Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.
MANAJEMEN P2K
(SMT. 4)
Disusun oleh:
Nurholis :(20151221124)
Novia r. :(20151221 )
Sarwi :(20151221 )
Pada saat pertama kali didirikannya Pemerintahan Islam dapat dikatakan bahwa kondisi masyarakat
Madinah masih sangat tidak menentu dan memprihatinkan yang mengindikasikan bahwa negara tidak
dapat dimobilisasikan dalam waktu dekat. Oleh karena itu, Rasulullah harus memikirkan jalan untuk
mengubah keadaan secara perlahan-lahan dengan mengatasi berbagai masalah utama tanpa tergantung
pada faktor keuangan. Dalam hal ini, strategi yang dilakukan.
1. Membangun Masjid Utama Sebagai Tempat Untuk Mengadakan Forum Bagi Para Pengikutnya
Setibanya di kota Madinah, membangun masjid diperoleh dari sumbangan Abu Bakar r.a. yang membeli
tanah milik dua anak yatim piatu seharga sepuluh dinar. Selain sebagai tempat ibadah, masjid yang
kemudian hari dikenal sebagai masjid Nabawi ini juga berfungsi sebagai Islamic Centre.
Seluruh aktifitas kaum Muslimin dipusatkan di tempat ini, mulai dari pertemuan para anggota Parlemen,
Sekretariat Negara, Mahkamah Agung, Markas Besar Tentara, pusat pendidikan, dan pelatihan para juru
dakwah, hingga Baitul Mal. Yang juga tidak kalah menarik adalah, untuk memperkuat basis perubahan
sosial yang telah berjalan, Rasulullah saw melakukan proses transformasi ekonomi dengan menjadikan
masjid dan pasar sebagai sentral pembangunan negara. Rasul menyadari bahwa kegiatan ekonomi
merupakan bagian yang tidak boleh diabaikan.
Misi mulia Rasulullah saw di muka bumi adalah membangun masyarakat yang beradab. Rasulullah
menganjurkan agar manusia saling menghormati dan menyayangi dalam penyelenggaraan hidup sesuai
dengan al-Quran dan al-hadist. Ajaran Rasulullah saw di antaranya adalah menjadikan sebagai pribadi
bebas dalam mengoptimalkan potensi dirinya.
Dalam hal perekonomian Rasulullah telah mengajarkan transaksi-transaksi perdagangan secara jujur,
adil dan tidak pernah membuat pelanggannya mengeluh dan kecewa. Ia selalu memperhatikan rasa
tanggungjawabnya terhadap setiap transaksi yang dilakukan. Selain itu ada beberapa larangan yang
diberlakukan Rasulullah saw untuk menjaga agar seseorang dapat berbuat adil dan jujur, yaitu:
1) Larangan Najsy
Najsy adalah sebuah praktik dagang dimana seorang penjual menyuruh orang lain untuk memuji barang
dagangannya menawar barang dengan harga yang tinggi calon pembeli yang lain tertarik untuk membeli
barang dagangannya. Najsy dilarang karena menaikkan harga barang-barang yang dibutuhkan oleh para
pembeli.
Dari langkah-langkah yang dilakukan Rasulullah SAW sehingga terjadilah aktivitas mempersaudarakan
kaum ansar dan kaum muhajirin dengan menerapkan muzaraah, sehingga tumbuh mata pencaharian
baru bagi kaum muhajirin. Sampai akhirnya madinah dinyatakan tempat anti peanggaran antara dua
harrashnya ( daerah pegunungan berapi disekitar madinah ), padang rumputnya tidak boleh dipotong,
pepohonanya tidak boleh ditebang dan tidak boleh membawa senjata untuk perkelahian, kekerasan
ataupun peperangan ( M.A. sabzzhwari )
Perkembangan ekonomi islam menjadi suatu yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan sejarah
islam. Pemikiran islam diawali sejak Nabi Muhammad SAW dipilih sebagai Rasul. Rasulullah saw
mengeluarkan sejumlah kebijakan yang menyangkut berbagai hal yang berkaitan dengan masalah
kemasyarakatan, selain masalah hukum, politik, dan juga masalah perniagaan atau ekonomi . masalah-
masalah ekonomi umat menjadi perhatian utama Rasulullah saw, karena masalah ekonomi merupakan
pilar penyangga keimanan yang harus diperhatikan.
Pada zaman Rasulullah saw pemikiran dan mekanisme kehidupan politik dinegara islam bersumber dan
berpijak pada nilai-nilai aqidah.
Lahirnya kebijakan fiskal di dalam dunia islam dipengaruhi oleh banyak factor, salah satunya karena
fiskal merupakan bagaian dari instrument ekonomi public. Untuk itu factor-faktor seperti social, budaya
dan politik termasuk di dalamnya. Tantangan Rasulullah saw sangat besar dimana beliau dihadapkan
pada kehidupan yang tidak menentu baik dari kelompok internal maupun eksternal, dalam kelompok
internal Rasulullah saw harus menyelesaikan masalah bagaimana menyatukan antara kaum ansar dan
kaum muhajirin paska hijrah dari mekkah ke madinah. Sementara tantangan dari kelompo eksternal yaitu
bagaimana Rasul bisa mengimbangi ronrongan dari kaum kafir quraisy. Akan tetapi Rasulullah saw
dapat mengatasi semua permasalahanya berkat pertolongan Allah swt.
