Anda di halaman 1dari 21

Ekonomi Islam

KEBANGKITAN EKONOMI ISLAM


Oleh :
Angga P. Ziaul Haqie (11402693)


Dosen Pembimbing :
Aji S.E


FAKULTAS EKONOMI MANAJEMEN
UNIVERSITAS ISLAM DARUL ULUM LAMONGAN
TAHUN 2012/2013

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sudah dari beberapa dasawarsa yang lalu, dunia telah mengalami
polarisasi dari dua kekuatan sistem ekonomi, ditandai dengan adanya dua
negara adidaya sebagai representasi dua system ekonomi tersebut, Amerika
dan sekutu Eropa baratnya merupakan bagian kekuatan dari sistem ekonomi
kapitalis, sedangkan ekonomi sosisalis diwakili oleh Uni Soviet dan Eropa
Timur serta negara China dan Indochina seperti Vietnam dan Kamboja. Dua
sistem ekonomi ini lahir dari dua muara idiologi yang berbeda sehingga
persaingan dua sistem ekonomi tersebut hakikatnya merupakan pertentangan
dua idiologi politik dan pembangunan. Posisi negara muslim pasca
berakhirnya perang dunia kedua menjadi objek tarik menarik dua kekuatan
idiologi tersebut. Hal ini disebabkan tidak adanya visi konstruksi
pembangunan ekonomi yang dimiliki para pemimpin negara muslim dari
sumber Islami orisinil pasca lahirnya negara bangsa sebagai akibat dari
pengaruh penjajahan dan kolonialisme barat.
Dan di dalam suasana tarik-menarik tersebut lahirlah ide untuk
kembali pada sistem yang orisinal di dua dasawarsa terakhir ini. Gerakan
Islamisasi ekonomi ini kemudian menjelma menjadi suatu gerakan yang
sangat menarik hingga kini. Dari sinilah timbul perntanyaan mendasar yang
membutuhkan jawaban yaitu tentang apa sesungguhnya keunggulan sistem
ekonomi Islam jika dibandingkan dengan sistem ekonomi lainnya, dan
bagaimana cara membuatnya bertahan bahkan terus berkembang dengan pesat.




2. Tujuan
a. Ditujukan untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Ekonomi Islam dan
menambah nilai pada mata kuliah tersebut.
b. Untuk menambah pengetahuan tentang perkembangan kebangkitan
ekonomi Islam di dunia dan terutama di Indonesia dari masa lalu hingga
kini.
c. Membangkitkan kembali semangat membangun Ekonomi Islam agar bisa
terus bersaing dengan Ekonomi modern saat ini.
d. Agar kita semua dapat melaksanakan Ekonomi Islam dengan baik dan
benar dan sesuai dengan Syariah.
e. Menjalankan kegiatan Ekonomi yang sesuai dengan ajaran Islam.

3. Masalah
a. Adanya kekurangan bahan tulisan bagi penulis untuk menyelesaikan
makalah ini dengan baik.
b. Kurangnya referensi dari penulis tentang kebangkitan Ekonomi Islam yg
terjadi dari dulu hingga sekarang.
c. Ekonomi Islam masih relatif belum dipahami dengan baik oleh masyarakat
saat ini.








