Anda di halaman 1dari 243

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/335022736

Sastra Agama: Teks Spiritualitas dan Keindahan

Book · August 2019

CITATIONS READS

0 114

1 author:

Surahmat Surahmat
Universitas Negeri Semarang
17 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Surahmat Surahmat on 07 August 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


teks, spiritualitas,
dan keindahan

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan i


ii Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan
teks, spiritualitas,
dan keindahan

surahmat

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan iii


Teks, Spiritualitas, dan Keindahan
oleh Surahmat

Editor
Ponco Hapsari, Nicko Fernando

Desain sampul
Moch Buhono HR

Layout
Ayu Ika Saputri

Penerbit Cipta Prima Nusantara

ISBN: 978-602-6589-56-9

Copyright 2017
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang

Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014:


(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf
(i) untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekono-
mi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekono-
mi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar
rupiah).

iv Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


Kata Pengantar

Mendudukkan Hubungan
Sastra dan Agama
Prof. Dr. Mudjahirin Thohir, MA
Profesor Antropologi Universitas Diponegoro

B
uku ini dimulai dengan perbincangan intelektual yang
menarik yakni mengenai relasi antara sastra dengan agama.
Relasi keduanya menurut pengarang, bisa terwujud ke
dalam tiga bentuk. Pertama, sastra sebagai medium, hadir untuk
kepentingan agama. Kedua, agama sebagai subjek kajian, hadir
untuk kepentingan sastra. Ketiga, sastra dan agama berelasi secara
resiprokal sebagaimana anak judul bab satu buku ini, Sastra untuk
Agama, Agama untuk Sastra.
Nah atas dasar relasi yang bercorak resisprokal inilah
pembicaraan bisa dimulai dari mana saja dan tentang apa saja.
Tergantung “selera’ pengarang. Pengarang sebagai individu,
pengarang sebagai anggota masyarakat, maupun pengarang
sebagai cincin dalam rantai produksi karya sastra. Dan buku ini
dihadirkan untuk menyuguhkan bagaimana terwujudnya proses
kepengarangan.
Pada proses kepengarangan, setidaknya ada tiga ‘dunia’ yang
saling terkait, yaitu proses produksi (terdiri dari: penulis, komunitas
penulis, editor, dan penerbit); proses distribusi (menyangkut:
percetakan, distributor, toko buku, dan penjual buku), dan proses
resepsi yaitu pembaca (hlm. 19).

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan v


Forum Lingkar Pena (FLP) merupakan komunitas atau
organisiasi pengarang yang dijadikan subjek kajian buku ini. Kapan
ia lahir, siapa yang melahirkan, setelah lahir bagaimana ia berproses
dan memproses sesuai dengan gagasannya ‘meng-agama-kan
sastra”, sehingga terwujud karya literasi yang tidak jauh dari “ruh’
agama. Selama 14 tahun (lahir 22 Februari 1997), organisasi
penulis independen yang penggagasnya para mahasiswa peserta
diskusi di Masjid Ukhuwah Islamiyah UI ini telah menerbitkan lebih
dari 2.000 buku yang sebagian besar terdiri dari karya fiksi, remaja,
dan anak (hlm. 50, 52).
Apa yang kemudian menjadi fokus kajian dalam buku ini?
Penulis berusaha menyelidiki relasi agama dengan sastra dalam
praktik kebudayaan masyarakat Islam modern di Indonesia. Agama
dilihatnya sebagai sumber nilai sekaligus sumber inspirasi yang
kemudian terskspresikan ke dalam dunia seni, yaitu seni sastra.
Salah satu perkara pokok yang diulas dalam buku ini adalah
pertentangan agama dengan seni. Logika yang mendasari
pertentangan di sini, bermula dari cara melihat agama sebagai
seperangkat aturan yang ketat, di mana penganutnya dituntut
kepatuhan. Sementara berkesenian, justru menempatkan manusia
ke dalam kebebasan, karena tujuan inti dalam berkesenian adalah
pembebasan jiwa sebagai misi utama. Ekspresi kesenian dipandang
sebagai eksperimen mental untuk membebaskan pelakunya
dari penjara kejumudan. Kreativitas ditempatkan sebagai jalan
membebaskan diri dari kejumudan itu. Nah, bagaimana doktrin
kepatuhan itu mewujud dalam ruang berkesenian yang mendorong
kebebasan berekspresi? Itulah pokok persoalan dalam buku ini.
Lorong yang dimasuki yang kemudian digunakan untuk
menelusuri oleh penulis buku ini untuk menjawab fenomena
hubungan antara agama dan seni sastra itu ialah dengan model
negosiasi. Proses negosiasi yang dipilih penulis adalah negosiasi
budaya, atau dalam bahasa Pierre Bourdieu, produksi kultural.
Argumen untuk men-sah-kan lorong yang ditempuh yaitu
negosiasi budaya sebagaimana yang dipilih penulis buku ini, ialah
dengan mengkosntruksi pengertian agama dalam realitas sosial.
Agama dalam realitas sosial pada dasamya adalah hasil tafsiran-

vi Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


tafsiran terhadap apa yang diyakininya sebagai bersumber dari
teks-teks suci. Dari tafsiran-tafsiran itu melahirkan model-model
tentang pengetahuan dan keyakinan keagamaan yang bervariasi.
Model-model pengetahuan dan keyakinan keagamaan sebagai hasil
tafsiran-tafsiran tersebut merupakan “warisan” yang diterimanya
dari generasi-generasi sebelumnya melalui suatu proses
kebudayaan. Warisan tetntang pengetahuan keagamaan tadi –
lewat produksi kultural -- diterima, dibakukan, dan diberlakukan
oleh masyarakat penganutnya, meskipun tentu saja di sana sini
ada variasi bahkan pertentangan. Dalam realitas sosial itu, umat
memahami pesan agama menunjukkan gejala yang terus berubah.
Di mata penulis buku ini, umat Islam Indonesia mengalami
beberapa periode perubahan itu. Periode mutakhir yang dipandang
penulis penting adalah masuknya gagasan Islam Modern yang
dipengaruhi oleh organisasi transnasional. Para sosiolog melihat
gelombang perubahan itu sudah dimulai sejak tahun 70-an ketika
gerakan yang kerap kali dinamakan Gerakan Tarbiyah.
Perubahan lanskap kehidupan beragama umat Islam di
Indonesia kembali berubah pada 1998 ketika Orde Baru jatuh.
Organisasi Islam yang pada masa Orde Baru tak leluasa bergerak,
mendapatkan ruang gerak yang lebih luas. Di sisi lain, Indonesia
menjadi negara yang sangat terbuka menerima pengaruh dari luar.
Pengaruh internal dan pengaruh eksternal sama-sama membentuk
wajah baru kehidupan umat Islam di Indonesia. Hal ini ditunjukkan
dari munculnya lembaga keagamaan baru yang didirikan, ada
lembaga kebudayaan baru yang dibuat, dan ada prakrtik sosial-
keagamaan baru yang diritualkan.
Spirit perubahan itu, didasari oleh keyakinan bahwa Agama
Islam dipandang oleh penganutnya sebagai agama yang sempurna,
baik dari sisi cakupan kuantitatif maupun sempurna kebaikannya
secara kualitatif. Dengan kata lain, Islam mencakup seluruh bidang
kehidupan. Islam menjadi panduan hidup yang mengatur perkara
paling kecil hingga perkara yang paling besar. Di dalamnya ada
panduan hidup dari yang personal hingga yang publik, dari yang
lahir hingga yang batin, dari yang duniawi hingga yang ukhrawi.
Karena dipandang sempurna secara kualitas, agama Islam

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan vii


dengan sendirinya mengandung pesona, anjuran, dan ajakan
bagi penganutnya untuk menjalankan aturan-aturan itu secara
menyeluruh.
Sastra yang oleh penulis dipandang sebagai bagian dari seni,
dengan demikian, menjadi problematika karena juga sekaligus
menjadi bidang yang diatur oleh agama. Ada tarik ulur antara nilai
agama dengan nilai kesenian yang berujung pada terpilihnya salah
satu nilai itu sebagai superior. Tarik ulur itulah yang dibaca oleh
penulis buku ini. Pembacaan terhadap proses tarik ulur itu menjadi
menarik karena penulis menyodorkan variable-variabel sosial yang
sangat dekat dengan kehidupan masyarakat. Penulis menempatkan
selera sebagai salah satu variable itu, menempatkan selera sebagai
hasil konstruksi sosial. Karena selera dipandang sebagai hasil
konstruksi sosial, penulis lantas mempersoalkan adanya agen-agen
sosial yang membentuk relasi secara unik dan spesifik.
Benarkah begitu? Buku berjudul Sastra Agama, karya Surahmat
, yang semula adalah tesis pada Program Magister Ilmu
Susastra Universitas Diponegoro ini, mengajak pembacanya untuk
mendiskusikan ihwal titik temu dan titik pisah antara sastra dan
agama. Karena itu, uraian dalam buku ini akan menjadi sumbangan
yang cukup berharga dalam kajian sosiologi sastra. Setidaknya,
keputusan penulis untuk mempersoalkan hubungan sastra dan
agama patut diapresiasi. Mengapa? Dengan membaca buku ini,
pembaca akan semakin tahu bagaimana memahami kehidupan
sastra dan menghidupkannya pada masyarakat relijius.*

viii Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


Prakata

K
AJIAN tentang karya sastra telah berkembang ­demikian luas
dengan memanfaatkan disiplin ilmu lain. Karya ­sastra pun
tidak lagi dipahami sebagai semata-mata teks yang hanya
eksis dalam wujudnya sebagai teks, tetapi ­gejala ­sosial yang berkai-
tan dengan gejala sosial ­lain. Oleh karena itu, ­pemahaman terhadap
karya ­sastra juga dilakukan dengan ­menjajaki aneka perspektif sos-
ial. Hal ini membuat kajian terhadap karya sastra menjadi semakin
­rumit tapi sekaligus semakin variatif dan menarik.
Di antara sekian kajian sastra yang populer di ­ Indonesia
­adalah sosiologi sastra. Secara umum, sosiologi ­sastra ­berusaha
mendudukkan karya sastra dalam hubungannya dengan
­
­masyarakat. Sebagai ­subjek ­dalam proses penciptaan dan ­proses
­pembacaan, masyarakat ­adalah unsur sosial yang sangat ­berperan.
Oleh karena itu, kajian ­mengenai hubungan karya sastra dengan
masyarakatnya menjadi perlu dan menarik.
Sosiologi sastra pun telah berkembang dengan ­ munculnya
kajian-kajian yang lebih spesifik. Secara umum, sosiologi sastra
memiliki tiga matra, yaitu sosiologi sastra yang berkaitan ­dengan
masyarakat pencipta, sosiologi sastra yan berkaitan dengan
­masyarakat dalam teks, dan sosiologi sastra yang berkaitan dengan
masyarakat pembaca.
Di samping itu, sosiologi sastra juga menawarkan ­berbagai as-
pek kajian. Misalnya, sosiologi sastra dilihat dari aspek ekonomi,
politik, kebudayaan, dan ­ideologi. ­Masing-masing aspek itu ­seperti
kepingan puzzle yang diperlukan sebagai upaya memahami dan

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan ix


mendudukkan karya sastra dengan lebih baik. Berbagai ­perspektif
tersebut telah dikembangkan oleh para peneliti sastra sesuai minat
mereka masing-masing.
Buku Sastra Agama: Teks, Spiritualitas, dan Keindahan ini beru-
saha mengkaji hubungan ­sastra ­dengan agama. Sebagai dua varia-
bel sosial, sastra dan agama ­memiliki hubungan yang sangat dekat.
­Hubungan itu ­mempengaruhi karakteristik satu dengan lain. Dari
­persinggungan itu, ­lahirlah genre karya ­sastra yang secara “seram-
pangan” kerap disebut sebagai sastra islami, ­sastra ­profetik, sastra
gereja, dan sebutan lain.
Penyelidikan mengenai hubungan sastra dan agama ­sebenarnya
telah dimulai oleh kritikus sastra Amerika, T.S. ­Eliot, pada 1938.
Ia menghubungan karya sastra dengan ­nilai-nilai ­keinjilan serta
praktik penggunaan karya ­sastra dalam praktik ­keagamaan umat
Kristiani. Kajian yang ­dirilis oleh T.S. Eliot tersebut b
­ erkembang
dengan sejumlah ­variasi, sesuai karakteristik wilayah dan m ­ inat
­pengkajinya. Di Indonesia, negara dengan warga ­negara ­mayoritas
­Muslim, juga telah berkembang kajian yang ­menghubungkan sastra
dengan agama.
Karakteristik keagamaan komunitas di wilayah satu ­dengan
wilayah lain sangat beragam. Maka, hubungan antara karya sastra
dengan agama di wilayah satu dengan wilayah lain juga b ­ eragam.
Di Indonesia, tipe hubungan antara ­sastra dan agama juga ­memiliki
keunikan dengan wilayah lain. Keunikan tersebut dapat dilihat
dari cara kedua hal itu membentuk jalinan, agen yang ­terlibat, dan
aturan-aturan sosial yang melingkupi keduanya.
Di Indonesia, misalnya, aktor yang memiliki ­peran besar d
­ alam
perkembangan sastra agama adalah Forum Lingkar Pena (FLP). Ko-
munitas penulis dan pembaca ini ­berkembang ­dengan cepat men-
jadi komunitas yang ­produktif dan berpengaruh luas. Salah satu
jasa FLP adalah memperkenalkan kembali genre “­ sastra ­dakwah”
yang ditulis dengan “semangat pencerahan”. Para ­sastra yang ber-
naung di komunitas ini menggunakan karya sastra ­sebagai media
untuk menyampaikan nilai-nilai keagamaan. Lebih jauh dari itu,
mereka membungkus aktivitas kreatif menciptakan karya sastra

x Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


sebagai kegiatan yang berdimensi spiritual.
Sebelum FLP berdiri pada 1997, memang tidak ­ sedikit
s­astrawan Indonesia yang menggunakan sastra ­ sebagai ­ sarana
penyampaian keyakinan keagamaan. Tokoh ­ legendaris ­ seperti
Hamka, Kontowijoyo, dan kemudian ­Danarto d ­ ikenal luas ­sebagai
sastra yang konsisten ­menggunakan karya ­sastra sebagai ­ekspresi
estetik atas keyakinannya. ­ Bahkan di era yang lebih ­ lampau,
­kerajaan-kerajaan Islam seperti Aceh, Ternate, Gowa, dan lain-nya
juga melahirkan ­sastrawan yang karya-karyanya kental dengan
­ekspresi religius. Di Jawa juga dikenal ada seorang pendakwah ber-
nama Raden Sahid atau Sunan Kalijaga yang menggunakan sastra
(dan kesenian pada umumnya) sebagai sarana berdakwah.
Meski demikian, karena lanskap sosial dan kebudayaan ­terus
berubah, hubungan sastra dan agama ­sebagaimana bisa kita ­dapati
pada era FLP memiliki keunikan dengan ­“sastra agama” pada era
terdahulu. Keunikan itu dapat ­dibaca dari landasan ­ideologis yang
digunakan, cara ­kerja yang ­ditempuh, dan ­strategi k ­ ebudayaan
yang mereka ­ praktikkan dalam relasinya dengan ­ lembaga
­kebudayaan lain. Karena itulah, kajian terhadap sastra agama yang
­lebih ­kontemporer (dalam hal ini direpresentasikan oleh komu-
nitas modern ­bernama Forum Lingkar Pena) bukanlah ­sebuah
­perulangan atas kajian tentang “sastra agama” pada masa lalu. Ka-
jian tentang sastra agama sebagaimana penulis sajikan ­dalam buku
ini memiliki keunikan dan kebaruan.
Oleh karena itu, penulis berharap buku Sastra Agama: Teks,
Spiritualitas, dan Keindahan ini akan ­bermanfaat bagi para peng-
kaji sastra dan masyarakat pada umumnya. Sebagai bahan kajian,
sastra dan agama adalah dua hal yang sangat ­dinamis dan terus
berkembang. Oleh karena itu, pembaruan dalam dua kajian ini akan
sangat berguna.
Penulisa perlu menyampaikan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah berjasa turut membidani kelahiran buku ini. Ke-
pada Prof. Dr. Agus Maladi Irianto, Prof. Dr. Mudjahirin Thohir, dan
Dr. Redyanto Noor dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Dipone-
goro, penulis sampaikan terima kasih banyak atas bimbingannya.

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan xi


Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada “kakak angka-
tan” yang kerap memberi “kuliah” di berbagai kesempatan: Send-
ang Mulyana, Muhammad Burhanudin, dan Dhoni Zustiyantoro.
Buku ini tak akan lahir tanpa bantuan teman-teman Forum
Lingkar Pena (FLP) dari berbagai daerah. Oleh karena itu, penulis
menghaturkan banyak terima kasih, khususnya kepada Mba Helvy
Tiana Rosa, Mba Afifah Afra, dan Mba Sinta Yudisia.
Kepada istri tercinta, Rosi Diana Sari, penulis juga menyam-
paikan banyak terima kasih karena terus memotivasi untuk terus
berkarya. Buku ini saya persembahkan untuk ketiga keponakan
tercinta: Alisa Indri Meilani, Adam Nurohmat, dan Praditya Zhafran
Al-Ghifari. Semoga kalian bertiga tumbuh sehat menjadi manusia
hebat dan menghebatkan.
Penulis sadar buku ini memiliki banyak kekurangan, baik dalam
penulisan buku maupun isi. Oleh karena itu, penulis berharap para
pembaca berkenan ­memberikan saran dan masukan. Terima kasih.
Selamat membaca.

Semarang, Oktober 2017

xii Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


Daftar Isi

Kata Pengantar .....................................................................................................v


Prakata................................................................................................................... ix
Daftar Isi..............................................................................................................xiii
BAB 1

Sastra untuk Agama, Agama untuk ­Sastra.................................................. 1


BAB 2
Pada Awalnya adalah Pengarang.................................................................. 13
BAB 3
Agama dan Estetika: Sebuah Pertemuan, Sebuah Persimpangan.......31
BAB 4
Forum Lingkar Pena (FLP) dan G
­ elombang Islamisme.........................41
BAB 5
Sumbangan FLP untuk Sastra Indonesia.....................................................53
BAB 6
Syumuliyatul Islam: Agama sebagai Ideologi ­Berkarya........................69
BAB 7
Produksi dan Akumulasi Modal........................................................................83
BAB 8
Jaringan, Kerja Sama, dan Anggota............................................................. 103
BAB 9
Strategi Budaya: Antara Kontestasi dan Kooperasi............................. 129

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan xiii


BAB 10
Bertarung “Berebut” Keindahan................................................................... 141
BAB 11
Menghidupkan Islami sebagai Brand......................................................... 161
BAB 12
Berjibaku Memasarkan Selera....................................................................... 203

Daftar Pustaka ..............................................................................................217


Glosarium .........................................................................................................221
Indeks..................................................................................................................223
Tentang Penulis .............................................................................................225

xiv Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


1

Sastra untuk Agama,


Agama ”untuk” S ­ astra

H
UBUNGAN sastra dengan agama, ­ sekurang-kurangnya,
dapat diuraikan dalam tiga bentuk. ­Pertama, sastra hadir
untuk kepentingan agama. Kedua, ­ agama hadir “untuk”
kepentingan ­ sastra. Ketiga, sastra dan agama berelasi tanpa
jelas batas dan kategorinya, ­bersinggungan begitu saja sebagai
sama-sama realitas ­sosial. Kalaupun ada tipe hubungan keempat,
meskipun ini tipe yang mungkin tak perlu diungkapkan, adalah
sastra dan ­agama dianggap tidak memiliki hubungan.
Hubungan tipe pertama dapat terjalin karena sastra ­memiliki
sifat yang memungkinkannya digunakan oleh m ­ anusia ­beragama
untuk kepentingan agamanya. Dari hubungan tipe inilah, ­misalnya,
lahir terminologi sastra ­dakwah atau ­sastra ­islami yang dengan
­kesadaran ­penulisnya digunakan untuk ­menyebarluaskan ­keyakinan
­agamanya ­kepada pembaca. Sastra adalah ­medium, ­sebuah seni
­bertutur, yang dianggap memiliki ­keunggulan ­komunikatif ­sehingga
dipilih oleh penulis tertentu untuk ­ menyampaikan ­ pandangan
atas keyakinannya. Dengan ­ penyederhanaan gramatikal, sastra
diposisikan sama persis ­dengan rekaman khotbah, yang diproduksi
sebagai medium penyampai ­pesan keagamaan.
Relasi tipe kedua dapat terjalin karena agama ­diposisikan sama
dengan bidang lain sebagai realitas ­sosial. Agama ­adalah persoalan

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 1


yang problematik dan dinamis ­sebagaimana ­persoalan sosial lain
sehingga direfleksikan oleh para ­pengarang melalui karya sastra.
Sebagaimana ­ social rules pada umumnya, keyakinan beragama
­seseorang adalah pangkal mula tindak seseorang dan masyarakat.
­Keyakinan ­beragama seseorang melahirkan berbagai ­keputusan,
­tindakan, dan aktivitas sebagai ekspresi hidup. Ekspresi ­hidup yang
berawal dari keyakinan beragama inilah yang ditangkap ­sebagai
realitas untuk kemudian dituturkan kembali dalam karya sastra.
Di luar dua pola hubungan tersebut, ada berbagai ­kemungkinan
pola hubungan antara sastra dan agama. Salah satu kemungkinan
yang paling memungkinkan adalah ­ketika dua objek itu berelasi
secara resiprokal. Sastra dan agama ­memiliki ­kedudukan yang
setara, terhubung satu sama lain, ­lantaran ­memiliki ­kesamaan. Salah
satu kesamaan ­tersebut adalah ­kemampuannya m ­ empengaruhi
orang. Dalam ­bahasa lain, sastra dan agama ­sama-sama berpotensi
menjadi m ­ edan didaktik.
Jika ditelurusi lebih lanjut, hubungan sastra dan agama tersebut
dapat semakin kompleks dan berpotensi runyam. ­Kompleksitas
tersebut dapat hadir karena sastra dan agama m ­ emiliki ­sejumlah
variabel, baik yang tampak maupun tidak ­tampak, yang ­secara
­otonom saling berelasi. Sastra ­memiliki variabel tampak ­berupa
unsur intrinsik, adapun agama memiliki unsur tampak ­seperti
kitab suci, penganut, dan ritual. Sastra memiliki variabel tak
­
­tampak ­seperti amanah, sejarah, dan tafsir. Adapun agama ­memiliki
­variabel tak ­tampak seperti nilai, kepercayaan, dan hal-hal ­spiritual
yang bersifat gaib.
“Sastra untuk agama” pun dapat hadir dengan ­bermacam-
macam rupa dan relasi. Dalam relasi ini, ­ sastra ­
dipandang
sebagai ­bagian dari ekspresi kesalehan yang ­digunakan oleh umat
manusia u ­ ntuk mengomunikasikan ­dirinya dengan T ­ uhan. Namun
demikian, t­idak berarti ­sastra hadir ­semata-semata sebagai juru
­promosi nilai-nilai agama. Dalam konteks “­sastra ­untuk ­agama”,
sastra justru bisa hadir sebagai kritikus yang ­ mempersoalkan
­penindasan dan ­dominasi atas nama agama. ­Untuk mendukung dan
­mengokohkan agama sebagai sesuatu yang benar, sastra justru bisa

2 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


hadir mewartawakan “praktik beragama” yang tidak agamis.
Hubungan sastra dengan agama dapat terjalin karena para
penganut agama lazimnya meyakini bahwa agama tidak ­hanya
mengatur hubungan batin manusia dengan ­Tuhan. Agama juga
mengatur hubungan manusia dengan ­ dirinya dan manusia
­dengan makhluk lain. Ajaran agama tidak ­hanya berkaitan ­dengan
ritual yang bersifat personal, tetapi juga aktivitas sosial yang
­
­menghubungan manusia dengan manusia lain. Dalam posisi ini,
agama merupakan semesta aturan yang mengatur hal-hal lahir dan
batin, hal yang fisik dan rohani, yang privat dan publik, juga hal
yang profan dan spiritual.
Bagi penganut agama, ketaatan terhadap Tuhan dapat
­iwujudkan dalam berbagai bentuk tindakan. ­
d Selain ­ tindakan
yang nyata-nyata berdimensi vertikal berupa ­ ibadah, ­ tindakan
­dalam aktivitas keseharian manusia juga dapat bernilai ibadah jika
­dilakukan dengan niat yang baik. Oleh karena itu, bekerja dapat
bernilai ibadah, membantu orang lain dapat bernilai ­ibadah, ­bahkan
berkesenian juga dapat menjadi ibadah. Agar ­bernilai ­ibadah, ­hal-
hal tersebut perlu dilakukan dengan niat yang baik dan cara yang
baik, yakni cara yang selaras dengan “kebenaran agama”.
Di sisi lain, sastra merupakan aktivitas kesenian yang ­tidak
semata-semata berorientasi pada keindahan. Ketika d ­icipta,
didistribusikan, dan kemudian dibaca, sastra selalu ­
­ bersifat
­ideologis. Ada nilai, misalnya dalam bentuk amanat, yang ­mengikuti
atau inherent melekat pada dirinya. Ada transfer ­pengetahuan, nilai,
dan hal psikologis lain yang membuat penulis dan pembaca dapat
berkomunikasi. Oleh karena itu, sastra tidak selesai ­ketika karya
tersebut selesai ditulis. Sastra juga tidak “selesai” saat si pembaca
­membaca halaman terakhir. Jauh melampaui itu, sastra tetap hidup
dan ­bersemai sebagai ingatan dan kenangan yang kemudian dapat
tumbuh dan berdampak besar bagi kehidupan ­ seseorang dan
masyarakat.
Telah menjadi semacam “kesepakatan” bahwa ­sastra ­tidak ­lahir
dari kekosongan budaya, melainkan ­berkat ­situasi ­sosiokultural
tertentu. Sebagai produk ­kreatif, s­astra lahir b
­erkat i­­
majinasi

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 3


pengarangnya. Adapun ­ imajinasi ­
merupakan ­ objek ­ (situasi?)
psikologis manusia t­erhadap r­ealitas ­sosial tertentu. Di antara
sekian banyak realitas ­sosial, agama ­merupakan salah satu yang
­potensial ­direspon p
­ engarang melalui karya sastra. ­Telah banyak
penulis yang ­menunjukkan ­perhatian dan minat yang ­tinggi u ­ ntuk
­mengulas ­persoalan agama dalam karya mereka, baik ­mengulas
agama sebagai sistem nilai maupun tindakan ­beragama pada orang
­beragama.
Dalam sejarah, terdapat sejumlah catatan yang menunjukkan
bahwa sastra dan agama demikian dekat. ­Kedekatan ini dapat
terwujud dalam bentuk ­kombinasi n ­ amun juga dapat berwujud
pertentangan. Dalam ­bentukan kombinasi, artinya, sastra dan
agama berada di pihak yang sama sebagai dua komponen
yang saling menguatkan. ­Dalam bentuk pertentangan, artinya,
sastra dan agama ­ saling ­ menegasikan. Kekuatan sastra dan
­kencenderungan para sastrawan untuk menasihatkan kebaikan
memberi ­peluang perkawinan antara sastra dan agama. Namun
sifat sastra yang imajiner, longgar dalam standar etis dan estetis,
­bahkan cenderung mendobrak adalah pintu masuk konfrontasi
­dengan agama.
Dalam sejarah sastra Melayu, dapat diamati bahwa sastra
­Melayu dan Islam tampak seperti kapal dan ­muatan. ­Keduanya
berjalan di laut yang sama menuju pelabuhan yang sama. ­Sastra
­berfungsi sebagai kapal yang karena ­desainnya dapat ­mengambang
di atas air sehingga dapat ­mengangkut muatan ­berupa ­ajaran-ajaran
agama sehingga terakses dan terpahami oleh masyarakat. Oleh
sastra, ­ajaran agama ­dikemas puitis atau naratif sehingga menjadi
panduan hidup yang riil. Meski akan panjang jika harus ­dibuktikan
secara akademik, persebaran Islam di wilayah ­Sumatera, Malaysia,
dan sekitarnya rasanya tidak bisa dilepaskan dari p ­ eran karya
sastra.
Di tempat dan waktu yang berbeda, sastra dan ­agama dapat
saling menegasikan. Dengan sifat-sifatnya, sastra ­ digunakan
pengarang untuk mengkritik agama sebagai ­
­ institusi yang
­pongah. Dalam konteks ini, sastra dapat ­menjadi semacam media

4 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


­ ropaganda dan p
p ­ enghasut yang ­mengubah ­keyakinan seseorang
terhadap agama. Oleh ­sastra, agama dikritik ­sifatnya yang mutlak,
manipulatif, dan hipokrit. Kekuatan sastra untuk menegasikan
­
­kebenaran-­kebanaran agama bisa sama kuat dengan ­kekuatannya
untuk ­melegitimasi ­kebenaran agama.
Salah satu catatan yang menunjukkan ­pertentangan ­tersebut
adalah adanya kontroversi novel Ayat-Ayat Setan ­ (The Satanic
­Verses) karya Salman Rushdie. Novelis itu ­divonis ­hukuman mati
oleh ­otoritas Iran yang ­mengatasnamakan ­Islam karena novelnya
dianggap telah menghina keluhuran agam Islam. Melalui karya
sastranya, ­Rushdie b­ erupaya membangun kesadaran tertentu pada
diri ­pembaca. ­Kesadaran tersebut dinilai oleh otoritas Iran ­sebagai
­kesadaran yang bertentangan dengan kesadaran ­Islam. Dua ­aktor,
yakni Rushdie dan otoritas Iran, bertemu pada sebuah ­medan laga
yang membuat sastra ­seolah-olah ­bertentangan dengan Islam.
Buku ini tidak berambisi untuk ­mempersoalkan ­kedetailan
hubungan sastra dengan agama. ­Hubungan keduanya toh tidak dapat
dipastikan pola dan ­kecenderungannya secara pasti. Hubungan
sastra dan agama ­ berubah sesuai konteks zaman. Hubungan
sastra dan agama di satu wilayah bisa sama sekali berbeda
dengan ­hubungan ­keduanya di wilayah lain. Lanskap kebudayaan
­masyarakat ­setempat sangat mempengaruhi hubungan keduanya,
selain ­situasi ­politik, kekuasaan, dan variabel sosial lain.

Aspek Sosial Agama


Sebagai realitas sosial, agama merupakan realitas yang
­kasat mata. Agama tidak ditempatkan sebagai sesuatu yang gaib
­bersumber dari wahyu, melainkan sebagai nilai yang ­hidup di
masyarakat. Agama berisi tata nilai yang ­
­ diyakini ­ masyarakat
­sehingga mempengaruhi cara ­masyarakat bersikap dan bertindak
merespon sesuatu. Pada posisi ­tersebut, agama adalah ­seperangkat
aturan yang hidup dan dipelihara masyarakat pendukungnya
­sebagaimana sistem nilai yang lain. Oleh karena itu, agama adalah
­fenomena s­osial yang dapat dipahami dengan menempatkannya
­sebagai produk sosial, termasuk pengaruhnya dalam karya sastra.

