Alhamdulillah, ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT karena atas hidayah-
Nya maka proses penulisan makalah “sejarah pendidikan islam” ini dapat terwujud.
Penyusunan makalah ini untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah ekonomi islam
. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
Wasallam. Dan keluarganya juga para sahabatnya serta para pengikutnya yang serta
sampai akhir zaman.
penulis
Ilmu ekonomi islam sebagai studi ilmu pengetahuan modern baru muncul
pada 1970-an. tetapi pemikiran tentang ekonomi Islam telah muncul sejak Islam itu
diturunkan melalui Nabi Muhammmad Saw. Karena rujukan utama pemikiran islami
adalah Alquran dan Hadits maka pemikiran ekonomi ini munculnya juga bersamaan
dengan ditunkannya Alquran dan masa kehidupan Rasulullah Saw. pada abad akhir 6
M hingga awal abad 7 M. Setelah masa tersebut banyak sarjama muslim yang
memeberikan kontribusi karya pemikiran ekonomi. Karya-karya mereka sangat
berbobot, yaitu memiliki dasar argumentasi relijius dan sekaligus intelektual yang
kuat serta -kebanyakan- didukung oleh fakta empiris pada waktu itu. Banyak di
antaranya juga sangat futuristik di mana pemikir-pemikir Barat baru mengkajinya
ratusan abad kemudian. Pemikiran ekonomi di kalangan pemikir muslim banyak
mengisi khasanah pemikiran ekonomi dunia pada masa dimana Barat masih dalam
kegelapan ( dark age ) (Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, 2013).
Pada masa tersebut dunia Islam justru mengalami puncak kejayaan dalan berbagai
bidang.
Dalam lintasan sejarah umat Islam di dapati banyak sekali tokoh yang
membincangkan persoalan ekonomi yang secara sosiologis turut membangun teori-
teori/konsep ekonomi, seperti pada zaman Rasulullah SAW, Pemikiran Abu Yusuf
(w.182 H), Yahya bin Adam (w.303 H), Al-Ghozali (w.505 H), Ibnu Rusyd (w.595
H), al-Izz bin Abdis Salam (w.660 H), al-Farabi (w.339H), Ibnu Taymiyah (w.728
H), Ibnu Khaldun (w.808 H), al-Maqrizi (w.845 H), Shah Waliyullah (w.1176 H )dan
lain-lain.
Namun demikian, agar lebih tepat dalam memotret sejarah sosial terbentuknya
teori ekonomi tersebut, Makalah ini akan menjelaskan beberapa di antara para
pemikir muslim yang telah disebutkan. Pilihan terhadap pemikir-pemikir Ekonomi
dimaksudkan untuk memberikan gambaran bahwa dalam kehidupan sosial tertentu,
akan memunculkan corak pemikiran tertentu pula (dalam hal ini pemikitan tentang
ekonomi).
B. Rumusan Masalah
1. Pemikiran Ekonomi Rasulullah SAW masa awal pemerintahan islam
2. Pemikiran Abu Yusuf (731-798 M)
3. Pemikiran Abu Ubyd Al-Kasim Ibn Sallam (833 M)
4. Pemikiran Al-Ghazali (1111 M)
5. Pemikiran Ibn Taimiyah (1261-1762M)
6. Pemikiran Ibn Khaldun (1404M)
7. Pemikiran Shah Waliullah (1703-1762M)
C. Tujuan Penulisan
Pada saat awal didirikanya pemerintah islam, dapat dikatakan kondisi masyarakat
madinah masih sangat tidak menentu dan memprihatinkan .oleh karena itu,
Rasulullah SAW memikirkan untuk mengubah jalan secara berlahan-lahan dengan
mengatasi berbagai masalah utama tanpa tergantung pada factor keuangan. Dalam hal
ini, strategi yang digunakan oleh Rasulullah SAW adalah dengan melakukan langkah-
langkah sebagai berikut :
a. Larangan najsy.
b. Larangan bay ba’dh Ala ba’dh.
c. Larangan tallaqi Al-rukhban.
d. Larangan ihtinaz dan ikhtikar.
