tambak. Semua anggota komunitas yang
terlibat dalam pembudidayaan tambak dapat menjadi anggota
kelompok, sehingga jumlahnya terus bertambah. Sedangkan
pemilik tambak yang tidak ikut menjadi anggota kelompok
tani, karena yang bersangkutan bukan penduduk Desa Pasar
Banggi.

Perkembangan keanggotaan ini tidak sejalan dengan


perkembangan luas tambak atau kepemilikan tambak. Tambak
yang ada di Desa Pasar Banggi mulai tahun 1964 sampai seka-
rang luasnya tetap 72 Ha. Belum ada tambak yang direklamasi
untuk dijadikan tempat tinggal atau dijadikan pabrik, sehingga
jumlah luasnya relatif tetap. Dengan semakin banyaknya orang
yang terlibat dalam pembudidayaan tambak maka kegiatan
dalam pertambakan, baik budidaya ikan dan pembuatan garam
rakyat, juga semakin intensif.

Dengan dibentuknya kelompok, semua kegiatan yang


berkaitan dengan pembibitan dan penanaman mangrove
diwadahi kelompok tani peduli mangrove tersebut. Pertemuan

138
kelompok sering dilakukan untuk merencanakan dan mem-
persiapkan segala sesuatu yang akan dilakukan, berkaitan
dengan penanaman pohon mangrove. Karena kelompok tani
tambak peduli mangrove ini tidak mempunyai kantor sampai
tahun 2013 maka pertemuan kelompoknya di rumah anggota
kelompok secara bergiliran. Hal tersebut bersamaan dengan
kegiatan arisan kelompok yang diselenggarakan tanggal 20
setiap bulannya.

Dengan intensitas dan akselerasi kegiatan anggota


komunitas melalui kelompok, akhirnya dibutuhkan seorang
pemimpin. Kebutuhan ini dirasakan mendesak, karena kelom-
pok tanpa ketua atau pemimpin bagaikan kendaraan tanpa
sopir. Hal itu juga terjadi dalam Kelompok Tani Tambak Sido-
dadi Maju. Kebutuhan akan ketua sangat mendesak dan
sangat diperlukan. Keberadaan ketua kelompok bukan hanya
untuk kepentingan kelompok yang berkaitan dengan gerakan
penanaman pohon mangrove. Ketua kelompok juga sangat
penting sebagai koordinator dan penanggung jawab gerakan
komunitas yang dilaksanakan secara gotong royong dalam
melakukan penanaman pohon mangrove.

Kelompok membutuhkan ketua, sehingga anggota ke-


lompok menjadi lebih teratur dan terarah dalam melakukan
pemulihan dan pelestarian hutan mangrove. Dengan adanya
ketua, kegiatan komunitas dalam melakukan pemulihan dan
pelestarian hutan mangrove semakin intensif dan terarah, serta
akuntabel.

Selain itu, keberadaan pemimpin kelompok diperlukan guna


kepentingan membangun modal sosial serta mengorganisasi

139
dan menumbuhkan partisipasi anggota kelompok dalam me-
lakukan pemulihan dan pelestarian hutan mangrove. Dengan
kelompok yang telah dibentuk akhirnya ditentukan pengurus.
Berdasarkan kesadaran dan kesepakatan bersama seluruh
anggota kelompok kemudian membentuk dan menyusun
pengurus kelompoknya.

Pengurus kelompok tani tambak pada waktu didirikan hanya


terdiri dari ketua, bendahara, sekretaris, dan beberapa anggota.
Pada waktu pertama kali dibentuk, Ketua dijabat H. Suyadi,
Sekretaris H. Maskat, dan Bendahara H. Ruslan. Sementara
yang lain menjadi anggota. Kegiatan kelompok petani tambak
yang relatif kecil ini terus bertambah, tidak hanya kegiatan
dalam pemulihan dan pelestarian hutan mangrove, melainkan
kegiatan lain seperti pertemuan rutin dan arisan simpan pinjam.
Hal itu dipergunakan untuk mempererat dan mengikat anggota
komunitas agar selalu guyub dalam kelompok.

Kelompok tani tambak bernama Sidodadi Maju merupakan


kelompok kecil bersifat lokal yang didirikan oleh kelompok
itu sendiri. Kelompok ini tidak dibentuk oleh pemerintah desa
atau pemerintah pusat. Oleh karena itu, kelompok ini disebut
dengan kelompok akar rumput. Kelompok tersebut tumbuh dari
aspirasi anggota komunitas itu sendiri yang peduli terhadap
rehabilitasi dan kelestarian hutan mangrove.

Kelompok kecil Sidodadi Maju tidak mengenal Anggaran


Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Dengan mengandalkan
kebersamaan, anggota kelompok tani tersebut menjalankan
roda kelompoknya secara informal. Dengan keberadaannya
sebagai kelompok informal maka semua urusan yang

140
berhubungan dengan kegiatan kelompok dilakukan secara
informal. Tanggung jawab secara kolegial, yakni tanggung
jawab bersama, tetapi ada penanggung jawab utamanya, yaitu
ketua kelompok.

Dengan segala urusan yang dilakukan demikian maka


pengurusnya disebut ketua informal atau pengurus informal,
dan akhirnya disebut pemimpin informal. Sejak 1972, untuk
pertama kali dibentuk kelompok tersebut, pemimpin tidak
pernah disahkan atau dilantik oleh siapa pun. Tidak ada
bukti tertulis seperti surat keputusan kepengurusan atau
bukti pengesahan lain tentang kelompok ini dari mana pun.
Ketuanya, yakni H. Suyadi, merupakan pionir dan penggagas
penanaman pohon mangrove yang akhirnya disebut juga
sebagai ketua informal, sekaligus pemimpin informal dalam
melakukan gerakan rehabilitasi hutan mangrove. Dengan status
tersebut, apa yang dilakukan mendapat dukungan sepenuhnya
anggota komunitas, terutama dalam melakukan penanaman
pohon mangrove.

Pemimpin kelompok yang sehari-harinya merupakan petani


tambak, mendapatkan amanah dari anggota komunitas seba-
gai ketua kelompok tani perikanan tanpa melalui pemungut-
an suara. Ketua kelompok tersebut didaulat oleh anggota
kelompok untuk menjadi ketua, bukan hanya karena yang
bersangkutan merupakan orang yang pertama kali menggagas
dan melakukan penanaman pohon mangrove. Orang tersebut
disepakati dan disetujui oleh anggota komunitasnya sebagai
pemimpin kelompok karena mempunyai kapasitas sebagai
pemimpin.

141
Kemampuannya dalam mempengaruhi orang lain untuk
mengikuti tindakannya atau mendukung apa yang dilakukannya,
sangat nyata. Dengan selalu mengajak anggota komunitas
untuk melakukan kegiatan menanam dan merehabilitiasi pohon
mangrove menjadi buktinya. Dengan proses kegiatan demikian,
anggota kelompok menyetujuinya menjadi pemimpin. Dengan
status pemimpin, rehabilitasi hutan mangrove menjadi tanggung
jawabnya. Selain itu, ia menjadi penanggung jawab kegiatan
kelompok tani tambak peduli mangrove dan kegiatan lain
yang berkaitan dengan keseluruhan proses pengembangan
komunitas di wilayahnya.

Sebagai pionir atau perintis kegiatan rehabilitasi hutan


mangrove, keberadaannya disetujui oleh anggota komunitas
sebagai ketua kelompok, karena mempunyai kapasitas lebih
dibandingkan anggota kelompok lain. Dari sisi pengalaman,
Suyadi pernah menjadi tentara dan bertugas di Provinsi Suma-
tera Barat. Pengalaman yang diperoleh tersebut berkaitan
dengan relasinya dengan orang lain dari komunitas bermacam.
Ia bergaul dengan berbagai orang dari berbagai daerah di
kesatuannya yang bermacam asal-usul. Berbekal pengalaman
bergaul dengan banyak orang, ia memiliki kapasitas untuk
menerima amanah dari anggota komunitas sebagai ketua atau
pemimpin kelompok.

Hal tersebut tentu sangat berbeda dengan anggota komu-


nitas lain yang masih belum pernah pergi ke luar daerah untuk
bergaul dengan banyak orang. Dengan bekal ini, akhirnya
anggota komunitas setuju dan menetapkan secara aklamasi
menjadikan Suyadi sebagai ketua kelompok tani perikanan,

142
sekaligus pemimpin informal mereka. Kemampuan terpenting-
nya sebagai seorang pemimpin terkait dengan proses keselu-
ruhan pengembangan komunitas. Disetujui dan diberi amanah
oleh anggota komunitas sebagai pemimpin, karena kemampu-
annya melakukan pemulihan dan pelestarian hutan mangrove.
Meskipun tidak pernah mempelajari tumbuhan mangrove me-
lalui bangku sekolah atau membaca buku tentang mangrove,
namun pengetahuannya tentang mangrove sangat luas dan
mendalam.

Semua pengetahuan tentang mangrove dipelajari Suyadi


secara autodidak, sehingga sangat mengerti betul berbagai hal
mengenai pohon mangrove dan hutan mangrove yang ada
di desanya. Dengan kelebihan ini, ia mendapat kehormatan
anggota komunitasnya menjadi pemimpin dalam kegiatan
rehabilitasi hutan mangrove. Dengan berbagai pengalaman dan
kemampuan tersebut akhirnya Suyadi tidak hanya dianggap
sebagai pemimpin di komunitasnya, tetapi di luar komunitas
pun mendapat predikat atau sebutan pemimpin informal dari
Desa Pasar Banggi. Oleh karena itu, jika ada urusan atau
kepentingan kelompok petani tambak yang berhubungan
dengan masyarakat luas, pemerintah desa, pemerintah ke-
camatan, kabupaten, provinsi, dan pemerintah pusat, Suyadi
mewakili kelompoknya. Karena itu, masyarakat luas akhirnya
memberikan penghargaan dan penghormatan bahwa yang
bersangkutan merupakan pemimpin informal dari Desa Pasar
Banggi.

Sebagai pemimpin komunitas yang peduli pada pemulihan


dan pelestarian hutan mangrove, Suyadi mempunyai kelebihan

143
dibandingkan dengan anggota komunitasnya, terutama dalam
menjalin hubungan sosial, baik sesama petani tambak maupun
dengan masyarakat luas. Hal ini terlihat dari sikapnya yang selalu
menerima siapa pun yang datang dan memerlukan dirinya.
Sebagai bagian dari komunitas Desa Pasar Banggi sejak kecil
sampai sekarang, prinsipnya selalu memegang teguh norma
dan nilai-nilai masyarakat setempat. Menurutnya, tamu atau
orang luar yang datang ke Desa Pasar Banggi adalah orang
yang harus dihargai dan dihormati. Tamu adalah raja, begitu
prinsip Suyadi dalam menghormati tamunya. Penghargaan
demikian akhirnya berimbas pada dirinya sendiri bahwa yang
bersangkutan juga dihargai dan dihormati oleh orang luar desa
dan masyarakat luas sebagai pemimpin komunitas.

Bersamaan dengan berjalannya waktu, proses pengem-


bangan komunitas dalam melakukan kegiatan pemulihan dan
pelestarian mangrove oleh anggota komunitas Desa Pasar
Banggi terus berlangsung dan telah berusia 40 tahun lebih.
Dengan kepemimpinan yang telah berjalan selama 50 tahun,
akhirnya secara alamiah perlu ada regenerasi atau pergantian,
khususnya berkaitan dengan keberadaan kelompok tani
tambak.

Pada 20 Desember 2012, melalui rapat anggota kelompok


tani peduli mangrove, kepemimpinannya digantikan dengan
ketua kelompok baru. Nama ketua kelompok yang baru adalah
M. Shahal. Ketua kelompok tani tambak yang baru merupakan
orang luar Desa Pasar Banggi yang menikahi perempuan desa
tersebut. Setelah beberapa lama tinggal dan menjadi penduduk
desa, akhirnya melalui rapat anggota kelompok, M. Shahal

144
diserahi mandat menjadi ketua kelompok tani perikanan peduli
mangrove. Sedangkan pemimpin lama kemudian menjadi
penasihat kelompok.

Walaupun ketua kelompoknya berganti, kepemimpinan


informal Suyadi masih dalam kendalinya. Masyarakat luas yang
datang untuk mencari informasi tentang hutan mangrove bukan
menemui ketua kelompok tani yang baru, tetapi menemui
ketua lama terlebih dahulu. Kapasitas ketua kelompok tani yang
baru belum sepadan dengan pengetahuan pemimpin lama,
berkenaan keseluruhan proses pengembangan komunitas,
khususnya kegiatan pemulihan dan pelestarian hutan mang-
rove. Itulah sebabnya, setiap kali ada kegiatan yang berkaitan
dengan masyarakat peduli mangrove, pemimpin atau ketua
kelompok lama akan dihubungi terlebih dahulu, kemudian baru
mendatangi ketua kelompok tani yang baru.

Meskipun sudah diganti dan tidak menjadi ketua kelom-


pok tani, kepemimpinan komunitas masih berada dalam diri
Suyadi. Oleh karena itu, sampai studi ini dilakukan pada 2013,
pemimpin informal lama masih diakui oleh anggota komunitas
dan masyarakat luas. Pemerintah daerah dan stakeholder akan
menemuinya jika berhubungan dengan persoalan rehabilitasi
hutan mangrove di desanya. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa pemimpin tersebut adalah pemimpin asli, karena berasal
dan tumbuh-kembang dari anggota komunitas setempat. Selain
itu, dalam mengemban amanah sebagai ketua kelompok tani
tambak, ia ditentukan oleh kapasitasnya, bukan kedudukan
formalnya. Ketua kelompok merupakan wujud kedudukan
formal, sementara pengakuan pada Suyadi sebagai pemimpin

145
berdasarkan kapasitas yang dimiliki, khususnya berkaitan
dengan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.

Pemimpin informal juga ditentukan asal usulnya. Hal ini


terkait dengan pengakuan anggota komunitas dalam mengakui
dirinya sebagai pemimpin sekaligus anggota komunitas
setempat. Posisi demikian dapat disebut sebagai pemimpin asli
atau berasal dari akar rumput. Pemimpin akar rumput berasal
dari mereka sendiri atau dari kalangan masyarakat bawah
dan bukan berasal dari anggota komunitas lain. Pemimpin
akar rumput adalah pemimpin di tingkat lokal yang mampu
memimpin dan mengendalikan komunitas kecil. Keberadaan-
nya diakui oleh anggota komunitasnya; bukan berdasarkan
pemilihan atau pengangkatan tertentu, melainkan berdasarkan
kapasitasnya, yakni pengetahuan dan pengalamannya. Dalam
hal ini, sangat terkait erat dengan proses pengembangan
komunitas, khususnya kegiatan rehabilitasi atau kegiatan
pemulihan dan pelestarian hutan mangrove.

D. Peran-Peran Pemimpin Informal


Terpilihnya Suyadi sebagai pemimpin informal karena orang
tersebut berperan sebagai pionir, inisiator atau penggagas, dan
perintis atau pelopor kegiatan rehabilitasi mangrove. Perannya
sangat menentukan karena usahanya yang sangat aktif dan
intensif dalam melakukan kegiatan rehabilitasi hutan mang-
rove. Selain itu, pemimpin demikian juga mempunyai kapasitas
berupa pengetahuan dan pengalaman yang cukup banyak
dalam kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.

146
Perannya sangat dominan dibandingkan dengan anggota
komunitas lain, sehingga didaulat sebagai pemimpin komunitas.
Kontribusinya dalam mewujudkan hutan mangrove dimulai
dari memikirkan ide perlindungan tambak dengan tanaman
mangrove, melakukan penanaman pertama, menggerakkan
petani tambak, sampai menjaga kelestarian hutan mangrove.
Dengan dominannya peran yang dilakukan dalam melakukan
kegiatan rehabilitasi hutan mangrove maka dapat dikatakan
ia merupakan motor atau ruh penggerak kegiatan tersebut.
Sebagai orang yang paling berpengaruh terhadap kegiatan
rehabilitasi hutan mangrove maka peran Suyadi sangat me-
nentukan keberhasilan kegiatan tersebut. Untuk itu, peran-
perannya dalam keseluruhan kegiatan rehabilitasi hutan mang-
rove di Desa Pasar Banggi dideskripsikan sebagai berikut.

1. Inisiator Penanaman Mangrove


serta Terbentuknya Kelompok Tani Tambak
dan Kelompok Perempuan
Pengembangan komunitas yang terjadi di Desa Pasar
Banggi dalam merehabilitasi hutan mangrove, merupakan
bentuk perubahan sosial di tingkat komunitas perdesaan.
Perubahan sosial tersebut sebagai usaha komunitas untuk
mengatasi masalah sosial yang dihadapi. Kerusakan tanggul
tambak yang berbatasan dengan air laut akibat abrasi
menjadikan tempat tersebut tidak dapat melindungi tambak-
tambak yang dimiliki komunitas. Bebasnya air laut memasuki
tambak membuat tambak tidak bisa digunakan sebagai tempat
budidaya.

147
Sebagian besar komunitas pesisir tersebut mengandalkan
tambak sebagai tempat bekerja, yakni sebagai tempat budidaya
ikan, udang, dan pembuatan garam. Ketergantungan mereka
terhadap keberadaan tambak sangatlah nyata. Penghasilan
yang diperoleh dari berbagai budidaya tambak digunakan
untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Tambak bukan
hanya tempat bergantung hidup petani, melainkan juga
penyewa tambak dan buruh tambak.

Dengan kerusakan tanggul, ada usaha pemimpin untuk


memperbaiki kerusakan dengan menanam pohon mangrove.
Kegiatan demikian tidak dilakukan sendiri, melainkan mengikut
sertakan pemilik tambak dan anggota komunitas lain. Tambak
yang membentang luas dan dibatasi oleh tanggul tambak yang
panjang dengan air laut tidak mungkin diatasi seorang diri. Ke-
giatan rehabilitasi memerlukan partisipasi pemilik tambak dan
anggota komunitas lain untuk bekerja sama. Karena, rehabilitasi
mangrove yang dilakukan juga merupakan kepentingan ber-
sama. Selain itu, tanggul tambak-tambak yang berbatasan air
laut sangat panjang dan tidak mungkin selesai ditanami sendiri.

Hutan mangrove merupakan aset komunitas dan bukan


aset pribadi. Sebagai aset komunitas, tumbuhnya hutan
mangrove juga berada di tanah yang dimiliki pemerintah desa
dan tanah negara. Dengan kepemilikan tanah tersebut maka
hutan mangrove tidak mungkin dimiliki sendiri. Sebagai aset
komunitas, hutan mangrove menjadi tanggung jawab bersama
dan penanaman yang dilakukan juga secara bersama-sama.

Usaha petama kali di dalam penanaman memang di-


lakukan oleh pemimpin informal sendiri. Pada tahun kedua,

148
ketiga, hingga keempat, penanaman masih dilakukan sendiri.
Pasalnya, penanaman yang dilakukan belum menunjukkan
keberhasilan, sehingga anggota pemilik tambak lain belum
tertarik melakukannya. Setelah penanaman mangrove me-
nunjukkan keberhasilan, pemilik tambak yang lain mulai
tertarik melakukan kegiatan rehabilitasi. Kegiatan rehabilitasi
selanjutnya lebih banyak dilakukan dengan bergotong royong
atau bersama-sama.

Sebagai inisiator kegiatan rehabilitasi hutan mangrove


di desanya, ia mulai dari usaha kecil dan dilakukan seorang
diri. Hal tersebut merupakan titik awal (entry point) terjadinya
kegiatan dari rehabilitasi hutan mangrove berikutnya. Peran
sebagai inisiator terus dilakukan dengan berusaha untuk
mengkomunikasikan pentingnya pohon mangrove sebagai
pelindung alami tambak. Pemilik tambak belum sepenuhnya
memahami fungsi pohon mangrove, sehingga diperlukan so-
sialisasi terhadap para pemilik tambak. Pada awalnya, sosiali-
sasi yang dilakukan ditolak, diejek, dan bahkan ditentang.

Dalam melibatkan partisipasi pemilik tambak diperlukan


kerja keras. Sebagai inisiator, Suyadi terus berusaha dengan
berbagai macam cara agar pemilik tambak lain mau ikut
serta atau berpartisipasi. Penolakan dan ejekan dianggapnya
tantangan. Ia menyadari bahwa para pemilik tambak tidak
mengetahui dan memahami secara benar fungsi hutan mang-
rove yang dapat menjadi pelindung alami tambak. Dalam
benaknya terpikir, jika pemilik tambak mengetahui fungsi
tanaman mangrove bagi tambaknya, mereka juga menanam
mangrove. Keyakinan tentang pentingnya pohon mangrove

149
terus disosialisasikan kepada warga. Dengan keberhasilan-
nya menanam mangrove dan sudah dapat diwujudkan hutan
mangrove-nya, sosioalisasi terus dilakukan kepada pemilik
tambak lain agar mau berpartisipasi.

Keberaniannya dalam mengajak petani tambak untuk me-


nanam mangrove, dikarenakan sudah ada bukti mangrove yang
dapat tumbuh. Keyakinannya sangat kuat dengan adanya bukti
hutan mangrove yang berhasil diwujudkan. Tanaman tersebut
dapat dilihat dan memberi dampak positif pada pemahaman
anggota komunitas. Walaupun tanaman dari pohon-pohon
yang berhasil ditanam tersebut belum menjadi pohon mang-
rove besar, namun dapat dijadikan contoh bahwa mangrove
dapat ditanam. Selain itu, dilandasi dengan keyakinan kuat
bahwa pohon mangrove dapat melindungi tanggul tambak se-
cara alami. Oleh sebab itu, sebagai inisiator, pionir, dan perintis
kegiatan penanaman mangrove selanjutnya Suyadi berusaha
melibatkan orang lain untuk melakukan kegiatan sama.

Dengan terus berusaha menyosialisasikan dan melibatkan


pemilik tambak lain, akhirnya tetangga kanan dan kirinya turut
serta melakukan gerakan penanaman pohon mangrove. Banyak
petani tambak yang kemudian ikut bergabung. Bergabungnya
pemilik tambak lalu dirasakan perlu dibentuk kelompok. Jadi,
setelah menjadi inisiator kegiatan rehabilitasi hutan mangrove,
kemudian diikuti partisipasi pemilik tambak lain, maka ia merasa
perlu dibentuk kelompok untuk mewadahi pemilik tambak yang
telah tergabung. Keterlibatan petani tambak yang hanya ber-
sifat gotong royong dirasakan tidak akan efektif jika tidak ada
kelompok sebagai wadahnya. Oleh karena itu, kegiatan tersebut

150
perlu wadah, berupa kelompok petani tambak, khususnya
dalam melakukan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.

Sebagai inisiator gerakan rehabilitasi mangrove dan pem-


bentukan kelompok, Suyadi dapat dikatakan sebagai agen
perubahan sosial komunitas. Rehabilitasi hutan mangrove yang
berlangsung dalam durasi panjang dan melibatkan banyak
pihak perlu memiliki kelompok. Sebagai inisiator sekaligus agen
perubahan sosial, kegiatannya adalah membentuk kelompok
tani peduli mangrove. Kelompok tersebut sangat penting
sebagai wadah yang dapat digunakan untuk menggerakkan
kegiatan petani tambak dalam menanam mangrove. Kelompok
dapat mengikat petani tambak untuk lebih terkoordinasi dalam
melakukan suatu kegiatan.

Sebagai inisiator perubahan sosial dalam kegiatan reha-


bilitasi hutan mangrove, keberadaan pemimpin kelompok
dapat bertindak sebagai inisiator atau pembentuk terwujudnya
organisasi lokal bernama Kelompok Tani Perikanan Sidodadi
Maju. Organisasi lokal ini sesungguhnya merupakan himpunan
para petani tambak, namun lebih menekankan pada pemulihan
dan pelestarian hutan mangrove. Organisasi tersebut berbasis
bottom-up karena tidak merupakan kepanjangan tangan
organisasi mana pun yang lebih tinggi, misalnya di tingkat
desa, kecamatan, kabupaten, dan tingkat pusat.

Pembentukan kelompok merupakan kebutuhan dari ke-


giatan rehabilitasi hutan mangrove. Wujud hutan mangrove
merupakan hasil dari kegiatan kelompok peduli mangrove
yang telah berjalan dalam waktu cukup panjang. Oleh karena
itu, kehadiran kelompok lokal, yakni suatu kelompok yang

151
peduli pada keberadaan hutan mangrove sangat diperlukan
dan penting. Hal tersebut terkait dengan kegiatan kelompok
yang telah melakukan penanaman pohon mangrove di tanah
desa dan tanah negara, sampai wilayah desa lain.

Dibentuknya kelompok peduli mangrove memberikan


akselerasi proses kegiatan menjadi lebih cepat dan terarah.
Selain itu, kegiatan rehabilitasi dapat lebih terkoordinasi dan
dipertanggungjawabkan. Tanggung jawab bukan lagi terhadap
individu, melainkan beralih kepada kelompok. Sebagai inisiator
dan agen perubahan sosial, Suyadi juga berusaha melibatkan
seluruh anggota komunitas, termasuk kaum perempuan. Kaum
perempuan, sesungguhnya telah dilibatkan dalam kegiatan
rehabilitasi hutan mangrove sejak lama, khususnya terlibat
di balik layar. Kegiatan perempuan lebih banyak membantu
daripada langsung ikut serta melakukan penanaman mangrove.
Misalnya, dalam menyiapkan proses pembibitan dan mengolah
hasil laut serta buah mangrove.

Kelompok perempuan baru terbentuk tahun 2013, padahal


kegiatan rehabilitasi hutan mangrove telah berjalan lebih dari
40 tahun, dimulai sejak 1964. Walaupun demikian, perlu adanya
kelompok perempuan untuk mengakselerasi kegiatan pengem-
bangan komunitas. Tujuannya, kaum perempuan mempunyai
penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya. Setelah dibentuk, kelompok perempuan tersebut
dinamai dengan Kelompok Kartini 1 dan Kelompok Kartini 2.

Nama tersebut terkait dengan pahlawan yang ada di Rem-


bang, yakni Ibu Kartini. Pembentukan kelompok perempuan

152
dimaksudkan untuk memberikan peluang pekerjaan tambahan
bagi perempuan dalam mengolah sumberdaya alam pesisir,
terkait keberadaan hutan mangrove. Sumberdaya alam yang
berkaitan hutan mangrove sangat melimpah dan perlu ke-
terlibatan kaum perempuan, terutama dalam mengolah buah
mangrove. Hasil sumberdaya alam berupa buah mangrove
yang sudah tua dapat diambil oleh kaum perempuan untuk
dijadikan bibit serta dibuat makanan dan minuman. Pekerjaan
demikian dirasakan sangat tepat dan cocok dilakukan oleh
kaum perempuan dan dapat memperluas lapangan kerja, me-
nambah pendapatan, sekaligus meningkatkan kualitas hidup
seluruh komunitas.

Pembentukan kelompok perempuan tersebut sejalan


dengan program Kementerian Lingkungan Hidup, yakni Rantai
Emas. Suatu program yang dicanangkan secara nasional
dengan maksud melakukan rehabilitasi pesisir dan pantai
untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat. Pembentukan
kelompok perempuan tersebut bukan hanya memberdayakan
kaum perempuan, melainkan sebagai usaha meningkatkan
kapasitasnya. Perempuan pesisir perlu ditingkatkan keteram-
pilannya dalam rangka mewujudkan ekonomi produktif dengan
mengolah sumberdaya alam pesisir. Pada gilirannya dapat
menambah penghasilan keluarga pada komunitas pesisir.

2. Membangun Modal Sosial Komunitas


Modal sosial merupakan unsur penting dalam komunitas
dalam rangka kegiatan rehabilitasi hutan mangrove. Oleh karena

153
itu, modal sosial diperlukan untuk dijadikan ruh atau semangat
bagi anggota komunitas. Desa Pasar Banggi yang melakukan
kegiatan rehabilitasi hutan mangrove perlu didukung modal
sosial, berupa nilai-nilai atau norma, kepercayaan, dan jaringan
sosial.

Desa pesisir ini, sebagaimana masyarakat pesisir pada


umumnya, mempunyai modal sosial yang terdiri atas norma
atau nilai (norms or values), kepercayaan (trust), dan jaringan
(network). Modal sosial tersebut sangat terkait erat dengan
keberadaan etnis dari komunitas tersebut dan lingkungan
pesisir. Etnis Jawa dan agama Islam yang menjadi latar
belakang kehidupan sosial budaya mempunyai pengaruh
pada wujud modal sosial yang ada di komunitas. Selain itu,
lingkungan pesisir dan tambak terkait erat dengan modal sosial
yang ada. Berbagai modal sosial tersebut dapat menjadi ruh
kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.

Modal sosial dalam komunitas pesisir Desa Pasar Banggi


juga disebut sebagai energi positif bagi gerakan komunitas
dalam melakukan rehabilitasi atau pemulihan dan pelestarian
hutan mangrove. Bentuknya dapat berupa norma dan nilai,
kepercayaan, serta jaringan dalam sistem sosial-budaya dan
lingkungan desa pesisir. Modal sosial merupakan energi
potensial yang perlu direvitalisasi atau dibangun agar menjadi
visi dan energi kinetis. Dengan menjadi visi dan energi kinetis
komunitas, modal sosial dapat dijadikan sebagai sarana untuk
mengorganisasi anggota komunitas dalam mewujudkan hutan
mangrove. Modal sosial sebagai energi kinetis juga dapat
memicu semangat anggota komunitas. Berbagai modal sosial

154
tersebut berhubungan erat dengan keberadaan tambak, pesisir,
dan hutan mangrove.

Secara sosial budaya dan lingkungan, keberadaan hutan


mangrove sangat penting dan dapat mempengaruhi kehidupan
komunitas. Dengan merevitalisasi norma sosial-budaya dan
lingkungan tersebut, dapat dipergunakan sebagai visi atau
acuan dalam mewujudkan hutan mangrove. Nilai tersebut se-
perti ungkapan Hutan mangrove hilang, tambak gersang atau
tidak subur dan Hutan mangrove-ku tumbuh, desaku teduh.

Tanggul tambak yang rusak secara sosial budaya mempe-


ngaruhi kehidupan komunitas pesisir, sehingga dengan me-
revitalisasi modal sosial tersebut, anggota komunitas tergerak
melakukan kegiatan pengembangan komunitas, khususnya
rehabilitasi dan pelestarian hutan mangrove. Menghutankan
kembali wilayah pesisir dengan menanam pohon mangrove,
tambak menjadi subur, lingkungan menjadi teduh, yang pada
akhirnya, kehidupan komunitas pesisir pun menjadi lebih
baik.

Tambak subur dapat digunakan sebagai tempat budi-


daya, karena tanggulnya terlindungi pohon mangrove. Tambak
sebagai aset dapat bermanfaat dan sumberdaya alam lain di
sekitar tanaman hutan mangrove dapat dipulihkan. Oleh kerena
itu, menghutankan kembali wilayah dengan tanaman mangrove
berarti melakukan pemulihan dan pelestarian aset ekologis
yang bermanfaat pada generasi sekarang dan generasi yang
akan datang. Manfaat tersebut terkait dengan peningkatan
kualitas hidup dan peningkatan kesejahteraan komunitas.

155
3. Revitalisasi Nilai Sosial-Budaya
dan Lingkungan
Peran selanjutnya dalam kegiatan rehabilitasi mangrove
adalah revitalisasi modal sosial komunitas yang berkaitan
dengan nilai atau norma sosial-budaya dan nilai lingkungan.
Keberadaan modal sosial demikian menunjukkan bahwa
komunitas pesisir mempunyai ketergantungan hidup kepada
lingkungannya. Nilai sosial-budaya dan lingkungan tersebut
berfungsi sebagai media untuk dijadikan visi komunitas, yakni
melakukan rehabilitasi hutan mangrove. Revitalisasi nilai-nilai
tersebut dapat ditemukan dalam ungkapan atau pepatah yang
berada di tengah kehidupan komunitas.

Salah satunya adalah pepatah berkaitan dengan lingkung-


an sosial-budaya berupa ungkapan, Hutan mangrove tumbuh,
desaku teduh. Hutan mangrove bukan hanya memberikan
perlindungan pada tambak secara alami, melainkan men-
jadi peneduh lingkungan desa. Ungkapan lain tentang nilai
sosial-budaya yang merupakan revitalisasi nilai lama adalah
Tambak subur, masyarakat hidup makmur. Nilai sosial budaya
ini menunjukkan ketergantungan komunitas pesisir dengan
keberadaan hutan mangrove dan tambak. Kesuburan hutan
mangrove juga merupakan wujud dari kesuburan tambak.
Begitu pula kesuburan hutan mangrove berarti juga kemak-
muran anggota komunitas. Kesejahteraan hidup komunitas
dapat diwujudkan manakala tambak-tambak menjadi subur
terlindungi hutan mangrove. Tambak dapat digunakan sebagai
tempat budidaya atau bekerja yang hasilnya dapat digunakan
memenuhi kebutuhan hidup.

156
Selain itu, merevitalisasi nilai dan norma agama berupa
ungkapan, Pohon-pohon mangrove selalu berzikir dengan
bergoyang setiap diterpa angin. Selain berzikir kepada dirinya
sendiri juga mendoakan yang menanam dan yang meles-
tarikannya. Ungkapan ini merupakan nilai dan norma terkait
agama yang dapat menjadi modal sosial dalam mewujudkan
hutan mangrove. Hubungan komunitas pesisir dengan Sang
Pencipta, yakni pencipta alam semesta merupakan modal
sosial. Wujud menanam mangrove bukan hanya diartikan se-
bagai hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Hasil
kerja berupa hutan mangrove diartikan sebagai perbuatan baik
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sehingga pohon-pohon mang-
rove mendoakan penanamnya agar mendapatkan balasan baik
pula dari-Nya.

4. Membangun Kepercayaan (Trust) Komunitas


Modal sosial lainnya adalah kepercayaan atau trust. Modal
sosial ini menjadi visi, sehingga seluruh komunitas berupaya
mewujudkan hutan mangrove. Komunitas pesisir Desa Pasar
Banggi masih memegang teguh kepercayaan (trust) dalam
kehidupan sehari-hari. Anggota komunitas saling mempercayai
di antara mereka, serta menaruh kepercayaan besar kepada
pemimpinnya. Bahkan mereka menaruh kepercayaan terhadap
komunitas lain dan lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu,
dalam merevitalisasi nilai sosial-budaya dan nilai lingkungan,
terkait dengan membangun kepercayaan komunitas.

Kepercayaan komunitas tentu berdasarkan pada apa yang


dikomunikasikan pemimpin, yakni tentang pentingnya hutan

157
mangrove. Pohon mangrove dan hutan mangrove dapat ber-
fungsi sebagai pelindung alami tambak. Untuk membangun
modal sosial berupa kepercayaan tersebut diperlukan sikap
keteladanan, komitmen, dan kerja keras. Kepercayaan anggota
komunitas akan dapat tumbuh manakala pemimpinnya dapat
dipercaya. Kemampuannya dalam membangun modal sosial,
yakni dengan mewujudkan hutan mangrove, yang sebelumnya
merupakan mimpinya, kemudian menjadi kenyataan. Berdasar-
kan kenyataan ini, angota komunitas menaruh kepercayaan
besar terhadap apa yang dilakukan pemimpin.

Selain itu, bukti hutan mangrove yang sudah tumbuh


dan mampu menjadi pelindung alami tambak sebagai media
terbangunnya kepercayaan. Dalam membangun modal sosial
berupa trust dilakukan melalui kebersamaan dalam kelom-
pok, yakni kelompok tani tambak yang berusaha mewujudkan
hutan mangrove. Kepercayaan komunitas terbangun atas ke-
teladanan, contoh nyata, pola kepemimpinan dalam meng-
emban amanah kegiatan rehabilitasi hutan mangrove selama
lebih dari 50 tahun.

5. Membangun Jaringan Sosial


Modal sosial selanjutnya adalah jaringan sosial. Modal
sosial ini mampu menjadi penghubung efektif anggota komu-
nitas dalam kegiatan rehabilitasi hutan mangrove. Jaringan
sosial menjadi energi positif bagi kegiatan komunitas dalam
melaksanakan rehabilitasi hutan mangrove di Desa Pasar
Banggi. Jaringan sosial terbangun melalui hubungan sosial, baik
hubungan sosial yang ada dalam kelompok, maupun jaringan

158
sosial (social-networking) dengan kelompok lain. Modal sosial
ini berbentuk jaringan sosial horizontal dan jaringan sosial
vertikal terkait dengan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.

Jaringan sosial horizontal di komunitas Desa Pasar


Banggi diikat dalam kelompok tani peduli mangrove bernama
Kelompok Tani Sidodadi Maju. Kelompok tersebut dilandasi
status sosial ekonomi yang sama atau sepadan. Anggota
kelompok tani berlatar belakang sama, yakni petani tambak
yang kemudian diikat dalam kelompok sosial peduli mangrove.
Suatu kelompok yang melakukan penanaman mangrove dalam
rangka melindungi tambak.

