Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM

MANAJEMEN P2K

(SMT. 4)

Disusun oleh:

Nurholis :(20151221124)

Nuzulul rohmatu s. :(20151221146)

Novia r. :(20151221 )

Sarwi :(20151221 )

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA


PEMBAHASAN
SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM

Pengertian Ekonomi Islam


Menurut Muhammad Najatullah Ash-shiddiqy pemiiran ekonomi islam adalah respon para pemikir
muslim terhadap tantangan-tantangan ekonomi pada masa mereka. Pemikiran ekonomi tersebut diilhami dan
dipandu oleh ajaran Al-quran sunnah, ijtihad (pemikiran) dan pengalaman empiris mereka. Objek kajian
dalam pemikiran ekonomi islam bukanlah ajaran tentang ekonomi, tetapi pemikiran para ilmuan islam
tentang ekonomi dalam sejarah atau bagaimana mereka memahami ajaran Al-quran dan sunnah tentang
ekonomi. Objek pemikiran ekonomi islam juga mencakup bagaimana sejarah ekonomi islam yang terjadi
dalam praktik historis

1) SEJARAH PERTUMBUHAN EKONOMI ISLAM PADA MASA AWAL


PEMERINTAHAN ISLAM

Pada saat pertama kali didirikannya Pemerintahan Islam dapat dikatakan bahwa kondisi masyarakat
Madinah masih sangat tidak menentu dan memprihatinkan yang mengindikasikan bahwa negara tidak
dapat dimobilisasikan dalam waktu dekat. Oleh karena itu, Rasulullah harus memikirkan jalan untuk
mengubah keadaan secara perlahan-lahan dengan mengatasi berbagai masalah utama tanpa tergantung
pada faktor keuangan. Dalam hal ini, strategi yang dilakukan.

1. Membangun Masjid Utama Sebagai Tempat Untuk Mengadakan Forum Bagi Para Pengikutnya
Setibanya di kota Madinah, membangun masjid diperoleh dari sumbangan Abu Bakar r.a. yang membeli
tanah milik dua anak yatim piatu seharga sepuluh dinar. Selain sebagai tempat ibadah, masjid yang
kemudian hari dikenal sebagai masjid Nabawi ini juga berfungsi sebagai Islamic Centre.

Seluruh aktifitas kaum Muslimin dipusatkan di tempat ini, mulai dari pertemuan para anggota Parlemen,
Sekretariat Negara, Mahkamah Agung, Markas Besar Tentara, pusat pendidikan, dan pelatihan para juru
dakwah, hingga Baitul Mal. Yang juga tidak kalah menarik adalah, untuk memperkuat basis perubahan
sosial yang telah berjalan, Rasulullah saw melakukan proses transformasi ekonomi dengan menjadikan
masjid dan pasar sebagai sentral pembangunan negara. Rasul menyadari bahwa kegiatan ekonomi
merupakan bagian yang tidak boleh diabaikan.

2. Merehabilitasi Muhajirin Mekkah di Madinah


Tugas kedua Rasulullah adalah memecahkan permasalahan Muhajirin (pengungsi dari Mekkah) yang
hanya membawa sedikit persediaan baik yang sudah tiba di Madinah maupun yang masih dalam
perjalanan. Mata pencaharian mereka yang bergantung pada bidang pertanian dan tidak ada bantuan
keuangan, namun Rasulullah dapat menyelesaikannya dengan cara baru. Beliau menanamkan tali
persaudaraan antara individu-individu dari kelompok Anshar dari Madinah dengan Muhajirin.
Persaudaraan yang ditegakkan oleh Rasulullah saw diantara para sahabatnya tersebut bukan sekedar
syiar yang diucapkan tetapi merupakan kenyataan yang terlihat dalam realitas kehidupan dan
menyangkut segala bentuk hubungan yang berlangsung antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar.

3. Membuat Konstitusi Negara


Tugas berikutnya yang dilakukan Rasulullah saw adalah menyusun konstitusi negara yang menyatakan
tentang Kedaulatan Madinah ini, pemerintah menegaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan
berbagai aktifitas yang dapat mengganggu stabilitas kehidupan manusia dan alam. Rasul saw
menekankan perlunya toleransi terhadap penganut agama lain, kebebasan untuk beribadah, perlindungan
terhadap tempat-tempat ibadah dan perlakuan yang sama di depan hukum. Pada tingkatan ini, yang
dilakukan oleh Rasul adalah bagaimana membangun sebuah sistem di Madinah, sebagai upaya
perlembagaan masyarakat dalam sebuah institusi yang lebih formal, yaitu negara.

4. Menciptakan Kedamaian dalam Negara


Untuk kedamaian dalam negeri, Madinah dinyatakan sebagai tempat anti pelanggaran, di antara kedua
Harrahs-nya (daerah pegunungan berapi di sekitar Madinah), padang rumput tidak boleh dipotong,
pepohonannya tidak boleh ditebang, dan tidak diperbolehkan membawa masuk senjata untuk
perkelahian, kekerasan, ataupun peperangan.

5. Mengeluarkan Hak dan Kewajiban Bagi Warga Negaranya


Rasulullah mengeluarkan piagam (Charter) yang berarti Madinah telah memuliki kedaulatan penuh
sebagai suatu negara. Semua warga negaranya penduduk lokal, imigran, yahudi dan lain-lain mendapat
perlindungan. Sementara itu hak-kak, kewajiban dan tanggung jawab mereka sebagai warga negara telah
ditentukan secara jelas.

6. Menyusun Sistem Pertahanan Madinah


Tugas penting lainnya adalah menjaga keamanan Madinah terhadap musuh dari luar. Rasulullah saw
juga melarang setiap individu membawa masuk senjata untuk tujuan kekerasan atau peperangan di
sekitar kota Madinah.

7. Meletakkan Dasar-dasar Sistem Keuangan Negara


Setelah melakukan berbagai upayastabilisasi dibidang sosial, politik serta pertahanan dan keamanan
negara, Rasulullah saw meletakkan dasar-dasar sistem keuangan negara sesuai dengan ketentuan-
ketentuan Al-Quran. Seluruh paradigma berpikir dibidang ekonomi serta aplikasinya dalam kehidupan
sehari-hari yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dihapus dan digantikan dengan paradigma baru yang
sesuai dengan nilai-nilai Qurani, yakni persaudaraan, persamaan, kebebasan, dan keadilan.

B. Pemikiran Ekonomi Rasulullah Saw Pada Masa Awal Pemerintahan Islam

Misi mulia Rasulullah saw di muka bumi adalah membangun masyarakat yang beradab. Rasulullah
menganjurkan agar manusia saling menghormati dan menyayangi dalam penyelenggaraan hidup sesuai
dengan al-Quran dan al-hadist. Ajaran Rasulullah saw di antaranya adalah menjadikan sebagai pribadi
bebas dalam mengoptimalkan potensi dirinya.

Dalam hal perekonomian Rasulullah telah mengajarkan transaksi-transaksi perdagangan secara jujur,
adil dan tidak pernah membuat pelanggannya mengeluh dan kecewa. Ia selalu memperhatikan rasa
tanggungjawabnya terhadap setiap transaksi yang dilakukan. Selain itu ada beberapa larangan yang
diberlakukan Rasulullah saw untuk menjaga agar seseorang dapat berbuat adil dan jujur, yaitu:

1) Larangan Najsy
Najsy adalah sebuah praktik dagang dimana seorang penjual menyuruh orang lain untuk memuji barang
dagangannya menawar barang dengan harga yang tinggi calon pembeli yang lain tertarik untuk membeli
barang dagangannya. Najsy dilarang karena menaikkan harga barang-barang yang dibutuhkan oleh para
pembeli.

2) Larangan Bay Badh Ala Badh


Praktik bisnis ini adalah dengan melakukan lompatan atau penurunan harga oleh seorang dimana kedua
belah pihak yang terlibat tawar menawar masih dalam tahap negosiasi atau baru akan menyelesaikan
penetapan harga. Rasulullah melarang praktik semacam ini karena hanya akan menimbulkan kenaikan
harga yang tidak diinginkan.

3) Larangan Tallaqi Al-Rukban


Praktik ini adalah dengan cara mencegat orang-orang yang membawa barang dari desa dan membeli
barang tersebut sebelum tiba dipasar. Rasulullah melarang praktik semacam ini dengan tujuan untuk
mencegah terjadinya kenaikan harga.

4) Larangan Ihtinaz dan Ihtikar


Ihtinas adalah praktik penimbunan harta seperti emas, perak dan lain sebagainya. Sedangkan ihtikar
adalah penimbunan barang-barang seperti makanan dan kebutuhan sehari-hari. Penimbunan barang dan
pencegahan peredarannya sangat dilarang dan dicela dalam Islam.

Dari langkah-langkah yang dilakukan Rasulullah SAW sehingga terjadilah aktivitas mempersaudarakan
kaum ansar dan kaum muhajirin dengan menerapkan muzaraah, sehingga tumbuh mata pencaharian
baru bagi kaum muhajirin. Sampai akhirnya madinah dinyatakan tempat anti peanggaran antara dua
harrashnya ( daerah pegunungan berapi disekitar madinah ), padang rumputnya tidak boleh dipotong,
pepohonanya tidak boleh ditebang dan tidak boleh membawa senjata untuk perkelahian, kekerasan
ataupun peperangan ( M.A. sabzzhwari )

C. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam Pada Masa Rasulullah SAW

Perkembangan ekonomi islam menjadi suatu yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan sejarah
islam. Pemikiran islam diawali sejak Nabi Muhammad SAW dipilih sebagai Rasul. Rasulullah saw
mengeluarkan sejumlah kebijakan yang menyangkut berbagai hal yang berkaitan dengan masalah
kemasyarakatan, selain masalah hukum, politik, dan juga masalah perniagaan atau ekonomi . masalah-
masalah ekonomi umat menjadi perhatian utama Rasulullah saw, karena masalah ekonomi merupakan
pilar penyangga keimanan yang harus diperhatikan.