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 5


Comte (dalam Hendropuspito, 1983) merumuskan ­ agama
sebagai konstruksi pemikiran manusia ­ mengenai ­ perlunya
­menghubungkan dunia yang mengatasi alam ­dengan dunia ­empiris
untuk memuaskan ­kebutuhan ­manusia yang ­hidup ­dalam tahap
pemikiran tertentu. ­Dengan ­definisi tersebut ­Comte ­hendak
mendudukkan ­agama sebagai realitas empiris yang eksis karena
­dikonstruksi oleh ­masyarakat. Eksistensi agama, ­dengan demikian,
berkembang dan ­ditentukan oleh sistem berpikir, pola relasi, dan
perubahan yang dialami manusia. Sebagaimana sistem keyakinan
lain, agama mengalami ­modifikasi sesuai perkembangan pikiran
manusia.
Meskipun homolog pada satu aspek, agama tidak dapat
dikatakan sama persis dengan sistem nilai lain yang berlaku
­
dalam masyarakat. Agama memiliki kekhasan yang membuat
­
­fungsinya tidak dapat begitu saja digantikan oleh sistem nilai lain.
Kekhasan tersebut, antara lain, berkaitan dengan sistem reward
dan ­punishment dalam agama. Selain itu, konstruksi kepercayaan
dalam agama juga berbeda dengan konstruksi kepercayaan pada
sistem nilai lain.
Hendropuspito (1983) berpendapat, agama ­ memiliki lima
fungsi dalam masyarakat, yakni fungsi edukatif, ­ penyelamatan,
kontrol sosial, memperkokoh ­ persaudaraan, dan fungsi
­transformatif. Dalam memenuhi fungsi ­edukatif, agama ­menjadi
­sumber ilmu pengetahuan mengenai ­hidup dan kehidupan. Melalui
agama, manusia diajak ­memahami dirinya, masyarakatnya, serta
alam sekitarnya. Tidak ­hanya alam dalam bentuk kecil (jagat cilik),
agama juga ­ mengajarkan alam sekitar dalam arti besar (jagat
gedhe). Dengan ­pengetahuan-pengetahuan itu, manusia ­beragama
melakukan intepretasi, refleksi, dan evaluasi sehingga hidupnya
lebih bermakna.
Fungsi penyelamatan agama, antara lain, tergambar ­ dalam
berbagai anjuran kebaikan yang diterangkan melalui kitab suci.
Agama memberikan pilihan bagi ­
­ penganutnya ­ untuk taat atau
­ingkar. Jika taat, manusia dijanjikan h
­ adiah ­berupa keselamatan
hidup di dunia dan akhirat. ­
­ Dalam ­ risalah berbagai agama

6 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


­ isebutkan bahwa kehidupan m
d ­ anusia di dunia dipenuhi ­berbagai
ancaman, baik yang bersumber dari dirinya maupun dari luar. Agar
terbebas dari ancaman tersebut, manusia harus hidup d ­ engan cara
­tertentu yang diajarkan oleh agama.
Selanjutnya, agama juga berfungsi sebagai kontrol ­sosial. D
­ alam
memainkan fungsi ini, agama menawarkan ­norma dan ­kesusilaan
untuk mencapai tujuan ­ bermasyarakat yang ­ ideal. ­ Agama
­menyeleksi norma-norma yang ­berlaku, ­berusaha ­menghilangkan
norma yang tidak sesuai dan ­mengukuhkan norma yang ­sesuai.
Norma yang tidak ­relevan dengan ­agama dipeyorasi sebagai ­norma
yang sesat sehingga harus ­ ditinggalkan. Adapun norma yang
sesuai merupakan norma yang baik sehingga dipromosikan untuk
diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan.
Keempat, agama juga berfungsi untuk ­memupuk ­persaudaraan.
Meskipun tidak dapat ditampik ­ bahwa p­erbedaan agama
menyebabkan demikian banyak ­kerusuhan, agama-agama di dunia
menganjurkan untuk ­memelihara ­persaudaraan. Umat beragama
yang baik ­tidak bersifat ­ofensif terhadap penganut agama lain.
­Sebaliknya, jika ­konsisten dengan ajaran agamanya, ­perbedaan
­keyakinan harus disikapi dengan toleran dan damai. ­Tidak ada
anjuran bahwa perbedaan keyakinan harus disikapi ­
­ dengan
­permusuhan.
Terakhir menurut Hendropuspito, agama juga ­memiliki fungsi
transformasi. Dalam fungsi ini, agama ­berfungsi ­untuk mengubah
bentuk masyarakat lama ke dalam ­bentuk baru yang lebih baik.
Fungsi demikian, terutama mudah diamati pada masa kelahiran
agama bersangkutan. Agama lahir dari kondisi sosial yang buruk,
diskriminatif, penuh penindasan untuk menawarkan cara hidup
yang lebih baik, egaliter, dan damai. Oleh pembawanya (rasul),
­agama ­ditawarkan kepada masyarakat sebagai cara hidup baru
yang menjanjikan ­kebaikan.
Di luar fungsi tersebut, agama juga berkembang ­ menjadi
s­ umber hukum. Dengan berbagai ­dalilnya, ­agama ­menjadi ­sumber
hukum yang dijadikan alat ­justifikasi ­apakah ­sesuatu ­benar atau
justru salah. Melalui ­agama, ­masyarakat ­membatasi perilaku ­dirinya

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 7


agar tidak ­menerabas dan ­melakukan ­kesalahan. Melalui agama
pula, anggota ­masyarakat ­memberikan negasi atau ­penguatan atas
­tindakan orang lain. Agama menyediakan ­argumentasi ­mengapa
sesuatu patut dilakukan dan sesuatu yang lain justru harus
­
­dihindari.
Dalam masyarakat yang taat, agama kerap menjadi juri ­ultima
bagi setiap permasalahan yang dihadapi. ­ Kebenaran ­ agama
bersifat mutlak karena dipercaya bersumber dari T
­ ­uhan yang
maha benar. Oleh karena itu, agama bisa ­menjadi panduan yang
sempurna agar seseorang ­ hidup ­ dengan ­bahagia dan selamat
sesuai yang ­ diinginkannya. ­ Tugas ­ manusia, ­dalam konteks ini,
adalah menafsirkan ­ajaran ­agama yang ada ­dalam kitab suci dan
mempraktikkannya ­
­ dalam ­ kehidupan. Tugas manusia adalah
­belajar terus-­menerus agar t­ afsirannya benar atau setidak-tidaknya
mendekati kebenaran.
Otoritas agama dalam masyarakat religius dapat ­terwujud
karena kombinasi rasionalitas dan ­ irasionalitas ­
sebagai dua
hal yang bertentangan namun saling ­menguatkan. Di satu sisi
­manusia memiliki kemampuan berpikir yang ­memungkinkannya
memahami sesuatu. Dengan akalnya ­ manusia mengonstruki
realitas dalam ­ bentuk ­realitas ­
konseptual dalam pikirannya.
­Proses berpikir membuat ­manusia sampai pada satu kesimpulan
­bahwa ­elemen-elemen yang dipikirkannya merupakan sesuatu
yang ­berkaitan satu sama lain. Kaitan tersebut mustahil dapat
dibuat oleh ­makhluk seperti manusia yang memiliki keterbatasan
ruang dan waktu.
Di sisi lain, petualangan akal manusia harus terhenti pada
­ ebingungan yang mendalam. Ketika mencari jawaban atas ­sebab
k
dari sebab sesuatu, manusia berhadapan pada mata rantai yang
tidak berujung. Ketika nyaris sampai pada ujung, manusia ­kerap
menghadapi kesulitan karena tidak ­ menemukan ­ penjelasan
rasional sebagai sebab dari ­
­ segala sebab. Ketidakmampuan
­manusia tersebut membuatnya memilih “jalur berpikir lain” untuk
memercayai adanya sebab dari segala sebab yang tidak dapat
­dijangkau pikiran.

8 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


Antara Kesalehan dan Keindahan
Agama lahir dengan sejarah dan dinamika yang r­ umit. K
­ erumitan
akan semakin menjadi jika ditarik pada ­diskusi, a­ pakah agama
benar-benar diturunkan dari langit atau ­didesain oleh ­manusia
untuk mengatur ­kehidupannya? ­Namun di balik ­kerumitan itu, ada
sebuah fakta yang ­agaknya relatif mapan diakui kebenarannya oleh
mayoritas intelektual, yaitu agama ­memiliki pengaruh yang besar
bagi kehidupan umat manusia. Agama bisa menjadi sebuah sistem
nilai yang bermukim dalam memori kognitif seseorang, sekaligus
menjadi sistem nilai bersama yang ­digunakan oleh masyarakat
sebagai institusi sosial. Baik sebagai k
­ eyakinan pribadi maupun
sebagai instrumen sosial, agama ­memiliki ­pengaruh terhadap cara
hidup manusia yang ­menganutnya.
Webber (dalam Haryanto, 2015) sendiri agaknya mengakui
bahwa salah satu ­ sumber keteraturan sosial adalah agama. Ia
­berhipotesis ­bahwa ­keyakinan tentang keberadaan Tuhan adalah
sumber asal dari ­
­ berbagai ­ tindakan yang diambil ­manusia.
Hampir setiap ­
­ tindakan ­manusia dikerjakan dengan ­ kesadaran
­bahwa dirinya adalah ­hamba yang diciptakan oleh ­Tuhan untuk
mengerjakan tugas-tugas ­ ketuhanan. Dari ­ keyakinan ­
semacam
itulah konsep ­kesalehan ­lahir. ­Kesalehan dapat dipahami sebagai
keputusan sadar ­seseorang ­untuk ­senantiasa berpikir, berucap,
dan berperilaku dengan ­mengindahkan ­keyakinan bahwa dirinya
adalah makhluk Tuhan. ­Keyakinan akan adanya Tuhan merupakan
inti k
­ esadaran yang ­mengendalikan tindakan sosialnya.
Bagi manusia yang beriman, Tuhan adalah ­kekuatan ­ultima
yang menciptakan segala apa yang ada di ­langit dan bumi, baik
yang tampak maupun tidak. “Tuhan ­menciptakan bumi, langit, dan
seisinya”, termasuk ­manusia. ­Keyakinan demikian ­membuahkan
sebuah pandangan h ­idup ­
bahwa m ­ anusia adalah milik Tuhan.
Pandangan ini dapat ­melahirkan kesadaran internal bahwa s­ egala
yang diperbuat oleh ­ manusia – sebaiknya - dikerjakan untuk
menjalankan tugas ­
­ kemanusiaan yang telah diberikan Tuhan.
­Agama Islam memberi jawaban yang pasti bahwa umat ­manusia
dan jin diciptakan Tuhan untuk beribadah kepada-Nya. Maka

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 9


s­ebaik-baik tindakan manusia, dalam perspektif ­ Islam, ­
adalah
tindakan yang berorientasi pada terlaksananya tugas ini.
Keunggulan agama sebagai sistem sosial ­adalah ­kemampuannya
untuk menyediakan argumentasi ­secara ­lengkap dan ­meyakinkan
tentang dari mana ­ kehidupan ­ bermula, ­ bagaimana kehidupan
­harus dijalankan, dan bagaimana ­kehidupan akan ­berakhir. ­Agama
telah ­menyediakan jawaban atas tiga pertanyaan paling mendasar
itu ­dalam kitab suci. Manusia adalah ciptaan Tuhan, ­sebagaimana
jagat raya dan seisinya. Manusia diturunkan ke dunia untuk menjadi
­pemimpin di muka bumi, diciptakan oleh Tuhan ­untuk ­beribadah.
Kehidupan manusia akan ­ berakhir d­engan ­ kematian yang
­mengantarkan manusia kembali kepada ­penciptanya, ­yaitu Tuhan.
“Sesungguhnya kita milik Tuhan dan akan kembali ­kepadaNya”.
Bagi orang-orang yang beriman, argumentasi yang ­disediakan
agama adalah sebuah panduan hidup yang ­lengkap. Bagi ­manusia
beriman, kehidupan akan dapat ­dijalani ­dengan baik dan b
­ ermakna
“hanya” dengan ­ menjalankan ­ ketentuan-ketentuan yang ­ telah
disediakan oleh agama. ­ Situasi ini merupakan situasi yang
­menguntungkan bagi manusia beriman, karena ia memperoleh
­kepastian ­tentang mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang
harus dikerjakan dan mana yang harus ditinggalkan. ­Bahkan, ­agama
dengan rinci dan konsisten, menyediakan ­jawaban konsekuensi
dari masing-masing tindakan yang diperbuat ­manusia. ­Misalnya,
manusia yang taat akan memperoleh ­
­ pahala, rida Tuhan, dan
akan memperoleh kebahagiaan dunia dan ­akhirat. Jika manusia
melanggar, melakukan keburukan, ia akan ­
­ memperoleh dosa,
­laknat Tuhan, dan kehidupannya di dunia tidak akan bahagia.
Bagi manusia beragama, agama yang ­diyakininya ­adalah ­sebuah
paket lengkap yang berisi panduan ­hidup ­bahagia dan ­selamat dunia
dan akhirat. Agama ­telah menyediakan ­panduan yang ­mengatur
bagaimana ­sebaiknya ­manusia m ­ enjalani ­hidup ­sejak membuka
mata pada pagi hari ­hingga ia tertidur pada malam hari. Agama
telah menyediakan ­panduan yang ­mengatur ­bagaimana ­manusia
berperilaku pada usia kanak-kanak, usia ­ remaja, usia ­ dewasa,
hingga ­manusia menyambut ajalnya. ­Agama ­telah ­menyediakan

10 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


­ anduan yang berisi aturan ­bagaimana ­mengurus hal-hal domestik
p
dan individu, seperti ­bagaimana cara buang air kecil yang baik,
hingga hal-hal publik ­ seperti ­bagaimana ­memilih ­ pemimpin
dan bagaimana pemimpin harus ­ menjalin ­
hubungan ­ dengan
pemimpin dari negara lain. ­Agama juga ­menyediakan seperangkat
pengetahuan ­tentang yang lahir ­sekaligus ­pengetahuan tentang
yang gaib. ­Bahkan ­secara diakronis, agama telah ­menyediakan
panduan ­bagaimana memahami masa lalu dan masa depan.
Paket lengkap yang tersedia dalam agama ­ sesungguhnya
­adalah sebuah tawaran kepada pemeluknya agar mereka dapat
­menjalankan agama secara total, kaffah. Oleh ­karena itu, ­agama
bisa hadir dan dihadirkan untuk mengelola ­berbagai urusan umat
manusia, baik urusan sosial, ­ politik, perdagangan, sains, dan
­kesenian. U
­ ntuk urusan kesenian, agama bukan saja ­mengakui
keberadannya, bahkan memberikan ­ tempat yang amat tinggi
dengan mendefinisikan seni (yang indah) sebagai salah satu sifat
ketuhanan. ­Dalam Islam, ­misalnya, telah disebutkan bahwa Tuhan
­menyenangi ­hal-hal yang baik dan indah.
Pada titik ini, aktivitas kesenian manusia ­sebenarnya dapat
dipandang sebagai aktivitas spiritual, yang dapat ­
­ digunakan
­manusia sebagai bentuk ketaatan kepada Tuhan. Berkesenian bukan
­semata dorongan psikologis manusia untuk ­mencari ­kesenangan,
melainkan sebuah jalan ­
­ spiritual yang dapat ­digunakan untuk
menjalin hubungan vertikal dengan Tuhan. Seni adalah ­aktivitas
yang berdimensi ­ibadah. Atau untuk menengahi ­keduanya, seni
dapat dipandang ­sebagai ekspresi jiwa yang ­muncul secara b
­ iologis-
kognitif dan dianjurkan oleh agama.
Di sinilah hubungan seni dan agama menjadi lebih ­rumit ­untuk
dipahami. Bagaimana agama mengatur ­ kesenian? ­ Bagaimana
­kriteria seni yang dianjurkan, diperbolehkan, dan d ­ ilarang oleh
­agama? Bagaimana hubungan selera ­estetis manusia dengan “­selera
estetis” Tuhan? Bagaimana menggali potensi ­estetis m
­ anusia agar
sesuai dengan ­“selera estetis” Tuhan? Bagaimana agama ­mengatur
pelanggaran jika manusia berkesenian tanpa mengindahkan
“prinsip berkesenian” yang diatur dalam agama?

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 11


Berbagai pertanyaan di atas patut dijawab ­untuk ­mengurai
benang kusut hubungan antara seni dan ­agama. Pasalnya, pada
satu sisi muncul keyakinan bahwa seni ­merupakan instrumen yang
diakui agama, namun di sisi lain banyak pihak yang menempatkan
ekspresi seni dan agama secara ­berseberang-seberangan. Lihat
­misalnya: pada satu sisi orang mengakui bahwa kaligrafi sebagai
seni Islam. ­ Artinya Islam menghargai ekspresi kesalehan yang
­mewujud dalam bentuk seni rupa. Namun, hingga saat ini masih
­muncul pendapat yang menyatakan bahwa menggambar bukanlah
seni Islam, bahkan perbuatan dosa.
Untuk mengurai hal itu, saya mengajukan model ­ segitiga
yang menghubungkan antara keindahan, identitas, dan k ­ esalehan.
Keindahan adalah nilai tertinggi yang diusung oleh seniman yang
berprinsip “seni untuk seni”. Pada saat yang sama, ­orang-orang yang
memiliki ketaatan ­beragama memandang seni harus ­didudukkan
sebagai ­ ekspresi ­spiritual untuk mengekspresikan ­ kecintaan ­ t­­
erhadap Tuhan. Dua hal itu tampaknya tidak ­berkaitan. Namun
oleh para pemikir postmodern, sulit untuk ­memisahkan seni dari
pencipta dan penikmatnya. Seni adalah objek sosial yang ­lahir dari
­proses kejiwaan dan sosiologis sehingga tidak bisa ­dipisahkan dari
masyarakat pencipta dan penikmatnya. Oleh ­karena itu, seni bukan
semata objek estetis, melainkan juga ­modus k ­ omunikatif dan pada
tataran tertentu adalah strategi k
­ onstruksi identitas.
Dengan melihat kondisi di atas, seni bisa menjadi ­medium
yang sebenarnya riuh oleh kepentingan. Di satu sisi ada pihak
yang berkepentingan menjaga seni sebagai ­objek ­estetis s­ emata.
Pada sisi lain ada pihak yang berupaya ­menjaga agar seni ­menjadi
suci dengan ­menjadikannya ­sebagai ekspresi ­spiritual. Pada sisi
yang lain lagi, sulit mengingkari bahwa seni adalah alat ­sosial
yang digunakan manusia ­ sebagai piranti untuk ­ melancarkan
urusan-urusan sosialnya, seperti memperkuat identitas,
­
­mengomunikasikan gagasan, dan sekali waktu juga sebagai mesin
penggerak masyarakat.

12 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


2

Pada Awalnya
adalah Pengarang

U
NTUK memahami hubungan sastra dan agama, ­tersedia
sejumlah alternatif sudut pandang yang dapat ­digunakan.
Salah satu sudut pandang itu adalah sudut ­pandang kreator
(pengarang). Melalui sudut pandang kepengarangan, kita dapat
mencermati ­keterkaitan antara sastra dan agama dalam ­berbagai
gejala yang ­
­ muncul dalam diri pengarang. Pengarang sebagai
­individu, p
­ engarang sebagai anggota masyarakat, juga p­ engarang
sebagai cincin dalam rantai produksi karya sastra, m ­ elahirkan
sejumlah perilaku yang dapat dibaca sebagai gejala hubungan
­sastra dan ­agama.
Ketika pengarang melakukan kerja kreatif menciptakan
karya sastra, tampak bahwa ia adalah pribadi yang otonom. Para
novelis, cerpenis, dan penyair tampak bekerja pada r­ uang kreatif
yang sepi dan sendiri. Namun di balik itu, ­ pengarang sendiri
merupakan pribadi yang kompleks, membentuk jejaring dengan
subjek-subjek di luar dirinya. Dalam diri pengarang terdapat
­
pengetahuan, ­pandangan dunia, sistem nilai, dan gejala psikologis-
kognitif lain yang langsung ­maupun tidak memengaruhi karyanya.
Keyakinan agama pengarang, latar pendidikannya, serta cakrawala
pergaulannya adalah gejala-gejala tak tampak yang tak dapat
diabaikan.

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 13


Untuk mengenali gejala-gejala demikian, ­pembacaan ­terhadap
pengarang dapat disandarkan pada dua ­pendekatan: ­psikologis
dan sosiologis. Pendekatan p ­ertama dapat ­ digunakan untuk
mengurai pribadi ­pengarang ­secara internal sebagai subjek yang
memiliki kehendak, ­kenangan, ­pengetahuan, juga hasrat. Dalam
diri ­pengarang ­
terdapat ­ objek-objek lain yang tumpang tindih
­membentuk ­kompleksitas kepribadian. Pendekatan kedua dapat
­digunakan untuk membaca pengarang secara eksternal ­sebagai
subjek yang berelasi dengan subjek-subjek lain dalam masyarakat.
Pendekatan psikologis dan sosiologis dalam kerangka pikir
demikian tidak bisa dipisahkan secara tegas. Dalam banyak
hal, kedua pendekatan itu saling tindih ­membentuk irisan yang
­menunjukkan keterkaitan antara satu ­dengan lain. ­Posisi pengarang
dalam masyarakat, lingkungan ­pergaulannya, dan biaya hidupnya
dapat menentukan tipe pengetahuan yang dikonsumsinya. Pada
sisi lain, tipe ­pengetahuan yang diakumulasi pengarang dalam
ruang k ­ ognitifnya, dapat ­mempengaruhi jaringan p ­ ergaulannya.
Contoh-contoh ­ demikian dapat diperpanjang, ­ misalnya: ­ selera
estetik s­eorang pengarang dapat menentukan ­komunitas kreatif
yang ­dipilihnya, tetapi pada saat yang ­berbeda, komunitas kreatif
yang dipilih pengarang dapat menentukan selera estetiknya pada
kemudian hari.
Kompleksitas individu pengarang bisa menjadi s­emakin
runyam karena para pengarang bukanlah semata-mata ­pengarang,
melainkan manusia yang hidup sebagai ­manusia pada ­berbagai
bidang kehidupan dan matra. Selain ­ sebagai pengarang,
seorang “pengarang” adalah anggota sebuah ­
­ keluarga, anggota
­perhimpunan, penganut ajaran ­tertentu, seorang penggemar klub
olahraga, penikmat ­jenis makanan tertentu, anggota partai ­politik,
dan lainnya. ­Berbagai peran itu, sedikit atau banyak, berperan
dalam membentuk ­karakter kepengarangan si pengarang.
Tentu amat rumit untuk membaca keseluruhan ­aspek ­kognitif
dan sosiologis dalam diri pengarang. Untuk itu, ­ diperlukan
kategorisasi, pemilahan, dan penyeleksian agar ­
­ aspek yang
­penting mendapat prioritas, adapun aspek yang dirasa ­kurang

14 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


penting dapat dinomorduakan. Dalam ­urusan inilah diperlukan
­pendekatan ­sosiologis dan p
­ sikologis yang fokus kajiannya adalah
­pengarang. Dalam bidang ­sastra, ­tinjauan sosiologis dan ­psikologis
­membentang dari ­pengarang, teks, sampai pembaca.
Menurut Ratna (2009) dasar filosofis pendekatan ­sosiologis
adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan
masyarakat. Hubungan karya sastra ­ dengan masyarakat dapat
­disebabkan oleh: a) karya sastra ­dihasilkan oleh pengarang, b)
pengarang itu sendiri adalah ­anggota masyarakat, c) p
­ engarang
memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat, dan d) h ­ asil
karya sastra itu ­dimanfaatkan kembali oleh masyarakat. ­Dalam
situasi s­eperti ini, ­
kepengarangan pengarang tidak ­ mungkin
dipisahkan d ­engan masyarakat. Pemisahan dua hal itu akan
­mengakibatkan pembacaan yang rumpang atau bahkan keliru.
Pada cakrawala yang lebih luas, Diches (dalam ­ Damono,
2010) beranggapan bahwa pendekatan ­sosiologi pada ­hakikatnya
merupakan pendekatan genetik ­
­ karena ­ mempertimbangkan
karya sastra dari segi pandangan asal-susulnya, baik yang ­bersifat
­individual, sosial, maupun keduanya. Meskipun demikian, ­aspek
genetik karya ­sastra bukan satu-satunya fokus perhatian ­dalam
pendekatan karya sastra. Sebab, sebagaimana ­ diungkapkan
Damono, ­
­ tidak ­ serta-merta karya sastra adalah cerminan
masyarakat. T
­ ­erdapat ­persoalan ideologis yang menghubungan
pengarang dengan karya sastra dan masyarakat dengan karya
­
­sastra.
Wellek dan Warren (dalam Damono 2010: 4) ­ membuat
­klasifikasi sosiologi sastra secara sederhana meliputi tiga ­aspek,
­yaitu sosiologi pengarang, sosiologi karya sastra, dan sosiologi yang
mempermasalahkan pembaca dan ­pengaruh sosial karya ­sastra.
Sosiologi pengarang, antara lain, ­mempermasalahkan karya
status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang ­ menyangkut
­pengarang sebagai penghasil karya sastra. Sosiologi karya ­sastra
merupakan kajian yang mempermasalahkan karya sastra itu
­sendiri sebagai entitas sosiologis. Adapun dalam kaitannya dengan
­pembaca, karya sastra ditempatkan sebagai subjek yang memiliki

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 15


peran dan pengaruh terhadap pembaca dan masyarakat pembaca.
Klasifikasi Wellek dan Warren di atas hampir sama ­dengan
klasifikasi sosiologi sastra yang dibuat Escarpit. Menurut ­Escarpit
(2005), sosiologi sastra dapat dibagi ke dalam tiga tahap ­proses,
­yakni ­proses produksi, proses distribusi, dan proses ­resepsi. ­Proses
­produksi adalah proses penciptaan karya sastra oleh p ­ engarang,
­berdasarkan standar estetik, pengetahuan, keyakinan, dan i­ majinasi
yang ­dimilikinya, hingga karya tersebut menjadi karya yang siap
baca. ­ Escarpit (2005) berpendapat bahwa selain m ­ enyangkut
­aspek-aspek ­personal dalam diri pengarang, ­proses produksi karya
­sastra juga berkaitan ­dengan aspek eksternal, seperti ­hubungan
­pengarang dengan kondisi sosiokulturalnya, ­hubungannya ­dengan
penerbit dan editor, bahkan meluas ­hingga pada ­aspek pendanaan
­penerbitan karya sastra.
Pembabakan tersebut dapat diilustrasikan dengan ilustrasi
sebagai ­berikut.

Proses Produksi: Proses Distribusi: Proses Resepsi


1. Penulis 1. Percetakan
2. Komunitas penulis. 2. Distributor 1. Pembaca
3. Editor. 3. Toko buku
4. Penerbit. 4. Penjual buku

16 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


Karya sastra merupakan karya kreatif yang ­diciptakan oleh
seorang pengarang atau beberapa pengarang. ­ Sebelum ­ s­­
ampai
di tangan pembaca, karya sastra telah menempuh proses yang
­panjang, yaitu proses produksi dan ­proses ­distribusi. Baik ­produksi
maupun distribusi ­merupakan f­ aktor yang penting. Proses produksi
mempengaruhi ­ karakteristik isi dan kemasan karya sastra.
Adapun proses distribusi mempengaruhi ­segmentasi dan ­keluasan
jangkauan karya sastra. Hal-hal tersebut ­merupakan hal-hal yang
­sangat menentukan kebermaknaan sastra bagi ­masyarakat.

Dari Asal-Usul Hingga Biaya Hidup


Meski di depan dikatakan bahwa pengarang adalah ­pribadi yang
kompleks, dibentuk oleh berbagai aspek, tidak semua ­aspek dalam
kehidupan penulis memiliki ­kontribusi m ­ embentuk ­karakteristik
kepengarangannya. Ada aspek yang dinilai ­ memiliki pengaruh
besar, memiliki pengaruh kecil, atau bahkan tidak memiliki
­
­pengaruh sama ­sekali. ­Untuk kepentingan e­ fektivitas ­penelaahan,
aspek-aspek yang memiliki peran besar harus ­ dipelihara pada
daftar ­teratas, namun hal-hal yang tidak berkaitan dapat diabaikan.
Lalu, apa saja hal-hal yang diasumsikan ­memiliki ­pengaruh
besar membentuk kepengarangan seorang ­ pengarang? ­Robert
­Escarpit (2005) telah menyusun ­daftar bahwa aspek yang tak
boleh diabaikan untuk ­ memahami kepengarangan seorang
pengarang adalah asal-usulnya, ­
­ biaya hidupnya, hubungannya
dengan ­penerbit, dan peran lembaga penerbit dalam produksi dan
distribusi karyanya.
Asal-usul pengarang dapat berkaitan dengan ­regionalisme dan
kemudian pada persoalan rasialisme. N ­ amun ­demikian, ­dialektika
pengarang ibu kota dengan pengarang ­daerah juga diakui ­sebagai
aspek yang ­ perlu ­ diperhatikan. ­
Dengan ­mengambil ­ contoh di
­Perancis, E
­ scarpit (2005) ­menunjukkan bahwa ada semacam ­dialog
antara pengarang Paris (ibu kota) dengan pengarang ­daerah. Pada
periode ­tahun ­1490-1580 pengarang dari daerah ­kekuasaan raja
­mendominasi, ­yaitu dari Normandia, ­Champagne, lembah Loire,

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 17


Aunis dan Saintonge, serta Perigord.
Pada periode selanjutnya, yaitu tahun 1580–1650, ­pengarang
diisi terutama oleh pengarang dari Paris dan Rouen. Sebaliknya,
pada periode tahun 1650-1720 k ­ esusastraan ­Perancis diramaikan
oleh ­ pengarang-pengarang daerah. Warna kedaerahan tetap
bertahan dari tahun 1720-1790 hingga terjadi revolusi. Mulai
­
­tampak adanya pemerataan pada tahun 1790-1860 dengan ­daerah
terpadat ­ penduduknya sebagai penyumbang jumlah pengarang
terbesar, seperti Marseille, Bordeaux, Lyon, dan Lille. Adapun pada
tahun 1860-1900, konsentrasi perkotaan bertambah mantap, yang
agaknya dipengaruhi oleh universitas-universitas.
Dengan menggunakan analisis Paris dan daerah, ­ Escarpit
memberikan catatan bahwa dalam ­pengembangan karya ­sastra
­terdapat pengaruh lingkungan dan ­lembaga – p ­ arlemen, i­stana,
pusat kota, dan universitas. Namun ia mengingatkan bahwa ­analisis
mengenai hal itu harus ­dilakukan dengan hati-hati ­terutama dengan
­mempertimbangkan ­perpindahan dan asal-usul.
Faktor sosiologis lain, menurut Escarpit (2005), yang
perlu diperhatikan adalah sosio-profesional. ­
­ Penelitiannya
­tentang ­beberapa pengarang Perancis dan Inggris dari abad XIX
menunjukkan bahwa 44 persen penulis Inggris pada periode
­
tersebut berasal dari kalangan profesional yang bekerja pada
­
bidang seni. Di Perancis, proporsi penulis yang bekerja pada bidang
ini sedikit lebih banyak, yaitu 52 persen. Dalam ­penelitian itu ia
juga mengungkapkan, anak pastor adalah tokoh yang ditemukan di
antara pengarang ­Inggris abad XIX. Di Perancis, kecenderungan ini
tidak dapat ditemukan karena anak agamawan dicadangkan ­untuk
­angkatan bersenjata. Di pihak lain, 32 persen pengarang dari kedua
negara berasal dari profesi liberal, pekerja ­administrasi tingkat
atas dan bawah, juga industri perdagangan dan bank.
Melalui data tersebut, masyarakat kelas ­menengah ­merupakan
“lingkungan sastra”, yaitu kelas yang ­menghasilkan lebih b­ anyak
pengarang daripada kelas atas dan bawah. Hal ini selaras ­dengan
data statistik yang ­ diterbitkan majalah Express tanggal 27
­November 1954 yang ­menyangkut 128 roman yang diterbitkan

18 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


pada t­ ahun 1954. ­Statistik tersebut menunjukkan bahwa ­kelompok
­profesi yang memiliki lebih banyak pengarang adalah ­wartawan
­sebanyak 41 persen, guru sebanyak 16 p ­ ersen, ­pengacara ­sebanyak
10 ­persen, pegawai negeri ­sebanyak 7 persen, ­insinyur sebanyak
5 persen, dan dokter sebanyak 2 ­persen. Dalam survei tersebut
­terdapat kategori lain-lain yaitu ­sebanyak 4 persen, antara lain diisi
oleh pekerja kasar.
Faktor biaya hidup pengarang, menurut Escarpit (2005), ­patut
diperhatikan karena setiap pengarang ­memerlukan makan dan
­tidur setiap hari. Menurutnya, semua ­fakta ­sastra bertumpu pada
masalah biaya hidup pengarang ­sebagai ­manusia berupa modal
habis pakai. Ia memberi contoh ­bahwa biaya hidup ­pengarang
memiliki pengaruh ­terhadap karya sastra yang dihasilkannya pada
tokoh Miguel de ­Cervantes dan Walter Scott. Keduanya a­dalah
seorang penyair yang karena memerlukan uang “terpaksa” ­menulis
roman.
Secara tegas, Escarpit (2005) mengungkapkan “Pada ­dasarnya
hanya ada dua cara untuk ­ memungkinkan ­ pengarang hidup:
­pembiayaan internal dengan hak ­cipta… dan pembiayaan dari luar.
Yang terakhir itu dapat ­dirangkum menjadi dua jenis; ­sponsor
(mecenet) dan biaya sendiri (­auto-financement).”
Menurut Escarpit, yang dimaksud dengan sponsor ­adalah orang
atau lembaga yang membiayai hidup ­pengarang dan ­melindunginya.
Sebagai kompensasi, pengarang ­harus ­memberikan karyanya untuk
memuaskan kebutuhan ­kultural orang atau ­lembaga bersangkutan.
Mekanisme ­pembiayaan ­seperti ini ­muncul seperti halnya organisasi
­feodal, ­berkaitan ­dengan suatu struktur sosial yang ­dibangun di
atas wilayah yang berdiri ­sendiri. Selain itu, mekanisme sponsor
dapat terjadi ­karena ketiadaan ­ruang sastra ­bersama, tidak ­adanya
proses pemasaran yang ­ menguntungkan, konsentrasi kekayaan
dalam beberapa tangan, dan intelektualtas golongan aristokrasi
yang bertambah halus. Pada kasus ­ intelektualitas golongan
aristokrasi yang bertambah halus, pengarang ­dipandang sebagai
pengrajin yang menghasilkan karya kemudian menegosiasikan
karyanya menurut sistem barter untuk memperoleh sponsor.