Dari langkah-langkah yang dilakukan Rasulullah SAW sehingga terjadilah
aktivitas mempersaudarakan kaum ansar dan kaum muhajirin dengan menerapkan
muzara’ah, sehingga tumbuh mata pencaharian baru bagi kaum muhajirin. Sampai
akhirnya madinah dinyatakan tempat anti pelanggaran antara dua harrashnya (daerah
pegunungan berapi disekitar madinah), padang rumputnya tidak boleh dipotong,
pepohonanya tidak boleh ditebang dan tidak boleh membawa senjata untuk
perkelahian, kekerasan ataupun peperangan.
Abu Yusuf, yang dalam literatur Islam sering disebut dengan Imam Abu Yusuf
Ya’qub bin Ibrahim bin Habib al-Ansāri al-Jalbi al-Kufi al-Baghdādi lahir pada tahun
113 H/731/732 M di Kufah dan pernah tinggal di Baghdad, serta meninggal pada
tahun 182 H/798 M. Ia berasal dari suku Bujailah, salah satu suku Arab. Keluarganya
disebut Ansori karena dari pihak ibu masih mempunyai hubungan dengan kaum
Ansor (pemeluk Islam pertama dan penolong Nabi Muhammad SAW) di masa
hidupnya di Kufah, yang terkenal sebagai daerah pendidikan yang diwariskan oleh
Abdullah Ibnu Mas‟ud (w. 32 H) seorang sahabat besar Nabi Muhammad SAW.
Oleh karena itu, menurut Abu Yusuf, fenomena perekonomian tidak selalu
berhubungan secara langsung dengan sebab akibat (undang-undang tentang
perekonomian). Hubungan biasanya bersifat tidak langsung karena melalui kehendak
tertinggi, atau kehendak wakil Tuhan di permukaan bumi dalam bentuk masyarakat
muslim, penguasa atau lainnya. Para Khalifah Tuhan memiliki wewenang untuk
mengambil keputusan berkaitan dengan sejumlah fenomena-fenomena perekonomian
seperti perbaikan tanah dan lain-lain. Tentang keuangan,
Abu Yusuf menyatakan bahwa uang negara bukan milik Khalifah dan Sultan, tetapi
amanat Allah s.w.t. dan rakyatnya, yang harus dijaga dengan penuh tanggungjawab.
Hubungan penguasa dengan kas negara sama seperti hubungan seorang wali dengan
harta anak yatim yang diasuhnya. Menurut Abu Yusuf, sumber ekonomi berada pada
dua tingkatan: tingkat pertama meliputi unsur-unsur alam (antara lain air dan tanah).
Unsur-unsur ini paling kuat dan melakukan produksi secara mandiri. Tingkatan kedua
tenaga kerja. Tingkatan yang kedua ini berperan kurang maksimal dan tidak rutin
seperti perbaikan dan pemanfaatan tanah, membuat sistem irigasi dan lain-lain.
Sebetulnya produksi dalam pengertian membuat barang baku (setengah jadi) menjadi
produk final melalui kerja, tidak banyak menarik perhatian Abu Yusuf termasuk pada
proses permulaan seperti menghidupkan tanah mati (Ihyā’ al-Mawāt) dan tidak
bertuan harus diberikan kepada seseorang yang dapat mengembangkan dan
menanaminya serta membayar pajak yang diterapkan pada tanah tersebut.
Abu Ubaid bin Salam bin Miskin bin Zaid al-Azdi Lahir tahun 774 M dan wafat
838 M. Abu Ubaid merupakan orang pertama yang memotret kegiatan perekonomian
di zaman Rasulullah SAW, Khulafaur Rasyidin, para sahabat dan tabi’in-tabi’in.