Adapun perkembangan pemikiran pada masa-masa tersebut adalah sebagai berikut :

2) SYSTEM EKONOMI DAN KEBIJAKAN FISCAL PADA MASA RASUL

1. Kebijakan fiskal pada Masa Rasulullah SAW

Pada zaman Rasulullah saw pemikiran dan mekanisme kehidupan politik dinegara islam bersumber dan
berpijak pada nilai-nilai aqidah.
Lahirnya kebijakan fiskal di dalam dunia islam dipengaruhi oleh banyak factor, salah satunya karena
fiskal merupakan bagaian dari instrument ekonomi public. Untuk itu factor-faktor seperti social, budaya
dan politik termasuk di dalamnya. Tantangan Rasulullah saw sangat besar dimana beliau dihadapkan
pada kehidupan yang tidak menentu baik dari kelompok internal maupun eksternal, dalam kelompok
internal Rasulullah saw harus menyelesaikan masalah bagaimana menyatukan antara kaum ansar dan
kaum muhajirin paska hijrah dari mekkah ke madinah. Sementara tantangan dari kelompo eksternal yaitu
bagaimana Rasul bisa mengimbangi ronrongan dari kaum kafir quraisy. Akan tetapi Rasulullah saw
dapat mengatasi semua permasalahanya berkat pertolongan Allah swt.
Di dalam sejarah islam keuangan publik berkembang bersamaan dengan pengembangan masyarakat
muslim dan pembentukan warga Negara islam oleh Rasulullah saw paska hijrah.

2. Unsur-unsur kebijakan fiskal pada masa pemerintahan Rasulullah SAW.

Melihat kondisi yang tidak menentu seperti ini, maka Rasulullah saw malakukan upya-upaya yang
dikenal dengan kebijakan fiskal . baliau sebagai pemimpin di madinah yaitu dengan melakukan unsure-
unsur ekonomi. Diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Sistem ekonomi
System ekonomi yang diterapkan Rasulullah saw berakar dari prinsip-prinsip qurani. Prinsip islam yang
paling mendasar yaitu kekuasaan tertinggi hanya milik Allah semata dan setiap manusia diciptakan
sebagai khalifahnya di muka bumi.
Dan disini ada beberapa prinsip-prinsip yang pokok tentang kebijakan ekonomi islam yang dijelaskan
Al-quran sebagai berikut :

1. Kekuasaan tertinggi adalah milik Allah swt.


2. Manusia hanyalah khlifah Allah swt dimuka bumi.
3. Semua yang dimiliki dan didapatkan manusia adalah atas rahmat Allah swt, oleh karena itu, manusia
yang kurang beruntung mampunyai hak atas sebagian kekayaan yang dimiliki saudaranya.
4. Kekayaan harus diputar dan tidak boleh ditimbun.
5. Eksploitasi ekonomi dalam segala bentuknya, termasuk riba harus dihilangkan.
6. Menetapkan system warisan sebagai media redistribusi kekayaan yang dapat melegimitasi berbagai
konflik individu.
7. Menghilagkan jurang pemisah antara golongan miskin dan kaya.

b. Keuangan dan pajak


Pada tahun awal sejak dideklarasi sebagai Negara, madinah hampir tidak memiiki sumber pendapatan
ataupun pengeluaran Negara. Seluruh tugas Negara dilkukan secara gotong royong dan sukarela.
Rasulullah saw sendiri adalah seorang kepala Negara yang juga merangkap sebagai ketua mahkamah
agung, mufti besar, panglima perang tertinggi, serta penanggung jawab administrasi Negara. Ia tidak
memproleh gaji dari Negara maupun masyarakat, kecuali hadiah-hadiah kecil pada umumnya berupa
bahan makanan. Dan pada masa itu juga belum ada tentara dalam bentuk formal maupun tetap. Setiap
muslim yang memiliki fisik yang kuat dan mampu berperang bisa menjadi tentara. Mereka tidak
memperoleh gaji tetap tapi diperbolehkan mendapat harta dari hasil rampasan perang, seperti senjata,
kuda, unta, dan barang-barang bergerak lainya.

3. Sumber-sumber pendapatan Negara.

a. Berdasarkan jenisnya

Pendapatan primer :
1. Ghanimah : pendapatan dari hasil perang.
2. Fai : harta peninggalan suku bani nadhir.
3. Kharaj : pajak atas tanah yang dipungut kepada non-muslim ketika khaibar dilakukan pada tahun ke-7
hijriyah, jumlah kharaj dari tanah tetap, yaitu setengah dari hasil produksi.
4. Waqf
5. Ushr : zakat dari hasil pertanian termasuk buah-buahan
6. Jizyah : pajak perkepala yang dipungut oleh pemerintah islam dari orang-orang yang bukan islam
sebagai imbalan bagi keamanan diri mereka.

Pendapatan sekunder :
1. Uang tebusan.
2. Pinjaman.
3. Amwal fadhla.
4. Nawaib.
5. Shodaqoh lain seperti qurban dan kaffarat.
6. Hadiah.

b. Berdasarkan sumbernya
Muslim : zakat, ushr, zakat fitrah, waqf, amwal fadhl, nawaib, shodaqoh lain, dan khums.
Non-muslim : jizyah, kharaj, ushr ( 5% )
Umum : ghanimah, fai, uang tebusan, pinjaman dari muslim atau non-muslim, dan hadiah dari
pemimpin atau pemerintah.

4. Pengeluaran Negara di masa Rasulullah SAW

Primer :
- pembiayaan pertahanan, seperti persenjataan, unta, kuda, dan persediaan.
- Pembiayaan gaji untuk wali, qadi, guru, imam, muadzin, dan pejabat Negara lainya.
- Pembayaran upah kepada para sukarelawan.
- Pembayaran utang Negara.

Sekunder :
- Bantuan untuk orang belajar agama di madinah.
- Hiburan untuk delegasi keagamaan.
- Hiburan untuk para utusan suku dan Negara serta biaya perjalanan mereka.
- Pembayaran utang untuk orang yang meninggal dalam keadaan miskin.
- Pembayaran tunjangan untuk sanak saudara Rasulullah saw.

5. Baitul Maal

Baitul mal adalah lembaga ekonomi atau keuangan Syariah non perbankan yang sifatnya informal.
Disebu informal karena lembaga ini didirikan oleh Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang
berbeda dengan lembaga keuangan perbankan dan lembaga keuangan formal lainnya. Rasulullah mulai
melirik permasalahan ekonomi dan keuangan negara setelah beliau menyelesaikan masalah politik dan
urusan konstitusional di madinah pada masa awal hijriah.

Pertama kalinya berdirinyya baitul mal sebagai sebuah lembaga adalah setelah turunnya firman Allah
SWT di Badar seusai perang dan saat itu sahabat berselisih tentang ghonimah: Mereka ( para sahabat)
akan bertaanya kepadamu (Muhammad) tentang anfal, katakanlah bahwa anfal itu milik Allah dan
Rasul, maka bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan diantara sesamamu dan taatlah kepada
Allah dan RasulNya jika kalian benar-benar beriman. (QS. AL-ANFAL : 1).

Pada masa Rasulullah Saw Baitul mal terletak di masjid Nabawi yang ketika itu digunakakan sebagai
kantor pusat negara serta tempat tinggal Rasulullah. Binatang-binatang yang merupakan harta
perbendaharaan negara tidak disimpan di baitul mal akan tetapi binatang- binatang tersebut ditempatkan
di padang terbuka.
Pada zaman Nabi baitul mal belum merupakan suatu tempat yang khusus, hal ini disebabkan harta yang
masuk pada saat itu belum begitu banyak dan selalu habis dibagikan kepada kaum muslim, serta
dibelanjankan untuk pemeliharaan urusan negara. Baitul mal belum memiliki bagian- bagian tertentu dan
ruang untuk penyimpanan arsip serta ruang bagi penulis.

Adapun penulis yang telah diangkat nabi untuk mencatat harta antara lain:
1. Maiqip Bin Abi Fatimah Ad-Duasyi sebagai penulis harta ghonimah.
2. Az-Zubair Bin Al- Awwam sebagai penulis harta zakat.
3. Hudzaifah Bin Al- Yaman sebagai penulis harga pertanian di daerah Hijas.
4. Abdullah Bin Rowwahah sebagai penulis harga hasil pertanian daerah khaibar.
5. Al-Mughoirah subah sebagai penulis hutang- piutang dan iktivitaas muamalah yang dilakukan oleh
negara.
6. Abdullah Bin Arqom sebagai penulis urusan masyarakat kabila- kabilah termasuk kondisi
pengairannya.