Anggota kelompoknya terus bertambah dan ada anggota


yang tidak mempunyai tambak, yakni sebagai penyewa dan
buruh tambak. Bentuk jaringan sosialnya tetap dan sepadan
karena mereka diikat dengan kepentingan melindungi tambak.
Anggota kelompok tani tambak mempunyai status sosial sama.
Pekerjaan bisa berbeda, yakni pemilik tambak, penyewa, dan
buruh tambak, tetapi mereka diikat dengan jaringan sosial
sama, yaitu melakukan rehabilitasi hutan mangrove untuk
melindungi tambak.

Selain itu, anggota kelompok diikat dengan jaringan vertikal,


yakni status sosial ekonomi yang tidak sepadan. Komunitas
peduli mangrove dalam kelompok terdiri dari pemilik tambak,
penyewa, dan buruh tambak. Dari sisi ini, jaringan sosial
mereka diikat dengan keberadaan tambak, meskipun secara
sosial ekonomi berbeda. Namun demikian, mereka guyub
atau bergotong royong dalam merehabilitasi mangrove. Usaha
melestarikannya dilakukan bersama, karena diikat dengan

159
kepentingan sama, yakni lestarinya hutan mangrove, suburnya
tambak, dan tersedianya berbagai sumberdaya alam untuk
kepentingan hidup mereka secara keseluruhan.

Selain jaringan horizontal, komunitas pesisir tersebut


mempunyai jaringan sosial vertikal. Jaringan ini berhubungan
dengan komunitas lebih luas, yakni berbagai stakeholder.
Jaringan sosial vertikal dapat berguna bagi seluruh komunitas,
terkait kegiatan rehabilitasi hutan mangrove. Misalnya, banyak
stakeholder ikut membantu penanaman pohon mangrove,
memberikan sumbangan polybag, memberi dana bergulir, dan
lain sebagainya. Semua potensi stakeholder dapat dijadikan
sebagai jaringan sosial vertikal dalam mengakselerasi proses
kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.

6. Pengorganisisasi Anggota Komunitas


Setelah mampu membangun modal sosial, dalam melaku-
kan kegiatan bersama komunitas, pemimpin informal bertindak
sebagai pengorganisasi anggota komunitas dalam merehabili-
tasi hutan mangrove. Kegiatan tersebut terkait upayanya dalam
menghimpun pemilik tambak yang mau bergabung dalam
kegiatan kelompok. Melalui kegiatan kelompok, petani tambak
yang sudah tergabung dapat diarahkan agar visi, tujuan, dan
misinya untuk mewujudkan hutan mangrove dapat segera
terealisasikan. Dengan mengorganisasi anggota komunitas
ke dalam Kelompok Tani Tambak Sidodadi Maju maka tujuan
dapat lebih cepat diwujudkan.

Melalui kelompok, semua kegiatan terkait dengan rehabi-


litasi hutan mangrove dapat diorganisasikan secara kolektif.

160
Dengan kelompok, semua anggota kelompok lebih menyadari
manfaat yang dilakukan daripada hanya melakukan kegiatan
sendiri-sendiri. Berdasarkan kelompok kegiatan lebih terarah
dan terfokus. Bahkan melalui keanggotaan kelompok tumbuh
kesadaran kelompok, sehingga menjadi kekuatan yang sangat
besar. Kekuatan tersebut mampu mempengaruhi orang yang
belum terlibat, sehingga akhirnya ikut bergabung.

Dalam mengorganisasi anggota kelompok tani peduli


mangrove, yang dilakukan adalah menumbuhkan kesadaran
anggota kelompok melalui pertemuan rutin dan kegiatan
sehari-hari. Mengkomunikasikan pentingnya hutan mangrove
lebih berhasil melalui kegiatan kelompok, sehingga kelompok
disebut sebagai media penting sebagai wadah seluruh anggota
komunitas. Secara otomatis, jika seseorang menjadi anggota
kelompok maka yang bersangkutan dapat diorganisasikan
dalam bentuk kegiatan kelompok. Dengan bekerja secara
kelompok, berarti para anggota diikat dengan tujuan yang
hendak dicapai bersama. Berdasarkan keguyuban (bekerja
secara bersama-sama) di dalam kegiatan kelompok maka
energi kelompok menjadi lebih kuat dan dapat terfokus, se-
hingga menjadi kekuatan sangat besar dalam merehabilitasi
hutan mangrove.

Pengorganisasian yang diikat dalam kelompok memungkin-


kan anggota kelompok dapat memecahkan masalah yang
dihadapi. Ketika tanggul rusak dianggap sebagai masalah
pribadi maka orang yang bermasalah dengan tanggul tambak
tidak akan mampu mengatasi masalahnya tersebut. Setelah
masalah tanggul tambak dijadikan masalah bersama maka

161
kekuatan kelompok dapat diorganisasi menjadi kekuatan dah-
syat untuk memecahkan masalah bersama. Dengan bergabung-
nya anggota komunitas pemilik tambak dalam kelompok dapat
didayagunakan dan diorganisasikan secara efektif dan efisien
dalam mengatasi masalah kerusakan tanggul tambak.

Mengorganisasi anggota komunitas dalam kelompok,


se kaligus dapat memperkuat ikatan anggota kelompok dan
membangun jaringan sosial. Jaringan sosial yang ada di ke-
lompok, selain mengikat para anggota kelompok, dapat ber-
fungsi sebagai media untuk membangun jaringan lebih luas,
yakni dengan kelompok di luar komunitasnya. Jaringan sosial
luas tersebut berkaitan dengan masyarakat peduli mangrove,
pemerhati mangrove, lembaga swadaya masyarakat, perguruan
tinggi, dan berbagai stakeholder lain dalam masyarakat yang
lebih luas.

Sebagai pengorganisasi anggota kelompok tani peduli


mangrove, hal yang dilakukan Suyadi adalah membangun
kepercayaan diri anggota kelompok. Kelompok kecil bernama
Sidodadi Maju dibangun kepercayaan dirinya bahwa menanam
mangrove merupakan wujud nyata dalam mengatasi masalah
dan kepentingannya sendiri. Oleh sebab itu, mengorganisasi
anggota kelompok dilakukan dengan membangun keber-
samaan, demokrasi, dan saling membutuhkan.

Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, terjadi saling paham


dan mengerti di antara mereka, sehingga kedudukan dan
fungsi masing-masing dalam kelompok dapat berjalan dengan
baik. Selain itu, anggota komunitas yang telah diorganisasi
dalam kelompok dapat saling memberikan pemahaman tentang

162
pentingnya bekerja secara kelompok dalam mewujudkan hutan
mangrove. Sebagai pengorganisasi juga memberikan wawasan
tentang perubahan sosial kepada anggota komunitas. Anggota
komunitas dapat dibangkitkan kesadaran dan pengetahuannya
tentang masalah yang dihadapi dan dapat menunjukkan jalan
keluarnya.

Sebagai pengorganisiasi anggota komunitas, perlu dedikasi,


energi, pengetahuan, dan pengalaman memadai. Hal ini terkait
masalah dalam mengorganisasi anggota komunitas menghadapi
berbagai hal. Keberhasilan Suyadi sebagai pengorganisasi
diwujudkan dengan rasa kesetaraan, rasa demokratis, dan
dapat memperkuat komunitasnya. Hal tersebut ditandai dengan
keberadaannya sebagai pemimpin dalam kegiatan rehabilitasi
hutan mangrove di Desa Pasar Banggi yang telah berjalan
selama 50 tahun lebih.

Kepemimpinan yang diemban selama itu menunjukkan


bahwa ia bisa diterima oleh seluruh anggota kelompok dan
komunitas secara keseluruhan. Penerimaan mereka dilandasi
pada apa yang dilakukan pemimpinnya, terutama berkaitan
dengan kegiatan rehabilitasi mangrove selama ini. Dukungan
komunitas terwujud karena antara anggota komunitas dan
dirinya terbangun kekuatan, berupa kebersamaan dalam ke-
lompok. Dengan kebersamaan, mereka saling membantu dan
membutuhkan serta saling bertanggung jawab. Membangun
komunitas sama artinya dengan membangun modal sosial.
Berdasarkan hal tersebut, berarti mengorganisasi anggota
komunitas yang dilakukan sama artinya dengan membangun
modal sosial komunitas.

163
Meskipun ada sebagian anggota yang tidak mendukung,
misalnya, namun secara umum, dalam mengorganisasi anggota
kelompok tani tambak peduli mangrove dikatakan berhasil. Hal
ini ditandai dengan berhasilnya keseluruhan anggota kelompok
saling bekerja sama tanpa ada konflik berarti selama lebih dari
40 tahun. Anggota komunitas mau berpartisipasi aktif dalam
kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.

Selain itu, keberhasilan lain mengorganisasi adalah mau


bergabungnya seluruh anggota komunitas dalam kelompok tani
tambak dalam mewujudkan hutan mangrove mulai 1972 sampai
sekarang. Anggota kelompok tidak hanya pemilik tambak, tetapi
semua anggota komunitas yang menggantungkan hidup dari
keberadaan tambak. Bukti lain yang tidak terbantahkan adalah
hasil kerja mereka, yakni dapat terwujudnya hutan mangrove
dan kelestariannya sampai sekarang.

7. Penggerak Partisipasi Petani Tambak


Partisipasi anggota komunitas akan sulit tumbuh dan
berkembang tanpa digerakkan. Hal ini berkaitan dengan kapa-
sitas anggota komunitas dalam memahami masalah yang
dihadapi. Ketika tanggul tambak mereka rusak, tidak ada
upaya yang bisa dilakukan. Mereka membiarkan keadaan
tersebut tanpa usaha perbaikan, dikarenakan kapasitas petani
tambak. Anggota komunitas tidak mampu memikirkan alternatif
yang harus dilakukan untuk memecahkan masalah. Mereka
menyerah dan tidak mampu lagi setelah usahanya membuat
tanggul tambak dari tiang pancang dan beton tidak berhasil.

164
Setelah ada usaha dari pemimpin mereka melalui kegiatan
penanaman mangrove sampai berhasil, barulah anggota petani
tambak mau berpartisipasi. Sebelumnya, perlu kesadaran
terlebih dahulu sebelum mereka ikut serta kegiatan. Kesadaran
itulah yang menjadi persoalan penting munculnya partisipasi
anggota komunitas.

Untuk membangun dan menumbuhkan kesadaran komu-


nitas tentang pentingnya pohon mangrove bagi lingkungan
tambak maka upaya yang dilakukan adalah menyosialisasi-
kan pentingnya hutan mangrove bagi mereka, sehingga mau
berpartisipasi. Membangun kesadaran demikian merupakan
salah satu tanggung jawab yang harus diemban sebagai peng-
gerak partisipasi anggota komunitas. Membangun kesadaran
menjadi kunci dalam membangkitkan semangat, sehingga mau
diorganisasi dan digerakkan untuk berpartisipasi bersama-sama
dalam kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.

Dengan posisinya yang strategis, yakni dapat diterima


di tengah-tengah komunitas, pemimpin dalam kelompok
merupakan orang yang paling bertanggung jawab terhadap
gerakan rehabilitasi mangrove. Sebagai motor penggerak bagi
kegiatan anggota komunitas, ia selalu berusaha secara terus-
menerus menyertakan semua anggota untuk terlibat dalam
melakukan penanaman pohon mangrove. Sesungguhnya,
usaha demikian tidaklah mudah. Namun, dengan berbekal
kesungguhan dan keyakinan, pada akhirnya anggota komunitas
pemilik tambak mau berpartisipasi secara aktif.

Selain itu, dalam menggerakkan partisipasi anggota


komunitas ditandai dengan bertambahnya anggota kelompok

165
tani dari waktu ke waktu. Sesungguhnya, anggota kelompok
tani pada mulanya terdiri dari para pemilik tambak saja, tetapi
diperluas bagi semua orang yang ikut membudidayakan
tambak. Siapa pun anggota komunitas yang menggantungkan
hidupnya pada keberadaan tambak, meskipun penyewa dan
buruh tambak, dapat menjadi anggota kelompok tani tambak.

Pada kenyataannya, anggota kelompok tani tambak yang


tergabung dalam Kelompok Tani Tambak Sidodadi Maju terus
bertambah. Pada 2013, jumlah seluruh anggota kelompok ter-
sebut mencapai 59 orang, yang terdiri dari pemilik, penyewa,
dan buruh tambak. Berkaitan dengan upaya melibatkan petani,
penyewa, dan buruh tambak dalam kegiatan rehabilitasi hutan
mangrove, hal yang dilakukan adalah memberikan motivasi
tentang pentingnya hutan mangrove bagi komunitas. Anggota
komunitas tidak akan ikut berpartisipasi dalam gerakan
rehabilitasi hutan mangrove sebelum mengetahui pentingnya
hutan mangrove bagi tambaknya.

Pada awal penanaman yang dilakukan sendiri dan meng-


alami kegagalan, merupakan masa sulit dan memberikan
dampak negatif. Anggota komunitas tidak mempercayai apa
yang dilakukan Suyadi. Selain itu, sebelum ada bukti nyata
tentang hutan mangrove yang diinginkan, petani tambak lain
tidak mau berpartisipasi. Setelah ada wujud berupa pohon
mangrove yang dapat tumbuh, akhirnya partisipasi anggota
komunitas terus bertambah.

Diperlukan contoh nyata dan keteladanan agar anggota


komunitas berpartisipasi secara aktif. Komunitas pesisir pada
waktu itu mempunyai pengetahuan dan pendidikan terbatas

166
tentang mangrove, sehingga tidak dengan mudah menerima
perubahan sosial dalam bentuk gerakan penanaman pohon
mangrove. Diperlukan contoh nyata dan keteladanan. Oleh
karena itu, dalam memberikan contoh nyata, hal yang dilakukan
adalah mewujudkan keberhasilan tanam pohon dan hutan
mangrove. Dengan contoh nyata tersebut, sekaligus menjadi
guru terbaik bagi komunitas bahwa mangrove dapat ditanam.
Selain itu, tanaman mangrove dapat menjadi bukti kuat untuk
membantah mitos atau stigma negatif tentang sulitnya me-
nanam mangrove yang dipercayai komunitas.

Keteladanan tindakan dilakukan pemimpin dalam me-


wujudkan tanaman mangrove dengan ketelatenan, kesabaran,
pengetahuan, dan pengalaman yang benar. Pohon mangrove
yang pada awalnya tidak hanya ditanam dan kemudian dibiar-
kan begitu saja, ternyata memerlukan perawatan, penyulaman,
dan pemeliharaan. Diperlukan kesabaran dan ketelatenan da-
lam menanam mangrove. Menanam mangrove juga memerlu-
kan kesungguhan niat dan bukannya sekadar ditanam begitu
saja. Hal-hal tersebut menjadi guru atau teladan bagi anggota
komunitas, sehingga akhirnya mereka mau berpartisipasi secara
aktif. Contoh nyata dan keteladanan merupakan strategi paling
ampuh dan lebih efektif dibandingkan sekadar mengajak dan
menyosialisasikan pentingnya hutan mangrove.

E. Aspek Internal dan Eksternal


Pemimpin Informal
Keberhasilan seorang pemimpin informal mengemban dan
menjalankan proses pengembangan komunitas dalam kegiatan

167
rehabilitasi hutan mangrove bukanlah merupakan keberhasilan
pribadi saja. Keberhasilan tersebut merupakan keberhasilan
keseluruhan anggota komunitas dalam proses pengembangan
komunitas. Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove di Desa Pasar
Banggi tidak mungkin dilakukan seorang diri, namun harus
didukung partisipasi secara aktif komunitas.

Namun demikian, aspek-aspek dalam diri pemimpin informal


dan dukungan anggota komunitas dalam mewujudkan hutan
mangrove di wilayah pesisir desa merupakan faktor penting.
Karena, pekerjaan tersebut memerlukan waktu lama dengan
keterlibatan banyak orang yang harus mendapatkan dukungan
komunitas. Oleh karena itu, hal-hal tersebut dapat mendukung
keberhasilan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.

1. Aspek Internal Pemimpin Informal


a. Komitmen Kuat
Rehabilitasi hutan mangrove merupakan kegiatan yang
besar dan sulit. Oleh sebab itu, diperlukan komitmen untuk me-
wujudkannya. Komitmen pemimpin informal dapat diwujudkan
dengan usahanya yang terus-menerus dalam mewujudkan
hutan mangrove. Meskipun mengalami beberapa kali kegagalan,
upayanya untuk mewujudkan hutan mangrove tidak pernah
mengendur. Dengan kegagalan yang pernah dialami justru
semakin tertantang untuk segera mewujudkannya. Kegagalan
berarti keberhasilan yang tertunda. Dengan kegagalan yang
pernah dialaminya, ia terus berusaha mengerti pola perilaku
dan tata cara penanaman pohon mangrove.

168
Dengan didorong komitmen kuat, ia kemudian mempelajari
sendiri semua hal mengenai tata cara penanaman pohon
mangrove. Meskipun tidak menggunakan buku literatur atau
guru yang ahli mangrove, komitmennya untuk mewujudkan
hutan mangrove tampak pada upayanya secara autodidak
semua persoalan mengenai tanaman mangrove. Setelah men-
dapatkan pengetahuan dan pengalaman mengenai kegagal an
penanaman mangrove, akhirnya ia mendapat sedikit penge-
tahuan dan pengalaman untuk diterapkan dalam penanaman
tahun berikutnya. Pengalaman dan pengetahuannya terus
bertambah, sehingga ia pun benar-benar memahami semua
hal terkait pohon mangrove dan tata cara penanamannya.

Komitmen yang besar untuk mewujudkan tanaman mang-


rove di tanggul tambak membuatnya yakin, apa pun ham-
batan yang dialami akan diusahakan jalan keluarnya. Misalnya,
kegagalan dalam menanam, kemudian petani tambak lain
mencemooh, mengejek, dan menolak untuk diajak menanam
mangrove, bukan masalah.

Hal tersebut dianggapnya sebagai tantangan. Keinginan-


nya untuk mewujudkan tanaman mangrove terus diusahakan,
sehingga dapat menjawab ejekan sekaligus memberikan contoh
nyata. Oleh karena itu, komitmennya tersebut tidak menyurut
meskipun anggota petani tambak tidak menyetujui apa yang
ia lakukan. Dengan komitmennya yang kuat bahwa hanya de-
ngan tanaman mangrove dan menjadi hutan mangrove, pelin-
dung alami tanggul tambak di wilayah desanya dapat aman
dari abrasi air laut. Berdasarkan keyakinan tersebut, kesulitan
apa pun yang dihadapi, dicarikan jalan keluarnya. Kegagalan

169
yang dialami dalam menanam pohon mangrove pada awal-
awal tahun tidak menyurutkan komitmennya. Ia justru semakin
tertantang untuk segera mewujudkan tanaman mangrove.

Pengalaman pertama yang mengalami kegagalan mem-


berikan pelajaran berharga bahwa untuk mewujudkan tanaman
mangrove dan hutan mangrove memang tidak mudah. Ke-
sulitan demi kesulitan yang dialami dalam menanam mangrove
dipelajari hikmahnya, kemudian mencari jalan keluarnya. Setelah
mendapat pengetahuan dan pengalaman gagal menanam po-
hon mangrove, semangat Suyadi semakin berkobar untuk me-
lakukan penanaman pohon mangrove pada tahun berikutnya.

Komitmen dan keyakinannya telah bulat bahwa jika pohon


mangrove sudah tumbuh dan menjadi pelindung alami tambak
maka petani tambak di desanya dapat membudidayakan
tambaknya. Dengan tambak itulah seluruh petani tambak dapat
menghidupi keluarganya. Atas dasar pemikiran ini pula, ia
lebih bersemangat untuk segera mewujudkan hutan mangrove
yang telah lama diidamkannya. Selain itu, semangatnya juga
terdorong dari sikap-sikap anggota komunitas yang tidak
konstruktif dalam melihat dan menyikapi kegagalan yang di-
alaminya sewaktu pertama kali menanam pohon mangrove.

Reaksi negatif yang datang dari tetangga kanan dan kiri


pemilik tambak justru memperbesar semangat dan komit-
mennya. Keberhasilan dalam menanam mangrove akan dapat
menjawab mitos dan ejekan yang datang dari petani tambak
lain bahwa pohon mangrove ternyata dapat ditanam dan
tumbuh. Keinginan untuk segera melihat tanggul tambak
tertanami mangrove mendorong niat Suyadi yang besar

170
untuk mempelajari tata cara penanaman yang baik dan benar.
Dengan pengetahuan tata cara menanam pohon mangrove
dengan baik dan benar maka pohon mangrove dapat tumbuh
seperti yang diinginkan.

b. Kapasitas
Selain komitmen kuat memperjuangkan hutan mangrove
di wilayah pesisir desa, dalam usaha mewujudkan hutan
mangrove, pemimpin informal ditunjang dengan kemampuan-
nya menanam mangrove. Semangat besar dan kuat ditambah
dengan adalah pengetahuan, kemampuan, dan pengalaman
pemimpin informal tentang tata cara penanaman pohon
mangrove. Pengetahuan dan pengalamannya tersebut bukan
diperoleh dari bangku sekolah atau pun dari buku bacaan
yang ada. Hal-hal tersebut diperoleh secara autodidak, yakni
mempelajari sendiri semua hal terkait penanaman, perawatan,
pemeliharaan, dan pelestarian tanaman mangrove.

Kegagalan tahun pertama dalam menanam pohon mang-


rove, dianggap Suyadi sebagai keberhasilan yang tertunda.
Kegagalan tersebut memberikan pengetahuan dan pengalaman
tidak ternilai harganya serta dijadikan sebagai guru terbaik.
Berdasarkan kegagalan itu pula akhirnya ia berhasil memperoleh
pengetahuan dan pengalaman menanam pohon mangrove,
sehingga pada tahun berikutnya dapat berhasil. Meskipun
tingkat keberhasilannya sangat kecil (10 persen), tetapi ada
tanaman mangrove yang berhasil tumbuh. Berdasarkan
keberhasilan yang diraih, penanaman tahun berikutnya lebih
berhasil lagi sampai dapat mewujudkan hutan mangrove.

171
Kapasitas berupa pengetahuan dan pengalaman me-
rupakan hal penting dalam melakukan kegiatan rehabilitasi
mangrove. Menanam mangrove bukan pekerjaan sekali jadi.
Mangrove yang telah ditanam harus dipelihara agar tidak mati.
Pohon mangrove yang masih kecil rentan terhadap kematian.
Oleh karena itu, ada usaha untuk memeliharanya agar dapat
hidup.

Pengetahuan Suyadi tersebut didapat setelah menanam


mangrove di awal tahun dan kemudian dibiarkan, ternyata
banyak yang mati. Kematian semacam itu memberikan penge-
tahuan dan pengalaman tentang pentingnya menanam pohon
mangrove sekaligus memeliharanya. Menurutnya, justru pe-
rawatan pasca-penanaman merupakan hal penting, karena
predator alami dan gangguan lain yang menyebabkan kematian
pohon mangrove sangat banyak.

c. Pekerja Keras
Dalam mewujudkan hutan mangrove sebagai sumberdaya
ekologis di wilayah pesisir Desa Pasar Banggi terus dilakukan
dengan prinsip kerja dan terus bekerja. Pekerja keras berarti
mengalokasikan semua potensi dan waktu yang dimiliki untuk
mewujudkan hutan mangrove. Seorang pekerja keras harus
mau dan dapat mengorbankan waktunya untuk mewujudkan
apa yang diinginkan. Keinginannya dalam menghutankan
kembali wilayah pesisir dengan tanaman mangrove merupakan
cita-cita yang terus diperjuangkan.

Sebagai sosok pemimpin di komunitas kecil di wilayah


pesisir, Suyadi harus bisa mewujudkan mimpinya menjadi

172
kenyataan. Mimpi adanya hutan mangrove sebagai pelindung
alami tambak yang ada di wilayahnya diusahakan terus de-
ngan usaha tanpa mengenal lelah. Waktunya ia gunakan un-
tuk memikirkan dan mengusahakan agar tanaman mangrove
dapat tumbuh di tanggul tambak yang kelak dapat menjadi
hutan mangrove. Keinginan tersebut jauh dari kepentingan
pribadi, ambisi pribadi, dan juga kepentingan politik tertentu.
Sebagai relawan, ia tidak memikirkan tentang apa yang didapat
dari pekerjaan menanam mangrove, misalnya gaji atau ingin
menjadi terkenal, atau bahkan ingin menjadi Kepala Desa.

Fokusnya, hanya ingin mewujudkan tanaman mangrove


dan hutan mangrove sebagai pelindung alami tambak. Dengan
terlindunginya tambak petani, budidaya tambak akan aman.
Pada gilirannya, mereka dapat bekerja dan memperoleh peng-
hasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

d. Model Kepemimpinan
Aspek lainnya adalah model kepemimpinan yang dijalan-
kan atau diterapkan. Dalam kegiatan rehabilitasi hutan mang-
rove diperlukan model kepemimpinan yang sesuai dengan
kondisi komunitas setempat. Model yang diterapkan dalam
menjalankan kepemimpinan, jauh dari model formal. Dalam
menerapkan model kepemimpinan, dilandasi prinsip kesetaraan;
tidak membedakan pemimpin dengan anggota kelompok tani.
Oleh karena itu, dalam menjalankan kepemimpinan se lama
melakukan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove dilandasi
prinsip dengan relasional (relational), tidak terstruktur (non-
hierarchical), dan kontekstual (contextual). Prinsip-prinsip

173
tersebut digunakan untuk memimpin kelompok tani peduli
mangrove dalam melakukan kegiatan rehabilitasi.

Pertama, dalam menerapkan kepemimpinan lebih meng-


utamakan pembangunan relasi atau jaringan (networking).
Melalui pembentukan kelompok maka anggota komunitas
petani tambak diikat dengan kepentingan yang sama, yakni
melindungi tambak dengan menanam mangrove. Mewujudkan
hutan mangrove merupakan kegiatan yang besar, sehingga
diperlukan relasi atau hubungan antar-anggota kelompok.
Dengan membangun relasi ini, dapat digunakan untuk menya-
darkan anggota kelompok mengenai visi dan misi komunitas,
yakni menyelamatkan tambak dari masuknya air laut dengan
menanam mangrove.

Kedua, aspek ini terkait dengan posisi antara pemimpin


dan anggota kelompok yang dipimpinnya. Dengan menerap-
kan model kepemimpinannya, Suyadi melandaskan prinsip
nonheirarchical; tidak ada perbedaan status antara pemimpin
dan anggotanya. Hubungan sosialnya dibangun dengan model
solidaritas mekanis. Tidak ada pekerjaan khusus pemimpin
dan anggota dalam kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.
Pekerjaan dianggap sama. Semua bisa mengerjakan pekerjaan
sama, terkait penanaman pohon mangrove. Penerapan prinsip
ini dapat memperlancar proses pengembangan komunitas,
khususnya kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.

Ketiga, model kepemimpinannya juga menerapkan prinsip


contextual. Prinsip ini diterapkannya dengan bertindak atau
bertingkah laku sesuai kondisi dan situasi yang ada. Ia dapat
bertindak sebagai pemimpin kelompok, pemimpin komunitas,

174
sekaligus bagian dari kelompok dan komunitas. Kegiatan reha-
bilitasi hutan mangrove membutuhkan model kepemimpinan
demikian, karena kegiatan tersebut terkait dengan penanaman,
pemeliharaan, dan berhubungan dengan komunitas lain.

Dalam hubungannya dengan komunitas luas atau ber-


bagai stakeholder misalnya, ditandai dengan kemampuannya
dalam menguasai hal-ihwal terkait tanaman mangrove. Dengan
bertindak demikian, semua anggota komunitas dan berbagai
stakeholder pun respek kepadanya. Tindakan demikian juga
dimaksudkan untuk memberikan keteladanan, baik bagi ang-
gota komunitas maupun kepada masyarakat luas.

Keberhasilannya juga dipengaruhi tatacara memberikan


layanan kepada anggota komunitasnya. Memberikan layanan
terhadap anggota kelompok dan komunitas merupakan
prinsip yang dijalankan saat menerapkan kepemimpinan
dalam menggerakkan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.
Memberi layanan merupakan prinsip yang mengutamakan
kepentingan komunitas daripada kepentingan dirinya sendiri.
Sebagai pemimpin komunitas selalu siap di mana pun dan
kapan pun diperlukan kehadirannya. Kehadiran tersebut dalam
rangka memberikan layanan terhadap masalah yang dihadapi
anggota komunitasnya. Mengutamakan layanan, juga diberi-
kan kepada siapa pun, termasuk berbagai stakeholder yang
membutuhkan dirinya terkait rehabilitasi hutan mangrove.
Berbagai stakeholder biasanya memerlukan informasi tentang
kegiatan komunitas dan informasi lain terkait keberadaan hutan
mangrove.

175
2. Aspek Eksternal Pemimpin Informal
a. Pemimpin Akar Rumput (Grassroot Leader)
Keberhasilan mewujudkan hutan mangrove di Desa Pasar
Banggi merupakan hasil dari kegiatan seluruh komunitas. Hutan
mangrove bukan hanya wujud keberhasilan seseorang yang
mempunyai visi, komitmen, kapasitas, dan keteladanan sebagai
pemimpin, melainkan keberhasilan komunitas desa yang
melakukan kegiatan pengembangan komunitas. Oleh karena
itu, sebagai pemimpin dari kelompok tani peduli mangrove
keberhasilan pemimpin formal juga didukung asal-usulnya.

Asal usul pemimpin informal berasal dari komunitas se-


tempat dan bukannya orang luar. Asal usul yang sama terse-
but dapat benar-benar mengetahui, apa yang harus dilakukan
terhadap petani tambak dan seluruh komunitasnya. Dengan
asal sama, memberikan kepercayaan bahwa dirinya merupakan
bagian dari masyarakat, sehingga semua anggota komunitas
respek kepada apa yang dilakukan.

Selain itu, dengan asal-usul lebih berhasil dalam meng-


komunikasikan pentingnya hutan mangrove bagi tanggul
tambak mereka. Meskipun pada mulanya ditolak, berdasarkan
keyakinan bahwa apa yang disampaikan benar dan baik
maka anggota komunitas akan menerimanya. Keberadaannya
sebagai bagian dari komunitas setempat memberikan nilai
tambah, karena seluruh anggota komunitas menerima apa
yang dikemukakan dan dikerjakan tanpa ada suatu kecurigaan
tertentu. Jika berasal dari luar, bisa jadi mereka menolak atau
tidak menerimanya sebagai pemimpin.

176
Asal usul yang sama ini terkait dengan status sosial-
ekonomi. Secara sosial-ekonomi, Suyadi tidak berasal dari
struktur yang lebih tinggi dibandingkan anggota komunitas
atau anggota kelompok petani tambak. Selain itu juga bukan
merupakan orang kaya di komunitasnya. Kepemilikan luas
tambaknya hanya dua hektar. Ada orang lain yang mempunyai
tambak lebih luas dibandingkan tambaknya. Secara struktur
ekonomi, Suyadi sama dengan anggota petani tambak lain.

Berdasarkan struktur sosial terkait keturunan, juga bukan


anak pejabat di lingkungan desa. Orangtuanya sebagaimana
orang lain di komunitasnya merupakan petani tambak. Dengan
kondisi demikian, hubungan sosial yang terjalin sepadan antara
pemimpin dan anggota komunitasnya. Selain itu, dari asal usul
pekerjaan, juga mempunyai pekerjaan sama dengan anggota
komunitasnya, yakni petani tambak. Pekerjaan sebagai petani
tambak tidak mengenal struktur tertentu.

Pemilik tambak, penyewa tambak, dan buruh tambak


biasanya bekerja dalam pekerjaan yang sama. Mereka semua
membudidayakan tambak dengan melakukan kegiatan sama.
Dalam pembudidayaan tambak tidak dikenal spesialisasi
pekerjaan. Semua pekerjaan terkait pembudidayaan tambak
dapat dikerjakan semua orang, sehingga secara struktur, petani
tambak, pemilik tambak, penyewa, dan buruh tambak berada
dalam struktur sosial yang sama.

Selain struktur sosial, berdasarkan asal usul ekonomi, bukan


orang kaya di komunitasnya. Hal ini menunjukkan bahwa
secara sosial-ekonomi, ia sepadan. Kesetaraan ini ditunjukkan
dengan keikut-sertaannya dalam semua kegiatan komunitas,

177
misalnya arisan simpan pinjam, dan kegiatan ekonomi produktif
lain. Dengan asal usul yang sama dari komunitasnya maka
dapat disebut sebagai pemimpin akar rumput atau grass-
root informal leaders. Pemimpin akar rumput merupakan
pemimpin yang tumbuh dan berkembang di masyarakat lokal,
karena masyarakat tersebut sedang melakukan perubahan
sosial, terutama gerakan rehabilitasi hutan mangrove, mulai
penanaman hingga kelestariannya.

b. Dukungan Komunitas dan Stakeholder


Dukungan seluruh anggota komunitas dalam kegiatan
rehabilitasi hutan mangrove merupakan faktor eksternal dari
pemimpin informal. Dukungan ini sangat penting, karena ke-
giatan rehabilitasi hutan mangrove yang menjangkau seluruh
pesisir dan pantai di wilayah desanya tidak mungkin dapat
dikerjakan sendiri. Dukungan tersebut berupa partisipasi aktif
anggota komunitas dalam seluruh kegiatan rehabilitasi hutan
mangrove sampai sekarang. Meskipun intensitas kegiatan
penanaman sekarang ini sudah berkurang, tetapi bilamana ada
tempat tertentu yang mangrove-nya mati atau rusak, mereka
melakukan penanaman kembali. Selain itu, dukungan diberikan
anggota komunitas dalam menjaga kelestariannya.

Anggota komunitas secara keseluruhan juga dipengaruhi


manfaat langsung dan tidak langsung yang didapatkan dari
pulihnya hutan mangrove. Kegiatan pemimpin dengan meng-
inisiasi, melakukan penanaman bersama, dan menjaga ke-
lestarian hutan mangrove mendapat dukungan positif warga
komunitas. Dukungan demikian bukan hanya pemilik tambak,

178
melainkan seluruh komunitas. Terlindunginya tambak dari
gelombang air laut maka tambak dapat digunakan sebagai
tempat budidaya. Budidaya bukan hanya pekerjaan pemilik
tambak, tetapi juga melibatkan penyewa dan buruh tambak.
Dengan keuntungan demikian, seluruh anggota mendukung
apa yang dilakukan pemimpinnya.

Selain itu, masyarakat mendapatkan keuntungan dari


pulihnya sumberdaya alam lain, bersamaan pulihnya hutan
mangrove. Sumberdaya alam yang ada di laut, misalnya udang,
ikan, kerang, dan lain sebagainya, memberikan kesempatan
bagi warga masyarakat untuk memanfaatkannya secara lestari.
Dalam hutan mangrove terapat sumberdaya alam seperti buah
mangrove. Buah mangrove dapat digunakan oleh masyarakat
untuk dimanfaatkan menjadi makanan dan minuman. Berbagai
sumberdaya alam tersebut memberikan diversifikasi atau
perluasan kesempatan kerja bagi anggota masyarakat untuk
menambah penghasilannya.

Hutan mangrove menjadi kebanggan masyarakat Desa


Pasar Banggi, karena desa pesisir sekitarnya tidak memiliki hutan
mangrove. Hutan mangrove Pasar Desa Banggi juga banyak
dikunjungi sebagai tempat studi banding, studi, dan pariwisata.
Kunjungan yang dilakukan para peminat dan pengagum hutan
mangrove bukan hanya datang dari masyarakat umum, tetapi
juga kalangan mahasiswa, pemerhati mangrove, dan pencinta
lingkungan, bahkan kunjungan peminat dan pemerhati mang-
rove dari luar negeri.

Berbagai kunjungan tersebut dapat memberikan tambahan


penghasilan, karena para pengunjung ada yang bermalam atau

179
memerlukan bantuan. Dengan kehadiran mereka, masyarakat
mendapatkan tambahan penghasilan dari tempat menginap
atau menyediakan bahan makan; menjadi pemandu mengun-
jungi hutan mangrove; dan kegiatan lainnya. Selain itu, dengan
berbagai kunjungan masyarakat, ada juga kelompok peduli
mangrove yang datang, kemudian memesan bibit mangrove
dalam jumlah banyak.

Dengan berbagai manfaat yang didapatkan dari keberadaan


hutan mangrove di Desa Pasar Banggi diakui oleh masyarakat,
sangat membantu dalam memperbanyak kegiatan, terkait
perluasan kerja bagi masyarakat secara keseluruhan. Hal itu
bukan hanya berlaku bagi kaum laki-laki, tetapi kesempatan
kerja juga terbuka bagi perempuan. Keterlibatan kaum pe-
rempuan dalam kegiatan pengembangan komunitas melalui
pemulihan dan pelestarian hutan mangrove diwujudkan dalam
bentuk pengolahan hasil laut dan pengolahan buah mangrove
menjadi makanan dan minuman. Seluruh anggota komunitas,
baik laki-laki maupun perempuan, pun mendukung rehabilitasi
mangrove dan menjaga kelestariannya.