BAB II
LANDASAN TEORI

Perkembangan teori ekonomi Islam telah dimulai dari diturunkannya ayat-
ayat tentang ekonomi dalam al-Quran, seperti: QS. Al-Baqarah ayat ke 275 dan
279 tetang jual-beli dan riba; QS. Al-Baqarah ayat 282 tentang pembukuan
transaksi; QS. Al-Maidah ayat 1 tentang akad; QS. Al-Araf ayat 31, An-Nisa
ayat 5 dan 10 tentang pengaturan pencarian, penitipan dan membelanjakan harta.
Ayat-ayat ini, menurut At-Tariqi[3] menunjukkan bahwa Islam telah menetapkan
pokok ekonomi sejak pensyariatan Islam (Masa Rasulullah SAW) dan dilanjutkan
secara metodis oleh para penggantinya (Khulafaur Rosyidin). Pada masa ini
bentuk permasalaan perokonomian belum sangat variatif, sehingga teori-teori
yang muncul pun belum beragam. Hanya saja yang sangat subtansial dari
perkembangan pemikiran ini adalah adanya wujud komitmen terhadap realisasi
visi Islam rahmatan lil alamin. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam dari
sejak masa nabi sampai sekarang dapat dibagi menjadi 6 tahapan.[4]
1) Tahap Pertama (632-656M), Masa Rasulullah SAW.
2) Tahap Kedua (656-661M), pemikiran ekonomi Islam di Masa Khulafaur
Rosyidin.
3) Tahap Ketiga atau Periode Awal (738-1037), Pemikir Ekonomi Islam
periode ini diwakili Zayd bin Ali (738M), Abu Hanifa (787 M), Awzai
(774), Malik (798), Abu Yusuf (798 M), Muhammad bin Hasan Al
Syaibani (804), Yahya bin Dam (818 M), SyafiI (820 M), Abu Ubayd
(838 M), Amad bin Hambal (855 M), Yahya bin Hambal (855 M), Yahya
bin Umar (902 M), Qudama bin Jafar (948 M), Abu Jafar al Dawudi (1012
M), Mawardi (1058 M), Hasan Al Basri (728 M), Ibrahim bin Dam (874
M) Fudayl bin Ayad (802 M), Makruf Karkhi (815 M), Dzun Nun Al
Misri (859), Ibn Maskawih (1030 M), Al Kindi (1873 M), Al Farabi (950
M), Ibnu Sina (1037).
4) Tahap Keempat atau Periode Kedua (1058-1448 M). Pemikir Ekonomi
Islam Periode ini Al Gazali (1111 M), Ibnu Taymiyah (1328 M), Ibnu
Khaldun (1040 M), Syamsuddin Al Sarakhsi (1090 M), Nizamu Mulk Tusi
(1093 M), Ibnu Masud Al kasani (1182 M), Al-Saizari (1993), fakhruddin
Al Razi (1210 M), Najnudin Al Razi (1256 M), Ibnul Ukhuwa (1329 M),
Ibnul Qoyyim (1350 M), Muhammad bin Abdul rahman Al Habshi (1300
M), Abu Ishaq Al Shatibi (1388 M), Al Maqrizi (1441 M), Al Qusyairi
(857), Al Hujwary (1096), Abdul Qadir Al Jailani (1169 M), Al Attar
(1252 M), Ibnu Arabi (1240), Jalaluddin Rumi (1274 M), Ibnu Baja (1138
M), Ibnulk Tufayl (1185 M), Ibnu Rusyd (1198 M).
5) Tahap Kelima atau Periode Ketiga (1446-1931 M). Shah Walilullah Al
Delhi (1762 M), Muhammad bin Abdul Wahab (1787 M), Jamaluddin Al
Afghani (1897 M), Mufti Muhammad Abduh (1905 M), Muhammad Iqbal
(1938 M), Ibnu Nujaym (1562 M), Ibnu Abidin (1836), Syeh Ahmad
Sirhindi (1524M).
6) Tahap Keenam atau Periode Lanjut (1931 M Sekarang). Muhammad
Abdul Mannan (1938), Muhammad Najatullah Siddiqi (1931 M), Syed
Nawad Haider Naqvi (1935), Monzer Kahf, Sayyid Mahmud Taleghani,
Muhammad Baqir as Sadr, Umer Chapra.
Banyak sekali keterangan dari Al-Quran yang menyinggung masalah
ekonomi, baik secara eksplisit maupun implisit. Bagaimana jual-beli yang baik
dan sah menurut Islam, pinjam meminjam dengan akad-akad yang sah sampai
dengan pelarangan riba dalam perekonomian. Walaupun pada kitab suci
sebelumnya juga pernah disebutkan, dimana perbuatan riba itu dibenci Tuhan.
Sedangkan pada tatanan teknisnya diperjelas dengan hadis serta teladan dari
Rasulullah dan para alim ulama.
Dari namanya sudah dapat dipastikan bahwa secara ideologi sistem
ekonomi Islam kental dengan nuansa keislaman. Sistem ekonomi Islam
memberikan tuntunan pada manusia dalam perilakunya untuk memenuhi segala
kebutuhannya dengan keterbatasan alat pemuas dengsn jalan yang baik dan alat
pemuas yang tentunya halal, secara dzatnya maupun secara perolehannya.
Objek kajian sistem ekonomi Islam adalah homo-economy-religius,
dimana secara fitrah manusia membutuhkan pengejewantahan rasa berkeTuhanan
dengan melakukan nilai-nilai syariat Islam. Tanpa harus memandang sisi sistem
ekonomi Islam sebagai ekonomi posistif dan normatif. Sedangkan objek kajian
yang lain adalah sebagai bagian dari manusia yang belum menerima hidayah dan
tengah tenggelam dalam kehidupan parsial. Sebuah derivisi dari kesejatian dalam
ber-Islam diharapkan bisa memberikan kesejahteraan bagi semua manusia,
sebagaimana Islam diturunkan untuk makhluk di bumi ini agar selamat sejahtera.
