Namun semua pendapatan dan pengeluaran negara pada masa Rosulullah tersebut belum ada pencatatan
yang maksimal. Keaadaan ini karena berbagai alasan:

1. Jumlah orang Islam yang bisa membaca dan menulis sedikit.


2. Sebagian besarr bukti pembayaran dibuat dalam bentuk yang sederhana.
3. Sebagian besar zakat hanya didistribusikan secara lokal.
4. Bukti penerimaan dari berbagai daerah yang berbeda tidak umum digunakan.
5. Pada banyak kasus, ghonimah digunakan dan didistribusikan setelah peperangan tertentu.
3) SYSTEM EKONOMI DAN KEBIJAKAN FISCAL PADA MASA KHULAFAURRASYIDIN

A. Sistem Ekonomi dan Fiskal Pemerintahan Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq


Setelah Rasulullah SAW wafat, Abu Bakar As-Shiddiq yang bernama lengkap Abdullah ibn Abu
Quhafah Al-Tamimi terpilih sebagai khalifah Islam yang pertama. la merupakan pemimpin agama
sekaligus kepala negara kaum Muslimin. Pada masa pemerintahannya yang hanya berlangsung
selama dua tahun, Abu Bakar As-Shiddiq banyak menghadapi persoalan dalam negeri yang berasal
dari kelompok murtad, nabi palsu, dan pembangkang zakat. Berdasarkan hasil musyawarah dengan
para sahabat yang lain, ia memutuskan untuk memerangi kelompok tersebut melalui apa yang
disebut sebagai Perang Riddah (perang melawan kemurtadan). Setelah berhasil menyelesaikan
urusan dalam negeri, Abu Bakar As-Shiddiq mulai melakukan ekspansi ke wilayah utara untuk
menghadapi pasukan Romawi dan Persia yang selalu mengancam kedudukan umat Islam. Namun, ia
meninggal dunia sebelum usaha ini selesai dilakukan.[1]
Dengan demikian, selama masa pemerintahan Abu Bakar As-Shiddiq, harta Baitul Mal tidak pernah
menumpuk dalam jangka waktu yang lama karena langsung didistribusikan kepada seluruh kaum
Muslimin, bahkan ketika Abu Bakar As-Shiddiq wafat, hanya ditemukan satu dirham dalam
perbendaharaan negara.[2] Seluruh kaum Muslimin diberikan bagian yang sama dari hasil
pendapatan negara. Apabila pendapatan meningkat, seluruh kaum Muslimin mendapat manfaat yang
sama dan tidak ada seorang pun yang dibiarkan dalam kemiskinan. Kebijakan tersebut berimplikasi
pada peningkatan total pendapatan nasional, di samping memperkecil jurang pemisah antara orang-
orang yang kaya dengan yang miskin.

B. Sistem Ekonomi dan Fiskal Pemerintahan Khalifah Umar ibn Al-Khattab


Pada masa pemerintahannya yang berlangsung selama sepuluh tahun, Umar ibn Al-Khattab banyak
melakukan ekspansi hingga wilayah Islam meliputi Jazirah Arab, sebagian wilayah kekuasaan
Romawi (Syria, Palestina, dan Mesir), serta seluruh wilayah kerajaan Persia, termasuk Irak. Atas
keberhasilannya tersebut, orang-orang Barat menjuluki Umar sebagai the Saint Paul of Islam[3]
Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar ibn Al-Khattab segera mengatur administrasi
negara dengan mencontoh Persia. Administrasi pemerintah diatur menjadi delapan wilayah provinsi:
Makkah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. la juga membentuk jawatan
kepolisian dan jawatan tenaga kerja.[4]
1. Pendirian Lembaga Baitul Mal
Dalam catatan sejarah, pembangunan institusi administratif Baitul Mal dilatarbelakangi oleh
kedatangan Abu Hurairah yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur Bahrain dengan membawa
harta hasil pengumpulan pajak al-kharaj sebesat 500.000 dirham. Hal ini terjadi pada tahun 16
H.[5] Oleh karena jumlah tersebut sangat besar, Khalifah Umar mengambil inisiatif memanggil dan
mengajak bermusyawarah para sahabat terkemuka tentang penggunaan dana Baitul Mal tersebut.
Setelah melalui diskusi yang cukup panjang, Khalifah Umar memutuskan untuk tidak
mendistribusikan harta Baitul Mal, tetapi disimpan sebagai cadangan, baik untuk keperluan darurat,
pembayaran gaji para tentara maupun berbagai kebutuhan umat lainnya.
Khalifah Umar ibn Al-Khattab juga membuat ketentuan bahwa pihak eksekutif tidak boleh turut
campur dalam mengelola harta Baitul Mal. Di tingkat provinsi, pejabat yang bertanggung jawab
terhadap harta umat tidak bergantung kepada gubernur dan mereka mempunyai otoritas penuh dalam
melaksanakan tugasnya serta bertanggung jawab langsung kepada pemerintah pusat.
Untuk mendistribusikan harta Baitul Mal, Khalifah Umar ibn Al-Khattab mendirikan beberapa
departemen yang dianggap perlu, seperti :
a. Departemen Pelayanan Militer. Departemen ini berfungsi untuk mendistribusikan dana
bantuan kepada orang-orang yang terlibat dalam peperangan.
b. Departemen Kehakiman dan Eksekutif. Bertanggung jawab atas pembayaran gaji para hakim
dan pejabat eksekutif.
c. Departemen Pendidikan dan Pengembangan Islam. Departemen ini mendistribusikan bantuan
dana bagi penyebar dan pengembang ajaran Islam beserta keluarganya, seperti guru dan juru
dakwah.
d. Departemen Jaminan Sosial. Berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan kepada seluruh
fakir miskin dan orang-orang yang menderita.[6]

2. Kepemilikan Tanah
Selama pemerintahan Khalifah Umar, wilayah kekuasaan Islam semakin luas seiring dengan
banyaknya daerah-daerah yang berhasil ditaklukkan, baik melalui peperangan maupun secara damai.
Hal ini menimbulkan berbagai permasalahan baru. Pertanyaan yang paling mendasar dan utama
adalah kebijakan apa yang akan diterapkan negara terhadap kepemilikan tanah-tanah yang berhasil
ditaklukkan tersebut.
Para tentara dan beberapa sahabat terkemuka menuntut agar tanah hasil taklukan tersebut dibagikan
kepada mereka yang terlibat dalam peperangan sementara sebagian kaum Muslimin yang lain
menolak pendapat tersebut. Muadz bin Jabal, salah seorang di antara mereka yang menolak,
mengatakan, Apabila engkau membagikan tanah tersebut, hasilnya tidak akan raenggembirakan.
Bagian yang bagus akan menjadi milik mereka yang tidak lama lagi akan meninggal dunia dan
keseluruhan akan menjadi milik seseorang saja.[7]
Mayoritas sumber pemasukan pajak al-kharaj berasal dari daerah-daerah bekas kerajaan Romawi
dan Sasanid (Persia) dan hal ini membutuhkan suatu sistem administrasi yang terperinci untuk
penaksiran, pengumpulan, dan pendistribusian pendapatan yang diperoleh dari pajak tanah-tanah
tersebut.
a. Wilayah Irak yang ditaklukkan dengan kekuatan menjadi milik Muslim dan kepemilikan ini
tidak dapat diganggu gugat sedangkan bagian wilayah yang berada di bawah perjanjian damai tetap
dimiliki oleh pemilik sebelumnya dan kepemilikan tersebut dapat dialihkan.
b. Kharaj dibebankan kepada semua tanah yang berada di bawah kategori pertama, meskipun
pemilik tanah tersebut memeluk agama Islam. Dengan demikian, tanah seperti itu tidak dapat
dikonversi menjadi tanah ushr.
c. Bekas pemilik tanah diberi hak kepemilikan selama mereka membayar kharaj dan jizyah.
d. Tanah yang tidak ditempati atau ditanami (tanah mati) atau tanah yang diklaim kembali
(seperti Bashra) bila diolah oleh kaum Muslimin diperlakukan sebagai tanah ushr.
e. Di Sawad, kharaj dibebankan sebesar satu dirham dan satu rafiz (satu ukuran lokal) gandum
dan barley (sejenis gandum) dengan asumsi tanah tersebut dapat dilalui air. Harga yang lebih tinggi
dikenakan kepada ratbah (rempah atau cengkeh) dan perkebunan.[8]
f. Di Mesir, berdasarkan perjanjian Amar, setiap pemilik tanah dibebankan pajak sebesar dua
dinar, di samping tiga irdabb gandum, dua qist untuk setiap minyak, cuka, madu, dan rancangan ini
telah disetujui oleh khalifah.
g. Perjanjian Damaskus (Syria) berisi pembayaran tunai, pembagian
tanah dengan kaum Muslimin, beban pajak untuk setiap orang
sebesar satu dinar dan satu beban jarib (unit berat) yang diproduksi
per jarib (ukuran) tanah.[9]

3. Zakat
Pada masa Rasulullah SAW, jumlah kuda di Arab masih sangat sedikit, terutama kuda yang dimiliki
oleh kaum Muslimin karena digunakan untuk kebutuhan pribadi dan jihad. Misalkan pada Perang
Badar, pasukan muslim yang jumlahnya 313 orang hanya memiliki dua kuda. Pada saat pengepungan
Bani Quraisy (5 A.H) pasukan muslim memiliki 36 kuda. Pada tahun yang sama, di Hudaybiyah
mereka mempunyai sekitar dua ratus kuda. Karena zakat dibebankan terhadap barang-barang yang
memiliki produktivitas, seorang budak atau seekor kuda yang dimiliki kaum Muslimin ketika itu
tidak dikenakan zakat.[10]
Pada masa Umar, Gubernur Thaif melaporkan bahwa pemilik sarang lebah tidak membayar ushr,
tetapi menginginkan sarang-sarang lebah tersebut dilindungi secara resmi. Umar mengatakan bahwa
bila mereka mau membayar ushr sarang lebah mereka akan dilindungi. Namun, jika menolak,
mereka tidak akan memperoleh perlindungan. Zakat yang ditetapkan adalah seperduapuluh untuk
madu yang pertama dan sepersepuluh untuk madu jenis kedua.[11]