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 19


Kemungkinan kedua yang dapat ditempuh ­pengarang ­adalah
dengan self-financed, yaitu membiayai kegiatan ­ mengarangnya
dari kegiatan lain. Penulis boheme (­ petualang) di Eropa, menurut
Escarpit, dapat membiayai ­
­ kegiatan kepengarangannya ­ dengan
menggunakan kekayaan ­ warisan leluhur. Adapun beberapa
pengarang lebih memilih ­
­ menggunakan profesi kedua sebagai
sumber pembiayaan kegiatan kesusastraannya.
Diakui penulis Mesir Taha Hussein (dalam Escarpit, 2005),
pilihan untuk menggunakan profesi kedua ­bukanlah sesuatu yang
baru. Pada eranya, Aristoteles menjalani ­profesi kedua s­ebagai
­pembimbing studi Alexander, Pline le June ­menjabat sebagai ­pejabat
tinggi kekaisaran Romawi, Bacon ­ menjabat di p ­emerintahan
­Kerajaan Inggris, Chatubriand menjalani ­profesi kedua sebagai duta
besar dan ­kemudian menteri ­Perancis, ­Mullarme menjadi dosen,
Girodoux ­menjadi diplomat, dan ­banyak ­pengarang yang pada saat
yang sama juga melakoni profesi sebagai agamawan, dokter, hakim,
bahkan tentara.
Meski tampak sebagai solusi yang baik, Hussein ­(dalam ­Escarpit,
2005) berpendapat ada persoalan bagi ­pengarang yang menjalani
profesi kedua, yaitu ­terpinggirkannya p ­ rofesi ­pengarang sendiri
dalam satu subkategori ­sosio-profesional. M ­ enjalani ­profesi kedua
berisiko m ­ embuat seorang ­pengarang ­justru tidak tampak sebagai
seorang pengarang, ­melainkan sebagai orang yang berprofesi lain
sambil ­menjadi ­pengarang. Selain itu, setiap ­profesi kedua yang
dijalani ­pengarang ­biasanya memiliki ­tuntutan etis. Prinsip-prinsip
itu tidak ­ selamanya cocok dengan ­ kebebasan ­ pengarang yang
­diperlukan, misalnya kebebasan mengikuti ­imajinasi.
Adanya dua hal yang kontraproduktif pada ­pengarang yang
menjalani profesi kedua, Escarpit (2005) secara ­tegas menyatakan
“Profesi kedua harus dianggap sebagai solusi yang memang dapat
diterima, tetapi yang terbatas ­dampaknya. Masyarakat modern
dapat ­memanfaatkannya sebagai ­pengganti macenet. Namun, hal
itu tidak ­berarti bahwa masalah pengintegrasian profesi sastra
dalam sistem ekonomi-sosial tidak perlu dibahas dan dicarikan
­penyelesaiannya.”

20 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


Hubungan antara pengarang dengan penerbit juga ­merupakan
aspek penting dalam proses produksi karya ­sastra. Terdapat ­sejumlah
variasi hubungan pengarang dan ­penerbit yang ­mempengaruhi
karakteristik karya sastra yang ­dihasilkan. ­Hubungan profesional
ini juga berkaitan dengan hak cipta, ­penghasilan yang diperoleh
pengarang, hingga sistem seleksi n­ askah.
Menurut Escarpit (2005), persoalan hak cipta ­ pengarang
­telah muncul sejak abad ke XVII di Inggris. Sejak ­tahun 1709
telah ­diterbitkan undang-undang yang ­ dikenal dengan nama
Statut de la Reine Anne yang memberikan ­perlindungan ­kepada
semua p ­engarang terhadap tindakan sewenang-wenang para
pemilik ­
­ percetakan dan toko buku. Sayangnya, ­ pengawasan
­hukum t­idak mungkin dilakukan sampai munculnya ­penanggung
jawab k ­ omersial untuk hak milik pengarang, yaitu pera penerbit
­menjelang abad XVIII.
Escarpit (2005) mengemukakan terdapat dua tipe hubungan
pengarang dan penerbit yang paling lazim, yaitu beli ­borongan
dan sistem royalti. Dalam sistem ­borongan, ­pengarang ­menjual
secara penuh naskah yang ­ditulisnya kepada penerbit. Ia ­menerima
sejumlah uang ­sebagai ­biaya pembelian naskah. Dengan model
pembayaran ­ seperti ini, ­
pengarang tidak berhak mendapatkan
­tambahan ­bayaran dari penerbit betapa pun naskahnya sukses
­besar di ­pasaran. ­Adapun ­dalam sistem royalti, pengarang dan
penerbit ­
­ membuat kesepakatan pembayaran dengan ­ besaran
persentase ­ tertentu per tiap-tiap buku yang terjual. ­
Lazimnya,
­royalti yang diberikan kepada pengarang sebesar 5 persen sampai
15 persen. Semakin sukses naskah seorang pengarang, biasanya
persentase royaltinya akan semakin ­besar.
Escarpit berpendapat, anggapan bahwa profesi ­ sebagai
­pengarang adalah cara yang mudah untuk menjadi kaya ­perlu
dikoreksi. Sebab, tidak setiap naskah yang ­
­ diterbitkan dapat
menghasilkan cukup uang. Di Perancis, ia ­mencontohkan, ­naskah
yang laku di atas 10.000 eksemplar jumlahnya ­kurang dari 4 ­persen.
Padahal penghasilan yang diperoleh ­ seorang pengarang dari
penjualan buku b ­ erjumlah sekitar 800 F per bulan dan itu harus

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 21


dilakukan dengan keras sehingga ­menghasilkan ­setidak-tidaknya 2
roman per tahun.
Selain itu, peluang seorang pengarang muda yang ingin
menerbitkan naskahnya dengan harapan dapat memperoleh
­
10.000 F dari karyanya sangat kecil. “Probabilitasnya … lebih
rendah daripada yang mungkin diperolehnya dengan membeli
sepersepuluh lotre nasional.”
Sistem seleksi naskah oleh penerbit yang ketat dan ­persaingan
antarpenulis yang juga ketat, serta ­penjualan buku yang tidak dapat
dipastikan hasilnya membuat ­pengarang terpaksa mengerjakan
tugas-tugas sebagai ­pegawai ­khusus. ­Profesi yang paling ­mungkin
adalah pada bidang ­kewartawanan (jurnalistik) atau bekerja pada
­penerbit ­sebagai editor, korektor, atau penasihat sastra. Ada pula
yang bekerja ­ sebagai pegawai honorer untuk penerbit dengan
­kontrak jangka panjang dan yang hidup dengan uang muka. ­Selain
itu, lanjut Escarpit (2005) ada sejumlah ­pekerjaan ­kecil di bidang
sastra, seperti adaptasi, penerjemah, dan piñata dokumen.
Lebih jauh lagi, Escarpit (2005) menjelaskan, dalam ­proses
produksi karya sastra, terdapat profesi yang oleh orang Inggris
disebut pot-boiler, yaitu pengarang yang semata-mata bekerja agar
dapat bertahan hidup atau supaya dapat makan. Hal ini ­banyak
ditemukan pada jenis roman-roman detektif dan p ­etualangan.
Dalam perkembangannya, ditemukan pula profesi pengarang yang
menulis naskah untuk diterbitkan dengan nama orang lain. Selain
itu, pengarang dapat menulis naskah untuk ­konsumsi k­ elas rendah
dengan menggunakan nama samaran. Lazimnya, kasus yang
terakhir ini terjadi pada roman-roman picisan atau ­roman-roman
percintaan.
Lembaga penerbitan atau lebih sering disebut ­ penerbit
­ erupakan institusi yang membantu ­pengarang ­mempublikasikan
m
karyanya kepada masyarakat luas. Menurut Escarpit (2005: 69),
penerbit adalah tokoh yang ­
­ belum lama hadir dalam sejarah
­institusi sastra. N
­ amun, ­sejak zaman ­dahulu sudah ada cara yang
digunakan s­ eseorang atau ­institusi untuk membuat karya sastra

22 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


dapat ­dinikmati ­masyarakat. pada masa lampau misalnya telah
dikenal ­profesi pencerita keliling (trubadur) yang ­menceritakan
­secara lisan kisah-kisah tradisional.
Sejak abak V, menurut Escarpit (2005), di Athena ­sudah ada
bengkel-bengkel penulis yang dipekerjakan oleh ­ pengusahaan
untuk menyalin naskah. Salinan ini ­
­ kemudian dijual di ­ toko-
toko buku. Sebab masih dilakukan secara ­manual, tiras yang bisa
dihasilkan sangat terbatas, tidak ­
­ lebih dari ­
seratus eksemplar.
Lembaga ­
­ penerbitan baru ­ menemukan perannya secara
­massal ketika ditemukan ­mesin cetak. ­Namun, pada masa awal
­ditemukannya ­mesin cetak, karya sastra belum banyak ­diproduksi.
Naskah yang banyak digandakan adalah buku-buku fungsional dan
­buku-buku mengenai kekesatriaan. Hal itu wajar terjadi karena
­pencetak-pencetak pertama adalah orang-orang bisnis.
Percetakan-percetakan besar pada abad XVI m ­ engalami
kerepotan oleh pertumbuhan industri mereka yang ­rumit. Sebagai
solusi, percetakan mulai menyerahkan urusan ­penjualan kepada
para spesialis. Maka, sejak saat itu ­muncullah toko-toko buku. Pada
paruh kedua abad XVI muncul istilah bookseller di Inggris dan
buchhandler di ­Jerman (Escarpit, 2005).
Hingga abad XVIII belum ada pembagian kerja dan ­tanggung
jawab yang jelas antara pihak yang bertanggung jawab ­terhadap
urusan teknis pencetakan dan siapa yang ­bertanggung jawab pada
urusan komersial (penjualan). ­Awalnya, kedua tugas itu d
­ ibebankan
kepada percetakan, tetapi kemudian toko buku pun memperoleh
­bagiannya. Kejelasan baru muncul pada abad XIX ketika di ­Perancis
diterbitkan undang-undang yang ­
­ menunjuk seorang ­ penerbit
sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk ­setiap ­publikasi. Pada
tahun inilah penerbitan modern diyakini pertama kali lahir.
Secara umum Escarpit (2005) mengemukakan ­bahwa tugas
penerbit meliputi tiga hal, yaitu memilih naskah, ­memproduksi,
dan mendistribusikan naskah. Dalam ­ proses penyeleksian
­naskah, penerbit atau orang yang bertindak ­sebagai editor, t­elah
­membayangkan ­publik ­pembacanya. Maka, selama seleksi ­naskah
dilakukan, ­editor berupaya­­ memilih naskah yang tepat s­esuai

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 23


dengan calon ­pembacanya. ­Dalam proses ini editor ­memiliki dua
pertimbangan yang ­
­ saling bertentangan. Pada satu sisi ­editor
­mempertimbangkan aspirasi pembaca mengenai apa yang ­ingin
dibelinya dan pada sisi lain editor memiliki penetapan nilai
­
­mengenai naskah yang seharusnya dimiliki publik.
Dua pertimbangan di atas menuntut penerbit ­harus dapat
bersikap sebagai mediator yang mempertemukan ­pengarang dan
publik pembaca. Jika berhadapan ­ dengan pengarang, penerbit
akan berbicara mewakili publik. ­Adapun saat ­berbicara dengan
publik pembaca, ­penerbit ­menempatkan diri sebagai pembaca.
Hal ini berarti, ­ketika penerbit ­menyeleksi naskah, penerbit harus
selalu ­mempertimbangkan public theoriq (publik yang diteorikan).
Pilihan penerbit terhadap naskah tertentu dibuat atas nama dan
untuk memenuhi kebutuhannya (Escarpit, 2005).
Pertimbangan penerbit terhadap selera publik ­ merupakan
pertimbangan yang membawa ­konsekuensi ­panjang ­terhadap hasil
akhir buku bersangkutan. Jika ­publik yang ­dituju ­adalah ­pecinta
buku yang memiliki cukup ­ banyak uang maka ­ dimungkinkan
buku tersebut dikemas secara ­eksklusif dalam bentuk hardcover.
Tetapi jika publik ­pembaca adalah populer, buku perlu dikemas
agar dapat d ­ ijual dengan ­harga murah. Segalanya akan berbeda
jika ­publik ­pembacanya ­berbeda, baik kertas, format, tipografi,
­ilustrasi, jahitan, margin, ­kepadatan halaman, jumlah ­halaman, dan
terutama jumlah eksemplar yang akan dicetak.
Bagi penerbit, tiras merupakan aspek yang sangat ­diperhatikan
karena berkaitan dengan biaya pencetakan. ­ Jika tiras terlalu
­sedikit, biaya pembuatan buku dari ­proses seleksi naskah hingga
penjilidan yang harus ­diperhitungkan berdasarkan jumlah akan
menjadi mahal. Jika biaya per ­eksemplar buku menjadi mahal, akan
melebihi daya jual dan dimungkinkan menyebabkan defisit karena
tidak laku. Jika tiras terlalu besar dan melebihi daya jual, juga dapat
dapat menyebabkan defisit karena banyak buku yang tidak laku.
Dalam industri buku, produk yang tidak laku lebih rendah nilainya
daripada bahan mentahnya.
Escarpit, berpendapat dalam proses seleksi naskah, hal yang

24 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


harus dipertimbangkan penerbit bukan hanya jumlah calon
­publik pembacanya, tetapi juga jenisnya, ­kebutuhan ­fungsional,
dan terutama psikologinya. Pertimbangan ini berpengaruh
­terhadap p
­ roses perancangan sampul (cover) agar menarik m
­ inat
pembaca untuk membelinya. ­Sampul yang baik gambarnya ­harus
­mengungkapkan pelajaran ­kritik sastra yang sesungguhnya dan
menerjemahkan secara ­grafis analisis estetik-psikologis yang
­melatarbelakangi usaha ­penerbit untuk menentukan seleksi.

Agama, Pengarang, dan Kepengarangan


Asal-usul pengarang, sebagaimana diungkapkan ­ Escarpit
­berkaitan erat dengan hal-hal fisik, yaitu kedaerahan dan ras. Pada
periode ketika Escarpit melakukan pengamatan, dua hal ­mungkin
masih menjadi variabel yang penting dan ­ bermakna. Tetapi
di era seperti ini, yang ­memungkinkan ­ mobilitas ­
antardaerah
dan ­ antarnegara demikian mudah dilakukan, asal kedaerahan
­seseorang mungkin bukan ­faktor yang penting lagi. ­Demikian pula
soal latar belakang ras. ­Dalam lingkungan yang demikian ­terbuka,
ras ­seseorang mungkin sudah tidak menjadi variabel yang ­memiliki
pengaruh besar terhadap kepengarangan s­eseorang. ­
­ Justru,
meskipun tidak dapat ditarik simpulan global, latar ­
­ belakang
­ideologis ­seseorang menjadi variabel yang lebih dominan. Agama
salah satunya.
Dalam strukturalisme genetik, sebagaimana ­ diperkenalkan
oleh Goldman dan kawan-kawannya, karya sastra dipandang
­sebagai rekaman atas fakta-fakta ­kemanusiaan yang kompleks. Ada
jejak-jejak masyarakat dan ­pengarang yang dapat ­ditelusuri dan
­digunakan sebagai bahan menafsir dan menganalisis karya ­sastra.
Jejak itu bisa berbentuk jejak kebahasaan yang ­tersegmentasi, ­tetapi
juga tidak tertutup kemungkinan jejak itu berwujud kode budaya
lainnya. Dengan jejak itu, pembacaan terhadap karya ­sastra bisa
dilanjutkan dengan menelusuri hulu proses kreatifnya. Hulu yang
terdekat adalah pengarang. Adapun pengarang sendiri merupakan
“teks” yang ditulis oleh masyarakatnya.
Argumentasi itu menunjukkan bahwa hubungan teks karya

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 25


sastra dengan pengarangnya tak putus. Ada ­ikatan-ikatan ­antara
keduanya, kadang berupa ­penanda yang kasat mata, kadang ­berupa
penanda yang ­ hanya dapat d ­irasa. Dengan p ­enanda-penanda
itu, seorang ­pembaca karya sastra dapat pula “membaca” dunia
pengarangnya. Usai “­ membaca” pengarang, pembaca bisa pula
­melanjutkan “membaca” masyarakat yang membentuk ­pengarang.
­Sebab, pengarang sendiri bukan pribadi otonom dan ­terisolasi,
­melainkan pribadi yang hidup dan terbentuk oleh masyarakat.
Sebagai contoh, kita dapat menelusuri jejak ­ pandangan
keagamaan AA Navis melalui cerpen “Robohnya Surau Kami”.
­
Tokoh dalam cerpen itu adalah Haji Saleh, s­ eorang yang pada masa
hidupnya gemar sekali melakukan ­ ibadah ritual, seperti salat,
itikaf, dan mengaji di surau. Tepi k
­ etika menghadap Tuhan di hari
pertimbangan, ­ternyata ia ­menerima vonis masuk neraka. Dalam
dialog antara dia d
­ engan Tuhan terungkap, “hobi” beribadah ritual
itu m
­ embuat dia lupa melakukan ibadah sosial. Menurut “­ Tuhan”,
itulah “dosa” yang membuatnya justru lebih ­pantas ­masuk neraka.
Ada amanah yang kuat dalam cerita pendek itu. Melalui
c­ erpennya, AA Navis ingin mengajak umat (Islam) t­ idak h­ anya ­rajin
melakukan ibadah ritual, tetapi juga harus ­menjalankan ­ibadah
sosial. Amanat itu, sangat mungkin, ­bersumber dari ­keyakinan
agama Navis sebagai Muslim. Sebagai pengarang ia berproses
­
dengan masyarakatnya ­sehingga memiliki ­keyakinan keagamaan
yang ­demikian. ­Sastra, ­dalam hal ini cerpen, dijadikan Navis sebagai
­penyaluran ideologi keagamaan yang mengendap dalam hati dan
kepalanya. Melalui sastra pula, Navis berusaha ­menawarkan paham
keagamaannya kepada pembaca.
Amanat keagamaan dapat ditemukan dalam jumlah yang
melimpah pada pantun Melayu lama. Pada era itu, pantun lazim
ditulis oleh orang tua atau guru sebagai ­sarana ­menasihati anak
atau muridnya. Sebagai nasihat, ada pesan moral yang bermukim
dan melekat di dalamnya. Nah, ­pesan moral itu sendiri dipelajari
oleh pengarang dari sumber ­tertentu yang bisa ditelusuri jejaknya.
Untuk memperoleh gambaran yang lebih terang, ­contoh bisa kita

26 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


ganti dengan Ada Apa dengan Cinta. N ­ ovel itu d
­ ikomentari banyak
orang sebagai novel “islami” ­(tentang asal mula sebutan ini, akan
dilas pada 2) ­karena p­ adat oleh nasihat yang bersumber dari ajaran
Islam. Melalui tokoh-tokohnya, penulis ­membimbing pembaca pada
­simpulan “baik” dan “buruknya” sesuatu berdasarkan ­standar baik-
buruk Islam. Kebaikan dan keburukan yang sudah dikenal sebagai
kebaikan dan keburukan ­universal – lintas budaya dan lintas agama
– sekalipun diberi ­argumentasi dari perspektif agama Islam.
Tidak bisa dielakkan, karakteristik teks yang demikian
dipengaruhi oleh pandangan keagamaan penulisnya. ­
­ Penulis
novel itu adalah Habiburahman El-Shirazy, seorang ­ Muslim
yang ­menempuh pendidikan tinggi di Al-Azhar, Mesir. Ia b ­ anyak
­membaca dan menerjemahkan buku ­berbahasa Arab, baik ­untuk
kebutuhan keilmuan maupun sebagai kegiatan ­profesional untuk
memperoleh uang. Sebagai ­ mahasiswa Jurusan Hadis, ­ Fakultas
Ushuludin, Universitas Al Azhar ia mempelajari banyak buku ­Islam.
Setelah lulus dari Al-Azhar ia melanjutkan studi di The Institute
of Islamic S­ tudies in Cairo sehingga s­ emakin banyak ­mempelajari
pemikiran para intelektual Islam. Pada saat ­menempuh ­pendidikan
itu pula Habiburahman menjadi ­koordinator sastra Islam ­Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orsat Kairo.
Dengan bentuk yang lain lagi, kita juga bisa ­menemukan j­ejak
pandangan keagamaan Danarto dalam cerpen “Adam ­Makrifat” atau
“Lailatul Qodar”. Dalam sejumlah ­cerpen, ­Danarto ­menghadirkan
“tokoh dari langit” dalam ­ kehidupan sehari-hari manusia. Ada
malaikat yang ­memperbaiki ­genting, ada malaikat yang membantu
keluarga ­pemudik dalam kemacetan, ada Tuhan yang membantu
tukang ­becak. Dalam cerpen-cerpen itu ­Danarto membuat dunia
langit dan dunia bumi tampak tak lagi berjarak. Danarto bukan
hanya menerobos dinding mungkin dan tidak mungkin, ­
­ tetapi
membuat pemisah antara keduanya menjadi tidak ada.
Karakter cerita yang demikian itu membuat cerpen ­Danarto
kerap disebut cerpen surealis. Ketika ­ menuturkan ceritanya,
­Danarto tampak sedang mengalami trance. K
­ arena itu, tidak ­sedikit

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 27


pula yang kemudian ­menduga ­bahwa ­Danarto itu ­sendiri seorang
penganut tasawuf. ­Sebagai ­penganut tasawuf, Danarto meyakini
bahwa m ­ anusia bisa bersanding atau bahkan menyatu dengan
Zat yang maha suci jika memiliki pikiran dan hati yang suci pula.
­Kemenyatuan itu digambarkan Danarto dialami oleh ­tokoh-tokoh
dalam cerpennya. Tokoh-tokoh itu ­digambarkan ­sebagai ­“manusia
biasa” dalam takaran dunia, tetapi memiliki ­akses kepada Tuhan
karena memiliki ­keistimewaan tersendiri.
Penilaian itu bukan semata dugaan dari luar. ­Danarto sendiri
mengakuinya. “… kita itu  (alam benda, alam ­tumbuh-tumbuhan,
alam binatang, dan alam manusia) ­hanyalah proses, sehingga ­segala
sesuatu tidak terpahami karena tidak terbentuk. ­Kebenaran dan
bukan kebenaran yang mengira kita mampu ­menyimpulkannya,
ternyata itu semua tidak ada. Karena kita ini proses maka kita
­hanya mengalir saja, dari mana, mau kemana kita tidak ­mengetahui.
­Begitulah hakikat sebuah barang ciptaan. Yang jelas kita adalah
milik Sang Pencipta, secara absolut dan ditentukan.”
Ada banyak pengarang yang – baik terang-terangan ­maupun
secara samar – mengakui menulis karena ­dorongan keagamaan.
Bahkan tanpa mengakui pun, motif dan ­ ekspresi keagamaan
seseorang kerap kali tak bisa ­
­ dielakkan. ­
Keyakinan terhadap
kebesaran Tuhan yang merupakan wilayah batin dalam diri
­
­pengarang, kerap terkonversi dalam bentuk-bentuk ekspresi yang
tidak bisa diduga. Bisa dalam bentuk pemujaan, bisa dalam ­bentuk
refleksi, tetapi bisa pula muncul dalam bentuk keraguan atau
­bahkan penentangan.
Penyair Chairil Anwar, misalnya, dikenal sebagai ­ penyair
e­ksistensialis. Rekam jejak hidupnya, baik ketika di Medan
­maupun setelah di Jakarta, tidak menunjukkan tanda yang ­cukup
untuk dikenang sebagi pribadi yang religius. ­Meski ­demikian, ia
“menyediakan” ruang dalam ingatan dan hatinya yang digunakan
untuk ­merefleksikan keberadaan Tuhan. Aktivitas ­reflektif itu
kemudian melahirkan ­
­ sejumlah puisi. ­
Dalam puisi “Di Masjid”,
misalnya, ia ­menceritakan pertemuan dengan Tuhan. Dalam puisi
“Isa” ia mengajak ­pembacanya (yang Nasrani sejati) merefleksikan

28 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


­ engorbanan Yesus Kristus. Adapun puisi “Doa” ­tampaknya
p
digunakan ­
­ Chairil untuk memuja Tuhan sekaligus meminta
­pertolongan-Nya ketika ia dalam kesusahan.
Hubungan agama, pengarang, dan kepengarangan bisa
diringkas daam empat kemungkinan. Pertama, ­
­ pengarang
­menggunakan karya sastra untuk mengungkapkan ­kecintaannya
kepada Tuhan. Seperti anak muda yang jatuh cinta kepada lawan
dan mendadak bisa mengarang ­puisi, pengarang digerakkan oleh
kekuatan spiritual dari dalam d
­ irinya sehingga tangannya tergerak
menulis. Sastra menjadi sarana ekspresi dan katarsis agar beban
rasa dalam pikiran hati pengarang bisa tertumpahkan sehingga
melahirkan rasa nikmat.
Kedua, pengarang menulis karya sastra untuk ­menyampaikan
keyakinannya agar diresapi (atau bahkan ­diikuti) oleh orang lain.
Dalam ungkapan lain, karya ­ sastra dijadikan sebagai ­medium
komunikasi bagi ­
­ pengarang ­ untuk mengajak pembaca turut
­meyakini ­keyakinannya. ­Tujuan ­demikian sangat mungkin diraih
karena sastra memiliki kekuatan mempersuasi. Selain dapat
menyentuh alam logis pembaca, sastra juga dapat menyentuh
alam rasa, ­ sehingga bisa digunakan sebagai instrumen untuk
­menggerakkan orang lain dari dalam. Kecenderungan inilah yang
­melahirkan sastra syiar atau sastra dakwah.
Ketiga, pengarang menggunakan karya sastra ­ untuk
menyampaikan evaluasi dan kritik terhadap ­
­ praktik ­
beragama
­dirinya dan orang-orang di sekitarnya. ­Sebagaimana sistem hidup
lain, praktik beragama seseorang atau masyarakat mungkin saja
melahirkan penyimpangan. ­Pengarang ­menggunakan karya sastra
untuk menunjang kinerja ­reflektif dan korektif sehingga ia dan
pembacanya bisa kembali ­kepada ajaran yang murni. Jenis karya
yang ­lahir dari proses ini biasanya kritis dan reflektif.

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 29


30 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan
3

Agama dan Estetika:


Sebuah Pertemuan,
Sebuah Persimpangan

K
ERAP ada nyanyian yang diperdengarkan dari ­masjid atau
musala di pedesaan Jawa antara azan dan ikamah. M ­ uazin
mendendangkan lagu-lagu itu sambil ­
­ menunggu imam
dan ­jamaah. Nyanyian itu terkadang berbahasa Arab, terkadang
berbahasa Jawa, terkadang campuran ­
­ antara keduanya. ­ Selain
berisi ­pujian kepada Allah, nyanyian itu ­biasanya ­berisi ­seruan
berbuat ­kebaikan. Sekali waktu, nyanyian itu juga berisi kisah
hidup seorang rasul, seorang wali, atau orang saleh lain yang patut
diteladani.
Oleh banyak orang, nyanyian itu disebut siiran atau singiran.
Nama ini memiliki kedekatan morfologis ­dengan syair, salah satu
jenis puisi Melayu klasik. Oleh karena itu, ­keberadaan singir kerap
disebut sebagai perpaduan bentuk kesusastraan Melayu dengan
sastra Jawa. Melihat ­banyaknya singir yang ditulis oleh para kyai
dan kemudian disebarkan kepada masyarakat oleh santrinya, tidak
keliru jika singir kerap disebut sebagai puisi pesantren.
Struktur internal dan ekspresi singir lebih dari cukup
memenuhi syarat untuk membuatnya dapat dikategorikan sebagai
karya sastra. ­Puisi tepatnya. Oleh karena itu, para ahli tampaknya

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 31


tidak perlu ­memperdebatkan lagi apakah singiran adalah karya
sastra atau bukan.
Dengan begitu, pada titik ini jelas bahwa sastra ­ternyata telah
lama digunakan dalam aktivitas beragama. Selain ­singir, para dai
juga kerap menggunakan bentuk karya sastra lain seperti ­suluk,
babad, dan hikayat untuk menyampaikan ajaran Islam. ­Tidak h ­ anya
dalam Islam, penggunaan karya sastra dalam aktivitas ­keagamaan
juga bisa telusuri dalam tradisi agama lain.
Dalam tradisi Yahudi, dapat ditemukan juga ­sejumlah ­puisi yang
digunakan dalam aktivitas keagamaan. Salah satu yang masyhur
adalah sastra apokaliptik, yakni tulisan ­mengenai ­penyataan Ilahi
yang berasal dari masyarakat ­Yahudi kurang lebih antara tahun
250 SM dan 100 M. Kata “apokaliptik” sering diartikan sebagai
“menyingkapkan” atau ­ “membukakan” yang merupakan suatu
ungkapan dari ­gereja Kristen abad ke-2 untuk jenis sastra yang
dipakai ­dalam surat Wahyu kepada Yohanes di Perjanjian Baru.
Dari sinilah kata “apokaliptik” kemudian menjadi sebutan untuk
gaya penulisan yang banyak menggunakan simbol.
Dalam tradisi Kristen juga muncul sastra ­pastoral. ­Sebutan ini
biasanya dilekatkan pada jenis puisi atau ­drama yang berisi kisah
kehidupan yang tenang di pedesaan. ­Sejumlah sumber m ­ enyebut,
jenis karya sastra ini telah muncul beberapa dekade sebelum
Masehi melalui ­pujangga Yunani bernama Publius Vergilius Maro.
Bucolica adalah ­judul karya Vigilius yang mengisahkan kehidupan
damai di desa, seluk-beluk pertanian, pemeliharaan lebah, dan
­sebagainya (Rampan, 1999). Jenis sastra pastoral muncul lagi pada
era Renaissance, Barok, dan Rocco. Pastoral sendiri diambil dari
bahasa Latin yang berarti penggembala.
Kemunculan karya sastra juga dapat ditemukan ­dalam ­aktivitas
agama lain, Hindu dan Budha misalnya. ­Lazimnya p ­ enganut ­agama
Hindu mengartikan sastra ­tidak ­semata-mata sebagai seni bahasa,
melainkan juga sebagai bentuk pengetahuan. Tentu bukan sebuah
­kebetulan jika kata ­sastra itu sendiri berasal dari bahasa Sansekerta
yang ­merupakan bahasa suci bagi penganut ­agama Hindu. Oleh
karena itu, kitab-kitab ilmu pengetahuan ­agama hindu juga kerap

32 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


­disebut sebagai karya sastra.
Berdasarkan bentuknya, ada dua tipe karya sastra agama
­ indu, yaitu Śruti (yang di dengar) dalam bentuk wahyu dan ­Smrti
H
(yang di ingat) dalam bentuk tradisi, bukan wahyu). Salah satu Sruti
yang peling terkenal adalah Rigweda. K ­ itab ini ini terdiri dari 1,017
nyanyian pujaan (himne) dengan jumlah total 10.562 baris yang
dijelaskan dalam 10 buku. Bagian pertama ­adalah ­permohonan
(exhortation), bagian kedua adalah pujian terhadap Dewa tertentu
dalam bentuk doa, dan bagian ketiga adalah ­permohonan ­khusus.
Selain Rigweda, umat Hindu mengenal berbagai bentuk ­kitab ­sastra
lain, seperti Yajurveda, Samarveda, dan beberapa lainnya.
Meskipun mudah untuk mengatakan bahwa karya ­ sastra
telah cukup lama hadir dalam aktivitas beragama, namun ­tidak
mudah untuk menyodorkan definisi dan membuat ­kategorinya.
­Beruntung, dalam esai Religion and Literature pada 1938 TS ­Eliot
telah ­ membuatkan peta ­ sederhana ­ sehingga kehadiran sastra
­dalam agama relatif lebih ­mudah ­dipahami. Menurutnya, ada tiga
tipe “sastra agama” ­(sementara ini mari kita gunakan tanda petik).
Pertama, sastra agama dapat ditemukan pada teks agama
yang secara internal memiliki kualitas sastra. Ia ­mencontohkan
­karya-karya Jeremy Taylor sebagai “­ sastra agama” tipe ­pertama
ini. Karya Jeremy Taylor ­seperti ­Twenty-seven Sermons (1651),
Great ­Exemplar a History of Jesus Christ (1649), dan The Rule and
­Exercises of Holy Living (1950) merupakan kitab ajaran agama yang
­dituturkan ­dengan ­kualitas sastra. Karya yang terakhir disebut
tadi ­
bahkan ­ dijadikan sebagai panduan praktis menjalankan
ajaran ­Kristen d
­ alam kehidupan sehari-hari. Kualitas sastra itulah
yang membuat Jeremy Taylor mendapat julukan Shakespeare of
Divines.
Kedua, sastra agama dapat ditemukan dalam ­puisi ­renungan
(devotional poetry). Puisi jenis ini ditulis penyair u ­ntuk
­kepentingan ibadah pribadi maupun ibadah bersama. Jenis puisi
inilah yang ­antara lain diciptakan oleh ­tokoh-tokoh seperti John
­Milton, ­Edward Young, Isaac Watts, Elizabeth Singer Rowe, dan
­Christopher Smart.