Dengan demikian, masyarakat bukan hanya mendukung


usaha yang telah dilakukan selama ini, yakni melakukan pe-
mulihan dan pelestarian hutan mangrove, melainkan sekarang
sangat peduli dengan keberadaan hutan mangrove. Kepedulian
tersebut diwujudkan dengan usaha mereka melindungi hutan
mangrove dari perusakan dengan membuat aturan yang telah
disepakati bersama.

Salah satu aturan tersebut, jika ada anggota masyarakat


melakukan perusakan akan diberi sanksi sosial, yakni melakukan

180
penanaman 3 kali lipat luas area yang telah dirusaknya. Jika
yang melakukan perusakan adalah anggota masyarakat di luar
Desa Pasar Banggi akan diberi sanksi untuk tidak mengulangi
perbuatan. Jika tetap melakukan lagi akan dibawa dan diproses
kepolisian sampai pengadilan.

Tindakan-tindakan tersebut dilakukan atas kesadaran


anggota masyarakat bahwa hutan mangrove telah memberikan
manfaat sangat banyak, bukan hanya bagi pemilik tambak
melainkan keseluruhan anggota komunitas. Itulah sebabnya,
masyarakat Desa Pasar Banggi sangat respek terhadap pe-
ngembangan komunitas yang telah berlangsung, khususnya
dalam melakukan kegiatan pemulihan dan pelestarian hutan
mangrove. Hutan mangrove menjadi sumber hidup bagi ke-
hidupan masyarakat serta dapat meningkatkan kualitas hidup
dan kesejahteraan.

Untuk menjaga kerusakan dari perbuatan yang dilakukan


oleh komunitas setempat dan orang luar, diterapkan sanksi
win-win solution, yakni suatu prinsip dalam menjaga kelestarian
hutan mangrove dengan mengutamakan kelestarian. Jika ada
orang yang melakukan perusakan sebuah pohon, diberi sanksi
menanam 3 batang pohon. Demikian juga, bila yang dirusak
10 meter luasnya maka diberi sanksi menanam 30 meter.
Sanksi demikian disepakati dan diterapkan di dalam menjaga
kelestarian hutan mangrove. Itulah dukungan komunitas dalam
mewujudkan dan menjaga kelestarian hutan mangrove.

Dukungan lain berasal dari berbagai stakeholder. Lembaga


swadaya masyarakat peduli mangrove mendukung kegiatan
rehabilitasi mangrove di Desa Pasar Banggi dengan ikut

181
melakukan kegiatan penanaman secara gotong royong. Selain
itu, pemerintah desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan
pemerintah pusat mendukung kegiatan komunitas dalam
merehabilitasi pantainya dengan gerakan menanam mang-
rove. Dukungan pemerintah kabupaten misalnya, memberikan
bantuan polybag untuk pembibitan. Sementara pemerintah
pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), mem-
berikan dana bergulir untuk mengakselerasi kegiatan anggota
komunitas peduli mangrove.

182
BAB 5
REHABILITASI
HUTAN MANGROVE
SEBAGAI MODEL
PENGEMBANGAN
KOMUNITAS

A. Rehabilitasi Hutan Mangrove sebagai


Bentuk Pengembangan Komunitas
Setiap kegiatan komunitas dalam bentuk gerakan tertentu
di suatu desa memiliki dampak terhadap lingkungan dan ke-
hidupan, khususnya di komunitas pesisir. Sebelum membahas
pengembangan komunitas di Desa Pesisir Pasar Banggi sesuai
data empiris, terlebih dahulu akan dibahas dan dijelaskan me-
ngenai kerusakan lingkungan pesisir, sehingga petani tambak
melakukan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.
Kegiatan pengembangan komunitas tersebut dalam bentuk
rehabilitasi mangrove untuk memperbaiki kerusakan lingkungan,
khususnya tanggul tambak di wilayah pesisir. Anggota komuni-
tas kemudian melakukan gerakan bersama, mengatasi kerusak-
an lingkungan di wilayah pesisir dengan menanam mangrove.

183
1. Pengembangan Komunitas dari Bawah
Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove di pesisir Desa
Pasar Banggi menggunakan tema atau slogan tertentu. Pada
pintu masuk desa terpampang plangboard besar bertuliskan
Kawasan Konservasi Hutan Mangrove Desa Pasar Banggi
Kecamatan Rembang. Plangboard menyambut semua orang
yang datang bahwa desa pesisir ini merupakan desa yang
menyelenggarakan konservasi hutan mangrove.

Selain itu ada pula plangboard yang dekat dengan kawasan


hutan mangrove berbunyi Dilarang Merusak Lingkungan di
Kawasan Hutan Mangrove.

Sumber: Foto pribadi tahun 2013

Pada pintu masuk Desa Pasar Banggi terpampang plangboard tentang


kawasan konservasi hutan mangrove dan larangan merusak lingkungan di
kawasan hutan mangrove. Hal ini membuktikan bahwa desa tersebut sangat
peduli terhadap keberadaan dan kelestarian hutan mangrove.

Berbagai slogan tersebut menunjukkan bahwa Desa Pasar


Banggi merupakan tempat konservasi hutan mangrove dan

184
bagi siapa pun dilarang untuk melakukan perusakan. Semua
orang diminta menjaga kelestarian hutan mangrove, karena
keberadaannya merupakan inisiatif dan jerih payah mereka
sendiri. Hutan mangrove bermanfaat langsung dan tidak
langsung terhadap komunitas desa pesisir. Oleh karena itu,
kepedulian komunitas terbukti sampai saat ini bahwa hutan
mangrove di kawasan tersebut masih aman dan lestari.

Hal tersebut tidak berbeda dengan rehabilitasi hutan mang-


rove di berbagai tempat sekarang yang banyak dilakukan
dalam bentuk program nasional dan internasional berslogan
tertentu. Kegiatan tersebut disertai pembentukan lembaga
penyelenggara konservasi bertema Mangrove untuk Masa
Depan (Mangrove For the Future atau MFF).

Kegiatan nasional rehabilitasi dan pelestarian hutan


mangrove di Indonesia dinamai Indonesias National Strategy
for Mangrove Ecosystem Management. 99 Pada suatu desa
di wilayah Provinsi Banten dicanangkan program berslogan
Lets Plant Mangrove atau Mari Menanam Mangrove untuk
menandai gerakan menyadarkan masyarakat pesisir guna
menanam pohon mangrove.100

Sementara India menggabungkan program pemerintah


dengan lembaga sosial komunitas bernama Joint Forest
Management Committies (JFMCs) dengan Forest Protection
Communitties and Eco-development Communitties.101

99. Sukardjo, 2012.


100. Mahardi, 2012.
101. Pradeep Vyes and Sengupta, 2012.

185
Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove di Desa Pasar Banggi
berbeda dengan program nasional maupun internasional yang
bersifat top-down dari mana pun. Karena, kegiatan tersebut
telah berlangsung sejak lama, yakni mulai 1964 sampai seka-
rang; jauh sebelum program rehabilitasi hutan mangrove yang
digalakkan sekarang. Program-program rehabilitasi hutan
mangrove secara nasional dan internasional baru berlangsung
setelah tsunami tahun 2004.102

Pada waktu itu, banyak kawasan pesisir yang tidak mem-


punyai hutan mangrove mengalami kerusakan besar, sedang-
kan kawasan yang ada hutan mangrove-nya relatif lebih aman.
Dengan kondisi tersebut, kemudian berbagai negara yang
mengalami kerusakan akibat tsunami beramai-ramai men-
canangkan program rehabilitasi mangrove secara nasional.

Hal tersebut berbeda dengan rehabilitasi hutan mangrove


di Desa Pasar Banggi yang telah dimulai sejak lama dan tidak
merupakan program nasional atau internasional. Anggota
komunitas desa pesisir ini telah melakukan konservasi dan
rehabilitasi hutan mangrove dari inisiatif dan partisipasi aktif
mereka sendiri dan tidak dipengaruhi oleh tsunami.

Pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove di desa pesisir ini


juga menggunakan berbagai slogan tertentu, namun bersifat
lokal. Secara nasional, program yang diselenggarakan peme-
rintah di banyak negara dalam merehabilitasi dan mengkonser-
vasi hutan mangrove juga menggunakan slogan-slogan ter-
tentu dan terus dilaksanakan sampai sekarang. Namun, model

102. Sukardjo, 2012; Mahardi, 2012.

186
kegiatan rehabilitasinya bersifat top-down, yakni merupakan
program pemerintah atau lembaga penyelenggaranya dengan
berusaha melibatkan partisipasi masyarakat. Oleh karena itu,
program-program yang berkaitan pelestarian hutan mangrove
dapat dikatakan sebagai upaya penggabungan pendekatan
top-down dan bottom-up sekaligus.103 Sementara rehabilitasi
hutan mangrove di Desa Pasar Banggi merupakan kegiatan
dalam lingkup lokal (perdesaan). Kegiatan rehabilitasi di tempat
ini tidak merupakan gabungan program top-down dan bottom-
up, tetapi benar-benar bottom-up atau asli dari komunitas
bawah.

Kegiatan rehabilitasi Desa Pasar Banggi berbeda dengan


rehabilitasi hutan mangrove bersifat nasional atau internasional
yang merupakan kegiatan bersifat top-down; digagas pemerintah
atau lembaga swadaya masyarakat tertentu. Rehabilitasi hutan
mangrove ini merupakan kegiatan dari seluruh komunitas yang
berasal dari mereka sendiri. Dengan demikian, disebut seba-
gai program pengembangan komunitas asli dari bawah atau
indigenous community development.

Model rehabilitasi hutan mangrove secara top-down meng-


isyaratkan setiap kegiatan rehabilitasi hutan mangrove hen-
daknya dirancang oleh pemerintah pusat dan dikomunikasikan
terhadap masyarakat lokal agar mereka terlibat di dalamnya.
Bahkan jika program nasional rehabilitasi hutan mangrove tanpa
melibatkan masyarakat pesisir, dapat mengalami kegagalan.
Oleh karena itu, partisipasi anggota komunitas dalam program

103. Khadka and Vacik, 2012.

187
rehabilitasi dan konservasi hutan mangrove di wilayah pesisir
merupakan faktor penting yang harus disertakan.104

Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove di wilayah desa pesisir


ini berbeda karena tidak merupakan program yang dirancang
oleh pemerintah kemudian berusaha melibatkan partisipasi
anggota komunitas. Kegiatan ini murni berasal dari komunitas
setempat dan dilaksanakan sendiri. Oleh karena itu, partisipasi
aktif anggota komunitas menjadi bagian sangat penting di
dalam mewujudkan hutan mangrove. Hutan mangrove di
wilayah Desa Pasar Banggi ditanam sejak 1964 dan kondisinya
sangat baik, karena seluruh komunitas berusaha menjaga
keberadaan dan kelestariannya.

Sang Perintis, menjelaskan bahwa hutan mangrove di


pesisir Desa Pasar Banggi berkat usaha seluruh komunitas
Desa Pasar Banggi, Kecamatan Rembang, Kabupaten Rem-
bang, Jawa Tengah, dalam melakukan rehabilitasi sejak tahun
1964 sampai sekarang. Panjang kawasan hutan mangrove
ini mencapai 3 kilometer. Seluruh pantai Desa Pasar Banggi
tertanami pohon mangrove. Ketebalannya antara 60-150 meter
tergantung kondisi pesisir yang memungkinkan untuk ditanami.
Luas hutan mangrove secara keseluruhan kurang lebih 60 Ha.
Kegiatan komunitas terkait dengan keberadaan hutan mang-
rove; menjaga kelestarian dan memanfaatkan sumberdaya alam
di sekitarnya dengan bijak dan berkelanjutan. Dalam menjaga
kelestariannya menerapkan prinsip win-win solution.

104. Sudtongkong and Webb, 2008.

188
Dengan keadaan hutan mangrove yang sangat luas dan
mencakup wilayah seluruh pesisir desa maka tidak mungkin
dapat ditanam atau direhabilitasi seorang diri. Sang Pionir,
Suyadi, dalam penanaman mangrove hanya mungkin mampu
menanami tanggul tambaknya sendiri. Oleh karena itu, parti-
sipasi angggota petani tambak dan seluruh komunitas desa
pesisir dalam melakukan kegiatan rehabilitasi sangat penting
dan menentukan keberhasilan mewujudkan hutan mangrove
di desa pesisir tersebut. Partisipasi aktif anggota komunitas
menjadi unsur pengembangan komunitas dalam kegiatan
rehabilitasi mangrovet.

Kegiatan rehabilitasi mangrove di Desa Pasar Banggi


merupakan bentuk pengembangan komunitas yang bertujuan
untuk meningkatkan kondisi ekonomi dan kesejahteraan se-
luruh komunitas desa pesisir. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Brokensha dan Hodge (1969) mengatakan bahwa pengem-
bangan komunitas merupakan suatu kegiatan atau gerakan
komunitas yang diinisiasi oleh mereka sendiri, dirancang dan
diikuti partisipasi aktif anggota komunitas, dan tujuan akhirnya
adalah peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan seluruh
komunitas.

Gerakan rehabilitasi hutan mangrove di desa ini sama se-


perti konsep di atas. Suatu kegiatan yang dirancang oleh salah
seorang anggota komunitasnya dan kemudian diikuti partisipasi
aktif seluruh komunitas. Selain itu, kegiatan rehabilitasi hutan
mangrove ini mempunyai tujuan meningkatkan kualitas hidup
seluruh anggota komunitas. Perbedaannya, inisiator adalah
pemimpin informal. Sedangkan Brokensha dan Hodge tidak

189
menyebutkan inisiator dari kegiatan adalah seorang pemimpin,
namun salah seorang anggota komunitas itu sendiri.

Sebagaimana konsep pengembangan komunitas yang ada


bahwa semua kegiatan dirancang, dilaksanakan, dan diikuti
partisipasi aktif dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup
seluruh anggota komunitas. Hal ini terjadi pula pada kegiatan
rehabilitasi hutan mangrove di Desa Pasar Banggi. Semua
kegiatan mulai dari awal sampai sekarang, yakni menanam
dan menjaga kelestarian hutan mangrove masih menunjukkan
kegiatan pengembangan komunitas demikian.

Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove demikian disebut


sebagai pengembangan komunitas bottom-up. Banyak program
rehabilitasi hutan mangrove diinisiasi oleh pemerintah pusat,
namun di desa ini, kegiatan diinisiasi dan dilaksanakan oleh
komunitas pesisir yang bersangkutan. Hal ini berbeda dengan
apa yang dilakukan oleh berbagai komunitas di beberapa ne-
gara Asia, seperti Thailand, Bangladesh, India, Pakistan, Ghana,
dan Indonesia sendiri. Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove
banyak direncanakan atau dirancang pemerintah pusat dan
kemudian baru melibatkan partisipasi masyarakat pesisir.105

Model di atas, meskipun melibatkan partisipasi komunitas


pesisir, namun tidak termasuk dalam model pengembangan
komunitas bottom-up. Model pelibatan partisipasi masyarakat
demikian lebih merupakan program top-down, kemudian
melibatkan partisipasi anggota komunitas pesisir. Sedangkan

105. Sudtongkong and Webb, 2008; Shah And Baparikor, 2012; Olesu-Adjei, 1998;
Gawler, 1998; Fikriani dan Mussadun, 2014.

190
rehabilitasi hutan mangrove di wilayah pesisir desa ini bukan
merupakan model pengembangan komunitas top-down
demikian.

Ada program pemerintah melalui Kementerian Lingkungan


Hidup Republik Indonesia yang juga melibatkan partisipasi
anggota komunitas tetapi bersifat top-down, yakni program
Rantai Emas.106 Program rehabilitasi mangrove demikian meru-
pakan program pemerintah yang dirancang secara nasional
untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat pesisir. Rantai
Emas merupakan kependekan dari Rehabilitasi Pantai untuk
Mengentaskan Masyarakat. Jelas bahwa model dari program ini
adalah top-down karena cakupannya adalah semua pesisir di
seluruh Indonesia, kemudian diupayakan mendapat dukungan
dari komunitas pesisir.

Sementara rehabilitasi hutan mangrove di wilayah pesisir


Desa Pasar Banggi tidak merupakan program pemerintah untuk
mengentaskan kemiskinan. Program mandiri di desa tersebut
dilakukan untuk melindungi tambak mereka. Suatu program
yang didasarkan atas kerusakan lingkungan pesisir, yakni
tidak berfungsinya tanggul sebagai pelindung alami tambak.
Kesadaran mereka muncul setelah berbagai usaha melakukan
perbaikan tanggul tidak berhasil, yakni membuat tanggul
permanen. Hal yang dilakukan kemudian adalah menanam
pohon mangrove di tanggul tambak yang ada.

Jadi jelas bahwa rehabilitasi hutan mangrove ini berbeda


dan bukan dipengaruhi oleh inisiator dari pihak luar, seperti

106. KLHRI, 2009.

191
program nasional pemerintah atau pun lembaga swadaya
masyarakat, kemudian baru melibatkan partisipasi anggota
komunitas. Namun, kegiatan rehabilitasi hutan mangrove ini
tumbuh dan berkembang dari kesadaran komunitas pesisir
atas kerusakan tanggul tambak, terbukti dengan adanya
pengembangan komunitas dalam bentuk rehabilitasi hutan
mangrove yang telah berlangsung lebih dari 50 tahun. Hal
tersebut berbeda dengan program canangan pemerintah yang
dibatasi durasi waktu tertentu, misal 5 atau 10 tahun. Selain
itu, rehabilitasi hutang mangrove diinisiasi oleh salah seorang
anggota komunitas petani tambak, kemudian diikuti partisipasi
petani tambak lain secara aktif.

Perkembangan partisipasi anggota komunitas dalam proses


kegiatan rehabilitasi hutan mangrove tidak berjalan dengan
tiba-tiba. Prosesnya memerlukan waktu panjang dan usaha
keras, sehingga anggota komunitas mau berpartisipasi secara
keseluruhan. Partisipasi anggota petani tambak mulai dari
beberapa orang dan terus bertambah setiap tahun.

Seorang informan menceritakan, perkembangan partisipasi


petani tambak dalam menanam pohon mangrove dimulai
dari anggota keluarganya di tahun ketiga dan keempat, yakni
tahun 1966-1967. Baru pada tahun kelima, yakni tahun 1968,
partisipasi petani tambak yang ikut menanam mangrove
berjumlah 5 orang. Partisipasi bertambah pada tahun 1970,
yakni sebanyak 7 petani tambak. Pada tahun 1971, bertambah
lagi menjadi 9 orang, dan baru pada tahun 1972, jumlah
peserta aktif penanaman mangrove mencapai 12 Orang.

192
Pada tahun 1972, dibentuklah kelompok tani tambak
peduli mangrove. Nama kelompok tersebut, Kelompok Tani
Perikanan Sidodadi Maju. Kelompok tani ini menjadi wadah
partisipasi petani tambak dalam mewujudkan hutan mangrove.
Perkembangan partisipasi terus berlangsung, tidak hanya
petani tambak, melainkan penyewa tambak dan buruh tambak,
sehingga pada 2013, jumlahnya mencapai 57 orang.

Kata kunci pengembangan komunitas dalam bentuk reha-


bilitasi hutan mangrove sesungguhnya adalah partisipasi dari
anggota komunitas atau partisipasi aktif seluruh masyarakat.
Jika partisipasi komunitas rendah maka pengembangan komu-
nitas demikian tidak berjalan dengan baik. Sutomo (2011) me-
nyatakan, model pengembangan komunitas dari bawah berarti
mulai dari anggota komunitas terbawah sampai teratas diberi
peluang dan kewenangan sama dalam pengelolaan seluruh
kegiatan. Pengelolaan rehabilitasi hutan mangrove tersebut,
mulai dari identifikasi masalah dan kebutuhan, perencanaan,
evaluasi, dan dalam menikmati hasil pengembangan komunitas
dilakukan oleh mereka sendiri. Hal tersebut terjadi di komunitas
Desa Pasar Banggi dalam melakukan pengembangan komuni-
tas yang dapat berjalan dengan baik, karena semua anggota
komunitas berpartisipasi secara aktif dan dapat menikmati hasil
kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.

Kegiatan rehabilitasi mangrove di wilayah pesisir desa ini


benar-benar merupakan kegiatan yang diinginkan, dibutuhkan,
dirancang, dan dilaksanakan sendiri oleh seluruh komunitas,
sehingga dapat disebut sebagai pengembangan komunitas
dari bawah (bottom-up community development). Seluruh

193
masyarakat terlibat dalam program kegiatan rehabilitasi,
karena kegiatan tersebut merupakan kebutuhan mereka dalam
mengatasi masalahnya.

Selanjutnya, Sutomo menjelaskan bahwa pengembangan


komunitas dari bawah merupakan kegiatan di mana suatu
komunitas merancang suatu program kegiatan mereka sendiri
dan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya.

Hal tersebut sama dengan komunitas Desa Pasar Banggi


yang mengatasi masalah tanggul tambak mereka dengan
menanam mangrove. Mereka menganggap, pihak yang paling
tahu masalah dan penyelesaian hanya mereka sendiri, sehingga
tanaman mangrove dan hutan mangrove dianggap sebagai
kebutuhan dan diyakini sebagai pelindung alami tambak serta
dapat menyelesaikan masalah.

Dasarnya, pengetahuan dan pengalaman yang telah di-


jalani beberapa tahun sebelumnya bahwa membuat tanggul
berupa tiang pancang dan beton ternyata tidak mampu menjadi
penahan alami gelombang air laut. Hutan mangrove sebagai
kebutuhan lingkungan mereka, dapat menyelesaikan masalah
mereka, yakni melindungi tambak sebagai tempat budidaya.

Rehabilitasi hutan mangrove merupakan pengembangan


komunitas dari bawah, yang bertujuan meningkatkan kualitas
manusianya; terlihat dari awal mula kegiatan yang dilaksanakan
sendiri dan kemudian tidak berhasil. Ketidakberhasilan tersebut
karena sumberdaya manusia yang ada belum mempunyai
pengetahuan dan pengalaman memadai dalam menanam dan
mewujudkan hutan mangrove.

194
Menurut Korten, hal yang diperlukan dalam melaksanakan
pengembangan komunitas dari bawah adalah peningkatan
kualitas sumberdaya manusianya. Pengembangan komunitas
demikian disebut dengan people centered development. Ke-
berhasilan pembangunan dalam bentuk pengembangan ko-
munitas akan berhasil jika didukung sepenuhnya oleh kualitas
sumberdaya manusianya.107 Sebagaimana kegiatan rehabilitasi
hutan mangrove di Desa Pasar Banggi yang dapat berhasil
mewujudkan hutan mangrove juga ditentukan oleh kualitas
sumberdaya manusianya.

Usaha seorang pionir yang sebelumnya tidak mempunyai


pengetahuan dan pengalaman menanam mangrove, tidak
berhasil. Dengan kegagalan yang dialami, ia kemudian mencari
pengetahuan dan pengalaman sendiri, sehingga kapasitas-
nya meningkat. Berdasarkan pengetahuan dan pengalaman
yang diperoleh secara autotidak akhirnya dapat mewujudkan
tanaman mangrove di tahun berikutnya.

Keberhasilan mewujudkan hutan mangrove sangat di-


pengaruhi oleh kualitas sumberdaya manusia, terutama pionir
penanaman pohon mangrove. Jadi, keberhasilan menanam
pohon mangrove dan mewujudkan hutan mangrove sangat
ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusianya, yakni pionir
dan anggota komunitas yang melakukan kegiatan rehabilitasi
hutan mangrove.

Pengembangan komunitas dari bawah, sesungguhnya


merupakan bentuk kegiatan yang ditekankan pada proses,

107. Korten (1984, 1987).

195
tugas dan tanggung jawab, visi untuk pemberdayaan anggota
komunitas. Penekanan keseluruhan proses pengembangan
komunitas dalam bentuk kegiatan rehabilitasi hutan mangrove
bukan hanya pada hasil, yakni tanaman dan hutan mangrove,
tetapi pada proses dari keseluruhan kegiatan rehabilitasi.

Kenny (2007) menjelaskan, pengembangan komunitas


dari bawah merupakan proses, tugas, kegiatan, dan visi
komunitas dalam memberdayakan komunitasnya sendiri,
sehingga bertanggung jawab terhadap tujuan yang akan
dicapai. Sebagaimana kegiatan rehabilitasi hutan mangrove
di Desa Pasar Banggi yang merupakan proses dalam bentuk
kegiatan mulai awal sampai sekarang. Suatu kegiatan yang
dimulai sejak 1964 dan terus berlangsung sampai 2013, saat
studi ini dilakukan. Meskipun telah berhasil mewujudkan hutan
mangrove, tetapi berbagai kegiatan lain terkait pengembangan
komunitas dari bawah terus berlangsung untuk meningkatkan
kualitas hidup dan kesejahteraan mereka.

Pengembangan komunitas dari bawah dalam bentuk


rehabilitasi hutan mangrove di desa pesisir tersebut terus ber-
langsung sampai saat ini. Namun, kegiatan lebih difokuskan
pada menjaga kelestarian hutan mangrove dan memanfaatkan
sumberdaya alam yang ada. Kegiatannya tidak hanya menanam,
menyulam, dan menjaga kelestarian pohon mangrove, serta
mewujudkan hutan mangrove. Kegiatan lain terkait keberadaan
hutan mangrove pun terus dilakukan.

Seorang informan menuturkan, komunitas Desa Pasar


Banggi membentuk lembaga lokal berupa kelompok tani
tambak bernama Kelompok Tani Tambak Sidodadi Maju. Selain

196
itu, membentuk lembaga keuangan mikro berupa arisan dan
dana taktis untuk kegiatan ekonomi produktif. Ada kelompok
pengajian yang dilakukan setiap malam Jumat dan tempat-
nya bergiliran di antara rumah anggota kelompok. Mereka
membentuk kelompok perempuan untuk pemberdayaan
dengan nama Kartini 1 dan Kartini 2. Pemberdayaan kelompok
perempuan dilakukan untuk mengolah hasil mangrove, yakni
mengolah buah mangrove menjadi makanan dan minuman.

Selain itu, seluruh anggota komunitas mampu menjaga


kelestarian dan mampu memanfaatkan sumberdaya alam yang
ada, dalam proses berjalannya pengembangan komunitas
merehabilitasi hutan mangrove. Bahkan model pengembangan
komunitas ini ditularkan pada desa lain, seperti Desa Tireman
dan Tritunggal. Namun, kedua desa di sebelah timur dan barat
desa Desa Pasar Banggi tersebut, tidak mampu mewujudkan
hutan mangrove. Pesisirnya tidak terdapat hutan mangrove;
hanya tumbuh beberapa.

2. Tujuan Pengembangan Komunitas


dari Bawah
Pengembangan komunitas top-down sesungguhnya
merupakan konsep pembangunan beraliran modernisasi
yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi. 108 Suatu pen-
dekatan pembangunan yang lebih berorientasi pada ekonomi
makro, yakni dengan melihat kondisi pertumbuhan ekonomi
nasional. Hal tersebut berbeda dengan kegiatan rehabilitasi

108. Dharmawan, 2006.

197
hutan mangrove di Desa Pasar Banggi yang merupakan pe-
ngembangan komunitas dari bawah dan mandiri. Pengem-
bangan komunitas dalam lingkup wilayah perdesaan pesisir
kecil ini direncanakan serta dilaksanakan sendiri oleh semua
anggota komunitas.

Sebagai model pengembangan komunitas dari bawah,


tujuan akhir dari rehabilitasi hutan mangrove di sana tidak
sampai pada pertumbuhan ekonomi desa pesisir melainkan
lebih pada pemulihan dan pelestarian hutan mangrove. Ke-
beradaannya dapat melindungi sumberdaya petani tambak,
yakni tambak anggota komunitas. Selain itu, pengembangan
komunitas juga bermaksud untuk memenuhi kebutuhan dan
peningkatan kesejahteraan seluruh komunitas. Hutan mangrove
dapat melindungi tambak, sehingga tambak yang ada dapat
digunakan sebagai tempat budidaya. Dengan kegiatan pem-
budidayaan tambak, petani mendapatkan penghasilan, dan
pada akhirnya dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya
serta meningkatkan kesejahteraan.

Sesungguhnya, pengembangan komunitas top-down di-


rasakan ada manfaatnya, yakni dapat mempercepat terjadinya
perubahan sosial di komunitas. Namun, model top-down sering
kali menimbulkan dampak negatif atau distorsi. 109 Distorsi
dapat berupa kerusakan lingkungan, pencemaran, kemiskinan,
ketergantungan masyarakat terhadap pihak luar. Masyarakat
sangat tergantung pada pihak inisiator (top-down) sehingga jika
tidak ada pihak luar yang menjadi pengelola atau penanggung

109. Midley, 1995.

198
jawabnya. Kegiatan pengembangan komunitas demikian akan
berhenti dengan sendirinya.

Model top-down menyebabkan komunitas kurang man-


diri dan tidak siap melanjutkan program yang dirancang dari
atas. Sementara model bottom-up dalam bentuk rehabilitasi
hutan mangrove merupakan pengembangan komunitas asli
atau indigenous community development. Model pengem-
bangan komunitas ini menjadikan seluruh anggota komunitas
mandiri dan bertanggung jawab terhadap apa yang mereka
kerjakan dan lakukan. Selain itu, semua anggota komunitas
turut berpartisipasi dan mandiri serta tidak menggantungkan
keberadaan pihak luar.

Rehabilitasi hutan mangrove ini dapat terus berjalan meski-


pun pemimpinnya telah berganti. Semua kegiatan berkenaan
dengan rehabilitasi hutan mangrove dapat dikelola secara
bersama oleh mereka sendiri. Bahkan dampak negatif dari
kegiatan demikian, meskipun ada, tetapi tidak mempengaruhi
proses kegiatan secara keseluruhan. Misalnya, model bottom-up
dalam mencapai tujuan yang memerlukan waktu cukup lama.
Untuk mewujudkan hutan mangrove, diperlukan waktu cukup
lama dan kebersamaan. Namun, seluruh anggota komunitas
selalu bersabar dan berusaha untuk mengelola pengembangan
komunitas sampai tujuan yang ingin dicapai dapat diwujudkan,
yakni hutan mangrove.

Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove yang telah dilakukan


komunitas pesisir Desa Pasar Banggi juga merupakan kegiatan
pembangunan di wilayah perdesaan. Kegiatan ini dapat disebut
sebagai pembangunan perdesaan bottom-up yang bertujuan

199
terjadi perdamaian, keselerasan di antara anggota masyarakat,
dan perubahan nasib seluruh anggota komunitas. Perubahan
nasib tersebut dari kondisi ekonomi kurang baik menjadi lebih
baik. Dengan membudidayakan tambak, warga yang semula
tidak bekerja kemudian bisa bekerja.

Sebelum ada kegiatan rehabilitasi hutan mangrove, kondisi


tambak tidak bisa digunakan sebagai sumberdaya, sehingga
petani tambak sulit memenuhi kebutuhan hidupnya. Tambak
yang dimasuki air laut dengan leluasa menyebabkan petani
tambak tidak bisa bekerja dan membudidayakan tambak me-
reka. Setelah hutan mangrove tumbuh dan mampu melindungi
tambak, akhirnya tambak menjadi aman untuk dijadikan tempat
kerja dan budidaya. Dengan membudidayakan tambak, secara
otomatis terjadi perubahan nasib mereka. Kebutuhan hidup
yang sebelumnya sulit dipenuhi, dengan membudidayakan
tambak, hasilnya dapat digunakan memenuhi kebutuhan hidup.

Dalam model pengembangan komunitas bottom-up yang


terjadi di wilayah pesisir ini bertujuan agar komunitas mampu
mengendalikan semua proses secara efektif dan berkelanjutan,
sendiri. Tujuannya, sebagai usaha dan mengembangkan inves-
tasi sosial bagi kehidupan seluruh komunitas. Midgley dan
Conley (2010) menuturkan, pada model demikian, komunitas itu
sendiri mampu mengendalikan secara efektif dan berkelanjutan,
apa yang dikerjakan. Dengan pulihnya hutan mangrove, semua
anggota komunitas dapat mengendalikan sumberdaya yang
dimiliki. Hal ini sebagai bentuk investasi sosial bagi mereka.

Hutan mangrove yang dapat melindungi tambak, berarti


tambak menjadi modal utama bagi komunitas pesisir. Modal

200
tersebut dapat dipulihkan kondisinya sebagai tempat budidaya
dengan baik, sehingga disebut sebagai investasi sosial. Tambak
bagi komunitas pesisir merupakan modal utama yang tidak
pernah habis, bahkan disebut sebagai modal berkelanjutan,
sehingga kegiatan rehabilitasi hutan mangrove sama dengan
melakukan investasi sosial bagi mereka sendiri, yakni melindungi
tambak dengan menanam mangrove. Sebagai modal utama,
tambak dapat digunakan sebagai tempat bekerja selamanya
dan berkelanjutan bagi petani tambak di kawasan pesisir.

Pengembangan komunitas secara bottom-up dalam ben-


tuk rehabilitasi hutan mangrove sesungguhnya bisa diartikan
sebagai reaksi atas pendekatan pengembangan komunitas
yang menekankan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat. Suatu masyarakat dianggap sejahtera bilamana
pertumbuhan ekonomi tinggi disertai dengan pendapatan per
kapita yang juga tinggi.110

Pandangan demikian ternyata melahirkan ketimpangan


atau menimbulkan dampak negatif. Pertumbuhan ekonomi
yang tinggi dan tingkat pendapatan per kapita tinggi ternyata
memiliki banyak kelemahan. Misal, adanya pendapatan yang
tidak merata dan menimbulkan ketimpangan, seperti kemiskinan.
Hanya sedikit orang yang mempunyai pendatapan sangat
tinggi di satu sisi dan di sisi lain, banyak orang berpendapatan
rendah sampai sangat rendah.

Rehabilitasi hutan mangrove merupakan model pengem-


bangan komunitas dari bawah yang bertujuan meningkatkan

110. Midgley, 1995; Suharto, 2007.

201
pendapatan per kapita komunitas setempat. Pada satu sisi,
terjadi peningkatan pendapatan, dan pada sisi lain, mening-
katkan kualitas sumberdaya manusia serta lingkungan hidup-
nya. Dengan melakukan rehabilitasi hutan mangrove, berarti
komunitas desa pesisir tersebut telah melakukan model
pembangunan sosial. Sebuah kegiatan yang menyelaraskan
semakin meningkatnya pendapatan komunitas pesisir di satu
sisi dan rehabilitasi hutan mangrove yang dapat memperbaiki
lingkungan pesisir di sisi lain.

Meskipun terjadi ketimpangan pendapatan antara pemilik


tambak dengan buruh tambak atau antara penyewa tambak
dengan buruh tambak, tetapi mereka saling membutuhkan,
sehingga terjadi kebersamaan. Mereka dapat membudidayakan
tambak untuk memperoleh penghasilan utama dan mengolah
hasil sumberdaya alam pesisir serta hutan mangrove untuk
menambah penghasilannya. Kelemahan lain model pengem-
bangan komunitas top-down adalah bersifat sentralistis. Semua
dari atas, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pendanaan,
evaluasi, dan lain sebagainya. Dengan kondisi demikian, pe-
megang program pengembangan komunitas dari atas semakin
kuat atau powerfull. Pemegang kekuasaan suatu program
pengembangan komunitas tertentu bersifat sentralistis.

Sutomo (2011) menjelaskan, semua kekuasaan dikendali-


kan oleh pemegang otoritas program, sehingga pemegang
kekuasaan terus menjadi semakin kuat (powerfull). Sementara
masyarakat di pihak lain menjadi semakin lemah (powerless)
dan sebatas menjadi partisipan program. Kegiatan rehabilitasi
hutan mangrove di Desa Pasar Banggi merupakan model

202
pengembangan komunitas bersifat bottom-up dan bukannya
top-down. Model top-down sering kali mengutamakan sentralitas
dan keseragaman, sedangkan bottom-up justru sebaliknya.

Pengembangan komunitas ini tidak dikendalikan seorang


penguasa tertentu atau pionir melalui komando, melainkan
atas inisiatif dan kesepakatan seluruh anggota komunitas.
Oleh karena itu, pengembangan komunitas melalui rehabilitasi
hutan mangrove bertujuan agar seluruh anggota komunitas
mengendalikan kegiatannya sendiri untuk mencapai tujuan,
sesuai dengan keinginan mereka sendiri.

Sebagai pengembangan komunitas dalam bentuk reha-


bilitasi hutan mangrove di komunitas pesisir, kegiatan ini telah
mengutamakan bottom-up, desentralisasi, variasi lokal, proses
belajar, keberlanjutan, pemberdayaan sosial komunitas, dan
transformasi sosial. Dominelli (2011), dalam perspektif kese-
jahteraan sosial hijau (green social welfare), mengatakan,
pengembangan komunitas dari bawah berorientasi pada
peningkatan kualitas hidup melalui pemanfaatan sumberdaya
alam dan lingkungan.