BAB III
PEMBAHASAN

A. Sejarah Kebangkitan Ekonomi Islam
Sesungguhnya telah sepuluh abad sebelum orang-orang Eropa
menyusun teori-teori tentang ekonomi, telah diturunkan oleh Allah Swt
sebuah analisa tentang ekonomi yang khas di daerah Arab. Hal yang lebih
menarik adalah bahwa analisa ekonomi tersebut tidak mencerminkan keadaan
bangsa Arab pada waktu itu, tetapi adalah untuk seluruh dunia. Jadi
sesungguhnya hal tersebut merupakan hidayah dari Allah Swt, Tuhan yang
mengetahui sedalam-dalamnya akan isi dan hakikat dari segala sesuatu.
Kemudian struktur ekonomi yang ada dalam firman Allah dan sudah sangat
jelas aturan-aturannya tersebut, pernah dan telah dilaksanakan dengan baik
oleh umat pada waktu itu. Sistem ekonomi tersebut adalah susatu susunan
baru yang bersifat universal, bukan merupakan ekonomi nasional bangsa
Arab. Sistem ekonomi tersebut dinamakan ekonomi Islam.
Berbagai pemikiran dari para sarjana ataupun filosof-filosof zaman
dahulu mengenai ekonomi tersebut juga sudah ada. Diantaranya adalah
pemikiran Abu Yusuf (731-798 M), Yahya Ibnu adam (wafat 818 M), Al-
Farabi (870-950 M), Ibnu Sina (980-1037 M), el-Hariri (1054-1122 M), Imam
al-Ghozali (1058-1111 M), Tusi (1201-1274 M), Ibnu Taimiyah (1262-1328
M), Ibnu Khaldun (1332-1406 M) dan lain-lain . Barangkali tidaklah pada
tempatnya untuk menyebut secara singkat sumbangan dari beberapa diantara
mereka itu. Sumbangan Abu Yusuf terhadap keuangan umum adalah
tekanannya terhadap peranan negara, pekerjaan umum dan perkembangan
pertanian yang bahkan masih berlaku sampai sekarang ini.
Gagasan Ibnu Taimiyah tentang harga ekuivalen, pengertiannya
terhadap ketidaksempurnaan pasar dan pengendalian harga, tekanan terhadap
peranan negara untuk menjamin dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok
rakyat dan gagasannya terhadap hak milik. Memberikan sejumlah petunjuk
penting bagi perkembangan ekonomi dunia sekarang ini. Ibnu Khaldun telah
memberikan definisi ekonomi yang lebih luas dari Tusi. Dia menganggap
bahwa ilmu ekonomi merupakan ilmu pengetahuan yang positif maupun
normatif. Maksudnya mempelajari ekonomi adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, dan bukan kesejahteraan individu. Ibnu Khaldun
yang telah melihat adanya hubungan timbale balik antara factor-faktor
ekonomi, politik, sosial, etika dan pendidikan. Dia memperkenalkan sejumlah
gagasan ekonomi yang mendasar seperti pentingnya pembagian kerja,
pengakuan terhadap sumbangan kerja dalam teori nilai, teori mengenai
pertumbuhan penduduk, pembentukan modal, lintas perdagangan, sistem
harga dan sebagainya.
Secara keseluruhan para cendekiawan tersebut pada umumnya dan
Ibnu Khaldun pada khususnya dapat dianggap sebagai pelopor perdagangan
fisiokrat dan klasik (misalnya Adam Smith, Ricardo dan Malthus) dan neo
klasik (misalnya Keynes).
Sebutan ekonomi Islam melahirkan kesan beragam. Bagi sebagian
kalangan, kata Islam memposisikan Ekonomi Islam pada tempat yang
sangat ekslusif, sehingga menghilangkan nilai kefitrahannya sebagai tatanan
bagi semua manusia. Bagi lainnya, ekonomi Islam digambarkan sebagai
ekonomi hasil racikan antara aliran kapitalis dan sosialis, sehingga ciri hal
khusus yang dimiliki oleh ekonomi Islam itu sendiri hilang.
Sebenarnya ekonomi Islam adalah satu sistem yang mencerminkan
fitrah dan ciri khasnya sekaligus. Dengan fitrahnya ekonomi Islam merupakan
satu sistem yang dapat mewujudkan keadilan ekonomi bagi seluruh umat.
Sedangkan dengan cirri khasnya, ekonomi Islam dapat menunjukan jati
dirinya-dengan segala kelebihannya pada setiap sistem yang dimilikinya.
Ekonomi Rabbani menjadi ciri khas utama dari model Ekonomi Islam.
Chapra menyebutnya dengan Ekonomi Tauhid. Tapi secara umum dapat
dikatakan sebagai divine economics. Cerminan watak ketuhanan ekonomi
Islam bukan aspek pelaku ekonominya - sebab pelakunya pasti manusia
tetapi pada aspek aturan atau sistem yang harus dipedomani oleh pelaku
ekonomi. Ini didasarkan pada keyakinan bahwa semua factor ekonomi
termasuk diri manusia pada dasarnya adalah milik Allah, dan kepadaNya
(kepada aturanNya) dikembalikan segala urusan (QS 3:109). Melalui aktivitas
ekonomi, manusia dapat mengumpulkan nafkah sebanyak mungkin, tetapi
