Anda di halaman 1dari 9

ANALISIS KASUS TRANSFER PRICING PT.

ADARO INDONESIA
Posted on Desember 9, 2011 by heheoye

1. Adanya kasus transfer pricing antara PT. Adaro Indonesia dengan anak perusahaanya
yaitu Coaltrade services International Pte Ltd, telah menunjukan bahwa adanya indikasi
penyalahgunaan sistem harga transfer yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. Sistem
harga transfer sejatinya merupakan suatu harga jual khusus yang dipakai dalam
pertukaran antar divisional untuk mencatat pendapatan divisi penjual (selling division)
dan biaya divisi pembeli (buying divison) (Henry Simamora, 1999:272) serta terkadang
digunakan untuk mengevaluasi kinerja divisi dan memotivasi manajer divisi penjual dan
divisi pembeli menuju keputusan-keputusan yang serasi dengan tujuan perusahaan secara
keseluruhan. (Joshua Ronen and George McKinney, 1970:100-101). Namun praktik
yang dilakukan oleh perusahaan, khususnya perusahaan multinasional sering tidak sesuai
dengan apa yang seharusnya mereka lakukan atau tidak sesuai dengan mekanisme sistem
harga transfer yang sesungguhnya. Dimana perusahaan melakukan praktik transfer
pricing ini hanya untuk menghindari pungutan pajak dalam negeri supaya penghasilan
perusahaan atau pemegang saham menjadi lebih tinggi.

Menurut Zain (2003:297-298), kebijakan transfer pricing multinasional bertujuan:

1. Memaksimalkan penghasilan global


2. Mengamankan posisi kompetitif anak/cabang perusahaan dan penetrasi pasar
3. Evaluasi kenerja anak/cabang perusahaan manca negera
4. Penghidaran pengendalian devisa
5. Mengontrol kredibilitas asosiasi
6. Meningkatkan bagian laba joint ventura
7. Reduksi resiko moneter
8. Mengamankan cash flow anak/cabang di luar negeri

Menurut teori diatas seharusnya transfer pricing dilakukan untuk tujuan perusahaan Namun
dalam kasus Adaro ini praktik transfer pricingnya dilakukan untuk memfasilitasi para pemegang
saham untuk mendapatkan keuntungan sebesar besarnya, bukan untuk memfasilitasi perusahaan
mendapatkan keuntungan. Ketika para individu atau pemegang saham ini hanya memfokuskan
pada keuntungan individu tanpa memperhatikan keuntungan perusahaan, maka tujuan dari
dilaksanakanya sistem harga transfer inipun menjadi tidak bisa dicapai serta sistem harga transfer
yang dijalankan pun menjadi disfungsional.

Timpangnya harga transfer yang dilakukan antara Adaro dengan anak perusahaanya apabila
dibandingkan dengan harga pasar batubara secara internasionla sebenarnya juga telah melanggar
UU perpajakan yang berlaku di indonesia. Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perpajakan
No. 11 Tentang Pajak Pertambahan Nilai mengatur tentang transaksi yang berhubungan dengan
transfer pricing. Pasal ini berbunyi : Dalam hal harga jual atau penggantian dipengaruhi oleh
hubungan istimewa, maka harga jual atau penggantian dihitung atas dasar harga pasar wajar pada
saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak itu dilakukan. Oleh karena itu,
sebenarnya dibutuhkan peran langsung dari pemerintah untuk mencegah terjadinya kasus Adaro
ini di perusahaan-perusahaan besar di indonesia lainya. Apabila pemerintah kurang tanggap
dalam mengantisipasi praktik-praktik penyalahguanaan sistem harga tranfer ini maka sangat
wajar bila kedepanya pendapatan negara dari sektor pajak akan berkurang karena perusahaan-
perusahaan yang lain tentunya juga akan meniru cara yang dilakukan oleh PT. Adaro Indonesia.