Di dalam sejarah islam keuangan publik berkembang bersamaan dengan pengembangan masyarakat
muslim dan pembentukan warga Negara islam oleh Rasulullah saw paska hijrah.
Melihat kondisi yang tidak menentu seperti ini, maka Rasulullah saw malakukan upya-upaya yang
dikenal dengan kebijakan fiskal . baliau sebagai pemimpin di madinah yaitu dengan melakukan unsure-
unsur ekonomi. Diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Sistem ekonomi
System ekonomi yang diterapkan Rasulullah saw berakar dari prinsip-prinsip qurani. Prinsip islam yang
paling mendasar yaitu kekuasaan tertinggi hanya milik Allah semata dan setiap manusia diciptakan
sebagai khalifahnya di muka bumi.
Dan disini ada beberapa prinsip-prinsip yang pokok tentang kebijakan ekonomi islam yang dijelaskan
Al-quran sebagai berikut :
a. Berdasarkan jenisnya
Pendapatan primer :
1. Ghanimah : pendapatan dari hasil perang.
2. Fai : harta peninggalan suku bani nadhir.
3. Kharaj : pajak atas tanah yang dipungut kepada non-muslim ketika khaibar dilakukan pada tahun ke-7
hijriyah, jumlah kharaj dari tanah tetap, yaitu setengah dari hasil produksi.
4. Waqf
5. Ushr : zakat dari hasil pertanian termasuk buah-buahan
6. Jizyah : pajak perkepala yang dipungut oleh pemerintah islam dari orang-orang yang bukan islam
sebagai imbalan bagi keamanan diri mereka.
Pendapatan sekunder :
1. Uang tebusan.
2. Pinjaman.
3. Amwal fadhla.
4. Nawaib.
5. Shodaqoh lain seperti qurban dan kaffarat.
6. Hadiah.
b. Berdasarkan sumbernya
Muslim : zakat, ushr, zakat fitrah, waqf, amwal fadhl, nawaib, shodaqoh lain, dan khums.
Non-muslim : jizyah, kharaj, ushr ( 5% )
Umum : ghanimah, fai, uang tebusan, pinjaman dari muslim atau non-muslim, dan hadiah dari
pemimpin atau pemerintah.
Primer :
- pembiayaan pertahanan, seperti persenjataan, unta, kuda, dan persediaan.
- Pembiayaan gaji untuk wali, qadi, guru, imam, muadzin, dan pejabat Negara lainya.
- Pembayaran upah kepada para sukarelawan.
- Pembayaran utang Negara.
Sekunder :
- Bantuan untuk orang belajar agama di madinah.
- Hiburan untuk delegasi keagamaan.
- Hiburan untuk para utusan suku dan Negara serta biaya perjalanan mereka.
- Pembayaran utang untuk orang yang meninggal dalam keadaan miskin.
- Pembayaran tunjangan untuk sanak saudara Rasulullah saw.
5. Baitul Maal
Baitul mal adalah lembaga ekonomi atau keuangan Syariah non perbankan yang sifatnya informal.
Disebu informal karena lembaga ini didirikan oleh Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang
berbeda dengan lembaga keuangan perbankan dan lembaga keuangan formal lainnya. Rasulullah mulai
melirik permasalahan ekonomi dan keuangan negara setelah beliau menyelesaikan masalah politik dan
urusan konstitusional di madinah pada masa awal hijriah.
Pertama kalinya berdirinyya baitul mal sebagai sebuah lembaga adalah setelah turunnya firman Allah
SWT di Badar seusai perang dan saat itu sahabat berselisih tentang ghonimah: Mereka ( para sahabat)
akan bertaanya kepadamu (Muhammad) tentang anfal, katakanlah bahwa anfal itu milik Allah dan
Rasul, maka bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan diantara sesamamu dan taatlah kepada
Allah dan RasulNya jika kalian benar-benar beriman. (QS. AL-ANFAL : 1).
Pada masa Rasulullah Saw Baitul mal terletak di masjid Nabawi yang ketika itu digunakakan sebagai
kantor pusat negara serta tempat tinggal Rasulullah. Binatang-binatang yang merupakan harta
perbendaharaan negara tidak disimpan di baitul mal akan tetapi binatang- binatang tersebut ditempatkan
di padang terbuka.
Pada zaman Nabi baitul mal belum merupakan suatu tempat yang khusus, hal ini disebabkan harta yang
masuk pada saat itu belum begitu banyak dan selalu habis dibagikan kepada kaum muslim, serta
dibelanjankan untuk pemeliharaan urusan negara. Baitul mal belum memiliki bagian- bagian tertentu dan
ruang untuk penyimpanan arsip serta ruang bagi penulis.