4. Ushr
Sebelum Islam datang, setiap suku atau kelompok yang tinggal di pedesaan biasa membayar pajak
(ushr) jual-beli (maqs). Besarnya adalah sepuluh persen dari nilai barang atau satu dirham untuk
setiap transaksi.[12] Namun, setelah Islam hadir dan menjadi sebuah negara yang berdaulat di
Semenanjung Arab, nabi mengambil inisiatif untuk mendorong usaha perdagangan dengan
menghapus bea masuk antar provinsi yang masuk dalam wilayah kekuasaan dan masuk dalam
perjanjian yang ditandatangani oleh beliau bersama dengan suku-suku yang tunduk kepada
kekuasaannya. Secara jelas dikatakan bahwa pembebanan sepersepuluh hasil pertanian kepada
pedagang Manbij (Hierapolis).[13]
Menurut Saib bin Yazid, pengumpul ushr di pasar-pasar Madinah, orang-orang Nabaeteari yang
berdagang di Madinah juga dikenakan pajak pada tingkat yang umum, tetapi setelah beberapa waktu
Umar menurunkan persentasenya menjadi 5% untuk minyak dan gandum, untuk mendorong import
barang-barang tersebut di kota.[14]

5. Sedekah dari non-Muslim


Tidak ada ahli kitab yang membayar sedekah atas ternaknya kecuali orang Kristen; Bani Taghlib
yang keseluruhan kekayaannya terdiri dari hewan ternak. Mereka membayar dua kali lipat dari yang
dibayar kaum Muslimin. Bani Taghlib merupakan suku Arab Kristen yang gigih dalam peperangan.
Umar mengenakan jizyah kepada mereka, tetapi mereka terlalu gengsi sehingga menolak
membayar jizyah dan malah membayar sedekah.[15]
Nu'man ibn Zuhra memberikan alasan untuk kasus mereka dengan mengatakan bahwa pada dasarnya
tidak bijaksana memperlakukan mereka seperti musuh dan seharusnya keberanian mereka menjadi
aset negara. Umar pun memanggil mereka dan menggandakan sedekah yang harus mereka bayar
dengan syarat mereka setuju untuk tidak membaptis seorang anak atau memaksanya untuk menerima
kepercayaan mereka. Mereka setuju dan menerima untuk membayar sedekah ganda.[16]
6. Mata Uang
Pada masa nabi dan sepanjang masa pemerintahan al-Khulafa ar-Rasyidun, koin mata uang asing
dengan berbagai bobot telah dikenal di Jazirah Arab, seperti dinar, sebuah koin emas, dan dirham
sebuah koin perak. Bobot dinar adalah sama dengan satu mitstyal atau sama dengan dua puluh qirat
atau seratus grains of barky. Oleh karena ltu, rasio antara satu dirham dan satu mitsqal adalah tujuh
per sepuluh.[17]

7. Klasifikasi dan Alokasi Pendapatan Negara


Seperti yang telah disinggung di muka, kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pendapatan
negara adalah mendistribusikan seluruh pendapatan yang diterima. Pada masa pemerintahannya,
Khalifah Umar ibn Al-Khattab mengklasifikasi pendapatan negara menjadi empat bagian, yaitu :
a. Pendapatan zakat dan ushr. Pendapatan ini didistribusikan di frngkat lokal dan jika terdapat
surplus, sisa pendapatan tersebut disimpan di Baitul Mai pusat dan dibagikan kepada delapan ashnaf,
seperti yang telah ditentukan dalam Al-Quran.
b. Pendapatan khums dan sedekah. Pendapatan ini didistribusikan kepada para fakir miskin atau
untuk membiayai kesejahteraan mereka tanpa membedakan apakah ia seorang Muslim atau bukan.
Dalam sebuah riwayat, di perjalanan menuju Damaskus, Khalifah Umar bertemu dengan seorang
Nasrani yang menderita penyakit kaki gajah. Melihat hal tersebut, Khalifah Umar segera
memerintahkan pegawainya agar memberikan dana kepada orang tersebut yang diambilkan dari hasil
pendapatan sedekah dan makanan yang diambilkan dari persediaan untuk para petugas.
c. Pendapatan kharaj, fai,jizyah, 'ushr (pajak perdagangan), dan sewa tanah. Pendapatan ini
digunakan untuk membayar dana pensiun dan dana bantuan serta untuk menutupi biaya operasional
administrasi, kebutuhan militer, dan sebagainya.
d. Pendapatan lain-lain. Pendapatan ini digunakan untuk membayar para pekerja, pemeliharaan
anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.[18]

8. Pengeluaran
Di antara alokasi pengeluaran dari harta Baitul Mal tersebut, dana pensiun merupakan pengeluaran
negara yang paling penting. Prioritas berikutnya adalah dana pertahanan negara dan dana
pembangunan.[19]
Seperti yang telah dijelaskan, Khalifah Umar menempatkan dana pensiun di tempat pertama dalam
bentuk rangsum bulanan (arzaq) pada tahun 18 H, dan selanjutnya pada tahun 20 H dalam bentuk
rangsum tahunan (atya). Dana pensiun ditetapkan untuk mereka yang akan dan pernah bergabung
dalam kemiliteran. Dengan kata lain, dana pensiun ini sama halnya dengan gaji reguler angkatan
bersenjata dan pasukan cadangan serta penghargaan bagi orang-orang yang telah berjasa.
Dana ini juga meliputi upah yang dibayarkan kepada para pegawai sipil. Sejumlah penerima dana
pensiun juga ditugaskan untuk melaksanakan kewajiban sipil, tetapi mereka dibayar bukan untuk itu.
Seperti halnya yang dilakukan oleh Rasulullah SAW., Khalifah Umar menetapkan bahwa negara
bertanggung jawab membayarkan atau melunasi utang orang-orang yang menderita pailit atau jatuh
miskin, membayar tebusan para tahanan Muslim, membayar diyat orang-orang tertentu, serta
membayar biaya perjalanan para delegasi dan tukar menukar hadiah dengan negara lain. Dalam
perkembangan berikutnya, setelah kondisi Baitul Mal dianggap cukup kuat, ia menambahkan
beberapa pengeluaran lain dan memasukkannya ke dalam daftar kewajiban negara, seperti memberi
pinjaman untuk perdagangan dan konsumsi.[20]
C. Sistem Ekonomi dan Fiskal Pemerintahan Khalifah Utsman ibn Affan
Pada masa pemerintahannya yang berlangsung selama 12 tahun, Khalifah Utsman ibn Affan berhasil
melakukan ekspansi ke wilayah Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari
Persia, Transoxania, dan Tabaristan. la juga berhasil menumpas pemberontakan di daerah Khurasan
dan Iskandariah.[21]
Pada enam tahun pertama masa pemerintahannya, Khalifah Utsman ibn Affan melakukan penataan
baru dengan mengikuti kebijakan Umar ibn Al-Khattab. Dalam rangka pengembangan sumber daya
alam, ia melakukan pembuatan saluran air, pembangunan jalan-jalan, dan pembentukan organisasi
kepolisian secara permanen untuk mengamankan jalur perdagangan. Khalifah Utsman ibn Affan juga
membentuk armada laut kaum Muslimin di bawah komando Muawiyah, hingga berhasil membangun
supremasi kelautannya di wilayah Mediterania, Laodicea dan wilayah di Semenanjung Syria, Tripoli
dan Barca di Afrika Utara menjadi pelabuhan pertama negara Islam. Namun demikian, pemerintahan
Khalifah Utsman ibn Affan harus menanggung beban anggaran yang tidak sedikit untuk memelihara
angkatan laut tersebut.[22]
Khalifah Utsman ibn Affan tidak mengambil upah dari kantornya. Sebaliknya, ia meringankan beban
pemerintah dalam hal-hal yang serius, bahkan menyimpan uangnya di bendahara negara.
Dalam hal pengelolaan zakat, Khalifah Utsman ibn Affan mendelegasikan kewenangan menaksir
harta yang dizakati kepada para pemiliknya masing-masing. Hal ini dilakukan untuk mengamankan
zakat dari berbagai gangguan dan masalah dalam pemeriksaan kekayaan yang tidak jelas oleh
beberapa oknum pengumpul zakat. Di samping itu, Khalifah Utsman berpendapat bahwa zakat hanya
dikenakan terhadap harta milik seseorang setelah dipotong seluruh utang-utang yang bersangkutan.
la juga mengurangi zakat dari dana pensiun.[23]
Memasuki enam tahun kedua masa pemerintahan Utsman ibn Affan, tidak terdapat perubahan situasi
ekonomi yang cukup signifikan. Berbagai kebijakan Khalifah Utsman ibn Affan yang banyak telah
menimbulkan benih kekecewaan yang mendalam pada sebagian besar kaum Muslimin. Akibatnya
pada masa ini, pemerintahannya lebih banyak diwarnai kekacauan politik yang berakhir dengan
terbunuhnya sang khalifah.[24]

D. Sistem Ekonomi dan Fiskal Pemerintah Khalifah Ali bin Abi Thalib
Masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang hanya berlangsung selama enam tahun selalu
diwarnai dengan ketidakstabilan kehidupan politik. Ia harus menghadapi pemberontakan Thalhah,
Zubair ibn Al-Awwam, dan Aisyah yang menuntut kematian Utsman ibn Affan. Sekalipun demikian,
Khalifah Ali ibn Abi Thalib tetap berusaha untuk melaksanakan berbagai kebijakan yang dapat
mendorong peningkatan kesejahteraan umat Islam.[25]
Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, prinsip utama dari pemerataan distribusi uang rakyat
telah diperkenalkan. Sistem distribusi setiap pekan sekali untuk pertama kalinya diadopsi. Hari kamis
adalah hari pendistribusian atau hari pembayaran. Pada hari itu, semua penghitungan diselesaikan
dan pada hari Sabtu dimulai penghitungan baru. Cara ini mungkin solusi yang terbaik dari sudut
pandang hukum dan kondisi negara yang sedang berada dalam masa-masa transisi. Khalifah Ali
meningkatkan tunjangan bagi para pengikutnya di Irak.[26]
Khalifah Ali memiliki konsep yang jelas tentang pemerintahan, administrasi umum dan masalah-
masalah yang berkaitan dengannya. Konsep ini dijelaskan dalam suratnya yang terkenal yang
ditujukan kepada Malik Ashter bin Harits. Surat yang panjang tersebut antara lain mendeskripsikan
tugas, kewajiban serta tanggung jawab para penguasa dalam mengatur berbagai prioritas pelaksanaan
dispensasi keadilan serta pengawasan terhadap para pejabat tinggi dan staf-stafnya; menjelaskan
kelebihan dan kekurangan para jaksa, hakim, dan abdi hukum lainnya.[27]

4) SYSTEM EKONOMI DAN KEBIJAKAN FISCAL ABAD PERTENGAHAN

Kebijakan Fiskal Rasulullah Saw


Sumber-sumber pendapatan Negara
Ghanimah.Zakat,Ushr,Fai,Jizyah,Kharaj,tebusan untuk para tawanan perang (hanya pada kasus perang
Badr).Pinjaman-pinjaman untuk pembayaran uang pembebasan kaum muslimin,Khums atau rikaz Amwal
fadilah, Sadaqah.kafarah dll
Belanja pemerintah pada masa Rosulullah untuk hal-hal pokok yang meliputi: biaya pertahanan Negara,
penyaluran zakat, untuk mereka yang berhak menerimanya, pembayaran gaji pegawai pemerintah,
pembayaran utang Negara serta bantuan untuk musafir. Untuk mengelola dan sumber penerimaan Negara
dan sumber pengeluaran Negara maka Rasulullah menyerahkannya kepada Baitul Mal dengan menganut
asas anggaran berimbang balance budget artinya semua penerimaan habis digunakan untuk pengeluaran
Negara. Begitulah Rasulullah meletakan dasar-dasar kebijaksanaan fiskal yang berlandaskan keadilan, sejak
masa pemerintahan islam.
Kebijakan fiskal pada masa Rasulullah ada empat langkah yang dilakukan Rasulullah, diantaranya :
1) Peningkatan pendapatan nasional dan tingkat dari partisipasi kerja.
Dalam rangka meningkatkan permintaan agregat masyarakat Muslim di Madinah, Rasulullah melakukan
kebijakan mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar. Hal ini menyebabkan terjadinya distribusi
pendapatan dari kaum Anshar ke Muhajirin yang berimplikasi pada peningkatan permintaan total di
Madinah

2) Kebijakan pajak
Penerapan kebijakan pajak yang dilakukan Rasulullah seperti Kharaj, khums, dan zakat menyebabkan
teciptanya Kestabilan harga dan mengurangi inflasi.
3) Anggaran pengaturan APBN yang dilakukan Rasululah cermat, efektif, dan efisien
menyebabkan jarang terjadinya defisit anggaran meskipun sering terjadi peperangan
4) Kebijakan fiskal khusus
Rasulullah menerapkan beberapa kebijakan fiskal secara khusus untuk pengeluaran Negara yaitu : menerima
bantuan kaum muslmin secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan pasukan muslim; meminjam peralatan
dari kaum non muslim secara Cuma-Cuma dengan jaminan pengembalian dan ganti rugi bila terjadi
kerusakan; meminjam uang dari orang-orang tertentu untuk diberikan kepada para muallaf, serta
menerapkan kebijakan insentif untuk menjaga pengeluaran dan meningkatkan partisipasi kerja dan produksi
kaum muslimin

3. Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq

Kebijakan Fiskal Abu Bakar As-Shiddiq adalah sebagai berikut: pada masa pemerintahan Abu Bakar As-
Shiddiq belum banyak perubahan dan inovasi baru yang berkaitan dengan sektor ekonomi dan keuangan
negara. Kondisinya masih seperti pada masa Rasulullah Saw. Kondisi ini dibentuk oleh konsentrasi Abu
Bakar untuk mempertahankan eksistensi Islam dan kaum Muslimin. Para sahabat masih terfokus untuk
memerangi mereka yang enggan membayar zakat setelah wafatnya Rasulullah dan memerangi yang murtad
dan gerakan nabi palsu.
Hasil pengumpulan zakat dijadikan sebagai pendapatan Negara dan disimpan dalam Baitul Mal untuk
langsung didistribusikan seluruhnya kepada kaum muslimin hingga tidak ada yang tersisa. Seperti halnya
Rasulullah Saw., Abu Bakar As-Shiddiq juga melaksanakan kebijakan pembagian tanah hasil taklukan yang
lain tetap menjadi tanggungan Negara dalam mendistribusikan harta Baitul Mal tersebut, Abu Bakar
menerapkan prinsip kesamarataan, yakni memberikan jumlah yang sama kepada semua sahabat Rasulullah
Saw
Dengan demikian, selama masa pemerintahan Abu Bakar, harta Baitul Mal tidak pernah menumpuk dalam
jangka waktu yang lama karena langsung didistribusikan kepada seluruh kaum muslimin. Sewaktu Abu
Bakar ash-Shiddiq wafat pun, hanya ditemukan satu dirham dalam perbendaharaan Negara.
Apabila pendapatan meningkat, seluruh kaum muslimin mendapat manfaat yang sama dan tidak ada seorang
pun yang dibiarkan dalam kemiskinan. Kebijakan tersebut berimplikasi pada peningkatan aggregate demand
dan aggregate supply yang pada akhirnya akan menaikkan total pendapatan nasional.

4. Khalifah Umar Ibn Al-Khattab


Kebijakan Fiskal Umar Ibn Khattab akan dipaparkan sebagai berikut: Seiring dengan semakin meluasnya
wilayah kekuasaan Islam pada masa pemerintahan Umar ibn al-khattab, pendapatan Negara mengalami
peningkatan yang signifikan. Beliau membuat keputusan bahwa untuk tidak menghabiskan harta Baitul Mal
sekaligus, tetapi dikeluarkan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan yang ada., bahkan diantaranya
disediakan dana cadangan. Dalam hal pendistribusian harta Baitul Mal, sekalipun berada dalam kendali dan
tanggung jawabnya, para pejabat Baitul Mal yang berupa zakat dan ushr. Khalifah Umar ibn Al-Khattab
juga membuat ketentuan bahwa pihak eksekutif tudak boleh ikut campur dalam mengelola harta Baitul Mal.
Negara bertanggung jawab untuk menyediakan makanan bagi para janda, anak-anak yatim, serta anak-anak
terlantar; membiayai penguburan orang-orang miskin;membayar utang orang-orang yang bangkrut;
membayar diyat untuk kasusu-kasusu tertentu.

5. Khalifah Ustman ibn Affan


Masa pemerintahannya berlangsung selama 12 tahun. Pada enam tahun pertama masa pemerintahannya,
khalifah Ustman ibn Affan melakukan penataan baru dengan mengikuti kebijakan Umar ibn Khattab. Dalam
rangka pengembangan sumber daya alam, beliau melakukan pembuatan saluran air, pembangunan jalan-
jalan, dan pembentukan organisasi kepolisian secra permanent untuk mengamankan jalur perdagangan.
Dalam pendistribusian harta Baitul Mal, khalifah Ustman ibn Affan menerapkan prinsip keutamaan seperti
halnya Umar ibn Khattab. Khalifah Ustman ibn Affan tetap mempertahankan system pemberian bantuan dan
santunan serta memberikan sejumlah besar uang kepada masyarakat yang berbeda-beda. Dalam hal
penegelolaan zakat, khlaifah Ustman ibn Affan mendelegasikan kewenangan menaksir harta yang dizakati
kepada para pemiliknya. Hal ini dilakukan untuk mengamankan zakat dari berbagai gangguan dan masalah
dalam pemeriksaan kekayaan yang tidak jelas oleh beberapa oknum pengumpul zakat.
karena itu, khalifah Ustman ibn Affan membuat beberapa perubahan administrasi tingkat atas dan pergantian
beberapa gubernur.

6. Khalifah Ali Bin Abi Thalib


Ali bin Abi Thalib membenahi sistem administrasi Baitul Mal, baik di tingkat pusat maupun daerah hingga
semuanya berjalan dengan baik. Dalam pendistribusian harta Baitul Mal, khalifah Ali ibn Abi halib
menerapkan sistem pemerataan. Selama masa pemerintahannya, khalifah Ali ibn Ali Thalib menetapkn
pajak terhadap pemilik hutan sebesar 4000 dirham dan mengizinkan Ibnu Abbas, Gubernur Kufah,
memungut zakat terhadap sayuran segar yang akan digunakan sebagai distribusi setiap pekan sekali untuk
pertama kalinya diadopsi. Hari kamis adalah hari pendistribusian.
Pada hari itu, semua perhitungan diselesaikan dan pada hari sabtu dimulai perhitungan baru. Selain itu
langkah penting yang dilakukan khalifah Ali ibn Abi Thalib pada masa pemerintahannya adalah percetakan
mata uang koin atas nama Negara Islam. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa pemerintahan tersebut,
kaum muslimin telah menguasai teknologi peleburan besi dan percetakan koin. Namun demikian, uang yang
dicetak oleh kaum muslimin itu tidak dapat beredar dengan luas karena pemerintahan Ali ibn Abi Thalib
berjalan sangat singkat seiring dengan terbunuhnya sang Khalifah pada tahun keenam pemerintahannya.
Dari segi alokasi pengeluaran kurang lebih masih tetap sama sebagaimana halnyapada masa pemerintahan
khalifah Umar. Khalifah Ali memiliki konsep yang jelas tentang pemerintahan, administrasi umum dan
masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Konsep ini dijelaskan dalam suratnya yang terkenal yang
ditujukan kepada Malik Ashter bin Harits. Surat yang mendeskripsikan tugas, kewajiban serta tanggung
jawab para penguasa dalam mengatur berbagai prioritas pelaksanaan dispensasi keadilan serta pengawasan
terhadap para pejabat tinggi dan staf-stafnya.
Kebijakan Fiskal dan Moneter Pada Masa Pertengahan Islam

1.Daulah Umayyah (41-132H/661-750)


Masa pemerintahan Bani Umayyah, baitul mal dibagi menjadi dua bagian; umum dan khusus. Pendapatan
baitul mal umum diperuntukkan bagi seluruh masyrakat umum, sedangkan pendapatan baitul mal khusus
diperuntukkan bagi para sultan dan keluarganya. Namun dalam prakteknya, tidak jarang ditemukan berbagai
penyimpangan penyaluran harta baitul mal tersebut. Pengeluaran untuk kebutuhan para sultan, keluarga, dan
para sahabat dekatnya banyak yang diambilkan dari kas baitul mal umum.
Begitu pula dengan pengeluaran hadiah-hadiah untuk para pembesar negara dan berbagai pengeluaran
lainnya yang tidak berhubungan dengan kesejahteraan umat islam secara keseluruhan. Dengan demikian
telah terjadi disfungsi penggunaan dana baitul mal pada masa pemerintahan daulah umayyah.Namun
demikian, bukan berarti menafikan kemajuan yang dihasilkan dinasti ini, selain melakukan perluasan
wilayah, beberapa khalifah Bani Umayyah juga menatuh perhatian terhadap pembangunan ekonomi, yang
mempengaruhi tingkat kesejahteraan umat islam secara keseluruhan. Diantara mereka yang termasyhur
adalah :

a.Khalifah Abdul Malik


Pemikiran yang serius terhadap penerbitan dan pengaturan uang dalam masyarakat islam muncul di masa
pemerintahan Abdul Malik. Hal ini dilatarbelakangi oleh permintaan pihak Romawi agar khalifah
menghapuskan kalimat bismillahirrahmanirrahim dari mata uang yang berlaku pada khalifahnya. Pada saat
itu, bangsa Romawi mengimpr dinar islam dari Mesir.
Akan tetapi permintaan tersebut ditolaknya. Bahkan khalifah mencetak mata uang islam tersendiri dengan
tetap mencantumkan kalimat Bismillahirrahmanirrahim pada tahun 74 H dan menyebarkannya keseluruh
wilayah islam seraya melarang penggunaan mata uang lain. Ia juga menjatuhkan hukuman bagi mereka yang
melakukan percetakan mata uang diluar percetakan negara.

b. Khalifah Umar ibn Abdul Aziz


Dalam melakukan berbagai kebijaknnya, khalifah Umaribn Abdul Aziz bersifat melindungi dan
meningkatkan kemakmuran taraf hidup masyarakat secara keseluruhan. Ia mengurangi beban pajak yang
dipungut dari kaum Nasrani, pajak yang dikenakan kepada non muslim hanya berlaku pada tiga profesi,
yaitu pedagang, petani, dan tuan tanah. Menghapus pajak terhadap kaum muslim, membuat aturan takaran
dan timbangan, membasmi cukai dan kerja paksa, memperbaiki tanah pertanian, penggalian sumur-sumur,
pembangunan jalan-jalan, pembuatan tempat-tempatan penginapan para musafir, dan menyantuni fakir
miskin. Berbagai kebijakan ini berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat secara keseluruhan hingga
tidak ada lagi yang mau menerima zakat.
Kebijakan lain yang diterapkan oleh Khalifah Umar ibn Abdul Aziz adalah kebijakan otonomi daerah.
Setiap wilayah islam mempunyai wewenang untuk mengelola zakat dan pajak secara sendiri-sendiri dan
tidak diharuskan menyerahkan upeti kepada pemerintah pusat. Bahkan sebaliknya, pemerintah pusat akan
memberikan bantuan subsidi kepada setiap wilayah islam yang minim pendapatan zakat dan pajaknya. Pada
masa pemerintahannya, sumber-sumber pemasukan negara berasal dari zakat, hasil rampasan perang, pajak
penghasilan pertanian, dan hasil pemberian lapangan kerja produktif kepada masyarakat luas.

2. Daulah Abbasiyah (132-656H/750-1258)

a. Khalifah Abu Jafar Al-Manshur


Pada awal pemerintahan khalifah al-Manshur, perbendaharaan negara dapat dikatakan tidak ada karena
khalifah sebelumnya, al-Shaffah, banyak menggunakan dana baitul mal untuk diberikan kepada para sahabat
dan tentara demi mengukuhkan kedudukannya sebagai penguasa. Hal tersebut mendorong khalifah al-
Manshur untuk bersikap keras dalam peneguhan kedudukan keuangan negara, disamping penumpasan
musuh-musuh khalifah, sehingga masa pemerintahanya ini juga dikenal sebagai masa yang penuh dengan
kekerasan.
Dalam mengendalikan harga-harga, khalifah memerintahkan para kepala jawatan pos untuk melaporkan
harga pasaran dari setiap bahan makanan dan barang lainnya. Jika mengalami kenaikan yang luar biasa, ia
memerintahkan para walinya agar menurunkan harga-harga ke tingkat semula. Disamping itu, khalifah
sangat hemat dalam membelanjakan harta baitul mal. Ketika ia meninggal, kekayaan kas negara telah
mencapai 810 juta dirham.
Keberhasilan khalifah al-Manshur dalam meletakkan dasar-dasar pemerintahan Daulah Abbasiyah
memudahkan usaha para khalifah berikutnya untuk lebih fokus terhadap permasalahan ekonomi dan
keuangan negara., sehingga peningkatan dan pengembangan taraf hidup rakyat dapat terjamin.

b. Khalifah Al-Mahdi
Pada masa pemerintahan khalifah Al-Mahdi, perekonomian negara mulai meningkat dengan peningkatan di
sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan, seperi emas, perak, tembaga, dan besi.
Di samping itu, jalur transit perdagangan antara Timur dan Barat juga banyak menghasilkan kekayaan.
Dalam hal ini, Bashrah menjadi pelabuhan yang penting.Dengan demikian, sektor-sektor perekonomian
yang menunjang kemakmuran Daulah Abbasiyah adalah pertanian, pertambangan, dan perdagangan.
Untuk meningkatkan sektor pertanian, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan yang menbela hak-hak
kaum tani, seperti peringanan beban pajak hasil bumi, penjaminan hak milik dan keselamatan jiwa,
perluasan lahan pertanian di setiap daerah, dan pembangunan berbagai bendungan dan kanal. Sementara
untuk meningkatkan sektor perdagangan, pemerintah membuat sumur-sumur, membangun tempat
peristirahatan para kafilah dagang, dan mendirikan berbagai armada dagang serta menjaga keamanan
pelabuhan dan pantai.

c. Khalifah Harun Al-Rasyid


Ketika pemerintahan dikuasai Khalifah Harun Al-Rasyid, pertumbuhan ekonomi berkembang dengan pesat
dan kemakmuran Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya. Pada masa pemerintahannya, khalifah melakukan
diversifikasi sumber pendapatan negara. Ia membangun baitul mal untuk mengurus keuangan negara dengan
menunjuk seorang wazir yang mengepalai beberapa Diwan, yaitu:
1) Diwan al-khazanah:bertugas mengurus seluruh perbendaharaan negara
2) .Diwan al azra:bertugas mengurus kekayaan negara yang berupa hasil bumi.
3) Diwan khazain as- siaah:berugas mengurus perlengkapan angkatan perang.
Sumber pendfapatan pada masa pemerintahan ini adalah kharaj, jizyah, zakat, fai, ghanimah, usyr, dan harta
lainnya seperti wakaf, sedekah, dan harta warisan yang tidak mempunyai ahli waris. Seluruh pendapatan
negara terasebut dimasukkan ke dalam baitul mal dan dikeluarkan berdasarkan kebutuhan.
Pemerintahan khalifah Harun Al-Rasyid juga sangat memperhatikan masalah perpajakan. Ia menunjuk Qadi
Abu Yusuf untuk menyusun sebuah kitab pedoman mengenai keuangan negara secara syariah. Untuk itu,
Imam Abu Yusuf menyusun sebuah kitab yang diberi judul Kitab al-Kharaj
Dalam pemungutan al-Kharaj, para Khalifah Abbasiyah melakukan dengan tiga cara, yaitu :
1) Al-Muhasabah atau penaksiran luas areal tanah dan jumlah pajak yang harus dibayar dalam bentuk uang.
2) Al-Muqasamah atau penetapan jumlah tertentu (persentase) dari hasil yang diperoleh
3) Al-Maqhathaah atau penetapan pajak hasil bumi terhadap para jutawan berdasarkan persetujuan antara
pemerintah dengan yang bersangkutan.
Pendapatan Negara dikeluarkan berdasarkan kebutuhan dan dialokasikan untuk riset ilmiah dan
penterjemahan buku-buku Yunani,disamping untuk biaya pertahanan dan anggaran rutin pegawai

d. Abu Yusuf(113H-182H)
Kebijakan Fiskal Abu Yusuf akan dipaparkan sebagai berikut:
Berdasarkan hasil pengamatan dan penalarannya, Abu Yusuf menganalisa permasalahan-permasalahan
fiskal dan menganjurkan beberapa kebijakan bagi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Dalam perjalanannya, beliau menulis kitab yang berjudul al-Kharaj dan menjadi panduan dalam
pengelolaan keuanngan publik pada masa pemerintahan khalifah Harun ar-Rasyid.
1. Meletakkan dasar-dasar kebijakan fiskal yang berbasis pada keadilan dan maslahah
2. Mengklasifikasikan secara umum penerimaan negara pada 3 kategori utama,yaitu: ghanimah,usyur dan
kharaj yang pemungutannya memiliki aturan-aturan tersendiri
a. Ghanimah: Ghanimah yang didapat sebagai hasil pertempuran dengan pihak musuh maka harus dibagi
sesuai Al-quran surat Al-Anfal ayat 41 yaitu 1/5 atau 20% untuk Allah dan Rasulnya serta orang-orang
miskin dan kerabat,sedangkan sisanya untuk mereka yang ikut berperang.
b. Shadaqah/zakat: Diantara objek zakat yang jadi perhatiannya adalah zakat pertanian dan zakat dari hasil
mineral/barang tambang lainnya. Pada zakat pertanian jumlah pembayarannya yaitu 10% untuk tanah yang
tidak butuh banyak tenaga untuk persiapan sarana pertanian dan 5% untuk tanah yang memerlukan banyak
tenaga untuk penyiapan sarana pertanian,sedangkan pada zakat dari hasil mineral/barang tambang lainnya
tarifnya yaitu 1/5 atau 20% dari total produksi
c. Fay: Fay merupakan segala sesuatu yang dikuasai kaum muslimin dari harta orang kafir tanpa
peperangan,termasuk harta yang mengikutinya yaitu jizyah perorangan,kharaj tanah dari usyr dari
perdagangan.
Jizyah: Pemungutan jizyah dilakukan atas dasar prinsip keadilan,Beliau menasehati khalifah untuk
menunjuk seorang administrator yang jujur disetiap kota dengan asisten yang akan berhubungan langsung
dengan kepala dari komunitas zimmi untuk mengumpulkan pajak melalui mereka yang kemudian akan dikiri
ke perbendaharaan negara .
Usyr:(Bea cukai):Dalam pengumpulan Bea.Abu Yusuf mensyaratkan 2 hal yang harus dipertimbangkan
Barang tersebut harus merupakan barang yang diperdagangkan
Nilai barang yang dibawa tidak kurang dari 200 dirham
Tarif ini ditetapkan sesuai dengan status pedagang,,jika muslim dikenakan 2,5% dari total barang yang
dibawanya,sedangkan ahli zimmah dikenakan tarif 5%dan kafir harbi dikenakan 10%
Kharaj: kharaj hanya dikenakan pada tanah yang termasuk kedalam kategori kharajiyyah.Ada 2 metode
yang dilakukan dalam penilaian kharaj:
a. Metode Misahah: Metode penghitungan pajak yang didasarkan pada pengukuran tanah tanpa
memperhitungkan tingkat kesuburan tanah,sistem irigasi dan jenis tanaman,sistem ini kemudian ditolak dan
digantikan dengan sistem Muqasamah.
b. Metode Muqasamah: Dalam metode ini,para petani dikenakan pajak dengan menggunakan rasio tertentu
dari total produksi yang mereka hasilkan,sesuai dengan jenis tanaman,sistem irigasi,dan jenis tanah
pertanian
Abu Yusuf merekomendasikan tarif yang berbeda dengan mempertimbangkan sistem irigasi yang digunakan
yaitu:
40% dari produksi yang diirigasi oleh hujan alami
30%dari produksi yang diirigasi oleh hujan buatan,dan
1/4dari produksi panen musim panas
3. Kepemilikan Negara
Kebijakan fiskal islam tentang kepemilikan tanah di wilayah Arab atau bagian negara lain yang tidak
dimiliki oleh siapapun adalah tanah tersebut akan tetap dikuasai oleh negara. Negara berhak untuk
memberikan tanah tersebut kepada seorang untuk dikelola dan memberikan pendapatan bagi negara melalui
pajak tanah. Pemungutan pajak dari tanah-tanah tersebut dibedakan berdasarkan sistem irigasi, atau
ditentukan sendiri oleh khalifah.
4. .Administrasi Kharaj: Dalam hal pemungutan pajak/kharaj,Abu Yusuf tidak menyetujui sistem taqbil dan
menggantinya dengan Departemen khusus dan pemerintah untuk mengatasi permasalahan pajak/kharaj.
Karena dikhawatirkan adanya penyimpangan yang akan terjadi demi memenuhi kepentingan pribadi.

e.Abu Ubaid (154-224H)

Kebijakan Fiskal Abu Ubaid antara lain yaitu:


1. Mengklasifikasikan 3 harta yang masuk keuangan publik yaitu: shadaqah.fai dan khumus
a. Shadaqah/zakat:Dalam hal ketentuan yang disepakati,bila seseorang memiliki harta yang wajib
dizakati,diantaranya 200 dirham,20 dinar,5 ekor unta,30 ekor sapi atau 40 ekor kambing,maka ia wajib
mengeluarkan zakatnya,yang dinamakan nishab
b. Fai: Bagian-bagian dari Fai adalah
Kharaj: Besarnya jumlah kharaj adalah setengah dari hasil produksi
Jizyah: Besarnya jizyah bagi masing-masing kepala adalah:1 dinar,atau 30 ekor sapi jizyahnya 1 ekor
tabi,40 ekor sapi jizyahnya 1ekor musinah dan penghasilan dari tanah 1/10 bila diairi dengan hujan,dan 1/5
bila menggunakan biaya.
c. Khumus: Harta yang terhukum khumus yaitu:ghanimah,harta terpendam/rikaz dan harta yang dipendam
2. Pembelanjaan penerimaan Keuangan publik,Abu Ubaid menyebutkan kaidah mendasar dalam membatasi
orang yang berhak atas kekayaan publik
Pendistribusian zakat yaitu kepada mereka 8 ashnaf seperti yang disebutkan dalam Al-Quran,sementara
pendistribusian pengeluaran dan penerimaan khumus adalah sesuai dengan ketentuan Rasulullah,karena
dana-dana publik merupakan keuangan publik maka harus dialokasikan untuk kesejahteraan publik,seperti
kesejahteraan anak-anak korban bencana dan santunan lainnya

f. Al-Ghazali (1055-1111)
Kebijakan Fiskal Al-Ghazali antara lain yaitu:
Al-Ghazali menekankan bahwa negara memiliki peranan penting dalam menjalankan aktivitas ekonomi dari
suatu masyarakat dengan baik dan juga dalam memenuhi kewajiban sosialnya. Ia menitikberatkan bahwa
untuk meningkatkan kemakmuran ekonomi, negara harus menegakkan keadilan, kedamaian, dan keamanan
serta stabilitas. Ia menekankan perlunya keadilan, serta aturan yang adil dan seimbang. Negara juga
memerlukan badan pengawas yang berfungsi mengawasi praktik-praktik pasar yang merugikan
Menurut al-Ghazali, apabila keadaan negara sedang sangat membutuhkan tentara untuk menjaga dan
melindungi wilayahnya dari segala macam ancaman, sementara perbendaharaan negara tidak mencukupi
maka pemerintah boleh memungut pajak atas rakyatnya yang mampu. Kebijakan ini hanya berlaku pada
kondisi terdesak saat kas negara kosong. Untuk itu diperlukan sebuah pemerintahan yang kredibel.