Dalam hal ini, pemerintah seharusnya semakin ketat dalam melakukan pengawasan terhadap
sitem harga transfer yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di indonesia . Adanya berbagai
undang-undang yang mengatur mekanisme harga tranfer antar anak perusahaan yang masih
dalam satu grup perusahaan seharusnya bisa mempermudah pemerintah unutk mencegah kasus
adaro ini terulang. Keberadaan Undang-Undang Perpajakan No. 10 Tahun 1994 , Surat Edaran
Dirjen Pajak N0. SE-04/PJ.7/1993, dan undang- Undang lainya seharusnya bisa memberikan
kekuatan bagi pemerintah untuk melakukan pengawsan serta koreksi terhadap transaksi-transaksi
perusahaan yang menyalahi aturan. Ketika seluruh elemen baik itu elemen dari pemerintah,
ataupun perusahaan telah berkomitmen menjalankan kewajibanya masing-masing maka akan
sangat mmudah untuk mencegah sistem harga transfer yang dijalankan oleh perusahaan-
perusahaan di dalam negeri menjadi disfungsional serta mencegah praktik penghindaran pajak
yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dalam negeri melalu transaksi yang tidak wajar (non
arms length price).

Praktik penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dalam negeri memalaui
transaksi yang tidak wajar (non arms length price) misalanya seperti yang dilakukan PT
Adaro Indonesia telah memberikan efek negative bagi negara Indonesia, karena apabila
dibiarkan secara terus menerus akan menyebabkan negara menderita kehilangan pendapatan
pajak dengan jumlah yang cukup signifikan. Dari berkurangnya pendapatan pajak itu sendiri saja
sudah akan memberikan dampak bagi pertumbuhan ekonomi negara Indonesia, belum lagi
dampak-dampak tidak langsung yang kemudian muncul seperti berkurangnya dana untuk
pelayanan masyarakat, berkurangnya dana bantuan/ subsidi dari pemerintah. Selain dari
penghindaran pajak kerugian yang ditanggung oleh masyarakat Indonesia dari praktik semacam
ini dapat dikatakan tidak sebanding, karena masyarakat Indonesia yang dalam kasus contoh ini
juga diposisikan sebagai salah satu pasar target dari perusahaan tersebut hanya menjadi layaknya
sapi perah yang tidak mendapatkan imbalan.
Dugaan Praktek Transfer Pricing Adaro Sulit Dibuktikan
Alih Istik Wahyuni - detikFinance

Browser anda tidak mendukung iFrame


<a
href='http://openx.detik.com/delivery/ck.php?n=a3db6179&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUM
BER_HERE' target='_blank'><img
src='http://openx.detik.com/delivery/avw.php?zoneid=31&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUM
BER_HERE&amp;n=a3db6179' border='0' alt='' /></a>
Jakarta - Dugaan praktek transfer pricing (menjual di bawah harga pasar) Adaro diprediksi
akan sulit terungkap. Pasalnya, hingga kini Indonesia tidak punya standar harga batubara yang
umum digunakan.

Tidak adanya standar harga menyebabkan sulit menentukan apakah harga yang diberlakukan di
bawah standar atau tidak.

Demikian pernyatakan Ketua Presidium Masyarakat Pertambangan Indonesia Herman Afif


dalam jumpa pers di gedung Eka Karma, Senin (7/1/2008).

"Kita kan nggak punya standar harga batubara yang berlaku di pasar, jadi akan sulit," katanya.

Selain itu, menurut Herman, kontrak penjualan batubara biasanya dibuat untuk jangka panjang.
Jadi pengiriman saat ini bisa jadi berdasarkan kontrak bertahun-tahun lalu. Dimana harga
batubara belum setinggi sekarang.

"Jadi kalau dulu, beli dengan harga saat itu. Tapi kan siapa yang tahu kalau sekarang harga
batubara naik," katanya.

Jadi kalau sekarang harga batubara naik, merupakan risiko penjual. Sementara kalau harga
batubara ternyata turun setelah kontrak berjalan, itu merupakan risiko pembeli.