Pemikiran Abu Ubaid tentang ini dapat dilihat dalam kitabnya, Al Amwaal yang
ditulisnya hampir 1000 tahun sebelum Adam Smith (1723-1790) menelurkan teori
keunggulan absolutnya.
Pemikiran Abu Ubaid tentang ekspor impor ini dapat dibagi kepada tiga bagian,
yaitu : tidak adanya nol tarif dalam perdagangan internasional, cukai bahan makanan
pokok lebih murah, dan ada batas tertentu untuk dikenakan cukai. Tidak Adanya Nol
Tarif Pengumpulan cukai merupakan kebiasaan pada zaman jahiliah dan telah
dilakukan oleh para raja bangsa Arab dan non Arab tanpa pengecualian. Sebab,
kebiasaan mereka adalah memungut cukai barang dagangan impor atas harta mereka,
apabila masuk ke dalam negeri mereka.
Dari Abdur rahman bin Ma’qil, ia berkata, “Saya pernah bertanya kepada Ziyad
bin Hudair, ‘Siapakah yang telah kalian pungut cukai barang impornya? Ia berkata,
‘Kami tidak pernah mengenakan cukai atas Muslim dan Mu’ahid’. ‘Saya bertanya,
‘Lantas, siapakah orang yang telah engkau kenakan cukai atasnya?’ Ia berkata, “Kami
mengenakan cukai atas para pedagang kafir harbi, sebagaimana mereka telah
memungut barang impor kami apabila kami masuk dan mendatangi negeri mereka”.
Hal tersebut diperjelas lagi dengan surat-surat Rasulullah, dimana beliau
mengirimkannya kepada penduduk penjuru negeri seperti Tsaqif, Bahrain, Dawmatul
Jandal dan lainnya yang telah memeluk agama Islam. Isi surat tersebut adalah
“Binatang ternak mereka tidak boleh diambil dan barang dagangan impor mereka
tidak boleh dipungut cukai atasnya”. Umar bin Abdul Aziz telah mengirim sepucuk
surat kepada ‘Adi bin Artha’ah yang isinya adalah “Biarkanlah bayaran fidyah
manusia. Biarkanlah bayaran makan kepada ummat manusia. Hilangkanlah bayaran
cukai barang impor atas ummat manusia. Sebab, ia bukanlah cukai barang impor.
Akan tetapi ia merupakan salah satu bentuk merugikan orang lain, sebagaimana
firman Allah, ‘Dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan
jangan kamu membuat kejahatan di bumi dengan berbuat kerusakan’ QS.Huud : 85.
Dari uraian diatas, Abu Ubaid mengambil kesimpulan bahwa cukai merupakan
adat kebiasaan yang senantiasa diberlakukan pada zaman jahiliah. Kemudian Allah
membatalkan sistem cukai tersebut dengan pengutusan Rasulullah dan agama Islam.
Lalu, datanglah kewajiban membayar zakat sebanyak seperempat dari ‘usyur (2.5%).
Dari Ziyad bin Hudair, ia berkata, “Saya telah dilantik Umar menjadi petugas bea
cukai. Lalu dia memerintahkanku supaya mengambil cukai barang impor dari para
pedagang kafir harbi sebanyak ‘usyur (10%), barang impor pedagang ahli dzimmah
sebanyak setengah dari ‘usyur (5%), dan barang impor pedagang kaum muslimin
seperempat dari ‘usyur (2.5%)”. Yang menarik, cukai merupakan salah satu bentuk
merugikan orang lain, yang sekarang ini didengungkan oleh penganut perdagangan
bebas (free trade), bahwa tidak boleh ada tarif barrier pada suatu negara. Barang
dagangan harus bebas masuk dan keluar dari suatu negara. Dengan kata lain, bea
masuknya nol persen. Tetapi, dalam konsep Islam, tidak ada sama sekali yang bebas,
meskipun barang impor itu adalah barang kaum muslimin. Untuk barang impor kaum
muslimin dikenakan zakat yang besarnya 2.5%. Sedangkan non muslim, dikenakan
cukai 5% untuk ahli dzimmah (kafir yang sudah melakukan perdamaian dengan
Islam) dan 10% untuk kafir harbi (Yahudi dan nasrani).