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 33


Ketiga, sastra agama dapat ditemukan pada jenis karya sastra
yang diciptakan untuk penyebarluasan agama. Menurut TS Eliot,
contoh yang paling mudah untuk jenis ini adalah Man who was
Thursday dan Father Brown karya GK Chesterton. Man who was
Thursday menawarkan Injil dan jalan Kristus sebagai solusi untuk
persoalan hidup yang ­dialami tokoh. Dalam novel ini, Chesterton
memanfaatkan tokoh dan konflik cerita sebagai alegori atau kiasan
untuk menyampaikan nilai-nilai kehidupan yang ­bersumber dari
keyakinan Kristiani.
Dengan memanfaatkan kategori yang dibuat oleh TS ­Eliot, kini
kita bisa klasifikasikan bahwa Al-Quran ­adalah ­“sastra ­agama” tipe
pertama. Oleh sejumlah peneliti, keindahan ­bahasa ­Al-Quran ­telah
diulas memiliki kualitas ­kesusastraan yang tinggi. ­Keindahan dan
kebermanfaatan Al-Quran, jika kita patuh pada kategori ­Horrace
­mengenai dulce et utile, melebihi karya sastra b
­ erbahasa Arab lain.
Karena itulah, kelompok pendukung Islam ­lazimnya ­tidak ragu
­untuk ­mengatakan “Al-Quran adalah karya sastra ­terbaik.­” ­Penganut
agama Hindu tentu punya hak yang sama ­untuk ­mengatakan bahwa
Weda adalah karya sastra yang ­indah. ­Demikian pula pemeluk
Katolik atau Protestan, berhak ­menyatakan bahwa Injil adalah
karya sastra. ­Sebab, pada ­masing-masing kitab suci itu memang
terkandung “keindahan sastrawi”.
Dengan pengkategorian yang sama, kita bisa ­klasifikasikan
bahwa singir atau singiran adalah sastra ­agama tipe kedua. Adapun
hikayat adalah “sastra agama” tipe ­ketiga.
Meskipun dapat digunakan sebagai “alat bantu” ­memahami
sastra agama, esai TS Eliot sebenarnya tidak ­ semata-mata
­digunakanan untuk itu. Menurut Toroczkai dan Preda (2014), esai
itu diterbitkan untuk ­menyanggah pendapat bahwa karya sastra
tidak dapat diapresiasi ­dengan perspektif etis dan religius. Pada
periode itu, ­sejumlah orang masih kukuh untuk ­memperlakukan
karya s­astra ­ sebagai ­
produk imajinasi belaka, sehingga tidak
dapat ­dikaitkan ­dengan agama atau standar etika tertentu. TS
­Eliot ­menyanggahnya. Ia menyesalkan keirasionalan di belakang
­pemisahan antara satra dengan agama.

34 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


Estetika dan Religiuisitas
Jika cakrawala diperluas, ada berbagai kerumitan ­hubungan
antara agama dan keindahan. Ada ­ kelompok ­ keagamaan yang
­memandang Keindahan dengan “K” ­besar ­sebagai hal yang tak
terpisahkan dalam laku ­beragama. Kelompok ini bersandar pada
keyakinan bahwa ­Tuhan ­adalah Yang Maha Indah ­sekaligus ­pencipta
segala ­keindahan. ­Dengan begitu, mengapresiasi ­keindahan adalah
ikhtiar untuk “mencapai” Tuhan itu sendiri.
Di seberang pendapat itu, ada kelompok keagamaan
yang ­ memandang seni sebagai tindakan yang lebih ­ banyak
­mendatangkan mudarat. Seni, menurut ­pandangan ­kelompok ini,
adalah ekspresi kesenangan. Adapun di ­dalam ­kesenangan ada
hasrat dan nafsu yang berpotensi ­melahirkan ketidakbaikan dan
justru menjauhkan manusia dari n­ ilai-nilai ketuhanan. Dari situ
muncul simpulan, agama dan ­keindahan (dalam arti seni) mesti
dipilah dan dihindarkan.
Dua pendapat yang berbeda itu bisa benar dan d ­ ibenarkan
dengan argumentasi masing-masing. ­Haryanto (2015) ­berpendapat
bahwa agama bisa saja datang dari ­langit. ­Tetapi ketika agama turun
ke bumi dan diterima ­sebagai ajaran m
­ anusia, akan ada ­unsur-unsur
kebudayaan yang menyertainya. Tafsir manusia ­terhadap ajaran
agama ­tertentu selalu dipengaruhi oleh sistem nilai kebudayaan
umat manusia. Agama membentuk wajah ­kebudayaan, t­ etapi pada
saat yang sama kebudayaan membentuk wajah agama.
Ajaran agama sendiri lazimnya berisi ­ ketentuan-­ketentuan
pokok yang dapat dipahami secara umum. ­Ketentuan itu ­ditafsirkan
oleh lembaga yang otoritatif dengan ­mempertimbangkan ­konteks
sosial dan budaya di ­lingkungan tertentu. Kondisi ­demikian dapat
menyebabkan terjadinya fusi yang membentuk tradisi ­beragama
sebuah kelompok. Unsur-unsur kebudayaan menyokong ­ tradisi
­beragama, tetapi pada saat yang sama ajaran agama juga ­menyokong
terbentuknya praktik kebudayaan.
Hubungan estetika dan agama dapat dipetakan ­melalui ­segitiga
keindahan. Segitiga ini menjelaskan ­ bahwa k ­eindahan tidak
bersifat objektif, tetapi ­merupakan ­hasil ­dialog yang ­terus-menerus

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 35


antara unsur-unsur ­pembentuknya. Ada o ­ bjek e­ stetis di satu sisi,
ada subjek di sisi lain, dan nilai di sisi ­lainnya lagi. “Keindahan”
baru akan muncul jika ­objek estetis ditafsirkan oleh subjek dengan
­seperangkat nilai yang ­melingkupinya. Tidak ­mengherankan jika
­objek yang sama direspon oleh subjek yang sama bisa ­menghasilkan
­“keindahan” yang berbeda jika sistem nilai yang ­digunakannya juga
berbeda. Apalagi jika subjek yang menafsirkannya ­berbeda, tentu
“keindahan”-nya berbeda karena nilai yang digunakannya juga
berbeda.
Dalam segitiga keindahan di atas, agama dominan ­menempati
ruang “nilai”. Agama sebagai sumber ajaran ­hidup ­berisi ­seperangkat
nilai dasar yang mempersoalkan ­segala ­sesuatu. Di ­dalam agama
terdapat disiplin makna yang dapat ­digunakan oleh subjek untuk
memaknai ­ keberadaan objek tertentu. ­ Wujud o ­ntologis objek,
fungsi, dan m
­ aknanya bagi subjek sangat ­bergantung kepada nilai
yang digunakan subjek untuk ­mempersoalkan objek ­bersangkutan.
Kita bisa menggunakan konsep itu untuk ­ mempersoalkan
­busana yang indah pada masa kini. Mana yang lebih indah, ­burka
hitam yang menutup hampir seluruh bagian tubuh atau pakaian mini
seperti yang digunakan artis Hollywod dalam malam ­penghargaan
Academy Award? Jika “nilai” yang digunakan ­untuk menafsirkan
objek tersebut adalah nilai agama (Islam), maka ­burka jauh lebih
indah. Sebab, burka adalah ikhtiar manusia untuk menjalankan
perintah Zat yang Maha Indah. Sementara pakaian terbuka adalah
pengingkaran terhadap perintah tersebut.

Sastra Islam
Sastra sebagai cabang seni juga menghadapi ­kerumitan t­ atkala
direlasikan dengan agama. Kerumitan, ­ setidak-tidaknya secara
konseptual, juga terus ada meskipun secara verbal telah ­dikenal
istilah-istilah seperti sastra ­
­ islami, sastra profetik, dan sastra
­dakwah. Di kalangan pengkaji sastra, istilah sastra islami dinilai
bermasalah karena bukan merupakan konsep akademik yang jelas
kriteria, batasan, dan kategorinya. Pertanyaan yang sangat ­sering
ditanyakan antara lain: apakah sifat islami berkaitan dengan ­tanda-

36 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


tanda verbal, berkaitan dengan nilai, atau berkaitan dengan akhlak
penulisnya?
Mahayana (2008) mengakui bahwa perbincangan ­mengenai
sastra Islam di Indonesia kerap kali dilakukan tanpa landasan
konseptual yang kokoh, bahkan terkesan tumpang tindih ­Adapun
Syarifudin (2008) berpendapat, di Indonesia, sastra jenis ini d­ ikenal
dengan banyak ­sebutan. ­Di antaranya: (1) sastra sufistik, yaitu
­sastra yang ­mementingkan ­pembersihan hati (tazkiyah an-nafs)
dengan berakhlak baik agar bisa dekat sedekat mungkin dengan
­Allah; (2) Sastra ­suluk, yaitu karya sastra yang ­menggambarkan
­perjalanan spiritual seorang sufi mencapai taraf di mana ­hubungan
­jiwanya telah dekat dengan Tuhan, yaitu musyâhadah, ­penyaksian
terhadap keesaan Allah; (3) Sastra transendental, yaitu sastra
yang ­membahas Tuhan Yang Transenden; dan (4) sastra profetik,
yaitu sastra yang dibentuk berdasarkan atau untuk tujuan
­mengungkapkan ­prinsip-prinsip kenabian atau wahyu.
Memang telah ada sejumlah definisi yang berupaya
­mendudukkan “sastra islami” secara konseptual. Hawani ­(dalam
Syarifudin, 2012) menyebut bahwa sastra Islam ­adalah seni atau
­sastra yang berlandaskan kepada ­akhlak Islam. ­Adapun M­ ohammad
(dalam Syarifudin, 2012) ­berpendapat, sastra ­Islam adalah ­sastra
yang ­ mempromosikan sistem k ­epercayaan atau ­ ajaran Islam;
­memuji dan mengangkat t­okoh-tokoh ­Islam; ­mengkritik realitas
yang ­tidak sesuai dengan nilai-nilai ­Islam; mengkritik ­pemahaman
Islam yang dianggap tidak sesuai ­dengan semangat asli Islam awal,
atau ­paling tidak, sastra yang tidak ­bertentangan dengan ­prinsip-
prinsip ­Islam. Adapun Wahid (2004) ­berpendapat bahwa sastra
Islam merupakan bagian dari ­peradaban ­Islam yang dapat dilihat
dari dua sisi pertama yaitu orang yang ­condong ­melihatnya secara
­legalitas ­formal dimana ­sastra Islam harus s­ elalu ­bersandar pada
Al-Qur’an dan Hadis, ­sedangkan yang kedua orang yang ­condong
melihat sastra Islam dari ­pengalaman ­religiusitas ­(keberagamaan)
­seorang muslim yang tidak ­bersifat formal, artinya ­sastra ­Islam tak
harus bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis ­(formal) dan ­bersifat
adaptif terhadap ­
­ pengaruh-pengaruh lain terutama ­ dimensi

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 37


s­ osiologis dan psikologis sastrawan muslim yang ­tercermin dari
karyanya yang menggambarkan pengalaman keberagamaannya.
Ketidakmapanan konseptual istilah sastra islami juga ­terjadi
karena belum ada batas konseptual yang jelas dengan istilah ­serupa
yang muncul pada tahun-tahun sebelumnya. Diuraikan ­Mahayana
(2008), penyair Taufik Ismail misalnya, pernah ­memperkenalkan
­istilah “sastra zikir”, Kuntowijoyo memakai istilah “sastra ­profetik”,
Danarto menggunakan istilah “sastra pencerahan”, M. Fudoli Zaini 
menyebutnya sebagai “sastra yang terlibat ­dengan dunia dalam”,
­Sutardji Calzoum Bachri memberi istilah “­sastra ­transenden”, dan
Abdul Hadi W.M. ­mengistilahkan ­“sastra ­sufistik”, untuk menyebut
karya-karya mereka yang ­ berakar dari wacana keimanan atau
religiusitas Islam. Apakah tiap-tiap istilah ini memiliki perbedaan
substansial atau sekadar berbeda ­penyebutan, belum disepakati
secara pasti.
Namun demikian, jika mau jujur, ketidakmapanan ­konseptual
bukanlah masalah yang hanya dialami ­ dalam ­ diskursus ­sastra
­islami. Ketidakmapanan ­konseptual dan ­kerancuan juga muncul
dalam diskursus mengenai p ­ eriodisasi sastra. Soal ­ketidakmapanan
periodisasi ­sastra, Pradopo (1995) berpendapat bahwa ­rangkaian
­periodisasi sastra saling bertumpang tindih. Hal ini ­disebabkan oleh
situasi dan kondisi tertentu ­menyebabkan lahirnya ­gagasan baru.
­Bahkan kalau ditarik lebih lanjut, a­ pakah ­gagasan t­ entang ­sastra kiri
dan bukan kiri sudah menemukan ­definisi yang baku? Atau sebuah
istilah yang lahir pada ­tahun 1980-an: ­sastra ­kontekstual, apakah
telah disepakati secara luas batas dan ­definisinya? ­Ketidakmapanan
definisi ­adalah risiko tak ­terhindarkan lantaran objek kajian ­sastra
itu s­ endiri bukan objek yang ­mapan. ­Mempelajari sastra ­seperti
mendeskripsikan bentuk awan ketika angin bertiup kencang. Baru
saja sebuah deskripsi dimulai, bentuk awan sudah ­berubah.
Oleh karena itu, kerancuan definisi, kategori, dan batasan
­tentang sastra islami terkadang patut diterima jika kerinduan
­terhadap definisi, kategori, dan batasan justru berisiko pada
-penghentian kajian tentang sastra itu ­
­ sendiri. Kajian tentang
sastra islami tidak patut dihentikan atau ­dinafikan hanya ­karena

38 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


­ efinisinya belum jelas. ­Tanpa ­harus ­menggunakan ­definisi,
d
kategori, dan batasan yang jelas, ­
­ kajian bisa ­
diarahkan pada
aspek historis dan sosiologis ­
­ objek. Artinya, objek dipelajari
­sebagai fenomena s­ osiologis yang hadir dalam masyarakat ­dengan
ketidakteraturan ­
­ bentuknya. Dengan ketelatenan melakukan
­tinjauan secara histori dan sosiologis, justru siapa tahu, bentuk
verbal untuk mendefinisikan objek tersebut semakin lengkap.
Di Nusantara, ekspresi keagamaan dalam karya ­sastra ­telah
ditemukan sejak lama. Menurut Rusdin (2005) ­pengaruh ­budaya
Islam di Nusantara telah ada sejak masa Melayu klasik. ­Kehadiran
Islam di Nusantara telah ­ membawa perubahan besar bagi
­masyarakat Melayu di kawasan itu. ­Islam telah membawa ilmu
pengetahuan baru, rasionalisme, dan landasan masyarakat baru
yang berdasarkan keadilan, kemuliaan, kepribadian manusia, dan
kebebasan bagi orang per orang. Perubahan tersebut bukan ­hanya
di kalangan elite kekuasaan (istana) saja tetapi juga meluas di
­kalangan rakyat jelata.
Oleh para pujangga Melayu, ajaran Islam disampaikan ­secara
tidak langsung melalui cerita-cerita mengenai nabi. ­ Sebagai
­contoh adalah Hikayat Nabi Muhammad dengan I­blis, Hikayat
­putri Salamah yang berisi nasihat nabi tentang ­tugas seorang i­stri
­dalam Islam, Hikayat Seribu Masalah yang ­berisi dialog antara
nabi dan pimpinan Yahudi. Selain itu juga ­masih banyak hikayat
yang mengandung ajaran Islam ­seperti Hikayat Nabi Mengajar Ali,
Hikayat Nabi Mengajar Anaknya Fatimah, Hikayat dengan Orang
­Miskin dan ­lain-lainnya. Para penulis Melayu Muslim juga banyak
­menghasilkan ­cerita-cerita kepahlawanan Islam, seperti Hikayat
Amir Hamzah, Hikayat Muhammad Ali Hanafiah, Hikayat Mali Saiful
Lizan, Hikayat Semaun, dan sebagainya.
Di era sastra Indonesia modern, menurut ­Mahayana (2013),
perbincangan tentang sastra islami di ­Indonesia sudah dimulai
sejak tahun1950-an. Pada 1953, Bahrum R ­ angkuti ­menerbitkan
buku Israr I Hud I ­(Rahasia-Rahasia Pribadi), terjemahan atas karya
sastrawan besar Islam ­Muhammad Iqbal. Pada tahun yang sama,
Penerbit ­Pustaka Islam Jakarta ­ menerbitkan buku Gelanggang

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 39


­Sastra yang ­berisi ulasan tentang karya-karya para sastrawan
Islam ­
­ seperti J­alaluddin Rumi, Fariduddin Attar, Firdausi, dan
Omar ­Khayyam. D ­ alam buku tersebut muncul beberapa ­rumusan
­definisi ­tentang sastra Islam, sastra sufi, dan sastra tasawuf yang
­penggunaannya ­terkadang tumpang tindih.
Perbincangan tentang sastra islami secara lebih ramai ­terjadi
pada tahun 1970-an. Tokoh yang terlibat dalam perbincangan ini
antara lain Abdul Hadi WM, Danarto, ­Sutardji Calzoum Bachri, dan
Taufik Ismail. Perbincangan tentang topik sastra islami juga muncul
pada seminar ­Sastra, Kebudayaan, dan Agama yang ­diselenggarakan
Dewan ­Kesenian Jakarta (DKJ) bersama Yayasan Paramadina, pada
28-29 Desember 1987. Pada seminar tersebut Abdul Hadi WM dan
Ali Audah memperbincangkan hubungan antara sastra dan agama
serta keagungan sastra sufi.
Pada tahun 2000-an, istilah tentang sastra islami k ­embali
­ uncul saat novel Ayat-Ayat Cinta terbit dan ­mendapatkan ­respon
m
baik dari pembaca. Novel Ayat-Ayat Cinta yang ­bercerita tentang
sosok Fahri, secara ideologis ­mengusung citra ­pemuda Muslim
yang paripurna; ­ sempurna dalam segala hal, ­ cerdas, ganteng
dan berwibawa, baik hati, ­berani, gigih dan pejuang nilai-nilai
­kemanusiaan, ­rajin dan tak ­mengenal menyerah, toleran dan penuh
rasa hormat pada sesama yang dilandasi aura cinta, berwawasan
dan rendah hati, dan ­seterusnya. Ringkasnya, segala kebaikan dan
­kesempurnaan seorang Muslim melekat pada tokoh itu.
Dengan beragamnya persepsi mengenai sastra ­agama, ­definisi
yang pasti justru tidak diperlukan lagi. Jika ­demikian, ­“sastra ­agama”
tidak perlu lagi dijadikan sebagai kategori ­ akademik. S­ebagai
gantinya, “sastra agama” ­ sebaiknya ­ digunakan sebagai ­ bentuk
­impresi atau kesan pembaca atas karya sastra yang ­dibacanya.
Sebagai kesan, “sastra agama” hanya berfungsi ­sebagai penanda
untuk sekadar ­membedakan “yang agaknya ­sastra ­agama” dengan
“yang agaknya bukan sastra agama”.

40 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


4

Forum Lingkar Pena (FLP)


dan ­Gelombang Islamisme

S
EBAGAI satu dari bagian cabang seni, dalam ­dunia ­sastra
terdapat gejala sosial yang umum didapati pada ­dunia seni.
­Gejala itu, antara lain, terbentuknya komunitas yang menjadi
kantung aktivitas sastra. Orang dengan latar ­belakang ideologi sama
atau serupa saling berinteraksi satu dengan lain sehingga terbentuk
komunitas. Dalam bentuk yang lebih rapi, komunitas berubah
­
menjadi organisasi. Jika sudah menjadi organisasi, komunitas
memiliki organ-organ yang jelas, yang perannya berbeda satu sama
lain namun ­saling terhubung.
Di Indonesia, ada begitu banyak komunitas sastra. Ada yang
tumbuh menjadi komunitas besar dan b ­erpengaruh. Ada pula
yang tetap kecil. Tidak sedikit komunitas sastra yang jarak antara
pendirian dan pembubarannya tidak ­lebih lama dari usia pohon
jagung. Setiap komunitas ­memiliki ­tantangan berbeda, didirikan
dengan tujuan yang unik, menghadapi masalah yang spesifik,
­sehingga tidak bisa ­diseragamkan.
Akan rumpang untuk membincangkan komunitas ­sastra di
I­ ndonesia tanpa menyebut Forum Lingkar Pena (FLP). ­Lebih-lebih
jika frame perbincangan itu spesifik pada ­sastra ­agama. ­Organisasi
ini patut disebutkan karena ­memiliki ­kontribusi yang tidak sedikit
dalam ­memperkenalkan ­kembali genre yang oleh banyak orang
disebut sastra islami. Peran FLP kian besar karena keputusan pendiri

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 41


dan ­anggotanya untuk secara terang-terangan ­menggunakan karya
­sastra ­sebagai ekspresi keagamaan tertentu. FLP mengklaim ­bahwa
organisasinya digagas untuk mewakili ­Islam.
Secara resmi Forum Lingkar Pena dinyatakan ­pendiriannya
pada 22 Februari 1997 oleh Helvy Tiana Rosa, Asma ­Nadia, dan
Maimon Herawati. Ketiga nama itu secara luasdikenal ­ sebagai
pendiri, meskipun ­kenyataannya lebih banyak orang yang ­terlibat.
Awalnya, FLP hanya ­merupakan forum kepenulisan yang ­berlokasi
di Jakarta, khususnya di Universitas Indonesia (UI). Mulai tahun
1998 dirintis FLP cabang pertama, yakni Bontang, Kalimantan
Timur, oleh Muthi Masfuah. Pada 1999, menyusul berdiri FLP
Cabang Aceh, FLP Yogyakarta, FLP Semarang, FLP Solo, dan FLP di
berbagai kota lainnya.
Selain cabang di Tanah Air, FLP telah memiliki wilayah dan
cabang serta wilayah khusus di beberapa negara ­seperti Amerika,
Jepang, Jerman, Inggris, Mesir, Arab Saudi, ­Malaysia, dan Australia.
Dalam website resminya, FLP ­merilis bahwa FLP telah memiliki 100
cabang dengan anggota mencapai 10.000 penulis.
Menurut Rosa (2005) komunitas ini lahir sebagai alat ­resistensi
terhadap budaya populer yang mainstream ketika itu ­(akhir tahun
1990-an). Para pendiri FLP beranggapan, mereka memegang
­
­peranan penting sebagai kaum intelektual kontra hegemonik yang
di antara tugas mereka adalah ­mengorganisasi dan mereorganisasi
terus menerus kehidupan sadar dan tak sadar yang dijalani massa
populer nasional ketika itu.
Adapun menurut Azwar (2012), kelahiran FLP ­dipengaruhi
oleh dua hal yang saling berhubungan. Pada satu sisi, para ­aktivis
Islam merasa kecewa ­dengan ­hegemoni tokoh-tokoh i­ntelektual
terhadap industri ­fiksi ­Indonesia pada tahun ­1990-an. ­Sebab,
pada dekade tersebut industri fiksi Indonesia ­dikuasai oleh ­novel-
novel terjemahan barat yang kebanyakan ­bertema ­percintaan,
­pernikahan terlarang, dan seks bebas. Selain itu, ­toko-toko buku
Indonesia pada dekade 1990-an itu juga dibanjiri ­komik-komik
asing yang tidak hanya lucu, tetapi juga “lucah”. ­Komik-komik
yang t­ idak hanya berkisah tentang k­ eseharian a­ nak-anak, ­tetapi

42 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


juga komik-komik yang menceritakan dan ­menggambarkan dengan
detail tentang cara ­berhubungan badan yang ­hebat, bagaimana
cara agar tidak hamil ketika ­berhubungan intim, atau komik
yang ­mengajarkan secara detail bagaimana trik-trik bermesraan
di area sekolah yang bisa memanfaatkan kamar ­mandi, ­bahkan
ruangan kantor guru. Pada sisi lain, para pendiri FLP merasa tidak
bisa mengharapkan pencerahan datang dari ­sastrawan-sastrawan
yang pada saat itu telah eksis sebagai sastrawan di ­panggung sastra
Indonesia.
Anggota FLP beragam, mulai dari anak-anak ­ hingga
­ ewasa, bahkan yang berusia senja. Ada para akademisi lulusan
d
­pascasarjana dari universitas-universitas ternama di dunia, ­tetapi
juga para pekerja migran, serta para buruh di pabrik-pabrik.
Semuanya bergerak dalam satu ­cita-cita, menuju Indonesia yang
lebih bercahaya dengan budaya ­cinta baca dan tulis.
Organisasi ini memiliki visi menjadi organisasi yang
memberikan pencerahan melalui tulisan. Untuk ­
­ mencapai visi
tersebut, mereka mejabarkan visi tersebut dalam ­ empat misi.
Misi pertama, meningkatkan mutu dan ­ produktivitas karya
anggota ­
­ sebagai sumbangsih berarti bagi ­ masyarakat. Misi
kedua, membangun jaringan ­penulis yang ­menghasilkan ­karya-
karya berkualitas dan mencerdaskan. Ketiga, ­ meningkatkan
­budaya membaca dan menulis di kalangan ­masyarakat. Keempat,
­memperjuangkan kehidupan yang lebih baik bagi penulis.
Selama hampir empat belas tahun keberadaannya, ­organisasi
penulis independen ini telah menerbitkan ­lebih dari 2.000 buku
yang sebagian besar terdiri dari karya ­fiksi, remaja, dan anak. Tidak
ada orang atau ­lembaga yang menyeponsori ­berdirinya FLP (Azwar,
2012). Para penulis FLP yang cukup terkenal ­antara lain Helvy
Tiana Rosa, Asma Nadia, Gola Gong, Pipiet Senja, ­Habiburrahman
El-Shirazy, M. Irfan Hidayatullah, Izzatul ­Jannah, Sinta Yudisia,
Afifah Afra, Benny Arnas, Ali Muakhir, Ifa ­Avianty, Azzura ­Dayana,
Asa Mulchias, Sakti Wibowo, dan ­ Gegge ­ Mappangewa telah
diterbitkan oleh penerbit-penerbit ternama seperti Mizan, Gema
Insani, Gramedia, Grasindo, dan Republika.