Transfer pricing merupakan praktek menjual produk ke perusahaan afiliasi dengan harga
dibawah standar harga pasar. Tapi kemudian produk itu dijual lagi ke pasar sesuai harga pasaran.

Dalam kasus ini, PT Adaro Indonesia diduga menjual batubara di bawah harga pasar ke
perusahaan afiliasinya di Singapura pada 2005 dan 2006. Tapi kemudian dijual lagi ke pasar
sesuai harga pasaran. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari royalti yang dibayarkan ke negara.

Masalah Adaro ini sudah menjadi perhatian Komisi VII DPR yang mendesak Departemen Energi
dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mengusut kasus ini. (lih/ir)

GRATIS! puluhan voucher pulsa! ikuti terus berita dari DetikFinance di Hape-mu.
ransfer Pricing menurut Ralph Estes dalam Kamus Akuntansi adalah suatu harga internal yang
dibebankan oleh satu unit ( seperti divisi, perusahaan anak, atau departemen ) dari suatu perusahaan,
kepada unit lainnya dalam perusahaan yang sama. Sedangkan Transaksi transfer pricing merupakan
transaksi yang terjadi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, sehingga harga yang
terjadi tidak bersifat arms length. Cenderung yang melakukan transfer pricing adalah perusahaan-
perusahaan multinasional yang bertujuan untuk penghindaran pajak dari produksi batu baranya,
sehingga berakibat berkurangnya atau hilangnya potensi penerimaan pajak yang seharusnya diperoleh.

PT ADARO INDONESIA (PT Adaro Energy Tbk) adalah perusahaan batubara kedua terbesar di Tanah Air
yang memiliki produk andalan Enviro Coal, batubara berkalori rendah dan ramah lingkungan.
Perusahaan yang punya cadangan batubara mencapai 928 juta ton dengan luas pertambangan 34.940
hektare ini sebelumnya dimiliki konglomerat Sukanto Tanoto. Tapi, akibat dijaminkan ke Deutcshe Bank,
perusahaan itu belakangan dibeli konsorsium pengusaha Indonesia dengan harga murah. Konsorsium
itu, di antaranya Edwin Soryadjaya, Sandiaga S Uno, Teddy Rachmat, dan Boy Garibaldi Thohir yang kini
jadi Dirut PT Adaro Indonesia.

PT Adaro Indonesia diduga telah melakukan penggelapan pajak dengan cara transfer pricing. Sebab,
Adaro telah melakukan manipulasi penggelapan pajak dengan transaksi jual beli batubara secara tidak
wajar (tidak sesuai dengan harga batubara pasaran Internasional) kepada perusahaanya Coaltrade
Services International Pte. Ltd asal Singapura.

Tujuh tahun silam, Adaro melakukan perjanjian dengan Coaltrade Services International Pte Ltd, sebuah
perusahaan kertas (paper company) di Singapura. Perjanjian itu menyatakan bahwa Adaro menjual
batubara per tahun dengan harga tertentu, di bawah harga yang berlaku di pasar. Coaltrade lalu
menjualnya dengan harga internasional. Yang dijual bukan sembarang batubara, melainkan batubara
bermutu tinggi.

Pada tahun 2005, Adaro menjual batubara ke perusahaan Coaltrade dari Singapura sebesar US$26 per
ton, sementara harga pasar US$48 per ton. Sedangkan pada 2006, Adaro menjual batubara ke Coaltrade
US$29 per ton, sementara harga internasional mencapai US$40 per ton. Dengan volume penjualan 2005
mencapai 26 juta ton lebih dan 2006 mencapai 34 juta ton, terdapat selisih antara harga jual ke
Coaltrade dan harga jual internasional masing-masing US$589,9 juta (Rp5,8 triliun dengan kurs rata-rata
2005 sebesar Rp9.800/US$) tahun 2005 dan US$363,1 juta (Rp3,3 triliun dengan kurs rata-rata 2006
Rp9.096/US$) tahun 2006.

