Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

Mata Kuliah Dosen Pengampu


Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Yulida Mardini, SH.I, MH

“PEMIKIRAN EKONOMI AL-GHAZALI”

Oleh : Kelompok 8

Joko Suprianto 21.13.0100


Hestari Putri 21.15.0259
Hanif Aji Gumelar 21.15.0280

INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

PROGRAM STUDI EKONOMI & PERBANKAN SYARIAH

MARTAPURA

2022 M/1444 H
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Assalamu’alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh

Alhamdulillah, Puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas


limpahan Rahmat, Taufik dan Hidayah-Nya, yang telah memberi kemudahan dan
nikmat kesehatan sehingga mampu menjalankan segala perintah-Nya dan
menjauhi segala larangan-Nya. Shalawat dan salam tak lupa kita haturkan kepada
junjungan Besar kita, Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam. Karena
berkat Anugerah serta kasih sayang Beliau jualah sehingga penyusun dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Pemikiran Ekonomi Al-Ghazali” ini
tepat pada waktunya.

Adapun tentang pembuatan makalah ini Insya Allah telah penyusun


usahakan semaksimal mungkin. Oleh sebab itu, penyusun juga ingin
menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
telah membantu penyusun dalam pembuatan makalah ini, terlebih khusus kepada
Dosen Pengampu kami pada mata kuliah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, yaitu
Ibu Yulida Mardini, SH.I, MH. Terlepas dari semua yang telah disebut,
penyusun berharap semoga ini dapat menambah pengetahuan dan memberikan
manfaat bagi para pembaca dari judul yang penyusun angkat, untuk kedepannya
dapat memperbaiki ataupun menambah isi agar menjadi jauh lebih baik lagi.

Akhir kata, tidak ada yang dapat penyusun berikan selain mengucapkan
terima kasih. Dengan segala kekurangan dan kesederhanaan tulisan ini, penyusun
tetap mengharapkan saran dan kritik demi penyempurnaan makalah ini.

Martapura, Desember 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

A. Latar Belakang................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................... 3
C. Tujuan Penulisan ............................................................................................ 3
BAB II

PEMBAHASAN .................................................................................................... 4

A. Biografi Al-Ghazali ........................................................................................ 4


B. Pemikiran Ekonomi Al-Ghazali ..................................................................... 6
BAB III

PENUTUP ............................................................................................................ 16

A. Kesimpulan ................................................................................................... 16
B. Saran ............................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan sejarah ekonomi umat Islam ke dalam lima tahap. Tahap


pertama, disebut dengan “era jahiliyah” yang berlangsung hingga tahun 660 M,
dimana formasi perekonomian masih didominasi corak nomadis. Tahap kedua,
tahun 660-950 disebut dengan era negara-negara agraris pemberi upeti, dimana
masyarakat pada umumnya beralih dari corak kehidupan nomaden ke arah
agraris. Tahap ketiga, antara tahun 950-1550 disebut dengan era negara-negara
perdagangan pemberi upeti karena aktivitas perekonomian pada era tersebut
didominasi oleh aktifitas perdagangan. Tahap keempat, tahun 1550-1850
adalah tahap formasi kegiatan kerajaan pinggiran yang bercirikan dengan
kecenderungan masyarakat untuk meninggalkan cara-cara hidup dalam koloni
kecil dan membentuk koloni yang lebih besar dalam bentuk kerajaan. Dan
tahap kelima, antara tahun 1850 hingga sekarang disebut dengan istilah era
kapitalisme pinggiran.1

Al-Gazali berada dalam era kehidupan ekonomi Islam era feodal militer
atau perbudakan. Era ini ditandai dengan dominasi kehidupan agraris yang
dikendalikan oleh pihak penguasa yang selalu mengawasi kegiatan para buruh.
Dalam pada itu pihak penguasa berusaha mencari legitimasi atas tindakan
mereka dengan cara-cara birokratik ataupun meminta bantuan kepada para
pemuka agama untuk memberikan fatwa yang membenarkan tindakan tersebut,
serta dengan gempuran kebudayaan dimana pemerintah membangun sarana-
sarana pendidikan.

1
Ahmad Dimyati, Teori Keuangan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2008), hal. 26-27

1
2

Al-Ghazali merupakan salah satu pemikir besar dalam ekonomi Islam.