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 43


Tahun 2000-an awal hingga 2004 dapat ­disebut sebagai masa
keemasan FLP. Saat itu p ­ enerbit-penerbit besar ­seperti Gramedia
Group dan ­ Mizan Group ­ menerbitkan lebih dari 10 buku ­ per
bulannya. ­ Penerbit-penerbit kecil yang menjadi besar dengan
­menerbitkan karya-karya FLP pun tersebar di pulau Jawa, seperti
Syaamil (Bandung), Era Intermedia (Solo), D & D Publishing House
(Solo), dan Pustaka Annida.
Menurut Azwar (2012), perkembangan FLP yang ­cukup ­pesat
didukung oleh tiga hal. Pertama, FLP sangat ­dimanjakan oleh
majalah Annida. Hal ini karena FLP adalah komunitas ­terbesar
yang dilahirkan Majalah ­Annida. Anggota FLP ­merupakan ­pembaca
setia Majalah Annida. Kedua, pada saat itu muncul kerinduan
masyarakat akan hal-hal yang berbau islami yang muncul sebagai
efek gerakan kebangkitan Islam di Indonesia. Ketiga, a­ ktivis
kampus yang ikut diskusi rutin di FLP setelah lulus ­berdiaspora
kembali ke daerahnya untuk mendirikan FLP di daerah masing-
masing.
Meskipun terus berkembang, Azwar (2011) ­berpendapat, FLP
mengalami pasang surut. Pada masa ­kejayaannya, FLP b ­ erhasil
mewujudkan visi mereka yaitu melakukan ­ “gerakan-gerakan
pencerahan” persis di jantung industri fiksi Indonesia. Namun,
di waktu yang berbeda FLP tidak bisa menghindari kegiatan
­industri. Hal itu karena ­komunitas penulis itu pada akhirnya ­harus
menyadari ­bahwa p ­ roduk budaya yang mereka hasilkan ­harus
­memasuki dunia ­industri untuk sampai kepada masyarakat. Ketika
­mereka menyelami dunia industri fiksi itu mereka ­akhirnya harus
menyadari bahwa dunia industri bukanlah ladang yang cocok untuk
ditanami “benih-benih pencerahan”.
Perlawanan terhadap dominasi sastra kanon ­diekspresikan
­anggota FLP dengan memilih tema-tema ­didaktis yang ­bernilai
pendidikan Islam. FLP ­mengedepankan fiksi ­sebagai sarana
­dakwah. Bagi anggota FLP, fiksi adalah sarana untuk ­mengajak
pembaca kepada kebaikan. Oleh sebab itu FLP, mengutamakan
menyampaikan amanat di atas unsur-unsur lainnya yang biasa
dipertimbangkan ­dalam etika karya fiksi. Hal itu dilakukan dengan

44 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


harapan agar pembaca tidak menjadi ragu terhadap kebenaran
yang hendak disampaikan melalui karya fiksi.
Selain melakukan perlawanan melalui tema, demikian ­Azwar
(2012), FLP melakukan perlawanan terhadap pola distribusi karya
fiksi yang telah mapan. Pada masa itu, karya fiksi diterbitkan
­penerbit kemudian dijual melalui toko-toko buku. Pada periode
awal keberadaannya, hal semacam itu tidak dapat dilakukan oleh
FLP karena karya dan ­penulisnya belum cukup terkenal. ­Penerbit
tidak dapat menerbitkan karya-karya mereka karena khawatir
karya tersebut tidak akan laku di pasaran. Menyadari kondisi itu,
anggota FLP menjual karya-karya mereka kepada sesama anggota
FLP di seluruh Tanah Air.
Selain itu, FLP juga melawan eksklusivitas karya fiksi. Jika pada
periode itu hanya kaum terpelajar dan ­intelektual saja yang dapat
menulis sastra, FLP justru berusaha ­mendorong setiap ­anggotanya
untuk turut menulis. Tidak heran jika FLP dapat melahirkan
penulis-penulis baru yang ­berusia relatif muda dan berasal dari
daerah (non-ibukota).
Sebagai sebuah organisasi, FLP dikelola dengan ­manajemen
yang rapi. Pada tingkat pusat FLP ­ memiliki pengurus pusat
yang terdiri dari penasihat, dewan ­pertimbangan, ketua umum,
­sekretaris jenderal, ketua ­harian, ­bendahara, serta ketua bidang. Di
bawah pengurus pusat ada p ­ engurus wilayah, yang s­ ebenarnya
untuk ­kepengurusan di ­tingkat provinsi. Namun, menurut ­Azwar
(2012) pada ­ beberapa ­ kasus terjadi pengingkaran struktur
­seperti di DKI ­Jakarta. FLP DKI Jakarta hanyalah sebuah FLP
Cabang, ­sementara FLP Wilayah di atasnya adalah FLP Jakarta
Raya yang terdiri dari FLP Cabang ­Jakarta, FLP Cabang ­Depok,
FLP Cabang Ciputat, FLP Cabang ­Bekasi, FLP Cabang ­Bogor, dan
FLP Cabang Tangerang ­Selatan. Pada ­dasarnya, c­ abang-cabang
itu sudah mencakup wilayah Jawa Barat dan Banten yang kedua
provinsi ini juga ­memiliki ­FLP Wilayah Jawa Barat dan FLP Wilayah
Banten.­ ­Pengingkaran ­struktur ­itu terjadi ­karena geografi kota-
kota di Jabodetabek yang b ­ erdekatan s­ ehingga m
­ ereka memilih
membentuk FLP Wilayah ­Jakarta Raya dibandingkan ­bergabung

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 45


­dengan FLP Wilayah Jawa Barat dan FLP Wilayah Banten.
Saat didirikan pada 22 Februari 1997 Forum L ­ ingkar Pena
(FLP) hanya memiliki sekitar 30 anggota yang ­ merupakan
penggagas dan peserta diskusi di Masjid ­
­ Ukhuwah ­ Islamiyah
­Universitas Indonesia (UI). Para ­pendirinya ­merupakan ­mahasiswa,
aktivis lembaga d­ akwah kampus (LDK), dan dosen yang memiliki
keprikhatinan ­tentang ­kondisi ­kesusastraan di Tanah Air. ­Mereka
kemudian bergerak mendirikan komunitas yang tidak ­
­ terikat
­dengan ­organisasi mana pun yang telah ada. Dari situ tampak
bahwa secara struktural FLP merupakan komunitas yang mandiri
dan ­ independen karena tidak menjadi s­ubordinasi ­ organisasi
atau komunitas lain. Namun demikian, ­secara ­ideologis FLP dapat
­dibaca sebagai bagian dari jaringan gerakan ­tarbiyah yang sedang
melakukan ekspansi ke Indonesia dan ­negara-negara lain.
Kenyataan bahwa FLP merupakan bagian dari j­ aringan ­gerakan
tarbiyah diakui oleh Sekretaris Jenderal Forum Lingkar Pena (FLP)
Afifah Afra. Dalam wawancara ­dengan penulis, ­ia mengatakan
bahwa FLP adalah ­akses dari gerakan Islam tarbiyah di kampus
meskipun tidak ada hierarki dengan gerakan tarbiyah. Gerakan
tarbiyah ­tidak hanya berbentuk gerakan politik dan keagamaan
­tetapi juga berbentuk gerakan seni, seperti nasyid dan sastra ­sesuai
­minat masing-masing orang. Dengan demikian, dapat ­dikatakan
bahwa FLP merupakan turunan gerakan tarbiyah pada bidang
sastra.
Premis utama yang menjadi keyakinan gerakan ­tarbiyah ­adalah
syumuliyatul Islam atau keyakinan bahwa Islam ­adalah agama yang
lengkap dan sempurna. Rahmat (2008) ­mengungkapkan bahwa
syumuliyatul Islam berarti Islam ­tidak ­hanya mengatur ­agama yang
ritual peribadatan dan urusan-urusan privat semata, ­melainkan
juga mengatur urusan publik umat Islam seperti politik, ­sosial, seni,
dan bidang lain. Oleh karena itu, untuk menjadi umat ­Islam yang
menjalankan Islam secara menyeluruh, ajaran-ajaran ­Islam dalam
berbagai bidang kehidupan itu harus dilaksanakan. ­Al-Quran dan
Hadis sebagai landasan hukum tertinggi h ­ arus dilaksanakan dalam
berbagai aktivitas kehidupan.

46 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


Dalam internal gerakan tarbiyah diyakini bahwa ­kesempurnaan
Islam mencakup empat dimensi, ­yakni ­dimensi waktu, geografis,
demografis, dan bidang ­kehidupan. Dari dimensi waktu, Islam
­tidak hanya berlaku pada masa kehidupan Rasulullah Muhammad
SAW saja, melainkan hingga akhir masa. Keyakinan demikian
didasari dalil ­naqli dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat (144)
yang berarti “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul,
­sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa rasul. Apakah jika dia
­wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang, maka ia ­tidak dapat
mendatangkan mudharat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan
memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”
Dari aspek demografi, Islam diturunkan di dunia tidak ­hanya
bagi satu golongan atau ras, melainkan seluruh umat manusia. Hal
ini berarti, Islam dapat menjadi panduan hidup yang ­universal bagi
seluruh umat manusia dari latar belakang kesukuan mana pun.
Keyakinan demikian diturunkan atas dalil naqli Al-Quran ­surat Saba
ayat (28) yang artinya “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan
kepada seluruh umat manusia seluruhnya ­sebagai ­pembawa berita
gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.”
Dari aspek geografis diyakini bahwa kesempurnaan ­Islam
juga tampak pada jangkauannya digunakan di ­berbagai tempat
di seluruh dunia. Meskipun diturunkan di jazirah Arab melalui
­seorang pria Arab Quraish, Islam tidak dapat diidentikkan ­dengan
kawasan Arab (Arabisme). Islam ­tidak mengenal sekat-sekat tanah
air, sama seperti ia tidak ­mengenal batasan-batasan etnis. ­Dengan
demikian ­diyakini bahwa nilai-nilai Islam dapat diterapkan di mana
pun ­lokasinya. Keyakinan demikian lazimnya ­diintepretasi dari Al-
Quran surat At-Takwir ayat 27-28 yang berarti ­“Al-Qur’an itu tiada
lain hanyalah peringatan bagi semesta alam, (yaitu) bagi siapa di
antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus”. Pada surat Al-
Anbiya ayat 107 disebutkan “Dan tiadalah Kami ­mengutus kamu,
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. 
Adapun dari aspek bidang kehidupan, aktivis ­gerakan ­tarbiyah
mengimani bahwa Islam merupakan ajaran yang ­telah ­mencakup

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 47


keseluruhan bidang kehidupan, baik yang bersifat ­privat ­maupun
publik. Dalam Al-Quran dan Hadis telah ­tersedia berbagai ­panduan
hidup yang dapat ­digunakan umat untuk ­memandu ­kehidupan
dari ­bangun tidur pada pagi hari hingga ­tidur ­kembali pada malam
hari. Agama ­Islam ­mengatur urusan domestik ­dalam ­rumah tangga
­hingga ­urusan politik dan ekonomi ­makro. ­Agama Islam ­mengatur
ritual peribadatan sekaligus ­mengatur ­penyelenggaraan ­negara,
perdagangan, pernikahan, hak waris, juga ilmu ­ pengetahuan.
Agama Islam mengatur ­ masalah yang ­ batin seperti keimanan
dan keikhlasan ­sekaligus mengatur ­masalah yang lahiriah seperti
hubungan antaranggota masyarakat.
Sidiq (dalam Rahmat, 2008) menyatakan bahwa ­ gerakan
­tarbiyah Indonesia tidak hanya dipengaruhi ­dinamika ­internal di
Indonesia, melainkan juga dipengaruhi ­dinamika ­eksternal g­ erakan
dakwah di dunia. Dapat ditarik garis ­genetis bahwa g­ erakan ­tarbiyah
di Indonesia d­ ipengaruhi oleh g­ erakan ­Ikhwanul ­Muslimin (IM) di
Mesir. Pola ­pemikiran dan g­ erakan dakwah yang dikembangkan
­aktivis gerakan tarbiyah di Indonesia melalui kerohanian Islam dan
Lembaga Dakwah Kampus menyerupai m pola u ­ ­sroh, syumuliyatul
Islam, dan Islam kaffah. Hal ini dapat ­terjadi karena ­perintis gerakan
tarbiyah di Indonesia memiliki ­persinggungan pemikiran dengan
tokoh-tokoh IM melalui berbagai buku.
Salah satu buku yang memerantarai pemikiran IM ­sehingga
diadopsi oleh aktivis gerakan tarbiyah di ­Indonesia adalah buku
Panduan Usroh yang terbit di Malaysia. Buku ini digunakan oleh
perintis gerakan tarbiyah di Masjid S­alman, Institut Teknologi
­
Bandung (ITB). Usroh adalah sistem ­dakwah IM berupa k ­ elompok
kecil yang ­beranggotakan 5 sampai 10 orang yang dipimpin oleh
seorang naqib. ­Rahmat (2008) menyebut sistem usroh dibuat oleh IM
pada 1943 ­untuk ­memenuhi kebutuhan sistem dakwah yang dapat
­memenuhi prinsip imdidad umfuqy ­(perkembangan ­horizontal)
dan n ­ uwuw tarbawy (perkembangan edukatif) ­anggota ­meskipun
dalam situasi penuh tekanan politik. ­Sebagaimana disebutkan pada
­bagian sebelumnya, di tanah asalnya Mesir, IM ­merupakan ­gerakan
bawah tanah yang berkonfrontasi ­ dengan ­penguasa ­ setempat

48 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


sehingga senantiasa menerima tekanan. ­Organisasi ini bahkan
pernah ­dibubarkan dan dinyatakan sebagai ­organisasi terlarang,
meski eksponennya tetap aktif.
Persebaran ideologi IM kepada aktivis gerakan ­tarbiyah ­terjadi
melalui saluran literasi. Salah satu perintis gerakan tarbiyah di
Masjid Salman ITB Muhammad ­Imadudin ­membawa ­buku-buku
Hasan Al-Banna dan Sayid a­l-Qutb yang terbit di Malaysia ke
­Indonesia. Lambat laun, ­pemikiran-pemikiran IM terinternalisasi
oleh aktivis ­tarbiyah yang saat itu masih berupa lembaga ­dakwah
kampus. Ketika para aktivis ini mendirikan organisasi, azas yang
ditawarkan IM diadopsi menjadi azas gerakan dan organisasi
­mereka. Prinsip bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan
dan Islam tidak memisahkan satu aspek dengan aspek lainnya
­dijadikan sebagai landasan organisasi.
Di Indonesia gerakan tarbiyah berdiaspora ke dalam ­berbagai
bentuk organisasi. Cikal bakal gerakan ­tarbiyah ­sendiri ­berupa
Lembaga Dakwah Kampus (LDK) di M ­ asjid Salman ITB. Jauh
sebelum terbentuk LDK, ­aktivis ­gerakan tarbiyah ­menghimpun
diri dalam Dewan ­ Dakwah ­ Indonesia (DDI) yang pada 1974
menyelenggarakan ­Latihan ­Mujahid Dakwah (LMD). ­Sekitar 40
­perwakilan ­organisasi m ­ ahasiswa Islam dari berbagai ­perguruan
­tinggi di I­ ndonesia ­mengikuti kegiatan ini. Hal inilah yang ­membuat
jaringan LDK ­menyebar ke berbagai ­perguruan ­tinggi di Indonesia.
Berawal di sekitar Jakarta hingga ­
­ kemudian ke ­ daerah-daerah
lain di ­Indonesia. ­Jaringan LDK semakin luas dan kuat setelah
dibentuk ­Forum ­Silaturahmi ­Lembaga ­Dakwah Kampus (FSLDK).
FSLDK sendiri pertama kali menyelenggarakan kegiatan dalam
lingkup ­nasional pada 24-25 Mei 1986 yang ­dimotori oleh J­ amaah
­Shalahuddin dari Universitas ­Gadjah Mada (UGM) dan d ­ ihadiri oleh
26 peserta yang berasal dari 13 utusan LDK se-Jawa. Salah satu
corak LDK ­adalah ­aktivitas dakwah d ­ engan ­menggunakan ­masjid
­kampus ­sebagai ­pusat ­gerakan dan menjadikan ­dakwah s­ ebagai
­tujuan utama ­gerakan ­mereka. Meskipun pada diri LDK s­ endiri
­berkembang pemahaman yang ­sangat ­variatif, m ­ ereka ­disatukan
oleh keinginan untuk hidup dan bermuamalah ­ berdasarkan

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 49


­pemahaman terhadap Islam (Rahmat, 2008).
Pada tahun 1980-an, Lembaga Dakwah Kampus (LDK)
­ eluaskan gerakan dakwahnya dengan ­
m mendirikan ­ organisasi
keagamaan serupa namun di tingkat Sekolah M ­ enengah Atas (SMA)
dengan membentuk Kerohanian ­Islam (Rohis). Pola ­gerakan Rohis
hampir sama dengan LDK, yakni ­menjadikan sekolah sebagai pusat
kegiatan dakwah. Dalam organisasi ini, siswa diperkenalkan ­dengan
konsep dakwah yang d ­ iadopsi pada prinsip usroh. Melalui kegiatan
­kerohanian Islam yang ­lazimnya b ­ erbentuk ­ekstrakurikuler inilah
ajaran dakwah g­ erakan ­tarbiyah ­mulai ­dikenal oleh ­remaja Muslim.
Lazimnya, ketika ­mereka melanjutkan ­pendidikan ­tinggi, mereka
akan melanjutkan ­aktivitas ­kerohisannya dengan ­bergabung dalam
Lembaga ­Dakwah ­Kampus.
Gerakan tarbiyah di Indonesia juga mewujud dalam ­organisasi
kemahasiswaan ekstrakurikuler seperti Kesatuan Aksi M­ ahasiswa
Muslim Indonesia (KAMMI). Organisasi ini merupakan anak
kandung FSLDK yang terbentuk dalam salah satu kongres FSLDK
X yang diadakan pada 1998 di Universitas ­ Muhammadiyah
Malang (UMM). Pada masa itu, aktivis LDK kampus ­menyimpan
keprikhatinan atas kondisi aktual politik di Tanah Air, sehingga
perlu menghimpun diri dalam organisasi yang lebih vokal.
Para peserta yang tergabung dalam FSLDK merasa memiliki
kewajiban moral untuk melakukan kritik ­terhadap keadaan yang
sedang terjadi. Perdebatan muncul dalam tataran ­operasionalisasi
gagasan-gagasan ­tersebut, yakni bagaimana ­mewujudkannya ­dalam
tataran yang lebih p ­ raktis namun tanpa terjebak ­dalam politik
­praktis, ­lebih-lebih ­melibatkan forum FSLDK dan LDK itu s­ endiri.
Sidiq (­dalam Rahmat, 2008) ­ mencatat, ­ akhirnya ­ pembahasan
­tentang hal tersebut diagendakan setelah ­forum FSLDK ­­berakhir
dengan membentuk tim formatur yang ­personelnya adalah ­anggota
FSLDK. Pembahasan tim f­ormatur ­menghasilkan dua kesimpulan.
Pertama, pembentukan wadah khusus bagi para ­aktivis LDK di luar
FSLDK maupun LDK u ­ ntuk ­merespon ­krisis nasional sampai kepada
tataran aksi. Kedua, ­bahwa wadah baru tersebut akan dideklarasikan
setelah ­berakhirnya FSLDK X, ­sehingga ­wadah ini bukanlah hasil

50 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


dari keputusan FSLDK X, ­tetapi kesepakatan para peserta di luar
­agenda FSLDK. Pada 29 Maret 1998 ­peserta ­menyepakati nama
organisasi yang baru didirikan itu ­adalah Kesatuan Aksi ­Mahasiswa
Muslim Indonesia (KAMMI) dengan ­ketua umum pertama Fahri
Hamzah yang saat ini berkiprah s­ ebagai politisi di Partai Keadilan
Sejahtera (PKS).
Hanya beberapa bulan sejak didirikan, KAMMI ­menjadi salah
satu kelompok mahasiswa yang paling getol menuntut Soeharto
mundur dari kursi presiden. Bersama kelompok mahasiswa lain,
KAMMI dapat mendesak Soeharto turun dari kursi presiden pada
21 Mei 1998. Gerakan ­reformasi yang berujung pada ­pengunduran
diri Soeharto m­ engubah lanskap politik di Tanah Air dari ­situasi
otoriter pada ­situasi bebas. Kondisi ini ditangkap sebagai ­peluang
bagi ­tokoh-tokoh KAMMI untuk masuk dalam politik ­ praktis.
Sejumlah tokoh KAMMI kemudian membentuk wadah ­ politik
bernama Partai Keadilan (PK) yang dideklarasikan pada 20 Juli
1998 di Jakarta. Partai ini kemudian ­berubah nama menjadi Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) ­hingga saat ini. ­Meskipun para ­tokohnya
menegaskan bahwa KAMMI ­ tidak memiliki hubungan formal,
namun secara ­ideologis, historis, dan kultural KAMMI dan PKS
sangat dekat. ­Sejumlah tokoh KAMMI menjadi tokoh PKS pada
­kemudian hari.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa FLP ­memiliki ­kedekatan
ideologis dengan komunitas dan organisasi lain yang bergerak di
berbagai bidang, seperti sosial, ­keagamaan, dan politik. Hubungan
ideologis dengan komunitas dan o ­rganisasi-organisasi tersebut
merupakan modal sosial dan kultural yang sangat ­berharga serta
berkontribusi dalam perkembangan dan ekspansi FLP ke berbagai
daerah dan negara.
Sementara itu, dalam internal arena sastra, FLP juga ­memiliki
kedekatan ideologis dengan sejumlah lembaga ­ kesusastraan
­seperti majalah sastra Horison. Salah satu pendiri majalah sastra
Horison, Taufik Ismail adalah ­muslim yang memiliki ­kecenderungan
pandangan bahwa ­sastra ­harus santun dan memiliki ­semangat
didaktis. Ketika ­novel Saman karya Ayu Utami ­terbit ­diikuti ­epigon-

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 51


epigonnya, Taufik menjadi kritikus yang paling tajam. Ia bahkan
memberikan label peyoratif dengan menyebut sastra ­
­ tersebut
sebagai “sastra selangkangan”. Pandangan ­Taufik bahwa sastra ­harus
santun dan memiliki semangat didaktis sama ­dengan semangat
pendiri dan Ketua FLP pertama, Helvy ­Tiana Rosa. Oleh karena itu,
Taufik menjadi sesepuh sastra yang ­memberikan ­endorsment agar
FLP berkembang lebih baik. Dalam struktur kepengurusan FLP,
Taufik Ismail pernah menjadi salah satu ­dewan pembina.
Kedekatan hubungan FLP dengan majalah sastra ­Horison juga
dapat dilihat melalui tulisan Jamal D R ­ ahman, ­pemimpin ­redaksi
majalah sastra tersebut, yang berisi ­pujian mengenai ­Annida. ­Dalam
salah artikel yang ­dipublikasikan di Horison, ­Rahman ­menulis bahwa
Annida telah ­melahirkan satu ­generasi baru dalam sastra Indonesia
yang pada ­akhirnya menjadi sumbangan ­penting bagi khazanah
­kesusastraan Indonesia. Menurut Rahman, ­meskipun Annida lebih
­banyak ­mengetengahkan sastra remaja, Annida ­berorientasi pada
sastra serius.
Meskipun disampaikan kepada Annida, pujian Rahman di atas
juga merupakan pujian bagi FLP, karena hubungan erat antara
Annida dengan FLP. Selain Annida pada masa itu dipimpin oleh
Ketua FLP Helvy Tiana Rosa, sejumlah karya sastra yang dimuat
Annida adalah karya anggota FLP. Dengan demikian, endorsment
Rahman terhadap Annida sesungguhnya juga menjadi endorsment
bagi FLP.

52 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


5

Sumbangan FLP
untuk Sastra Indonesia

A
DA banyak komunitas sastra, yang oleh dirinya atau ­pihak
lainnya, kerap disebut memiliki landasan ­ideologi I­slam.
Tetapi dalam sejarah sastra modern Indonesia, ­ belum
ada komunitas ­sastra yang tumbuh sebesar Forum Lingkar Pena
(FLP). “Besar” dalam hal ini memang masih ­berdimensi kuantitatif,
berkaitan dengan luasnya jaringan ­organisasi, banyaknya jumlah
anggota, dan banyaknya karya sastra yang diproduksi.
Sebagai komunitas calon penulis, FLP telah mencapai
kesuksesan kuantitatif yang belaum pernah dicapai komunitas
­
sastra lain di Indonesia. Kesuksesan itulah yang membuat
komunitas ini memiliki peran yang bermakna ­dalam mewarnai
wajah kesusastraan di Tanah Air. ­ Peran yang telah dilakukan
FLP setidaknya terdiri dari empat ­ j­­­
enis, yakni ­melahirkan
banyak pengarang baru, ­ menghidupkan kembali genre sastra
­dakwah, melahirkan ribuan judul buku, dan meningkatkan minat
baca masyarakat khususnya ­ komunitas muslim muda, serta
meningkatkan alih wahana buku sastra ke media film.
Pada bagian ini penulis menguraikan ­ peran-peran ­ kultural
yang telah dilakukan FLP dalam arena sastra ­Indonesia. Jika ­dirinci,
peran FLP cukup kompleks. Tetapi untuk ­memudahkan diskusi,
penulis menyajikan ­sejumlah peran yang cukup ­menonjol, antara

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 53


lain dalam ­mengorbitkan pengarang baru, menerbitkan ribuan
judul buku, dan ­menghidupkan kembali genre sastra dakwah.

Mengorbitkan Pengarang Baru


Saat pertama didirikan pada Februari 1997, tidak satu pun di
antara para pendiri yang memiliki rekam jejak atau ­pengalaman
panjang sebagai penulis. Di antara 30 orang yang mengikuti ­diskusi
pendirian FLP di Masjid Ukhuwah Islamiah Universitas ­Indonesia,
Hevy Tiana Rosa adalah satu-satunya anggota yang pernah menulis
buku. Alasan ­itulah yang membuat Helvy ­terpilih menjadi ketua FLP
­pertama. Dia dinilai memiliki pengalaman menulis lebih banyak
dibandingkan pendiri lain yang sama ­sekali belum pernah menulis
buku. Atas pertimbangan itulah, secara ­aklamasi forum memilih
Helvy sebagai Ketua FLP pertama.
Ketiadaan penulis berpengalaman dalam FLP pada masa awal
membuat pengurusnya segera menyiapkan pola ­ pengkaderan
dengan merancang pelatihan kepenulisan. Materi yang diajarkan
kepada anggota baru disesuaikan dengan tingkat ­ pengetahuan
anggota. Terdapat tiga ­ tingkat ­
pengelompokkan anggota, ­ yaitu
anggota muda, madya, dan andal. Melalui pendidikan yang
dilaksanakannya, ­anggota muda diharapkan memiliki keinginan,
dan ketekunan untuk menulis, namun belum memiliki ­pengalaman
dan ­pengetahuan menulis. Output yang diharapkan dari ­pelatihan
anggota muda adalah kemampuan menulis karya fiksi atau ­nonfiksi
yang belum pernah ­dipublikasikan di media ­massa. ­Anggota madya
adalah anggota yang telah ­menghasilkan karya di ­media massa
lokal atau nasional, ­memenangkan ­sayembara penulisan tingkat
daerah/­nasional, namun ­belum ­cukup ­aktif. Output dari ­pelatihan
madya adalah ­menjadikan ­anggota ­mampu ­menghasilkan karya
bermutu, aktif ­
­ menulis di ­ berbagai ­media massa, ­ karyanya
­dibukukan. ­Adapun ­anggota unggul adalah ­aktif menulis di b
­ erbagai
media, telah membukukan karya-karyanya, menjuarai sayembara
­penulisan tingkat ­nasional/menjadi ­akademisi pada bidang sastra
atau bidang jurnalistik, serta menjadi pembicara ­dalam berbagai
acara yang berkaitan dengan kepenulisan.

54 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


Proses pendidikan terhadap anggota baru FLP d ­ilakukan
­sejak awal ketika rekrutmen dimulai. Kegiatan orientasi ­dilakukan
sebagai “upacara penyambutan” bagi ­anggota yang telah masuk.
Orientasi ke-FLP-an dilakukan dengan tujuan untuk ­mendekatkan
anggota baru dengan seluk ­beluk FLP, antara lain visi misi, ­struktur
­kepengurusan, hak dan kewajiban anggota, alur kaderisasi yang
akan dijalani ­selama di FLP, dan pengetahuan mendasar lain.
Pada tahap selanjutnya anggota baru diarahkan ­ untuk
­ engikuti pelatihan kepenulisan dasar. Pelatihan ­
m Kepenulisan
Dasar diberikan sebagai fasilitas awal bagi ­anggota baru dalam
mendukung kapasitas ­ kepenulisannya. Materi untuk Pelatihan
Kepenulisan Dasar ini lebih pada ­segala sesuatu yang ­berhubungan
dengan dasar-dasar kepenulisan. Pelatihan Kepenulisan Dasar ini
dapat juga ­digunakan ­sebagai ­sarana need assessment ­kebutuhan
­anggota dan ­untuk ­mengukur kemampuan awal yang telah ­dimiliki
anggota pada saat masuk FLP sehingga dapat ­menjadi ­informasi
dan referensi materi apa yang sesuai untuk ­ diberikan dalam
mengisi forum kepenulisan dan keislaman.
Setelah mengikuti pelatihan kepenulisan dasar, ­anggota d­ ididik
dengan melalui kegiatan bernama Forum ­Kepenulisan. Forum ini
dilaksanakan secara berkala dengan berbagai materi yang telah­
­disiapkan oleh bagian ­pendidikan FLP. Materi yang dipelajari dalam
Forum Kepenulisan ­terbagi dalam dua kategori, yaitu kepenulisan
fiksi dan non fiksi. Materi untuk kategori fiksi antara lain:
1. pengenalan karya fiksi (anatomi tulisan);
2. plot atau alur;
3. penokohan dan karakter;
4. latar atau setting;
5. sudut pandang;
6. penulisan cerita anak dan dongeng;
7. penulisan cerita horor dan thriler;
8. penulisan cerita humor atau komedi;
9. penulisan science fiction;
10. penulisan cerita fantasi;

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 55


11. penulisan cerita rakyat lokal;
12. menulis dan mengapresiasi puisi;
13. kunjungan ke penerbit;
14. kritik sastra; dan
15. jumpa penulis
Adapun pada kategori nonfiksi, materi yang diberikan pada
Forum Kepenulisan adalah sebagai berikut:
1. quantum reading;
2. resensi buku;
3. menulis esai;
4. menulis opini di surat kabar;
5. selak beluk jurnalistik;
6. pengenalan media dan analisis framing;
7. penulisan berita;
8. reportase (teori);
9. reportase (praktik);
10. penulisan features;
11. kunjungan ke media;
12. penyuntingan (editing);
13. penulisan karya ilmiah; dan
14. penulisan jurnal ilmiah.
Bagi anggota pada tingkat andal, FLP ­memberikan ­Pelatihan
Kepenulisan Lanjut yang dilakukan sebagai ­lanjutan dari ­fasilitas
kepada anggota. Materi yang ­ diberikan dalam pelatihan ini
­merupakan lanjutan dari Pelatihan Dasar Kepenulisan yang telah
diberikan di awal dan ­materi yang diberikan di Forum K ­ epenulisan
rutin. Pelatihan ini ­dilakukan sebagai refreshing dari kegiatan rutin
FLP selain juga karena materi yang diberikan di dalam pelatihan
ini merupakan materi yang sebaiknya disampaikan oleh ahli yang
kurang memungkinkan jika disampaikan di forum ­rutin. Materi
untuk Pelatihan Kepenulisan Lanjut ini dapat disusun ­berdasarkan
evaluasi terhadap proses yang telah dilakukan di dalam forum
­rutin.
Kurikulum dan modul yang disiapkan oleh FLP ­Pusat ­hanya

56 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


bersifat panduan bagi pengurus wilayah dan cabang. P ­ engurus
­pusat memberikan keleluasaan bagi pengurus wilayah dan cabang
untuk mengembangkan pola ­pendidikan sesuai dengan ­kondisi
anggota di wilayah dan cabang ­
­ bersangkutan. Pengurus dan
­anggota dapat ­menyepakati materi, metode, dan tempat ­pelatihan
yang ­dikehendaki. ­Keaktifan ­pengurus wilayah dan cabang ­tertentu
juga ­menentukan intensitas pelatihan. FLP Cabang ­Hadhramaut
Yaman yang diketuai oleh Adly Al ­Fadlly ­misalnya ­berinisiatif
menyelenggarakan safari penulis b ­ erupa ­kegiatan ­kunjungan ke
tokoh-tokoh penulis besar Yaman. Anggota FLP ­Hadhramaut juga
­diajari menulis kisah perjalanan melalui wisata di tempat-tempat
bersejarah di Yaman.
Agenda FLP Hadhramaut bermacam-macam, di ­ antaranya:
diklat kepenulisan, safari pena di mana kita akan dibawa
­mengunjungi tokoh-tokoh penulis besar Yaman atau juga
­mengunjungi tempat-tempat bersejarah untuk kemudian m ­ enulis
­review tempat tersebut. Ada pula bazar buku, perpustakaan
­keliling, dan salam pena, di mana kita mendapatkan tutor menulis
dari penulis senior FLP ­maupun ketua-ketua FLP cabang lainnya.
Di dalam salam pena yang diformat tutorial vide nanti, tutor akan
memberikan ilmu menulis sesuai tema pelatihan.
Selain menyusun dan melaksanakan pelatihan bagi ­anggotanya,
secara berkala FLP melakukan evaluasi ­terhadap hasil pelatihan
melalui kegiatan yang mereka ­sebut sebagai “sertifikasi ­anggota”.
Sertifikasi anggota adalah proses evaluasi setiap enam bulan
­terhadap anggota FLP. Hasil ­evaluasi ini adalah keputusan a­ pakah
anggota terkait sudah dapat ­masuk jenjang berikutnya atau belum.
Dalam persepsi a­nggota FLP, jenjang bukanlah masalah status
­sosial atau kebanggaan melainkan representasi k ­ emampuan dan
­komitmen seorang anggota FLP dalam dakwah ­kepenulisan.
Proses pelatihan yang dirancang dan dilaksanakan FLP
­pusat, wilayah, dan cabang telah membuat anggota FLP ­memiliki
­kemampuan menulis yang baik pada takaran ­tertentu. ­Keberhasilan
proses pendidikan FLP ditandai ­dengan adanya ­sejumlah ­anggota
FLP yang dapat ­menulis buku dan kemudian diterbitkan. Melalui

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 57


proses ini FLP membuktikan diri sebagai komunitas calon ­penulis.
­Beberapa penulis FLP yang produktif menulis antara lain Asma
Nadia, Habiburrahman el Shirazy, Helvy Tiana Rosa, Afifah Afra,
Izatul Janah, Irfan Hidayatullah, Mell Shaliha, Sinta Yudisia, ­Tasaro
GK, Riana Dewi, Arista Devi, Leyla Hana, Nurul F Huda, Pipiet
Senja, Adly Al-Fadlly, M. Hifni Mubarak, A Nizar Syamwil, Mashdar
Zainal, Benny Arnas, Ali Muakhir, Ifa Avianty, ­Azzura Dayana, Asa
Mulchias, Sakti Wibowo, Gegge ­ Mappangewa, Muthi Masfufah,
­Novia ­Syahidah, ­Azimah Rahayu, Abdurahman Faiz, dan R ­ iawani
­Elyta.
Terlepas dari penilaian kualitatif para kritikus yang ­ kerap
menjatuhkan penilaian bahwa karya anggota FLP ­ kurang baik
dalam takaran estetis mereka, anggota FLP telah ­menunjukkan
­produktivitas cukup tinggi dalam ­mengolah gagasan m ­ enjadi buku.
Afifah Afra misalnya, ­telah ­menerbitkan ­lebih dari 50 ­judul buku
sejak ­memulai karier ­kepenulisannya pada tahun 1998. ­Pendiri dan
­Ketua FLP pertama, Helvy Tiana Rosa, t­ elah ­menerbitkan ­setidaknya
51 buku dan 12 naskah drama, baik yang d ­ itulis s­ endiri ­maupun
ditulis bersama penulis lain. ­Pendiri FLP lainnya ­yaitu Asma Nadia
telah menulis setidaknya telah m ­ enulis 31 ­judul buku yang telah
diterbitkan. Izzatul Jannah telah ­menerbitkan ­setidaknya 31 judul
buku.
Di samping penulis senior yang telah terbukti ­produktivitas
dan keberterimaannya di masyarakat, FLP juga ­memiliki ­penulis-
penulis pendatang baru dan pemula, baik yang ­ tinggal di
­Jabodetabek ­maupun yang bermukim di ­kota-kota ­kecil. ­Penulis-
penulis ­pemula ini memang ­belum menulis dan ­menerbitkan buku
­mandiri, ­namun terlibat ­dalam proyek ­penulisan antologi cerita
pendek, memenangi kompetisi menulis, dan menulis cerita pendek
untuk media lokal.