tetap dalam batas koridor aturan main. Dialah yang memberi kelapangan atau
membatasi rezeki orang yang Dia kehendaki (QS. 42:12,13, 26). Atas hikmah
Ilahiah, untuk setiap makhluk hidup telah Dia sediakan rezekinya selama ia
tidak menolak untuk mendapatkannya (QS 11:6) Namun Allah tak pernah
menjamin kesejahteraan ekonomi tanpa manusia tadi melakukan usaha.
Sebagai ekonomi yang ber-Tuhan maka ekonomi Islam meminjam
istilah dari Ismail al-faruqi mempunyai sumber nilai-nilai normative-
imperatif, sebagaim acuan yang mengikat. Dengan mengakses kepada aturan
Ilahiah, setiap perbuatan manusia mempunyai nilai moral dan ibadah. Setiap
tindakan manusia tidak boleh lepas dari nilai yang secara vertical
merefleksikan moral yang baik, dan secara horizontal memberi manfaat bagi
manusia dan makhluk lainnya.
Sistem ekonomi Islam mengalami perkembangan sejarah baru pada era
modern. Menurut Khurshid Ahmad, yang dikenal sebagai bapak ekonomi
Islam, ada tiga tahapan perkembangan dalam wacana pemikiran ekonomi
Islam, yaitu :
1) Tahapan Pertama, dimulai ketika sebagian ulama, yang tidak memiliki
pendidikan formal dalam bidang ilmu ekonomi namun memiliki
pemahaman terhadap persoalan-persoalan sosio-ekonomi pada masa
itu, mencoba untuk menuntaskan persoalan bunga. Mereka
berpendapat bahwa bunga bank itu haram dan kaum muslimin harus
meninggalkan hubungan apapun dengan perbankan konvensional.
Mereka mengundang para ekonom dan banker untuk saling bahu
membahu mendirikan lembaga keuangan yang didasarkan pada
prinsip-prinsip syariah dan bukan pada bunga. Masa ini dimulai kira-
kira pada pertengahan decade 1930-an dan mengalami puncak
kemajuannya pada akhir decade 1950-an dan awal decade 1960-an.
Pada masa itu di Pakistan didirikan Bank Islam local yang beroperasi
bukan pada bunga, lembaga keuangan ini diberi nama Mit Ghomr
Local Saving Bank yang berlokasi di delta sungai Nil, Mesir.
2) Tahapan Kedua, dimulai pada akhir dasa warsa 1960-an. Pada tahapan
ini para ekonom muslim yang pada umumnya dididik dan dilatih di
perguruan tinggi terkemuka di Amerika Serikat dan Eropa mulai
mencoba mengembangkan aspek-aspek tertentu dari sistem moneter
Islam. Mereka melakukan analisis ekonomi terhadap larangan riba
(bunga) dan mengajukan alternatif perbankan yang tidak berbasis
bunga. Serangkaian konferensi dan seminar tentang ekonomi Islam
digelar dengan mengundang para pakar, ulama, ekonom baik muslim
dan nonmuslim. Konfrensi internasional pertama tentang ekonomi
Islam pertama diadakan di Makkah al-Mukaromah pada tahun 1976
yang disusul kemudian dengan konferensi internasional tentang Islam
dan Tata Ekonomi internasional yang baru di London pada tahun 1977.
Pada tahapan ini muncul nama-nama ekonom muslim terkenal
diseluruh dunia Islam antara lain : Prof. Dr. Khurshid Ahmad yang
dinobatkan sebagai bapak ekonomi Islam, Dr. M. Umer Chapra, Dr.
MA. Mannan, Dr. Omar Zubair, Dr. Ahmad An-Najjar, Dr. M.
Nezatullha Siddiqi, Dr. Fahim Khan, Dr. Munawwar Iqbal, Dr.
Muhammad Ariff, Dr. Anas Zarqa dan lain-lain. Mereka adalah
ekonom-ekonom yang didik di barat tetapi memahami sekali bahwa
Islam sebagai way of live yang integral dan komprehenshif memiliki
sistem ekonomi tersendiri dan jika diterapkan dengan baik akan
mampu membawa umat Islam kepada kedudukan yang berwibawa
dimata dunia.
3) Tahapan ketiga ditandai dengan upaya-upaya konkrit untuk
mengembangkan perbankan dan lembaga-lembaga non-riba baik
dalam sektor swasta maupun dalam sektor pemerintah. Tahapan ini
merupakan sinergi konkrit antara usaha intelektual dan material para
ekonom, pakar, banker, para pengusaha dan para hartawan muslim
yang memiliki kepedulian kepada perkembangan ekonomi Islam. Pada
tahapan ini sudah mulai didirikan bank-bank Islam dan lembaga
investasi berbasis non-riba dengan konsep yang lebih jelas dan
pemahaman ekonomi yang lebih mapan. Bank Islam pertama yang
didirikan adalah Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 di
Jeddah, Saudi Arabia. Bank Islam ini merupakan kerjasama antara
negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi
Islam (OKI). Selanjutnya bermunculan bank-bank syariah di mayoritas
negara-negara Islam termasuk di Indonesia.