Jadi, usaha melakukan penanaman pohon mangrove dan


mewujudkan hutan mangrove yang dapat melindungi tambak
merupakan usaha peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan
seluruh komunitas berdasarkan perbaikan lingkungannya. Ling-
kungan merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi
kehidupan seluruh komunitas di sekitarnya. Jika lingkungan
mengalami kerusakan maka komunitasnya juga mengalami
kemiskinan dan kesengsaraan. Demikian sebaliknya, jika
lingkungan baik dan tersedia cukup sumberdaya alam yang

203
dibutuhkan maka kehidupan komunitas juga mengalami
kemakmuran dan kesejahteraan.

Sebagaimana pengembangan komunitas dalam bentuk


rehabilitasi hutan mangrove, kerusakan lingkungan berupa
hutan mangrove di Desa Pasar Banggi dapat mempengaruhi
kehidupan komunitasnya. Hutan mangrove yang rusak me-
nyebabkan rusaknya tambak dan hilangnya berbagai sumber-
daya alam di sekitarnya. Dengan kondisi demikian, petani
tambak, penyewa tambak, dan buruh tambak tidak bisa mem-
budidayakan tambaknya. Kondisi tersebut mempengaruhi
penghasilannya karena tidak bisa membudidayakan tambak.

Hilangnya hutan mangrove juga berarti hilangnya berba-


gai sumberdaya alam yang ada di kawasan pesisir. Berbagai
sumberdaya alam tersebut memberikan variasi pekerjaan,
sehingga dapat menambah penghasilan. Oleh karena itu, da-
lam perspektif kesejahteraan sosial hijau, lingkungan berupa
hutan mangrove, tambak, dan sumberdaya alam lain yang ada,
sangat mempengaruhi kehidupan komunitas di sekitarnya dan
bahkan dapat mempengaruhi kesejahteraannya.

Pengembangan komunitas dalam bentuk rehabilitasi hutan


mangrove ini, merupakan kegiatan yang bertujuan untuk me-
mulihkan lingkungan dan sumberdaya alam di kawasan pesisir.
Peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat
dapat mempergunakan sistem sumber dari lingkungan. Sistem
sumber pemecahan masalah dapat menggunakan sumberdaya
alam lingkungan atau penggunaan aset lingkungan.111

111. Delgado, 2000.

204
Lingkungan dan sumberdaya alam pesisir merupakan
aset bagi komunitas pesisir. Hal tersebut berbeda dengan
pengembangan komunitas ini bahwa aset tersebut dapat berupa
tambak yang dimiliki secara pribadi dan hutan mangrove serta
sumberdaya alam lainnya sebagai aset bersama. Sedangkan
aset menurut Delgado hanya potensi lingkungan yang ada di
wilayah perkotaan. Keberadaan aset-aset dalam pengembangan
komunitas ini merupakan faktor penting bagi sistem sumber
pemecahan masalah yang dihadapi komunitas. Aset menjadi
modal yang dapat dipergunakan anggota komunitas dalam
meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraannya.

Pengembangan komunitas dalam bentuk rehabilitasi hutan


mangrove ini juga terkait dengan pemulihan dan pelestarian
sumberdaya alam pesisir dan laut sebagai aset komunitas. Pulih
dan lestarinya sumberdaya alam (aset-aset) tersebut sangat
dibutuhkan bagi komunitas pesisir karena keberadaannya
menjadi sumber penghidupan.

Pertama, rehabilitasi hutan mangrove dapat melindungi


tanggul tambak dari gelombang air laut, sehingga gelombang
tertahan pada hutan mangrove. Dengan demikian, tambak
menjadi aman dari keluar-masuknya air laut secara bebas dan
tambak dapat digunakan petani untuk bekerja.

Kedua, rehabilitasi mangrove memulihkan berbagai sumber-


daya alam di kawasan pesisir dan laut. Hutan mangrove meng-
hasilkan buah mangrove dan berbagai sumberdaya alam lain
di sekitarnya. Sumberdaya alam yang ada merupakan sistem
sumber bagi pemecahan masalah.

205
Dalam konsep intervensi komunitas di ranah ilmu kesejah-
teraan sosial, misalnya, menggunakan sistem sumber. Salah
satunya, yakni suatu sistem pemecahan masalah sosial dengan
menggunakan sistem sumberdaya alam dan lingkungan atau
aset-aset ekologis. Lingkungan dan sumberdaya alam yang
ada di kawasan hutan mangrove dapat dipergunakan sebagai
sistem sumber untuk meningkatkan kesejahteraan komunitas
pesisir.

Selain itu, hutan mangrove dapat menjadi tempat ber-


kembang biaknya ikan, udang, kepiting, dan biota laut lain.
Semua sumberdaya alam laut itu bergantung pada keberadaan
hutan mangrove. Keberadaan dan pemanfaatan sumberdaya
alam tersebut digunakan sebagai modal atau aset dalam
mengkaselerasi dan memperbanyak, atau pun membuka ber-
bagai peluang pekerjaan komunitas. Tersedianya berbagai aset
lingkungan dan sumberdaya alam terkait dengan keberadaan
hutan mangrove yang dapat berupa aset pribadi dan komunal
dalam suatu lingkungan. Aset-aset lingkungan tersebut me-
rupakan modal sosial bagi pengembangan komunitas dan
pemberdayaan masyarakat pesisir.

Hutan mangrove dan sumberdaya alam di sekitarnya me-


rupakan aset komunitas yang semua orang dapat dan berhak
untuk mendapatkan serta memanfaatkannya; dimanfaatkan
untuk memenuhi kebutuhan dan peningkatan kualitas hidup
komunitas.

Kegiatan pengembangan komunitas dengan melakukan


rehabilitasi hutan mangrove di Desa Pasar Banggi juga me-
rupakan bentuk pemulihan dan pelestarian sumberdaya alam

206
secara berkelanjutan. Hal tersebut berarti bahwa kegiatan dalam
memulihkan dan melestarikan aset yang dimiliki oleh komunitas
bukan hanya berorientasi pada kebutuhan petani tambak saat
ini, melainkan juga kebutuhan masa depan generasi mereka.

Pioner pelestari hutan mangrove menuturkan, hutan mang-


rove dan tambak merupakan aset abadi dan berkelanjutan.
Abadi berarti lestari, yakni dapat dipergunakan secara terus-
menerus dalam memenuhi kebutuhan hidup. Prinsipnya, tidak
boleh melakukan perusakan atau pemanfaatan yang melebihi
daya dukungnya. Dengan prinsip ini, sumberdaya alam hutan
mangrove dan tambak dapat dipergunakan secara lestari
dan berkelanjutan; tidak hanya generasi sekarang, melainkan
sampai generasi yang akan datang.

Suatu kegiatan yang berorientasi ke masa depan dan


kehidupan generasi penerus disebut sebagai pembangunan
atau pengembangan komunitas berkelanjutan. 112 Kegiatan
komunitas dalam bentuk rehabilitasi hutan mangrove merupa-
kan bentuk pengembangan komunitas berkelanjutan. Artinya,
kegiatan tersebut untuk melindungi aset yang sangat diperlu-
kan oleh mereka sendiri pada saat ini dan juga dapat diman-
faatkan oleh generasi mereka di masa mendatang. Hutan
mangrove merupakan sumberdaya lestari, di mana keberadaan
sumberdaya alam yang ada, jika dimanfaatkan secara baik akan
terus lestasi keberadaannya.

Hutan mangrove tidak akan habis, karena jika dimanfaat-


kan, sumberdaya alam yang ada di dalamnya akan pulih

112. Berder, 1993.

207
kembali. Artinya, sumberdaya alam yang berupa hutan mang-
rove merupakan aset lestari. Demikian pula, tambak juga
merupakan aset lestari. Setiap saat, selama setahun penuh,
dapat dipergunakan sebagai tempat budidaya ikan, udang,
dan pembuatan garam. Sumberdaya demikian tidak akan habis
manakala dimanfaatkan secara lestari sesuai dengan daya
dukungnya (carrying capacity). Oleh karena itu, pengembangan
komunitas dalam bentuk rehabilitasi hutan mangrove berarti
berorientasi pada kesejahteraan hidup komunitas sekarang dan
generasi mereka di masa datang.

Rehabilitasi hutan mangrove yang dilakukan komunitas


pesisir Desa Pasar Banggi juga disebut sebagai bentuk
kegiatan berorientasi masa depan. Hutan mangrove dan
sumberdaya alam lain merupakan sumberdaya yang dapat
diperbarui (renewable resources). Jika dimanfaatkan dengan
benar dan baik, keberadaannya akan pulih kembali. Banyak
orang yang tidak menyadari pemanfaatannya, dan terkadang,
pemanfaatannya melampaui daya pulihnya, sehingga banyak
hutan mangrove dan sumberdaya alam lain di sekitarnya
kemudian mengalami degradasi atau kerusakan.

Hutan mangrove di Desa Pasar Banggi bukan dimanfaat-


kan secara langsung, melainkan mempunyai manfaat tidak
langsung. Manfaat ini sangat penting karena menjadi pelindung
alami tambak dan menjadi tempat berkembang biaknya
sumberdaya alam lain. Dengan demikian, dalam melakukan
rehabilitasi hutan mangrove, komunitas desa pesisir tersebut
telah menerapkan strategi pengembangan komunitas secara
berkelanjutan.

208
Pengembangan komunitas dari bawah dalam bentuk
rehabilitasi hutan mangrove di desa pesisir ini mempunyai
tujuan untuk melakukan adaptasi yang dilakukan komunitas
terhadap kerusakan lingkungannya. Kegiatan rehabilitasi hutan
mangrove merupakan bentuk adaptasi komunitas pesisir
terhadap kerusakan tanggul tambak. Tanggul yang mengalami
kerusakan tidak mampu menjadi pelindung alami tambak.
Dengan menanam pohon mangrove, berarti merupakan bentuk
adaptasi, agar lingkungan pesisir mereka pulih kembali. Secara
alamiah, pesisir ditumbuhi hutan mangrove yang mempunyai
fungsi ekologis bagi lingkungan dan fungsi sosial bagi komu-
nitas setempat.

Dengan membiarkan kerusakan hutan mangrove dan


lingkungan pesisirnya yang rusak berarti akan menurunkan
daya dukung bagi kehidupan komunitas. Sikap demikian
akan mempengaruhi penurunan kualitas hidup mereka. Oleh
karena itu, melakukan rehabilitasi hutan mangrove sama artinya
dengan memulihkan fungsi lingkungan untuk kepentingan
mereka sendiri. Perilaku dalam bentuk adaptasi demikian lebih
menjanjikan dan lebih berkelanjutan.

Selain itu, pengembangan komunitas dalam bentuk ke-


giatan rehabilitasi hutan mangrove merupakan usaha mem-
pertahankan kehidupan dan memperjuangkan kelangsungan
hidup (strategy of life) seluruh komunitas.113 Hutan mangrove
merupakan bagian penting kehidupan komunitas pesisir. Mang-
rove bukan hanya menjadi pelindung alami tambak, tetapi

113. Pandey, 1993.

209
menyediakan berbagai sumberdaya alam di lingkungan pesisir
dan laut. Berdasarkan hal tersebut, rehabilitasi hutan mangrove
merupakan upaya memperbaiki sistem ekologis dan sistem
sosial-budaya sebagai bagian dari perjuangan hidup komunitas
pesisir.

Hal itu berbeda dengan perjuangan mempertahankan


kelangsungan hidup komunitas pesisir dengan perilaku adaptasi
dalam bentuk upaya mencari alternatif pekerjaan lain di luar
bidang pertambakan dan laut. Kusnadi (1997) menjelaskan, di
wilayah pesisir utara Jawa Timur, misalnya, komunitas pesisir
memilih bentuk adaptasi dengan melakukan diversifikasi
pekerjaan. Pilihan melakukan adaptasi lingkungan dengan
melakukan rehabilitasi hutan mangrove merupakan pilihan
rasional. Pilihan ini memungkinkan manfaat hutan mangrove
dalam jangka panjang dan terus-menerus. Sementara mencari
alternatif lain lebih berorientasi jangka pendek dan bersifat
sementara. Oleh karena itu, adaptasi dengan melakukan per-
baikan lingkungan berupa mengembalikan kondisi lingkungan
dengan tanaman mangrove dan hutan mangrove di wilayah
pesisir merupakan pilihan rasional, sekaligus pilihan sosial
yang tepat.

Selain berfungsi secara ekologis, hutan mangrove juga


berfungsi sosial-budaya. Fungsi ekologis menyediakan oksigen,
sumber makanan berbagai biota laut dan pesisir, dan fungsi
ekologis lain. Sementara fungsi sosial-budaya adalah menjadi
pelindung tambak, penahan tsunami, tempat kerja anggota
komunitas, menyediakan sumberdaya alam yang dapat di-
manfaatkan, dan dapat dijadikan tempat rekreasi.

210
Hutan mangrove bukan hanya berwujud lingkungan fisik
sebagai lingkungan ekologis di wilayah pesisir, tetapi juga me-
rupakan lingkungan sosial-budaya. Hutan mangrove merupakan
lingkungan sosial-budaya yang berarti bahwa keberadaannya
dapat memunculkan berbagai kegiatan dalam komunitas pesisir.
Keberadaan hutan mangrove menghidupkan kembali kegiatan
petani tambak. Mereka yang bergantung hidupnya pada ke-
beradaan tambak dapat mengolah atau membudidayakannya.
Pembudidayaan tambak merupakan suatu lingkungan sosial-
budaya, karena orang yang terlibat di dalamnya terdiri atas
pemilik, penyewa, buruh tambak, dan kegiatan sosial-budaya
lain. Dengan hutan mangrove, kehidupan sosial-budaya komu-
nitas pesisir dapat bergerak dan berjalan normal kembali.

Pengembangan komunitas dalam bentuk rehabilitasi hutan


mangrove secara tidak langsung bertujuan untuk melakukan
perberdayaan masyarakat. Hal ini berhubungan dengan ke-
giatan yang dilakukan agar masalah yang dihadapi komunitas
dapat diselesaikan sendiri. Artinya, masalah yang dihadapi
berupa kerusakan tanggul tambak, membutuhkan kapasitas
atau kemampuan dari komunitasnya. Melalui pengembangan
komunitas ini, pemberdayaan masyarakat terhadap komunitas
pesisir dapat diwujudkan. Dengan kapasitas dan kemampuan
komunitas yang ada dapat digunakan menyelesaikan masalah
yang dihadapi sekarang dan masa datang.

Dapat dikatakan, pemberdayaan merupakan bagian yang


tidak terpisahkan dari proses pengembangan komunitas di
wilayah pesisir ini. Pemberdayaan komunitas juga berlangsung
melalui kelompok tani, arisan bulanan, ekonomi produktif, serta

211
pemberdayaan kaum perempuan dalam mengolah hasil laut
dan buah mangrove menjadi minuman dan makanan.

Selanjutnya, tujuan pengembangan komunitas dalam ben-


tuk rehabilitasi hutan mangrove adalah keberhasilan dalam
membangun modal sosial komunitas. Modal sosial tersebut
berupa nilai atau norma, kepercayaan, dan jaringan sosial.
Sebagaimana yang ada pada komunitas pesisir Desa Pasar
Banggi, kegiatan rehabilitasi hutan mangrove mampu mem-
bangun modal sosial komunitas.

Kenny (2007) menjelaskan, pengembangan komunitas


bertujuan untuk mengembangkan aset komunitas (build on
community assets). Dalam pengembangan komunitas berbentuk
kegiatan rehabilitasi hutan mangrove, komunitas telah mampu
mengembangkan aset komunitas, baik fisik maupun sosial.

Aset fisik berkenaan dengan sumberdaya alam dengan


keberadaan hutan mangrove, sedangkan aset sosial adalah
kepercayaan diri, jaringan, kesediaan berbagai kekuatan ko-
munitas dalam menjalankan proses rehabilitasi hutan mang-
rove. Hutan mangrove sebagai aset fisik dapat dimanfaatkan
komunitas. Sementara aset sosial adalah komunitas itu sendiri
yang mempunyai kapasitas, sehingga dapat melakukan reha-
bilitasi hutan mangrove dan mengatasi masalah yang dihadapi.

Selain itu, proses pengembangan komunitas di desa pesisir


tersebut disertai peningkatan keterampilan dari anggota komu-
nitas atau increase skills of individuals114. Kegiatan rehabilitasi

114. Kenny, 2007.

212
hutan mangrove juga meningkatkan keterampilan anggota
komunitas. Bukan hanya terkait keterampilan menanam pohon
mangrove, tetapi juga berbagai keterampilan yang diperlukan
komunitas dalam meningkatkan taraf hidupnya. Paling tidak,
dengan meningkatnya keterampilan yang dimiliki, anggota ko-
munitas mempunyai rasa percaya diri lebih kuat dalam meng-
hadapi tantangan dan masalah apa pun berkaitan komunitas,
di masa datang. Bahkan dapat berusaha sendiri meningkatkan
kualitas hidupnya melalui kegiatan ekonomi produktif berkaitan
dengan keberadaan hutan mangrove.

Pengembangan komunitas dapat berjalan lancar karena


terjalinnya jaringan sosial antar-anggota kelompok maupun
anggota kelompok dengan stakeholder atau connect people
with one another.115 Proses pengembangan komunitas di Desa
Pasar Banggi diikuti oleh terbangunnya hubungan antar-anggota
kelompok, bertukar pengalaman dan keterampilan, saling tukar
informasi, pengalaman kerja, dan lain sebagainya.

Membangun relasi demikian dalam kegiatan rehabilitasi


hutan mangrove dapat disebut sebagai upaya membangun
modal sosial (build social capital) komunitas. Semakin banyak
relasi antara anggota komunitas dan anggota komunitas de-
ngan berbagai stakeholder, memungkinkan komunitas dapat
memanfaatkan jaringan sosial. Jaringan tersebut dipergunakan
untuk meningkatkan upaya kegiatan rehabilitasi hutan mangrove
sekaligus mendukung pemenuhan kebutuhan dan peningkatan
kualitas hidupnya.

115. Kenny, 2007.

213
Gerakan rehabilitasi hutan mangrove dalam rangka pe-
ngembangan komunitas dapat menghubungkan berbagai
sumberdaya (connect existing ressources) dengan anggota
komunitas.116 Kegiatan rehabilitasi merupakan proses pengem-
bangan komunitas dalam rangka pemulihan sumberdaya alam
dan sumberdaya yang ada di komunitas. Pulihnya sumberdaya-
sumberdaya alam tidak akan bermanfaat jika anggota komu-
nitas tidak kreatif mendayagunakannya.

Ketika anggota komunitas sudah terhubung dengan sum-


berdaya yang ada maka ia berpeluang menciptakan kreativitas
dalam bentuk ekonomi produktif. Kegiatan tersebut dapat
menambah penghasilan mereka yang dapat dipergunakan
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Apabila semua
anggota komunitas telah tersambung dengan sumberdaya,
baik langsung maupun tidak langsung, akan dapat memberi-
kan peluang kepada anggota komunitas tersebut untuk men-
dapatkan sesuatu yang dibutuhkan. Misalnya, dalam bentuk
mengolah sumberdaya alam berupa buah mangrove menjadi
minuman dan makanan atau kegiatan lain yang tersedia di
tengah kehidupan komunitas.

Kegiatan rehabilitasi mangrove yang ada di komunitas


pesisir juga merupakan bentuk pengembangan komunitas
berdasarkan kearifan lokal117. Pengembangan komunitas ber-
basis kearifan lokal adalah suatu model kegiatan yang dilan-
dasi kerusakan ekologis di sekitarnya dengan mendasarkan

116. ibid.
117. Ife dan Tesoriero, 2008.

214
unsur-unsur lokal. Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove ini juga
mendasarkan pada unsur-unsur lokal yang ada.

Kegiatan rehabilitasi mangrove di komunitas Desa Pasar


Banggi menggunakan pengetahuan lokal. Kondisi tanggul
tambak yang rusak dan kemudian dilakukan penananam po-
hon mangrove merupakan pengetahuan lokal. Usaha yang
dilakukan komunitas dengan membuat tanggul tambak meng-
gunakan tiang pancang dari bambu maupun membuat tanggul
permanen dengan batu-semen, bukan kearifan lokal. Tiang
pancang dan tanggul beton bukan batas alami tambak dengan
laut. Oleh karena itu, tiang pancang dan beton bukan meru-
pakan kearifan lokal setempat.

Dalam kenyataannya, apa yang dilakukan komunitas tidak


berhasil. Tiang pancang dan beton tidak mampu menjadi
pelindung tambak. Akhirnya, tanggul demikian mudah rusak
diterjang gelombang laut. Menanam mangrove di tanggul batas
tambak dan air laut dapat disebut sebagai pengetahuan lokal
yang diterapkan oleh komunitas pesisir Desa Pasar Banggi
dalam memulihkan lingkungan hidupnya. Berdasarkan peng-
alaman dan pengetahuan mereka, tanggul tambak alamiah
adalah pohon mangrove atau hutan mangrove. Hal ini meru-
pakan kearifan lokal yang dimiliki komunitas pesisir.

Tujuan lain pengembangan komunitas di wilayah pesisir


melalui kegiatan rehabilitasi hutan mangrove juga menghargai
kebudayaan lokal. 118 Kegiatan di desa pesisir Pasar Banggi

118. ibid.

215
telah menghargai kebudayaan lokal. Budaya lokal ini, salah
satunya terkait dengan penggunaan teknologi.

Komunitas pesisir adalah suatu komunitas yang meng-


gantungkan hidup pada wilayah pesisir, yakni berupa tambak
dan laut. Dalam melakukan penanaman mangrove, mereka tidak
menggunakan peralatan canggih tertentu, melainkan meng-
gunakan peralatan yang dimiliki. Mereka tidak memerlukan
alat-alat canggih yang didatangkan dari tempat lain, namun
mengandalkan teknologi tepat guna yang dimiliki. Brown
(2007) mengungkapkan, teknologi yang digunakan komunitas
perdesaan merupakan teknologi tepat guna, sebagaimana
kegiatan penanaman pohon mangrove di Desa Pasar Banggi.
Alat yang digunakan adalah alat menanam pohon mangrove
yang dimiliki sehari-hari.

Dalam mempersiapkan bibit misalnya, dilakukan dengan


teknik sederhana. Untuk keperluan tersebut, saat melakukan
pembibitan, mereka menggunakan teknologi atau pengetahuan
yang dimiliki, yakni menempatkan bibit-bibit yang disiapkan
di sekitar tanaman mangrove yang sudah besar. Teknologi
sederhana ini memberikan hasil sangat baik dari bibit yang
disiapkan. Tidak perlu disiangi atau melakukan perawatan
khusus. Jika ditempatkan di tempat lain, banyak bibit mang-
rove yang mati dan memerlukan perawatan intensif. Semua
kegiatan penanaman mangrove, mulai dari pembibitan, cara
menanam, dan merawat atau memelihara tanaman meng-
gunakan teknologi sederhana dan tepat guna bagi kegiatan
rehabilitasi hutan mangrove.

216
Pengembangan komunitas ini telah menghargai sumber-
daya lokal. 119 Pengembangan komunitas yang dilakukan
komunitas pesisir Desa Pasar Banggi dalam melakukan reha-
bilitasi mangrove tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan
sumberdaya lokal. Sumberdaya lokal bukan hanya terkait ke-
beradaan sumberdaya alam yang tersedia, tetapi juga sumber-
daya manusianya. Dalam melakukan kegiatan rehabilitasi
hutan mangrove, komunitas menggunakan sumberdaya lokal
yang ada. Misalnya, bibit mangrove yang diperlukan dalam
jumlah banyak tidak perlu didatangkan dari luar daerah, me-
lainkan diambil dari wilayah pesisir desa setempat. Artinya, pe-
ngembangan komunitas yang ada di komunitas pesisir tersebut
lebih menekankan penggunaan sumberdaya alam lokal.

Sumberdaya lokal terkait dengan sumberdaya manusia.


Dalam proses kegiatan rehabilitasi hutan mangrove, semua
orang yang terlibat merupakan anggota komunitas setempat
atau orang-orang lokal. Meskipun ada bantuan tenaga dari luar,
seperti mahasiswa atau anak-anak sekolah yang melakukan
penanaman mangrove secara gotong royong, tetapi sifatnya
hanya membantu sementara dalam gerakan penanaman pohon
mangrove.

Hal penting lain terkait sumberdaya lokal adalah bahwa


kegiatan rehabilitasi hutan mangrove menggunakan keteram-
pilan lokal, berkaitan dengan keahlian yang dimiliki anggota
komunitas. Meskipun pada awalnya anggota tidak mempu-
nyai keterampilan menanam mangrove, namun berdasarkan

119. ibid.

217
kebersamaan dalam kelompok, keterampilan menanam mang-
rove pun terus bertambah. Hal ini tampak dari keberhasilan
mereka dalam menanam mangrove.

Pada awalnya, dalam menanam pohon mangrove banyak


yang mati. Berdasarkan pengetahuan dan keterampilan yang
dimiliki, dari tahun ke tahun, anggota komunitas menjadi se-
makin terampil dalam melakukan rehabilitasi hutan mangrove,
ditandai dengan tanaman mangrove yang dapat hidup. Ke-
terampilan lokal itu tidak melalui pelatihan formal tertentu,
melainkan dengan proses belajar bersama (learning process)
dalam kelompok. Melalui kelompok, di antara mereka saling
belajar mengenai tata cara yang benar dan baik dalam melaku-
kan penanaman dan pemeliharaan tanaman mangrove.

Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove sebagai bentuk


pengembangan komunitas pun menghargai proses lokal 120.
Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove komunitas pesisir Desa
Pasar Banggi dilakukan melalui proses lokal. Artinya, keseluruhan
proses pengembangan komunitas tidak ada campur tangan
pihak lain. Secara keseluruhan, proses rehabilitasi hutan mang-
rove dilakukan oleh komunitas setempat, dimulai dari seorang
sebagai inisiator, kemudian diikuti seluruh anggota komunitas.
Dari keseluruhan proses pengembangan komunitas tersebut
ternyata tidak melibatkan pihak pemerintah desa atau lembaga
swadaya masyarakat. Semua proses pengembangan komunitas
dimulai dari mereka sendiri, dilakukan sendiri, dan dievaluasi
sendiri, untuk kepentingan mereka sendiri.

120. ibid.

218
Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove ini sebagai bentuk
pengembangan komunitas yang mendasarkan proses kerja
dalam bentuk solidaritas sosial lokal dan bersifat mekanis.121
Pengembangan komunitas dalam melakukan rehabilitasi
hutan mangrove dapat terwujud, dilandasi oleh solidaritas
sosial. Solidaritas tersebut dibangun berdasarkan solidaritas
mekanis. Artinya, solidaritas atau kerja sama yang dibangun
di antara anggota komunitas bukan berdasarkan keahlian
tertentu, melainkan suatu kepercayaan dan kerja sama di
antara anggota komunitas bersangkutan. Peran yang dilakukan
oleh semua anggota komunitas pun sama, yakni melakukan
rehabilitasi hutan mangrove.

Solidaritas petani tambak lebih didasarkan pada solidari-


tas gotong royong, karena menanam pohon mangrove tidak
memerlukan keahlian khusus. Dengan pengetahuan secukup-
nya dapat melakukan penanaman mangrove, sehingga dalam
kegiatan rehabilitasi tidak dibutuhkan keahlian tertentu, se-
bagaimana pekerjaan di perusahaan dalam dunia industri.
Solidaritas sosial sangat cocok dalam melakukan kegiatan
rehabilitasi mangrove dan tidak cocok dalam bentuk kegiatan
di perusahan atau industri yang mengutamakan spesialisasi.
Dalam bekerja sama melakukan kegiatan rehabilitasi hutan
mangrove, anggota komunitas berdasar pada kepentingan
bersama, yakni pulihnya hutan mangrove sebagai pelindung
alami tambak.

121. Ife dan Tesoriero, 2008; Durkhiem, 1933.

219
Solidaritas mekanis tidak dilandasi keahlian atau keteram-
pilan tertentu, melainkan solidaritas yang berdasarkan gotong
royong. Solidaritas tersebut ternyata cocok dalam melakukan
kegiatan rehabilitasi hutan mangrove di Desa Pasar Banggi.
Dalam solidaritas ini tidak ada struktur tertentu, karena hal yang
dipentingkan dalam menanam dan melestarikan mangrove
adalah kerja sama dan kebersamaan. Selain itu, komunitas
desa pesisir demikian tidak mungkin membangun solidaritas
secara organis, karena kondisi sosial-budaya dari komunitas
tersebut lebih homogen dalam hal pekerjaan, pendidikan, dan
keterampilan.

Solidaritas mekanis dapat terwujud dari terbentuknya


organisasi lokal, yakni melalui kelompok tani tambak peduli
mangrove. Kelompok lokal tersebut menjadi wadah terwujudnya
solidaritas mekanis seluruh anggota komunitas. Sebagai wadah
anggota komunitas, kelompok mempunyai sumbangan sangat
penting dalam kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.

Winarto dan Choesin (2001) menjelaskan bahwa kelompok


lokal dapat mengakselerasi seluruh proses pengembangan
komunitas. Hal tersebut sama dengan apa yang dilakukan
komunitas pesisir dalam kegiatan rehabilitasi mangrove yang
diwadahi kelompok lokal bentukan masyarakat atau komunitas
setempat. Wadah solidaritas kelompok lokal bernama Kelompok
Tani Tambak Sidodadi Maju mampu menggalang terbentuknya
solidaritas sosial mekanis terhadap seluruh warga masyarakat
peduli mangrove.

220
B. Pemimpin Informal dan
Pengembangan Komunitas dari Bawah
Pemimpin informal Desa Pasar Banggi muncul dari komu-
nitas setempat, bersamaan dengan proses pengembangan
komunitas dari bawah. Pemimpin informal demikian disebut
dengan indigenous leader, yaitu pemimpin di lingkup wilayah
desa pesisir yang sedang melakukan kegiatan rehabilitasi
hutan mangrove. Disebut demikian karena memiliki asal usul
dari mereka sendiri dan bukan datang dari anggota komunitas
lain, yakni orang luar komunitas tersebut.

Adi (1998) menjelasakan, pemimpin indigenous adalah


pemimpin informal yang mempunyai kekuasaan sangat terbatas
di lingkup komunitas kecil. Pemimpin informal di desa pesisir
ini merupakan pemimpin hanya berwenang terkait penanaman
dan pelestarian hutan mangrove. Selain itu, kegiatan lain ber-
kenaan dengan pengembangan komunitas di desa pesisir
tersebut, yakni hanya Desa Pasar Banggi. Keberadaannya ber-
samaan dengan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.

Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove merupakan bentuk


kegiatan khusus dan berlangsung dalam komunitas kecil yang
berlangsung dalam kurun waktu panjang serta dirancang dan
dilaksanakan mereka sendiri. Setelah itu, diikuti terpilihnya pe-
mimpin informal mereka sebagai pengelola seluruh kegiatan
terkait rehabilitasi hutan mangrove.

Sebagai pemimpin informal yang tumbuh dan berkem-


bang bersamaan dengan kegiatan komunitas dalam proses
mewujudkan hutan mangrove, dapat dikatakan, keberadaannya

221
sangat dibutuhkan masyarakatnya. Paling tidak, masyarakat
membutuhkan pemimpin informal untuk memimpin gerakan
rehabilitasi hutan mangrove. Prosesnya sangat panjang,
karena pemimpin ini diakui oleh anggota masyarakat setelah
pengembangan komunitas berlangsung selama delapan
tahun. Berbeda dengan pemimpin informal lain di tengah
masyarakat pada umumnya, yang keberadaannya ada lebih
dulu dibandingkan dengan kegiatan yang dilaksanakan. Bisa
jadi, pemimpin informal di suatu tempat sebagai pengganti
pemimpin sebelumnya di tengah masyarakatnya.

Pemimpin informal dalam kegiatan rehabilitasi hutan


mangrove ini tidak terpilih melalui proses formal, sebagaimana
pemimpin formal di desa pada umumnya. Pemimpin formal
tingkat desa dipilih melalui pemilihan berdasarkan perolehan
suara terbanyak, kemudian disyahkan oleh lembaga atau
pejabat pemerintahan yang lebih tinggi.122

Sementara itu pemimpin dari bawah disetujui secara akla-


masi untuk menjadi ketua kelompok tani tambak. Selanjutnya,
dengan berjalannya proses pengembangan komunitas, ketua
kelompok tersebut kemudian diakui oleh anggota kelompok,
masyarakat, dan masyarakat luas pada umumnya sebagai
pemimpin informal mereka. Oleh karena itu, pemimpin ini
tidak mempunyai surat keputusan yang dikeluarkan oleh
pihak tertentu dan juga tidak pernah disyahkan oleh siapa
pun. Kepemimpinannya tidak ditentukan oleh batas waktu
tertentu, melainkan berlangsung secara terus-menerus hingga

122. Darmaputera, 2004.

222
yang bersangkutan dipercaya sebagai indigenous leader di
masyarakatnya.

Pemimpin informal dari bawah biasanya menjadi penerus


kepemimpinan sebelumnya. Provianto (2005) menulis, pe-
mimpin informal di komunitas kecil pada umumnya sebagai
pengganti pemimpin sebelumnya dan mampu menciptakan
hubungan harmonis antara pemimpin informal dengan
komunitasnya. Pemimpin informal dalam kegiatan rehabilitasi
hutan mangrove ini mempunyai hubungan harmonis dengan
anggota komunitas yang dipimpinnya, namun tidak merupakan
pengganti pemimpin sebelumnya.

Dalam kegiatan pengembangan komunitas, seorang pe-


mimpin informal dapat menggalang dan memberikan motivasi
komunitasnya. Timbul kesadaran pada anggota komunitas
yang dipimpinnya untuk melakukan kegiatan tertentu. Kegiatan
tersebut adalah melakukan rehabilitasi hutan mangrove.
Sesungguhnya, sebelum muncul kegiatan rehabilitasi hutan
mangrove, ada pemimpin informal di komunitas pesisir ini,
namun merupakan pemimpin di bidang keagamaan.

Pemimpin informal dalam kegiatan pengembangan komu-


nitas ini memimpin anggota komunitas melakukan kegiatan
komunitas, khususnya rehabilitasi hutan. Oleh karena itu,
pemimpin yang keberadaannya di level komunitas kecil dan
munculnya dari proses kegiatan komunitas disebut dengan
pemimpin dari bawah (indigenous leader) atau pemimpin yang
berasal dari akar rumput (grassroot leader). Sebagai pemimpin
akar rumput, pemimpin informal mampu mempengaruhi tingkah
laku orang lain di sekelilingnya.

223
Foster (2008) menjelaskan, pemimpin akar rumput tidak
mempunyai jabatan formal di komunitasnya, namun diakui
oleh anggota komunitasnya sebagai pemimpin. Sebagimana
pemimpin akar rumput dalam kegiatan rehabilitasi hutan
mangrove, di mana Suyadi tidak memiliki jabatan formal di
tengah komunitas. Jabatannya hanya sebagai ketua kelompok
tani tambak yang peduli terhadap penanaman pohon mang-
rove. Pemimpin akar rumput ini tidak diakui secara formal oleh
pemerintah atau lembaga tertentu. Pengakuan secara formal
belum ada, karena sampai saat ini belum ada surat keputusan
tertentu dari mana pun yang mengakui kepemimpinannya.
Pengakuannya sebagai pemimpin dilakukan oleh anggota
komunitas petani tambak itu sendiri secara informal bahwa
yang bersangkutan layak untuk menjadi pemimpin mereka,
khususnya memimpin kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.

Sebagai indigenous leader dan grassroot leader di kawasan


desa pesisir yang sedang menjalankan kegiatan rehabilitasi
hutan mangrove, keberadaan pemimpin informal dipengaruhi
banyaknya jaringan sosial (networking) yang dimiliki, di tengah
kehidupan komunitas. Jaringan tersebut dalam bentuk jaringan
sosial horizontal dengan anggota komunitasnya dan jaringan
sosial vertikal dengan masyarakat luas.

Kusnadi (2007) dan Taylor (2008) mengungkapkan dua


jaringan sosial horizontal yang dapat berupa hubungan sosial
sepadan dan jaringan vertikal yang merupakan jaringan sosial
tidak sepadan. Secara horizontal, pemimpin informal mempunyai
kedudukan sama dengan anggota kelompoknya, karena
semua anggota kelompok merupakan petani tambak, penyewa

224
tambak, dan buruh tambak. Meskipun secara kepemilikan
tambak berbeda, tetapi mereka sama-sama membudidayakan
tambak, sehingga hubungannya tidak terpengaruh struktur
ekonomi yang dimiliki. Dalam masyarakat pesisir ini, pemilik
tambak, penyewa tambak, dan buruh tambak secara bersama-
sama mengerjakan tambak. Mereka tidak mengenal juragan
dan buruh, karena semua mengerjakan pekerjaan yang sama
di tambak.