Menerbitkan Ribuan Judul Buku


Sejak didirikan, Forum Lingkar Pena (FLP) mendeklarasikan
diri sebagai komunitas penulis yang ­berorientasi dakwah. Para
penulis yang bernaung di FLP ­meyakini bahwa tulisan ­adalah ­media

58 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


yang efektif untuk mengajak orang baik melakukan ­ kebaikan.
Mereka percaya tulisan dapat menggerakkan pembaca dari situasi
tertentu yang kurang baik pada situasi lain yang lebih baik. Niat
­demikian muncul karena para penulis FLP merasa ­bahwa b ­ acaan
yang beredar di masyarakat dinilai tidak ­mencerahkan. Sebagian
bacaan yang beredar di pasaran bahkan mereka nilai berpotensi
merusak akhlak masyarakat dengan anjuran gaya hidup yang tidak
sesuai dengan tuntutan Islam.
Keyakinan bahwa tulisan dapat menjadi media ­ dakwah
yang efektif telah menjadi kesadaran bersama anggota FLP.
­Keyakinan itu disosialisasikan para tokoh FLP ­kepada ­anggota
lain melalui serangkaian pelatihan. Keyakinan ­demikian diperkuat
dengan berbagai pengalaman empiris di berbagai tempat yang
­menunjukkan bahwa tulisan bisa memiliki efek ­psikologis dan ­sosial
yang kuat terhadap para pembacanya. Helvy T ­ iana Rosa sendiri
ketika ­menerbitkan buku ­pertama berjudul ­Ketika Mas Gagah ­Pergi
­menerima aneka respon dari pembaca yang ­menunjukkan ­bahwa
buku tersebut ­ telah memotivasi atau menginspirasi p ­embaca
melakukan kebaikan sebagaimana kebaikan yang ­ diamanatkan
penulis melalui karya fiksinya. ­Berdasarkan pengakuan Helvy, ada
ratusan surat yang ia terima dari ­pembaca Ketika Mas Gagah Pergi
yang mengaku terinspirasi. Para pembaca perempuan yang ­belum
berjilbab, misalnya, mengaku tergerak untuk segera berjilbab
setelah membaca novel ini.
Keyakinan bahwa tulisan adalah sarana dakwah yang ­efektif
telah mendorong anggota menulis secara produktif. ­ Motivasi
personal itu didukung oleh fasilitasi yang ­diberikan ­komunitas,
­berupa pelatihan dan bedah karya. Pada ­kemudian hari, dua hal
itu masih didukung oleh terbukanya industri buku terhadap ­karya-
karya mereka. Agar ­ kebaikan yang ­ disampaikan ­penulis dapat
­diterima pembaca, maka karya itu harus ­diterbitkan. ­Diterbitkan
adalah syarat yang mutlak dipenuhi agar ajakan ­ kebaikan
yang mereka ­ yakini dapat ­ disosialisasikan kepada ­masyarakat.
­Berbagai k
­ egiatan ­fasilitasi diberikan komunitas agar ­anggotanya
dapat ­
menyampaikan ajakan kebaikan melalui ­ tulisan. ­
Selain

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 59


itu, ­komunitas mangajarkan anggota baru memahami pola kerja
penerbitan buku dengan mengunjungi penerbit dan belajar kepada
penulis lain yang karyanya telah ­diterbitkan. ­Anggota FLP juga
memiliki keinginan agar karyanya ­ diterbitkan ­ sebagai bentuk
aktualisasi diri, ­memperoleh keuntungan ­sosial, dan memperoleh
keuntungan ekonomi.
Kombinasi antara motivasi personal anggota dan f­asilitasi
dari komunitas telah membuat anggota FLP m­ enjadi penulis yang
produktif. Kondisi ini didukung oleh semaraknya i­ndustri buku
islami yang terjadi pada tahun 1998 hingga 2005. Pada ­periode
itu ­masyarakat pembaca sangat m­­ enggemari bacaan-bacaan
yang mengandung ­ajaran moral. Kondisi ini memotivasi penerbit
menyerap cukup banyak naskah yang setelah dilempar ke ­pasaran
mendapat ­sambutan luas. Ketua Bidang Advokasi FLP Pusat yang
pernah bekerja pada Penerbit Mizan mengibaratkan ­ kondisi
penjualan buku islami pada saat itu seperti penjualan ­
­ kacang
goreng.

“ Saat itu jualan buku sudah seperti jual kacang goreng.


J­umlahnya luar biasa dan angka penjualannya juga luar
­biasa. ­Banyak buku yang kami terbitkan sold out dalam dua
­minggu. ­Cetak ulang, dua minggu lagi sold out,” katanya d
­ alam
­wawancara dengan peneliti.

Komunitas tidak melakukan dokumentasi yang rapi ­terhadap


karya-karya anggotanya. Akibatnya, komunitas ­ tidak dapat
­memastikan jumlah buku yang telah ­diterbitkan oleh ­anggota
FLP. Komunitas pernah m ­ enerapkan ­mekanisme “­wajib lapor”
bagi ­ anggota yang telah ­ menerbitkan buku. Mereka ­ diminta
melaporkan ­
­ kepada ­pengurus pusat ­ bahwa dirinya telah
­menerbitkan buku. ­Namun hal itu ­tidak ­berjalan baik, tidak semua
penulis melaporkan buku yang telah ­diterbitkannya. Kondisi ini
membuat FLP ­tidak ­menyebutkan jumlah pasti buku yang telah
diterbitkan ­anggotanya.

60 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


Namun demikian, dalam Musyawarah Nasional ke 5 pada
­tahun 2010, Sekjen FLP Afifah Afra menyebutkan ­bahwa ­hingga
tahun 2010 saja telah ada setidaknya 3.000 judul buku yang
­ditulis oleh anggota FLP, baik di Tanah Air maupun di luar ­negeri.
­Buku-buku yang diterbitkan FLP dapat dikategorikan ­menjadi tiga
jenis, yakni buku yang ­ditulis secara mandiri, duet, dan ­antologi
(bersama).
Buku yang ditulis mandiri biasanya ditulis oleh ­anggota FLP
senior yang telah mulai produktif menulis buku ­ sejak mereka
bergabung dengan organisasi ini. Para penulis yang menulis buku
mandiri telah memiliki segala ­kemampuan yang diperlukan untuk
menyelesaikan naskah. Nama ­mereka yang sudah cukup dikenal
membuat karya mereka relatif mudah diterima oleh penerbit.
Sejumlah penulis senior FLP menunjukkan produktivitas berkarya
sangat tinggi. Beberapa penulis FLP dengan produktivitas tinggi
tersebut antara lain:

1. Afifah Afra
2. Helvy Tiana Rosa
3. Asma Nadia
4. Izatul Jannah
5. Haiburrahman El Shirazy
6. Tasaro GK
7. Mell Shalila
8. Leyla Hana
9. Pipiet Senja
10. Sinta Yudusia

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ­kesuksesan


FLP dalam mendorong anggotanya produktif berkarya dapat ­terjadi
karena dialektika empat hal. ­Pertama, pemantapan ­ideologi, yakni
berjalannya indoktrinasi ­internal bahwa menulis merupakan sarana
dakwah yang efektif. ­Adapun pada diri ­anggota FLP telah terbentuk
­keyakinan bahwa dakwah merupakan kewajiban yang melekat pada

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 61


­ irinya sebagai umat Islam. Motivasi ­berdakwah r­elatif ­menjadi
d
motivasi yang kuat karena ­berkaitan dengan ­keyakinan mendasar
mereka sebagai orang Islam. ­Motivasi ­dakwah juga motivasi yang
dilanggengkan oleh ­komunitas, meskipun ­secara pribadi masing-
masing penulis juga ­mengaku menikmati manfaat ekonomi dan
sosial dari buku yang ditulisnya. Berikut pendapat Sutono, anggota
FLP Cabang Tegal dalam wawancara dengan penulis:

“ Dakwah itu bukan semata tugas ustad dan kyai. D ­ akwah


itu ­kewajiban semua Muslim.Dan dakwah lewat tulisan bisa
menjangkau ruang dan waktu yang lebih luas. Kalau lisan,
­
­pendengarnya kan terbatas pada ruang itu dan waktu saat itu.
Tapi kalau ­dituliskan, bisa dibaca ribuan atau bahkan jutaan
orang.

Kedua, fasilitasi yang diberikan komunitas berupa ­pelatihan.


Baik pelatihan menulis dasar maupun Forum Kepenulisan yang
diselenggarakan rutin menjadi sarana transfer ­pengetahuan dari
anggota senior kepada ­anggota baru. Mashdar Zainal, ­misalnya,
merupakan ­ anggota yang telah memiliki pengalaman ­ menulis
cerita pendek di ­media nasional seperti Kompas. Beberapa kali
ia ­diundang oleh FLP wilayah dan cabang untuk ­menceritakan
­pengalamannya menulis di media tersebut. ­Penulis n ­ ovel ­Ayat-
Ayat ­Cinta Habiburrahman El-Shirazy juga sering d ­ iminta ­mengisi
­workshop kepenulisan oleh FLP cabang di ­ berbagai ­ daerah.
­Demikian pula Helvy Tana Rosa, Asma Nadia, dan ­Afifah Afra. ­Dalam
berbagai kesempatan, FLP ­mengundang atau ­mengunjungi penulis
dari luar ­komunitas mereka yang ­telah ­memiliki ­pengalaman untuk
diminta berbagi ­ pengalaman. FLP Cabang Semarang, ­ misalnya,
mengunjungi NH Dini, ­
­ anggota FLP Cabang Tegal, ­ misalnya,
­mengundang SN ­Retmana, dan FLP Cabang Hadhramaut Yaman
­mengunjungi penulis di negara ­tersebut.
Ketiga, FLP dapat mendobrak pemasaran buku ­konvensional.
Dikatakan Azwar (2009), FLP tidak h ­anya ­ menjadi kawah
­candradimuka bagi calon penulis tetapi juga klub pembaca buku.

62 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


Dengan jaringan yang ­tersebar di ­berbagai daerah, FLP ­menjadikan
anggotanya sebagai ­distributor atau bahkan ­konsumen bagi ­karya-
karya anggota FLP yang lain. Sejumlah ­ penulis FLP b ­erupaya
menerbitkan, menjual, dan ­
­ mendistribusikan s­ endiri buku
terbitannya. Ada di ­
­ antaranya yang secara rutin ­ mengadakan
­diskusi serta pelatihan menulis di kalangan ­anggota dan umum,
yang ­dimaksudkan untuk membangun semangat ­ anggota klub
agar semakin dekat dengan buku. Ada bahkanyang ­ kemudian
­memunculkan beberapa penulis dengan karya best-seller.
Sekretaris Jenderal FLP Afifah Afra menceritakan, pada satu
ketika pernah ada satu masa ketika anggota FLP ­begitu ­antusias
untuk menikmati dan membaca karya-karya ­anggota FLP yang
lain. “Asal ada logo FLP-nya di buku itu, mereka langsung beli. Ini
mungkin wujud apresiasi mereka kepada sesamaanggota FLP,”
katanya. Ketersediaan pasar potensial ini pula yang kemudian hari
menarik minat penerbit untuk menerbitkan karya fiksi anggota
FLP. Penerbit menganggap karya-karya anggota FLP berpotensi
mendatangkan profit karena telah memiliki konsumen loyal.

Memopulerkan Kembali Genre Sastra Dakwah


Genre “sastra dakwah” sebenarnya tidak memiliki ­pengertian
akademik yang mapan dalam kajian sastra di ­Indonesia. ­Sebutan
sastra dakwah bertumpuk dan beririsan d ­ engan ­istilah-istilah lain
yang ­sejenis. Diuraikan Mahayana (2008) dalam diskusi tentang
sastra di Tanah Air, ada ­sejumlah sastrawan yang menyodorkan
istilah yang ­memiliki ­makna ­serupa. Penyair Taufik Ismail, misalnya,
pernah ­
­ memperkenalkan istilah “sastra zikir”, Kuntowijoyo
­memakai istilah “sastra profetik”, Danarto menggunakan istilah
“sastra pencerahan”, M. Fudoli Zaini  ­menyebutnya sebagai “sastra
yang terlibat dengan dunia dalam”, ­Sutardji Calzoum Bachri memberi
istilah “sastra transenden”, dan Abdul Hadi W.M. ­mengistilahkan
“sastra sufistik” untuk menyebut karya-karya mereka yang ­berakar
dari wacana keimanan atau religiusitas Islam. Apakah tiap-tiap
istilah ini memiliki perbedaan substansial atau sekadar berbeda
penyebutan, belum disepakati secara pasti.

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 63


Ketidakmapanan definisi sastra dakwah terjadi ­karena
dua hal, yakni luasnya pengertian dakwah dan mana n ­ ilai-nilai
­dakwah. Dalam literatur Islam, dakwah ­diartikan sebagai ­aktivitas
­penyebaran agama Islam. Mengajak orang lain yang tidak beriman
untuk mengimani dan memeluk Islam adalah contoh k ­egiatan
dakwah yang ­paling ­fundamental. Namun dalam pengertian luas,
dakwah a­dalah aktivitas mengajak manusia untuk melakukan
­
­kebaikan. ­Adapun kebaikan dalam pengertian ini dapat ­bermakna
­spesifik sekaligus universal. Kebaikan menurut Islam ­seringkali
juga merupakan kebaikan yang diyakini oleh agama atau aliran
kepercayaan lain sehingga tidak dapat diklaim bahwa kebaikan
tersebut bersifat islami.
Untuk mengurai kesimpangsiuran definisi dan ­pengertian
s­ astra islami, sastra dakwah, sastra profetik, dan istilah ­lainnya,
­sejumlah intelektual Islam dan peneliti ­sastra ­mengembangkan
pendapatnya. Menurut Wahid, ­ dalam ­ Horison, sastra Islam
­merupakan bagian dari peradaban ­Islam yang dapat dilihat dari
dua sisi: pertama, yaitu orang yang condong melihatnya secara
­legalitas formal ­di mana sastra Islam harus selalu bersandar pada
Al-Qur’an dan Hadis; kedua, orang yang condong melihat sastra
Islam dari pengalaman religiusitas (­ keberagamaan)seorang Muslim
yang tidak bersifat formal legislatif, ­artinya sastra Islam tak harus
bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis ­(formal) dan ­bersifat ­adoptif
terhadap pengaruhpengaruh lain ­ terutama ­ dimensi ­sosiologis
dan psikologis sastrawan muslim yang ­tercermin dari karyanya
yang menggambarkan pengalaman ­ keberagamaannya. Adapun
­Mulyono (2001) berpendapat sastra islami dapat diartikan sebagai
karya s­ astra yang mengandung ­kesadaran nilai-nilai sastra islami
yang meliputi pemahaman, penghayatan, dan kemampuan untuk
menghargai nilai-nilai islami.
Menurut Hawani (dalam Syarifudin, 2012), sastra ­ islami
adalah seni atau sastra yang berlandaskan ­kepada akhlak ­Islam,
­muncul ­sebagai media dakwah, yang di ­dalamnya ­terdapat ­tujuh
­karakteristik konsistensi, pesan, ­universal, ­tegas dan jelas, ­sesuai
dengan realita, optimis, dan m ­ enyempurnakan akhlak m ­ anusia.

64 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


Adapun Mohammad (dalam Syarifudin, 2012) ­ berpendapat
­bahwa sastra Islam adalah sastra yang mempromosikan sistem
­kepercayaan atau ­ajaran Islam; memuji dan mengangkat ­tokoh-
tokoh Islam; mengkritik realitas yang tidak sesuai dengan nilai-
nilai Islam; mengkritik pemahaman Islam yang dianggap ­tidak
sesuai dengan semangat asli Islam awal, atau paling tidak, sastra
yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
Dalam sejarah sastra Indonesia, sejak tahun 1970-an ­hingga
sekarang telah banyak lahir tokoh-tokoh ­sastrawan yang ­memiliki
karya dengan topik keagamaan, ­spiritualitas atau ­sejenisnya, ­seperti
Motinggo Busye, Y.B. ­Mangunwijaya, Ajip ­Rosidi, ­Danarto, Sutardji
Calzoum Bachri, ­Kuntowijoyo, M. ­Fudholi Zaini, ­Muhammad Zuhri,
KH. Mustofa ­Bisri, KH. ­Zawawi ­Imran, Emha Ainun Najib dengan
­karyanya kumpulan ­cerpen Slilit Kyai dan ­lain-lain. Jauh sebelum
­menjamurnya ­penerbitan fiksi ­islami ­dewasa ini, sejak zaman
dahulu sudah banyak ­lahir ­karya-karya ­sastra ­islami di Indonesia
(Nusantara). Salah satu karya yang paling ­ menonjol adalah
Tajussaalatin (Hamzah ­al-Fansuri), ­Bustanussalatin (Nuruddin ­ar-
Raniri), dan Gurindam Dua ­Belas (Raja Ali Haji). Saat itu, sastra
islami berkembang pesat. Ini dapat ­ dilihat dari ­ peninggalan
Kerajaan Perlak hingga ­
­ Ternate dan Sasak. Abad ke-19 mulai
muncul lagi ­dengan lahirnya ­karya-karya dari Abdullah bin Abdul
Kadir M­ unsyi, ­kemudian awal abad ­ke-20 ­dengan lahirnya ­karya-
karya Amir Hamzah. Pada zaman pasca kemerdekaan, lahir ­karya-
karya ­Hamka ­dengan Tenggelamnya Kapal van Der Wijk dan Di
Bawah ­Lindungan Ka’bah (Syarifudin, 2012).
Dari berbagai pendapat di atas, penulis memiliki ­kecenderungan
menggunakan definisi yang dibuat oleh ­Mohammad. ­Definisi
tersebut terasa lebih menyeluruh ­untuk memahami sastra islami
karena berkaitan dengan tiga aspek sekaligus, yakni kondisi objek,
tujuan, dan ­operasional. Pada aspek objek, sastra islami ­merupakan
karya sastra yang berisi pesan (promosi) nilai-nilai ­Islam, baik
berupa ­
­
hukum, ­ sejarah, tokoh, maupun pemikiran-­ pemikiran
­islami. Pada ­aspek tujuan, sastra islami digunakan dengan penuh
­kesadaran oleh penulisnya sebagai media dakwah. Adapun secara

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 65


operasional, dakwah melalui sastra islami dilakukan dengan cara
mengkritik realitas yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam atau
mengkritik pemahaman Islam yang ­dianggap tidak sesuai dengan
semangat asli Islam awal.
Dengan definisi di atas, maka penulis dapat katakan ­bahwa
novel Di Bawah Lindungan Ka’bah adalah novel ­ islami ­
karena
melakukan kritik terhadap tradisi masyarakat ­Minang pada saat
itu yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. ­Roman ­Merantau ke
Deli dan Dijemput Mamaknya ­membicarakan masalah yang sama,
yakni kritik ­ terhadap adat masyarakat pengarangnya menurut
Islam. Akan tetapi, dalam ­roman ­Dijemput Mamaknya, Hamka lebih
­menekankan pada ­persoalan cara berkeluarga di ­Minangkabau
yang tidak ­ditentukan oleh suami-istri, tetapi oleh mertua, ­ninik-
mamak, dan saudara-saudara. Dengan kriteria di atas pula, novel
­Ayat-Ayat Cinta dapat dikategorikan sebagai ­sastra islami karena
­mempromosikan nilai-nilai Islam sebagai gaya ­hidup.
Karya-karya A.A. Navis seperti Robohnya Surau Kami dan
­Kemarau juga merupakan karya yang bernafaskan ­Islam. ­Tokoh-
tokoh utama yang ditampilkan terlibat dalam suatu ­persoalan hidup
­berupa konflik batin, pertentangan ­antara ­ajaran agama yang dianut
oleh tokoh dengan ­masalah ­keduniawian ­(Jassin dalam Syarifudin).
Apabila ­dilihat dari konflik batin yang dihadapi oleh tiap-tiap
tokoh, ­terdapat perbedaan antara apa yang ­disajikan Hamka dan
A.A ­Navis dalam karya-karya mereka. D ­ alam karya-karya Hamka,
­konflik yang dialami para tokoh ­lebih banyak ­disebabkan oleh
masalah kebobrokan adat masyarakat dan cinta. ­Karya-karya Navis
lebih menampilkan konflik yang ­disebabkan adanya pertentangan
antara ajaran agama dengan soal ­keduniawian.
Dalam arena sastra Indonesia modern, sastra ­ islami hadir
melalui sejumlah tokoh. Sastra islami sebagai ­sebuah tema ­besar
berebut dengan tema besar lain. ­Kompetisi a­ ntarsastrawan dari
berbagai aliran membuat sebuah tema ­terkadang ­mendominasi
namun terkadang tersingkirkan. ­Sastra islami pernah cukup kuat
dan dominan pada era ­Hamka dan kemudian Danarto. ­Namun sejak
akhir ­tahun ­1990-an, sastra islami relatif ­tenggelam ­tergantikan oleh

66 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


s­ astra ­“liberal”, y
­ akni semacam aliran sastra yang ­mempromosikan
­kebebasan berpikir dan mengelola ­tubuh. ­Kelahiran aliran sastra
ini ditandai dengan penerbitan ­ Saman karya Ayu Utami yang
kemudian menjadi trensetter bagi karya ­ sejenis, seperti Nayla
karya Djenar Maesa Ayu dan Pintu karya Fira Basuki.
Sastra islami kembali memperoleh popularitas ­kembali pada
tahun 2005, salah satunya melalui novel Ayat-Ayat ­Cinta karya
Habiburrahman El-Shirazy, mantan anggota ­ Forum Lingkar
Pena (FLP) Wilayah Mesir. Secara ­kuantitatif, ­novel ini ­menuai
sukses besar karena diproduksi dalam ­belasan cetakan. Di sisi
lain, novel ini menjadi penanda bahwa genre sastra dakwah
kembali ­mendapatkan tempat di hati ­pembaca sastra Indonesia.
­Kesuksesan Ayat-Ayat Cinta ­ tidak dapat ­dilepaskan dari peran
FLP yang ­merupakan ­komunitas ­tempat Habiburrahman melatih
diri menjadi penulis, ­meskipun kesuksesannya juga ditopang oleh
­faktor-faktor industri seperti penerbit, promosi, dan branding.
Dalam endorsement-nya, Susanto (2004) berpendapat ­bahwa
AAC termasuk novel islami karena di dalam ­ novel tersebut
karya sastra oleh penulisnya dijadikan ­sebagai alat ­berdakwah.
Yang menarik, novel ini ­menggunakan ­sepuluh referensi ­kitab-
kitab ­ keislaman, yang ­ menggambarkan ­ bahwa p­engarangnya
benar-benar ­
­ seorang yang ­ berpandangan luas dalam ­ wawasan
­keislamannya. Tanpa disadari, ­pembaca ­bertambah dalam ilmu
fikih dan menambah akidah dari ­hasil bacaan terhadap ­novel
tersebut. Adapun ­
­ Supriadi (2006) ­ berpendapat dalam novel
AAC terdapat ­transformasi ­nilai-nilai ajaran Islam karena ­adanya
­hubungan ­intertekstual ­dengan teks lain, dalam hal ini a­­dalah
teks Al-Quran dan H ­ adis ­sebagai hipogramnya. Dalam ­ konteks
­Ayat-Ayat ­Cinta, novel ­menjadi semacam media penulisan ­kembali
­pemahaman penulis ­terhadap kitab suci yang pernah dibacanya
untuk dinarasikan ­dalam ­bentuk kisah fiksi.
Secara isi, AAC mengandung ajakan untuk ­ melaksanakan
perintah agama. Penulis novel itu menggunakan argumentasi
­
yang ­bersumber dari kitab suci untuk mengungkapkan pesan
atau amanatnya tersebut. Ajakan itu disampaikan oleh penulis

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 67


­ alam rangka mengajak pembaca memahami, ­merenungkan, atau
d
melakukan sesuatu yang menurut hemat penulis ­ merupakan
­sebuah kebaikan. Dalam cerita ­fiksinya, penulis mem-framing
bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang baik secara taken for granted.
Melaksanakan ajaran Islam ­dengan demikian adalah melaksanakan
kebaikan yang dapat ­mengantar seseorang mencapai keselamatan.
Strategi demikian tampak menjadi semacam s­ trategi k­ omunal
yang diterapkan oleh para penulis ­ Forum ­
Lingkar Pena. Sejak
awal, mereka mendesain ­karyanya ­sebagai karya didaktis yang
digunakan untuk ­
­ mempengaruhi dan ­ menggerakkan pembaca.
Topik yang dipilih ­ bermacam-macam, antara lain berpoligami,
menuntut ilmu, berpakaian sesuai syariat Islam, menjadi anak
­
­saleh-salihah, menjadi ­remaja yang berprestasi, menjadi istri yang
taat ­kepada suami, ­berjihad membela sesama Muslim, ­meneladani
Rasulullah, berzakat, dan lain-lain. Intensitas topik tertentu
­lazimnya d
­ ipengaruhi latar belakang, pemahaman, serta asal mula
harakah penulis bersangkutan.

68 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


6

Syumuliyatul Islam:
Agama sebagai
Ideologi ­Berkarya

P
ADA bagian ini akan diulas ideologi Forum ­Lingkar Pena
(FLP) yang merupakan aspek penting ­ untuk ­ memahami
­kiprah FLP dalam arena sastra Indonesia. ­Ideologi dapat
­dipahami ­sebagai serangkaian keyakinan yang hidup pada diri
­seseorang yang digunakan sebagai dasar ­pengambilan ­tindakan
atau ­keputusan tertentu. Agar dapat melihat p ­ ersoalan ­ideologi
FLP secara ­ keseluruhan, ­peneliti ­
menyajikan ulasan ke dalam
­empat ­aspek, yakni ­ideologi ­pendiri, ideologi organisasi, ideologi
­anggota, dan ­ideologi karya. Keempat hal itu berelasi satu sama
lain ­secara k
­ ronologis. Namun pola relasi tersebut tidak menurun
­secara langsung karena ­dipengaruhi oleh faktor-faktor lain di luar
agen bersangkutan.

Ideologi Pendiri
Salah satu pendiri Forum Lingkar Pena (FLP), Helvy ­Tiana Rosa,
adalah figur kunci di balik pendirian dan ­perkembangan komunitas
ini. Selain menjadi salah satu ­ penggagas, Helvy a­dalah ketua
pertama yang ­menjabat ­untuk dua ­periode. Helvy juga berkontribusi
penting ­dalam ekspansi FLP ke berbagai daerah di luar Jakarta. Ia

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 69


­ embangun ­jaringan komunitas FLP hingga menjadi ­organisasi
m
nasional ­dengan ribuan anggota. Oleh ­karena itu, ­gagasan dan
ideologinya sangat mempengaruhi ­ideologi ­komunitas. Identitas
Helvy sebagai seorang Muslimah dan ­ sastrawan juga menjadi
alasan penting yang menarik ­ perhatian ­masyarakat bergabung
dengan komunitas yang didirikannya.
Dalam tulisan berjudul Sastra yang Menggerakkan yang dimuat
di blog pribadinya, Rosa (2010) menceritakan ­berbagai kondisi
yang membuatnya tergerak untuk ­mendirikan FLP. T ­ anggapannya
atas situasi kesusastraan dan k ­ebudayaan pada masa itu
menggambarkan keyakinan dan pandangannya terhadap Islam,
­
sastra, dan Indonesia.
Sebagaimana muslimah yang taat, Helvy memandang ­Islam
sebagai agama yang sempurna untuk ­ membimbing manusia
pada keselamatan. Islam berisi tawaran dan ­panduan hidup yang
dapat digunakan penganutnya agar selamat dunia dan akhirat.
­Besar k ­ emungkinan, keyakinan semacam ini ­diperoleh Helvy dari
­keluarganya yang memiliki latar belakang religius. Ayahnya Amin
Usman atau Amin Ivo’s adalah seorang pencipta lagu asal Aceh dan
­ibunya, Maria Rifin Amin, adalah perempuan keturunan China yang
­lahir di Medan. Keyakinan bahwa Islam adalah agama yang dapat
membawa keselamatan bagi pemeluknya mendorong Helvy untuk
mengajak orang lain di sekitarnya hidup ­dengan ­kebenaran Islam
yang diyakininya. Helvy berpendapat ­bahwa ada kewajiban pada
dirinya sebagai seorang ­Muslim untuk menyebarkan ajaran agama
kepada orang lain. ­Penyebaran itu bisa dilakukan dengan berbagai
cara, antara lain melalui karya sastra.
Pergaulan Helvy dengan karya sastra telah dimulai s­ejak ia
bisa membaca. Sejak usia sekolah menengah Helvy ­sudah m ­ ulai
­membaca cerita pendek dan berbagai tulisan fiksi lain hingga
ia merasa bahwa dunia tersebut ­ merupakan ­passion-nya. Saat
­menempuh pendidikan di sekolah ­menengah pertama (SMP) ia
rajin pergi ke p
­ erpustakaan dan mulai membaca cerita karya O
Henry, Danarto, ­Kafka, ­Solzhenitsyn, Edgar Allan Poe, Putu ­Wijaya,
Taufik al Hakim, Chekov, dan Guy de Maupussant.

70 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


Sementara itu, ia merasa pada akhir tahun 1990-an ­kondisi
­kesusastraan Indonesia berbeda dengan yang ­diharapkannya. Ia
merasakan bahwa ada karya sastra yang justru ­mempromosikan
nilai-nilai yang bertentangan ­dengan ajaran agamanya. Oleh ­karena
itu, ia merasa perlu melakukan ­perlawanan dengan membentuk
­komunitas yang bisa melawan dominasi aliran sastra tersebut.
Dalam visi dan misi komunitas, tujuan itu diringkas dalam sebuah
frasa “sastra yang ­mencerahkan”. Helvy sendiri memaknai karya
sastra yang mencerahkan ­sebagai berikut:

“ Mencerahkan itu artinya bagaimana karya sastra itu


­ermanfaat untuk masyarakat. Jadi karya bisa memberi
b
pencerahan, ­
­ dalam bentuk apa? Dalam bentuk p ­encerahan,
memantik sesuatu ­untuk mencerahkan ­pembaca. ­Seperti lampu
yang sangat terang, ­terserah p
­ embaca yang ­menafsirkannya,
intinya karya itu bisa memberi k­ ontribusi untuk pembangunan
masyarakat, terutama mental m­ asyarakat.

