Anda di halaman 1dari 5

Latar Belakang

Sehari sebelum Nyepi, umat Hindu melaksanakan upacara Tawur Agung, tepatnya pada Tilem
sasih Kesanga dan dilaksanakan pada waktu tengah hari. Tawur artinya membayar atau mengembalikan,
yaitu mengembalikan sari-sari alam yang telah digunakan manusia. Sari-sari alam itu dikembalikan
melalui upacara Tawur yang dipersembahkan kepada para Butha, dengan tujuan agar para Bhuta tidak
mengganggu manusia sehingga bisa hidup secara harmonis. Umat Hindu memaknai acara Tawur Agung
dan Nyepi adalah titik nol untuk memulai kehidupan yang baru. Filosofi Tawur adalah agar kita selalu
ingat akan posisi dan jati diri kita, dan agar kita selalu menjaga keseimbangan dengan Tuhan, sesama
manusia dan alam lingkungan.

Di Jawa Tengah dan sekitarnya, Tawur Agung Kesanga secara rutin dilaksanan di kompleks
candi Prambanan. Masyarakat umum, diluar umat Hindu dapat mengikuti acara tersebut. Tawur Agung
diawali dengan arak-arakan ogoh-ogoh dan berbagai kesenian daerah, lalu dilanjutkan dengan ibadah di
seputar candi.

Terdapat banyak komponen dalam acara tersebut, yang mana memiliki fungsi masing-masing.
Terdapat panitia, umat Hindu, pihak Prambanan, dan komponen-komponen pendukung kelancaran acara
tersebut. Dalam makalah ini, kami membahas komponen pendukung yang tidak begitu dicermati, yang
mana juga melakukan kegiatan ekonomi disana, yaitu Penyedia Alas Duduk.

Dalam acara Tawur Agung, terdapat dua golongan penyedia alas duduk yaitu: 1. Penyewa Tikar,
2. Penjual Alas Plastik. Mereka memiliki berbagai perbedaan, dalam hal ini segmen yang dituju, harga,
dan lain-lain.

Paradigma yang kami pakai disini adalah fungsionalisme struktural. Menurut teori ini,
masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling
berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan
membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain. Kami mencoba untuk melihat sumbangan satu
komponen terhadap suatu sistem dan juga mencoba melihat kemungkinan bahwa suatu komponen dapat
bersinggungan dengan komponen lain dalam sistem. Jadi disini hal yang kami soroti adalah fungsi para
penyedia alas duduk di Perayaan Tawur Agung.
Rumusan Masalah

1. Mengapa tidak terjadi konflik diantara dua golongan penyedia alas duduk di Perayaan Tawur
Agung di Candi Prambanan?

Isi

Pada perayaan Tawur Agung Kesanga, terdapat satu komponen pendukung berlangsungnya acara,
yaitu penyedia alas duduk. Pihak panitia, hanya menyediakan kanopi atau tenda untuk pengunjung yang
mengikuti acara tersebut, namun tidak menyediakan alas duduk. Panitia hanya menyediakan kursi untuk
tamu kehormatan dan pada pemimpin prosesi acara yang berada di bagian depan tempat para umat Hindu
dan pengunjung. Sedangkan sebagian besar pengunjung datang dengan tidak membawa alas, dan disinilah
adanya peran penyedia alas duduk.

Yang menarik perhatian kami adalah terdapat dua golongan penyedia alas duduk di perayaan
tersebut. Dan kedua golongan itu sendiri memiliki berbagai perbedaan. Tidak hanya meliputi perbedaan
harga dan jenis alas, namun terdapat beberapa perbedaan mencolok yang menarik perhatian kami, seperti
keikut-sertaan penyedia alas duduk dengan asosiasi pedagang di Prambanan. Poin-poin perbedaan kedua
golongan secara singkat, yaitu:

1. Perbedaan harga
2. Perbedaan jenis alas duduk
3. Cara berjualan
4. Keterkaitan penyedia alas duduk dengan pihak Prambanan

Para penyewa, menyewakan alas duduk berupa tikar anyam berukuran 2 x 2,5 meter dengan harga
20.000 rupiah sekali sewa. Mereka berdagang secara berkelompok. Tikar yang disewakan disebar di
beberapa titik, yaitu di pohon-pohon dan pinggir kanopi pengunjung. Dalam satu titik terdapat 2-4 orang.
Mereka secara bergantian menjaga titik tersebut dan menawarkannya pengunjung. Kebanyakan dari
mereka adalah perempuan, dan hampir semua memiliki name-tag.

Setelah melakukan wawancara, ternyata para penyewa tikar tergabung asosiasi pedagang di candi
Prambanan. Pada hari biasa, mereka berdagang di venue dagang sebelum pintu masuk area candi.
Sedangkan pada saat-saat khususlah mereka menyewakan tikar. Tikar yang disewakan sendiri merupakan
milik asosiasi. Mereka memakai name-tag sebagai tanda bahwa mereka tergabung dalam asosiasi dan
memiliki ikatan dengan pihak candi Prambanan.
Beralih ke pedagang alas duduk, para pedagang tersebut menjual alas duduk berjenis plastik
alumunium foil lembaran seukuran 2 x 1 meter, yang berupa plastik pembungkus makanan yang besar.
Mereka berdagang secara mandiri dan tidak berkelompok. Alas plastik tersebut mereka bawa dengan tas
dan menenteng beberapa lembar untuk ditawarkan, alas duduk plastik ini dijual dengan harga 5.000
rupiah per lembarnya.

Ketika kami tanyai, para penyewa menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki
ijin untuk berjualan dan melakukan kegiatan ekonomi di pihak Prambanan. Yang menjadi pertanyaan
adalah mengapa tidak terdapat konflik diantara mereka? Poin yang harus dicermati disini adalah potensi
konflik yang timbul dari keikut-sertaan atau status mereka berkaitan dengan pihak Prambanan.

Saat kita wawancarai, apakah para pedagang alas tikar memiliki status yang sama dengan para
penyewa, mereka mengatakan tidak. Mereka tidak memiliki keikut-sertaan khusus dengan asosiasi candi
Prambanan. Kemudian kita bertanya, apakah hal tersebut lantas tidak menjadi masalah, baik pada pihak
candi maupun dengan para pedagang dengan name-tag. Mereka menyatakan bahwa Tawur Agung
adalah acara yang terbuka bagi umum, dan tidak batasi siapa saja yang boleh masuk.

Pada acara tersebut memang tidak terdapat larangan tentang penyedia alas duduk. Yang dibatasi
hanyalah pedagang makanan dan canang. Mereka hanya diperbolehkan berdagang di bagian dalam pintu
masuk area candi. Lumayan jauh dari area dilangsungkan-nya ritual tersebut. Di area upacara sendiri,
terdapat stand pakaian dan buku bersifat keagamaan Hindu. Setelah berbincang dengan para penjaga
stand, mereka termasuk dalam organisasi umat Hindu di Jawa Tengah, dan memiliki ijin dari pihak
panitia Tawur Agung. Jadi jelas disini, bahwa tidak semua orang dapat berjualan di area candi tersebut.
Pada hari biasa, tidak diperbolehkan adanya perdagangan setelah pintu masuk area candi.

Ketika kami tanyai lagi, penjual alas duduk plastik, tidak secara tetap melakukan kegiatan
ekonomi di candi Prambanan. Mereka biasanya menjual alas duduk secara musiman. Mereka menghadiri
acara-acara besar keagamaan dalam menjual alasnya. Selain berjualan di acara Tawur Agung, mereka
menjual alas plastiknya di acara seperti pengajian-pengajian akbar.

Para penyewa tikar, yang secara khusus memiliki ikatan dengan pihak candi tentu merasa lebih
berhak dibanding para penjual alas plastik, karena mereka secara resmi tergabung dalam asosiasi
pedagang. Sedangkan pedagang tikar juga merasa berhak, karena Tawur Agung adalah acara yang
diadakan secara umum. Semua orang diijinkan mengikuti acara tersebut.

Penyewa tikar menawarkan kelebihan seperti alas duduk yang lebih lebar dan besar. Para orang
yang menyewa-pun tidak memiliki tanggung jawab untuk membereskan alas mereka. Namun harga yang
mereka patok disini 4 kali lebih mahal dari harga yang diajukan penjual alas plastik. Sedangkan penjual
alas plastik menawarkan harga yang jauh lebih murah. Setelah dibeli alas plastik tersebut merupakan hak
penuh pembeli, namun pembeli sendiri memiliki tanggung jawab untuk membereskan alas duduknya.

Kesimpulan

Kami melihat, bahwa sebenarnya terdapat potensi konflik diantara kedua golongan penyedia alas
duduk di Perayaan Tawur Agung. Tidak hanya menyorot masalah persaingan mendapatkan konsumen,
namun juga masalah ada atau tidak-nya ijin resmi untuk menyediakan alas duduk di upacara tersebut.
Tawur Agung Kesanga di candi Prambanan sendiri dihadiri oleh puluhan ribu orang yang datang dari
Jawa Tengah dan sekitarnya. Sebagian besar dari pengunjung yang melakukan ibadah tidak membawa
alas duduk, dan pihak panitia sendiri tidak menyediakan alas duduk khusus untuk pengunjung. Kami
menyimpukan, tidak terdapat konflik diantara kedua golongan penyedia tikar, karena satu golongan
penyedia saja, dalam hal ini penyewa tikar yang tergabung dalam asosiasi dengan pihak Prambanan, tidak
dapat memenuhi semua permintaan alas duduk pada perayaan Tawur Agung. Kedua golongan tersebut
juga memiliki segmen konsumen dengan praktis berbeda, yaitu: 1. Konsumen yang mengutamakan harga,
2. Konsumen yang mengutamakan kenyamanan. Kami melihat disini bahwa sebenarnya pedagang alas
duduk plastik melengkapi kekurangan ketersediaan alas duduk. Dan kedua golongan penyedia alas duduk
tersebut merupakan satu komponen yang memiliki fungsi tersendiri yang mendukung kelancaran
perayaan Tawur Agung Kesanga di candi Prambanan.
Daftar Pustaka

http://hindualukta.blogspot.co.id/2015/04/makna-pelaksanaan-upacara-tawur-agung.html diakses 10 Juni


2016

http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjateng/2016/03/08/tawur-agung-di-pelataran-candi-prambanan/
diakses 10 Juni 2016

http://www.kompasiana.com/ekoprastyo/memaknai-ritual-tawur-agung-kesanga-melebur-sifat-buruk-
menyucikan-alam_552fe8946ea834805d8b4598 diakses 10 Juni 2016

Anda mungkin juga menyukai