Adapun penulis yang telah diangkat nabi untuk mencatat harta antara lain:
1. Maiqip Bin Abi Fatimah Ad-Duasyi sebagai penulis harta ghonimah.
2. Az-Zubair Bin Al- Awwam sebagai penulis harta zakat.
3. Hudzaifah Bin Al- Yaman sebagai penulis harga pertanian di daerah Hijas.
4. Abdullah Bin Rowwahah sebagai penulis harga hasil pertanian daerah khaibar.
5. Al-Mughoirah subah sebagai penulis hutang- piutang dan iktivitaas muamalah yang dilakukan oleh
negara.
6. Abdullah Bin Arqom sebagai penulis urusan masyarakat kabila- kabilah termasuk kondisi
pengairannya.
Namun semua pendapatan dan pengeluaran negara pada masa Rosulullah tersebut belum ada pencatatan
yang maksimal. Keaadaan ini karena berbagai alasan:
2. Kepemilikan Tanah
Selama pemerintahan Khalifah Umar, wilayah kekuasaan Islam semakin luas seiring dengan
banyaknya daerah-daerah yang berhasil ditaklukkan, baik melalui peperangan maupun secara damai.
Hal ini menimbulkan berbagai permasalahan baru. Pertanyaan yang paling mendasar dan utama
adalah kebijakan apa yang akan diterapkan negara terhadap kepemilikan tanah-tanah yang berhasil
ditaklukkan tersebut.
Para tentara dan beberapa sahabat terkemuka menuntut agar tanah hasil taklukan tersebut dibagikan
kepada mereka yang terlibat dalam peperangan sementara sebagian kaum Muslimin yang lain
menolak pendapat tersebut. Muadz bin Jabal, salah seorang di antara mereka yang menolak,
mengatakan, Apabila engkau membagikan tanah tersebut, hasilnya tidak akan raenggembirakan.
Bagian yang bagus akan menjadi milik mereka yang tidak lama lagi akan meninggal dunia dan
keseluruhan akan menjadi milik seseorang saja.[7]
Mayoritas sumber pemasukan pajak al-kharaj berasal dari daerah-daerah bekas kerajaan Romawi
dan Sasanid (Persia) dan hal ini membutuhkan suatu sistem administrasi yang terperinci untuk
penaksiran, pengumpulan, dan pendistribusian pendapatan yang diperoleh dari pajak tanah-tanah
tersebut.
a. Wilayah Irak yang ditaklukkan dengan kekuatan menjadi milik Muslim dan kepemilikan ini
tidak dapat diganggu gugat sedangkan bagian wilayah yang berada di bawah perjanjian damai tetap
dimiliki oleh pemilik sebelumnya dan kepemilikan tersebut dapat dialihkan.
b. Kharaj dibebankan kepada semua tanah yang berada di bawah kategori pertama, meskipun
pemilik tanah tersebut memeluk agama Islam. Dengan demikian, tanah seperti itu tidak dapat
dikonversi menjadi tanah ushr.
c. Bekas pemilik tanah diberi hak kepemilikan selama mereka membayar kharaj dan jizyah.
d. Tanah yang tidak ditempati atau ditanami (tanah mati) atau tanah yang diklaim kembali
(seperti Bashra) bila diolah oleh kaum Muslimin diperlakukan sebagai tanah ushr.
e. Di Sawad, kharaj dibebankan sebesar satu dirham dan satu rafiz (satu ukuran lokal) gandum
dan barley (sejenis gandum) dengan asumsi tanah tersebut dapat dilalui air. Harga yang lebih tinggi
dikenakan kepada ratbah (rempah atau cengkeh) dan perkebunan.[8]
f. Di Mesir, berdasarkan perjanjian Amar, setiap pemilik tanah dibebankan pajak sebesar dua
dinar, di samping tiga irdabb gandum, dua qist untuk setiap minyak, cuka, madu, dan rancangan ini
telah disetujui oleh khalifah.