Sebagai sastrawan dan akademisi, Helvy ­ mengaku ­ sangat


percaya bahwa tulisan memiliki kekuatan ­
­ sosial ­untuk
menggerakkan masyarakat. Ia ­
­ mencontohkan s­ejumlah karya
­sastra pada masa lalu yang dinilainya ­berkontribusi mengubah
kondisi masyarakat. Karya Charles ­
­ Dicken, ­umpamanya, ­ia
percaya Helvy telah mendorong pemerintah Inggris ­mengeluarkan
­undang-undang untuk ­memperbaiki ­kondisi di negara tersebut.
Novel Uncle Toms Cabin juga ­diyakini Helvy telah mendorong
Amerika Serikat ­menghapuskan ­perbudakan di negara tersebut.
Dia sendiri mengaku t­ elah membaca Javid Nama karya Muhamad
Iqbal dan Toto Chan karya Tetsuko Kuroyanagi ketika sekolah di
SMP dan ­merasakan bahwa karya-karya tersebut turut ­membentuk
­karakternya. “Bagi saya, buku yang baik adalah buku yang ­bisa
membuat kita bergerak. Usai membaca tiga buku ­tersebut saya
merasakan ada ­perubahan dalam buku saya,” katanya.
Keinginan Helvy untuk menggunakan sastra sebagai sarana

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 71


mencerahkan masyarakat juga dipengaruhi bacaan lain berjudul
Apa Tugas Sastrawan sebagai Seorang Khilafah? karya A Hasjmy.
Buku yang juga dibaca Helvy ketika SMP itu mendorongnya
bercita-cita menjadi sastrawan yang bisa menyampaikan
­
kebajikan secara ­ estetik kepada ­ pembacanya dan menjadi
sastrawan yang memiliki komitmen dalam ­berkarya. Beroposisi
dengan pendapat Roland Barthes yang m ­ enyatakan bahwa
penulis sastrawan mati ketika karyanya telah selesai dibuat,
Helvy justru meyakini ­sastrawan tetap memiliki tanggung jawab
atas karya yang telah ­ditulisnya, baik di dunia maupun akhirat.
Lebih l­anjut ia mengatakan ­ bahwa sastrawan bisa menjadi
teladan bagi ­ masyarakat ­ dengan ­ menyelaraskan apa yang
ditulisnya ­dengan ­perbuatannya.
Keyakinan itu dirasakan Helvy terbukti ketika pada 1993 ­cerita
pendeknya yang berjudul Ketika Mas Gagah ­Pergi dimuat majalah
Annida. Setelah cerpen tersebut dimuat Helvy ­menerima puluhan
surat dari pembaca cerpennya yang ­mengatakan ­bahwa cerpen
tersebut telah mengubah kehidupan mereka. Selama lima tahun ada
ratusan surat yang diterima Helvy berisi testimoni ­tentang ­cerpen
Ketika Mas Gagah Pergi. Ketika cerita tersebut ­dibukukan pada
1997 dan terjual 5 ribu eksemplar dalam beberapa pekan efeknya
­dirasakan Helvy lebih besar. Sastrawan Motinggo Busye ­membuat
testimoni bahwa karya Helvy tersebut tidak ­
­ selesai di pikiran
dan di hati, tetapi telah mendorong beberapa ­tetangganya untuk
­mengenakan jilbab. Dalam pandangan ­spiritual Helvy, p ­ erempuan
yang memutuskan untuk berjilbab berarti telah ­ memutuskan
sebagian perintah agama. Pengalaman itulah yang semakin
­
­menebalkan keyakinan Helvy bahwa menulis dapat menjadi jalan
melaksanakan amar ma’ruf nahi ­munkar (melaksanakan yang baik
dan menghindari yang buruk).
Pandangan personal Helvy bahwa karya sastra dapat ­menjadi
sarana dakwah yang efektif ditularkan ­kepada ­teman-temannya
sesama pengurus dan anggota FLP. ­Proses pendidikan dan ­pelatihan
yang diselenggarakan FLP m ­ engubah keyakinan personalnya
terinternalisasi kepada s­ ebagian anggota FLP lain. Oleh karena itu,

72 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


karya-karya anggota FLP memiliki suasana kebatinan yang nyaris
sama sebagai “sastra dakwah”.
“Seburuk apa pun karya anak FLP tapi dia tidak akan
­memperburuk keadaan suatu masyarakat. ­Sementara itu karya
lain yang sok-sok bagus kan jelas, mereka ­memperburuk keadaan
masyarakat, mengajak perzinahan, ‘kumpul kebo’ dan segala
­macamnya,” kata Sekjen FLP Afifah Afra dalam wawancara dengan
penulis.

Ideologi Organisasi
Ideologi Forum Lingkar Pena (FLP) dapat ­ditelusuri melalui
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga ­ serta d­okumen
lain yang telah disepakati oleh anggota ­sebagai nilai bersama.
­Ideologi organisasi merupakan ­hasil ­konsensus yang disepakati
oleh anggota untuk ­dijadikan ­sebagai ­ideologi bersama. I­deologi
­organisasi dapat ­terbentuk ­karena FLP memiliki sejumlah ­forum
yang ­memungkinkan para elit ­ serta anggotanya bertemu dan
menentukan ­
­ tujuan ­organisasi. Salah satu pertemuan tersebut
adalah ­
­ Musyawarah Nasional (Musnas) yang ­ diselenggarakan
­empat tahun sekali bersamaan dengan pergantian ­pengurus ­pusat.
Pada f­ orum-forum strategis tersebut FLP dibahas hal-hal mendasar
berkaitan dengan komunitas.
Pada FLP, ideologi organisasi terbentuk melalui ­empat ­proses,
yakni penggalian oleh para pendiri, ­dokumentasi melalui ­anggaran
dasar dan anggaran rumah tangga, ­sosialisasi ­kepada pengurus
dan anggota, serta ­penegakan melalui mekanisme ­pengawasan.
Pada tahap pertama, para pendiri FLP ­ memegang peran yang
­sangat penting ­sebagai pelopor dan penggagas ­komunitas. ­Mereka
bertindak s­ebagai aktor intelektual yang ­
­ menggali ­ ideologi
organisasi melalui proses diskusi. Proses ­
­ penggalian ­ gagasan
ideologi ­
­ organisasi terutama berlangsung dalam ­ sejumlah
­pertemuan yang diselenggarakan Helvy Tiana Rosa, Asma ­Nadia,
Maimoon Herawati, dan sejumlah penggagas lain di Masjid
­
­Ukhuwah Islamiah, Universitas Indonesia.
Pada proses kedua, FLP melegalisasi gagasan yang ­dihasilkan

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 73


para penggagas menjadi anggaran dasar (AD) dan anggaran ­rumah
tangga (ART). Secara resmi AD dan ART FLP ­disepakati ­beberapa
waktu setelah organisasi ini berdiri. AD dan ART o ­rganisasi
kemudian diperkuat melalui f­orum musyawarah ­ nasional yang
merupakan ­forum d­ engan legitimasi paling kuat dalam organisasi
FLP.
Pada tahap sosialisasi, ideologi organisasi disebarkan oleh
­pengurus pusat dan pengurus wilayah kepada pengurus cabang
dan anggota. AD dan ART FLP disampaikan dalam ­pelatihan dasar
yang diikuti oleh calon anggota baru. Selain itu, ­format ­tertulis AD
dan ART disebarkan melalui w ­ ebsite resmi FLP, ­disebarkan melalui
blog resmi FLP wilayah dan cabang, juga disebarkan melalui ­grup-
grup di jejaring s­ osial, baik grup t­ ingkat cabang, wilayah, maupun
tingkat ­nasional. Para pengurus ­melakukan ­pengawasan terhadap
­pelaksanaan AD dan ART.
Salah satu bentuk pengawasan yang dilakukan ­ pengurus
­adalah dengan memantau hasil karya anggota. FLP ­memberikan
saran kepada anggota agar karya-karya ­anggota selaras dengan
ideologi organisasi sebagai ­komunitas p
­ enulis yang memberikan
­pencerahan melalui penulisan. Jika ada anggota yang dinilai oleh
pengurus keluar dari hal itu, ­pengurus memberikan masukan
atau saran sebagaimana pernah dilakukan terhadap penulis novel
­Muhammad Lelaki Penggenggam Hujan, Tasaro GK.
Tasaro mendapatkan teguran karena novelnya m ­ enggunakan
tokoh Nabi Muhammad sebagai tokoh ­fiksi. Hal yang menjadi
masalah adalah adanya dialog ­tokoh ­Muhammad dalam ­novel yang
tidak sesuai dengan riwayat hadis mana pun. Menurut ­pengurus,
hal itu merupakan penyimpangan terhadap prinsip organisasi.
Pasalnya, ­dalam iman Islam, Muhammad adalah tokoh suci yang
setiap p
­ erkataannya adalah benar, dapat diteladani, dan bernilai
hadis. Penulisan dialog tokoh Muhammad dalam ­novel ­Tasaro GK
berpotensi dipahami oleh pembaca sebagai ­dialog yang memiliki
bobot sama dengan hadis. Padahal, ­dalam riwayat mana pun tidak
ada hadis sebagaimana dialog dalam novel tersebut.
Secara tersurat FLP menyatakan bahwa azas ­organisasi a­ dalah

74 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


Islam. Dalam Anggaran Dasar (AD) o ­ rganisasi ­disebutkan ­bahwa
landasan hukum tertinggi organisasi ­adalah Al Qur’an dan ­As-
Sunnah, baru kemudian ­Ketetapan Musyawarah ­Nasional, Anggaran
Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Ketetapan ­Dewan P ­ ertimbangan
FLP, Keputusan Ketua Umum, Keputusan Badan Pengurus Pusat,
Ketetapan Musyawarah Wilayah, ­ Keputusan ­ Pengurus FLP
Wilayah, Ketetapan Musyawarah Cabang, ­Keputusan ­Pengurus FLP
Cabang, Ketetapan musyawarah R ­ anting, dan kemudian Keputusan
pengurus FLP Ranting.
Nilai keislaman sebagaimana tercantum dalam ­anggaran dasar
diterjemahkan ke dalam berbagai modul pelatihan yang ­digunakan
dalam proses kaderisasi. Dalam internal organisasi sendiri, FLP
menginternalisasi keyakinan bahwa tujuan tertinggi menulis
­adalah untuk berdakwah. Adapun berdakwah adalah ­kewajiban
setiap umat Islam yang telah diamanahkan oleh Al-Quran dan
Hadis. Dengan demikian, pengurus dan anggota FLP meyakini
bahwa menulis b ­ukan hanya dilakukan untuk tujuan duniawi,
­melainkan juga ­untuk tujuan akhirat.
Nilai-nilai keislaman kemudian diinterpretasi oleh m ­ asing-
masing pengurus sesuai kapasitas intelektualnya. ­Pengurus FLP
Jakarta misalnya menerjemahkan nilai-nilai keislaman tulisan
berjudul Rumah Cahaya Penjaringan yang ditulis Azimah Rahayu
berjudul Anda Menulis, Maka Anda Hidup. Ada lima interpretasi
Rahayu terhadap kalimat “Anda menulis, maka Anda hidup”,
yaitu; 1) tulisan kita sama ­dengan prasasti hidup kita, 2) sebagai
parameter perkembangan ­
­ pemikiran, 3) curahan jiwa karena
menulis adalah bukti bahwa kita masih hidup, merasakan, berbagi
dan ­akhirnya mengerti, 4) sumber penghidupan adalah makna
yang ­paling pragmatis, karena ada penulis yang mampu hidup
dengan ­royalti dan honor lainnya yang didapat dari kegiatannya
menulis, 5) ­berdakwah lewat tulisan. Dari kelima prinsip tersebut,
poin kelima adalah inti nilai keislaman dalam FLP.
Azimah melanjutkan, apapun bentuknya, tulisan ­ adalah
media yang sangat efektif untuk berdakwah, kerena (1) dapat
­menjangkau semua lapisan masyarakat tanpa ­dibatasi ruang dan

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 75


waktu; (2) ­upaya pembentukan opini yang sangat efektif; (3) dapat
­meminimalisasi kesan menggurui, bahkan sekalipun ­bentuk tulisan
itu seperti ‘khotbah’; dan (4) ­tulisan-tulisan berupa ­naskah ­fiksi,
ataupun renungan ­dengan sentuhan sastra biasanya juga lebih
menyentuh dan membentuk kesan mendalam. Namun, agar tulisan
menjadi m ­ edia dakwah, ada sejumlah adab yang harus dipenuhi
seorang penulis, yakni (1) penulis selayaknya ­berusaha memiliki
­wawasan keislaman yang baik; (2) cerita yang ditulis tidak boleh
bertentangan dengan akidah dan syariat dan tidak ­mengeksploitasi
dan mendramatisasi nilai-nilai jahiliyah; (3) cerita tersebut mampu
membawa pembaca kepada ammar ma’ruf nahi munkar dan sarat
ibrah (hikmah); dan (4) cerita tersebut dibuat karena Allah dalam
rangka dakwah ilallah.
Pengurus FLP Jakarta lain Asa Mulchias menulis esai
­berjudul Menggores Pena Mendidik Diri yang digunakan ­dalam
proses p ­ endidikan anggota baru FLP. Dalam tulisan itu Asa
Mulchias berpendapat bahwa ada beberapa hal yang harus
­
dipenuhi s­eorang penulis agar tulisannya memiliki ­ dimensi
­dakwah. ­Pertama, s­emengat mengajarkan kebaikan ­meskipun
sedikit. Kedua, ­ penulis perlu mempraktikkan ­ kebaikan
yang diajarkannya agar tidak ­menjadi penulis m ­ unafik yang
menggunakan nilai-nilai kebaikan sekadar memperoleh honor.
Ketiga, jangan ­meninggalkan para nabi hanya karena kita belum
mampu menjalankan ­ketentuannya.
Internalisasi yang berlangsung terus-menerus ­ membuat
anggota memiliki keyakinan kuat bahwa tulisan adalah ­
­ media
­dakwah yang efektif. Meskipun tidak memiliki basis ­argumentasi
akademis dan cenderung menyandarkan pada pengalaman ­pribadi,
keyakinan demikian telah ­menjadi ­kesadaran kolektif tiap ­anggota.
Seluruh anggota mengakui hal itu, sebagaimana ­dikatakan oleh
Sekretaris FLP Wilayah Bali Fathur Rokhman bawah “... karya sastra
bisa secara efektif membentuk karakter para penikmatnya. Misal
c­­erpen, novel, puisi yang bisa mempengaruhi para ­pembacanya.”
Demikian pula yang disampaikan anggota FLP Cabang Malang
­Fauziah Rahmawati berikut ini:

76 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


“ Dakwah bisa melalui apa saja, salah satunya melalui ­tulisan.
Dan saya memilih cara ini. Bila dianalogikan, kalau kita
­berbicara/menyampaikan dakwah melalui lisan, materi hanya
didengar b­eberapa orang saja. Namun jika melalui ­ tulisan
dan tulisan ­tersebut dipost ke blog/media massa maka yang
mendapat materi lebih banyak. Usia kita terbatas, tapi tulisan
kita tidak. Dengan membuat karya, ­harapannya kita memiliki
sesuatu yangdiwariskan dan semoga tulisan kita bisa menambah
timbangan amal baik di akhirat kelak.

Meskipun sebagai keyakinan ­ “menulis ­untuk dakwah”


merupakan keyakinan yang paripurna, ­namun para ­anggota FLP
mengakui berdakwah bukanlah ­ satu-satunya tujuan. Mereka
mengakui senang jika ­memperoleh ­manfaat sosial dan ekonomi
dari tulisan yang ­ dihasilkannya. ­Manfaat sosial antara lain
berupa ­popularitas, reputasi baik ­sebagai penulis, dan jaringan
persahabatan ­dengan pembaca karya mereka. Motif inilah yang
­mendorong para penulis FLP menulis di media massa.­­Jangkauan
luas media massa membuat karya mereka efektif terdistribusi
­kepada ribuan ­pembaca dalam waktu singkat.

Ideologi Anggota
Menurut laporan pertanggungjawaban Ketua FLP pada 2010,
FLP telah memiliki sekitar 6.000 anggota di seluruh ­daerah di
­Indonesia dan luar negeri. Sejak 1997 hingga 2015, FLP tidak
melakukan pendataan secara rapi terhadap ­ anggotanya. Oleh
­karena itu, angka 6000 yang dilaporkan pada 2010 merupakan
­angka perkiraan kasar berdasarkan laporan dari ketua wilayah dan
ketua cabang. Mulai 2015, FLP mendata ulang dengan ­mewajibkan
anggota ­melakukan registrasi daring melalui laman flp.or.id. ­Hanya
anggota yang melakukan registrasi yang diakui secara legal sebagai
­anggota FLP dan berhak menyandang status sebagai ­anggota FLP.
Sebagian besar anggota FLP merupakan individu yang ­pernah
terlibat dalam organisasi keislaman ketika ­mereka ­sekolah atau

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 77


kuliah. Sebelum atau saat bergabung ke FLP, mereka ­adalah ­aktivis
di organisasi Kerohanian ­ Islam ­
(Rohis) dan Lembaga ­ Dakwah
Kampus (LDK) yang ­ berbasis di masjid sekolah dan ­kampus.
­Kondisi inilah yang ­membuat anggota FLP ­telah memiliki bekal
­ideologi ­keislaman sebelum bergabung dengan FLP melalui forum-
forum liqo.
Namun demikian, tidak seluruh anggota FLP berasal dari
kelompok gerakan tarbiah. Mereka juga berasal dari harakah
lain seperti Jamaah Tauhid, Hizbut Tahrir, Jamaah ­ Islamiyah
dan ­ organisasi keagamaan seperti Nahdlatul ­ Ulama serta
Muhammadiyah. Meskipun dalam jumlah yang sangat kecil, di
­
beberapa cabang terdapat anggota beragama Kristen dan Katolik.
Keragaman latar belakang anggota menyebabkan ­pandangan
individual anggota juga beragam. Terlebih, ­mereka juga berasal
dari latar belakang pendidikan yang ­beragam. Namun ­demikian,
terdapat keyakinan yang ­ telah menjadi keyakinan kolektif
seluruh anggota. Keyakinan kolektif ini dapat terbentuk karena
anggota ­
­ menerima ­ pendidikan dengan materi dan kurikulum
yang ­hampir sama. Proses pendidikan pada awal masa bergabung
­merupakan mekanisme indoktrinasi yang efektif, sehingga ­anggota
menerima nilai-nilai yang ditawarkan organisasi tanpa ­gejolak dan
­

­perlawanan. Terdapat empat keyakinan yang ­berkembang ­menjadi


­keyakinan kolektif anggota FLP, y ­ aitu berkaitan ­dengan ­kebenaran
Islam, kewajiban ­
­ berdakwah bagi setiap Muslim, keefektifan
­dakwah melalui tulisan, ­serta keyakinan adanya t­anggung jawab
­moral-spiritual ­dalam ­setiap aktivitas penulisan.
Pertama, anggota FLP mengimani bahwa Islam ­adalah ­agama
yang benar dan sempurna. Keyakinan demikian m ­ endorong
anggota FLP untuk menyandarkan nilai-nilai keislaman sebagai
­

panduan hidup yang sempurna dalam bidang kehidupan apa pun.


Mereka yakin, untuk ­mencapai hidup yang selamat di dunia dan
akhirat, m
­ ereka harus menjalaninya berdasarkan Al-Quran dan
Al-Hadis. ­Pemahaman ­terhadap Al-Quran dan Hadis merupakan
kunci bagi Muslim untuk mencapai keselamatan dunia dan ­akhirat.
­Pemahaman tersebut dapat diperoleh dengan ­mempelajarinya dari

78 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


­berbagai sumber.
Dalam lingkungan internal FLP, terdapat ­ sejumlah dalil
naqli yang dijadikan sebagai argumentasi untuk ­ menanamkan
­keyakinan bahwa Islam adalah agama yang ­benar. Dalil ­naqli itu
digunakan oleh pengurus ketika m ­ ereka ­memberikan ­pendidikan
dan p ­ elatihan kepada anggota baru. ­Beberapa dalil naqli yang
­digunakan adalah Al-Quran surat ­Al-Maidah ayat (3) dan Ali ­Imron
ayat (19). Dalam surat Al-Maidah ayat (3), Allah SWT berfirman
“Pada hari ini telah ­ Ku-­
sempurnakan untuk kamu ­ agamamu,
dan t­elah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah kuridai
­Islam itu jadi agama bagimu.” Adapun Surat Ali Imran (19) Allah
berfirman “Sesungguhnya agama yang ­diridai di sisi Allah hanyalah
Islam.”
Kedua, anggota FLP yakin bahwa setiap Muslim wajib
melakukan dakwah. Kesadaran ini bukan hanya sesuatu yang
­
­ditanamkan kepada anggota, melainkan juga bahan ­pertimbangan
ketika pengurus melakukan seleksi ­anggota baru. Dalam ­modul
kaderisasi yang diterbitkan Pengurus Pusat FLP 2009-2013,
disebutkan bahwa tujuan masuk FLP dan dakwah kepenulisan
mendapat penilaian khusus. ­ Artinya, ketika melakukan seleksi,
pengurus FLP dapat menggunakan kriteria ini untuk meluluskan
seseorang ­apakah dapat diterima menjadi anggota FLP atau tidak.
Jika calon anggota baru memiliki tujuan yang tidak selaras ­dengan
tujuan besar organisasi untuk menjadi organisasi dakwah melalui
tulisan, mereka dapat ditolak.
Meskipun demikian, kriteria ini nampaknya tidak ­ditegakkan
secara ketat. Terlebih karena mayoritas a­ nggota masyarakat yang
berminat masuk FLP lazimnya ­adalah ­mereka yang telah memiliki
latar belakang organisasi ­keislaman di organisasi lain. Telah terjadi
“seleksi alam” yang membuat peminat FLP adalah mereka yang
­sebelumnya telah bergabung dengan organisasi Islam. ­Selain itu,
­media yang digunakan pengurus FLP lazimnya ­merupakan m ­ edia
yang segmentasi pembacanya adalah Muslim. Majalah ­Annida yang
digunakan Helvy Tiana Rosa untuk ­melakukan r­ ekrutmen anggota
pada masa awal ­pendirian ­misalnya, ­merupakan majalah yang telah

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 79


lama memiliki branding ­sebagai bacaan umat Islam. Distribusi
majalah ini juga dilakukan melalui organisasi berbau Islam, seperti
Rohis dan Lembaga Dakwah Kampus (LDK).
Kepada pengurus dan anggota FLP, penulis ­menanyakan apakah
mereka percaya bahwa kewajiban berdakwah ­adalah ­kewajiban
yang melekat pada setiap Muslim? Dengan ­variasi k ­ alimat, seluruh
responden menjawab “iya”. Baik pengurus ­ maupun ­ anggota
memahami dakwah tidak ­
­ selalu berkaitan ­dengan ketauhidan,
melainkan lebih luas yaitu ­ menyangkut ­ keseluruhan aspek
kehidupan seseorang. M
­ ­ ereka ­mengartikan berdakwah adalah
menyampaikan ­ajaran untuk mengajak orang lain menuju kondisi
yang lebih baik. Hal ini berarti, dakwah berkaitan dengan ibadah
­(ritual keagamaan), muamalah (sosial), tarbiah ­(pendidikan),
ekonomi, maupun siyasah (politik). Dalam keyakinan itu ­terdapat
asumsi bahwa masyarakat bisa meningkatkan ­kualitas diri dan
hidupnya dengan meningkatkan pemahaman dan penerapan ­Islam
dalam kehidupan.
Ketiga, tulisan dapat menjadi sarana dakwah yang ­ efektif.
­ egitu pula ketika penulis menanyakan, apakah mereka ­
B yakin
bahwa sastra dapat menjadi media yang efektif untuk ­melakukan
dakwah? Seluruh responden juga ­ menyatakan “yakin”. Variasi
jawaban baru muncul ketika mereka ­ditanya bagaimana kriteria
sastra yang dapat ­digunakan sebagai ­sarana dakwah. Ketua FLP
Cabang Banyuwangi Affan ­Subandi, menyatakan ­bahwa sastra yang
dapat ­digunakan untuk berdakwah adalah “...yang dapat ­membawa
arah peradaban manusia yang berakhlak dan k ­ ehormatan yang
lebih tinggi.” Adapun mantan ketua FLP Banda Aceh Fardelyn Hacky
menyatakan bahwa sastra yang bisa menjadi media dakwah adalah
“Yang mengandung pesan dan nilai moral.”
Sekretaris Jenderal FLP Afifah Afra mengungkapkan, terjadi
perubahan dan perluasan topik yang ditulis ­anggota FLP pada masa
awal berdiri dengan masa belakangan ini. Pada masa awla berdiri
anggota FLP banyak menulis ­tentang kehidupan ­aktivis lembaga
dakwah kampus dengan ­personifikasi tokoh muda ­berpakaian
syari dan beraktivitas di masjid. Oleh karena itu, karya sastra
pada awal ­berdirinya FLP disebut sebagai sastra masjid. Seiring

80 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


l­uasnya ­pergaulan anggota FLP dengan ­ komunitas lain, ­ tema-
tema itu mulai ditinggalkan dan beralih pada tema keislaman yang
­lebih ­universal. Nilai-nilai keislaman tidak lagi ­ditampilkan ­secara
­harfiah melalui atribut pakaian. melainkan pada ­prinsip-prinsip
yang termanifestasi dalam kehidupan.
Keempat, setiap penulis memiliki tanggung jawab ­ moral-
spiritual atas aktivitas kepenulisannya. ­Berbeda ­dengan adagium
yang dikatakan pengarang Barat ­bahwa penulis ­telah mati setelah
karyanya terbit, Helvy ­Tiana Rosa yakin ­bahwa p
­ enulis ­terus hidup
dan harus ­mempertanggungjawabkan ­karyanya. ­Baginya, seorang
penulis tidak bisa melepas tanggung jawab ­begitu saja atas dampak
yang ditimbulkan karyanya. Seorang penulis dapat ­ dimintai
pertanggungjawaban, baik oleh pembaca secara langsung maupun
oleh Tuhan Yang Maha Tahu. Keyakinan itu pula yang hidup dan
direproduksi di kalangan ­pengarang FLP.
Helvy sendiri membuktikan bahwa dirinya tidak “mati”
ketika buku Ketika Mas Gagah Pergi karyanya terbit. Sebaliknya,
dia masih dapat berinteraksi dengan pembaca untuk ­menerima
saran, kritikan, dan pujian dari pembaca atas karya yang ­telah
ditulisnya. Interaksi dengan ­
­ pembaca ternyata mempengaruhi
karier kepengarangannya pada waktu-waktu selanjutnya. Masukan
dan saran yang ­diterima Helvy turut memompa motivasinya ­untuk
melahirkan ­karya-karya baru yang bermanfaat bagi pembaca.
Keyakinan semacam ini juga telah menjadi keyakinan ­kolektif
pengurus dan anggota FLP. Mereka yakin bahwa karya sastra yang
mereka tulis harus d
­ ipertanggungjawabkan kepada ­masyarakat dan
kepada Tuhan. Oleh karena itu, ­mereka termotivasi ­untuk menulis
karya yang “baik” dan “benar” agar karyanya tidak ­menimbulkan
efek n ­egatif pada masyarakat, tetapi sebaliknya, menimbulkan
efek ­positif. Dalam pemahaman anggota FLP, efek positif dapat
diindikasikan dengan meningkatnya motivasi ­
­ pembaca ­ untuk
­hidup secara lebih baik, melaksanakan ajaran ­agama dengan lebih
baik, dan menjalani hidup dengan semangat.

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 81


82 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan
7
Produksi dan
Akumulasi Modal

K
EHIDUPAN organisasi (meskipun berbentuk ­ komunitas)
ditentukan oleh sumber daya yang dimilikinya. Dalam ­wujud
yang paling mudah diamati, modal organisasi dapat berupa
uang dan barang sebagai bagian dari modal finansial. Tetapi ­dalam
­pandangan sosiologi modern, ­modal juga berkaitan dengan ­sumber
daya manusia, kekayaan ­kultural, dan kekayaan intelektual yang
­dimilikinya.
Forum Lingkar Pena (FLP) memproduksi dan ­mengakumulasi
aneka modal tersebut sebagian ­ strategi ­
kultural membesarkan
­organisasi. Berikut diuraikan bagaimana FLP memproduksi dan
mengakumulasi modal berdasarkan jenisnya.

Produksi dan Akumulasi Modal Finansial


Modal finansial yang paling awal yang dimiliki oleh FLP ­adalah
kekayaan pangkal sebesar Rp500.000 (lima ratus ribu ­rupiah).
­Selanjutnya, FLP mengakumulasi modal finansial dengan ­memungut
iuran wajib anggota minal Rp50.000 (lima puluh ribu rupiah)
kepada setiap ­anggota. Dana ­sebesar itu ­didistribusikan untuk
tiga pos, yakni ­kepada cabang ­sebesar Rp30.000, untuk pengurus
wilayah sebesar Rp10.000, dan pengurus pusat ­sebesar Rp10.000.
Uang ini digunakan ­untuk mendukung ­kegiatan ­organisasi, s­ eperti
rekrutmen, kaderisasi, pelatihan, dan ­ pelantikan cabang atau

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 83


pengurus pusat. Pada tingkat pengurus pusat, dana ­digunakan
untuk musyawarah nasional dan aktivitas lain yang pada tingkat
pusat.
Tidak seluruh cabang menerapkan aturan uang iuran ini. Ada
cabang yang menerapkan namun dengan ­nominal ­lebih ­kecil dari
yang diatur oleh pengurus pusat. Di Cabang ­Banda Aceh, Wilayah Bali,
Wilayah Yogyakarta, Wilayah Sulawesi ­Selatan, Cabang ­Semarang,
dan Cabang Malang aturan ­ pungutan uang ­ iuran diterapkan.
­Namun di Cabang Banyuwangi tidak ­diterapkan. ­Ketidakketatan
pengurus cabang dan wilayah d ­ alam ­mengumpulkan iuran ­anggota
inilah yang membuat ­ mereka ­ tidak memiliki uang kas yang
­memadai untuk membiayai k ­ egiatan ­organisasi. Untuk ­mendanai
kegiatan, banyak pengurus ­mendonasikan uang pribadi mereka,
memanfaatkan sponsor dari lembaga bisnis, atau melakukan
pungutan secara sporadis saat diperlukan.
Dalam musyawarah nasional ke-3 di Bali juga ­ disepakati
­mekanisme bagi hasil tulisan dan nontulisan yang­­diakronimkan
dengan istilah balasan. Balasan adalah bagi ­hasil atas honorarium
atas tulisan atau nontulisan yang diterima anggota atau ­pengurus
dengan mengatasanamakan FLP. Honorarium tulisan berupa
­royalti atau penjualan naskah kepada penerbit atau media. ­Adapun
honorarium n
­ ­ontulisan meliputi honor juri, honor ­ pembicara
seminar, dan m ­ entor pelatihan yang mengatasnamakan FLP. ­Besar
­balasan ditetapkan 2,5 persen dari honorarium yang ­diterima dan
disetorkan kepada kas FLP yang diwakili (cabang/wilayah/pusat).
Pada tingkat cabang, kebijakan balasan relatif tidak ­berdampak
besar karena kecilnya uang yang dihasilkan oleh anggota di ­daerah.
Jumlah donasi yang lebih besar d ­ iberikan oleh anggota ­pengurus
pusat yang telah ­ produktif ­ menulis dan telah ­ memperoleh
penghasilan besar dari p
­ ­ enjualan karyanya. Ketika novel ­ Ayat-
Ayat Cinta laris di pasar, Habiburrahman El-Shirazy memperoleh
­honorarium ­besar dari penjualan buku dan ­penjualan cerita untuk
difilmkan. Habiburrahman memberikan donasi ­kepada organisasi.
Dengan nominal yang berbeda, hal semacam ini dilakukan oleh
Asma Nadia, Helvy Tiana Rosa, dan Afifah Afra.