B. Pengertian & Prinsip Dasar Ekonomi Islam
Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi
manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari
dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam.
Bekerja merupakan suatu kewajiban karena Allah SWT memerintahkannya,
sebagaimana firman-Nya dalam surat At Taubah ayat 105 :
Dan katakanlah, bekerjalah kamu, karena Allah dan Rasul-Nya serta orang-
orang yang beriman akan melihat pekerjaan itu. Karena kerja membawa pada
keampunan, sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad SAW :
Barang siapa diwaktu sorenya kelelahan karena kerja tangannya, maka di
waktu sore itu ia mendapat ampunan. (HR.Thabrani dan Baihaqi)
Para pakar ekonomi Islam memberikan definisi ekonomi Islam yang
berbeda-beda akan tetapi semuanya bermuara pada pengertian yang relatif
sama yaitu; suatu ilmu pengetahuan yang berupaya untuk memandang ,
meninjau, meneliti dan akhirnya menyelesaikan permasalahan-permasalahan
ekonomi secara Islami (berdasarkan ajaran-ajaran Islam).

Sedangkan prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam menurut Umer Chapra adalah
sebagai berikut :
a) Prinsip Tauhid, ini bermakna bahwa segala apa yang di alam semesta
ini didesain dan dicipta dengan sengaja oleh Allah SWT. Bukan
kebetulan, dan semuanya pasti memiliki tujuan. Tujuan inilah yang
memberikan signifikansi dan makna pada eksistensi jagat raya,
termasuk manusia yang menjadi salah satu penghuni di dalamnya.
b) Prinsip Khilafah, Manusia adalah khilafah Allah SWT. Di muka bumi.
Ia dibekali dengan perangkat baik jasmaniah maupun rohaniah untuk
dapat berperan secara efektif sebagai khilafah-Nya.
c) Prinsip Keadilan, Keadilan adalah salah satu misi utama ajaran Islam.

C. Tujuan Ekonomi Islam
Segala aturan yang diturunkan Allah SWT dalam sistem Islam
mengarah pada tercapainya kebaikan, kesejahteraan, keutamaan, serta
menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan kerugian pada seluruh ciptaan-
Nya. Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu manusia
mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat.
Seorang Fuqaha asal Mesir bernama Prof.Muhammad Abu Zahrah
mengatakan ada tiga sasaran hukum Islam yang menunjukan bahwa Islam
diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, yaitu:
a) Penyucian jiwa, agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi
masyarakat dan lingkungannya.
b) Tegaknya keadilan dalam masyarakat, Keadilan yang dimaksud
mencakup aspek kehidupan di bidang hukum dan muamalah.
c) Tercapainya Maslahah (Inti), Para ulama menyepakati bahwa
maslahah yang menjadi puncak sasaran di atas mencakup lima jaminan
dasar :
keselamatan keyakinan agama ( ad din)
kesalamatan jiwa (an nafs)
keselamatan akal (al aql)
keselamatan keluarga dan keturunan (an nasl)
keselamatan harta benda (al mal)

D. Kebangkitan Ekonomi Islam di Indonesia
Kebangkitan ekonomi umat Islam di Indonesia bersamaan dengan
kebangkitan umat Islam secara global. Ada sedikit perbedaan wacana antara
perkembangan pemikiran ekonomi Islam di Indonesia dengan yang terjadi di
berbagai belahan dunia Islam lainnya terutama di Timur Tengah. Lebih dari
separuh pertama abad dua puluh ini para ulama dan tokoh masyarakat Islam di
Indonesia lebih memikirkan bagaimana nasib ekonomi umat Islam yang dari
dulu tidak pernah dibenahi dan selalu dipinggirkan oleh penjajah Belanda.
Karena itu mereka agaknya kurang waktu untuk memikirkan dan
menggali sistem ekonomi Islam tersendiri yang rohnya diambil dari Al-Quran
dan As-Sunnah. Rasanya kita belum menemukan tulisan-tulisan dari para
tokoh Islam sendiri yang mencoba menjelaskan Islam secara komplit dan
integratif dibarengi dengan pengajuan Islam sebagai sistem kehidupan bukan
saja dalam bidang keagamaan melainkan juga dalam bidang sosial, ekonomi,
pendidikan, ilmu pengetahuan dan lain-lain.
Sebagai negara yang mayoritas penduduknya umat Islam, sistem
ekonomi syariah harus dilaksanakan sebagai sistem ekonomi yang universal,
yang mengedepankan transparansi, keadilan dan (Good governance) dalam
pengelolaan usaha dan aset-aset negara. Di mana praktik ekonomi yang
dijalankan berpihak pada rakyat kebanyakan dan berpihak pada kebenaran.
Perjalanan waktu menunjukkan, bahwa ekonomi syariah bisa menjadi
pilihan untuk mengatasi masalah umat yang saat ini masih mengalami krisis
ekonomi. Adalah menjadi tantangan bagi para pelaku ekonomi syariah untuk
lebih meningkatkan pemahaman umat soal prinsip ekonomi syariah, karena
mereka akan menjadi pasar potensial bagi penerapan ekonomi syariah yang
bukan tidak mungkin akan menjadi batu loncatan bagi penerapan hukum
syariah di semua aspek kehidupan yang menjadi impian banyak umat Islam di
negeri ini.
Di Indonesia, praktek ekonomi Islam, khususnya perbankan syariah
sudah ada sejak 1992. Diawali dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia
(BMI) dan Bank-bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Namun, pada
decade hingga tahun 1998, perkembangan bank syariah boleh dibilang agak
lambat. Pasalnya, sebelum terbitnya UU No. 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan, tidak ada perangkat hokum yang mendukung sistem operasional
bank syariah kecuali UU No. 7 Tahun 1992 dan PP No. 72 Tahun 1992.
Berdasarkan UU No. 7 Tahun 1992 itu bank syariah dipahami sebagai
bank bagi hasil. Selebihnya bank syariah harus tunduk kepada peraturan
perbankan umum yang berbasis konvensional. Karenanya manajemen bank-
bank syariah cenderung mengadopsi produk-produk perbankan konvensional
yang disyariatkan. Dengan variasi produk yang terbatas. Akibatnya tidak
semua keperluan masyarakat terakomodasi dan produk yang ada tidak
kompetitif terhadap semua produk bank konvensional. Peraturan itu menjadi
penghalang bagi berkembangnya bank syariah, karena jalur pertumbuhan
jaringan kantor bank syariah yang telah ada.