g. Perjanjian Damaskus (Syria) berisi pembayaran tunai, pembagian
tanah dengan kaum Muslimin, beban pajak untuk setiap orang
sebesar satu dinar dan satu beban jarib (unit berat) yang diproduksi
per jarib (ukuran) tanah.[9]
3. Zakat
Pada masa Rasulullah SAW, jumlah kuda di Arab masih sangat sedikit, terutama kuda yang dimiliki
oleh kaum Muslimin karena digunakan untuk kebutuhan pribadi dan jihad. Misalkan pada Perang
Badar, pasukan muslim yang jumlahnya 313 orang hanya memiliki dua kuda. Pada saat pengepungan
Bani Quraisy (5 A.H) pasukan muslim memiliki 36 kuda. Pada tahun yang sama, di Hudaybiyah
mereka mempunyai sekitar dua ratus kuda. Karena zakat dibebankan terhadap barang-barang yang
memiliki produktivitas, seorang budak atau seekor kuda yang dimiliki kaum Muslimin ketika itu
tidak dikenakan zakat.[10]
Pada masa Umar, Gubernur Thaif melaporkan bahwa pemilik sarang lebah tidak membayar ushr,
tetapi menginginkan sarang-sarang lebah tersebut dilindungi secara resmi. Umar mengatakan bahwa
bila mereka mau membayar ushr sarang lebah mereka akan dilindungi. Namun, jika menolak,
mereka tidak akan memperoleh perlindungan. Zakat yang ditetapkan adalah seperduapuluh untuk
madu yang pertama dan sepersepuluh untuk madu jenis kedua.[11]
4. Ushr
Sebelum Islam datang, setiap suku atau kelompok yang tinggal di pedesaan biasa membayar pajak
(ushr) jual-beli (maqs). Besarnya adalah sepuluh persen dari nilai barang atau satu dirham untuk
setiap transaksi.[12] Namun, setelah Islam hadir dan menjadi sebuah negara yang berdaulat di
Semenanjung Arab, nabi mengambil inisiatif untuk mendorong usaha perdagangan dengan
menghapus bea masuk antar provinsi yang masuk dalam wilayah kekuasaan dan masuk dalam
perjanjian yang ditandatangani oleh beliau bersama dengan suku-suku yang tunduk kepada
kekuasaannya. Secara jelas dikatakan bahwa pembebanan sepersepuluh hasil pertanian kepada
pedagang Manbij (Hierapolis).[13]
Menurut Saib bin Yazid, pengumpul ushr di pasar-pasar Madinah, orang-orang Nabaeteari yang
berdagang di Madinah juga dikenakan pajak pada tingkat yang umum, tetapi setelah beberapa waktu
Umar menurunkan persentasenya menjadi 5% untuk minyak dan gandum, untuk mendorong import
barang-barang tersebut di kota.[14]
8. Pengeluaran
Di antara alokasi pengeluaran dari harta Baitul Mal tersebut, dana pensiun merupakan pengeluaran
negara yang paling penting. Prioritas berikutnya adalah dana pertahanan negara dan dana
pembangunan.[19]
Seperti yang telah dijelaskan, Khalifah Umar menempatkan dana pensiun di tempat pertama dalam
bentuk rangsum bulanan (arzaq) pada tahun 18 H, dan selanjutnya pada tahun 20 H dalam bentuk
rangsum tahunan (atya). Dana pensiun ditetapkan untuk mereka yang akan dan pernah bergabung
dalam kemiliteran. Dengan kata lain, dana pensiun ini sama halnya dengan gaji reguler angkatan
bersenjata dan pasukan cadangan serta penghargaan bagi orang-orang yang telah berjasa.
Dana ini juga meliputi upah yang dibayarkan kepada para pegawai sipil. Sejumlah penerima dana
pensiun juga ditugaskan untuk melaksanakan kewajiban sipil, tetapi mereka dibayar bukan untuk itu.
Seperti halnya yang dilakukan oleh Rasulullah SAW., Khalifah Umar menetapkan bahwa negara
bertanggung jawab membayarkan atau melunasi utang orang-orang yang menderita pailit atau jatuh
miskin, membayar tebusan para tahanan Muslim, membayar diyat orang-orang tertentu, serta
membayar biaya perjalanan para delegasi dan tukar menukar hadiah dengan negara lain. Dalam
perkembangan berikutnya, setelah kondisi Baitul Mal dianggap cukup kuat, ia menambahkan
beberapa pengeluaran lain dan memasukkannya ke dalam daftar kewajiban negara, seperti memberi
pinjaman untuk perdagangan dan konsumsi.[20]
C. Sistem Ekonomi dan Fiskal Pemerintahan Khalifah Utsman ibn Affan
Pada masa pemerintahannya yang berlangsung selama 12 tahun, Khalifah Utsman ibn Affan berhasil
melakukan ekspansi ke wilayah Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari
Persia, Transoxania, dan Tabaristan. la juga berhasil menumpas pemberontakan di daerah Khurasan
dan Iskandariah.[21]
Pada enam tahun pertama masa pemerintahannya, Khalifah Utsman ibn Affan melakukan penataan
baru dengan mengikuti kebijakan Umar ibn Al-Khattab. Dalam rangka pengembangan sumber daya
alam, ia melakukan pembuatan saluran air, pembangunan jalan-jalan, dan pembentukan organisasi
kepolisian secara permanen untuk mengamankan jalur perdagangan. Khalifah Utsman ibn Affan juga
membentuk armada laut kaum Muslimin di bawah komando Muawiyah, hingga berhasil membangun
supremasi kelautannya di wilayah Mediterania, Laodicea dan wilayah di Semenanjung Syria, Tripoli
dan Barca di Afrika Utara menjadi pelabuhan pertama negara Islam. Namun demikian, pemerintahan
Khalifah Utsman ibn Affan harus menanggung beban anggaran yang tidak sedikit untuk memelihara
angkatan laut tersebut.[22]
Khalifah Utsman ibn Affan tidak mengambil upah dari kantornya. Sebaliknya, ia meringankan beban
pemerintah dalam hal-hal yang serius, bahkan menyimpan uangnya di bendahara negara.