Lewat karya monumental Ihya Ulumuddin, al-Mustashfa Mizan, al-Amal dan
At-Tibr al-Masbuk fi al-Nasihah al-MulukAl-Ghazali mengupas secara tuntas
aspek-aspek subtansial dari ekonomi Islam. Karena menurutnya perkembangan
ekonomi sebagai bagian dari tugastugas kewajiban sosial yang sudah
ditetapkan Allah. Dalam karya-karyanya tersebut Al-Ghazali menitikberatkan
kepada keadilan, kedamaian dan stabilitas sebagai fondasi dari ketersediaan
ekonomi baik dalam bidang produksi, konsumsi, maupun distribusi. Untuk itu,
peran negara sangat penting untuk menjaga itu semua.

Pada sisi lain, kondisi demikian membawa berbagai dampak positif bagi
kemajuan keilmuan dan perekonomian. Pesatnya perkembangan keilmuan pada
masa al-gazali yang ditopang oleh besarnya dukungan dari pemerintah,
termasuk dukungan materi dalam jumlah yang sangat besar tak pelak lagi
menunjukkan kondisi obyektif perekonomian umat Islam pada waktu itu.
Sebagaimana yang diketahui, bahwa pada masa kekuasaan Abbasiyah umat
islam mencapai puncak kejayaan dan kemajuan diberbagai bidang, dimana
wilayah kekuasaan juga semakin luas. Dengan wilayah yang luas, pemerintah
Islam di bawah kekuatan dinasti Abbasiyah juga menaruh perhatian yang
cukup pada masalah-masalah yang berhubungan dengan perekonomian
masyarakatnya. Pada sektor pertanian hasil yang diperoleh saat itu meliputi
bermacammacam komoditas pertanian dan perkebunan khas daerah Timur
Tengah, antara lain tebu, gandum, sorgum, minyak zaitun, dan bebagai buah-
buahan.

Al-Ghazali sangat fenomenal dalam kajian filsafat dan tasawufnya, ia


juga seorang yang faqih dan ahli dalam bidang administrasi dan perilaku
ekonomi. Konsep-konsep ekonomi para pemikir tersebut tidak hanya bagus
namun juga komprehensif. Hal ini terjadi karena mereka tidak hanya ahli
dalam satu bidang ilmu saja akan tetapi multidisiplin ilmu. Sehingga tidak
heran jika pemikiran ekonomi mereka diadopsi oleh kalangan Barat.
Contohnya adalah pemikiran ekonomi Ibnu Khaldun. Ia menemukan manfaat
3

dan perlunya pembagian kerja sebelum Smith dan prinsip nilai tenaga kerja
sebelum Ricardo. Ia juga menguraikan teori populasi sebelum Malthus dan
menandaskan peran negara dalam perekonomian sebelum Keynes. Sehingga
tak heran apabila Ibnu Khaldun diklaim sebagai pendahulu bagi banyak
pemikir Eropa.2

Pada penelitian ini, penulis memaparkan konsep pemikiran ekonomi al-


Ghazali. Pemikiran ekonomi al-Ghazali memiiki kekhasan tersendiri dibanding
pemikir yang lain. Dalam grand konsep ekonominya, al-Ghazali memfokuskan
perhatiannya pada perilaku individu yang dibahasnya menurut perspektif Al-
Qur‟an, Sunnah, fatwa-fatwa sahabat dan tabi‟in serta petuah para sufi
terkemuka masa sebelumnya.3

B. Rumusan Masalah

1. Siapa itu Al-Ghazali dan Bagaimana Biodata Lengkapnya?


2. Apa Saja Pemikiran Ekonomi Al-Ghazali?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui dan menjelaskan siapa Al-Ghazali dan Biodata Lengkapnya.


2. Mengetahui dan menjelaskan Pemikiran Ekonomi dari Al-Ghazali.

2
Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2006)
Edisi ketiga, hal. 413
3
Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, hal.317
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Al-Ghazali

Nama lengkap al-Gazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad


bin at-Tusi al-Gazali, digelar Hujjah al-Islam. Ia lahir di Ghazaleh suatu Desa
dekat Thus, bagian dari kota Khurasan, Iran pada tahun 450 H/1056 M.4
Dengan demikian, ia termasuk keturunan Persia asli.

Ayahnya seorang yang fakir dan saleh serta hidup sangat sederhana
sebagai pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba), mempunyai
keagamaan yang tinggi dan mengharapkan anaknya menjadi ulama yang selalu
memberi nasehat kepada umat. Sebelum ayahnya meninggal, al-Gazali dan
saudaranya dititipkan kepada seorang sufi untuk dipelihara dan di didik.