E. Gerakan Ekonomi Islam di Indonesia
Semua akar sejarah pemikiran dan aktivits ekonomi Islam Indonesia
tak bisa lepas dari awal sejarah masuknya Islam di negeri ini. Bahkan aktivitas
ekonomi syariah di tanah air tak terpisahkan dari konsepsi lingua franca.
Menurut para pakar, mengapa bahasa Melayu menjadi bahasa Nusantara, ialah
karena bahasa Melayu adalah bahasa yang populer dan digunakan dalam
berbagai transaksi perdagangan di kawasan ini. Para pelaku ekonomi pun
didominasi oleh orang Melayu yang identik dengan orang Islam. Bahasa
Melayu memiliki banyak kosa kata yang berasal dari bahasa Arab. Ini berarti
banyak dipengaruhi oleh konsep-konsep Islam dalam kegiatan ekonomi. Maka
dapat disimpulkan bahwa aktivitas ekonomi syariah tidak dalam bentuk formal
melainkan telah berdifusi dengan kebudayaan Melayu sebagaimana terceriman
dalam bahasanya. Namun demikian, penelitian khusus tentang institusi dan
pemikiran ekonomi syariah nampaknya belum ada yang meminatinya secara
khusus dan serius. Oleh karena itu, nampak kepada kita adalah upaya dan
gerakan yang dominan untuk penegakan syariah Islam dalam kontek
kehidupan politik dan hukum. Walaupun pernah lahir Piagam Jakarta dan
gagal dilaksanakan, akan tetapi upaya Islamisasi dalam pengertian penegakan
syariat Islam di Indonesia tak pernah surut.
Pemikiran dan aktivitas ekonomi syariah di Indonesia akhir abad ke-20
lebih diorientasikan pada pendirian lembaga keuangan dan perbankan syariah.
Salah satu pilihanya adalah gerakan koperasi yang dianggap sejalan atau tidak
bertentangan dengan syariah Islam. Oleh karena itu, gerakan koperasi
mendapat sambutan baik oleh kalangan santri dan pondok pesantren.[28]
Gerakan koperasi yang belum sukses disusul dengan pendirian bank syariah
yang relatif sukses.[29] Walaupun lahirnya kedahuluan oleh Philipina[30],
Denmark[31], Luxemburgdan AS[32], akhirnya Bank Islam pertama di
Indonesia lahir dengan nama Bank Muamalat (1992). Kelahiran bank Islam di
Indonesia hari demi hari semakin kuat karena beberapa faktor: 1) adanya
kepastian hukum perbankan yang melindunginya; 2) tumbuhnya kesadaran
masayarakat manfaatnya lembaga keuangandanperbankan syariah; 3)
dukungan politik atau political will dari pemerintah. Akan tetapi, kelahiran
bank syariah di Indonesia tidak diimbangi dengan pendirian lembaga-lembaga
pendidikan perbankan syariah. Sejak tahun 1990-an ketika Dirjen Bimbaga
Islam Depag RI melakukan posisioning jurusan-jurusan di lingkungan IAIN,
penulis pernah mengusulkan kepada Menteri Agama dan para petinggi di
Depag RI agar mempersiapkan institusi untuk mengkaji kecenderungan dan
perkembangan ekonomi syariah di tanah air. Usaha maksimal saat itu ialah
memilah jurusan Muamalat/Jinayat pada Fakultas syariah IAIN menjadi dua,
yakni Jurusan Muamalat dan Jurusan Jinayah-Siyasah.
Maraknya perbankan syariah di tanah air tidak diimbangi dengan
lembaga pendidikan yang memadai. Akibatnya, perbankan syariah di
Indonesia baru pada Islamisasi nama kelembagaanya. Belum Islamisasi para
pelakunya secara individual dan secara material. Maka tidak heran jika
transaksi perbankan syariah tidak terlalu beda dengan transaksi bank
konvensional hanya saja ada konkordansi antra nilaisuku bungan dengan
nisbah bagihasil. Bahkan terkadang para pejabat bank tidak mau tahu jika
nasabahnya mengalami kerugian atau menurunya keuntungan. Mereka
mematok bagi hasil dengan rate yang benar-benar menguntungkan bagi
pihak bank secara sepihak. Di lain pihak, kadangkala ada nasabah yang
bersedia mendepositkan dananya di bank syariah dengan syarat meminta bagi
hasilnya minimal sama dengan bank konvensional milik pemerintah.[33]
Terlepas dari kekurangan dan kelebihan perbankan syariah, yang pasti dan
faktual adalah bahwa ia telah memberikan konstribusi yang berarti dan
meaningfull bagi pergerakan roda perekonomian Indonesia dan mengatasi