Jika dihitung berdasarkan harga pasar, total pendapatan pada 2005 mestinya berjumlah US$ 1,287 miliar
dan 2006 US$ 1,371 miliar. Berarti, ada selisih penjualan Adaro dengan penjualan berdasarkan harga
pasar. Jika dirupiahkan mencapai Rp 9,121 triliun. Belum lagi kerugian negara dari potensi royalti 13,5%
yang nilai berkisar Rp 1,231 triliun.

Akibat transfer pricing yang terjadi pada tahun 2005-2006 lalu diperkirakan ada Rp 9 triliun dari hasil
penjualan yang disembunyikan. Sehingga kerugian negara terkait pajak dan royalti diperkirakan
mencapai Rp 4-5 triliun. Royalti adalah nilai yang harus dibayar sesuai harga jual. Adanya dugaan
transfer pricing yang memperkecil nilai jual mengakibatkan royalti yang harus dibayarkan otomatis juga
turun

Jika di lihat dari sisi hukum, penggelapan pajak karena transfer pricing itu telah menyimpang dari
ketentuan perpajakan yang berlaku, karena secara substansi negara seharusnya dapat mempajaki
perusahaan multinasional tersebut dalam jumlah yang lebih besar. Sehingga dengan demikian
perusahaan yang melakuhan hal tersebut akan dikenai sanksi pidana perpajakan, untuk Indonesia sesuai
dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 diatur dalam Pasal 39, bahwa perbuatan kriminal pajak
akan dikenai sanksi pidana penjara paling lama 6 ( enam ) tahun dan denda paling tinggi 4 ( empat ) kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Perbedaan antara penghindaran pajak dengan
penggelapan pajak sangat tipis dan dari sisi etika bisnis praktik transfer pricing dapat menimbulkan
moral hazard, karena bertentangan dengan ketentuan yang berlaku.

Selain tu, Pengadilan per-pajakan dinilai menjadi solusi komprehensif dalam menyelesaikan kasus-kasus
perpajakan, termasuk dugaan adanya transfer pricing-manipulasi pajak yang dilakukan sejumlah
perusahaan, juga kelompok usaha Asian Agri. Sebab masalah transfer pricing belum pernah diadili
secara pidana, karena sebenarnya tujuan pajak itu bukan menghukum orang tapi agar uang atau hak
negara tidak dimanipulasi. Di dalam Undang-Undang Perpajakan pasal 18 ayat 3 juga ditegaskan
masalah perpajakan bukan masuk dalam ranah pidana

Di dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.7/1993 tanggal 9 Maret 1993 berisi
panduan bagi aparat pajak untuk menangani transaksi transfer pricing atau yang mengandung indikasi
adanya transfer pricing dan bagaimana perlakuan perpajakannya.

Surat edaran ini memuat berbagai bentuk kekurang wajaran harga, biaya atau imbalan lain yang
direalisasikan dalam suatu transaksi usaha , seperti dalam penentuan :

Harga penjualan
Harga pembelian
Alokasi biaya administrasi dan umum ( overhead cost )
Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham ( share holder loan )
Pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa manajemen, imbalan atas jasa
teknik dan imbalan atas jasa lainnya
Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham ( pemilik ) atau pihak yang mempunyai hubungan
istimewa yang lebih rendah dari harga pasar
Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang/tidak mempunyai substansi
usaha ( misalnya dummy company, letter box company atau reinvoicing center )

Selain kasus transfer pricing, Adaro pun terlilit gugatan pengalihan saham yang dijaminkan ke Deustche
Bank untuk mendapatkan pinjaman US$ 100 juta. Berkaitan dengan itu, Direktorat Jenderal Geologi dan
Sumberdaya Mineral meminta direksi Adaro tidak melakukan pengalihan saham sampai gugatan
tersebut selesai.

Sebelumnya, kuasa hukum Beckkett Pte Ltd menuntut Bapepam-LK membatalkan penawaran umum
saham perdana (IPO) PT Adaro Energy Tbk, holding PT Adaro Indonesia. Tim kuasa hukum Beckett
berargumen, proses itu tidak layak karena kepemilikan saham PT Adaro Indonesia masih
dipersengketakan. Karena itu, pantaslah jika Bapepam mengerem langkah Adaro untuk menjual
sahamnya di lantai bursa. Sebab, jika dugaan itu terbukti dan Adaro harus membayar, para investorlah
yang akan dirugikan.

INILAH.COM, Jakarta Hak angket DPR-RI terkait dugaan transfer pricing Adaro adalah pintu masuk
menuju kasus serupa di perusahaan lain. Kasus seperti ini tak ubahnya puncak gunung es yang
menjadi contoh buruk bagi publik.
Anggota Komisi XI DPR Dradjad Hari Wibowo mengatakan, dampak kasus transfer pricing seperti
dilakukan PT Adaro Indonesia jelas sangat signifikan dari sisi penerimaan negara.
"Hak angket Adaro ini kunci bagi terbukanya pintu yang jauh lebih besar," papar Dradjad kepada
INILAH.COM di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Selasa (10/6). Ia meyakini transfer pricing banyak dilakukan
oleh perusahaan lain di Indonesia.
Setidaknya, 34 anggota DPR mendesak dilakukannya hak angket terhadap dugaan transfer pricing oleh
Adaro. Mereka mendesak Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK)
menunda pelaksanaan penawaran saham perdana (IPO) PT Adaro Energy Tbk, holding Adaro.
Negara diperkirakan telah dirugikan Rp 400 miliar per tahun. Transfer pricing diduga dilakukan dengan
menjual batubara kepada salah satu perusahaan terafiliasi dengan harga miring, yakni US$ 26 per ton
pada 2005 dan US$ 29 pada tahun berikutnya.
Dradjad juga mempersoalkan clearing tax versi pemerintah yang mengatakan kasus perpajakan Adaro
sudah selesai sesuai kebijakan sunset policy yang diterapkan Ditjen Pajak. Adaro hanya diwajibkan
membayar kekurangannya tanpa dikenai sanksi
"Itu kan versi pemerintah. BPK (Badan Pengawas Keuangan) belum tentu cocok dengan versi
pemerintah. DPR juga bisa saja tidak cocok, bahkan menemukan fakta-fakta lain," tandas Dradjad.
Alvin Lie, anggota DPR dari Fraksi PAN, mengatakan bahwa sejak 2001 Adaro mengikat perjanjian
dengan Coaltrade Services International Pte Ltd, perusahaan terafiliasi yang berbasis di Singapura.
Coaltrade tidak sekadar 'terafiliasi' dengan Adaro, tapi pemegang sahamnya pun sama. Alhasil, negosiasi
kontrak tidak dilakukan secara arms length (prinsip kewajaran) mengingat struktur kepemilikan saham
yang sama dengan Adaro sehingga kontrak yang berlaku sangat menguntungkan Coaltrade.
"Meski Singapura bukan merupakan tax haven country (negara yang memberikan perlindungan pajak),
rezim perpajakan di Singapura jauh lebih lunak dibandingkan dengan Indonesia," kata Alvin.
Menurut Alvin, Singapura hanya memungut 10% corporate income tax (PPh Badan), lebih rendah
dibandingkan PPh Badan yang berlaku di Indonesia. Karena itu, lanjut Alvin, negara dirugikan dari aspek
Pajak Penghasilan 30% dan royalti 13,5% dari selisih harga yang terjadi karena transfer pricing.
"Untuk setiap US$ 10 selisih harga dalam transfer pricing, kerugian negara tiap tahun akibat hilangnya
potensi Pajak Penghasilan mencapai Rp 4 triliun dengan asumsi US$ 1 sama dengan Rp 9.200," jelas
Alvin.
Berdasarkan perjanjian, Adaro menjual batubara berkalori tinggi kepada Coaltrade dengan harga fixed di
bawah harga internasional. Tapi, Coaltrade kemudian menjualnya sesuai harga internasional.
Berdasarkan perjanjian baru yang berlaku sejak Oktober 2005, Coaltrade setiap tahun berhak membeli
sampai 10 juta ton batubara dengan harga maksimum US$ 32 per ton. Padahal, di akhir 2007, harga
batubara telah menembus harga US$ 95 per ton.
Coaltrade adalah perusahaan yang didirikan pemegang saham Adaro dan hal itu dinilai anggota DPR
untuk mengelabui rezim perpajakan di Indonesia. Coaltrade adalah perusahaan kertas (paper company)
yang berfungsi mengeruk laba dengan membeli batubara dari Adaro.
Ade Daud Nasution, anggota Komisi VII Fraksi Partai Bintang Reformsi, mengatakan, bukti-bukti
dokumenter yang tersedia cukup meyakinkan bahwa praktik transfer pricing oleh Adaro menimbulkan
kerugian bagi negara.
Sayangnya, menurut Ade, instansi-instansi terkait seperti Kejaksaan Agung dan Direktorat Jenderal Pajak
belum menunjukkan kesungguhan dalam mengusut kasus ini. Apalagi, Adaro telah mengajukan kepada
Bapepam-LK untuk menjual sahamnya (Initial Public Offering/IPO) kepada masyarakat luas melalui Bursa
Efek Indonesia (BEI).
Jika saham telah dijual kepada publik dan di kemudian hari terbukti praktik transfer pricing merugikan
negara, Adaro bisa dikenai sanksi. Tapi, masyarakat luas sangat dirugikan. Kredibilitas pasar modal
Indonesia pun tercoreng. [E1/I3]

ANALISIS KASUS TRANSFER PRICING PT.


ADARO INDONESIA
Posted on Desember 9, 2011 by heheoye

1. Adanya kasus transfer pricing antara PT. Adaro Indonesia dengan anak perusahaanya
yaitu Coaltrade services International Pte Ltd, telah menunjukan bahwa adanya indikasi
penyalahgunaan sistem harga transfer yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. Sistem
harga transfer sejatinya merupakan suatu harga jual khusus yang dipakai dalam
pertukaran antar divisional untuk mencatat pendapatan divisi penjual (selling division)
dan biaya divisi pembeli (buying divison) (Henry Simamora, 1999:272) serta terkadang
digunakan untuk mengevaluasi kinerja divisi dan memotivasi manajer divisi penjual dan
divisi pembeli menuju keputusan-keputusan yang serasi dengan tujuan perusahaan secara
keseluruhan. (Joshua Ronen and George McKinney, 1970:100-101). Namun praktik
yang dilakukan oleh perusahaan, khususnya perusahaan multinasional sering tidak sesuai
dengan apa yang seharusnya mereka lakukan atau tidak sesuai dengan mekanisme sistem
harga transfer yang sesungguhnya. Dimana perusahaan melakukan praktik transfer
pricing ini hanya untuk menghindari pungutan pajak dalam negeri supaya penghasilan
perusahaan atau pemegang saham menjadi lebih tinggi.

Menurut Zain (2003:297-298), kebijakan transfer pricing multinasional bertujuan:


1. Memaksimalkan penghasilan global
2. Mengamankan posisi kompetitif anak/cabang perusahaan dan penetrasi pasar
3. Evaluasi kenerja anak/cabang perusahaan manca negera
4. Penghidaran pengendalian devisa
5. Mengontrol kredibilitas asosiasi
6. Meningkatkan bagian laba joint ventura
7. Reduksi resiko moneter
8. Mengamankan cash flow anak/cabang di luar negeri

Menurut teori diatas seharusnya transfer pricing dilakukan untuk tujuan perusahaan Namun
dalam kasus Adaro ini praktik transfer pricingnya dilakukan untuk memfasilitasi para pemegang
saham untuk mendapatkan keuntungan sebesar besarnya, bukan untuk memfasilitasi perusahaan
mendapatkan keuntungan. Ketika para individu atau pemegang saham ini hanya memfokuskan
pada keuntungan individu tanpa memperhatikan keuntungan perusahaan, maka tujuan dari
dilaksanakanya sistem harga transfer inipun menjadi tidak bisa dicapai serta sistem harga transfer
yang dijalankan pun menjadi disfungsional.

Timpangnya harga transfer yang dilakukan antara Adaro dengan anak perusahaanya apabila
dibandingkan dengan harga pasar batubara secara internasionla sebenarnya juga telah melanggar
UU perpajakan yang berlaku di indonesia. Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perpajakan
No. 11 Tentang Pajak Pertambahan Nilai mengatur tentang transaksi yang berhubungan dengan
transfer pricing. Pasal ini berbunyi : Dalam hal harga jual atau penggantian dipengaruhi oleh
hubungan istimewa, maka harga jual atau penggantian dihitung atas dasar harga pasar wajar pada
saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak itu dilakukan. Oleh karena itu,
sebenarnya dibutuhkan peran langsung dari pemerintah untuk mencegah terjadinya kasus Adaro
ini di perusahaan-perusahaan besar di indonesia lainya. Apabila pemerintah kurang tanggap
dalam mengantisipasi praktik-praktik penyalahguanaan sistem harga tranfer ini maka sangat
wajar bila kedepanya pendapatan negara dari sektor pajak akan berkurang karena perusahaan-
perusahaan yang lain tentunya juga akan meniru cara yang dilakukan oleh PT. Adaro Indonesia.

Dalam hal ini, pemerintah seharusnya semakin ketat dalam melakukan pengawasan terhadap
sitem harga transfer yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di indonesia . Adanya berbagai
undang-undang yang mengatur mekanisme harga tranfer antar anak perusahaan yang masih
dalam satu grup perusahaan seharusnya bisa mempermudah pemerintah unutk mencegah kasus
adaro ini terulang. Keberadaan Undang-Undang Perpajakan No. 10 Tahun 1994 , Surat Edaran
Dirjen Pajak N0. SE-04/PJ.7/1993, dan undang- Undang lainya seharusnya bisa memberikan
kekuatan bagi pemerintah untuk melakukan pengawsan serta koreksi terhadap transaksi-transaksi
perusahaan yang menyalahi aturan. Ketika seluruh elemen baik itu elemen dari pemerintah,
ataupun perusahaan telah berkomitmen menjalankan kewajibanya masing-masing maka akan
sangat mmudah untuk mencegah sistem harga transfer yang dijalankan oleh perusahaan-
perusahaan di dalam negeri menjadi disfungsional serta mencegah praktik penghindaran pajak
yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dalam negeri melalu transaksi yang tidak wajar (non
arms length price).

Praktik penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dalam negeri memalaui
transaksi yang tidak wajar (non arms length price) misalanya seperti yang dilakukan PT
Adaro Indonesia telah memberikan efek negative bagi negara Indonesia, karena apabila
dibiarkan secara terus menerus akan menyebabkan negara menderita kehilangan pendapatan
pajak dengan jumlah yang cukup signifikan. Dari berkurangnya pendapatan pajak itu sendiri saja
sudah akan memberikan dampak bagi pertumbuhan ekonomi negara Indonesia, belum lagi
dampak-dampak tidak langsung yang kemudian muncul seperti berkurangnya dana untuk
pelayanan masyarakat, berkurangnya dana bantuan/ subsidi dari pemerintah. Selain dari
penghindaran pajak kerugian yang ditanggung oleh masyarakat Indonesia dari praktik semacam
ini dapat dikatakan tidak sebanding, karena masyarakat Indonesia yang dalam kasus contoh ini
juga diposisikan sebagai salah satu pasar target dari perusahaan tersebut hanya menjadi layaknya
sapi perah yang tidak mendapatkan imbalan.

Anda mungkin juga menyukai