Pendidikan al-Gazali di masa kanak-kanak diawali di kampung


halamannya, setelah ayahnya wafat ia di didik oleh Ahmad bin Muhammad ar-
Razikani atTusi ahli tasawuf dan fiqih, setelah mempelajari dasar-dasar fiqih ia
merantau ke Jurjan sebuah kota di Persia antara kota Tabristan dan Nisabur. Di
Jurjan ia memperluas wawasannya tentang fiqih dengan berguru kepada
seorang fakih yang bernama Abu al-Qasim Ismail bin Mus‟idah al-Ismail
(Imam Abu Nasr alIsmaili).

Pada masa mudanya, berangkat lagi ke Nizabur (Pusat ilmu pengetahuan


penting di dunia Islam) pada tahun 473 H belajar dan menjadi murid seorang
guru besar di Madrasah al-Nizhamiyah yaitu kepada Imam Abu al-Ma‟ali al

4
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Cet. III; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hal. 77

4
5

Juwaini. Disana ia belajar teologi, hukum Islam, filsafat, logika, sufisme dan
ilmu-ilmu alam.5

Karena sejak kecil Al-Ghazali hidup dalam dunia tasawuf. Ia tumbuh dan
berkembang dalam asuhan seorang sufi. Sehingga al-Ghazali sangat antusias
terhadap ilmu pengetahuan. Tidak hanya satu bidang ilmu, akan tetapi multi
disiplin ilmu. Sehingga tidak mengherankan jika Ia sangat ahli dalam bidang
tasawuf, filsafat, logika, fiqh, matematika, dan lain-lain.6

Setelah berguru kepada al-Haramain Abu al-Ma‟ali al-Juwaini. Pada


tahun 484 H atau tahun 1091 M Al-Ghazali ditugaskan untuk mengajar di
lembaga pendidikan tinggi Nizhamiyah. Empat tahun lama Al-Ghazali
mengajar pada lembaga itu, dan melalui jabatannya sebagai maha guru
namanya melejit, sehingga ia terhitung sebagai salah seorang ilmuwan yang
disegani, dan ahli hukum yang dikagumi, tidak saja dalam lingkungan
Nizhamiyah, tetapi juga di kalangan pemerintahan.

Pada tahun 488 H/1095 M Al-Ghazali menderita gangguan syaraf,


sehingga tidak dapat lagi mengajar di Nizhamiyah. Beberapa bulan kemudian
ia meninggalkan Baghdad menuju Damaskus, Syiria. Dan berada di Syria
selama dua tahun. Kemudian pindah ke Palestina untuk merenung dan
membaca. Setelah melakukan ibadah haji dan menetap beberapa lama di Mesir,
al-Ghazali kembali lagi ke tempat kelahirannya di Tus untuk berkhalwat
selama 12 tahun sampai berhasil menghasilkan banyak karya di antaranya
adalah Ihya’Ulum ad-Din. Selanjutnya ia dipanggil lagi mengajar di Madrasah
Nizhamiyah dan terakhir kembali lagi ke tempat kelahirannya sampai akhir
hayatnya pada tanggal 14 Jumadil Akhir 595 atau 19 Desember 1111 M.

Al-Ghazali adalah sosok ilmuwan yang sangat produktif. Sehingga tak


heran jika sekitar 300 buah karya tulis pernah dihasilkannya. Karya tulis

5
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam (Cet. IX; Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hal.
41.
6
Heri Sudarsosno, Konsep Ekonomi Islam:Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Ekonosia, 2004), edisi
pertama, hal. 152
6

tersebut meliputi berbagai disiplin ilmu. Namun demikian, yang ada hingga
kini hanya 84 buah. Karya-karyanya telah banyak diterjemahkan ke dalam
berbagai bahasa, seperti Latin, Spanyol, Prancis, Jerman, dan Inggris. Berbagai
tulisannya telah banyak menarik perhatian dunia. akan tetapi karya-karya
penting Al-Ghazali meliputi Al-Munqiz min ad-dalal (Penyelamat dari
kesesatan), Ihya Ulumuddin (Menghidupkan kembali ilmu-ilmu Agama);
terutama tentang Kitab asySya’b al-Iqtisad fi al-I’qtiqad (Kitab kebangsaan,
modernisasi dalam keyakinan), AtTibr al-Masbuk fi al-Nasihah al-Muluk
(Logam mulia batangan tentang nasihat terhadap para penguasa).

Kini, ia dikenal luas sebagai seorang ulama, pemikir, teolog, ahli hukum,
ahli tasawuf sekaligus ahli filsafat islam terkemuka yang bahkan diakui dunia
barat sebagai intelektual multidimensi dengan penguasaan ilmu multidisiplin.