krisis moneter.
Munculnya praktek ekonomi Islam di Indonesia pada tahun 1990-an
yang dimulai dengan lahirnya Undang-undang No. 10 Tahun 1992 yang
mengandung ketentuan bolehnya bank konvensional beroperasi dengan sistem
bagi hasil. Kemudian pada saat bergulirnya era reformasi timbul amandemen
yang melahirkan UU No 7 Tahun 1998 yang memuat lebih rinci tentang
perbankan syariah. Undang-undang ini mengawali era baru perbankan syariah
di Indonesia, yang ditandai dengan tumbuh pesatnya bank-bank syariah baru
atau cabank syariah pada bank konvensional. Maka praktek keuangan
syariah di Indonesia memerlukan panduan hukum Islam guna mengawal
pelaku ekonomi sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Perkembangan
berikutnya, MUI sebagai payung dari lembaga-lembaga organisasi keagamaan
(Islam) di Tanah Air menganggap perlu dibentuknya satu badan dewan
syariah yang bersifat nasional (DSN) dan membawahi seluruh lembaga
keuangan, termasuk di dalamnya bank-bank syariah. Hal ini untuk memberi
kepastian dan jaminan hukum Islam dalam masalah perbankan syariah sejak
diberlakukannya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang
memberikan peluang didirikannya bank syariah.
DSN-MUI sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2005 telah banyak
mengeluarkan fatwa-fatwa tentang ekonomi Islam (muamalah maliyah) untuk
menjadi pedoman bagi para pelaku ekonomi Islam khususnya perbankan
syariah. Dalam metode penerbitan fatwa dalam bidang muamalah maliyah
diyakini menggunakan kempat sumber hukum yang disepakati oleh ulama
suni; yaitu Al-Quran al Karim, Hadis Nabawi, Ijma dan Qiyas, serta
menggunakan salah satu sumber hukum yang masih diperselisihkan oleh
ulama; yaitu istihsan, istishab, dzariah, dan urf.
Dalam proses penerbitan fatwa diperkirakan mempelajari empat
mazhab suni, yaitu imam mazhab yang empat: Hanafi, Maliki, Syafii dan
Hambali disamping pertimbangan lain yang bersifat temporal dan kondisional.
Oleh karena itu, perlu mengkaji secara seksama dan perlu dilakukan penelitian
untuk mengetahui sifat fatwa-fatwa MUI dalam bidang ekonomi Islam dari
segi metode perumusannya, sisi ekonomi di sekelilingnya dan respons
masyarakat terhadap fatwa-fatwa itu.[34]
Di Indonesia, atas prakarsa Majelis Ulama Indonesia bersama kalangan
pengusaha muslim sejak 1992 telah beroperasi sebuah bank syariah, yaitu
Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang sistem operasionalnya mengacu pada
No. 72 tahun 1992 tentang bank bagi Hasil. Pada tahun 1998, disahkan
Undang-undang RI No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun
1992 tentang perbankan. Secara legal, perbankan syariah telah diakui sebagai
subsistem perbankan nasional.
Di tengah dinamika tumbuh dan berkembangnya lembaga keuangan
syariah, pada tahun 1997 krisis ekonomi datang menerjang memporak-
porandakan sistem perbankan nasional. Sebagaimana diungkap oleh Warkum,
mulai bulan Juli 1997 sampai dengan 13 Maret 1999 pemerintah menutup 55
bank, mengambil alih 11 bank (BTO) dan 9 bank lainnya dibantu melakukan
rekapitalisasi. Pada Oktober 2001, sebagaimana laporan Majalah
Investasi[1][1] terjadi lagi satu bank konvensional yang dibekukan atau Bank
Beku Kegiatan Usaha (BBKU). Dari 240 bank sebelum krisis, kini hanya
tinggal 73 bank swasta yang dapat bertahan tanpa bantuan pemerintah.[1][2]
Di antara lembaga keuangan syariah yang berkembang secara pesat di
tengah sistem perbankan yang sedang sakit adalah antara lain bank syariah,
BPRS dan BMT. Bank Syariah berkembang berdampingan dengan bank-bank
konvensional. Hal tersebut dibuktikan dengan munculnya Bank BNI Syariah,
Bank Mandiri Syariah, Bank Bukopin Syariah, Bank Danamon Syariah, BII
Syariah. Di samping itu berkembang juga lembaga keuangan syariah yang
bersifat mikro, yang bergerak di kalangan ekonomi bawah, yaitu BMT (Baitul
Maal wat-Tamwil).








BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Islam sebagai agama yang Allah turunkan melalui Nabi Muhammad
SAW bukan saja untuk ummat Islam saja, akan tetapi untuk seluruh ummat di
dunia ini (rahmatan lil alamin) yang bersipat universal dan multikomplek,
Islam dapat menjawab seluruh problematika dunia bukanlah hal utopis atau
sesuatu yang ada dalam wacana saja, masalah ekonomi yang merupakan hajat
hidup manusia juga tidak lepas dari ajaran Islam. Jauh sebelum bangsa-bangsa
merumuskan ekonomi, Islam sudah lebih dahulu. Banyak sekali keterangan
dari Al-Quran yang menyinggung masalah ekonomi, baik secara eksplisit
maupun implisit. Bagaimana jual-beli yang baik dan sah menurut Islam,
pinjam meminjam dengan akad-akad yang sah sampai dengan pelarangan riba
dalam perekonomian. Walaupun pada kitab suci sebelumnya juga pernah
disebutkan, dimana perbuatan riba itu dibenci Tuhan. Sedangkan pada tatanan
teknisnya diperjelas dengan hadis serta teladan dari Rasulullah dan para alim
ulama.
Sistem ekonomi Islam memberikan tuntunan pada manusia dalam
perilakunya untuk memenuhi segala kebutuhannya dengan keterbatasan alat
pemuas dengsn jalan yang baik dan alat pemuas yang tentunya halal, secara
dzatnya maupun secara perolehannya.
Itulah sebabnya ketika system ekonomi lain sedang terpuruk,
sementara ekonomi Islam berdiri dengan tegarnya ditengah-tengah hempasan
krisis ekonomi dunia mendera. Sehingga meninggalkan hal yang positif yakni
dengan dibukanya bisnis-bisnis yang berbasis syariah, disinilah saatnya para
pakar ekonomi syariah (para ulama, cendekiawan muslim) perlu menggali
kembali kaidah-kaidah hukum ekonomi syariah karena akan menjadi rujukan
dari pelaku bisnis syariah. Bisnis Syariah yang berkembang sekarang ini
apakah benar-benar sesuai dengan kaidah syariah atau belum adalah tanggung
jawab kita bersama.
B. Saran
1) Pemerintah Indonesia harus segera merambah pada upaya menguatkan
peran ekonomi Islam dalam perekonomian nasional melalui strategi
jangka panjang yang mencakup lebih banyak aspek kehidupan
bersama.
2) Praktisi dalam Lembaga ekonomi Syariah sudah saatnya
meninggalkanparadigma lama, paradigma konvensional, serta
menyatukan shof (barisan) dalam paradigma baru yang membangun
ekonomi berdasarkan prinsip-prinsip syariah yang nyata dalam
implementasi dan bukan hanya sekedar pada tataran simbol-simbol dan
MoU semata.
3) Para pakar ekonomi syariah (para ulama, cendekiawan muslim) perlu
menggali kembali kaidah-kaidah hukum ekonomi syariah secara
mendalam karena akan menjadi rujukan dari pelaku bisnis syariah.
4) Mulai diajarkanya pendidikan tentang Ekonomi Islam, mengetahui
bagaimana pentingnya, mengembangkan, serta manjalankannya
dengan baik dan benar serta sesuai dengan Ajaran agama Islam yang
semuanya itu harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
5) Masyarakat seyogyanya sudah mulai beralih menggunakan jasa dari
bank/lembaga keuangan yang berbasis syariah.








DAFTAR PUSTAKA

http://research.mercubuana.ac.id/proceeding/EKONOMI-ISLAM-
SEBUAH-ALTERNATIF.doc, Ekonomi Islam Sebuah Alternatif.

http://islampeace.clubdiscussion.net/t13-pengertian-tujuan-prinsip-
prinsip-ekonomi-islam, Pengertian,Tujuan,dan Prinsip-prinsip
Ekonomi Islam.

http://master.islamic.uii.ac.id/index.php?option=com_content&task=vi
ew&id=94&Itemid=57, Sejarah Ekonomi Islam: Perkembangan
Panjang Realitas Ekonomi Islam.

http://vhara.wordpress.com/perkembangan-ekonomi-islam-di-
indonesia/, Perkembangan Ekonomi Islam di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai