net/publication/335022736
CITATIONS READS
0 114
1 author:
Surahmat Surahmat
Universitas Negeri Semarang
17 PUBLICATIONS 0 CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Surahmat Surahmat on 07 August 2019.
surahmat
Editor
Ponco Hapsari, Nicko Fernando
Desain sampul
Moch Buhono HR
Layout
Ayu Ika Saputri
ISBN: 978-602-6589-56-9
Copyright 2017
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Mendudukkan Hubungan
Sastra dan Agama
Prof. Dr. Mudjahirin Thohir, MA
Profesor Antropologi Universitas Diponegoro
B
uku ini dimulai dengan perbincangan intelektual yang
menarik yakni mengenai relasi antara sastra dengan agama.
Relasi keduanya menurut pengarang, bisa terwujud ke
dalam tiga bentuk. Pertama, sastra sebagai medium, hadir untuk
kepentingan agama. Kedua, agama sebagai subjek kajian, hadir
untuk kepentingan sastra. Ketiga, sastra dan agama berelasi secara
resiprokal sebagaimana anak judul bab satu buku ini, Sastra untuk
Agama, Agama untuk Sastra.
Nah atas dasar relasi yang bercorak resisprokal inilah
pembicaraan bisa dimulai dari mana saja dan tentang apa saja.
Tergantung “selera’ pengarang. Pengarang sebagai individu,
pengarang sebagai anggota masyarakat, maupun pengarang
sebagai cincin dalam rantai produksi karya sastra. Dan buku ini
dihadirkan untuk menyuguhkan bagaimana terwujudnya proses
kepengarangan.
Pada proses kepengarangan, setidaknya ada tiga ‘dunia’ yang
saling terkait, yaitu proses produksi (terdiri dari: penulis, komunitas
penulis, editor, dan penerbit); proses distribusi (menyangkut:
percetakan, distributor, toko buku, dan penjual buku), dan proses
resepsi yaitu pembaca (hlm. 19).
K
AJIAN tentang karya sastra telah berkembang demikian luas
dengan memanfaatkan disiplin ilmu lain. Karya sastra pun
tidak lagi dipahami sebagai semata-mata teks yang hanya
eksis dalam wujudnya sebagai teks, tetapi gejala sosial yang berkai-
tan dengan gejala sosial lain. Oleh karena itu, pemahaman terhadap
karya sastra juga dilakukan dengan menjajaki aneka perspektif sos-
ial. Hal ini membuat kajian terhadap karya sastra menjadi semakin
rumit tapi sekaligus semakin variatif dan menarik.
Di antara sekian kajian sastra yang populer di Indonesia
adalah sosiologi sastra. Secara umum, sosiologi sastra berusaha
mendudukkan karya sastra dalam hubungannya dengan
masyarakat. Sebagai subjek dalam proses penciptaan dan proses
pembacaan, masyarakat adalah unsur sosial yang sangat berperan.
Oleh karena itu, kajian mengenai hubungan karya sastra dengan
masyarakatnya menjadi perlu dan menarik.
Sosiologi sastra pun telah berkembang dengan munculnya
kajian-kajian yang lebih spesifik. Secara umum, sosiologi sastra
memiliki tiga matra, yaitu sosiologi sastra yang berkaitan dengan
masyarakat pencipta, sosiologi sastra yan berkaitan dengan
masyarakat dalam teks, dan sosiologi sastra yang berkaitan dengan
masyarakat pembaca.
Di samping itu, sosiologi sastra juga menawarkan berbagai as-
pek kajian. Misalnya, sosiologi sastra dilihat dari aspek ekonomi,
politik, kebudayaan, dan ideologi. Masing-masing aspek itu seperti
kepingan puzzle yang diperlukan sebagai upaya memahami dan
H
UBUNGAN sastra dengan agama, sekurang-kurangnya,
dapat diuraikan dalam tiga bentuk. Pertama, sastra hadir
untuk kepentingan agama. Kedua, agama hadir “untuk”
kepentingan sastra. Ketiga, sastra dan agama berelasi tanpa
jelas batas dan kategorinya, bersinggungan begitu saja sebagai
sama-sama realitas sosial. Kalaupun ada tipe hubungan keempat,
meskipun ini tipe yang mungkin tak perlu diungkapkan, adalah
sastra dan agama dianggap tidak memiliki hubungan.
Hubungan tipe pertama dapat terjalin karena sastra memiliki
sifat yang memungkinkannya digunakan oleh m anusia beragama
untuk kepentingan agamanya. Dari hubungan tipe inilah, misalnya,
lahir terminologi sastra dakwah atau sastra islami yang dengan
kesadaran penulisnya digunakan untuk menyebarluaskan keyakinan
agamanya kepada pembaca. Sastra adalah medium, sebuah seni
bertutur, yang dianggap memiliki keunggulan komunikatif sehingga
dipilih oleh penulis tertentu untuk menyampaikan pandangan
atas keyakinannya. Dengan penyederhanaan gramatikal, sastra
diposisikan sama persis dengan rekaman khotbah, yang diproduksi
sebagai medium penyampai pesan keagamaan.
Relasi tipe kedua dapat terjalin karena agama diposisikan sama
dengan bidang lain sebagai realitas sosial. Agama adalah persoalan
Pada Awalnya
adalah Pengarang
U
NTUK memahami hubungan sastra dan agama, tersedia
sejumlah alternatif sudut pandang yang dapat digunakan.
Salah satu sudut pandang itu adalah sudut pandang kreator
(pengarang). Melalui sudut pandang kepengarangan, kita dapat
mencermati keterkaitan antara sastra dan agama dalam berbagai
gejala yang
muncul dalam diri pengarang. Pengarang sebagai
individu, p
engarang sebagai anggota masyarakat, juga p engarang
sebagai cincin dalam rantai produksi karya sastra, m elahirkan
sejumlah perilaku yang dapat dibaca sebagai gejala hubungan
sastra dan agama.
Ketika pengarang melakukan kerja kreatif menciptakan
karya sastra, tampak bahwa ia adalah pribadi yang otonom. Para
novelis, cerpenis, dan penyair tampak bekerja pada r uang kreatif
yang sepi dan sendiri. Namun di balik itu, pengarang sendiri
merupakan pribadi yang kompleks, membentuk jejaring dengan
subjek-subjek di luar dirinya. Dalam diri pengarang terdapat
pengetahuan, pandangan dunia, sistem nilai, dan gejala psikologis-
kognitif lain yang langsung maupun tidak memengaruhi karyanya.
Keyakinan agama pengarang, latar pendidikannya, serta cakrawala
pergaulannya adalah gejala-gejala tak tampak yang tak dapat
diabaikan.
K
ERAP ada nyanyian yang diperdengarkan dari masjid atau
musala di pedesaan Jawa antara azan dan ikamah. M uazin
mendendangkan lagu-lagu itu sambil
menunggu imam
dan jamaah. Nyanyian itu terkadang berbahasa Arab, terkadang
berbahasa Jawa, terkadang campuran
antara keduanya. Selain
berisi pujian kepada Allah, nyanyian itu biasanya berisi seruan
berbuat kebaikan. Sekali waktu, nyanyian itu juga berisi kisah
hidup seorang rasul, seorang wali, atau orang saleh lain yang patut
diteladani.
Oleh banyak orang, nyanyian itu disebut siiran atau singiran.
Nama ini memiliki kedekatan morfologis dengan syair, salah satu
jenis puisi Melayu klasik. Oleh karena itu, keberadaan singir kerap
disebut sebagai perpaduan bentuk kesusastraan Melayu dengan
sastra Jawa. Melihat banyaknya singir yang ditulis oleh para kyai
dan kemudian disebarkan kepada masyarakat oleh santrinya, tidak
keliru jika singir kerap disebut sebagai puisi pesantren.
Struktur internal dan ekspresi singir lebih dari cukup
memenuhi syarat untuk membuatnya dapat dikategorikan sebagai
karya sastra. Puisi tepatnya. Oleh karena itu, para ahli tampaknya
Sastra Islam
Sastra sebagai cabang seni juga menghadapi kerumitan t atkala
direlasikan dengan agama. Kerumitan, setidak-tidaknya secara
konseptual, juga terus ada meskipun secara verbal telah dikenal
istilah-istilah seperti sastra
islami, sastra profetik, dan sastra
dakwah. Di kalangan pengkaji sastra, istilah sastra islami dinilai
bermasalah karena bukan merupakan konsep akademik yang jelas
kriteria, batasan, dan kategorinya. Pertanyaan yang sangat sering
ditanyakan antara lain: apakah sifat islami berkaitan dengan tanda-
S
EBAGAI satu dari bagian cabang seni, dalam dunia sastra
terdapat gejala sosial yang umum didapati pada dunia seni.
Gejala itu, antara lain, terbentuknya komunitas yang menjadi
kantung aktivitas sastra. Orang dengan latar belakang ideologi sama
atau serupa saling berinteraksi satu dengan lain sehingga terbentuk
komunitas. Dalam bentuk yang lebih rapi, komunitas berubah
menjadi organisasi. Jika sudah menjadi organisasi, komunitas
memiliki organ-organ yang jelas, yang perannya berbeda satu sama
lain namun saling terhubung.
Di Indonesia, ada begitu banyak komunitas sastra. Ada yang
tumbuh menjadi komunitas besar dan b erpengaruh. Ada pula
yang tetap kecil. Tidak sedikit komunitas sastra yang jarak antara
pendirian dan pembubarannya tidak lebih lama dari usia pohon
jagung. Setiap komunitas memiliki tantangan berbeda, didirikan
dengan tujuan yang unik, menghadapi masalah yang spesifik,
sehingga tidak bisa diseragamkan.
Akan rumpang untuk membincangkan komunitas sastra di
I ndonesia tanpa menyebut Forum Lingkar Pena (FLP). Lebih-lebih
jika frame perbincangan itu spesifik pada sastra agama. Organisasi
ini patut disebutkan karena memiliki kontribusi yang tidak sedikit
dalam memperkenalkan kembali genre yang oleh banyak orang
disebut sastra islami. Peran FLP kian besar karena keputusan pendiri
Sumbangan FLP
untuk Sastra Indonesia
A
DA banyak komunitas sastra, yang oleh dirinya atau pihak
lainnya, kerap disebut memiliki landasan ideologi Islam.
Tetapi dalam sejarah sastra modern Indonesia, belum
ada komunitas sastra yang tumbuh sebesar Forum Lingkar Pena
(FLP). “Besar” dalam hal ini memang masih berdimensi kuantitatif,
berkaitan dengan luasnya jaringan organisasi, banyaknya jumlah
anggota, dan banyaknya karya sastra yang diproduksi.
Sebagai komunitas calon penulis, FLP telah mencapai
kesuksesan kuantitatif yang belaum pernah dicapai komunitas
sastra lain di Indonesia. Kesuksesan itulah yang membuat
komunitas ini memiliki peran yang bermakna dalam mewarnai
wajah kesusastraan di Tanah Air. Peran yang telah dilakukan
FLP setidaknya terdiri dari empat j
enis, yakni melahirkan
banyak pengarang baru, menghidupkan kembali genre sastra
dakwah, melahirkan ribuan judul buku, dan meningkatkan minat
baca masyarakat khususnya komunitas muslim muda, serta
meningkatkan alih wahana buku sastra ke media film.
Pada bagian ini penulis menguraikan peran-peran kultural
yang telah dilakukan FLP dalam arena sastra Indonesia. Jika dirinci,
peran FLP cukup kompleks. Tetapi untuk memudahkan diskusi,
penulis menyajikan sejumlah peran yang cukup menonjol, antara
1. Afifah Afra
2. Helvy Tiana Rosa
3. Asma Nadia
4. Izatul Jannah
5. Haiburrahman El Shirazy
6. Tasaro GK
7. Mell Shalila
8. Leyla Hana
9. Pipiet Senja
10. Sinta Yudusia
Syumuliyatul Islam:
Agama sebagai
Ideologi Berkarya
P
ADA bagian ini akan diulas ideologi Forum Lingkar Pena
(FLP) yang merupakan aspek penting untuk memahami
kiprah FLP dalam arena sastra Indonesia. Ideologi dapat
dipahami sebagai serangkaian keyakinan yang hidup pada diri
seseorang yang digunakan sebagai dasar pengambilan tindakan
atau keputusan tertentu. Agar dapat melihat p ersoalan ideologi
FLP secara keseluruhan, peneliti
menyajikan ulasan ke dalam
empat aspek, yakni ideologi pendiri, ideologi organisasi, ideologi
anggota, dan ideologi karya. Keempat hal itu berelasi satu sama
lain secara k
ronologis. Namun pola relasi tersebut tidak menurun
secara langsung karena dipengaruhi oleh faktor-faktor lain di luar
agen bersangkutan.
Ideologi Pendiri
Salah satu pendiri Forum Lingkar Pena (FLP), Helvy Tiana Rosa,
adalah figur kunci di balik pendirian dan perkembangan komunitas
ini. Selain menjadi salah satu penggagas, Helvy adalah ketua
pertama yang menjabat untuk dua periode. Helvy juga berkontribusi
penting dalam ekspansi FLP ke berbagai daerah di luar Jakarta. Ia
Ideologi Organisasi
Ideologi Forum Lingkar Pena (FLP) dapat ditelusuri melalui
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta dokumen
lain yang telah disepakati oleh anggota sebagai nilai bersama.
Ideologi organisasi merupakan hasil konsensus yang disepakati
oleh anggota untuk dijadikan sebagai ideologi bersama. Ideologi
organisasi dapat terbentuk karena FLP memiliki sejumlah forum
yang memungkinkan para elit serta anggotanya bertemu dan
menentukan
tujuan organisasi. Salah satu pertemuan tersebut
adalah
Musyawarah Nasional (Musnas) yang diselenggarakan
empat tahun sekali bersamaan dengan pergantian pengurus pusat.
Pada f orum-forum strategis tersebut FLP dibahas hal-hal mendasar
berkaitan dengan komunitas.
Pada FLP, ideologi organisasi terbentuk melalui empat proses,
yakni penggalian oleh para pendiri, dokumentasi melalui anggaran
dasar dan anggaran rumah tangga, sosialisasi kepada pengurus
dan anggota, serta penegakan melalui mekanisme pengawasan.
Pada tahap pertama, para pendiri FLP memegang peran yang
sangat penting sebagai pelopor dan penggagas komunitas. Mereka
bertindak sebagai aktor intelektual yang
menggali ideologi
organisasi melalui proses diskusi. Proses
penggalian gagasan
ideologi
organisasi terutama berlangsung dalam sejumlah
pertemuan yang diselenggarakan Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia,
Maimoon Herawati, dan sejumlah penggagas lain di Masjid
Ukhuwah Islamiah, Universitas Indonesia.
Pada proses kedua, FLP melegalisasi gagasan yang dihasilkan
Ideologi Anggota
Menurut laporan pertanggungjawaban Ketua FLP pada 2010,
FLP telah memiliki sekitar 6.000 anggota di seluruh daerah di
Indonesia dan luar negeri. Sejak 1997 hingga 2015, FLP tidak
melakukan pendataan secara rapi terhadap anggotanya. Oleh
karena itu, angka 6000 yang dilaporkan pada 2010 merupakan
angka perkiraan kasar berdasarkan laporan dari ketua wilayah dan
ketua cabang. Mulai 2015, FLP mendata ulang dengan mewajibkan
anggota melakukan registrasi daring melalui laman flp.or.id. Hanya
anggota yang melakukan registrasi yang diakui secara legal sebagai
anggota FLP dan berhak menyandang status sebagai anggota FLP.
Sebagian besar anggota FLP merupakan individu yang pernah
terlibat dalam organisasi keislaman ketika mereka sekolah atau
K
EHIDUPAN organisasi (meskipun berbentuk komunitas)
ditentukan oleh sumber daya yang dimilikinya. Dalam wujud
yang paling mudah diamati, modal organisasi dapat berupa
uang dan barang sebagai bagian dari modal finansial. Tetapi dalam
pandangan sosiologi modern, modal juga berkaitan dengan sumber
daya manusia, kekayaan kultural, dan kekayaan intelektual yang
dimilikinya.
Forum Lingkar Pena (FLP) memproduksi dan mengakumulasi
aneka modal tersebut sebagian strategi
kultural membesarkan
organisasi. Berikut diuraikan bagaimana FLP memproduksi dan
mengakumulasi modal berdasarkan jenisnya.
P
ADA bab ini akan diuraikan tiga hal, yaitu jaringan, kerja
sama, dan anggota FLP. Ketiga hal tersebut penulis uraikan
untuk menjelaskan modal sosial yang dimiliki oleh FLP
dalam mengembangkan organisasinya. Modal sosial merupakan
salah satu aset terbesar FLP yang membuat organisasi tersebut
dapat berkembang. Untuk memperoleh pemahaman yang lebih
komprehensif, penjelasan
tentang jaringan FLP diperluas pada
jaringan ideologis, bisnis, jaringan wilayah, dan keanggotaan.
Adapun kerja sama yang difokuskan pada bentuk dan jenis kerja
sama.
Jaringan Cabang
Hingga tahun 2015, Forum Lingkar Pena (FLP) memiliki 132
cabang dan wilayah yang tersebar di berbagai daerah di I ndonesia
dan cabang istimewa di luar negeri. Pembentukan wilayah,
cabang, dan cabang istimewa dilakukan dengan dua mekanisme,
yakni top down dan bottom up. Mekanisme top down berarti
inisiatif p
embentukan berasal dari pengurus
pusat. Pengurus
menghimpun calon anggota di daerah untuk kemudian dilantik
menjadi p engurus wilayah dan cabang. Mekanisme bottom up
berarti inisiatif p
embentukan
berasal dari calon anggota yang
mengajukan
permohonan kepada pengurus. Pengurus pusat
kemudian merespon dengan mengunjungi dan melantik pengurus
cabang setempat.
Mekanisme top down terjadi terutama pada masa awal
pendirian. Helvy Tiana Rosa menggunakan majalah Annida yang saat
itu dipimpinnya untuk menyebarkan pengumuman pendaftaran
menjadi anggota FLP. Pengumuman ini disertai d engan formulir
yang memungkinkan pembaca yang berminat dapat segera mengisi
dan mengirimkannya. Dengan cara ini Helvy berhasil menghimpun
sekitar 3.000 peminat yang berasal dari berbagai daerah di
Indonesia. Formulir yang terkumpul dikelompokkan berdasarkan
wilayah agar dibentuk pengurus wilayah. Helvy memanfaatkan
jaringan persahabatan dengan orang-orang di berbagai daerah
untuk membentuk FLP cabang dan wilayah.
Cabang FLP pertama yakni FLP Bontang terbentuk dengan
mekanisme top down atas inisiatif Muti, salah satu pengurus FLP
Pusat. Ketika Muti berpindah tempat tinggal ke Bontang, Kalimantan
Timur, dalam waktu yang singkat ia mendirikan FLP Cabang
Jaringan Keanggotaan
Dalam catatan Rosa (2007), Forum Lingkar Pena (FLP)
Strategi Budaya:
Antara Kontestasi
dan Kooperasi
S
EBAGAIMANA produksi barang simbolis lain, produksi
karya sastra tidak hanya melibatkan barang berupa buku
dalam wujud harfiah, melainkan juga produksi wacana dan
kepercayaan. Keberhargaan sebuah karya sastra tidak diperoleh
berdasarkan hitung-hitungan ekonomis semata, melainkan juga
hitung-hitungan sosial yang melibatkan pengaruh, kepercayaan,
dan otoritas kultural pada arena tersebut. Nilai sebuah karya,
dengan
demikian, berkaitan dengan relasinya dengan elemen-
elemen sosial yang fungsi dan keberadaannya diakui dalam arena
sastra.