B. Pemikiran Ekonomi Al-Ghazali

Al-Ghazali dikenal memiliki pemikiran yang sangat luas dalam berbagai


bidang keilmuan. Bahasannya tentang ekonomi dapat ditemukan dalam karya
monumentalnya Ihya Ulumuddin, al-Mustashfa Mizan, al-Amal dan At-Tibr al-
Masbuk fi al-Nasihah alMuluk.

Pemikiran ekonomi al-Ghazali didasarkan pada pendekatan tasawuf


karena pada masa itu orang-orang kaya, berkuasa, dan sarat prestise sehingga
sulit menerima pendekatan fiqh dan filosofis. Corak pemikiran ekonominya
dituangkan dalam kitab-kitabnya.

Pemikiran sosial ekonomi al-Ghazali berakar dari konsep ysng ia sebut


sebagai “fungsi kesejahteraan sosial Islami”. Tema yang menjadi pangkal tolak
seluruh karyanya adalah konsep maslahat atau kesejahteraan sosial, yakni
sebuah konsep yang mencakup semua aktivitas manusia dan membuat kaitan
yang erat antara individu dengan masyarakat. Menurutnya, kesejahteraan
7

(maslahah) dari suatu masyarakat tergantung kepada pencarian dan


pemliharaan lima tujuan dasar, yakni agama (ad-din), hidup atau jiwa (nafs).
Keluarga atau keturunan (nasl), harta atau kekayaan (mal), dan intelek (‘aql).
Ia menitikberatkan bahwa sesuai tuntunan wahyu, tujuan utama kehidupan
manusia adalah untuk mencapai kebaikan di dunia dan akhirat (maslahat ad-
din wa ad-dunya).

Kunci pemeliharaan dari kelima tujuan dasar ini terletak pada


tercukupinya kebutuhan atau utilitas individu dan sosial. Al-Ghazali membagi
utilitas ini dalam tiga hierarki yang disebut tripartite. Pertama, kebutuhan
(daruriyat) meliputi makanan, pakaian, dan perumahan. Kedua, kesenangan
atau kenyamanan (hajiyat). Kelompok kedua ini terdiri dari semua kegiatan
yang tidak vital bagi lima fondasi tersebut, tetapi dibutuhkan untuk
menghilangkan rintangan dan kesukaran dalam hidup. Ketiga, kemewahan
(tahsiniyat). Kelompok ketiga ini mencakup kegiatan-kegiatan yang lebih jauh
dari sekedar kenyamanan saja, namun mencakup hal-hal yang bisa melengkapi,
menerangi atau menghiasi hidup.

Mengenai perkembangan ekonomi, al-Ghazali memandangnya sebagai


bagian dari tugas-tugas kewajiban sosial (fard al-kifayah) yang sudah
ditetapkan Allah, jika tidak terpenuhi kehidupan sosial akan runtuh dan
kemanusiaan akan binasa. Ia pun menegaskan bahwa aktivitas ekonomi harus
dilakukan secara efisien karena merupakan bagian dari pemenuhan tugas
keagamaan sesorang. Tiga alasan mengapa seseorang harus melakukan
aktivitas ekonomi, yaitu pertama, untuk mencukupi kebutuhan hidup yang
bersangkutan; kedua, untuk mensejahterakan keluarga; dan ketiga, untuk
membantu orang lain yang membutuhkan.

Dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup, Al-Ghazali mengkritik


seseorang yang hanya berusaha untuk sekedar menyambung hidup. Ini terlihat
dari pernyataannya
8

“Jika orang-orang tetap tinggal pada tingkatan subsisten (sadd al


ramaq) dan menjadi sangat lemah, angka kematian akan meningkat,
semua pekerjaan dan kerajinan akan berhenti, dan masyarakat akan
binasa. Selanjutnya, agama akan hancur, karena kehidupan duania
adalah persiapan bagi kehidupan akhirat.”

Al-Ghazali menyadari bahwa manusia senantiasa menginginkan yang


lebih. Oleh karena itu manusia tidak hanya ingin mencukupi kebutuhan
vitalnya saja akan tetapi berusaha untuk mengumpulkan kekayaan untuk
persiapan di masa depan. Menurutnya, pengumpulan kekayaan diperbolehkan
asal tidak menjurus pada keserakahan dan pengejaran nafsu pribadi.

Lebih jauh, al-Ghazali menyatakan bahwa pendapatan dan kekayaan


seseorang berasal dari tiga sumber, yaitu pendapatan melalui tenaga individual,
laba perdagangan, dan pendapatan karena nasib baik seperti warisan,
menemukan harta terpendam atau mendapat hadiah. Terhadap
pendistribusiannya, al-Ghazali mensyaratkan harus dilakukan secara sukarela,
yang lebih dimotivasi oleh kewajiban moral agama. Tanpa pendistribusian
secara sukarela akan muncul dua hal yaitu boros dan kikir.

Berdasarkan pandangan al-Ghazali tentang wawasan sosial ekonomi


yang telah dipaparkan, dapat diangkat beberapa tema ekonomi salah satunya Di
dalam kitab Ihya Ulumuddin ada beberapa konsep ekonomi yang ditawarkan
oleh Al-Ghazali antara lain:

1. Barter dan Evolusi Pasar

Al-Ghazali menyatakan bahwa timbulnya pasar didasarkan pada


kekuatan permintaan dan penawaran untuk menentukan harga dan laba.
Selain itu, pasar berevolusi sebagai bagian dari ”hukum alam” segala
9

sesuatu, yakni sebuah eksperesi berbagai hasrat yang timbul dari diri sendiri
untuk saling memuaskan kebutuhan ekonomi.7

Al-Gazali juga mempunyai wawasan yang sangat luas dan mendalam


tentang berbagai kesulitan yang timbul dari pertukaran barter dari satu sisi,
disisi lain signifikansi uang dalam kehidupan manusia. Bagaimana tidak
efisiennya jika dilakukan sistem barter karena adanya perbedaan
karakteristik barang.

Menurut Al-Ghazali secara alami manusia selalu membutuhkan orang


lain; petani membutuhkan ikan yang ada pada nelayan, sebaliknya nelayan
membutuhkan beras yang ada pada petani, dan lain sebagainya.

Ia pun menegaskan bahwa evolusi uang terjadi hanya kesepakatan dan


kebiasaan, yakni tidak akan ada masyarakat tanpa pertukaran barang dan
tidak ada pertukaran yang efektif tanpa ekuivalensi, dan ekuivalensi
demikian hanya dapat ditentukan dengan tepat bila ada ukuran yang sama.

Terhadap konsep uang, al-Ghazali juga tidak kalah canggihnya dari


observasi para pemikir-pemikir Eropa, Al-Ghazali menjelaskan bagaimana
uang dapat mengatasi permasalahan yang timbul dari suatu pertukaran
barter. Ia juga membahas berbagai akibat negatif dari pemalsuan dan
penurunan nilai mata uang.8

Paparan al-Ghazali mengenai barter yaitu pertukaran barang dan


barang cukup mendalam, hal ini tampak dari penjelasannya mengenai
pertukaran kunyit dan unta. Tidak ada kesamaan antara keduanya yang
memungkinkan untuk menentukan jumlah yang sama menyangkut berat dan
bentuk. Artinya kedua barang ini tidak bisa diperbandingkan secara
langsung. Oleh karena itu, ia menganggap sebagai suatu hal yang sulit

7
Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004). Hal 288
8
Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, hal. 333
10

ketika menerapkan barter. Beberapa kendala barter oleh al-Ghazali


dijelaskan sebagai berikut:

1) Kurang memiliki angka penyebut yang sama (lack of common


denominator)

2) Barang tidak dapat dibagi-bagi (indisibility of goods)

3) Keharusan adanya dua keinginan yang sama (double coincidence of


wants)

Adanya beberapa problem barter di atas meyakinkan al Ghazali akan


pentingnya mata uang sebagai alat tukar; Uang yang Tidak Bermanfaat dan
Penimbunan Bertentangan dengan Hukum Ilahi.

Menurut Al-Ghazali salah satu penemuan terpenting dalam


perekonomian adalah uang. Uang mengatasi permasalahan yang timbul dari
suatu pertukaran barter. Bahkan Al-Ghazali menyatakan tentang signifikansi
uang; ”Penciptaan dirham dan dinar (koin emas dan perak) adalah salah satu
karunia Allah. Semua transaksi ekonomi didasarkan dua jenis uang ini.
Dinar dan Dirham adalah logam yang tidak memberikan manfaat langsung.
Namun orang membutuhkannya untuk mempertukarkannya dengan
bermacam-macam barang lainnya, seperti makanan, pakaian, dan lain-lain.”
(Karim, 2004: 299).

Al-Ghazali memandang bahwa uang dapat memiliki nilai jika


digunakan dalam suatu pertukaran. Ia juga menegaskan bahwa uang tidak
diinginkan karena uang itu sendiri. Lebih jauh, Al-Ghazali menyatakan
bahwa tujuan satu-satunya dari emas dan perak adalah untuk dipergunakan
sebagai uang (dinar dan dirham). Karena sifatnya yang homogen, tahan
lama, dan langka sehingga emas dan perak memenuhi kriteria yang
diperlukan mengenai uang. Al-Ghazali mengutuk orang yang menimbun
kepingan-kepingan uang atau mengubahnya menjadi bentuk lain.
11

Lalu, ada larangan riba, Al-Ghazali memandang bahwa keharaman


riba adalah mutlak. Selain karena alasan “dosa” argumen lain adalah
kemungkinan terjadinya eksploitasi ekonomi dan ketidakadilan.
Sebagaimana pemikir lain, al-Ghazali menyatakan beberapa bentuk riba
diantaranya pertama, riba al-Nasi’ah yaitu bunga yang timbul karena
keterlambatan membayar atau keterlambatan penyerahan barang. Kedua,
riba al-Fadhl yaitu bunga yang timbul karena kelebihan pembayaran.
Dengan demikian agar kedua riba ini tidak terjadi maka pertukaran tersebut
harus dilakukan dengan kuantitas yang sama dan transfer kepemilikan harus
simultan. Namun jika pertukaran melibatkan komoditas yang sama jenisnya
hanya riba al-Nasi‟ah yang dilarang sementara riba fadl diperbolehkan. Bila
pertukarannya antara komoditas dengan jenis berbeda keduanya
diperbolehkan.

2. Permintaan Penawaran Harga dan Laba Normal

Para pedagang melakukan jual beli dengan tingkat keuntungan


tertentu. Jika petani tidak mendapatkan pembeli dan barang yang
dibutuhkannya, ia akan menjual barangnya dengan harga yang lebih murah.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa harga ditentukan oleh permintaan dan
penawaran.9

Dalam pandangan al-Gazali, pasar harus berfungsi berdasarkan etika


dan moral para pelakunya. Secara khusus, ia memperingatkan larangan
mengambil keuntungan dengan cara menimbun makanan dan barang-barang
kebutuhan dasar lainnya. Penimbunan barang merupakan kezaliman yang
besar, terutama di saat-saat terjadi kelangkaan, dan pelakunya harus
dikutuk. Selain itu, al-Gazali bersikap sangat kritis terhadap laba yang
berlebihan. Menurutnya, jika seorang pembeli menawarkan harga “yang

9
Rozalinda, 2014, Ekonomi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
12

lebih tinggi” dari pada “harga yang berlaku”, penjual harus menolaknya,
karena laba akan menjadi berlebihan.

3. Aktivitas Produksi Sebagai Kewajiban Sosial

Al-Ghazali menggambarkan aktivitas produksi menurut kepentingan


sosial dan menitikberatkan perlunya kerja sama dan koordinasi serta fokus
utamanya adalah tentang jenis aktivitas yang sesuai dengan dasar-dasar etos
Islam.10 Karenanya, Islam mengajarkan umatnya untuk mendahulukan
kepentingan ekonomi dan akhlak, berkaitan dengan aktivitas produksi,
pemeliharaan nilai dan keutamaan yang diajarkan agama. Kesatuan antara
ekonomi dan akhlak, akan semakin jelas pada langkah-langkah ekonomi,
baik yang berkaiatan dengan produksi, konsumsi dan distribusi.11

Al-Ghazali menganggap bahwa kerja sebagai bagian dari ibadah


seseorang. Bahkan, produksi barang-barang kebutuhan dasar sebagai
kewajiban sosial (fard alkifayah). Hal ini berarti, jika telah ada sekelompok
orang yang berkecimpung di dunia usaha yang memproduksi barang-barang
tersebut dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan masyarakat, maka
kewajiban seluruh masyarakat telah terpenuhi. Namun, jika tidak ada
seorang pun yang melibatkan diri dalam kegiatan tersebut atau jika jumlah
yang diproduksi tidak mencukupi kebutuhan masyarakat, semua orang akan
diminta pertanggungjawabannya di akhirat.

Dalam hal ini, pada prinsipnya, negara harus bertanggungjawab dalam


menjamin kebutuhan masyarakat terhadap barang-barang kebutuhan pokok.
Di samping itu, ketidakseimbangan antara jumlah barang kebutuhan pokok

10
Adiwarman A Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada 2004)
.hal 293
11
Listiwati, Prinsip Dasar Ekonomi Islam, (Palembang: Rafah Press 2013). hal 33
13

yang tersedia dengan yang dibutuhkan masyarakat cenderung akan merusak


kehidupan masyarakat.12

Secara khusus, al-Gazali memandang bahwa produksi barang-barang


kebutuhan dasar sebagai kewajiban sosial. Hal ini berarti, jika telah ada
sekelompok orang yang berkecimpung di dunia usaha yang memproduksi
barang-barang tersebut dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan
masyarakat, maka kewajiban seluruh masyarakat telah terpenuhi. Namun,
jika tidak ada seorang pun yang melibatkan diri dalam kegiatan tersebut atau
jika jumlah yang diproduksi tidak mencukupi kebutuhan masyarakat, semua
orang akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat.

Klasifikasi aktivitas yang diberikan al-Gazali hampir mirip dengan


kalsifikasi yang terdapat dalam pembahasan kontemporer. Secara garis
besar, ia membagi aktivitas ke dalam tiga kelompok berikut: Industri dasar,
yakni industri-industri yang menjaga kelangsungan hidup manusia.
Kelompok ini terdiri dari empat jenis aktivitas yakni, agrikultur untuk
makanan, tekstil untuk pakaian, konstruksi untuk perumahan, dan aktivitas
negara termasuk penyediaan infrastrukturm khususnya untuk memfasilitasi
produksi kebutuhan barang-barang pokok, aktivitas penyokong, yakni
aktivitas yang bersifat tambahan bagi industri dasar, seperti industri baja,
ekplorasi, dan pertambangan atau tambang, aktivitas kontemporer yang
berkaitan dengan industri dasar seperti penggilingan dan pembakaran
produk-produk agrikultur.

Al-Gazali juga mengakui adanya tahapan produksi yang beragam


sebelum produk tersebut dikonsumsi. Selanjutnya, ia menyadari keterkaitan
yang sering kali terdapat dalam mata rantai produksi. Berkaitan dengan hal
ini ia mengatakan: “Petani memproduksi gandum dan tukang giling
mengubahnya menjadi tepung, lalu tukang roti dari tepung itu.” Ia juga

12
Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada
2004). hal 294
14

menawarkan gagasan mengenai spesialisasi dan saling ketergantungan


dalam keluarga. Walaupun menitikberatkan kerjasama dan koordinasi, al-
Gazali mengakui perihal lingkungan kompetitif ketika aktivitas ekonomi
berlangsung:

“Bila orang hidup dalam suatu masyarakat dan keinginannya


terhadap berbagai hal timbul, akan ada perjuangan untuk memenuhi
kebutuhan tersebut. Ada persaingan, tapi keseimbangan dapat dijaga
melalui penggunaan kekuasaan dan pemeliharaan keadilan.”

4. Hirarki dan Spesialisasi Produksi

Terkait hirarki/tingkatan produksi, al ghazali membagi aktifitas


produksi ke 3 kelompok, yaitu industri dasar, aktivitas penyokong, dan
aktifitas komplementer. Teori ini sejalan dengan teori kemaslahatan Imam
Al Syathibi dalam Maqashid Al-Syariah. Secara teori kemaslahatan yang
hendak diacapai oleh syariat ada 3 tingkatan. Maslahah dharuriyah
(kemaslahatan primer), maslahah Hajjiyah (kemaslahatan sekunder),
maslahah tahsiniyah (kemaslahatan tersier).13

Jadi, pemenuhan kebutuhan harus diukur sesuai dengan sekala


prioritasnya. Perlu ada pemilihan dan pemilahan antara kebutuhan yang
perlu di prioritaskan untuk terpenuhi terlebih dahulu dan kebutuhan yang
dapat ditunda pemenuhannya. Seperti seorang memiliki uang Rp. 100.000,-
ia membutuhkannya guna membeli bahan makanan untuk hari itu dan
sekaligus untuk mengganti ban sepeda motornya yang rusak. Namun, uang
tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan secara bersamaan. Dengan
demikian, sekala prioritas perlu digunakan untuk mengukur tingkat

13
Andi Fika Widuri, Udin Saripudin. “Analisis Komparatif Pemikiran Imam Al Ghazali Tentang
Konsep Teori Produksi”, Al-maal: Journal of Islamic Economics and Banking, Vol 3 No 2 januari
2022, hal 181-193.
http://jurnal.umt.ac.id/index.php/jieb
15

urgensitas kebutuhan tersebut. Kebutuhan primer tentu harus di prioritaskan


dibandingkan kebutuhan sekunder. Dan kebutuhan sekunder lebih
diutamakan daripada kebutuhan tersier. Berdasar contoh tersebut, maka
kebutuhan pangan pada hari itu harus diprioritaskan daripada kebutuhan
mengganti ban sepeda motor. Karena kebutuhan makan pada hari itu tidak
dapat ditunda dan tidak dapat digantikan dengan apapun, sedangkan fungsi
sepeda motor dapat diganti dengan naik angkutan umum untuk sementara
waktu.