Jadi, tidak ada prakteknya sejak dari dahulu, bahwa barang suatu negara bebas
masuk ke negara lain begitu saja. Cukai Bahan Makanan Pokok Untuk minyak dan
gandum yang merupakan bahan makanan pokok, cukai yang dikenakan bukan 10%
tetapi 5% dengan tujuan agar barang impor berupa makanan pokok banyak
berdatangan ke Madinah sebagai pusat pemerintahan saat itu. Dari Salim bin
Abdullah bin Umar dari ayahnya, ia berkata, “Umar telah memungut cukai dari
kalangan pedagang luar masing-masing dari minyak dan gandum dikenakan bayaran
cukai sebanyak setengah dari ‘usyur (5%). Hal ini bertujuan supaya barang impor
terus berdatangan ke negeri madinah. Dan dia telah memungut cukai dari barang
impor al- Qithniyyah sebanyak ‘usyur (10%)”. Ada Batas Tertentu untuk Cukai Yang
menarik, tidak semua barang dagangan dipungut cukainya. Ada batasbatas tertentu
dimana kalau kurang dari batas tersebut, maka cukai tidak akan di pungut.
Dari Ruzaiq bin Hayyan ad-Damisyqi (dia adalah petugas cukai di perbatasan
Mesir pada saat itu) bahwa Umar bin Abdul Aziz telah menulis surat kepadanya,
yang isinya adalah, “Barang siapa yang melewatimu dari kalangan ahli zimmah,
maka pungutlah barang dagangan impor mereka. Yaitu, pada setiap dua puluh dinar
mesti dikenakan cukai sebanyak satu dinar. Apabila kadarnya kurang dari jumlah
tersebut, maka hitunglah dengan kadar kekurangannya, sehingga ia mencapai sepuluh
dinar. Apabila barang dagangannya kurang dari sepertiga dinar, maka janganlah
engkau memungut apapun darinya. Kemudian buatkanlah surat pembayaran cukai
kepada mereka bahwa pengumpulan cukai akan tetap diberlakukan se hingga sampai
satu tahun”. Jumlah sepuluh dinar adalah sama dengan jumlah seratus dirham di
dalam ketentuan pembayaran zakat. Seorang ulama Iraq, Sufyan telah menggugurkan
kewajiban membayar cukai apabila barang impor ahli dzimmah tidak mencapai
seratus dirham. Menurut Abu Ubaid, seratus dirham inilah ketentuan kadar terendah
pengumpulan cukai atas harta impor ahli dzimmah dan kafir harbi.
D. Al-Ghazali (1111 M)
Salah satu kontribusi pemikiran ekonomi Imam Al Ghazali yang sangat penting
adalah analisis terhadap fungsi uang (khususnya uang emas dan perak). Menurut
beliau, fungsi uang sangat sederhana, yaitu hanya sebagai media alat tukar.
Contohnya, seseorang memiliki sekarung kunyit. Sementara dia lebih membutuhkan
seekor unta yang akan dia tunggangi. Sementara itu, ada seseorang yang memiliki
seekor unta, tetapi dia membutuhkan kunyit yang akan dia konsumsi. Di sini
diperlukan alat tukar sebagai pengukur nilai dari satuan unit komoditas yang berbeda-
beda.
2. Perilaku Konsumen
Ibnu taimiyah sangat memahami tentang ekonomi pasar bebas dan bagaimana
harga ditentukan melalui kekuatan permintaan dan penawaran. Dia mengatakan naik
turunnya harga tidak selalu diakibatkan oleh kezaliman orangorang tertentu.