Dalam analisis Bourdieu (2010) kondisi sastra yang selalu
erada dalam tegangan nilai merupakan konsekuensi dari proses
b
produksi kultural dan nilai-nilai. Produksi k
ultural, yang termasuk di
dalamnya adalah seni sebagai objek kultural, berbeda dari produksi
objek-objek pada umumnya, karena di dalamnya kebudayaan harus
memproduksi bukan hanya objek dalam dimensi materialitasnya,
namun juga nilai dari objek tersebut, yakni pengakuan terhadap
legitimasi artistiknya. Produksi kultural, dengan demikian, tidak
bisa dipisahkan dari produksi seniman s ebagai pencipta nilai yang
berelasi dengan subjek lain.
K
EHADIRAN sebuah komunitas tidak bisa dilepaskan dari
peran agen dan situasi sosiokultural di sekitarnya pada
konteks ruang dan waktu tertentu. Forum Lingkar Pena (FLP)
juga lahir dari rahim sosiokultural pada saat komunitas ini dirintis
dan didirikan. Kelahiran dan kemudian perkembangan komunitas
ini d
ipengaruhi d inamika ruang sosial tempat komunitas itu hadir.
Oleh karena itu, untuk mengetahui proses pendirian FLP, p enting
ditinjau k ondisi ruang sosial pada periode tersebut. Ruang sosial
yang spesifik perlu ditinjau adalah ruang sosial sastra dan ruang
sosial seni. Namun, ruang sosial lain seperti politik dan agama juga
merupakan ruang yang memiliki pengaruh terhadap k ehadiran FLP
di Indonesia. Tinjauan secara internal dan lintas bidang diperlukan
karena arena satu dengan arena lainnya memiliki pengaruh satu
sama lain.
Bourdieu (2010) menyebut ruang sosial dengan istilah a rena.
Dalam pengertian sederhana, arena adalah ruang sosial yang dihuni
oleh seseorang sebagai agen yang memiliki keteraturan (otonom)
dari ruang sosial lainnya. Namun demikian, arena satu dapat
pula saling mempengaruhi satu sama lain (heteronom). Bourdieu
mempersoalkan dikotomi o bjektivisme dan subjektivisme, antara
lain, untuk menguraikan cara agen melakukan b erbagai tindakan
(praktik) dalam sebuah arena. Objektivisme adalah realitas sosial
No
Definisi Sastra Dakwah
Responden
I
SLAM telah disepakti oleh pendiri dan pengurusnya Forum
Lingkar Pena (FLP) untuk dijadikan ideologi organisasi.
Konsekuensinya, nilai-nilai yang berlaku dalam komunitas itu
harus senantiasa dirujuk kepada dasar hukum tertinggi
Islam,
yaitu Al-Quran dan Hadis. Kesepakatan ini dilembagakan melalui
dokumen resmi organisasi, didoktrinkan melalui pelatihan dan
diskusi, juga dipraktikkan dalam serangkaian aktivitas.
Dari sudut pandang keagamaan, patut dipercaya bahwa
pilihan individu-individu dalam FLP untuk menjadikan Islam
sebagai ideologi berkarya merupakan ekspresi atas keyakinan
keberagamaan mereka. Artinya, pilihan untuk menjadikan Islam
sebagai jalan hidup organisasi bersifat ideologis dan murni. Di sini
Islam dipandang oleh individu-individu sebagai way of live yang
baik sehingga perlu diikuti.