Dalam hal pengelolaan zakat, Khalifah Utsman ibn Affan mendelegasikan kewenangan menaksir
harta yang dizakati kepada para pemiliknya masing-masing. Hal ini dilakukan untuk mengamankan
zakat dari berbagai gangguan dan masalah dalam pemeriksaan kekayaan yang tidak jelas oleh
beberapa oknum pengumpul zakat. Di samping itu, Khalifah Utsman berpendapat bahwa zakat hanya
dikenakan terhadap harta milik seseorang setelah dipotong seluruh utang-utang yang bersangkutan.
la juga mengurangi zakat dari dana pensiun.[23]
Memasuki enam tahun kedua masa pemerintahan Utsman ibn Affan, tidak terdapat perubahan situasi
ekonomi yang cukup signifikan. Berbagai kebijakan Khalifah Utsman ibn Affan yang banyak telah
menimbulkan benih kekecewaan yang mendalam pada sebagian besar kaum Muslimin. Akibatnya
pada masa ini, pemerintahannya lebih banyak diwarnai kekacauan politik yang berakhir dengan
terbunuhnya sang khalifah.[24]
D. Sistem Ekonomi dan Fiskal Pemerintah Khalifah Ali bin Abi Thalib
Masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang hanya berlangsung selama enam tahun selalu
diwarnai dengan ketidakstabilan kehidupan politik. Ia harus menghadapi pemberontakan Thalhah,
Zubair ibn Al-Awwam, dan Aisyah yang menuntut kematian Utsman ibn Affan. Sekalipun demikian,
Khalifah Ali ibn Abi Thalib tetap berusaha untuk melaksanakan berbagai kebijakan yang dapat
mendorong peningkatan kesejahteraan umat Islam.[25]
Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, prinsip utama dari pemerataan distribusi uang rakyat
telah diperkenalkan. Sistem distribusi setiap pekan sekali untuk pertama kalinya diadopsi. Hari kamis
adalah hari pendistribusian atau hari pembayaran. Pada hari itu, semua penghitungan diselesaikan
dan pada hari Sabtu dimulai penghitungan baru. Cara ini mungkin solusi yang terbaik dari sudut
pandang hukum dan kondisi negara yang sedang berada dalam masa-masa transisi. Khalifah Ali
meningkatkan tunjangan bagi para pengikutnya di Irak.[26]
Khalifah Ali memiliki konsep yang jelas tentang pemerintahan, administrasi umum dan masalah-
masalah yang berkaitan dengannya. Konsep ini dijelaskan dalam suratnya yang terkenal yang
ditujukan kepada Malik Ashter bin Harits. Surat yang panjang tersebut antara lain mendeskripsikan
tugas, kewajiban serta tanggung jawab para penguasa dalam mengatur berbagai prioritas pelaksanaan
dispensasi keadilan serta pengawasan terhadap para pejabat tinggi dan staf-stafnya; menjelaskan
kelebihan dan kekurangan para jaksa, hakim, dan abdi hukum lainnya.[27]
2) Kebijakan pajak
Penerapan kebijakan pajak yang dilakukan Rasulullah seperti Kharaj, khums, dan zakat menyebabkan
teciptanya Kestabilan harga dan mengurangi inflasi.
3) Anggaran pengaturan APBN yang dilakukan Rasululah cermat, efektif, dan efisien
menyebabkan jarang terjadinya defisit anggaran meskipun sering terjadi peperangan
4) Kebijakan fiskal khusus
Rasulullah menerapkan beberapa kebijakan fiskal secara khusus untuk pengeluaran Negara yaitu : menerima
bantuan kaum muslmin secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan pasukan muslim; meminjam peralatan
dari kaum non muslim secara Cuma-Cuma dengan jaminan pengembalian dan ganti rugi bila terjadi
kerusakan; meminjam uang dari orang-orang tertentu untuk diberikan kepada para muallaf, serta
menerapkan kebijakan insentif untuk menjaga pengeluaran dan meningkatkan partisipasi kerja dan produksi
kaum muslimin
Kebijakan Fiskal Abu Bakar As-Shiddiq adalah sebagai berikut: pada masa pemerintahan Abu Bakar As-
Shiddiq belum banyak perubahan dan inovasi baru yang berkaitan dengan sektor ekonomi dan keuangan
negara. Kondisinya masih seperti pada masa Rasulullah Saw. Kondisi ini dibentuk oleh konsentrasi Abu
Bakar untuk mempertahankan eksistensi Islam dan kaum Muslimin. Para sahabat masih terfokus untuk
memerangi mereka yang enggan membayar zakat setelah wafatnya Rasulullah dan memerangi yang murtad
dan gerakan nabi palsu.