Jadi, dalam konsep pemikiran Al Ghazali mengenai produksi, manusia


harus mngetahui tentang analisa tingkatan produksi, yakni (industri primer,
pendukung dan komplementer).
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Al-Gazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin at-Tusi al-
Gazali, digelar Hujjah al-Islam, lahir di Ghazaleh suatu desa dekat Thus,
bagian dari kota Khurasan, Iran pada tahun 450 H/1056 M

2. 2. Al-Gazali berada dalam era kehidupan ekonomi Islam era feodal militer
atau perbudakan. Era ini ditandai dengan dominasi kehidupan agraris yang
dikendalikan oleh pihak penguasa yang selalu mengawasi kegiatan para
buruh. Dalam pada itu pihak penguasa berusaha mencari legitimasi atas
tindakan mereka denga cara-cara birokratik ataupun meminta bantuan
kepada para pemuka agama untuk memberikan fatwa yang membenarkan
tindakan tersebut, serta dengan gempuran kebudayaan dimana pemerintah
membangun sarana-sarana pendidikan

3. Posisi al-Gazali dalam alur sejarah pemikiran Ekonomi Islam i masuk


kepada fase II. Dimana pada fase ini banyak dilatarbelakangi olehnya
menjamurnya korupsi dan dekadensi moral, serta melebarnya kesenjangan
miskin dan kaya, meskipun secara umum kondisi perekonomian
masyarakat Islam berada pada taraf kemakmuran

4. Pemikiran-pemikiran ekonomi al-Gazali didasarkan pada pendekatan


tasawuf, karena masa hidupnya, orang-orang kaya, berkuasa, dan sarat
prestise sulit menerima pendekatan fiqih dan filosofis dalam mempercayai
Yaum- al-Hisab. Berkaitan dengan hal ini, al-Gazali memfokuskan
perhatiannya pada perilaku individu yang dibahasnya menurut perspektif

16
17

al-Qur‟an, Sunnah, fatwa-fatwa sahabat dan tabi‟in serta petuah para sufi
terkemuka masa sebelumnya.

5. Al-Ghazali merupakan salah satu pemikir hebat dalam bidang ekonomi


Islam. Pemikirannya tentang ekonomi dapat ditemukan dalam karya-
karyanya seperti Ihya Ulumuddin, al-Mustashfa Mizan, al-Amal dan
AtTibr al-Masbuk fi al-Nasihah al-Muluk. Aspek-aspek yang menjadi
objek kajian ekonomi Al-Ghazali meliputi pertukaran dan evolusi pasar,
produksi, barter dan evolusi uang, serta peranan negara dan keuangan
publik. Sedangkan titik tolak dari pemikiranpemikiran ekonomi Al-
Ghazali adalah konsep maslahah, yakni sebuah konsep yang mencakup
semua aktivitas manusia dan membuat kaitan erat antara individu dan
masyarakat.

6. Terkait dengan al-Ghazali, pemikirannya dalam bidang ekonomi lebih


cenderung ke arah etik moral dalam berkegiatan ekonomi. Hal ini
dikarenakan al-Ghazali mendasarkan pemikiran ekonominya pada
pendekatan tasawuf karena pada masa itu orang-orang kaya, berkuasa, dan
sarat prestise sehingga sulit menerima pendekatan fiqh dan filosofis.

B. Saran

Dengan diselesaikannya makalah ini penyusun berharap makalah ini


dapat menambah wawasan dan pengetahuan pembaca. Selanjutnya penyusun
juga mengharapkan kritik dan saran untuk peningkatan kualitas dalam
penulisan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Dimyati, Ahmad. (2008). Teori Keuangan Islam, Yogyakarta: UII Press, 2008.

Karim, Adiwarman A. (2006). Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (3rd ed.). Jakarta:Raja
Grafindo Persada.

Karim, Adiwarman A. (2004). Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Raja


Grafindo Persada.

Listiwati. (2013). Prinsip Dasar Ekonomi Islam. Palembang: Rafah Press.

Nasution, Hasyimsyah. (2002). Filsafat Islam. Cet. III; Jakarta: Gaya Media Pratama.

Rozalinda. (2014). Ekonomi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Andi Fika Widuri, Udin Saripudin. “Analisis Komparatif Pemikiran Imam Al Ghazali
Tentang Konsep Teori Produksi”, Al-maal: Journal of Islamic Economics and
Banking, Vol 3 No 2 januari 2022, hal 181-193.
http://jurnal.umt.ac.id/index.php/jieb

18

Anda mungkin juga menyukai