Tetapi dari perspektif produksi kultural, pilihan untuk
menjadikan Islam sebagai landasan ideologis merupakan pilihan
budaya yang dilandasi motif kebudayaan tertentu dan membawa
dampak kebudayaan tertentu pula. Sebagai pilihan budaya,
pembentukan brand sebagai komunitas sastra yang islami
dilakukan melalui serangkauan praktik budaya tertentu pula.
Pada bab ini penulis mengulas strategi kebudayaan FLP dalam
No
Persepsi terhadap Helvy
Responden
1 Orang yang menginspirasi banyak orang.
Hal lain yang menumbuhkan kepercayaan publik terhadap
Helvy Tiana sebagai pribadi islami adalah tutur katanya. Dengan
keterampilan berbicara tertentu, Helvy dapat menyampaikan
pikirannya kepada audience. Keterampilan berbicara membuat
keyakinan, konsep, dan gagasan yang dimilikinya dapat diverbalisasi
sehingga dapat dipahami dengan baik oleh mitra tutur. D engan
keterampilan itu pula Helvy dapat meyakinkan kepada
mitra
tuturnya bahwa ia menguasai konsep, pengetahuan, dan informasi
yang diperlukan.
Dalam proses pembentukan identitas seseorang, keterampilan
berbicara memiliki dua peran sekaligus. Pertama, keterampilan
berbicara mendukung seseorang
mengutarakan gagasannya
sehingga ia dapat d ipahami orang lain d
engan baik. Keterampilan
berbicara yang memadai memungkinkan pengetahuan dan
wawasan yang dimiliki seseorang diekspresikan sehingga ia benar-
benar tampak sebagai orang yang memiliki pengetahuan. Kedua,
keterampilan berbicara itu sendiri merupakan sebuah identitas.
Keterampilan berbicara dapat menunjukkan jati diri sebagai
intelektual, pribadi yang mudah bergaul, dan citra positif lainnya.
No
Pelatihan yang Diikuti Manfaat yang Dirasakan
Responden
Berjibaku
Memasarkan Selera
D
ALAM produksi benda-benda kultural, sastra salah s atunya,
harga sebuah benda tidak dihitung berdasarkan ongkos
produksi dan waktu yang dihabiskan pengarang
untuk
menulisnya. Harga simbolik ditentukan oleh tingkat kepercayaan
masyaraka t
tentang nilai simbolik yang melekat pada benda
tersebut. K
epercayaan semacam ini hanya dapat diperoleh melalui
tokoh atau lembaga-lembaga yang memiliki otoritas simbolik.
Rangkaian praktik yang dilakukan oleh tokoh atau lembaga tersebut
dapat membuat benda-benda kultural memiliki nilai simbolik yang
melambung melebihi nilai ekonomisnya.
Mengakumulasi Ketersohoran
Ketersohoran atau popularitas adalah modal sosial yang mula-
mula harus dimiliki penulis agar ia dapat mengakumulasi modal
sosial yang lain. Penulis-penulis FLP memahami mekanisme ini
sehingga mereka berusaha membangun basis penggemar sejak awal
mereka memulai karier kepenulisan. Beberapa kiat yang dilakukan
oleh penulis FLP adalah (1) membuat dan mengelola website atau
blog pribadi sebagai pangkalan data diri dan kekaryaan yang dapat
diakses secara luas; (2) memuat biografi dan resensi karya pada
situs pembaca buku Goodreads; (3) membuat dan mengelola media
sosial sebagai alat promosi, baik berupa akun personal maupun
fanpage; (4) memperebutkan halaman sastra pada koran ternama
seperti Kompas, Jawa Pos, Republika, dan Koran Tempo; dan (5)
memperebutkan ruang resensi.
Bagi penulis FLP, ketersohoran adalah modal sosial yang
penting karena kerap dijadikan pertaruhan oleh penerbit untuk
menerbitkan naskahnya atau justru menolaknya. Berkat pelatihan
Naskah Naskah
berkualitas, Kurang
penulis berkualitas,
populer penulis
populer
Naskah Naskah
berkualitas, Tidak
penulis berkualitas,
Tidak penulis
populer Tidak
populer