Hasil pengumpulan zakat dijadikan sebagai pendapatan Negara dan disimpan dalam Baitul Mal untuk
langsung didistribusikan seluruhnya kepada kaum muslimin hingga tidak ada yang tersisa. Seperti halnya
Rasulullah Saw., Abu Bakar As-Shiddiq juga melaksanakan kebijakan pembagian tanah hasil taklukan yang
lain tetap menjadi tanggungan Negara dalam mendistribusikan harta Baitul Mal tersebut, Abu Bakar
menerapkan prinsip kesamarataan, yakni memberikan jumlah yang sama kepada semua sahabat Rasulullah
Saw
Dengan demikian, selama masa pemerintahan Abu Bakar, harta Baitul Mal tidak pernah menumpuk dalam
jangka waktu yang lama karena langsung didistribusikan kepada seluruh kaum muslimin. Sewaktu Abu
Bakar ash-Shiddiq wafat pun, hanya ditemukan satu dirham dalam perbendaharaan Negara.
Apabila pendapatan meningkat, seluruh kaum muslimin mendapat manfaat yang sama dan tidak ada seorang
pun yang dibiarkan dalam kemiskinan. Kebijakan tersebut berimplikasi pada peningkatan aggregate demand
dan aggregate supply yang pada akhirnya akan menaikkan total pendapatan nasional.
b. Khalifah Al-Mahdi
Pada masa pemerintahan khalifah Al-Mahdi, perekonomian negara mulai meningkat dengan peningkatan di
sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan, seperi emas, perak, tembaga, dan besi.
Di samping itu, jalur transit perdagangan antara Timur dan Barat juga banyak menghasilkan kekayaan.
Dalam hal ini, Bashrah menjadi pelabuhan yang penting.Dengan demikian, sektor-sektor perekonomian
yang menunjang kemakmuran Daulah Abbasiyah adalah pertanian, pertambangan, dan perdagangan.
Untuk meningkatkan sektor pertanian, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan yang menbela hak-hak
kaum tani, seperti peringanan beban pajak hasil bumi, penjaminan hak milik dan keselamatan jiwa,
perluasan lahan pertanian di setiap daerah, dan pembangunan berbagai bendungan dan kanal. Sementara
untuk meningkatkan sektor perdagangan, pemerintah membuat sumur-sumur, membangun tempat
peristirahatan para kafilah dagang, dan mendirikan berbagai armada dagang serta menjaga keamanan
pelabuhan dan pantai.
d. Abu Yusuf(113H-182H)
Kebijakan Fiskal Abu Yusuf akan dipaparkan sebagai berikut:
Berdasarkan hasil pengamatan dan penalarannya, Abu Yusuf menganalisa permasalahan-permasalahan
fiskal dan menganjurkan beberapa kebijakan bagi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Dalam perjalanannya, beliau menulis kitab yang berjudul al-Kharaj dan menjadi panduan dalam
pengelolaan keuanngan publik pada masa pemerintahan khalifah Harun ar-Rasyid.
1. Meletakkan dasar-dasar kebijakan fiskal yang berbasis pada keadilan dan maslahah
2. Mengklasifikasikan secara umum penerimaan negara pada 3 kategori utama,yaitu: ghanimah,usyur dan
kharaj yang pemungutannya memiliki aturan-aturan tersendiri
a. Ghanimah: Ghanimah yang didapat sebagai hasil pertempuran dengan pihak musuh maka harus dibagi
sesuai Al-quran surat Al-Anfal ayat 41 yaitu 1/5 atau 20% untuk Allah dan Rasulnya serta orang-orang
miskin dan kerabat,sedangkan sisanya untuk mereka yang ikut berperang.
b. Shadaqah/zakat: Diantara objek zakat yang jadi perhatiannya adalah zakat pertanian dan zakat dari hasil
mineral/barang tambang lainnya. Pada zakat pertanian jumlah pembayarannya yaitu 10% untuk tanah yang
tidak butuh banyak tenaga untuk persiapan sarana pertanian dan 5% untuk tanah yang memerlukan banyak
tenaga untuk penyiapan sarana pertanian,sedangkan pada zakat dari hasil mineral/barang tambang lainnya
tarifnya yaitu 1/5 atau 20% dari total produksi
c. Fay: Fay merupakan segala sesuatu yang dikuasai kaum muslimin dari harta orang kafir tanpa
peperangan,termasuk harta yang mengikutinya yaitu jizyah perorangan,kharaj tanah dari usyr dari
perdagangan.
Jizyah: Pemungutan jizyah dilakukan atas dasar prinsip keadilan,Beliau menasehati khalifah untuk
menunjuk seorang administrator yang jujur disetiap kota dengan asisten yang akan berhubungan langsung
dengan kepala dari komunitas zimmi untuk mengumpulkan pajak melalui mereka yang kemudian akan dikiri
ke perbendaharaan negara .