Selain itu, kedudukan ketua kelompok hanya bersifat


informal karena dalam kenyataannya, ketua dan anggota sama-
sama menjadi anggota kelompok tani dan petani tambak.
Hubungan sosial mereka sepadan karena merupakan petani
tambak yang sama-sama membudidayakan tambak untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka menggantungkan
kehidupannya pada keberadaan tambak dan sumberdaya
alam pesisir.

Sementara hubungan vertikal pemimpin informal terjadi


dengan berbagai stakeholder. Dalam pengembangan komuni-
tas ini, pemimpin informal mempunyai hubungan sosial vertikal
sangat luas. Bukan hanya pemimpin di level komunitas desa,
tetapi sampai pemerintah pusat. Jaringan sosial vertikal ter-
bentuk dari keberhasilan masyarakat tersebut di dalam me-
wujudkan hutan mangrove.

Berdasarkan keberhasilan ini, pemimpin informal diundang


oleh berbagai instansi maupun perguruan tinggi untuk men-
jelaskan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove di wilayahnya.
Dengan kegiatan tersebut, pemimpin kelompok tersebut di-
kenal oleh masyatakat luas sebagai pemimpin informal. Para

225
stakeholder kemudian memberikan berbagai dukungan untuk
terus menanam, merawat, dan melestarikan hutan mangrove.

Dengan adanya jaringan sosial horizontal dan vertikal ter-


sebut, pemimpin informalnya diakui oleh komunitasnya sebagai
pemimpinnya. Keberadaannya dalam proses pengembangan
komunitas sangat ditentukan oleh banyaknya jaringan sosial
yang dimiliki. Selain itu, keberadaannya juga tidak dilandasi
kepentingan pribadi, ekonomi, dan politik tertentu.123

Dalam pengembangan komunitas ini, pemimpin informal


lebih dilandasi oleh kepentingan lingkungan dan komunitas
secara keseluruhan. Kepentingan lingkungan yang diperjuang-
kan adalah pemulihan hutan mangrove yang dapat melindungi
aset komunitas berupa tambak. Sedangkan kepentingan
seluruh komunitas yang diperjuangkan adalah peningkatan
kesejahteraan melalui pembudidayaan tambak dan perolehan
dari hasil laut. Oleh karena itu, sebagai pemimpin dari bawah
dalam kegiatan rehabilitasi mangrove, keberadaannya menjadi
bagian yang tidak bisa dipisahkan dari proses pengembangan
komunitas. Pemimpin dari bawah diperlukan dalam kegiatan
rehabilitasi hutan mangrove. Kegiatan ini membutuhkan ke-
beradaan pemimpin yang benar-benar dapat mengendalikan
seluruh kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.

Kilduff dan Wenpin Tsai (2003) menjelaskan bahwa


seorang pemimpin ditentukan oleh jaringan sosial horizontal
dan vertikal, disebut dengan micro-network dan macro net-
work. Dalam pengembangan komunitas ini, pemimpin informal

123. Foster, 2008.

226
memiliki jaringan sosial tersebut, sehingga dapat mengikat
dirinya dengan anggota masyarakat petani tambak.

Selain itu, jaringan sosial makro dapat memberikan


dukungan terhadap apa yang dilakukan oleh pemimpin dan
anggota komunitasnya. Dalam kegiatan rehabilitasi hutan
mangrove sangat diperlukan jaringan sosial mikro dan makro
tersebut. Jaringan mikro menunjuk kepada ikatan di antara
anggota komunitas dengan anggota komunitas lain maupun
anggota komunitas dengan pemimpinnya. Sedangkan jaringan
sosial makro merupakan hubungan dengan berbagai stake-
holder yang memberikan dukungan terhadap pelaksanaan
rehabilitasi hutan mangrove.

Selanjutnya, sebagai pemimpin akar rumput dalam kegiatan


rehabilitasi hutan mangrove di Desa Pasar Banggi, juga terkait
dengan keberadaan kelompok lokal yang terbentuk. Suatu
kegiatan lokal dapat terwujud manakala diikuti terbentuknya
lembaga lokal, sekaligus adanya pemimpin lokal.124

Kegiatan rehabilitasi mangrove yang melibatkan banyak


petani tambak kemudian membentuk organisasi lokal, yakni
kelompok tani tambak peduli mangrove. Keberadaan kelom-
pok tersebut diikuti dengan dipilihnya ketua kelompok dan
pengurus kelompok lainnya. Dengan keberadaan kelompok
tersebut akhirnya terpilih ketua, sekretaris, dan bendahara
kelompok. Oleh karena itu, keberadaan ketua kelompok yang
kemudian menjadi pemimpin informal tidak bisa dilepaskan dari
terbentuknya kelompok lokal tersebut. Hubungan antara ketua

124. Winarto dan Choesin, 2001.

227
kelompok dengan kelompok tidak bisa dipisahkan satu dengan
yang lain. Kelompok memerlukan ketua atau pemimpin, dan
kelompok pada umumnya memiliki pemimpin. Pada akhirnya,
ketua kelompok memimpin anggota petani tambak melakukan
kegiatan rehabilitasi hutan mangrove secara bersama-sama
sampai dapat mewujudkan hutan mangrove.

Sehubungan dengan hal tersebut, kelompok lokal yang


berbentuk kelompok tani tambak tidak mempunyai hubungan
atau sangkut paut dengan organisasi yang lebih tinggi di
tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten. Kelompok itu se-
cara mandiri, berdiri atas inisiatif mereka sendiri. Basis yang
digunakan kelompok adalah kepentingan komunitas dalam
menyelamatkan tambak dengan menanam pohon mangrove.

Dengan demikian, keberadaannya murni dari inisiatif komu-


nitas setempat, sehingga kelompok tersebut dapat juga disebut
sebagai kelompok akar rumput. Kelompok akar rumput merupa-
kan suatu lembaga lokal yang dibentuk dan diselenggarakan
secara informal serta berasaskan kesepakatan anggotanya.
Suatu kesepakatan yang dibangun diantara anggota petani
tambak itu sendiri dalam melakukan kegiatan pemulihan dan
pelestarian hutan mangrove. Dengan proses panjang akhirnya
kelompok menyetujui dan mengangkat pemimpin yang disebut
dengan pemimpin akar rumput

Keberadaan pemimpin akar rumput yang ada di Desa Pasar


Banggi berkaitan dengan pengetahuan dan pengalaman yang
dimiliki, dalam merehabilitasi hutan mangrove. Hal ini berbeda
dengan pemimpin informal lokal sebagai pemimpin perahu

228
atau nakhoda perahu.125 Proses menjadi pemimpin informal di
bidang maritim berbasis pada asas kapitan laut atau nakhoda
perahu.

Pemimpin demikian, berdasarkan kemampuan dan prestasi


tertentu untuk sampai kepada puncak piramida sosial, serta
dilandasi dengan pengalaman, kemampuan, dan prestasi
secara berjenjang, dimulai dari anak tangga terbawah dalam
struktur pengoperasian suatu perahu sampai nakhoda perahu
atau pemimpin tertinggi di dalam perahu.

Sementara itu, pemimpin dalam proses pengembangan


komunitas Desa Pasar Banggi, khususnya kegiatan rehabilitasi
hutan mangrove, tidak dilalui secara berjenjang. Pemimpin
dalam proses pengembangan komunitas di desa pesisir ini
tidak dilalui secara berjenjang mulai dari tangga terbawah
sampai jenjang paling atas. Namun, seperti berbeda debgab
pemimpin perahu, dilandasi dengan pengetahuan dan peng-
alaman tertentu, terkait lembaga atau kegiatan yang dipimpin-
nya. Nakhoda harus dilalui secara berjenjang, sedangkan
pemimpin akar rumput ini langsung secara otomatis. Pemimpin
komunitas diakui secara langsung karena pengetahuan dan
pengalamannya terkait kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.
Pengetahuannya berkenaan dengan tata cara menanam
mangrove yang benar dan baik.

Selain itu, pengetahuannya didasarkan atas pengalaman


menanam pohon mangrove selama bertahun-tahun yang
diperoleh secara mandiri atau autotidak. Pengetahuannya

125. Kusnadi, 2007.

229
diperoleh melalui pengalaman menanam yang mengalami
kegagalan pada tahun-tahun pertama dan berhasil pada tahun
berikutnya. Dengan pengetahuan dan pengalaman, pemimpin
informal mempunyai kemampuan dan pengalaman memadai
dalam menanam mangrove. Berdasarkan hal tersebut, anggota
kelompok tani mengakuinya, kemudian menyetujuinya sebagai
pemimpin. Sebagai pemimpin dalam proses pengembangan
komunitas merehabilitasi mangrove, berbeda dengan proses
seseorang menjadi pemimpin informal sebagai kyai126. Status
sosial di tengah komunitas seorang kyai lebih dilandasi pada
basis keturunan.

Sementara pemimpin dalam kegiatan rehabilitasi hutan


mangrove ini tidak dilandasi pada adanya basis keturunan dan
lebih ditentukan pada kemampuannya. Dalam proses kegiatan
rehabilitasi hutan mangrove, pemimpin lebih ditentukan oleh
kemampuannya. Meskipun sama-sama memegang peran
penting dalam komunitasnya, pemimpin akar rumput tidak di-
tentukan oleh asal-usul keturunan yang dimilikinya, melainkan
melalui proses panjang dari pengembangan komunitas, yakni
kegiatan pemulihan dan pelestarian hutan mangrove.

Selain itu, sebagai pemimpin akar rumput dalam proses


kegiatan rehabilitasi hutan mangrove di wilayah pesisir Desa
Pasar Banggi berbeda dengan seorang pemimpin di masya-
rakat Badui. Pemimpin lokal dalam pengembangan komunitas
lebih dilandasi oleh kearifan lokal berdasarkan kondisi ke-
rusakan hutan mangrove dan keberadaan tambak. Sedangkan

126. Sirodj, 2009.

230
di masyarakat Badui, pemimpin yang berupa Olot maupun
Puun berkaitan dengan adat istiadat dalam bidang pertanian
dan lingkungan hidup pada umumnya.127 Olot atau Puun ter-
kait adat istiadat tetapi penekanannya lebih kepada kearifan
lokal dan berfungsi menjadi harmoni antara lingkungan dengan
masyarakat. Pemimpin demikian dianggap mempunyai ke-
lebihan supranatural tertentu, sehingga masyarakat sangat
respek terhadap apa yang disampaikannya.

Perbedaan lain antara pemimpin informal dalam kegiatan


hutan mangrove dengan Puun di masyarakat Badui terletak
pada cara memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang
dimilikinya. Merlina (2008) dan Rostiyati (2009) mengutarakan
bahwa dal am masyarakat Badui, dal am memperoleh
pengetahuan dan pengalaman, Puun atau Olot didasarkan
atas warisan dari leluhur mereka sebelumnya dan melalui
proses sosialisasi supranatural.

Pengetahuan dan pengalaman pemimpin informal


komunitas didasarkan atas kegiatan yang dilakukan. Pemimpin
demikian berusaha mempelajari sendiri tata cara menanam
pohon mangrove secara autotidak tanpa dibantu siapa pun.
Selain itu, pengetahuan dan pengalaman tidak didasarkan
atas buku-buku bacaan atau pengetahuan dari orang lain.
Semua pengetahuan dan pengalaman didasarkan pada praktik
langsung dalam menanam pohon mangrove, baik yang tidak
berhasil maupun berhasil.

127. Merlina, 2008; Ros ya , 2009.

231
Dengan kegiatan yang dilaksanakan bersama komunitas-
nya, pemimpin informal mendapatkan pengetahuan dan peng-
alaman sangat berharga dalam melakukan penanaman pohon
mangrove. Dalam proses pengembangan komunitas, pemimpin
demikian lebih dilandasi pada kemampuan dan pengetahuan
yang berkaitan dengan kearifan lokal (local genius) untuk
mewujudkan hutan mangrove. Selain itu, sosoknya sangat
penting di tengah komunitas desa pesisir terkait adat-istiadat.
Pemimpin akar rumput dapat memberikan penjelasan dan
pemahaman tentang pentingnya hutan mangrove bagi masya-
rakat di lingkungan pesisir.

Berdasarkan hal tersebut, pengetahuannya tidak diragu-


kan oleh siapa pun dan mendapat pengakuan dari anggota
kelompoknya bahwa yang bersangkutan layak menjadi pe-
mimpin dalam gerakan rehabilitasi hutan mangrove. Pengakuan
mengenai pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan
penanaman dan pemeliharaan pohon mangrove juga datang
dari masyarakat luas. Banyak mahasiswa yang datang untuk
melakukan studi lapangan dan beberapa dosen dari berbagai
perguruan tinggi yang melakukan penelitian, memberikan
penghargaan kepadanya sebagai Prof Mangrove dari Desa
Pasar Banggi.

Kepemimpinan seorang pemimpin dalam proses pengem-


bangan komunitas, khususnya kegiatan rehabilitasi hutan
mangrove, dilandasi oleh pengetahuan dan pengalaman nyata.
Pengetahuan dan pengalamannya tersebut kemudian ditrans-
formasikan kepada anggota komunitas. Anggota komunitas ke-
mudian mempunyai pengetahuan sama dengan pemimpinnya,

232
sehingga mau berpartisipasi secara aktif, mengikuti gerakan
rehabilitasi mangrove. Jadi, pemimpin dalam pengembangan
komunitas ini berusaha memberikan pemahaman kepada ang-
gota komunitas tentang pentingnya lingkungan yang berupa
hutan mangrove untuk kepentingan masyarakat itu sendiri.

Pemimpin informal dalam proses pengembangan komu-


nitas tersebut juga dapat disebut sebagai pemimpin asli
atau authentic informal leader. Pemimpin informal asli dalam
pengembangan komunitas adalah suatu pemimpin yang tidak
dilandasi keinginan pribadi dan tidak direkayasa dari kelompok
orang tertentu. Pemimpin asli merupakan model kepemimpinan
yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri pemimpin itu
sendiri.128

Sebagai pemimpin asli dalam pengembangan komunitas,


terutama dalam kegiatan rehabilitasi hutan mangrove, pe-
mimpin informal menduduki posisi unik dan strategis dalam
komunitasnya. Berposisi unik dalam kegiatan rehabilitasi hutan
mangrove karena dapat menjadi pemimpin di level komunitas
kecil yang sangat terbatas. Selain itu, dapat mewakili kelompok
yang dipimpinnya dalam level masyarakat luas.

Dengan posisi unik tersebut, menjadikannya pemimpin


komunitas sekaligus menjadi anggotanya. Kelompok lokal yang
dipimpinnya tidak membedakan secara jelas fungsi dan peran
seorang pemimpin dengan peran anggota dalam kelompok.
Hal ini terkait kegiatan kelompok berupa penanaman mangrove
dapat dilakukan oleh siapa pun, baik ketua maupun anggota

128. Foster, 2008.; Piels ck, 2000.

233
kelompok. Dengan kedudukan unik tersebut, pemimpin asli
dapat mengkomunikasikan dengan baik tentang pentingnya
hutan mangrove dan tata cara menanam yang baik bagi ang-
gota komunitas serta lingkungan di sekitarnya.

C. Peran-peran Pemimpin Informal dalam


Pengembangan Komunitas
Pemimpin akar rumput berperan penting dalam kegiatan
rehabilitasi hutan mangrove. Keberadaannya mampu memain-
kan peran kunci (key role) terhadap keseluruhan kegiatan
rehabilitasi hutan mangrove. Pengembangan komunitas dan
pemimpin infor mal dapat dikatakan sebagai dua sisi mata
uang yang saling mendukung dan membutuhkan antara satu
dengan lainnya.

Proses pengembangan komunitas dalam bentuk kegiatan


rehabilitasi hutan mangrove menghasilkan pemimpin informal
dan keberhasilan kegiatan tersebut juga ditentukan peran-
peran pemimpin informalnya. Sebagaimana diuraikan dalam
proses pengembangan komunitas dan pemimpin informal di
atas bahwa kegiatan rehabilitasi hutan mangrove kemudian
menghasilkan pemimpin informal lokal, yang dapat disebut
sebagai pemimpin akar rumput atau pemimpin asli. Keber-
hasilan pengembangan komunitas dalam mewujudkan hutan
mangrove sangat dipengaruhi oleh keberadaannya. Pemimpin
demikian dalam tingkat lokal dapat menjadi ruh atau energi
dari keseluruhan proses pengembangan komunitas.

234
1. Sebagai Agen Perubahan Sosial
dalam Pengembangan Komunitas
Pengembangan komunitas yang terjadi di wilayah pesisir
Desa Pasar Banggi tidak bisa dilepaskan dari keberadaan
pemimpin informal sebagai agen perubahan sosial dalam
komunitas; sebagai agen perubahan sosial terjadinya kegiatan
komunitas dalam melakukan rehabilitasi hutan mangrove.

Sebelumnya, kegiatan tersebut merupakan kegiatan komu-


nitas petani tambak dengan membuat tiang pancang dan
beton semen untuk melindungi tambak mereka. Kegiatan de-
mikian tidak berhasil, karena apa yang dilakukan setelah ber-
jalan beberapa waktu, tanggul yang dibuat dari tiang pancang
dan beton semen mengalami kerusakan. Setelah berkali-kali
melakukan perbaikan tanggul tambak dengan kegiatan yang
sama, hasilnya sama saja, yakni tanggul selalu rusak apabila
terkena gelombang air laut yang besar.

Dalam beberapa tahun, kerusakan dibiarkan tanpa ada


upaya untuk memperbaikinya kembali. Melihat kenyataan
tersebut, sebagai agen perubahan sosial, pemimpin informal
mempunyai inisiatif berbeda dengan petani tambak lain.
Inisiatifnya tersebut dengan membuat tanggul tambak yang
ditanami pohon mangrove. Usahanya melindungi tanggul
tambak merupa kan bentuk usaha sebagai agen perubahan
sosial komunitas.

Walaupun usaha pertamanya tidak berhasil, yakni menanami


tanggul tambak dengan tanaman mangrove, namun usahanya
terus dilakukan. Penanaman pohon mangrove dilakukan terus

235
dan dilakukan pada tahun-tahun berikutnya. Kegagalan yang
dialami tidak menyurutkan niatnya dalam mewujudkan tanggul
tambak dengan tanaman mangrove. Usahanya terus dilakukan
dengan mempelajari pola tanam dan tata cara menanam pohon
mangrove.

Pada waktu itu, kegagalannya disebabkan karena belum


mempunyai pengalaman sama sekali tentang tata cara me-
nanam pohon mangrove. Namun, berkat usaha yang keras
dan keyakinannya bahwa tanaman mangrove dapat ditanam,
akhirnya mendapatkan pengetahuan dan pengalaman yang
cukup, sehingga dapat berhasil melakukan penanaman pohon
mangrove pada tahun berikutnya. Usaha yang dilakukan dalam
bentuk penanaman pohon mangrove yang berbeda dengan
petani tambak dalam menyikapi kerusakan tanggul demikian
disebut sebagai agen perubahan sosial.

Foster (2008) menjelaskan bahwa agen perubahan sosial


berfungsi melakukan kegiatan dengan maksud memecahkan
masalah yang dihadapi komunitasnya. Langkah tersebut di-
maksudkan agar komunitas mampu memecahkan masalahnya
sendiri. Sebagai agen perubahan sosial dalam bentuk kegiatan
rehabilitasi hutan mangrove, pemikirannya berbeda dengan
apa yang dilakukan anggota petani tambak lain dalam men-
cari alternatif pemecahan masalah yang dihadapi komunitas.
Penananam pohon mangrove dianggap oleh komunitasnya
sebagai suatu alternatif yang tidak biasa dilakukannya. Dengan
perbedaan alternatif tersebut, pada awalnya menimbulkan
sikap tidak simpatik dari petani tambak lain. Namun, setelah
ada hasilnya, petani tambak lain menerimanya.

236
Selain itu, sebagai agen perubahan sosial, pemimpin infor-
mal selalu mencari alternatif baru dalam memecahkan masalah
yang dihadapi komunitas. Masalah komunitas tidak mungkin
dipecahkan sendiri, melainkan harus dipecahkan ber sama.
Sebagai agen perubahan sosial, berusaha mengajak petani
tambak lain untuk mengatasi masalah yang dihadapinya.
Sebagai agen perubahan sosial dalam kegiatan rehabilitasi
hutan mangrove, perannya dapat menjadi inisiator terjadinya
pengembangan komunitas sekaligus pengelola dan penang-
gung jawab kegiatan tersebut. Kegiatan rehabilitasi hutan
memerlukan waktu lama dan keterlibatan banyak anggota
komunitas. Kegiatan demikian tidak mungkin dilakukan sendiri,
tetapi memerlukan kebersamaan dan kerja sama di antara
anggota petani tambak.

Barker (1995) mengatakan bahwa setidaknya, sebagai


agen perubahan sosial komunitas, seseorang harus mampu
mengelola dan mengendalikan proses pengembangan komu-
nitas secara keseluruhan. Pemimpin informal dalam kegiatan
rehabilitasi hutan mangrove ini berperan sebagai perintis ling-
kungan. Penanaman pohon mangrove yang dilakukan pertama
kali merupakan wujud dari perintis lingkungan, meski pada
awalnya tidak terwujud. Dengan usaha yang terus-menerus
akhirnya impian berupa hutan mangrove dapat terwujud.

Dalam seluruh kegiatan tersebut, pemimpin ini mampu


mengelola dan mengendalikan seluruh kegiatan tersebut
sampai terwujudnya hutan mangrove. Sebelumnya, petani
tambak dalam membuat tanggul tambak tidak seperti yang
dilakukan, yakni membuat tiang pancang dan beton-semen.

237
Sebagai agen perubahan sosial dalam melakukan kegiatan
mangrove, ia melakukan perubahan pemikiran, pembuatan
tiang pancang dan beton-semen diubah dengan penanaman
mangrove.

2. Sebagai Inisiator Terbentuknya


Lembaga Lokal
Pengembangan komunitas yang terjadi di Desa Pasar
Banggi dalam mewujudkan hutan mangrove merupakan upaya
komunitas mewujudkan lingkungan yang dapat memenuhi
kebutuhuan sehari-hari dan meningkatkan kesejahteraan hidup-
nya. Untuk mewujudkan hal tersebut, peran lain yang dilaku-
kan di tengah komunitas pesisir tersebut adalah membentuk
lembaga lokal. Pembentukan lembaga atau organisasi lokal
yang berbentuk perkumpulan petani tambak dapat digunakan
sebagai wadah dan mengorganisasi mereka. Melalui kelompok
tujuan akan lebih mudah dan cepat dapat diwujudkan.

Lembaga lokal merupakan unsur penting dalam pengem-


bangan komunitas. Peran lembaga lokal adat dalam pengem-
bangan komunitas di perdesaan sangat penting.129 Pemimpin
informal dalam kegiatan rehabilitasi hutan mangrove ini ber-
usaha untuk mewujudkan hutan mangrove disertai dengan
membentuk lembaga lokal. Lembaga lokal mampu mendorong
proses pengembangan komunitas, termasuk kegiatan rehabili-
tasi hutan mangrove. Berbagai lembaga lokal yang dibentuk

129. Winarto dan Choesin (2001); Cramb (2002); Khandewell, 2007); dan Nasrul
(2013).

238
pemimpin informal bersamaan dengan proses pengembangan
komunitas. Lembaga-lembaga sosial tersebut bersifat mikro,
yakni suatu lembaga dengan para anggota dari komunitas
setempat.

Selain itu, orientasi kerja yang dilakukan juga dalam ling-


kup komunitas desa setempat. Oleh karena itu, lembaga yang
dibentuk oleh pemimpin informal merupakan lembaga kecil
atau mikro yang dimaksudkan sebagai wadah mengakselerasi
kegiatan pengembangan komunitas. Berbagai lembaga lokal
yang dibentuk oleh pemimpin informal sebagai wadah anggota
komunitas dalam proses pengembangan komunitas. Untuk
pertama kali, pada tahun 1972, dibentuk kelompok tani tambak
peduli mangrove. Kelompok tersebut bernama Kelompok
Petani Tambak Sidodadi Maju. Kegiatan utamanya menanam
mangrove secara bersama-sama di seluruh pesisir Desa Pasar
Banggi.

Tahun berikutnya, 1975, terbentuk lembaga keuangan


mikro berupa kelompok arisan. Dalam kelompok tersebut,
selain menyediakan keuangan untuk simpan-pinjam, lembaga
juga menyediakan dana taktis. Dana taktis ini bila diperlukan
oleh anggota tidak memberikan bunga; cukup mengembalikan
uang yang dipinjam. Jangka waktu pengembalian uang hanya
satu bulan.

Terbentuk pula lembaga lokal dari kaum perempuan.


Kelompok perempuan ini dinamai Kartini I dan Kartini II.
Kegiatannya, mengolah hasil sumberdaya alam mangrove.
Pemberdayaan perempuan ini sebagai lanjutan program
pemerintah bernama Rantai Emas. Berbagai lembaga lokal

239
yang terbentuk di desa pesisir tersebut dimaksudkan sebagai
wadah mengorganisasi anggota komunitas, terkait dengan
kegiatan menanam pohon mangrove dan mengolah hasil
sumberdaya alam pesisir. Berbagai lembaga lokal ini dapat di-
sebut sebagai pendukung penting dalam kegiatan rehabilitasi
hutan mangrove. Salah satu masalah komunitas desa pesisir
adalah tanggul tambak yang rusak.

Hal ini merupakan masalah bagi petani tambak yang


berbatasan langsung dengan air laut. Namun, masalah tersebut
disadari merupakan masalah seluruh anggota komunitas Desa
Pasar Banggi. Dengan masalah demikian tidak cukup diselesai-
kan orang per orang, melainkan membutuhkan kebersamaan
seluruh masyarakat. Kebersamaan dapat diwujudkan melalui
berbagai wadah, yakni lembaga lokal atau kelompok-kelompok
lokal.

Berdasarkan hal di atas, pemimpin informal menyadari


bahwa lembaga lokal yang berbentuk kelompok tani tambak
merupakan salah satu lembaga penting dalam komunitas.
Lembaga lokal yang berbentuk kelompok tani tambak peduli
mangrove tumbuh bersamaan dengan proses kegiatan
pengembangan komunitas. Dengan kelompok yang tumbuh
dari mereka sendiri, pemimpinnya dapat mengkoordinasi
dan mengorganisasi semua kegiatan terkait dengan kegiatan
rehabilitasi mangrove. Kegiatan tersebut mulai penyiapan bibit,
penanaman secara gotong royong, dan pemeliharaan serta
menjaga kelestariannya. Melalui kelompok, visi komunitas
berupa hutan mangrove akan lebih cepat, mudah, efektif, dan
efisien diwujudkan.

240
Sesuai pengembangan komunitas yang telah berlangsung
di desa pesisir tersebut, pelaksanaan kegiatan lebih terorganisasi
dan berhasil berkat dukungan lembaga lokal yang ada. Banyak
lembaga lokal yang pernah ada dan dibentuk oleh pemerintah
secara top-down, seperti BUUD atau KUD beberapa tahun lalu,
tidak berhasil menjadi wadah pengembangan komunitas di
perdesaan. Sekarang ini, lembaga lokal itu menyisakan nama
dan gedung-gedung yang rusak.

Dalam hal ini yang diperlukan adalah organisasi atau ke-


lompok yang tumbuh dan berkembang dari komunitas lokal
setempat.130 Untuk kepentingan tersebut, pemimpinnya kemu-
dian membentuk kelompok lokal yang sesuai kebutuhan dan
kepentingan yang ada, sehingga dapat menjadi wadah dari
kegiatan rehabilitasi hutan mangrove secara berkelanjutan.

Kelompok lokal tersebut sesungguhnya merupakan him-


punan atau perkumpulan para petani tambak. Mereka tidak
bisa membudidayakan tambak karena air laut masuk ke dalam
tambak dengan leluasa. Tanggul tambak selalu hancur di-
terjang gelombang laut. Kelompok tani tambak tersebut lebih
berkon sentrasi dalam kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.
Oleh karena itu, pengelolaan tambak sebagai tempat budidaya
seakan menjadi kegiatan sampingan dari kelompok tani tambak
tersebut.

Kelompok tani tambak peduli mangrove berbeda dengan


lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau NGO. Organisasi ter-
sebut bergerak dalam bidang lingkungan hidup secara umum,

130. Cramb, 2002; Khandewell, 2007; Nasrul, 2013.

241
sedangkan kelompok tani tambak hanya mengkhususkan
kegiatan pada rehabilitasi hutan mangrove. Namun, semuanya
berusaha untuk memulihkan dan melestarikan lingkungan.
Kegiatan LSM atau NGO lebih berdasar pada konsep pelestarian
lingkungan dari atas atau model top-down sedangkan kelompok
tani tambak bersifat bottom-up; suatu kegiatan rehabilitasi hutan
mangrove untuk kepentingan perlindungan alami tambak dan
pesisir yang direncanakan dan dilaksanakan sendiri.

Selain kelompok tani tambak, dalam proses pengembangan


komunitas terbentuk lembaga keuangan mikro. Lembaga ke-
uangan tersebut dikelola sendiri oleh mereka dan dipergunakan
untuk menunjang kegiatan pengembangan komunitas serta
peningkatan kesejahteraan anggota komunitas. Tujuan akhir
pengembangan komunitas dalam bentuk kegiatan rehabilitasi
hutan mangrove adalah peningkatkan kualitas hidup dan ke-
sejahteraan seluruh masyarakat. Demi mewujudkan tujuan ter-
sebut dibentuk lembaga keuangan mikro.131 Lembaga keuangan
ini mendorong dan memberikan bantuan keuangan untuk
mewujudkan kegiatan lain dalam komunitas. Misalnya, arisan.

Lembaga keuangan ini bukan semata-mata sarana ber-


kumpulnya anggota komunitas peduli mangrove guna mem-
bahas masalah hutan mangrove secara umum. Arisan juga
menyediakan dana taktis yang dapat dipinjam oleh anggota
komunitas yang memerlukan. Keperluan komunitas dapat
berupa pengembangan usaha ekonomi produktif maupun
kebutuhan keluarga bersifat mendadak dan mendesak.

131. Khandewal, 2007.

242
Selain itu, kelompok menyediakan dana bergulir yang
diperoleh dari bantuan pemerintah pusat dan dapat dipinjam
oleh anggota yang memerlukan. Keperluan anggota kelompok
bukan hanya kepentingan mendadak seperti kebutuhan hidup
sehari-hari, tetapi diutamakan memberi bantuan pendanaan bagi
usaha para petani tambak terkait kegiatan ekonomi produktif
dan pengembangan usaha kecil yang dilakukan. Lembaga
keuangan mikro ini dapat mendukung dan memperlancar pro-
ses pengembangan komunitas, terutama kegiatan rehabilitasi
hutan mangrove. Lembaga lain yang terkait dengan lembaga
keuangan mikro adalah perkumpulan koperasi. Anggota dari
koperasi sama dengan keanggotaan kelompok tani tambak dan
anggota arisan. Jadi, semua anggota komunitas yang menjadi
anggota kelompok tani tambak sekaligus menjadi anggota
arisan dan anggota koperasi.

Khusus perkumpulan koperasi, dana yang diperoleh


dari sisa penjualan bibit mangrove yang telah dikumpulkan
digunakan untuk koperasi simpan pinjam. Melalui koperasi,
kebutuhan akan keuangan yang diperlukan anggota komunitas
dapat dipenuhi. Dalam kelompok koperasi juga ada dana
taktis yang dapat dipinjam oleh anggota yang memerlukan
kebutuhan keuangan bersifat mendadak.

Lembaga lokal yang dibentuk oleh pemimpin informal tidak


sebatas kelompok tani tambak beranggotakan kaum laki-laki.
Lembaga lain yang dibentuk adalah kelompok beranggotakan
kaum perempuan. Pengembangan komunitas perlu melibatkan
kaum perempuan, terutama untuk mengakselerasi kegiatan
terkait pengolahan hasil dari sumberdaya alam.

243
Sesungguhnya, keterlibatan perempuan selama ini ada di
balik layar. Untuk itu, diperlukan adanya wadah sendiri, yakni
kelompok perempuan. Hal ini terkait dengan pengembangan
komunitas yang telah menghasilkan produk sosial132, berupa
hutan mangrove. Hutan mangrove dapat menghasilan sumber-
daya alam lain, seperti buah mangrove dan sumberdaya alam
dari hasil laut.

Untuk mengolah hasil dari sumberdaya tersebut diperlukan


keterlibatan kaum perempuan. Hal ini berkenaan dengan proses
pengembangan komunitas yang harus melibatkan semua
unsur komunitas, termasuk kaum perempuan. Kaum laki-laki
yang tergabung dalam kelompok Sidodadi Maju difokuskan
dalam kegiatan menanam, menyulam, dan memelihara hutan
mangrove serta menjaga kelestariannya.

Sekarang ini, kaum laki-laki berkonsentrasi membudidaya-


kan tambak sebagai tempat kerja mereka. Budidaya tersebut
dapat berupa ikan, udang, dan pembuatan garam rakyat. Se-
mentara kaum perempuan difokuskan pada pengolahan hasil
dari sumberdaya alam yang ada. Mengolah buah mangrove
merupakan pekerjaan yang cocok dilakukan perempuan, se-
hingga pemimpin informal membentuk lembaga lokal, berupa
kelompok perempuan. Hal ini dimaksudkan untuk menghimpun
kegiatan perempuan guna meningkatkan kualitas hidup dan
kesejahteraan seluruh komunitas.

Inisiatif membentuk kelompok perempuan untuk meng-


akselerasi kegiatan komunitas berkaitan dengan seluruh proses

132. Adi, 1998.

244
pengembangan komunitas. Perempuan di komunitas pesisir
yang selama ini hanya bekerja di rumah merawat anak dan
bekerja di dapur, melalui kelompok perempuan, pekerjaannya
sekarang diperluas. Dengan mengolah buah mangrove berarti
memperluas lapangan kerja, menambah pendapatan, sekaligus
peningkatan kesejahteraan hidup seluruh komunitas.

Hal ini sejalan dengan program Kementerian Lingkungan


Hidup Republik Indonesia (2009), yakni Rantai Emas (Reha-
bilitasi Pantai Entaskan Masyarakat). Suatu program nasional
yang dicanangkan Pemerintah Republik Indonesia melalui
KLH dengan maksud melakukan kegiatan rehabilitasi pantai
dan pesisir. Berbagai kegiatan yang ada, di antaranya me-
lakukan penanaman mangrove oleh kaum laki-laki, sedang-
kan mengolah hasil dilakukan kaum perempuan. Semua
kegiatan pengembangan komunitas demikian dalam rangka
mengentaskan kemiskinan masyarakat pesisir.

Dengan pulihnya hutan mangrove, tambak dapat terlindungi


dari abrasi air laut, sehingga dapat difungsikan sebagai tempat
budidaya. Selain itu, keberadaan hutan mangrove disertai pulih-
nya sumberdaya alam yang ada di sekitarnya secara lestari. Se-
mua sumberdaya alam tersebut dapat digunakan untuk meng-
entaskan kemiskinan komunitas yang tinggal di wilayah pesisir.

3. Membangun Modal Sosial Komunitas


Peran penting lain dari pemimpin informal dalam proses
pengembangan komunitas adalah membangun modal sosial
komunitas. Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove yang dilaku-
kan oleh seluruh komunitas ternyata juga didukung oleh modal

245
sosial. Modal sosial tersebut terkait dengan nilai sosial-budaya
serta nilai lingkungan, kepercayaan, dan jaringan sosial. Oleh
karena itu, peran penting yang dilakukan dalam pengembangan
komunitas adalah mampu membangun modal sosial yang ada,
salah satunya adalah kebersamaan.133

Dalam kegiatan rehabilitasi hutan mangrove di desa pesisir


Pasar Banggi tidak bisa dilepaskan dari modal sosial komunitas.
Salah satu modal sosial tersebut adalah kebersamaan anggota
komunitas dalam mewujudkan hutan mangrove. Membangun
kebersamaan dalam proses pengembangan komunitas di-
lakukan dengan membentuk kelompok-kelompok lokal yang
ada. Dalam mewujudkan hutan yang sangat luas dan besar
diperlukan kebersamaan anggota komunitas.

Kebersamaan merupakan bentuk lain dari partisipasi aktif


anggota komunitas; suatu kebersamaan dalam suatu kelompok
dalam mewujudkan hutan mangrove. Rehabilitasi hutan mang-
rove akan memerlukan waktu lebih lama jika dilakukan seorang
diri. Hal ini terkait luasnya kegiatan tersebut yang mencakup
seluruh wilayah pesisir Desa Pasar Banggi dan diperlukan kerja
sama anggota komunitas.

Dalam kegiatan rehabilitasi hutan mangrove, kerja sama atau


kebersamaan dapat berbentuk kegiatan gotong royong. Oleh
karena itu, kebersamaan atau gotong royong merupakan modal
sosial penting dalam mengendalikan proses pengembangan
komunitas. Kebersamaan menjadi kunci keberhasilan dalam
mewujudkan hutan mangrove. Dengan terbentuknya kelompok

133. Sulasmi, 2008; Gi el dan Vidal, 1998.

246
tani peduli mangrove, sesungguhnya merupakan wujud dari
kebersamaan tersebut.