Terkadang, hal tersebut disebabkan oleh kekurangan produksi atau penurunan impor
barang-barang yang diminta. Oleh karena itu, apabila permintaan naik dan penawaran
turun, harga naik. Di sisi lain,apabila persediaan barang meningkat dan permintaan
terhadapnya menurun, harga pun turun. Kelangkaan atau kelimpahan ini bukan
disebabkan oleh tindakan orang-orang tertentu. Ia bisa disebabkan oleh sesuatu yang
tidak mengandung kezaliman atau terkadang, ia juga bisa disebabkan oleh kezaliman.
Hal ini adalah kemahakuasaan Allah yang telah menciptakan keinginan di hati
manusia.”
Hak milik (Property Rights) Dalam hal kepemilikan atas sumber daya
ekonomi, Ibn taimiyah tampaknya berada pada pandangan pertengahan jika dilihat
dari pemikiran ekstrem kapitalisme dan sosialisme saat ini, meskipun ia sangat
menekankan pentingnya pasar bebas, tetapi negeri harus membatasi dan menghambat
kepemilikan individual yang berlebihan, kepentingan bersama harus menjadi tujuan
utama dari pembangunan ekonomi.
Salah satu karya fenomenal Ibnu Khaldun adalah Kitab Al-Muqaddimah, yang
selesai penulisannya pada Nopember 1377. Sebuah kitab yang sangat menakjubkan,
karena isinya mencakup berbagai aspek ilmu dan kehidupan manusia pada ketika itu.
Al-Muqaddimah secara harfiah bararti 'pembukaan' atau 'introduksi' dan merupakan
jilid pembuka dari tujuh jilid tulisan sejarah. Al-Muqaddimah mencoba untuk
menjelaskan prinsip-prinsip yang menentukan kebangkitan dan keruntuhan dinasti
yang berkuasa (daulah) dan peradaban ('umran). Tetapi bukan hanya itu saja yang
dibahas. Al-Muqaddimah juga berisi diskusi ekonomi, sosiologi dan ilmu politik,
yang merupakan kontribusi orisinil Ibnu Khaldun untuk cabang-cabang ilmu tersebut.
Ibnu Khaldun juga layak mendapatkan penghargaan atas formula dan ekspresinya
yang lebih jelas dan elegan dari hasil karya pendahulunya atau hasil karya ilmuwan
yang sejaman dengannya. Melahirkan karya Al-Muqaddimah menjadikan Ibnu
Khaldun sebagai seorang genius polymath (jenius dalam berbagai bakat) dan seorang
renaissance man yang menguasai banyak bidang ilmu. Di dalam kitab ini, Ibnu
Khaldun membincangkan berbagai topik seperti sejarah, geografi, matematik, agama,
sistem kerajaan, sistem ekonomi, sistem pendidikan dan lain-lain.
Adapaun pemikiran Ekonomi yang paling mencolok dari Ibn Khaldun adalah
Mekanisme Pasar dalam Penentuan Harga, Kebijakan Monete (Moneter Policy), Hak
milik (Property Rights).
Ibnu Khaldun hidup di jaman di mana mata uang sudah menjadi alat
penghargaan. Pada masa itu ia sudah membicarakan kemungkinan yang bakal terjadi
tentang kedudukan yang selanjutnya dari mata uang. Dia menulis sebagai berikut.
“Sesudah demikian, Allah telah menjadikan pula dua barang galian yang
berharga, ialah emas dan perak menjadi bernilai di dalam perhubungan ekonomi.
Keduanya menurut kebiasaan menjadi alat perhubungan dan alat simpanan bagi
penduduk dunia. Jika terjadi alat perhubungan dengan yang lainnya pada beberapa
waktu, maka tujuan yang utama tetap untuk memiliki kedua benda itu di dalam
peredaran harga-harga pasar, karena keduanya terjauh dari pasar itu”
G. Shah Waliullah(1114-1176H/1703-1762M)