Usyr:(Bea cukai):Dalam pengumpulan Bea.Abu Yusuf mensyaratkan 2 hal yang harus dipertimbangkan
Barang tersebut harus merupakan barang yang diperdagangkan
Nilai barang yang dibawa tidak kurang dari 200 dirham
Tarif ini ditetapkan sesuai dengan status pedagang,,jika muslim dikenakan 2,5% dari total barang yang
dibawanya,sedangkan ahli zimmah dikenakan tarif 5%dan kafir harbi dikenakan 10%
Kharaj: kharaj hanya dikenakan pada tanah yang termasuk kedalam kategori kharajiyyah.Ada 2 metode
yang dilakukan dalam penilaian kharaj:
a. Metode Misahah: Metode penghitungan pajak yang didasarkan pada pengukuran tanah tanpa
memperhitungkan tingkat kesuburan tanah,sistem irigasi dan jenis tanaman,sistem ini kemudian ditolak dan
digantikan dengan sistem Muqasamah.
b. Metode Muqasamah: Dalam metode ini,para petani dikenakan pajak dengan menggunakan rasio tertentu
dari total produksi yang mereka hasilkan,sesuai dengan jenis tanaman,sistem irigasi,dan jenis tanah
pertanian
Abu Yusuf merekomendasikan tarif yang berbeda dengan mempertimbangkan sistem irigasi yang digunakan
yaitu:
40% dari produksi yang diirigasi oleh hujan alami
30%dari produksi yang diirigasi oleh hujan buatan,dan
1/4dari produksi panen musim panas
3. Kepemilikan Negara
Kebijakan fiskal islam tentang kepemilikan tanah di wilayah Arab atau bagian negara lain yang tidak
dimiliki oleh siapapun adalah tanah tersebut akan tetap dikuasai oleh negara. Negara berhak untuk
memberikan tanah tersebut kepada seorang untuk dikelola dan memberikan pendapatan bagi negara melalui
pajak tanah. Pemungutan pajak dari tanah-tanah tersebut dibedakan berdasarkan sistem irigasi, atau
ditentukan sendiri oleh khalifah.
4. .Administrasi Kharaj: Dalam hal pemungutan pajak/kharaj,Abu Yusuf tidak menyetujui sistem taqbil dan
menggantinya dengan Departemen khusus dan pemerintah untuk mengatasi permasalahan pajak/kharaj.
Karena dikhawatirkan adanya penyimpangan yang akan terjadi demi memenuhi kepentingan pribadi.
f. Al-Ghazali (1055-1111)
Kebijakan Fiskal Al-Ghazali antara lain yaitu:
Al-Ghazali menekankan bahwa negara memiliki peranan penting dalam menjalankan aktivitas ekonomi dari
suatu masyarakat dengan baik dan juga dalam memenuhi kewajiban sosialnya. Ia menitikberatkan bahwa
untuk meningkatkan kemakmuran ekonomi, negara harus menegakkan keadilan, kedamaian, dan keamanan
serta stabilitas. Ia menekankan perlunya keadilan, serta aturan yang adil dan seimbang. Negara juga
memerlukan badan pengawas yang berfungsi mengawasi praktik-praktik pasar yang merugikan
Menurut al-Ghazali, apabila keadaan negara sedang sangat membutuhkan tentara untuk menjaga dan
melindungi wilayahnya dari segala macam ancaman, sementara perbendaharaan negara tidak mencukupi
maka pemerintah boleh memungut pajak atas rakyatnya yang mampu. Kebijakan ini hanya berlaku pada
kondisi terdesak saat kas negara kosong. Untuk itu diperlukan sebuah pemerintahan yang kredibel.
h.Ibnu Taimiyah(661-728H)
Ibnu Taimiyah sangat jelas memegang pentingnya kebijakan moneter bagi stabilitas ekonomi,maka untuk
menjaga kestabilan tersebut yang harus dilakukan menurutnya adalah:
Negara bertanggung jawab untuk mengontrol ekspansi mata uang dan untuk mengawasi penurunan nilai
uang yang keduanya dapat mengakibatkan ketidakstabilan ekonomi
Negara harus sejauh mungkin menghindari anggaran keuangan yang defisit dan ekspansi mata uang yang tak
terbatas,sebab akan mengakibatkan timbulnya infasi dan menciptakan ketidakpercayaan publik atas mata
uang yang bersangkutan
i. Pemikiran Kaum Skolastik(1206/1270-1280M)
Ciri utama dari aliran pemikiran ekonomi Scholastik (scholasticism) adalah kuatnya hubungan antara
ekonomi dengan masalah etis serta besarnya perhatian pada masalah keadilan. Hal ini karena ajaran-ajaran
Scholastik mendapat pengaruh yang sangat kuat dari ajaran gereja. Ada dua orang tokoh utama aliran in
yaitu Albertus Magnus (1206-1280) dan St. Thomas Aquinas (1225-1274). Albertus Magnus adalah seorang
filsuf-religius dari Jerman. Salah satu pandangannya yang terkenal adalah pemikirannya tentang harga yang
adil dan pantas. (just price),yaitu harga yang sama besarnya dengan biaya-biaya dan tenaga yang
dikorbankan untuk menciptakan barang tersebut.