Kebijakan Moneter Al-Ghazali antara lain yaitu:


Menurut Al-Ghazali Uang ibarat cermin yang tidak dapat merefleksikan dirinya sendiri,namun dapat
merefleksikan semua warna yang masuk kedalamnya.Dalam kebijakannya Al-Ghazali melarang praktek
penimbunan uang,karena dapat menarik peredaran uang untuk sementara yang dapat mengakibatkan
lambatnya laju perputaran uang,memperkecil volume transasksi,kelangkaan produktivitas,menimbulkan
lonjakan harga yang pada akhirnya akan melumpuhkan roda perekonomian,Al-Ghazali menganggap
penimbunan uang sebagai suatu kejahatan,Al-Ghazali juga melarang kegiatan pemalsuan uang/mengedarkan
uang palsu,
Menurut Imam Al-ghazali ada beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah ketika ingin mencetak
uang,yaitu:
1. Uang tersebut dicetak dan diedarkan oleh pemerintah
2. Pemerintah menyatakan bahwa uang tersebut merupakan alat pembayaran resmi di daerah tersebut.
3. Pemerintah memiliki cadangan emas dan perak sebagai suatu tolak ukur dari uang yang beredar.

g. .Ibnu Hazm (994-1064H)


Kebijakan Fiskal Ibnu Hazm antara lain adalah:
1. Dalam Persoalan zakat,Ibnu hazm menekankan pada status zakat sebagai suatu kewajiban,Menurutnya
Pemerintah sebgai pengumpul zakat dapat memberikan sanksi/hukuman kepada orang yang enggan
mengeluarkannya,dan yang menolak zakat sebagai suatu kewajiban ia dianggap murtad
Dalam hal Pemungutan Pajak Ibnu Hazm fokus terhadap faktor keadilan,Menurutnya sikap kasar dan
eksploitatif dalam pengumpulan pajak harus dihindari
Penghimpunan administrasi pajak di Andalusia pada masa Ibn Hazm dikemukakan oleh S.M.Imamuddin:
Cabang departemen keuangan terendah berada di pedesaan dan dikelola oleh seorang kepala divisi yang
disebut amil.Saat hasil panen tiba,ladang diawasi dan hasil produksinya diperhitungkan oleh seorang petugas
yang disebut as-shar.Saat itu,ada mutaqabbil yang bertugas mengumpulkan pajak dan kewajiban lain
berkaitan dengan fiskal di wilayahnya.Untuk mengawasi para petugas ini dari penipuan dan harga yang
melebihi kewajiban dilakukan pengawasan ketat,sehingga jika hal ini dilakukan mereka akan ditangkap

h.Ibnu Taimiyah(661-728H)
Ibnu Taimiyah sangat jelas memegang pentingnya kebijakan moneter bagi stabilitas ekonomi,maka untuk
menjaga kestabilan tersebut yang harus dilakukan menurutnya adalah:
Negara bertanggung jawab untuk mengontrol ekspansi mata uang dan untuk mengawasi penurunan nilai
uang yang keduanya dapat mengakibatkan ketidakstabilan ekonomi
Negara harus sejauh mungkin menghindari anggaran keuangan yang defisit dan ekspansi mata uang yang tak
terbatas,sebab akan mengakibatkan timbulnya infasi dan menciptakan ketidakpercayaan publik atas mata
uang yang bersangkutan
i. Pemikiran Kaum Skolastik(1206/1270-1280M)
Ciri utama dari aliran pemikiran ekonomi Scholastik (scholasticism) adalah kuatnya hubungan antara
ekonomi dengan masalah etis serta besarnya perhatian pada masalah keadilan. Hal ini karena ajaran-ajaran
Scholastik mendapat pengaruh yang sangat kuat dari ajaran gereja. Ada dua orang tokoh utama aliran in
yaitu Albertus Magnus (1206-1280) dan St. Thomas Aquinas (1225-1274). Albertus Magnus adalah seorang
filsuf-religius dari Jerman. Salah satu pandangannya yang terkenal adalah pemikirannya tentang harga yang
adil dan pantas. (just price),yaitu harga yang sama besarnya dengan biaya-biaya dan tenaga yang
dikorbankan untuk menciptakan barang tersebut.
Tokoh kedua, yang dikenal lebih luas, Thomas Aquinas, adalah seorang teolog dan filsuf Italia. Selain
pengikut Albertus Magnus, ajaran-ajaran Thomas Aquinas dipengaruhi oleh Aristoteles serta ajaran Injil.
Dalam bukunya "Summa Theologica", Aquinas menjelaskan bahwa memungut bunga dari uang yang
dipinjamkan adalah tidak adil, sebab ini sama artinya menjual sesuatu yang tidak ada.

j. Ibnu Khaldun (1332-1404M)


Kebijakan Fiskal
Jauh sebelum Adam Smith(w.1970) yang terkenal dengan hukum pajak,Ibnu Khaldun menekankan prinsip-
prinsip tentang perpajakan dalam kitab Muqaddimah dengan tegas.Ibnu Khaldun menekankan pada prinsip
pesamarataan dan kenetralan.Penetapan pajak yang berprinsip pada keadilan merupakan suatu
keharusan.Ibnu Khaldun juga menganalisis efek dari pengeluaran belanja pemerintah dalam perekonomian
yang nantinya dipelajari oleh Keynes.Ibnu Khaldun mengatakan penurunan dalam penghasilan pajak
disebabkan juga oleh penurunan belanja pemerintah,semakin besar belanja pemerintah,semakin baik
perekonomian.

Kebijakan Moneter
Sejalan dengan apa yang dikemukakan Al-ghazali,Ibnu Khaldun menyatakan bahwa uang tidak harus
mengandung emas dan perak,hanya saja emas dan perak dijadikan standard nilai uang,sementara pemerintah
menetapkan harganya secara konsisten.
Mengenai nilai tukar mata uang,Ibnu Khaldun menyatakan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan
oleh banyaknya uang yang beredar di negara tersebut tetapi oleh tingkat produksi dan neraca pembayaran
yang positif,sehingga bila kemampuan produksinya menurun,maka nilai uangnya menurun dan harga secara
berkesinambungan akan meningkat dan pada kondisi ini inflasi terjadi

k.Al-Maqrizi (1364-1441M)
Kebijakan Moneter Al-Maqrizi antara lain:
Menurut Al-Maqrizi,mengindikasikan bahwa mata uang yang dapat diterima sebagai standard nilai,baik
menurut hukum,logika,maupun tradisi hanya yang terdiri dari emas dan perak,oleh karena itu mata uang
yang menggunakan bahan selain keduanya tidak layak disebut sebagai mata uang.
Kebijakan menciptakan fulus secara besar-besaran menurut Al-Maqrizi sangat mempengaruhi penurunan
nilai mata uang secara drastis,Akibatnya uang tidak lagi bernilai dan harga-harga melambung tinggi yang
pada gilirannya menimbulkan kelangkaan bahan makanan.
Al-Maqrizi menyatakan bahwa penciptaan mata uang dengan kualitas yang buruk akan melenyapkan mata
uang yang berkualitas baik.Menurut Al-Maqrizi,pencetakan mata uang harus disertai dengan perhatian yang
lebih besar dari pemerintah untuk menggunakan mata uang tersebut dalam bisnis selanjutnya dan hal ini
tidak boleh diabaikanDalam hal pajak,Al-Maqrizi melarang pemerintah yang menerapkan sistem perpajakan
yang menindas rakyat dengan memberlakukan berbagai pajak baru serta menaikkan tingkat pajak yang telah
5) KEBANGKITAN STUDI EKONOMI ISLAM

Baru tiga dasawarsa menjelang abad 21, muncul kesadaran baru umat Islam untuk mengembangkan
kembali kajian ekonomi syariah. Ajaran Islam tentang ekonomi, kembali mendapat perhatian serius dan
berkembang menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Pada era tersebut lahir dan muncul para ahli
ekonomi syariah yang handal dan memiliki kapasitas keilmuan yang memadai dalam bidang muamalah.
Sebagai realisasi dari ekonomi syariah, maka sejak tahun 1975 didirikanlah Internasional Development
Bank ( IDB ) di Jeddah. Setelah itu, di berbagai negara, baik negeri- negeri muslim maupun bukan,
berkembang pula lembaga lembaga keuangan syariah.
Sekarang di dunia telah berkembang lebih dari 400an lembaga keuangan dan perbankan yang tersebar di
75 Negara, baik di Eropa, Amerika, Timur Tengah maupun kawasan Asia lainnya. Perkembangan aset
aset bank mencatat jumlah fantastis 15 % setahun. Kinerja bank bank Islam cukup tangguh dengan
hasil keuntungannya di atas perbankan konvensional. Salah satu bank terbesar di AS, City Bank telah
membuka unit syariah dan menurut laporan keuangan terakhir pendapatan terbesar City Bank berasal
dari unit syariah. Demikian pula ABN Amro yang terpusat di Belanda dan merupakan bank terbesar di
Eropa dan HSBC yanag berpusat di Hongkong serta ANZ Australia, lembaga-lembaga tsb telah
membuka unit-unit syariah.
Dalam bentuk kajian akademis, banyak Perguruan Tinggi di Barat dan di Timur Tengah yang
mengembangkan kajian ekonomi Islam,di antaranya, Universitas Loughborough Universitas Wales,
Universitas Lampeter di Inggris. yang semuanya juga di Inggris. Demikian pula Harvard School of Law,
(AS), Universitas Durhem, Universitas Wonglongong Australia, serta lembaga populer di Amerika
Serikat, antara lain Islamic Society of north America (ISNA). Kini Harvard University sebagai
universitas paling terkemuka di dunia, setiap tahun menyelenggrakan Harvard University Forum yang
membahas tentang ekonomi Islam.

Anda mungkin juga menyukai