Zeuli dan Radel (2004) menulis, dalam kebersamaan, se-


luruh anggota komunitas dapat bersama-sama mewujudkan visi
komunitasnya. Dalam rangka melakukan kegiatan rehabilitasi
hutan mangrove yang luas dan mencakup seluruh pesisir desa,
tidak akan terwujud manakala tidak disertai kebersamaan di
antara anggota komunitas. Kebersamaan di antara anggota dan
kebersamaan antara anggota kelompok dengan pemimpinnya
merupakan modal sosial dalam mewujudkan visi komunitas,
berupa rehabilitasi hutan mangrove. Dengan visi sama, antar-
anggota kelompok dapat memperkuat perilaku anggota
kelompok lain.

Di dalam membangun modal sosial, seorang pemimpin


menggunakan perilakunya secara kooperatif dalam memberi-
kan pengaruh terhadap kondisi kelompok. Meskipun ada pe-
nolakan dari sebagian kecil anggota kelompok, pada akhirnya
mereka sepakat dengan menyetujui visi bersama kelompok
dalam komunitas, yakni mewujudkan hutan mangrove secara
bersama-sama. Selanjutnya, dalam membangun modal sosial
terkait unsur-unsur sosial-budaya setempat dan kondisi alam
lingkungan di wilayah pesisir. Kebersamaan merupakan modal
sosial komunitas yang dapat dijadikan ruh dan visi komunitas.
Modal sosial tersebut dapat dijadikan sebagai semangat bagi
anggota komunitas, mencapai tujuan komunitas.

Sebagaimana dikemukakan Putnam (1993) dan Schneider


(2006) bahwa modal sosial komunitas pada umumnya terdiri

247
dari tiga unsur atau elemen, yakni norma atau nilai (norms or
values), kepercayaan (trust), dan jaringan (network).
Dalam kegiatan rehabilitasi hutan mangrove di desa pesisir
ini, modal sosial komunitas berkaitan dengan kehidupan
komunitas dan dipengaruhi oleh kondisi sosial-budayanya.
Etnis Jawa yang menjadi bagian besar penduduk Desa Pasar
Banggi, sangat erat berhubungan dengan keberadaan modal
sosial yang ada. Selain itu, sistem religi (agama) dari komunitas
dan lingkungan pesisir dapat membentuk modal sosial yang
ada. Oleh karena itu, etnis Jawa mewarnai adat-istiadat dan
kebiasaan komunitasnya. Agama Islam yang dianut oleh
sebagian besar komunitas pesisir tersebut juga menjadi latar
belakang terbentuknya modal sosial komunitas.
Selain etnis dan agama, modal sosial yang ada di Desa
Pasar Banggi dipengaruhi lingkungan pesisir dan tambak. Pe-
sisir dan tambak merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari
mereka, sehingga mempengaruhi modal sosial yang ada. Oleh
sebab itu, dalam membangun modal sosial untuk kepentingan
mengorganisasi dan menggerakkan anggota komunitas, diper-
lukan revitalisasi nilai-nilai sosial-budaya dan lingkungan. Modal
sosial demikian dijadikan visi dan tujuan komunitas.
Brown (2007) menjelaskan bahwa sesungguhnya, melak-
sanakan pengembangan komunitas sama artinya dengan mem-
bangun modal sosial komunitas. Kegiatan rehabilitasi hutan
mangrove di desa pesisir tersebut dapat diwujudkan dengan
membangun modal sosial komunitasnya.
Membangun modal sosial dengan merevitalisasi nilai sosial-
budaya dan lingkungan dapat dijadikan sebagai energi positif

248
bagi komunitas yang melaksanakan gerakan pengembangan
komunitas, khususnya mewujudkan hutan mangrove. Oleh sebab
itu, modal sosial ini tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial-
budaya dan lingkungan komunitas pesisir, yakni keberadaan
tambak, pesisir, dan hutan mangrove. Secara sosial-budaya
dan lingkungan nilai-nilai keduanya, dapat mempengaruhi
dan bahkan menentukan kehidupan komunitasnya. Dengan
membangun modal sosial berarti membangun ruh-nya dalam
pengembangan komunitas.
Dalam merevitalisasi norma atau nilai sosial-budaya dan
lingkungan dapat dipergunakan sebagai visi atau acuan dalam
mewujudkan tujuan komunitas, yakni hutan mangrove. Keber-
adaan hutan mangrove sangat penting bagi wilayah pesisir,
karena mampu menjadi pelindung alami tambak dan penyedia
sumberdaya alam secara lestari.

Modal sosial dari suatu nilai sosial-budaya dan lingkungan


dapat dijadikan ruh atau energi positif bagi semua anggota
komunitas. Nilai sosial-budaya dan lingkungan, secara sosial-
budaya mempengaruhi kehidupan komunitas pesisir. Dengan
merevitalisasi modal sosial, berarti memperjelas visi dan
misi komunitas, sehingga dapat digunakan sebagai media
untuk menyadarkan komunitas guna mengatasi masalah
yang dihadapi. Upaya menghutankan kembali wilayah pesisir
sama artinya dengan membangun modal sosial komunitas,
khususnya aset-aset ekologis yang dapat digunakan untuk
mengatasi masalah komunitas dan upaya peningkatan kualitas
hidup seluruh komunitas.

249
Menurut Delgado (2000), modal sosial berupa aset ling-
kungan dapat dipergunakan sebagai suatu sistem pemecahan
masalah melalui sistem sumber lingkungan. Kegiatan reha-
bilitasi hutan mangrove telah berhasil memulihkan berbagai
sumberdaya alam sebagai aset komunitas yang dapat di-
gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan peningkatan
kesejahteraan komunitas. Bahkan semua aset komunitas
yang pulih dari kegiatan rehabilitasi hutan mangrove dapat
dipergunakan secara lestari dan berkelanjutan.

Aset-aset ekologis dari pulihnya hutan mangrove dapat


dimiliki oleh seseorang dan komunitas. Tambak merupakan aset
pribadi sedangkan hutan mangrove merupakan aset komuni-
tas. Oleh karena itu, kebersamaan anggota komunitas dalam
merehabilitasi hutan mangrove sesungguhnya melestarikan
aset komunitas, sekaligus aset pribadi anggota kelompok tani
tambak. Jadi, membangun modal sosial dengan merevitalisasi
nilai sosial-budaya dan lingkungan merupakan cara terbaik
dalam membangun kebersamaan, visi, dan dalam mewujudkan
tujuan komunitas.

Salah satu ungkapan terkait keberadaan hutan mangrove


adalah adanya hubungan antara keberadaan hutan mangrove
dengan suasana keteduhan desa di kawasan pesisir. Nilai
sosial-budaya dan lingkungan di masyarakat pesisir berupa
ungkapan, Hutan mangroveku tumbuh, desaku teduh. Suatu
pepatah dalam komunitas pesisir yang sangat membutuhkan
keberadaan hutan mangrove agar desa tempat tinggal mereka
menjadi teduh.

250
Ungkapan tersebut merupakan salah satu bentuk revitalisasi
nilai sosial-budaya dan lingkungan, serta dipegang teguh oleh
semua anggota komunitas petani tambak peduli mangrove.
Modal sosial demikian selalu dikomunikasikan kepada anggota
komunitas. Hutan mangrove bukan hanya memberikan perlin-
dungan secara alami tambak, melainkan juga menjadi peneduh
lingkungan desa pesisir.

Selain itu, revitalisasi nilai sosial-budaya dan lingkungan


tampak pada ungkapan tambak subur terlindungi hutan
mangrove dengan kehidupan seluruh komunitas. Suburnya
tambak dapat memakmurkan kehidupan seluruh komunitas.

Suyadi menyampaikan ungkapan sederhana yang meng-


gambarkan revitalisasi keberadaan tambak dan kehidupan
komunitas pesisir, tambak subur, hidup masyarakat makmur
dan tambak gersang hidup komunitas pesisir meradang. Suatu
pepatah dari nilai sosial-budaya terkait nilai lingkungan, yakni
tambak yang subur. Tambak subur terlindungi hutan mangrove,
sehingga anggota petani hidup sejahtera dan dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya.

Hal tersebut juga merupakan revitalisasi dari nilai sosial-


budaya dan lingkungan. Ungkapan demikian menunjukkan
ketergantungan komunitas pesisir pada hutan mangrove dan
tambak. Kesuburan hutan mangrove akan mempengaruhi
kesuburan tambak. Begitu pula kesuburan mangrove berarti
juga kemakmuran seluruh anggota komunitas. Hal tersebut
menunjukkan hubungan saling membutuhkan antara komunitas
dengan keberadaan hutan mangrove, hutan mangrove dengan

251
kesuburan tambak, dan kesuburan tambak dengan kemakmuran
komunitas desa pesisir.
Begitu pula lingkungan tambak yang gersang akan menye-
babkan kehidupan komunitas meradang. Gersangnya tambak
menyebabkan petani tambak tidak mampu memenuhi ke-
butuhan hidup. Hubungan nilai sosial-budaya dan lingkungan
tersebut menjadikan hubungan simbiosis mutualisme antara
komunitas pesisir, hutan mangrove, dan tambak.
Selain itu, ada modal sosial yang merupakan revitalisasi
nilai atau norma agama dengan nilai lingkungan. Nilai-nilai
tersebut direvitalisasi menjadi visi komunitas, sehingga dapat
mempengaruhi komunitas dalam menyikapi kerusakan ling-
kungan pesisirnya. Dengan modal sosial tersebut, anggota
komunitas mau melibatkan diri dalam kegiatan penanaman
mangrove.
Ungkapan yang berhubungan dengan nilai agama ada-
lah Hutan mangrove mendoakan penanamnya dan pelestari-
nya. Jika diterpa angin, pohon mangrove selalu bergoyang.
Goyangnya pohon mangrove, sebagaimana manusia dalam
berdoa menggoyangkan tubuhnya. Penanam mangrove selalu
didoakan oleh batang mangrove dengan bergoyang, agar
kehidupannya lebih baik.
Pepatah demikian merupakan norma atau nilai yang terkait
dengan agama atau kepercayaan kepada Tuhan. Nilai tersebut
dapat menjadi penyemangat seluruh anggota komunitas
dalam mewujudkan hutan mangrove. Hubungan komunitas
pesisir dengan Sang Pencipta, yakni pencipta alam semesta
merupakan modal sosial penting dalam mewujudkan hutan

252
mangrove. Hubungan tersebut menjadi wujud hubungan antara
manusia dengan Tuhan dan lingkungannya.134
Wujud menanam mangrove bukan hanya diartikan sebagai
hubungan antara manusia dengan lingkungannya saja, tetapi
juga berhubungan dengan Tuhan Pencipta Alam dan Ling-
kungan. Hasil kerja bersama seluruh komunitas yang berupa
hutan mangrove diartikan sebagai perbuatan baik terhadap
lingkungannya dan Tuhan. Dengan perbuatan demikian, ling-
kungan atau hutan mangrove yang telah direhabilitasi mendoa-
kan agar manusia yang menanamnya mendapat balasan atas
kebaikan yang dikerjakannya dari Tuhan Yang Mahakuasa.

Selain merevitalisasi nilai sosial-budaya dan lingkungan,


pemimpin informal membangun modal sosial berupa keper-
cayaan (trust). Modal sosial ini penting dalam rangka meng-
galang partisipasi anggota komunitas. Kepercayaan atau trust
meru pakan salah satu modal sosial yang berkaitan dengan
hubungan antara anggota komunitas yang satu dengan yang
lain.

Dalam proses pengembangan komunitas diperlukan modal


sosial berupa kepercayaan dari anggota komunitas. Menurut
Putnam (1993) dan Schneider (2006), kepercayaan merupakan
salah satu modal sosial yang sangat diperlukan dalam mem-
bangun komunitas. Modal sosial kepercayaan dalam kegiatan
rehabilitasi hutan mangrove terkait dengan keyakinan tentang
pentingnya hutan mangrove sebagai pelindung alami tambak
bagi komunitas pesisir.

134. Kusnadi, 2006.

253
Sebagai wilayah pesisir, komunitas di Desa Pasar Banggi
mempunyai hubungan sosial yang sepadan dan erat. Mereka
diikat oleh kegiatan yang sama, yakni melakukan rehabilitasi
mangrove. Pada awalnya, petani tambak tidak percaya bahwa
tanggul tambak akan aman dengan tanaman mangrove. Setelah
mangrove dapat tumbuh dan dapat menjadi pelindung alami
tambak maka anggota menaruh kepercayaan kepada pemimpin
informal dan apa yang dikomunikasikannya.

Kepercayaan ini juga menjadi modal sosial bagi proses


kegiatan rehabilitasi hutan mangrove. Sebelumnya, petani
tambak tidak percaya bahwa mangrove dapat ditanam. Mereka
masih mempercayai mitos bahwa pohon mangrove hanya
dapat hidup sendiri dan hanya Tuhan yang menghidupkan.
Upaya untuk mengubah kepercayaan atau mitos yang telah
mengakar di tengah kehidupan komunitas tersebut perlu
dibangun modal sosial berupa kepercayaan, yakni mengubah
stigma negatif menjadi positif mengenai pohon mangrove.
Mangrove, sebagaimana pohon lain, dapat ditanam oleh ma-
nusia. Hal inilah yang selalu dikomunikasikan pada anggota
komunitas petani tambak.

Salah satu cara membangun modal sosial kepercayaan,


yakni dengan melakukan penanaman mangrove sampai ber-
hasil. Berhasil dan tumbuhnya pohon mangrove yang ditanam
memberikan kepercayaan pada penanamnya. Walaupun
membutuhkan kerja keras dan bertahun-tahun untuk dapat
menanam pohon mangrove, namun usaha tersebut akhirnya
berhasil. Keberhasilan itu dapat mengubah stigma negatif
para petani tambak tentang tanaman mangrove, kemudian

254
mempercayai bahwa pohon mangrove dapat ditanam. Ber-
dasarkan kepercayaan yang telah terbangun, mereka mau
melakukan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.

Keberhasilan mengubah stigma negatif menjadi positif dari


komunitas memerlukan kerja keras. Paling tidak, stigma positif
atau kepercayaan bahwa hutan mangrove dapat ditanam juga
berjalan sedikit demi sedikit serta memerlukan waktu yang
panjang. Dengan modal sosial berupa kepercayaan mengenai
tanaman mangrove tersebut, sehingga memudahkan pengor-
ganisasian dan penggerakan partisipasi petani tambak untuk
turut serta dalam gerakan rehabilitasi hutan mangrove. Oleh
karena itu, pohon mangrove yang dapat tumbuh menjadi
contoh terbaik, sekaligus media pembangun kepercayaan
komunitas sebagai modal sosial komunitas.

Selain itu, untuk membangun kepercayaan dapat dilakukan


melalui kegiatan bersama di dalam kelompok. Dalam kelompok
terjadi proses belajar bersama; belajar sambil bekerja. Dengan
proses belajar bersama dalam kelompok maka anggota ko-
munitas lain memperoleh pengetahuan dan pengalaman dari
kebersamaan dalam melakukan penanaman pohon mangrove.
Kelompok dapat menjadi media terbangunnya kepercayaan
dan kebersamaan.135

Kemudian adanya proses belajar dengan kerja bersama


melalui kegiatan rehabilitasi hutan mangrove, semua anggota
kelompok memperoleh pengetahuan dan pengalaman tentang
tata cara yang baik dan benar dalam menanam mangrove.

135. Zeuli dan Radel, 2004.

255
Dengan kebersamaan demikian, terjalin kepercayaan di antara
anggota kelompok dengan kelompok lain. Kepercayaan ang-
gota komunitas kemudian dapat tumbuh dan berkembang dari
keteladanan dan contoh nyata dari pemimpinnya. Keteladanan
diwujudkan dalam bertindak dan bertingkah laku sehari-hari,
sehingga anggota komunitas mau menaruh kepercayaan ke-
padanya. Oleh karena itu, membangun kepercayaan anggota
komunitas dimulai dari perilaku dan tindakan pemimpinnya
serta contoh nyata yang dikerjakan, sehingga anggota komu-
nitas menaruh kepercayaan kepada apa yang ditransformasi-
kannya.

Pengembangan komunitas dalam bentuk kegiatan reha-


bilitasi hutan mangrove memerlukan modal sosial berupa
jaringan. Jaringan ini dapat berbentuk jaringan sosial horizontal
maupun vertikal. Jaringan sosial (networking) merupakan
modal sosial yang dapat menunjang keberhasilan komunitas
dalam mewujudkan hutan mangrove. Jaringan sosial tersebut
dapat berbentuk jaringan sosial mikro, yakni jaringan yang
menghubungkan kepentingan di antara anggota komunitas,
sedangkan jaringan makro menghubungkan seluruh anggota
komunitas dengan masyarakat luas.

Selain itu, rehabilitasi hutan mangrove sebagai bentuk


pengembangan komunitas, memerlukan jaringan sosial, ter-
utama jaringan sosial lokal atau local networking136. Jaringan
sosial lokal dalam kegiatan rehabilitasi hutan mangrove dapat
mengakselerasi kegiatan ekonomi produktif komunitas pesisir

136. Traynor dan Andor, 2005.

256
dengan masyarakat yang lebih luas. Dengan jaringan sosial
lokal ini semua produk yang dihasilkan dari kegiatan ekonomi
produktif oleh komunitas di desa dapat didistribusikan kepada
masyarakat lain di tempat yang lebih jauh. Dengan terbentuknya
jaringan sosial tersebut, terjadi akselerasi peningkatan pereko-
nomian di wilayah Desa Pasar Banggi, sehingga dapat me-
ningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan seluruh warga
komunitas.

4. Sebagai Pengorganisasi
Anggota Kelompok Tani
Dalam rangka proses pengembangan komunitas, khusus-
nya kegiatan rehabilitasi hutan mangrove, pemimpin informal
berperan sangat penting, terutama terkait pengorganisasian
anggota kelompok dan merancang kegiatan kelompok.

Homan (2004) menulis, peran pengorganisasi merupakan


hal yang sangat penting dalam kelompok untuk mencapai
tujuan. Pengorganisasi merupakan penanggung jawab dan
pengendali semua kegiatan, sehingga arah yang ingin dicapai
menjadi jelas dan tidak melenceng. Pemimpin dalam pengem-
bangan komunitas berbentuk rehabilitasi hutan mangrove
merupakan pengorganisasi anggota komunitas yang bertang-
gung jawab dalam kelompok untuk mencapai tujuan kelompok.
Tujuan kelompok adalah mewujudkan hutan mangrove. Hal ini
dapat dicapai manakala dalam kelompok para anggota petani
tambaknya dapat diorganisasi untuk melakukan kegiatan yang
bertujuan sama.

257
Kegiatan mengorganisasi meliputi semua proses untuk
membantu anggota dan kelompok dalam merencanakan
dan melaksanakan semua kegiatan. Dalam hal ini, termasuk
mengkomunikasikan visi komunitas dan menyusun kerangka
kerja, sehingga semua anggota kelompok dalam bekerja secara
bersama-sama dapat efektif dan efisien, mewujudkan hutan
mangrove di bawah koordinasinya.

Semua kegiatan rehabilitasi hutan mangrove dilakukan


melalui kelompok tani tambak di desa pesisir Pasar Banggi.
Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove merupakan kegiatan
yang sangat besar dan berlangsung dalam kurun waktu sangat
panjang. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, diperlukan suatu
proses yang dimulai dari merencanakan dan melaksanakan
semua kegiatan, sampai menikmati hasil dari kegiatan tersebut.
Guna mewujudkan visi komunitas berupa hutan mangrove maka
semua kegiatan dikoordinasi dan diarahkan agar satu arah,
untuk mencapai tujuan yang telah digariskan. Tidak boleh ada
kegiatan yang dapat mengganggu atau menghambat jalannya
proses kegiatan. Semua harus terkoordinasi agar tujuan yang
telah digariskan, yakni mewujudkan hutan mangrove, dapat
dicapai dengan efektif dan efisien.

Dengan mengkoordinasikan semua kegiatan yang diarahkan


untuk mewujudkan hutan mangrove, berarti pemimpin infor-
mal telah membangun suatu sistem dan struktur dalam suatu
kelompok. Kegiatan kelompok dalam bentuk rehabilitasi hutan
mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai
subsistem. Parson (1970) menjelaskan, semua sistem sosial
terdiri dari berbagai unsur atau elemen. Unsur-unsur tersebut

258
disebut dengan subsistem. Setiap subsistem saling pengaruh-
mempengaruhi dan mendukung sistem secara keseluruhan.

Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove merupakan suatu


sistem yang terdiri dari berbagai subsistem. Misalnya, ada
komunitas, kelompok, petani mangrove, pemimpin informal,
kegiatan menyiapkan pembibitan, penanaman, pemeliharaan,
pelestarian, dan lain sebagainya. Semua subsistem tersebut
saling pengaruh-mempengaruhi satu dengan yang lain dan
mempengaruhi sistem secara keseluruhan, yakni kegiatan
rehabilitasi mangrove.

Dalam sistem tidak diperbolehkan ada salah satu subsistem


yang tidak berfungsi, karena akan mempengaruhi sistem secara
keseluruhan. Misalnya, tidak ada bibit mangrove yang akan di-
tanam. Dengan tidak adanya bahan tanam berupa bibit sebagai
salah satu subsistem rehabilitasi mangrove maka kegiatan reha-
bilitasi sebagai suatu sistem akan mengalami hambatan. Semua
subsistem dalam kegiatan rehabilitasi hutan mangrove harus
saling bekerja sama agar tujuan sistem secara keseluruhan
dapat diwujudkan. Tugas penting pemimpin informal adalah
mengorganisasi semua subsistem tersebut agar bisa bekerja di
masing-masing sistem dan akhirnya mendukung tujuan sistem
secara keseluruhan, yakni terwujudnya hutan mangrove.

Membangun sistem berarti bahwa semua unsur kelom-


pok yang melaksanakan kegiatan menuju satu tujuan yang
sama, yakni adanya hutan mangrove. Sementara membangun
struktur kelompok, artinya melalui kelompok dapat dipilah-
pilah menjadi berbagai sub-kelompok yang kegiatannya dapat
dilakukan, sekaligus menempatkan anggota kelompok yang

259
menangani serta penanggung jawabnya. Kegiatan rehabilitasi
mangrove harus dilihat sebagai sebuah sistem. Mulai dari
persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan harus menjadi
satu kesatuan untuk mencapai tujuan, yakni terwujudnya hutan
mangrove. Jika ada subsistem dari kegiatan rehabilitasi hutan
mangrove mengalami masalah dan tidak berjalan sebagaimana
direncanakan maka dapat segera dicari jalan keluarnya.

Demikian pula kegiatan rehabilitasi mangrove akan dapat


berhasil jika anggota kelompok yang terlibat di dalamnya
dipilah dalam struktur atau sistem yang lebih kecil. Kelompok
kecil rehabilitasi hutan mangrove ini agak sulit dibuat struktur
tertentu, sebagaimana organisasi besar. Karena, kegiatan
kelompok tani peduli mangrove adalah sama, yakni menanam
mangrove. Dengan kegiatan yang sama maka tidak ada pem-
bagian kerja yang jelas.

Hampir semua kegiatan yang dilakukan anggota kelompok


dilakukan secara bersama, sehingga kegiatannya tidak bisa
dipisahkan menurut kelompok-kelompok tertentu. Semua ke-
giatan lebih banyak dilakukan bersama atau gorong-royong.
Meskipun demikian, secara umum, kegiatan rehabilitasi hutan
mangrove di Desa Pasar Banggi dapat disebut sebagai suatu
sistem kegiatan rehabilitasi hutan mangrove, sehingga diper-
lukan pengorganisasi agar tujuan untuk mewujudkan tambak
aman yang dilindungi pohon mangrove dapat diwujudkan.

Keberhasilan mewujudkan hutan mangrove dapat dikata-


kan sebagai keberhasilan dalam menjalankan peran pemimpin
informal sebagai pengorganisasi. Artinya, dalam mengorganisasi
semua lapisan masyarakat, khususnya anggota kelompok tani

260
selama melakukan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove dapat
berjalan dengan baik tanpa ada kendala berarti. Hal tersebut
menunjukkan bahwa semua unsur kelompok mendukung
sesuai apa yang telah direncanakan sebelumnya.

Netting & Mary (2003) menjelaskan bahwa kegiatan seba-


gai pengorganisasi anggota komunitas lebih efektif dan efisien
dilakukan melalui lembaga lokal. Kegiatan rehabilitasi hutan
mangrove tidak bisa dilepaskan dari keberadaan kelompok
lokal. Kelompok tani tambak peduli mangrove merupakan
kelompok yang sangat penting dalam mewujudkan hutan
mangrove. Keberadaannya tidak bisa dipisahkan dari kegiatan
rehabilitasi mangrove.

Kegiatan melalui kelompok lebih efektif dan efisien karena


semua unsurnya, berupa anggota petani tambak dapat dengan
mudah diorganisasi. Rubin and Rubin (2001) mengungkapkan
bahwa anggota komunitas lebih mudah diorganisasi melalui
kelompok lokal, karena mereka menjadi suatu kekuatan yang
sangat besar. Ketika petani tambak secara sendiri-sendiri bekerja
tanpa diikat dalam satu kelompok lokal, bisa jadi anggota
kelompok tersebut tidak bisa dijadikan kekuatan yang besar.
Dengan bergabungnya petani tambak dalam kelompok, mereka
menjadi kekuatan yang besar. Hal tersebut dapat diwujudkan
dengan cara menggabungkan petani tambak dalam satu
kelompok kemudian diorganisasi, sehingga menjadi kekuatan
yang luar biasa dalam mewujudkan hutan mangrove.

Kegiatan mengorganisasi anggota kelompok tani tambak


untuk melakukan rehabilitasi hutan mangrove merupakan salah
satu metode dalam community organization dan merupakan

261
salah satu metode intervensi dalam bidang pekerjaan sosial
komunitas137. Hal tersebut menunjukkan bahwa mengorgani-
sasi anggota komunitas dengan membentuk satu kelompok
lokal merupakan metode intervensi komunitas. Membentuk ke-
lompok peduli mangrove yang melakukan kegiatan rehabilitasi
mangrove merupakan bentuk intervensi yang dilakukan terhadap
komunitas pesisir di dalam mengatasi masalah mereka. Tujuan
akhir dari intervensi komunitas tersebut adalah peningkatan
kesejahteraan hidup melalui kegiatan yang dirancang secara
bersama-sama dalam satu kelompok.

Di dalam mengorganisasi anggota kelompok tani tambak


peduli mangrove dapat dikatakan berhasil. Hal ini ditandai
dengan berhasilnya keseluruhan anggota kelompok saling
bekerja sama tanpa ada konflik yang berarti selama lebih
50 tahun. Keberhasilan lain dalam mengorganisasi anggota
kelompok adalah mau bergabungnya seluruh anggota komu-
nitas dalam kelompok tani tambak untuk mewujudkan hutan
mangrove, tanpa kecuali. Sebelumnya, kelompok tani tambak
yang dibentuk hanya beranggotakan pemilik tambak. Seka-
rang ini hampir semua anggota komunitas menjadi anggota
kelompok, meskipun mereka bukan pemilik tambak. Penyewa
tambak dan buruh tambak dapat menjadi anggota kelompok
tani peduli mangrove.

Hal ini terkait dengan pengembangan komunitas berupa


rehablitasi hutan mangrove yang bertujuan akhir mewujudkan
kepentingan seluruh komunitas. Demi kepentingan tersebut,

137. Barker, 1995.

262
semua anggota komunitas bisa menjadi anggota kelompok,
kemudian diorganisasi sebagai sumberdaya untuk menjadi
kekuatan besar dalam komunitas kepentingan, mewujudkan
hutan mangrove.

5. Sebagai Penggerak Partisipasi


Anggota Komunitas
Program pengembangan komunitas yang dilakukan komu-
nitas Desa Pasar Banggi dalam merehabilitasi hutan mang-
rove membutuhkan media, agar komunitas mau berpartisipasi
secara efektif dan efisien. Untuk mewujudkan partisipasi ang-
gota komunitas, hal yang diperlukan adalah pengertian dan
kesadaran anggota komunitas tentang pentingnya hutan
mangrove bagi kehidupan seluruh komunitas.

Erftemeijer and Bualuang (1998) mengatakan, kegiatan


rehabilitasi hutan mangrove di wilayah pesisir yang bersifat
top-down akan berhasil jika disertai partisipasi aktif anggota
komunitas pesisirnya. Partisipasi komunitas pesisir dalam
kegiatan rehabilitasi hutan mangrove sangat penting, karena
mereka merupakan komunitas yang terkena dampak langsung
dari keberadaan hutan mangrove. Keberadaan komunitas pesisir,
jika tidak diikutsertakan dalam kegiatan rehabilitasi maka suatu
program tidak akan berhasil. Bahkan dengan meninggalkan
mereka dalam kegiatan demikian dapat menganggu usaha
rehabilitasi yang dilakukan.

Melibatkan komunitas pesisir merupakan faktor penting


dalam kegiatan rehabilitasi hutan mangrove di desa pesisir
Pasar Banggi, karena mereka yang akan terkena dampak

263
pulihnya hutan mangrove. Berbeda dengan apa yang dikemu-
kan Erftemeijer and Bualuang (1998) bahwa kegiatan ini tidak
berasal dari atas melainkan tumbuh dan berkembang dari
komunitas yang bersangkutan. Namun demikian, partisipasi
anggota komunitas sangat penting dan diperlukan dalam
kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.

Partisipasi komunitas dalam mewujudkan hutan mangrove


disebabkan oleh hasilnya yang bermanfaat sebagai pelindung
alami tambak dan di dalamnya mengandung sumberdaya
alam. Dengan keberadaan tersebut, mereka terpanggil untuk
berpartisipasi secara aktif, karena hutan mangrove bermanfaat
bagi kehidupannya. Keberhasilan kegiatan rehabilitasi hutan
mangrove ditandai dengan partisipasi aktif anggota komuni-
tas nya. Sebuah kegiatan yang dirancang sendiri dan diikuti
partisipasi aktif anggota komunitasnya. Partisipasi anggota
komunitas tidak terlepas dari seorang pemimpin informal
sebagai stakeholder komunitas.

Mahmud (2007) menjelaskan bahwa pemimpin dalam


komunitas dapat berfungsi sebagai stakeholder komunitas, yakni
berperan membangun partisipasi anggota komunitas dalam
proses pembangunan. Sebagai stakeholder komunitas, bukan
hanya menjadi pemimpin dalam bidang tertentu, melainkan
pemimpin dalam semua aspek kehidupan komunitas, yakni
segala hal yang berkaitan dengan kegiatan rehabilitasi hutan
mangrove di komunitas pesisir.

Sebagai stakeholder komunitas, ia selalu berusaha mencari


alternatif pemecahan masalah yang dihadapi komunitasnya
dengan melibatkan partisipasi anggota. Misalnya, ketika tanggul

264
tambak mengalami kerusakan, banyak anggota komunitas yang
membiarkan keadaan tersebut. Ada usaha yang dilakukan
untuk memperbaiki, tetapi hasilnya tidak maksimal. Setiap ada
gelombang besar, hasil usahanya tersebut rusak. Alternatif
menanam pohon mangrove bagi anggota komunitas dianggap
aneh dan tidak masuk akal.

Sebagai stakeholder komunitas, kunci keberhasilan yang


sangat penting dan nyata adalah membangkitkan dan meng-
gerakkan partisipasi anggota komunitas dalam kegiatan reha-
bilitasi mangrove. Chaskin (2001) menyampaikan bahwa stake-
holder komunitas mengemban pelaksanaan kegiatan dalam
komunitas. Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove di wilayah
pesisir ini dapat membangun dan menggerakkan anggota
komunitas, melalui pengembangan kapasitas komunitas.

Kapasitas komunitas pada waktu itu sangat rendah karena


ditentukan oleh latar belakang pengetahuan dan pengalaman
tentang pohon mangrove. Pada umumnya, komunitas hanya
mempunyai sedikit pengetahuan dan pengalaman mengenai
pohon mangrove. Untuk membangun dan menumbuhkan
partisipasi anggota komunitas diperlukan waktu lama dan
kepemimpinan yang selalu memberikan layanan kepada
komunitasnya. Perkembangan partisipasi dalam kegiatan
rehabilitasi hutan mangrove berjalan lambat, mulai satu
demi satu, kemudian diikuti semua petani tambak. Hal ini
menunjukkan bahwa munculnya partisipasi anggota tidaklah
instan, melainkan memerlukan perjuangan tanpa mengenal
lelah dalam menyosialisasikan pentingnya tanaman mangrove
bagi tanggul tambak mereka.

265
Resistensi anggota petani tambak dan komunitas pesisir
terkait dengan kegagalan seorang penanam mangrove pertama
kali dalam bentuk sikap dan perbuatan yang tidak kondusif.
Oleh karena itu, partisipasi komunitas dalam kegiatan menanam
pohon berjalan lambat, karena berbagai hal. Misalnya, mitos yang
berkembang di tengah komunitas bahwa hutan mangrove tidak
bisa ditanam oleh seseorang dan mempengaruhi sikap terhadap
penanamnya.

Pertama kali dilakukan penanaman mangrove mengalami


kegagalan, karena belum mempunyai pengetahuan dan peng-
alaman menanam pohon mangrove dengan benar dan baik.
Kegagalan tersebut menyebabkan sulit dan tersendatnya parti-
sipasi. Kegagalan tersebut menimbulkan sikap tidak simpatik
petani tambak lain bahwa menanam mangrove bukan peker-
jaan manusia. Stigma bahwa mangrove hanya bisa dihidupkan
oleh Tuhan, sangatlah dipercaya komunitas. Sikap yang di-
tunjukkan komunitas dapat berbentuk olok-olok, ejekan, serta
menganggap kegiatan menanam mangrove seperti orang gila
dan tidak ada manfaatnya. Anggapan demikian menyebabkan
mereka tidak ikut berpartisipasi dalam penanaman mangrove.
Meskipun diberi penjelasan memadai, petani tambak tidak bisa
menerimanya dengan baik, bahkan tidak mau berpartisipasi.

Setelah ada contoh keberhasilan menanam pohon mang-


rove sebagai bukti nyata maka sedikit demi sedikit petani
tambak mulai berpartisipasi. Membangun partisipasi memang
tidak mudah; harus diberi contoh nyata berupa tanaman mang-
rove yang dapat hidup di wilayahnya. Penolakan atau resis-
tensi anggota komunitas terhadap upaya penanaman pohon

266
mangrove disebabkan kegagalan penanaman yang dilakukan
pionir penanam mangrove dan stigma negatif terhadap pohon
mangrove. Oleh karena itu, keberhasilan membangun dan
menggerakkan partisipasi anggota komunitas sesungguhnya
juga ditunjang dengan keberadaan kelompok.

Kelompok tani peduli mangrove merupakan media penting


dalam membangun dan menggerakkan partisipasi. Hal ini
ditandai dengan terus bergabung dan bertambahnya anggota
tani tambak. Dari tahun ke tahun, anggota kelompoknya terus
bertambah, meskipun bukan pemilik tambak. Hal ini disadari
komunitas bahwa hutan mangrove milik bersama dan dapat
melindungi tambak serta menghasilkan sumberdaya alam.
Kesemua sumberdaya alam tersebut dibutuhkan semua ang-
gota komunitas, sehingga mereka mau berpartisipasi aktif
dalam kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.

Sebagai stakeholder kegiatan rehabilitasi hutan mangrove,


pemimpin informal dapat memberi contoh nyata, apa yang di-
lakukannya. Contoh nyata berupa tingkah laku dan perbuatan
menjadi guru terbaik bagi komunitas pesisirnya. Selain itu, con-
toh nyata berupa berhasilnya tanaman mangrove merupakan
contoh penting bagi tumbuhnya partisipasi anggota kelompok
tani tambak. Berdasarkan contoh nyata dari tingkah laku atau
kegiatan pemimpin dan contoh nyata berupa hutan mangrove,
anggota petani tambak mau berpartisipasi aktif dalam kegiatan
rehabilitasi hutan mangrove.

Keberadaan hutan mangrove yang dapat melindungi tang-


gul tambak dan menghasilkan sumberdaya alam merupakan
contoh nyata yang sangat baik bagi anggota komunitas,

267
sehingga mereka berpartisipasi aktif dalam mewujudkan
dan melestarikannya. Contoh nyata merupakan guru dan
teladan terbaik bagi komunitas pesisir dalam memulihkan dan
melestarikan hutan mangrove.