Tokoh kedua, yang dikenal lebih luas, Thomas Aquinas, adalah seorang teolog dan filsuf Italia. Selain
pengikut Albertus Magnus, ajaran-ajaran Thomas Aquinas dipengaruhi oleh Aristoteles serta ajaran Injil.
Dalam bukunya "Summa Theologica", Aquinas menjelaskan bahwa memungut bunga dari uang yang
dipinjamkan adalah tidak adil, sebab ini sama artinya menjual sesuatu yang tidak ada.
Kebijakan Moneter
Sejalan dengan apa yang dikemukakan Al-ghazali,Ibnu Khaldun menyatakan bahwa uang tidak harus
mengandung emas dan perak,hanya saja emas dan perak dijadikan standard nilai uang,sementara pemerintah
menetapkan harganya secara konsisten.
Mengenai nilai tukar mata uang,Ibnu Khaldun menyatakan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan
oleh banyaknya uang yang beredar di negara tersebut tetapi oleh tingkat produksi dan neraca pembayaran
yang positif,sehingga bila kemampuan produksinya menurun,maka nilai uangnya menurun dan harga secara
berkesinambungan akan meningkat dan pada kondisi ini inflasi terjadi
k.Al-Maqrizi (1364-1441M)
Kebijakan Moneter Al-Maqrizi antara lain:
Menurut Al-Maqrizi,mengindikasikan bahwa mata uang yang dapat diterima sebagai standard nilai,baik
menurut hukum,logika,maupun tradisi hanya yang terdiri dari emas dan perak,oleh karena itu mata uang
yang menggunakan bahan selain keduanya tidak layak disebut sebagai mata uang.
Kebijakan menciptakan fulus secara besar-besaran menurut Al-Maqrizi sangat mempengaruhi penurunan
nilai mata uang secara drastis,Akibatnya uang tidak lagi bernilai dan harga-harga melambung tinggi yang
pada gilirannya menimbulkan kelangkaan bahan makanan.
Al-Maqrizi menyatakan bahwa penciptaan mata uang dengan kualitas yang buruk akan melenyapkan mata
uang yang berkualitas baik.Menurut Al-Maqrizi,pencetakan mata uang harus disertai dengan perhatian yang
lebih besar dari pemerintah untuk menggunakan mata uang tersebut dalam bisnis selanjutnya dan hal ini
tidak boleh diabaikanDalam hal pajak,Al-Maqrizi melarang pemerintah yang menerapkan sistem perpajakan
yang menindas rakyat dengan memberlakukan berbagai pajak baru serta menaikkan tingkat pajak yang telah
5) KEBANGKITAN STUDI EKONOMI ISLAM
Baru tiga dasawarsa menjelang abad 21, muncul kesadaran baru umat Islam untuk mengembangkan
kembali kajian ekonomi syariah. Ajaran Islam tentang ekonomi, kembali mendapat perhatian serius dan
berkembang menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Pada era tersebut lahir dan muncul para ahli
ekonomi syariah yang handal dan memiliki kapasitas keilmuan yang memadai dalam bidang muamalah.
Sebagai realisasi dari ekonomi syariah, maka sejak tahun 1975 didirikanlah Internasional Development
Bank ( IDB ) di Jeddah. Setelah itu, di berbagai negara, baik negeri- negeri muslim maupun bukan,
berkembang pula lembaga lembaga keuangan syariah.
Sekarang di dunia telah berkembang lebih dari 400an lembaga keuangan dan perbankan yang tersebar di
75 Negara, baik di Eropa, Amerika, Timur Tengah maupun kawasan Asia lainnya. Perkembangan aset
aset bank mencatat jumlah fantastis 15 % setahun. Kinerja bank bank Islam cukup tangguh dengan
hasil keuntungannya di atas perbankan konvensional. Salah satu bank terbesar di AS, City Bank telah
membuka unit syariah dan menurut laporan keuangan terakhir pendapatan terbesar City Bank berasal
dari unit syariah. Demikian pula ABN Amro yang terpusat di Belanda dan merupakan bank terbesar di
Eropa dan HSBC yanag berpusat di Hongkong serta ANZ Australia, lembaga-lembaga tsb telah
membuka unit-unit syariah.
Dalam bentuk kajian akademis, banyak Perguruan Tinggi di Barat dan di Timur Tengah yang
mengembangkan kajian ekonomi Islam,di antaranya, Universitas Loughborough Universitas Wales,
Universitas Lampeter di Inggris. yang semuanya juga di Inggris. Demikian pula Harvard School of Law,
(AS), Universitas Durhem, Universitas Wonglongong Australia, serta lembaga populer di Amerika
Serikat, antara lain Islamic Society of north America (ISNA). Kini Harvard University sebagai
universitas paling terkemuka di dunia, setiap tahun menyelenggrakan Harvard University Forum yang
membahas tentang ekonomi Islam.