6. Sebagai Relawan Sosial dalam


Pengembangan Komunitas
Dalam mengemban kepemimpinan di level komunitas
desa pesisir Pasar Banggi pada proses pengembangan komu-
nitas, pemimpin informal disebut sebagaimana relawan dalam
kegiatan rehabilitasi hutan mangrove. Dalam konsep Ilmu
Kesejahteraan Sosial disebut dengan community worker, rural
worker, dan community developer.138 Kegiatan rehabilitasi hutan
mangrove di wilayah desa pesisir Pasar Banggi tidak berdasar-
kan teori tertentu, melainkan pengetahuan dan pengalaman
yang didapat secara langsung atau autotidak.

Kegiatan yang dilakukan bersama anggota komunitas


adalah dalam rangka membangun infrastruktur komunitas,
juga memulihkan infrastruktur di wilayah pesisir. Hutan mang-
rove dapat melindungi tambak secara alami, sehingga dapat
digunakan sebagai tempat budidaya dan di dalam hutan
mangrove itu sendiri mengandung banyak sumberdaya alam.
Kesemuanya merupakan infrastruktur yang dapat digunakan
komunitas untuk memenuhi kebutuhan dan peningkatan
kesejahteraan.

138. Adi, 1998; Ri er, 2009.

268
Sebagai relawan komunitas dalam kegiatan rehabilitasi
hutan mangrove, pemimpin informal menggunakan pengetahuan
dan pengalamannya dalam memulihkan sumberdaya alam
sebagai infrastruktur komunitas pesisir. Mangrove merupakan
infrastruktur penting bagi kehidupan, baik bagi manusianya
maupun makhluk hidup lain. Melakukan rehabilitasi hutan
mangrove berarti juga memulihkan infrastruktur yang ada.

Membangun berbagai infrastruktur berarti menyediakan


banyak sumberdaya yang dapat digunakan untuk mengaksele-
rasi kegiatan anggota komunitas. Dengan banyaknya kegiatan
yang tersedia dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada
dapat meningkatkan kualitas kehidupan dan kesejahteraan
seluruh anggota komunitas. Usaha pemimpin informal dalam
membangun infrastruktur komunitas dengan menjalin berbagai
stakeholder dalam masyarakat dapat membantunya meng-
akselerasi pengembangan komunitas, terkait kegiatan rehabili-
tasi hutan mangrove.

Ada stakeholder yang memberikan sumbangan dananya


untuk kepentingan komunitas. Salah satu stakeholder adalah
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang memberi-
kan dananya untuk kepentingan simpan pinjam di koperasi
kelompok tani dan dana taktis. Selain itu, memberikan bantuan
teknis dan dana terhadap kelompok perempuan dalam rangka
pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir.

Selain itu, sebagai relawan sosial komunitas, ia dapat disebut


sebagai social enterprenuership. 139 Sebagai wirausahawan

139. Greenberg, 1999.

269
sosial, pemimpin informal berusaha mencari peluang-peluang
yang bisa digunakan untuk memperluas kesempatan berusaha
anggota komunitas melalui ekonomi kreatif dan ekonomi
produktif. Pendirian kelompok petani tambak, kelompok arisan
simpan pinjam, penyediaan dana taktis, serta pembentukan
kelompok perempuan Kartini I dan Kartini II merupakan wujud
social enterprenuer tersebut.

Sebagai wirausahawan sosial, pemimpin informal melakukan


perubahan sikap dan perilaku anggota komunitasnya dalam
bentuk kegiatan yang menghasilkan produksi sosial (social
products) berupa hutan mangrove. Adi (1998) menulis bahwa
produk sosial dapat berbentuk gagasan (idea), praktik (practice),
dan bentuk nyata (tangible products).

Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove sesungguhnya meru-


pakan bentuk dari produksi sosial tersebut. Kegiatan dilakukan
agar terwujud produksi sosial di komunitasnya, berupa hutan
mangrove. Hal tersebut dimaksudkan agar seluruh komunitas
terjadi pemerataan sosial, terjamin keadilan sosial, tersediakan
barang dan layanan, kuat kondisi ekonomi komunitas, dan
dapat meningkatkan ketahanan sosial komunitas. Hasil kegiatan
berupa produk sosial adalah hutan mangrove dan sumberdaya
alam lain di komunitasnya. Hutan mangrove dapat diwujud-
kan dengan cara dikerjakan secara bersama melalui sebuah
gerakan rehabilitasi hutan mangrove dan diikuti partisipasi aktif
seluruh anggota komunitasnya.

Berikut hal-hal yang dilakukan pemimpin informal dalam


melakukan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove sebagai
produk sosial komunitas.

270
a. Membangun Ide dan Melaksanakannya
Wujud pertama yang dilakukan pemimpin informal adalah
membangun ide dan kemudian melaksanakannya. Idenya
sangat berbeda dengan komunitasnya. Sewaktu komunitas
melakukan pembuatan tanggul tambak dengan tiang pancang
dan tanggul semen beton, sebagai wirausahawan sosial, ia
memiliki ide menanam pohon mangrove.

Pemikirannya tersebut berupaya diwujudkan, meskipun


hasil pada tahun pertama dan kedua belum ada; pohon
mangrove belum dapat tumbuh sebagaimana yang diinginkan.
Dengan kegigihan dan kesabaran, akhirnya pada tahun-tahun
berikutnya ide pemimpin informal dapat terwujud; mangrove
dapat tumbuh. Membangun ide atau pemikiran tidak mudah
dilakukan, karena diperlukan pengetahuan dan pengalaman.
Ide menanam mangrove, tumbuh dan berkembang, setelah
pemimpin informal melihat tanggul tambak di suatu tempat
yang bagus, karena ditumbuhi pohon mangrove. Pengetahuan
dan pengalamannya tersebut menimbulkan ide atau pemikiran
bahwa kondisi tanggul rusak harus ditanami pohon mangrove.
Pohon mangrove diyakini sebagai tanaman alami yang menjadi
pelindung tambak anggota komunitas.

Kerusakan lingkungan tambak memunculkan ide bahwa


untuk mengatasinya diperlukan langkah konkret, yakni mena-
nam pohon mangrove. Ada pemikiran dari anggota komunitas
dengan membuat tiang pancang dari bambu dan tanggul
beton, tetapi akhirnya mengalami kerusakan. Hutan mangrove
diyakini sebagai upaya yang baik dan benar sebagai pelindung
alami tanggul tambak yang mengalami kerusakan. Pemikiran

271
atau ide demikian merupakan hasil dari produk sosialnya dalam
menyikapi kerusakan lingkungan.

b. Praktik Rehabilitasi Hutan Mangrove


Wujud kedua adalah praktik (practice) dalam melakukan
gerakan rehabilitasi hutan mangrove. Untuk mewujudkan hutan
mangrove yang sangat luas di wilayah desanya, tidak mungkin
dilakukan sendiri oleh pemimpin informal. Agar segera dapat
mewujudkan hutan mangrove, ia mengajak dan melibatkan
anggota petani tambak yang lain. Kebersamaan ini merupakan
bentuk pengembangan komunitas, khususnya kegiatan reha-
bilitasi mangrove yang didasarkan atas kebersamaan atau sikap
kooperatif seluruh anggota komunitas.
Kebersamaan merupakan wujud nyata dari kegiatan pe-
ngembangan komunitas, yakni melakukan rehabilitasi hutan
mangrove. Kegiatan tersebut mulai dari pembibitan, penanam-
an, perawatan, pelestarian, dan pemanfaatan hasil hutan
mangrove serta sumberdaya alam lain yang dilakukan secara
bersama-sama untuk kepentingan seluruh komunitas. Kegiatan
rehabilitasi hutan mangrove bukan merupakan kegiatan
sesaat dan berjangka pendek, melainkan suatu gerakan yang
memerlukan waktu lama dan kebersamaan seluruh anggota
komunitas. Kegiatan tersebut memerlukan perjuangan dan
keterlibatan seluruh anggota komunitas.
Untuk kepentingan tersebut, hal yang dilakukan adalah
selalu memberi contoh keteladanan dan tidak mengenal
lelah dalam menyosialisasikan pentingnya menanam pohon
mangrove bagi lingkungan pesisirnya. Kebersamaan tersebut

272
dapat berlangsung selama lebih 40 tahun, suatu bentuk kerja
sama dalam mewujudkan dan melestarikan hutan mangrove
di wilayah pesisirnya.

c. Wujud Nyata
Wujud ketiga adalah wujud nyata dari produksi sosial
berupa hutan mangrove. Hasil nyata atau wujud fisik (tangible
products) dari kegiatan tersebut adalah hutan mangrove dan
keberadaan sumberdaya alam. Hutan mangrove yang mem-
bentang di wilayah Desa Pasar Banggi merupakan benda fisik
yang bisa dilihat dan dirasakan.

Hutan mangrove sebagai hasil jerih payah seluruh anggota


komunitas dapat memberikan manfaat sebagai pelindung alami
tambak dan memberikan manfaat lain secara tidak langsung,
yaitu peningkatan kesejahteraan seluruh anggota komunitas.
Itulah sebabnya, dalam proses pengembangan komunitas
melalui kegiatan rehabilitasi hutan mangrove, seluruh anggota
komunitas mampu mewujudkan produksi sosial tersebut.
Pemimpin informal dapat disebut sebagai relawan sosial atau
community worker di tingkat komunitas.

Sebagai community worker dalam kegiatan rehabilitasi


hutan mangrove, pemimpin informal melakukan perubahan
lingkungan, khususnya lingkungan bersifat makro. Netting
(1993) dan Burghardt (2011) menyampaikan bahwa hal yang
dilakukan community worker adalah mengintervensi komunitas
secara makro. Intervensi makro pada prinsipnya adalah kegiatan
pengembangan komunitas dengan melakukan perubahan
lingkungan.

273
Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove merupakan aktivitas
pekerja sosial yang lebih menekankan isu makro dibandingkan
isu mikro, meskipun dalam konteks wilayah perdesaan, per-
ubahan lingkungan yang dilakukan melalui kegiatan rehabili-
tasi hutan mangrove sesungguhnya berdampak lebih luas
dibandingkan dampak di sekitar hutan mangrove dan tambak.
Kerusakan tanggul tambak dan hutan mangrove tersebut bukan
merupakan masalah individu, melainkan masalah komunitas
yang menyangkut banyak orang, dan bahkan merupakan
masalah global.

Sebagai community worker, sesungguhnya hal yang di-


lakukan pemimpin informal adalah kegiatan mengintervensi
makro dalam mengatasi masalah komunitas. Rehabilitasi hutan
mangrove merupakan rehabilitasi lingkungan secara umum,
sehingga manfaatnya bukan hanya dinikmati petani tambak
dan komunitas pesisir setempat, melainkan juga masyarakat
global. Intervensi makro yang dilakukan pemimpin informal
adalah dengan menggunakan metode pendekatan langsung,
yakni melalui kelompok akar rumput dan ketetanggaan. Hal
tersebut ditandai dengan usahanya untuk selalu bekerja sama
dengan individu-individu setempat, keluarga, dan kelompok-
kelompok yang ada di komunitas.

Selain itu, pada tingkat komunitas, ia melakukan kegiatan


intervensi makro yang menggunakan metode pendekatan
melalui pembentukan lembaga lokal dan melibatkan berbagai
stakeholder.

274
D. Aspek-aspek Keberhasilan
Pemimpin Informal dalam
Pengembangan Komunitas
Keberhasilan pengembangan komunitas yang terjadi di
Desa Pasar Banggi dalam mewujudkan hutang mangrove
sebagai pelindung alami tambak tidak terlepas dari aspek
internal pemimpin informal dan aspek eksternal. Aspek internal
terkait dengan modal sosial yang dimiliki pribadinya, sedangkan
aspek eksternal terkait dukungan seluruh anggota komunitas
terhadap kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.

1. Aspek Internal Pemimpin Informal


Keberhasilan pemimpin informal dalam menjalankan
dan mengemban proses pengembangan komunitas melalui
kegiatan rehabilitasi hutan mangrove, bukanlah merupakan ke-
berhasilan dirinya saja. Keberhasilan tersebut juga merupakan
keberhasilan seluruh anggota komunitas. Kegiatan komunitas
yang telah mampu mewujudkan hutan mangrove di desa
pesisir Pasar Banggi tidak mungkin dilakukan seorang diri.
Partisipasi seluruh anggota komunitas dalam mewujudkan
hutan mangrove dan menjaga kelestariannya juga memberikan
kontribusi yang sangat besar.

Untuk memahami diri pribadinya sebagai ruh dari pengem-


bangan komunitas maka dijelaskan aspek-aspek dalam dirinya.
Hal ini sangat penting untuk mejelaskan pengaruhnya dalam
mewujudkan hutan mangrove. Melalui kegiatan kelompok
tani tambak, hal yang dilakukan adalah mengorganisasi dan

275
menggerakkan anggota komunitas untuk terlibat secara
aktif dalam kegiatan rehabilitasi hutan mangrove. Beberapa
aspek intern dalam dirinya diterapkan melalui kepemimpinan
kelompok dan komunitasnya.

Sesungguhnya, aspek intern di level komunitas dalam men-


jalankan kepemimpinannya lebih banyak terkait dengan komit-
men yang dimiliki terhadap tujuan kelompok dan keberadaan
anggota yang dipimpinnya. 140 Komitmen ini terkait dengan
keinginan pemimpin informal dalam mewujudkan mimpi agar
hutan mangrove dapat tumbuh dan menjadi pelindung alami
tambak, sehingga tambak dapat digunakan sebagai tempat
budidaya dan memenuhi kebutuhan hidup petani tambak.

Aspek komitmen sangat penting menunjang keberhasilan


dirinya menjalankan kepemimpinan. Bersama anggota komu-
nitas, mewujudkan hutan mangrove disertai tanggung jawab
besar dan komitmen tinggi. Komitmen yang ada dapat menga-
lahkan hambatan yang menghadang.

Pemimpin di mana pun, termasuk di komunitas kecil seperti


dalam kegiatan rehabilitasi hutan mangrove ini, mempunyai
komitmen kuat. Komitmen demikian akan diwujudkan dengan
berusaha sekuat tenaga dan bertanggung jawab terhadap
apa yang diinginkannya. Komitmen tersebut didasarkan pada
keyakinan kuat bahwa hanya hutan mangrove-lah tanggul
tambak dapat aman secara alami. Mangrove diyakini sebagai
tanaman alami pelindung wilayah pesisir dan tambak dari
gelombang air laut. Untuk mewujudkan hutan mangrove, harus

140. Raharjo dan Nafisah, 2006.

276
didukung dengan komitmen kuat agar apa yang diinginkan
dapat direalisasikan.

Selain itu, komitmen yang kuat dan besar untuk mewujud-


kan hutan mangrove didasarkan pada pengalaman dan pe-
ngetahuannya bahwa tanggul tambak yang dibuat dari tiang
pancang dan tanggul semen tidak mampu menahan gelom-
bang air laut. Dengan kenyataan tersebut, komitmennya ter-
bangun, sehingga yakin bahwa hanya hutan mangrove yang
mampu secara alami menggantikan tanggul tambak yang
selama ini dibuat anggota komunitas. Tanaman mangrove
diyakini menjadi contoh nyata dan dapat melindungi tambak
secara alami dari gelombang air laut. Berdasarkan kenyataan
tersebut, muncul keyakinan yang besar untuk mewujudkan
hutan mangrove melalui komitmen yang dimiliki.

Selain komitmen, faktor intern lain yang berpengaruh dalam


menunjang keberhasilan menjalankan kepemimpinan kegiatan
rehabilitasi hutan mangrove adalah kapasitas yang ada dalam
diri pemimpin informal. Kapasitas yang dimiliki terkait dengan
kemampuan yang tidak diragukan dan sangat memadai dalam
mengendalikan keseluruhan proses pengembangan komu-
nitas. Kapasitas pemimpin di tingkat komunitas kecil, menurut
Tohani (2012), terkait dengan kondisi sosial-budaya komunitas
setempat. Secara kultural, pemimpin lokal disertai kapasitas
memadai, sehingga diikuti secara partisipatif anggotanya sesuai
dengan apa yang direncanakan.

Sebagai pengelola dalam kegiatan rehabilitasi hutan


mangrove, hal yang dibutuhkan adalah kapasitas memadai
dalam menjalankan kepemimpinannya. Berdasarkan kapasitas

277
yang dimiliki, kegiatan pengembangan komunitas dalam
bentuk rehabilitasi hutan mangrove, tidak melahirkan konflik
berarti. Kegiatan lebih menunjukkan suatu kehidupan harmonis,
yang ditandai dengan harmoninya hubungan antar-anggota
komunitas dengan yang lain, maupun antara anggota komunitas
dengan pemimpinnya. Selama 50 tahun, proses rehabilitasi
hutan mangrove tidak menuai konflik di tengah kehidupan
komunitas terkait pelaksanaannya.

Kapasitas merupakan hal penting dalam mengemban


amanah kegiatan rehabilitasi hutan mangrove. Amanah
muncul terkait dengan pengetahuan dan pengalaman yang
dimiliki. Pengetahuan serta pengalaman memadai dan luas
berhubungan dengan pohon mangrove, termasuk tata cara
menyemai, menanam, merawat, dan melestarikan hutan mang-
rove, sangat dibutuhkan dalam memimpin komunitas, me-
lakukan rehabilitasi hutan mangrove. Kapasitas tersebut tidak
dimiliki oleh anggota komunitas lain. Berdasarkan pengetahuan
dan pengalaman yang memadai, akhirnya dapat menjalankan
kepemimpinan komunitas. Dengan bekal kapasitas tersebut,
memudahkannya dalam mengorganisasi dan menggerakkan
partisipasi anggota komunitas.

Dalam upaya mengorganisasi dan menggerakkan anggota


komunitas merehabilitasi hutan mangrove diperlukan kapasitas
memadai. Tanpa kapasitas memadai, anggota komunitas tidak
akan mau mengikuti apa yang ditransformasikan pemimpin
informal. Berdasarkan kapasitas yang dimiliki, ia dapat dan
mampu mengkomunikasikan pentingnya hutan mangrove
kepada seluruh anggota komunitas.

278
Pengetahuan menanam mangrove dan memberikan teladan
yang baik merupakan aspek penting dari kepemimpinannya.
Anggota komunitas mau diorganisasi dan digerakkan jika
pemimpinnya mempunyai kapasitas yang memadai, sesuai
dengan kebutuhan komunitas. Dengan kapasitas tersebut,
anggota komunitas respek pada apa dikerjakan dan mengikuti
apa yang direncanakan, yakni terwujudnya hutan mangrove.

Selain mempunyai komitmen kuat dan kapasitas memadai,


hal yang diperlukan adalah niat tulus dalam mengemban ke-
giatan rehabilitasi hutan mangrove. Niat tulus tersebut harus
selalu ada agar tujuan utama segera dapat diwujudkan. Patter-
son (2003) mengatakan, dalam menjalankan kepemimpinan,
pemimpin komunitas di tingkat lokal harus mengutamakan to
serve and serve first, visioner, dedication, to work effective and
to be exellence.

Sebagaimana hal tersebut, dalam menjalankan kepemim-


pinan untuk mewujudkan hutan mangrove, pemimpin informal
tidak memiliki motif pribadi tertentu, melainkan lebih pada
menjadi pelayan anggota komunitas. Sebagai pemimpin di
level komunitas kecil, hal yang diutamakan adalah memberikan
layanan daripada dilayani.

Dalam upaya ini, pemimpin informal memiliki motivasi


tinggi untuk segera mewujudkan hutan mangrove. Hal itu
tampak dari kegiatan yang dilakukannya dalam menjalankan
kepemimpinan, tidak disertai motif pribadi tertentu berupa motif
ekonomi atau politik. Niatnya tulus, ingin melindungi tanggul
tambak dengan tanaman mangrove.

279
Dalam kegiatan rehabilitasi hutan mangrove di Desa Pasar
Banggi, pemimpin informal mengemban tanggung jawab
besar, terkait kepentingan seluruh komunitas. Tanggung jawab
demikian tidak disertai dengan keinginan pribadi tertentu.
Misalnya, ingin menjadi kepala desa atau ingin menjadi
pemimpin partai politik. Dalam dirinya hanya ada niat tulus
dalam melakukan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove
bersama komunitas, yakni selalu memberikan layanan untuk
kepentingan terwujudknya hutan mangrove.

Selain itu, ia juga tidak memiliki ambisi pribadi, misalnya


menjadi kaya, terkenal, dan lain sebagainya. Ia berkeinginan
tulus agar tambak dapat terlindungi hutan mangrove, sehingga
anggota komunitas dapat melakukan budidaya. Dengan
budidaya, mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
dan meningkatkan kualitas hidup serta kesejahteraannya.

Selanjutnya, dalam mengendalikan proses pengembangan


komunitas melalui kegiatan rehabilitasi hutan mangrove, pe-
mimpin informal bertindak sebagai pelayan anggota komu-
nitas.141 Sebagai pelayan dalam menjalankan kepemimpinan-
nya terkait dengan proses pengembangan komunitas, ia
selalu meng utamakan kepentingan seluruh komunitas dan
lingkungan.

Pemimpin informal menerapkan kepemimpinan sebagai


pelayan dan bukannya sebagai orang yang minta dilayani.
Dengan selalu mengutamakan pemberian layanan maka
seluruh anggota komunitas mendukung kepemimpinannya.

141. Piels cks, 2000; Pa erson, 2003.

280
Suatu model kepemimpinan dari komunitas kecil yang
mengutamakan rasa cinta kasih, pemberian layanan, visioner
dalam mewujudkan masa depan komunitas, disertai dedikasi
tinggi, yakni mewujudkan hutan mangrove.

2. Aspek Eksternal,
Dukungan Anggota Komunitas
Pengembangan komunitas di komunitas pesisir Desa Pasar
Banggi Rembang berhasil mewujudkan hutan mangrove. Hal
tersebut bukan hanya dipengaruhi peran pentingnya pemimpin
informal dan aspek-aspek internal dalam dirinya semata dalam
menjalankan kepemimpinan. Aspek eksternal juga memberikan
kontribusi besar. Aspek eksternal tersebut berupa dukungan
atau partisipasi aktif dari anggota komunitas pada keseluruhan
kegiatan rehabilitasi hutan mangrove. Selain itu, dukungan
berbagai stakeholder yang ada di daerah sampai pemerintah
pusat juga memberikan kontribusi dalam kegiatan rehabilitasi
hutan mangrove.

Terjadinya partisipasi anggota komunitas tidak bisa di-


lepaskan dari peran yang dilakukan pemimpinnya. Keterlibatan
anggota komunitas secara aktif dalam kegiatan rehabilitasi
hutan mangrove tidak tumbuh dan berkembang dengan
sendiri. Partisipasi anggota komunitas memerlukan stimulasi
dari orang lain, terutama pemimpinnya.

Pada awal, kegiatan penanaman pohon mangrove dilaku-


kan seorang diri, dan setelah berhasil, kemudian mengajak
orang lain. Keterlibatan anggota komunitas dalam mendukung

281
kegiatan rehabilitasi hutan mangrove sangat dibutuhkan.
Hutan mangrove bukan hanya milik pribadi, melainkan juga
milik komunitas setempat. Untuk mewujudkan hal tersebut,
diperlukan dukungan dan partisipasi anggota komunitas.

Banyak kegiatan komunitas yang distimulasi oleh pihak


luar atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) tertentu dalam
melakukan perubahan sosial.142 Namun, di desa pesisir Pasar
Banggi, proses pengembangan komunitas yang terjadi disti-
mulasi atau diinisiasi oleh mereka sendiri, yakni oleh salah
seorang anggota komunitasnya.

Model dari bawah demikian lebih berhasil daripada hanya


mengandalkan program dari atas. Pengembangan komunitas
dalam bentuk kegiatan rehabilitasi ini merupakan bentuk dari
bawah dan bersifat lokal. Ife dan Tesoriero (2008) menjelaskan,
pengembangan komunitas dari bawah berbasis kearifan lokal.
Hal ini berkaitan dengan perkembangan secara alamiah dari
suatu ilmu pengetahuan, khususnya pengembangan komunitas
yang sedikit banyak dilandasi adanya pengaruh kuat dari
perspektif ekologis dan keadilan sosial. Pengembangan
komunitas yang terjadi di Desa Pasar Banggi dalam bentuk
rehabilitasi hutan mangrove merupakan salah satu model
pengembangan komunitas dari bawah dari perspektif ekologis
tersebut.

Model pengembangan komunitas dari bawah berbasis


kearifan lokal merupakan bentuk gagasan yang inti pemikiran-
nya adalah bahwa masyarakat atau seluruh komunitas harus

142. Grootaert, 1997.

282
mampu menetapkan kebutuhan mereka sendiri dan meng-
gunakan caranya sendiri untuk dapat memenuhinya ke-
butuhan sendiri yang diperlukan.143 Komunitas desa pesisir ini
merupakan komunitas yang hidup pada level paling bawah
dan merupakan kelompok komunitas yang memiliki kearifan
lokal. Berdasarkan kearifan lokal yang dimiliki, seluruh anggota
komunitas kemudian mendukung kegiatan rehabilitasi hutan
mangrove. Artinya, hutan mangrove merupakan kebutuhan
mereka dan menjadi ekologi yang dapat mendukung kehidupan
komunitas.

Selain itu, komunitas desa secara bersama mampu


membangun aset, sekaligus menggunakan segala aset
ekologis yang dimilikinya. Kegiatan yang dilakukan dalam
upaya meningkatkan kehidupan seluruh komunitasnya
merupakan pengembangan komunitas. 144 Semua kegiatan
terkait rehabilitasi hutan mangrove tersebut dapat disebut
sebagai bentuk pengembangan komunitas berbasis kearifan
lokal. Pengembangan komunitas berbasis kearifan lokal (local
wisdom) adalah suatu bentuk pengembangan komunitas yang
dilandasi keadaan dan kondisi lokal setempat.

Berdasarkan pengembangan komunitas berbasis kearifan


lokal ternyata berdampak positif bagi kehidupan komunitas,
yakni terjadinya akselerasi berbagai kegiatan komunitas serta
dapat meningkatkan kehidupan dan kesejahteraan seluruh
warga komunitas. Dengan kenyataan ini, seluruh komunitas

143. Sutomo, 2011.


144. Brokensha dan Hodge, 1969.

283
mendapatkan manfaat, baik langsung maupun tidak langsung,
sehingga mendukung dan berpartisipasi secara total dalam
kegiatan rehabilitasi hutan mangrove. Hal ini ditandai dengan
kapasitas anggota komunitas yang bertambah naik, yakni
bertambahnya aktivitas yang dilakukan anggota, baik laki-
laki maupun perempuan, dari pulihnya hutan mangrove dan
berfungsinya kembali tambak. Seluruh anggota komunitas pun
mendukung kegiatan pengembangan komunitas tersebut.

Tabel 5.1
Hasil Pengembangan Komunitas di Desa Pasar Banggi
Inputs Activities Outputs Interme- Outcomes
(Kegiatan) diate Out- (Hasil
comes Akhir)
(Hasil Se-
mentara)
Pulihnya Pariwisata Penyerapan Menam-
sumber- Tempat tenaga kerja bah peng-
daya alam penelitian Diversifikasi hasilan
(hutan pekerjaan
mangrove) Lestarinya Pening-
SDA sebagai katan
Terlindungi- Terwujud- aset komuni- Kesejah-
nya tanggul nya tas teraan
tambak dari budidaya dengan
abrasi dan bandeng, bertambah-
masuknya udang dan nya peng-
air laut ke pembua- hasilan ke-
tambak tan garam luarga dan
rakyat komunitas

284
Tersedianya Penang- Pengolahan Bertam- Berkurang-
biota laut kapan ikan, sumberdaya bah-nya nya migrasi
(udang, udang, dan menjadi dan
ikan, dan kepiting di bahan tersedia-
kepiting) sekitar hu- pangan nya
di sekitar tan mang- olahan dan berbagai
hutan rove dijual jenis
mangrove Pembuatan pekerjaan
dan laut makanan
sekitarnya dan
Tersedia- Pemanen- minuman Pelibatan
nya buah an buah dari buah tenaga
mangrove mangrove mangrove kerja
Pengolah- Pembibitan perem-
an buah mangrove puan
mangrove

Dukungan diberikan anggota komunitas terhadap proses


pengembangan komunitas, karena anggota komunitas
menilai bahwa hasil dari pengembangan komunitas tersebut
memberikan manfaat terhadap kehidupan mereka. Manfaat
yang dimaksud adalah terjadinya perluasan kesempatan
kerja, berusaha, dan dapat meningkatkan taraf hidup seluruh
komunitas.

Berdasarkan kenyataan tersebut, seluruh komunitas men-


dukung sepenuhnya kegiatan rehabilitasi hutan mangrove
dan berusaha menjaga kelestariannya. Dukungan anggota ko-
munitas terhadap pemimpinnya dalam proses pengembangan
komunitas memudahkan perwujudan visi dan misi komunitas,
yakni terlindunginya tanggul tambak dengan hutan mangrove.
Selain itu, apa yang dilakukan oleh seluruh komunitas telah

285
memberikan akselerasi dan diversifikasi munculnya berbagai
jenis pekerjaan.

Dengan pulihnya hutan mangrove, tambak terlindungi dari


abrasi, sumberdaya alam laut di sekitar mangrove pulih, dan
buah mangrove dapat memberikan peluang kerja bagi anggota
komunitas. Berbagai kunjungan komunitas peduli mangrove
untuk melakukan studi banding atau melakukan wisata pun
memberikan kesempatan kerja bagi anggota komunitas.

Selain itu, dengan pulihnya hutan mangrove, kondisi


tambak menjadi aman, sehingga anggota komunitas dapat
melakukan kegiatan budidaya ikan, udang, dan pembuatan
garam, tanpa khawatir hasil pekerjaannya terbawa air laut.
Hutan mangrove menyediakan berbagai sumberdaya alam di
sekitarnya, yakni udang, kepiting, dan sumberdaya laut lain
serta buah dari pohon mangrove.

Keberhasilan pengembangan komunitas tersebut akhir-


nya mendapat dukungan anggota komunitas sepenuhnya
dalam mewujudkan hutan mangrove. Tambak-tambak dapat
dibudidayakan secara intensif, sedangkan sumberdaya alam
lain dapat menambah variasi dan akselerasi berbagai kegiatan
komunitas. Dengan semakin intensif kegiatan komunitas, baik
kaum laki-laki dan kegiatan kaum perempuan, taraf kehidupan
warga komunitas dapat meningkat. Pada akhirnya, kehidupan
anggota komunitas secara keseluruhan lebih baik dan
meningkat taraf kesejahteraannya.

286
BAB 6
PENUTUP

Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove di komunitas Desa


Pasar Banggi merupakan bentuk pengembangan komunitas.
Hal ini didasarkan atas kenyataan yang ada bahwa kegiatan
tersebut merupakan inisiatif dari komunitas itu sendiri.

Didasari oleh adanya kerusakan tanggul tambak, sehingga


sumberdaya petani berupa tambak dan sumber daya alam
pesisir tidak dapat dimanfaatkan sebagai tempat budidaya.
Dengan iniasi, rencana, pelaksanaan, dan penjagaan sendiri
oleh seluruh anggota masyarakat maka pengembangan
komunitas demikian disebut sebagai model pengembangan
komunitas bottom-up.

Model pengembangan komunitas ini tidak datang dari


pemerintah atau lembaga swadaya tertentu, melainkan atas
kesadaran mereka sendiri mengenai kondisi lingkungan

287
sekitarnya. Rehabilitasi mangrove dapat melindungi aset ko-
munitas dan menghasilkan berbagai sumberdaya alam yang
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan seluruh komunitas yang
merupakan upaya seluruh masyarakat pesisir.

Proses pengembangan komunitas bottom-up mengguna-


kan potensi lokal atau berbasis kearifan lokal yang berlangsung
dalam kurun waktu panjang. Pengembangan komunitas ter-
sebut tidak dibatasi durasi waktu tertentu melainkan terus ber-
proses sampai sekarang. Dengan proses pengembangan komu-
nitas demikian juga disebut dengan indigenous community
development.

Proses pengembangan komunitas kemudian diikuti ter-


bentuknya lembaga lokal dan diakuinya pemimpin informal
komunitas. Pemimpin informal tumbuh dan berkembang me-
lalui proses pengembangan komunitas. Karena berasal dari
anggota komunitas sendiri. Pemimpin informal tersebut disebut
sebagai pemimpin akar rumput (grass-root leader).

Perannya dalam pengembangan komunitas, terutama dalam


kegiatan rehabilitasi hutan mangrove sangat penting, strategis,
dan menentukan keberhasilan rehabilitasi hutan mangrove
sampai mewujudkan hutan mangrove. pemimpin demikian
menjadi aktor utama dan faktor terpenting dalam mewujudkan
hutan mangrove. Bahkan menjadi ruh atau nyawa dari proses
pengembangan komunitas sejak awal sampai terwujudnya
hutan mangrove dan menjaga kelestariannya.

Perannya dapat menjadi agen perubahan sosial dan


stakeholder seluruh kegiatan rehabilitasi hutan mangrove. Selain

288
itu, dapat membangun modal sosial dengan merevitalisasi
nilai sosial-budaya dan lingkungan, membangun kepercayaan,
dan membangun jaringan sosial. Modal sosial tersebut di-
gunakan untuk mengorganisasi dan menggerakkan anggota
komunitas guna berpartisipasi dalam kegiatan rehabilitasi hutan
mangrove.
Dalam mengemban proses pengembangan komunitas,
terutama kegiatan rehabilitasi hutan mangrove, pemimpin infor-
mal dilandasi modal sosial pribadi, yakni memiliki komitmen
tinggi, bekerja tanpa mengenal lelah, serta selalu memberi
contoh atau teladan terhadap komunitasnya.
Sementara itu, dalam menerapkan kepemimpinannya,
mengutamakan cinta, kasih sayang, dan selalu memberikan
bantuan, sehingga anggota komunitas mau berpartisipasi
aktif, mendukung kegiatan pemulihan dan pelestarian hutan
mangrove. Dukungan komunitas disebabkan oleh hasil
kegiatan pengembangan komunitas yang sangat bermanfaat
bagi kehidupan seluruh anggota komunitas.
Secara teoretis, pelibatan pemimpin informal dalam proses
pengembangan komunitas dapat menambah konsep teoretis
model pengembangan komunitas yang ada. Model pengem-
bangan komunitas dengan pelibatan pemimpin informal demi-
kian dapat disebut sebagai strategi pengembangan komunitas
berbasis kearifan lokal. Karena, berbagai strategi pengem-
bangan komunitas yang ada belum menekankan pendekatan
bottom-up, menggunakan sumberdaya lokal.
Salah satu sumberdaya lokal tersebut adalah keberadaan
pemimpin informal komunitas. Pelibatan pemimpin informal

289
dalam pengembangan komunitas dapat menambah model
strategi pembangunan di perdesaan. Selama ini, pendekatan
pengembangan komunitas masih bersifat top-down, karena
terjadi atas stimulan pihak lain di luar komunitas. Pengembangan
komunitas banyak diinisiasi pemerintah, lembaga swadaya
masyarakat, atau lembaga sosial tertentu, kemudian melibatkan
pemimpin informal dan partisipasi anggota komunitas.
Model demikian tidak dapat dikatakan sebagai pendekatan
pengembangan komunitas bottom-up dan lebih cocok disebut
top-down. Pengembangan komunitas bottom-up merupakan
pendekatan pengembangan komunitas asli, karena diinisiasi,
dirancang, dilaksanakan, dievaluasi, dan hasilnya dijaga oleh
komunitas yang bersangkutan. Pendekatan pengembangan
komunitas tersebut dapat menambah teori pengembangan
komunitas sebagai suatu model indigenous community deve-
lopment strategy.

Hasil studi mengenai pengembangan komunitas ini mem-


punyai implikasi praktis, yakni terkait praktik pengembangan
komunitas yang selama ini dilakukan pekerja sosial komunitas.
Dalam praktik intervensi, pekerja sosial komunitas perlu me-
libatkan unsur lokal, yakni pemimpin informal, agar praktik
pengembangan komunitas yang dirancang dan diimplemen-
tasikan dapat mencapai keberhasilan. Pekerja sosial komunitas
harus berkolaborasi dengan pemimpin informal dalam me-
lakukan intervensi terhadap komunitasnya.

Melibatkan sumberdaya lokal yang berasal dari komunitas


lokal berarti memberikan peluang dan kesempatan komunitas
untuk menentukan nasibnya sendiri. Meskipun demikian, dapat

290
pula pekerja sosial komunitas bekerja sama dengan pemimpin
informal guna mengakselerasi proses pengambangan komunitas.
Banyak kasus terjadi, masyarakat baru tergerak jika ada pihak
luar yang memberikan stimulasi. Pekerja sosial dapat bekerja
sama dengan pemimpin informal untuk memberikan stimulasi
komunitas untuk menentukan tujuan pembangunan.

Saat ini, rasanya sulit muncul pemimpin informal yang


dilandasi kemampuan autodidak tertentu dan mampu meng-
inisiasi terjadinya pengembangan komunitas. Untuk mewujud-
kan hal tersebut, pemimpin informal di komunitas pesisir
dapat dimunculkan dengan adanya persiapan tertentu. Paling
tidak, untuk membangkitkan munculnya pemimpin informal
baru diperlukan pendidikan dan pelatihan tertentu. Dengan
model ini, diharapkan di antara anggota komunitas ada yang
mempunyai kapasitas (capacity building) untuk menjadi
pemimpin informal.

Selain itu, pelibatan pemimpin informal dalam proses


pengembangan komunitas haruslah dilakukan dalam konteks
pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, dalam aspek
kebijakan pemberdayaan masyarakat, harus menempatkan
pemimpin informal sebagai target yang harus dikembangkan
dan diperkuat dalam konteks peningkatan kesejahteraan
masyarakat pesisir. Dalam rangka pengembangan komunitas,
perlu ditumbuhkan dan diakselerasi munculnya pemimpin
informal komunitas baru, melalui berbagai pelatihan kete-
rampilan kepemimpinan dalam komunitas.

Secara praktis, hutan mangrove dapat digunakan sebagai


sistem sumber dari praktik pemecahan masalah komunitas.

291
Hal ini berkaitan dengan penggunaan sumberdaya lingkungan
sebagai aset yang dapat digunakan dalam memberikan
kontribusi terhadap pemecahan masalah sosial komunitas
pesisir. Sistem sumber ini sesuai dengan praktik pekerjaan
sosial komunitas dan perspektif kesejahteraan sosial yang
menggunakan pendekatan ekologi manusia (green social work
atau green social welfare). Para ahli di bidang kesejahteraan
sosial sekarang ini telah banyak menggunakan sistem sumber
dari aset komunitas buatan dan alamiah untuk meningkatkan
kesejahteraan sosial komunitas.

292
Daftar Pustaka

Abdoellah, O. S. (1997). Pemahaman Adaptasi Masyarakat


Transmigran, Pendekatan Antropologi Ekologi. Prisma. No.
7 Tahun XXVI Juli Agustus pp. 51 63.

Adam, R. (1996). Social Work and Empowerment. London:


MacMillan.

Adger, W. N. (2003). Social Capital, Collective Action, Adaptation


to Climate Change Journal of Economic Geography. 79(4)
387-404.

Adi, I. R. (1998). Community Action Sebagai Praktek Peng-


organisasian Masyarakat. (Studi Kasus pada WAHLI Jakarta).
Jakarta. Universitas Indonesia. Laporan Penelitian.

............... (2003). Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat


dan Intervensi Komunitas. Jakarta: Lembaga Penerbitan
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

293
................(2007). Perencanaan Partisipatoris Berbasis Aset
Komunitas, dari Pemikiran Menuju Penerapan. Jakarta: FISIP
UI Press.

Ajayi, A. R. & Otuya, N. (2006). Women Participation in Self-Help


Community Development Projects in Ndokwa Agricultural
Zone of Delta State, Nigeria. Community Develpment
Journal. Vol. 14(2) pp.189 -209.

Alperson, P. (2002). Diversity and Community. USA: Blackwell


Publishing. (E-books).

Anderson, H. A et al. (1993). Environmental Science. New York:


Macmillan Publishing Company.

Apriani, S. (2007). Analisis Sosial Ekonomi Pemanfaatan Ka-


wasan Hutan Lindung Mangrove dengan Sistem Tambak
Tumpangsari yang Berkelangsungan (Kasus: RPH Cibuaya,
BKPH Cikiong, KPH Purwakarta. IPB-Bogor: Bogor Resposi-
tory. http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/49578.
15 - September - 2012.

Atweell-Scrivner, J. (2010). Building Healthy Bridges: Informal


Leadership and Health Literacy. ProQuest Dissertations &
Theses. The Humanities and Social Sciences Collection.

Banyai, C. (2009). Community Leadership: Development and


The Evolution of Leadership in Himeshima. Juornal of
eContent Management Pty Ltd Rural Society. 19:3 pp.
241261

Banks, S. (2004). Managing Community Practice. Great Britain:


MPG Books, Bodmin.

294
Brokensha, D and Hodge, Peter (1969). Community Deve-
lopment, an Interpretation. Chicago: Chander Publising
Company.

Barker, R. L. (1995). The Social Work Dictionary. 3rd Edition.


Washington, DC.: National Association of Social Worker.

Barlan, Z. A. (2011). Pengaruh Pemimpin Lokal Ter ha dap


Keberhasilan Program Pembangunan (Studi Kasus :
Pembangunan Saluran Irigasi dan Sarana Mandi Cuci
Kakus (MCK) dalam Program Nasio nal Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan Desa Dramaga,
Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Disertasi. Bogor:
IPB. Fakultas Ekologi Manusia, Program Studi Komunikasi
dan Pembangunan Komunitas. http://repository.ipb.ac.id/
handle/123456789/51855, 17 September 2013

Beder, S. (1993). The Nature Of Sustainable Develop ment.


Newham Australia: Scribe Publications.

Bennet, J.W. (1976). The Ecological Transition, Cul tural


Anthroplogy and Human Action. New York: Pergamon.

Berkes, F. (2004). Rethinking Community-Based Conservation.


Journal Conservation Biology. Vol. 18. Issue 3. pp. 621-
630.

Bourdieu, P. (1986). The Form of Capital. in Richardson, J. G.


(Ed.). Handbook of Theory and Research for the Sociology
of Education. USA. New York: Greenwood Press. pp. 241-
258.

BPS Kabupaten Rembang, 17 Maret 2014.

295
Bramen, J. (2004) Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan
Kuantitatif. Samarinda: Penerbit Fakultas Tarbiyah IAIN
Antasari.

Brown, L. R. (1992). Tantangan Masalah Lingkungan Hidup.


Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Brown, R. H. (2007). Appropriate Technology and The Grass


Roots: Toward a Development Strategy From The Bottom
Up. Journal Developing Economy. Vol. 15 Issue 3 pp.
253-279.

Bungin, B. (edt). (2001). Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktu-


alisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer.
Jakarta: Raja Grafindo.

......(2001). Metodologi Penelitian Sosial: Format-format Kuan-


titatif dan Kualitatif. Surabaya: Airlangga University Press.

Burghardt, S. (2011). Macro Practice in Social Work for The 21st


Century. New York: Sage Publication.

Burt, R. S. (2005). Brokerage and Closure. Introduction to Social


Capital. England: Oxford University Press.

Chaskin, R. J. (2001). Building Community Capacity: A Defini-


tional Framework and Case Studies from a Comprehensive
Community Initiative. Journal Urban Affairs Review. January.
2001. Vol. 36. No. 3. pp. 291-323.

Chavis, D. M and Wandersman, A. 1990. Sense of Community


in the Urban Environment: A Catalyst for Participation and
Community Development. American Journal of Community
Psychology, Vol. 18, No. 1, 1990 p.55-81

296
Cie, Y; Wisudo, S. H.; Purbayanto, A. (2011). Partisipasi masya-
rakat nelayan dalam pemanfaatan Kawasan Mangrove
untuk perikanan tangkap di Halmahera Utara. Laporan
Penelitian. Bogor: IPB Scientific Repository. http://repository.
ipb.ac.id/handle/123456789/5394. 20 September 2012.

Coleman, J. S. (1988) Social Capital in The Creation


of Human Capital. American Journal of Sociology.
USA: University of Chicago. Dari: http://www.jstor.org/
discover/10.2307/2780243?uid. 1 September 2012

.............. (1990). Foundations of Social Theory. Cambridge, MA:


Harvard University Press.

Cramb, R. A. (2002). The Role of Traditional Institutions in


Rural Development: Community-Based Land Tenure and
Government Land Policy in Serawak, Malaysia. Journal of
World Development. Vol 18. Issue 3. pp. 347-360.

Creswell, J. W. (2010). Research Design, Pendekatan Kualitatif,


Kuantitatif, dan Mixied. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Cruikshank, B. (1994). The Will to Empower. Socialist Review,


23. pp. 29-55.

Dalimunthe, N. (2008). Partisipasi Masyarakat dalam Pe-


ngembangan Potensi Wisata Bahari Pantai Cermin Kabu-
paten Serdang Bedagai. LaporanPenelitian. Medan:
Lembaga Penelitian. http://repository.usu.ac.id/handle/
123456789/7119. 20 September 2012.

Darmaputera, E. (2004). Pemimpin Formal, Pemimpin Informal.


Harian Umum Sore Sinar Harapan. Jakarta: Sabtu, 03 Juli
2004. www.sinarharapan.com 1 Nopember 2012.

297
Delgado, M. (2000). Community Social Work Practice in an
Urban Context: The Potential of a Capacity-Enhancement
Perspective. England: Oxford University Press.

Dominelli, L. (2011). Climate Change: Social Workers role


and contributions to policy debates and interventions.
International Journal of Social Welfare. ISSN 1369-6866.
DOI: 10,111/j.1468-2397.2011,00795, X. Int J Soc Welfare
2011: 20; 430-438

Dongoran, R. A. (2010). Partisipasi Masyarakat Kabupaten


Simeulue Dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pasca
Tsunami. USU Medan: Laporan Penelitian.

Dupper, D. A. (2003). School Social Work: Skills and Interventions


for Effective Practice. USA. New Jersey: John Wiley and
Sons, Inc.

Eaton, J. W. (Ed). (1986). Pembangunan Lembaga dan Pem-


bangunan Nasional dari Konsep ke Aplikasi. Jakarta: UI
Press.

Elyas, S. (2011) Analisis Ekologis Komunitas Mangrove di Pesisir


Utara Propinsi Jawa Timur. Laporan Penelitian.

Erftemeijer, P. L. A. and Bualuang, A. (1998) Participation of


Local Communities in Mangrove Forest Rehabilitation in
Pattani Bay, Thailand: Learning from Successes and Failures.
In Strategies for Wise Use of Wetlands: Best Practices in
Participatory Management. Proceeding of a Workshop
held at the 2th International Conference on Wetlands and
Development (November 1998, Dakar, Senegal).

298
Esser, H. (2007). The Two Meaning of Social Capital in
Castiglione, D. Eds. (2008). The Handbook of Social Capital.
New York: Oxford University Press.
Etzioni, A. (1996). The Responsive Community: A communitarian
perspective. American Sociological Review, 61, pp. 1 -11.
Falmer, D. (2011). Insiders Voices: A Phenomelogical Study
of Informal Teacher Leadership From The Perspective of
Those Who Choose to Lead. Dissertation. USA: School of
Education, Indiana University of Pennsylvania.
Field, J. (2010). Modal Sosial. Bantul: Kreasi Wacana.
Fikriyani, M. dan Massadun (2014). Evaluasi Program Rehabilitasi
Mangrove di Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung
Kabupaten Demak. Jurnal Ruang. Volume 2 No. 1 Tahun
2014. Issn 1858 3881 pp. 381 - 390
Fitriani, N. (2010). Konservasi Hutan Mangrove Sebagai
Ekoswisata. Thesis. Surabaya: UPN. Faculty of Civil
Engineering and Planning. : http://www.upnjatim.ac.id 1
Nopember 2012
Foley, M. W. and Edwards, B. (1999). The Paradox of Civil
Society. Journal of Democracy. National Endowment for
Democracy and The John Hopkins University Press Da-
lam http://info.worldbank.org/etools/docs/library/108361/
session7k.pd 23 September 2012
Foster, M. (2008). Informal Leadership in Community-Driven
Development: Implications for Transformation. ProQuest
Dissertations and Theses. The Humanities and Social
Sciences Collection pg. n/a.

299
Foster-Bey, J. (1997). Bridging Communities: Making The
Link Between Regional Economies and Local Community
Development. Journal Stau. L. And Poly Review. Vol 8.2
No. 25. pp. 213 - 222

Ginting, R. (1999). Peranan Pemimpin Informal dalam Meng-


gerakan Partisipasi Masyarakat untuk Pembangunan Desa.
Thesis. Bogor: Perpustakaan IPB. http://repository.ipb.ac.id/
handle/123456789/1592 2 September 2012.

Gittell, R. and Vidal, A. (1998). Community Organizing. Building


Social Capital as a Development Strategy. USA: Sage
Publication, Inc.

Goffee, R. & Jones, G. (1983). Authentic Leadership: Excite


Others to Exceptional Performance. Leadership Excellence:
1-877-250.

Green, G. P. and Haines, A. (2007). Asset Building and


Community Development. 2nd edn. CA: Thousand Oaks,
Sage.

Greenberg, S. (1999). Building a People-Driven Rural Develop-


ment Strategy: Lesson from The RDI. In Cousin B. (Ed.)
Book chapter: Conference paper. At the crossroads: land
and agrarian reform in South Africa into the 21st century.
Papers from a conference held at Alpha Training Centre,
Broederstroom, Pretoria, South Africa: 26-28 July (1999)
pp. 361-382

Griffiths, H. (2012). The Training of Formal Community Leader,


In Australia Government: Department of Health and Aging.

300
Older People Building Better Communities Through Informal
Community Leadership. Australia: Productive Centre.
National Senior.

Groot, W.T. D. and Tadepally, H. (2006). Community Action


for Environmental Restoration: A Case Study on Collective
Social Capital in India. Journal Environmental Development
Sustainable. 10:519536 DOI 10.1007/s10668-006-9078-8

Grootaert, C. (1997). Social Capital: The Missing Link? Expanding


the Measure of Wealth Indicators of Environmentally
Sustainable Development. Vol. 6. Washington, DC: The
World Bank.

............... (1999). Local Institutions and Service Delivery in


Indonesia. Mimeo, Social Development Department.
Washington, DC: World Bank.

Guy, K.E. (2005). Informal Faculty Leadership in the Community


College: Characteristics and Behaviors, Areas of Influence,
and Contributing Circumstance. ProQuest Dissertations &
Theses. The Humanities and Social Sciences Collection.

Hall, K. (2010). The Roles, Practices and Capacities of Rural


Municipalities and Communities to Engage in Community
. ProQuest Dissertations and Theses. The Humanities and
Social Sciences Collection.

Hancock, G. (2008). School Leadership: A study investigating


how emergent formal school leaders understand and
collaboration. ProQuest Dissertations & Theses. The
Humanities and Social Sciences Collection.

301
Hanifan, L. J. in Arniel, B. (2006). Diverse Communities The
Problems With Social Capital. USA: Cambridge University
Press.

Hariyanto, R. (2008). Rehabilitasi Hutan Mangrove: Pelestarian


Ekosistem Pesisir Pantai dan Pemberdayaan Masyarakat
Pesisir. Semarang: UNDIP. Laporan Penelitian.

Harja, H. R. (2001). Partisipasi Masyarakat dalam Pelestarian


Hutan Mangrove (Studi kasus di Desa Durian dan Desa
Sidodadi Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Lampung
Selatan). Laporan Penelitian: http://repository.ipb.ac.id/
handle/123456789/4417. 10 September 2012.

Hartoko, A. (2001). Fungsi Ekologi, Ekonomi, dan Sosial Hutan


Mangrove. Laporan Penelitian. Semarang: Fakultas Ilmu
Perikanan dan Kelautan Universitas Diponegoro,

Hefietz, R. A. (1994). Leadership Without Easy Answers.


Cambridge, MA: Belknap Press/Harvard University Press.

Hidayat, Y. ; Riyanti, A.D. dan Hidayat, A. (2008). Peran Maha-


siswa Melalui Program Kuliah Kerja Nyata (KKN) Dalam
Usaha Reboisasi Hutan Mangrove di Kawasan Pesisir
Laporan Penelitian. Malang: Fakultas Perikanan, Universitas
Brawijaya.

Higham, P. (2006). Social Work: Introducing Professional


Practice. London: Sage Publication.

Homan, M. S. (2004). Promoting Community Change. Making


It Happen in The Real World. Third Edition. Australia:
Thomson.

302
Hoy, F. And Rowley, T. D. (1996). Entrepreneurship: A Strategy
for Rural Development. Rural Development Research: A
Foundation for Policy. pp. 29-46.

Huraerah, A. (2011). Pengorganisasian dan Pengembangan


Masyarakat, Model dan Strategi Pembangunan Berbasis
Kerakyatan. Bandung: Humaniora.

Hutapea, A.D. B. (2011). Partisipasi Masyarakat Dalam Pelestarian


Hutan Mangrove. Medan USU: Laporan Penelitian.

Ife, J. and Tesoriero, F. (2008). Community Development,


Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kantaprawira, R. (2009). Filsafat dan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial.


Bandung: Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) dan Puslit
P2W Lembaga Penelitian Unpad.

Kementrian Kehutanan Republik Indonesia (2006 dan 2010)


http://www.dephut.go.id/ Diakses, 12 September 2014.

Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia (2013 dan


2014). Berita Lingkungan Hidup. http://www.menlh.go.id/
penghargaan-lingkungan-pada-peringatan-hlh-sedunia-
tahun-2013/ diakses, Mei 2015.

Kenny, S. (2007). Developing Communities, For The Future,


Australia: Nelson Thomson.

Khandewal, A. K. (2007). Microfinance Development Strategy


for India. Journal of Economic and Political Weekly. Vol.
42, No. 13, Money, Banking and Finance. March-April. pp.
1127 - 1235.

303
Kilduff, M. and Tsai, W. (2003). Social Network and Organization.
London: Sage Publication.

Koens, J. F.; Perink, C. D. and Miranda, M. (2009). Ecotourism


as a Development Strategy: Experiences from Costa Rica.
Journal of Environment Development and Sustainability.
Vol. 11, No. 6 pp.1225 1237.

Korten, D. C. (1984). People Centered Development, Contri-


bution toward Theory and Planning Frameworks. USA.
Kumarian Press.

................ (1987). Third Generation NGO Strategies: A Key


to People-Centered Development. World Development
Pergamon Journals. Vol. 15 supplement. pp. 145 159.

Kouzes, J. M. & Posner, B. Z. (1988). Relating Leadership and


Credibility. Psychological Reports. 63, pp. 527 530.

Kusnadi (1997) Diversifikasi Pekerjaan di Kalangan Nelayan.


Prisma. No. 7 Tahun XXVI Juli Agustus.

.............. (2000). Nelayan Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial.


Bandung: Humaniora Utama Press.

.............. (2006). Filosofi pemberdayaan Masyarakat Pesisir.


Bandung: Humaniora Utama Press.

............... (2007). Jaminan Sosial Nelayan. Yogyakarta: LKiS


Pelangi Aksara.

Kusuma, C. (2010). Manajemen Hutan Mangrove di Indonesia.


Prosiding. Simposium Penerapan Ekolabel Hutan. Bogor:
IPB.

304
Lin, N. (2008). Social Capital: Theory and Research, New
Brunsevick, New Jersey: Transaction Publisher, Fourt
Printing.

Lincoln, Y. S. and Guba, E.G. (1985). Naturalistic Inquiry. Beverly


Hills: CA: SAGE.

Liu, A. Q. dan Besser, T. (2003). Social Capital and Participation


in Community Improvement Activities by Elderly Residents
in Small Towns and Rural Communities. Rural Sociology.
68.3. (Sep 2003): pp. 343 - 355.

Mahmud, A. (2007). Model Komunikasi Pembangunan Dalam


Penyediaan Prasarana Perdesaan di Kawasan Pesisir Utara
Jawa Tengah (Studi Kasus Desa Morodemak dan Purwosari
Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Masters Thesis. Semarang:
Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.

Mahmudi, M. (2010). Estimasi Produksi Ikan Melalui Nutrien


Serasah Daun Mangrove di Kawasan Reboisasi Rhizophora,
Nguling, Pasuruan, Jawa Timur. Jurnal Ilmu Kelautan (Indo-
nesian Journal of Marine Sciences) (ISSN 0853-7291).
Semarang: Marine Science Dept., Build. B, 2nd Fl., FPIK
Diponegoro University, Tembalang Campus.

Mardikanto, T. (1993). Penyuluhan Pembangunan Pertanian.


Surakarta: UNS Press.

Margareth, E. T. (2004). Kajian Peran Masyarakat Dalam Upaya


Pemulihan Mangrove di Kawasan Pertambakan Wilayah
Pesisir di Desa Dororejo Kecamatan Tayu Kabupaten
Pati. Thesis. Semarang: Program Pendidikan Pascasarjana
Universitas Diponegoro.

305
Mathie, A. And Cunningham, G. (2003). From Clients to Citizen:
Asset-Based Community Development as a Strategy for
Community-Driven Development. Journal Development in
Practice. Vol 13. Issue 5 pp. 474-486.
Maxwell, J. C. (2011). The 21 Indispensable Qualities of A
Leader. Surabaya: Mic. Publishing.
Mayo, M. (2002). Community Work in Christopher, H. and
Philpot, T. (Ed.) (2002). Practicing Social Work. London
and New York: Routladge.
McClleland, D. (1988). Human Motivation, USA: Cambridge
University Press dalam: http://www.newworldencyclopedia.
org/entry/David. 2 Nopemner 2012
Merlina, N. (2008). Sistem Kepemimpinan Pada Masyarakat
Kasepuhan Cicarucub, Kabupaten Lebak Banten. Jurnal
Penelitian. Volume 40. No. 2 Agustus 2008. pp. 641 - 676.
Mezirow, J. (2002). Learning to Think Like an Adult: Core
Concept of Transformastion Theory. In Mezirow, J &
Associates (ed.) Learning as Transformation (pp. 3 -33).
San Francisco: Jossey-Bass.
Midgley, J. (1995). Social Development : The Development
Perspective in Social Welfare (pp. 1- 36) London: Sage
Publication.
Midgley, J. and Conley, A. (2010). Social Work and Social
Development, Theories and Skills for Development Social
Work. England: Oxford University Press.
Moleong, L. J. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.

306
Monografi Desa Pasar Banggi. (2011).

Mulyana, D. (2003). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT


Remaja Rosdakarya.

Naryanto, H. S. (2009). Evaluasi Penataan Kawasan Aman


Akibat Bencana Tsunami Aceh 26 Desember 2004 Contoh
Kasus di Pantai Kota Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat.
Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia.Volume11,No.1.
http://ejurnal.bppt.go.id/index.php/jsti/issue/view/84 12
Septemeber 2012

Nazali, M. (2004). Startegi Pengelolaan Ekosistem Mangrove


Berbasis Partisipasi Masyarakat. Laporan Penelitian.

Netting, F. E. & Mary. (2003). Organization Practice. A Social


Workers Guide to Understanding Human Service. Boston,
New York, San Francisco: AB-Press.

Northouse, P. G. (2004). Leadership: Theory and Practice (Third


Edition). Thousand Oaks. CA: SAGE Publications.

Ozor, N. and Nwankwo, N. (2008). The Role of Local Leaders


in Community Development Programmes in Ideato Local
Government Area of Imo State: Implication of Agricultural
Extension Policy. Juornal of Agricultural Extension. Vol. 12
(2). p 62 75. Desember (2008).

Patterson, K. A. (2003). Servant Leadership: A Theoretical


Model. Dessertation. Regend University Virginia Beach.
V. A. https://regent.edu/acad/global/publications/bpc_
proceedings/2008/selfJesus leadership.pdf 12 Nopember
2013

307
Parrillo, V. N. (2002). Contemporary Social Problem. Fifth Edition.
Boston USA: Allyn and Bacon.
Parson, Talcott. 1970. The Social System, London: Routledge
and Kegan Paul.
Paryono, T. J. (1999). Kajian Ekonomi Pengelolaan Tambak di
Kawasan Mangrove Segara Anakan, Kabupaten Cilacap,
Jawa Tengah. Laporan Penelitian. http://repository.ipb.
ac.id/handle/123456789/27567. 22 September 2012.
Pattanaik, P.K. (2008). Rational Choice and Social Welfare.
Theory and Aplication. Berlin: Springer.
Patton, A. (2005). Efektivitas Pemimpin Informal di Daerah
Perbatasan Kabupaten Malinau Kalimantan Timur dengan
Serawak Malaysia Timur. Jurnal Aplikasi Manajemen.
Volume 3. Nomor 3. hlm. 287 293. Samarinda: FISIP
Universitas Mulawarman. Desember 2005.
Payne, M. (1997) Modern Social Work Theory. Second Edition,
Great Britain: Macmillan.
Peck, H. B.; Kaplan, S. R. and Roman, M. (2010). Prevention,
Treatment and Social Action: Strategy Intervention in a
Disadvantaged Urban Area. American Journal of Orthopsy-
chiatry. Vol. 36, Issue 1. pp. 57 69. March (2010).
Pescosolido, J. E. (2001). Informal Leader and The Development
of Group Efficacy. Small Group Research 32(1), pp. 74 93.
From ProQuest database.
Pielstick, C. D. (2000). Formal vs. Informal Leading: Comparative
Analysis. Journal of Leadership and Organization Studies.
7(3). p 99 -114.

308
Pirie, I. (2011). Theories of Social Capital. Journal Capital and
Class 35.2 pp. 328-330.

Perkins, J. M. (2011). With Justice for All: A Strategy for


Community Development. Amazon: Gospel Light
Publications.

Pertiwi, G. H. (2011). Evaluasi Ekonomi Ekosistem Hutan


Mangrove dan Peran Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan
Mangrove (Studi di Pancer Cengkrong Desa Karanggandu
Kecamatan Watulimo Kabupaten Trenggalek). Laporan
Penelitian.

Phillips, R and Pittman, R. H. (2009). An Introduction to Com-


munity Development. USA and Canada: Routledge.

Popple, K. (1996). Analysing Community Work, Its Theory and


Practice. Buckingham: Open University Press.

Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik


Universitas Padjadjaran. (2009). Panduan Penyusunan dan
Penulisan Tesis dan Disertasi.

Provianto, A. N. (2005). Pembangunan di Desa Sukokerto


Kecamatan Pajarakan Kabupaten Probolinggo. Thesis.
Malang: Universitas Muhammadiyah.

Pudjianto, K. (2009). Partisipasi Masyarakat Dalam Rehabilitasi


Hutan, Lahan dan Konservasi Sumber Daya Air di Sub
DAS Keduang, Daerah Hulu DAS Bengawan Solo. Thesis.
IPB Bogor: Agricultural University Scientific Repository.
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/43539 22
Nopember 21012.

309
Purwoko, A. (2008). Analisis Perencanaan Peruntukan dan
Pengelolaan Ekosistem Mangrove Untuk Pengembangan
Wilayah di Kawasan Pesisir Kabupaten Serdang Begedai.
Laporan penelitian. repository. usu.ac.id

Puryanti, R. (1999). Zonasi Ekoturisme Hutan Mangrove di


Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah. Thesis. Semarang:
Universitas Diponegoro.

Putnam, R. (1993). The Prosperous Community: Social Capital


and Public Life. Journal of American Prospect.

............... (1995). Bowling Alone: Americas Declining Social


Capital. Journal of Democracy. Dari http://www.google.co.id/
books. 23 Maret 2012

................. (2000). Bowling Alone: The Collapse and revival


of American Community. Journal of Polical Science and
Politics. pp . 43.

Rembang Dalam Angka (2012).

Raharjo, S.T. dan Nafisah, D. (2006). Analisis Pengaruh Gaya


Kepemimpinan Terhadap Kepuasan Kerja, Komitmen
Organisasi, dan Kinerja Karyawan. Jurnal Studi Manajemen
dan Organisasi. Volume 3, No. 2, Juli http://ejournal.undip.
ac.id/index.php/smo Diunduh, 07 Mei 2015.

Ritter, J. A. (2009). 101 Careers in Social Work. New York:


Springer Publishing Company.

Ritzer, G. (1990). Frontiers of Social Theory. New York: Columbia


University Press.

310
Rostiyati, A. (2009). Peranan Pemimpin Informal pada Masyarakat
Guradog. Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 1 No.2
Juni (2009).

Royse, D. (2011). Research Methods in Social Work. 6th Edition.


Australia: Books/Cole.

Rubin, A. dan Babbie, E. (1997). Research Methods for Social


Work. USA: Books/Cole Publishing Company.

Rubin, H. J. And Rubin, I. S. (2001). Community Organizing


and Development. Third Edition. Boston USA: Allyn and
Bacon.

Rusdianti, K. (2012). Konversi Lahan Hutan Mangrove serta


Upaya Penduduk Lokal dalam Merehabilitasi Ekosistem
Mangrove (Kasus Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu,
Kabupaten Indramayu, Jawa Barat). e-jurnal Vol 1 (2012).

Saefullah, A. D. (2008). Modernisasi Perdesaan. Dampak


Mobilitas Penduduk. Bandung: Asosiasi Ilmu Politik
Indonesia (Bandung).

Saru, A. (2009). Model Mitigasi Bencana Akibat Pengaruh


Sedimentasi Pantai Biringkasi Kabupaten Pangkep. Jurnal
Sains & Teknologi. Agustus (2009). Vol. 9 No. 2 hal. 106
114. ISSN 1411 4674.

Sarwono, W.S. 2005. Psikologi Sosial, Psikologi Kelompok dan


Psikologi Terapan. Jakarta: Balai Pustaka.

Scoot, J. (1978). Moral Ekonomi Petani. Jakarta: Yayasan Obor


Indonesia.

311
Schneider, J. A. (2006). Social Capital and Welfare Reform,
Organizations, Congregations, and Communities. New York:
Columbia University Press.

Sen, R. (2003). Stir It up: Lessons in Community Organizing


and Advocacy. San Francisco: Josey-Bass. Chardon Press
Series.

Shunnaq, M.; Schwab, W. A. and Reid, M. F. (2008). Community


Development Using a Sustainable Tourism Strategy: Case
Study of the Jordan River Valley Tourtway. International
Journal of Tourism Research. Vol. 10. Issue 1 pages 1-14
January-February (2008).

Simanjuntak, P. (2011). Pengetahuan Masyarakat Kampung


Nelayan Tentang Fungsi Dan Peran mangrove Di Pesisir
(Studi Deskriptif di Dusun XIV Kampung Nelayan Desa
Paluh Kurau (Batang Serai), Kecamatan Hamparan Perak,
Kabupaten Deli Serdang). Medan: USU. Laporan Penelitian.

Sirodj, A. G. (2009). Peran dan Posisi Kyai di Tengah Masyarakat


Pamekasan Madura. Thesis. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.

Soemarwoto, O. (1991). Ekologi, Lingkungan Hidup dan


Pembangunan. Jakarta: Djambatan.

Soetomo (2008). Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sudibyo, D. (2006). Pemberdayaan Informal Leader Terhadap


Partisipasi Masyarakat Dalam Pengembangan Pariwisata
Berkelanjutan. Jurnal Ilmiah Pariwisata. Juli 2006. Volume
11 No. 2.

312
Sulaksono, J. (2002). Peranan Pemimpin Informal dalam Ke-
berlanjutan Kelompok (Kasus : Gapoktan Ternak Domba
Mekar Jaya, Desa Kadipaten, Kecamatan Kadipaten, Kabu-
paten Majalengka, Propinsi Jawa Barat). Laporan Penelitian.
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/7074. 23
September 2012

Sulasmi, S. (2008). Pengaruh Kepemimpinan Membangun


Semangat Kerjasama Dengan Kebersamaan Visi Sebagai
Variabel Moderator. Surabaya: Majalah Ekonomi Tahun
XVIII, No.1 April 2008.hlm.35 53

Supriyanto. (2004). Hubungan Pemberdayaan dan Partisipasi


Masyarakat Dalam Rehabilitasi Hutan Mangrove di Desa
Jetis Kecamatan Nusawungu, Kabupaten Cilacap. Masters
Thesis. Semarang: Program Pendidikan Pascasarjana Uni-
versitas Diponegoro.

Suradisastra, K. dan Priyanto, D. (2011). Pemberdayaan Posisi


dan Peran Tokoh Tradisional Dalam Upaya Pengembangan
Ternak di Provinsi Banten. Jurnal: Wartazoa, Volume 21, No.
2, Tahun 2011, hlm. 51 59

Sutomo (2011). Pemberdayaan Masyarakat, Mungkinkah Muncul


Antitesisnya? Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tambunan, R. (2009). Pengelolaan Hutan Mangrove Di Kabu-


paten Asahan (Studi Kasus Partisipasi Masyarakat Dalam
Pengelolaan Hutan Mangrove Di Kecamatan Lima Puluh
Kabupaten Asahan). Medan: USU. Laporan Penelitian.

Taylor, J. (2008). Working With Communities in Health and Hu-


man Services. South Melbourne: Oxford University Press.

313
Telaumbanua, A. S. (2011). Persepsi dan Peran serta Anggota
Kelompok Tani terhadap Kegiatan Rehabilitasi Hutan
Mangrove (Studi Kasus pada Kelompok Tani Hutan Serai
Mangrove di Desa Paluh Kurau, Kecamatan Hamparan
Perak, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara). Medan:
USU. Laporan Penelitian.

Terry, R. G. (1977). Principles of Management. London: Sage


Publication Inc.

Tesoriero, F. (2010). Community Development: Community-


Based Alternatives in a Age of Globalization. Pearson
Australia: French Forest.

Tohani, E. (2012) Kapasitas Kultural Pemimpin Informal da-


lam Mewujudkan Masyarakat Harmonis. Jurnal Pem-
bangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi. Volume 1,
Nomor 1. http://journal.uny.ac.id/index.php/jppfa/ article/
download/1048/850 diakses, 06 Mei 2015.

Traynor, W. J. And Andors, J. (2005). Network Organizing: A


Strategy for Building Community Engagement. Working
Paper of Strategy Development: Executive director and
director of resource development at Lawrence Community
Works.

Tung, Y. L. 2007. Green Strategy of Development: Case Study


Urban Reseltlemen. A Dissertation . Presented to the School
of Education University of Southern California. In Partial
Fulfillment of the Requirements of the Degree Doctor of
Education.

314
Umairoh. (2010). Kajian Kelembagaan dan Persepsi Masyarakat
Dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove: Studi Kasus di
Desa Kayu Besar, Kecamatan Bandar Khalipah, Kabupaten
Serdang Bedahgai. Medan: USU. Laporan Penelitian.

United Nation Habitat: For a Better Urban Future. (2008).


Assets-Based Approaches to Community Development
and Capacity Buildin. Kenya-Nairobi

Usman, S. (2012). Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Wahyudin, Y. (2006). Within Community to Develop and


Manage Mangrove Forest Ecosystem (Indonesian).
Researcah Report. Bogor: IPB Center for Coastal and
Marine Resources Studies.

Walgito, B. (2002). Pengantar Psikologi. Yogyakarta: Penerbit


Andi Offset.

Washinton-Ottombre, C. (2010). The Role of Local Institutions


in Shaping Household Responses to Climate Change and
Variability: a Case Study along the Slopes of Mt. Kenya.
Purdue University Gradyate School West Lafayette, Indiana:
Thesis/Dissertation Acceptance.

Wihardandi, A. (2012). Hutan Mangrove Indonesia Terus


Terkikis Manusia. Sumber: http://www.mongabay.
co.id/2012/07/12/hutan-mangrove-indonesia-terus-terkikis-
manusia/#ixzz2AuQFfvCi 11 Nopember 2012.

Yuswadi, H. (2000). Resistensi Petani Jeruk di Kecamatan


Kencong Jember Sebagai Bentuk Perlawanan Kebijakan

315
Dari Atas (top-down). Disertasi. Surabaya: Universitas
Airlangga.

Zastrow, C. (2008). Introduction to Social Welfare Institutions,


Social Problems, Services, and Current Issues. Illinois: The
Dorsey Press Homewood

Zeuli, K. and Radel, J. (2005). Cooperative as a Community


Development Strategy: Linking Theory and Practice.
Journal of Regional Analysis and Policy. Vol. 35. No. 1.

Zhang, X. ; Shen, L. And Wu, Y. (2011). Green Strategy for


Gaining Competitive Advantagein Housing Development: A
China Study. Journal of Cleaner Production. Vol. 19. Issue
2 3. pp. 157 167. January-February (2011).

316
Tentang Penulis

Dr. Purwowibowo, M.Si.


Lahir di Trenggalek, 21 Februari
1959, penulis menyelesaikan
pendidikan S1 Program Studi Ilmu
Kesejahteraan Sosial (Community
Development) Universitas Jember
pada 1983. Lulus S2 Program Studi
Ilmu Lingkungan (Kekhususan
Human Ecology/Ekologi Manusia) Universitas Indonesia pada
1994, berlanjut menempuh S3 Pengembangan Komunitas
(Community Development) Universitas Padjadjaran (UNPAD)
Bandung dan lulus 2015.

Pelbagai riset, penulisan karya ilmiah, pengabdian kepada


masyarakat, dan menjadi pemakalah dalam seminar dilakoni
penulis sebagai bentuk pengakuan publik pada kompetensinya
memberi sumbangsih pada negeri ini.

Penulis dapat disapa melalui e-mail poerwowibowo@


yahoo.co.id.

317
Dr. Soni Akhmad
Nulhaqim, S.Sos., MSi
Staf Pengajar Jurusan Ilmu
Kesejahteraan Sosial Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Padjadjaran sejak
1994 dan Ketua Ikatan Pendidikan Pekerjaan Sosial Indonesia
(IPPSI) periode 2012-2014. Pria kelahiran Garut, 4 Februari
1968 ini sangat mencintai profesi pekerja sosial profesional.

318

Anda mungkin juga menyukai