84 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


Sumber pendapatan FLP lain bersumber dari sponsor
perusahaan mitra. Untuk menjalankan roda organisasi, ada
­
­sejumlah ­perusahaan yang bersedia memberikan ­sejumlah dana
­segar. Mekanisme sponsorship ini terutama ­ diberikan saat FLP
mengadakan kegiatan yang melibatkan massa ­
­ dalam jumlah
­banyak, seperti ­musyawarah nasional, ­festival sastra santun di
Makassar, dan pameran buku. ­ Namun ­ demikian, mekanisme
semacam ini bersifat sporadis hanya pada saat kegiatan tersebut
­diselenggarakan. Tidak ada ­perusahaan yang bersedia ­memberikan
sponsor secara ­berkelanjutan ­untuk biaya operasional ­organisasi.
Dalam pemilihan ­ sponsor pun, FLP melakukan seleksi hanya
menerima dari perusahaan tertentu dan menghindari perusahaan
produk tertentu, seperti rokok dan minuman keras.
Ketika FLP dan Mizan berkongsi mendirikan Lingkar Pena
Publishing House (LPPH) pada tahun 2004, FLP s­ebenarnya
berpotensi memperoleh pendapatan berkala dari keuntungan
­
bisnis penerbit tersebut. Dalam ­ perjanjian ­
antara FLP dengan
Mizan disebutkan bahwa FLP berhak atas 20 persen saham
­perusahaan dan Mizan ­memiliki 80 persen lainnya. Porsi itu ­bahkan
dapat berkembang ­menjadi 50: 50 jika LPPH ­berkembang dengan
baik. Pada satu sisi, LPPH berfungsi menjadi rumah ­penerbitan
yang ­bermanfaat ­untuk memublikasikan karya anggota, pada sisi
lain LPPH dapat menjadi sumber penghasilan yang menopang
­operasional dan pengembangan organisasi. ­Namun LPPH ­hanya
bertahan selama 5 tahun dan tutup pada 2012 ­
­ karena M ­ izan
­menilai perusahaan hasil ­kongsi tersebut tidak ­memiliki prospek
baik (Azwar, 2011). Penghentian kerja sama ini ­membuat FLP
­kehilangan salah satu sumber ­penghasilan.
Pengurus Pusat FLP sejatinya telah memiliki ­ divisi bisnis
yang didesain sebagai penghasil uang untuk menopang ­aktivitas
organisasi. Rancangan divisi bisnis baru ­
­ disepakati ­ dalam
Musyawarah Nasional (Munas) ke-3 di Bali pada ­ tahun 2008.
Dalam ­rancangan itu, FLP berencana ­mendirikan ­koperasi dan
perseroan ­terbatas yang modal awalnya ­diperoleh melalui iuran
anggota sebesar Rp100.000 (seratus ribu rupiah). Dari nominal

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 85


tersebut, separuh akan digunakan sebagai dana operasional yang
didistribuskkan ke tiga pos, yaitu cabang, wilayah, dan pusat, adapun
separuh ­lainnya ­diakumulasikan sebagai modal awal ­koperasi dan
­perseroan ­terbatas. Jika jumlah anggota yang melakukan registrasi
ulang bisa m­ encapai 5.000 orang, jumlah dana yang ­terkumpul
akan ­mencapai Rp500 juta. Separuh dari jumlah tersebut yakni
Rp250 juta direncanakan digunakan sebagai modal awal usaha.
Selain modal dari anggota, dalam musyawarah tersebut juga
disepakati bahwa koperasi dan perseroan terbatas yang akan
didirikan terbuka terhadap modal dari luar yang berasal dari
­
perseorangan maupun perusahaan yang memiliki visi dan misi
yang sesuai dengan FLP.
Dalam Munas tersebut para peserta juga ­ menyepakati
­penggunaan logo sebagai salah satu sumber dana bagi ­organisasi.
­Belajar dari masa lalu ketika ­organisasi ­memberikan kebebasan
kepada setiap anggota untuk ­menggunakan logo organisasi ­secara
bebas, dalam Munas ke-3 disepakati bahwa logo hanya dapat
­digunakan dalam karya yang telah ­lolos penilaian divisi kritik karya.
­Setiap naskah yang ­berhak mendapatkan logo m ­ endapatkan ­surat
keterangan dari ­ketua cabang/wilayah/pusat ­dengan ­rekomendasi
dari Divisi Kritik & Karya dan penulis ­membayar Rp30.000. Pada
saat yang sama juga disepakati, penggunaan logo untuk ­kepentingan
bisnis (misalnya untuk merchandise) yang dilakukan nonpengurus
FLP, dikenai biaya 1 persen dari omzet.
Dari penjelasan di atas, tampak bahwa seperti ­ lembaga
­ rganisasi kesenian lain FLP belum memiliki mekanisme ­pendanaan
o
yang cukup untuk kebutuhan o ­perasional dan p­engembangan
organisasi. Untuk menggerakkan roda ­
­ organisasi, anggota dan
pengurus lebih sering ­harus ­mengeluarkan uang ­pribadi. ­Realitas
ini sesuai dengan ­penjelasan Bourdieu bahwa para seniman ­adalah
“juragan yang miskin”. Dengan frasa ­
­ paradoksal ini Bourdieu
­menjelaskan bahwa telah menjadi kelaziman ­bahwa para ­seniman,
meskipun memiliki pengaruh yang luas dalam bidang kebudayaan
ternyata tidak memiliki kekayaan. ­Tidak ­banyak seniman yang
dapat mengkonversi kekayaan ­simbolik dalam arena kulturalnya

86 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


menjadi kekayaan finansial.
DI FLP, keterbatasan sumber daya finansial tidak ­menjadi
­ ersoalan mendasar karena kebutuhan untuk ­operasional ­organisasi
p
dapat dipenuhi oleh anggota dengan mekanisme ­donasi yang sporadis.
Anggota dan ­pengurus ­biasanya ­iuran uang untuk melaksanakan
kegiatan yang telah menjadi ­program kerja ­mereka. Hal demikian
tidak ­dikeluhkan oleh a­ nggota dan ­pengurus ­karena mereka y ­ akin
bahwa kegiatan yang ­mereka j­ alankan ­memberi ­imbal balik manfaat
kepada mereka. ­Dalam ­penyelenggaraan pelatihan, misalnya, uang
hasil iuran ­ anggota ­
bermanfaat ­ meningkatkan pengetahuan dan
­keterampilan ­mereka. ­Pengetahuan dan keterampilan merupakan
modal yang penting agar ­
­ mereka dapat berkiprah dalam dunia
­kepenulisan. Uang yang ­mereka keluarkan tergantikan dengan ­ruang
aktualisasi yang ­memang mereka perlukan.
Selain alasan praktis tersebut, anggota dan ­ pengurus FLP
meyakini bahwa uang yang mereka sumbangkan ­untuk ­keperluan
organisasi digunakan untuk kepentingan ­dakwah. Keyakinan ini
muncul karena pada dasarnya ­mereka ­yakin bahwa FLP ­merupakan
organisasi yang ­didirikan ­untuk memberikan ­pencerahan melalui
tulisan. Aktivitas ­organisasi dipersepsi sebagai aktivitas yang tidak
hanya berdimensi sosial, tetapi juga berdimensi spiritual. ­Dengan
demikian, membelanjakan uang untuk keperluan ­
­ organisasi
merupakan bagian dari usaha memperlancar kegiatan dakwah
­
demi kepentingan agama.

Produksi dan Akumulasi Modal Intelektual


Dalam arena sastra dan kebanyakan arena k ­ultural lain,
­intelektualitas adalah modal yang sangat penting. ­Modal ­intelektual
tidak hanya diperlukan seorang agen untuk ­ memenangkan
­kontestasi, melainkan jauh ­sebelum itu, ­menjadi prasyarat bagi
agen agar dapat masuk dan ­berkontestasi di arena kultural ­sebagai
pemain yang ­legitimate. Pada bidang sastra, modal intelektual
­dipersyaratkan agar agen bisa menulis. Agar bisa menulis, s­ eorang
agen ­memerlukan pengetahuan yang memadai tentang objek
yang akan ­ditulis, tentang bagaimana cara menulis, juga ­tentang

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 87


bagaimana relasi penulis dengan agen lain pada ­arena ­kultural
tersebut. Keputusan untuk memasuki arena ­kultural tanpa modal
­intelektual yang memadai ­berkonskuensi ­t­­­erhadap ­kegagalan agen
menghasilkan karya atau justru ­menghasilkan karya yang kurang
baik ­sehingga kehadirannya tidak diperhitungan oleh agen lain.
Dalam arena kultural, modal intelektual ­ menduduki ­ posisi
yang penting karena dapat dikonversi ke dalam ­modal bentuk lain.
Modal intelektual dapat ­dikonversi menjadi modal ­finansial ­dengan
cara ­ mengapitalisasinya. Seorang intelektual dapat ­ menjalani
berbagai profesi yang ­
­ memungkinkannya memperoleh imbal
balik finansial ­dalam jumlah besar, ­seperti guru, dosen, ­pembicara
publik, ­konsultan, dan profesi lain. Dengan modal ­ intelektual
yang memadai agen juga dapat menciptakan produk ­ tertentu
yang dapat dijual ­ sehingga mendapatkan keuntungan. ­ Bahkan
dengan ­intelektualitasnya, agen dapat ­membangun wacana yang
­memungkinkan orang lain bertindak bagi ­keuntungannya.
Modal intelektual juga dapat dikonversi menjadi ­modal sosial,
berupa jaringan perkawanan, kepercayaan, citra positif, prestise, dan
bahkan dapat digunakan ­untuk ­meningkatkan ­kelas sosial. Dengan
pengetahuan yang ­memadai, seorang ­penulis dapat terlibat diskusi
secara ­seimbang ­dengan agen lain yang ­telah dipersepsi memiliki
­keunggulan. Dengan demikian, agen ini dapat ­mengangkat dirinya
setara dengan mitra diskusinya. ­Kondisi itu dapat membuatnya
memperoleh keuntungan lain ­berupa ­kepercayaan dan citra baik
dari pihak lain.
Bourdieu (2010) menganalisis bahwa dalam ­produksi t­ erbatas
seperti produksi kultural benda seni, p
­ roses ­konsekrasi, kepercayaan
adalah syarat penting. ­ Seseorang ­ hanya dapat mengomentari
sesuatu dan ­ memperoleh ­ pengaruh atas ­ komentarnya jika ia
dapat meyakinkan orang lain terlebih ­dahulu bahwa dirinya cukup
capabel. S­ eseorang tidak dapat ­menjadi k ­ urator benda seni tanpa
pengetahuan yang cukup mengenai ­sejarah, w ­ acana, dan kritik
seni. N
­ amun, memiliki pengetahuan tentang ­ketiganya saja tidak
cukup. Untuk memperoleh p ­engaruh dari para ­ penikmat seni,
kurator perlu memperoleh k ­ epercayaan ­terlebih d ­ ahulu. Proses

88 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


pemerolehan kepercayaan adalah ­proses ­sosial yang melibatkan
lembaga dan tokoh yang ­legitimate ­sebagai agen, serta pengetahuan
sebagai objek.
Sebagai organisasi yang didesain inklusif, para ­pengurus FLP
telah mengetahui bahwa modal ­intelektual ­anggotanya t­idaklah
istimewa. Sebagian besar ­ anggota FLP memang ­ kelompok
masyarakat terdidik yang ­
­ tengah atau ­ telah ­ memperoleh
pendidikan tinggi dan aktif ­
­ dalam ­ lembaga dakwah kampus.
Beberapa tokoh sentral FLP s­eperti Helvy Tiana Rosa, Irfan
­
­Hidayatullah, dan Topik Mulyana adalah akademisi sastra yang
mengajar di ­perguruan tinggi ­ternama. Namun, sebagian ­besar
anggota di wilayah dan cabang ­bukanlah para pengkaji bidang
sastra atau seni, melainkan dari berbagai bidang keilmuan seperti
teknik, pendidikan, dan kesehatan. Adapun sebagian ­anggota FLP
lainnya ­tidak pernah menikmati pendidikan ­tinggi. M
­ ereka adalah
­lulusan sekolah menengah pertama dan atas. Dari ­aspek ­tempat
tinggal, hanya sedikit anggota FLP yang ­tumbuh dari lingkungan
intelektual seperti ­kampus, lembaga ­kesenian, atau industri buku
yang menggunakan ­pengetahuan sebagai alat bekerja.
Bahkan, dari aspek pekerjaan, anggota FLP juga ­berasal dari
berbagai latar belakang profesi yang tidak memiliki ­kedekatan
dengan intelektualitas. Sutono Adiwerna di T ­ egal, misalnya, adalah
alumni SMA N 3 Slawi yang ­sehari-hari bekerja sebagai loper ­koran.
Ketua FLP Wilayah Jawa ­Tengah Ali Marghosin adalah sarjana
teknik yang ­bekerja pada ­penjualan obat dan makanan herbal.
­Putri N
­ arita ­Pangestuti di Kendal adalah ­sarjana ­matematika yang
bekerja s­ ebagai ibu rumah tangga. ­Sekretaris ­Jenderal ­(Sekjen) FLP
Afifah Afra saat bergabung dengan FLP ­masih berstatus ­sebagai
mahasiswa Jurusan Biologi ­ Universitas ­ Diponegoro. A ­dapun
penulis Xie Xie Nie De Ai Mell ­Shaliha saat ­bergabung ­d­­engan FLP
adalah buruh migran di ­Hongkong yang bekerja ­sebagai pengasuh
anak. ­ Adapun penulis Catatan Hati ­ Seorang Istri Asma Nadia
adalah ­sarjana pertanian dari Fakultas Teknologi Pertanian Institut
­Pertanian Bogor (IPB).
Kondisi di atas menunjukkan bahwa sebagian ­besar ­anggota

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 89


FLP pada awalnya merupakan individu yang ­tidak memiliki ­modal
intelektual yang kompetitif pada bidang ­ sastra dan seni. Oleh
­karena itu, FLP merancang berbagai program pelatihan yang dapat
meningkatan ­ pengetahuan dan keterampilan ­ anggota tentang
­keislaman, ­kepenulisan, sastra, dan jurnalistik. Divisi K
­ aderisasi FLP
Pusat ­telah ­menerbitkan Modul Kaderisasi yang ­dijadikan sebagai
­pedoman bagi pengurus wilayah dan cabang ­untuk ­merancang
program rekrutmen dan pendidikan bagi ­anggota baru.
Pengetahuan tentang keislaman merupakan ­ pengetahuan
paling mendasar yang diberikan pengurus FLP bagi a­nggota
­
baru. Dalam pelatihan, pengetahuan keislaman yang ­ diberikan
adalah hal-hal mendasar ­seperti ­ketauhidan, ­mengenal rasul, dan
­mengenal Al-Quran. Pada tahap ­berikutnya, pengetahuan tentang
keislaman ­berkembang pada topik strategi dakwah, s­yumuliyatul
­Islam, ukhuwah I­ slamiyah, ikhlas beramal, dan ­kemudian ­pengantar
ghazwul fikri (perang pemikiran). Saat ­ anggota mula ­ menaiki
­jenjang lebih ­tinggi menjadi anggota madya, ­pengetahuan ­tentang
keislaman yang diberikan melalui diskusi pun ­semakin ­variatif
dan ­mendalam, seperti tentang fiqih ­dakwah, ­pengaruh ­Al-Qur’an
­dalam ­perkembangan sastra, kisah para nabi, seni ­dalam Islam, para
penyair di zaman Rasulullah, bahaya ujub, amal jama’i, ­pembentukan
umat, fiqih ­prioritas, produk ghazwul fikri ­kontemporer, ­kreativitas
dalam Islam, kondisi umat Islam ­ kontemporer, produk budaya
Islam kontemporer, retorika Islam, sastra Islam di Indonesia, dan
Islam dan sekulerisme.
Bagi pengurus FLP, pengetahuan keislaman adalah hal yang
sangat mendasar karena berkaitan dengan ­ ideologi organisasi­
­untuk menjadi organisasi yang memberikan pencerahan (dakwah)
melalui tulisan. Oleh karena itu, dalam proses pendidikan ­anggota
baru, materi tentang keislaman mendapat porsi yang sangat ­besar.
Proses pendidikan ini bahkan menyerupai proses ­ indoktrinasi
keyakinan karena menggunakan argumentasi naqliyah ­berupa ayat-
ayat dalam Al-Quran dan hadis. Dalam materi tentang ­mengenal
Allah misalnya, dipilih sejumlah ayat dalam Al-Quran sebagai
­basis argumentasi, seperti Muhamad (47) ayat 19, surat Ali Imran

90 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


(3) ayat 18, surat Al-Hajj (22) ayat 72-73, Az-Zumar (39) ayat 67,
A-Rad (13) ayat 16, Al-Anam (6) ayat 12). Adapun ­materi tentang
mengenal Rasul, dalil naqli yang digunakan adalah surat Al-Maidah
(5) ayat 67, Al-Ahzab (33) ayat 21 dan 39, serta Al-Mu’min (60)
ayat 4.
Materi tentang keislaman lain yang diberikan pada ­proses
ini adalah materi tentang dakwah. Materi ini d ­ikembangkan
­untuk membuat anggota menyadari bahwa dakwah ­merupakan
­kewajiban setiap Muslim yang penuh berkah. Melalui materi ini
pula ­ pengurus memberikan dorongan agar anggota menguasai
pengetahuan tentang ­dakwah sekaligus merealisasikannya dalam
kehidupan. Dalil naqli yang digunakan adalah surat Ali Imron
(3) ayat 104, An-Naziat (79) ayat 27 dan 28, surat Saba (34) ayat
28, serta surat Al-Anbiya (21) ayat 107. Dalil-dalil inilah yang
­berkontribusi besar membentuk sikap militan anggota FLP ­dalam
menulis, mengorganisasi anggota, dan melaksanakan ­ program
kerja organisasi. Penggunaan dalil naqli dari ­hukum tertinggi umat
Islam membuat perintah berdakwah sebagai anjuran yang memiliki
kekuatan hukum sangat kuat.
Dalam surat Ali Imran (3) ayat 104 misalnya ­ Allah SWT
­ erfirman “Dan hendaklah ada di antara kamu ­segolongan umat
b
yang menyeru kepada yang makruf, dan mencegah dari yang
munkar. Merekalah orang-orang yang ­beruntung.” ­Dalam tafsir Al-
Maraghi, ayat ini dijelaskan ­lebih ­lanjut ­bahwa (1) ada ­perintah
bekerja untuk ­berdakwah amal ma’ruf dan nahi munkar; (2) orang
yang diajak bicara ­dalam ayat ini ialah kaum mukminin; (3) yang
melaksanakan d ­ akwah h­ anyalah kalangan khusus dari umat ­Islam
yaitu yang ­ mengetahui rahasia-rahasia hukum, hikmah tasyri’
dan ­fiqihnya: dan (4) yang dimaksud dengan “orang-orang yang
­berbahagia” adalah mereka yang melaksanakan ajaran ayat ini
dengan memdapatkan kebahagiaan mencakup dunia dan akhirat.
Pengetahuan lain yang diajarkan kepada ­anggota baru ­adalah
mengenai kepenulisan. Materi untuk ­pelatihan kepenulisan dasar
ini lebih pada segala sesuatu yang ­berhubungan dengan ­dasar-dasar
kepenulisan. Pelatihan Kepenulisan Dasar ini dapat juga ­digunakan

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 91


sebagai ­sarana need assessment kebutuhan anggota dan u ­ ntuk
mengukur ­kemampuan awal yang telah dimiliki ­anggota pada saat
­masuk FLP sehingga dapat menjadi informasi dan ­referensi materi
apa yang sesuai untuk diberikan dalam mengisi ­forum kepenulisan
dan keislaman. Salah satu materi yang dibahas pada pelatihan
kepenulisan dasar adalah mengenai ­mengelola ide.
Setelah mengikuti Pelatihan Kepenulisan Dasar, ­anggota baru
diarahkan mengikuti Forum Kepenulisan yang ­merupakan kelas
rutin. Dalam modul yang d ­ ikembangkan oleh Divisi ­Kaderisasi FLP
Pusat, materi kepenulisan yang diberikan ­kepada anggota baru
dapat dikelompokkan ­menjadi dua, yakni penulisan karya fiksi dan
karya nonfiksi. Materi penulisan karya fiksi ­meliputi pengenalan
karya fiksi (anatomi tulisan), alur, ­penokohan, setting, sudut
­pandang, penulisan cerita anak dan dongeng, penulisan ­cerita horor
dan thriler, penulisan cerita komedi atau humor, p ­ enulisan science
fiction, penulisan cerita fantasi, penulisan cerita rakyat, penulisan
puisi, dan kritik sastra. Materi penulisan ­fiksi ­lazimnya dilengkapi
dengan kunjungan ke penerbit dan penulis.
Sementara itu, materi yang diberikan pada kelas penulisan
nonfiksi adalah quantum reading, penulisan ­resensi buku, penulisan
esai, penulisan opini untuk surat kabar, j­urnalistik dasar, m
­ edia
framing, penulisan berita, praktik ­reportase, penulisan feature,
penyuntingan, ejaan, penulisan karya ilmiah, dan penulisan jurnal
ilmiah.
Selain melalui pelatihan, produksi dan akumulasi modal
intelektual dalam ­internal FLP juga dilakukan dengan merekrut
atau menawari bergabung ­ tokoh-tokoh yang dinilai memiliki
kapasitas ­intelektual baik untuk menjadi dewan pembina, dewan
penulis, atau dewan ­pertimbangan organisasi. Kehadiran mereka
dalam organisasi ­diharapkan pengurus bisa menjadi ­mentor yang
menularkan pengetahuan dan ­pengalamannya ­kepada pengurus
atau anggota. ­ Beberapa tokoh sastra yang bergabung dengan
FLP antara lain Taufik ­Ismail, ­Ahmadun Yosi Herfanda, dan Joni
Ariadinata. Adapun ­akademisi ­sastra yang pernah menjadi anggota
dewan penasihat ­ adalah p ­rofesor ­
sastra Universitas Negeri

92 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


Yogyakarta (UNY) ­Suminto A Sayuti dan dosen mata kuliah filologi
Universitas ­
Padjajaran ­(Unpad) Irfan Hidayatullah. Cerpenis
Mashdar Zainal juga menjadi pengurus FLP Pusat pada divisi karya.
Mekanisme pencekokan di atas ­ dilengkapi ­dengan ­tradisi
berbagi pengetahuan dalam internal FLP. ­Secara ­berkala FLP ­Pusat,
Wilayah, dan Cabang ­menyelanggarakan pelatihan atau seminar
dengan ­menghadirkan ­tokoh-tokoh senior FLP sebagai narasumber.
Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia yang d ­ ikenal memiliki rekam
jejak panjang berkarya, misalnya, ­kerap ­diundang oleh pengurus
wilayah dan cabang untuk mengisi ­ pelatihan dan seminar
­penulisan. Pada tingkat yang lebih kecil, ­pengurus wilayah, cabang,
dan ranting berinisiatif ­ menyelenggarakan ­ pelatihan ­dengan
narasumber ­ penulis atau akademisi di daerah ­ bersangkutan.
­Adapun secara ­internal, pengurus menggelar sharing ­knowledge
­antaranggota. Jenis pelatihan yang ­terakhir ini ­biasanya dilakukan
dalam ­kelompok-kelompok kecil ­dengan ­mengadaptasi konsep liqo
yang dikembangan gerakan ­tarbiyah.

Produksi dan Akumulasi Modal Simbolik


Setiap memulai pertemuan, anggota FLP secara ­ konsisten
membaca surat Al-Fatihah. Dari sudut pandang keagamaan, ­tradisi
ini dapat ­dipahami sebagai implementasi atas keyakinan ­anggota
yang ­ hampir keseluruhannya beragama Islam. Dalam agama
Islam, ­Al-Fatihah disebut sebagai umul quran (ibunya Al-Quran)
yang ­dianjurkan d ­ ibaca setiap mengawali sesuatu. Namun dari
perspektif kultural, tradisi membaca ­
­ Al-Fatihah sebelum acara
dimulai m ­ erupakan proses produksi modal simbolik. Tradisi ini
dibangun untuk ­membangun ­identitas bahwa organisasi ­tersebut
merupakan organisasi Islam. Pembacaan surat Al-Fatihah ­bukan
hanya tindakan yang ­ berdimensi spiritual sebagai sarana doa
­kepada Tuhan, ­dalam ­perspektif produksi kultural, ada pesan yang
ingin disampaikan anggota FLP dengan membaca Al-Fatihah.
Pesan di balik pembacaan Al-Fatihah dapat ­bersifat ­internal
sekaligus eksternal. Secara internal, pembacaan ­ Al-Fatihah
­digunakan oleh anggota FLP untuk ­meyakinan diri dan ­sesama

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 93


anggota bahwa organisasi mereka ­adalah organisasi b ­ erlandaskan
Islam. Pesan ini bermanfaat agar anggota semakin yakin ­terhadap
nilai-nilai ­
organisasi yang sebagian diambil dari ­ ajaran Islam.
­Adapun secara ­eksternal, pembacaan Al-Fatihah a­ dalah cara anggota
FLP ­membangun identitas kepada orang lain. ­Dengan ­melakukan
itu secara berulang dan bahkan rutin, ­mereka ­menginginkan orang
lain mengidentifikasi mereka sebagai ­organisasi yang islami.
Dalam lingkungan FLP, serangkaian simbol ­ diproduksi
s­ ehingga membentuk semesta simbol yang ­terakumulasi ­menjadi
modal simbolik. Bagi individu dan organisasi ­ modal ­ simbolik
bermanfaat besar karena k
­ ­erap ­menentukan cara orang lain
mengintepretasikan diri ­ mereka. ­Sebagaimana simbol dalam
pengertian luas, simbol yang ­diproduksi FLP merupakan sarana
­penyampai pesan yang dapat ­digunakan untuk mengintepretasikan
sesuatu. Jenis simbol yang ­ diproduksi menentukan b ­agaimana
orang lain akan ­mengintepretasikan FLP, baik jati diri organisasi,
visi, sifat, maupun lainnya.
Sebagai praktik, proses produksi modal simbolik dapat
­ erlangsung dengan rencana namun dapat berlangsung ­
b secara
­spontan. Simbol satu berangkai dengan simbol lain ­membentuk
kerumitan dalam semesta simbol. Simbol yang satu dapat
­menguatkan simbol lain namun sebaliknya dapat menegasikan
simbol lain. Akumulasi ­simbol-simbol ini ­berlangsung secara t­ erus
menerus.
Pada tingkat paling kecil, produksi simbol ­ dilakukan oleh
­ asing-masing individu anggota FLP. Mereka ­menampilan ­simbol
m
audio dalam bentuk ujaran, salam, ­ slogan, dan ­ pembicaraan.
­Secara visual mereka ­memproduksi simbol melalui gerakan tubuh
(gesture), gaya berbusana, ­pilihan ­aksesoris, dan lain sebagainya.
Baik simbol audio maupun visual dapat dikombinasikan untuk
membangun citraan ­tertentu yang diinginkan.
Secara audio, produksi simbol yang paling banyak dilakukan
anggota FLP adalah melalui salam dan pilihan kata yang khas.
Salam khas umat Islam merupakan salam yang selalu digunakan
dalam pertemuan FLP, baik pada saat liqo, pelatihan, ­seminar,

94 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


hingga musyawarah. Mereka juga menggunakan kata-kata khas
sebagaimana digunakan oleh komunitas tarbiyah di ­ Indonesia.
Untuk menyebut diri dan lawan bicara, misalnya, mereka
­menggantikan pronomina saya dan kamu dengan ana dan antum.
Panggilan akhi dan ukhti juga digunakan oleh anggota-anggota
tertentu sebagai panggilan untuk saudara laki-laki dan saudara
perempuan. Istilah-istlah berbahasa Arab juga banyak digunakan
dalam komunikasi antaranggota seperti Islam kaffah, syumuliyatul
­Islam, haraqah, ghizul fikr, dan dakwah bil qalam.
Secara visual, simbol diproduksi anggota FLP melalui busana.
Pada titik ini, preferensi busana merupakan ­representasi ideologis
dan teologis yang berisi serangkaian pesan untuk diintepretasikan.
Misalnya, sebagian besar a­ nggota FLP perempuan menggunakan
jilbab berukuran besar yang menutup hingga ke bagian ­punggung.
Tindakan ini menggambarkan ikhtiar mereka untuk melaksanakan
­ajaran Islam (syariah) dengan sungguh-sungguh.
Di tingkat organisasi, produksi simbol antara lain ­dilakukan
melalui penggunaan logo. Dalam Anggaran Dasar (AD) d ­ isebutkan
logo FLP terdiri dari elemen dasar tiga huruf ­kapital, yakni F L P dan
di bawah huruf F dan L, t­ ertulis kepanjangan FLP (Forum Lingkar
Pena). Huruf F berwarna biru. Huruf L ­berwarna putih berbentuk
buku yang ­terbuka dengan bulatan merah di atas kanan, dan dapat
juga dilihat seperti mata pena. Huruf P ­berwarna biru ­dengan
posisi kaki lebih panjang ­daripada huruf F dan L, dengan lekukan
yang menjorok ke arah bulatan merah huruf L sehingga bentuknya
bisa dilihat seperti orang ­sedang ruku’ atau orang membaca buku.
Huruf “F” dimaknai sebagai lambang ­keterbukaan bagi ­siapa
pun untuk bergabung dalam aktivitas ­membaca dan m­ enulis. Huruf
“L” berupa buku terbuka dengan ­bulatan merah di ­atasnya dan
menyerupai orang yang ­sedang ­membaca, ­melambangkan aktivitas
membaca yang tak ­pernah henti. Huruf “L” juga ­melambangkan
mata pena, yakni aktivitas menulis. Adapun huruf “P”, ­bersama
dengan huruf ”L” menyerupai orang yang ­
­ sedang ­menjenguk
buku, melambangkan orang yang tak henti ­membaca ­sambil ­terus
menegakkan penanya. Huruf “L” ini berarti aktivitas membaca dan

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 95


menulis tak pernah ­ terpisahkan sekaligus ­
melambangkan juga
orang yang sedang ruku’ yang ­bermakna ­selalu mengagungkan
Allah dalam setiap guratan penanya.
Produksi simbol tidak berhenti pada a­ nggota dan o­ rganisasi,
melainkan juga berlanjut pada karya sastra yang ditulis oleh
­anggota. Produksi simbol islami dalam karya dilakukan dengan
­memilih terma atau istilah islami sebagai judul atau bagian judul
serta menggunakan gambar sampul yang berelasi dengan ­konsep
Islam tertentu. ­
Novel-novel ­bestseller Habiburahman El-Shirazy
­ enggunakan kata ayat (pada Auat-Ayat Cinta), ­sajadah
misalnya m
(pada Sajadah ­ Cinta), dan mihrab (pada Mihrab Cinta). Buku-
buku ­Izatul Jannah misalnya menggunakan kata hidayah (Berjuta
­Hidayah), ­syahadah (pada Festival Syahadah), sajadah (Gadis di
Ujung ­Sajadah), illahi (Remaja Funky Cinta Illahi), Al-Quran (10
Saudara Bintang Al-Quran), dan malaikat (Padang Seribu ­Malaikat).
Sampul buku anggota FLP lazimnya juga ­menggunakan foto,
ilsutrasi, dan grafis yang bereferensi pada ­konsep-konsep dalam
Islam, baik disampaikan secara ­
­ profan maupun ­ prismatis. Jika
menggunakan gambar ­sosok ­manusia, ­manusia itu ­menggunakan
busana yang syari. Pada ­beberapa buku, pakaian yang syari saja
tampaknya tidak ­ cukup s­ehingga harus ditambahkan s­imbol
yang ­bereferensi pada keyakinan tertentu seperti jenggot pada
­laki-laki, ­jilbab besar untuk sosok perempuan, juga orang ­sedang
­melaksanakan aktivitas beribadah bahkan l­ aki-laki yang ­melakukan
intifada. Jika menggunakan lambang, ­ gambar yang ­ digunakan
­dalam sampul adalah benda yang ­spesifik merujuk pada ­aktivitas
keagamaan dalam Islam seperti s­ ajadah, tasbih, pecis, dan ­mukena.
Namun demikian, tidak seluruh buku ­ menggunakan ­ lambang-
lambang yang spesifik tersebut, melainkan ­menggunakan gambar
dengan makna yang lebih universal seperti bintang dan bunga.

Produksi dan Akumulasi Modal Sosial
Sebagai organisasi, Forum Lingkar Pena (FLP) adalah agen
yang menempati ruang dan posisi sosial tertentu. FLP ­menjadi
penghuni ruang sosial sastra dan seni pada ruang yang ­sempit

96 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


s­ekaligus menghuni ruang sosial politik dan ekonomi di ­ruang
yang lebih luas. Organisasi ini ­ berelasi dengan agen ­ berupa
­organisasi maupun individu lain. ­Dalam ruang sosial itulah ­pola-
pola ­hubungan FLP dengan agen lain tercipta secara unik, baik yang
bersifat mutualistik maupun konfrontatif.
Sejumlah ahli sosiologi modern menganggap ­bahwa m ­ odal
sosial adalah elemen penting yang menentukan ­ sebuah agen
­memproduksi sebuah nilai sosial. Hubungan agen dengan agen
lainnya menentukan kekuatan ­ sosial yang dapat ­ dihimpun
­sekaligus menentukan kekuatan ­sosial agen bersangkutan. ­Modal
sosial menunjuk pada semua ­ kekuatan sosial komunitas yang
­dikontruksikan oleh ­individu atau kelompok dengan ­mengacu pada
struktur sosial yang menurut penilaian mereka dapat ­mencapai
tujuan ­individual dan/atau kelompok secara efisien dan efektif
dengan ­modal-modal lainnya.
Hubungan sosial agen merupakan hasil interaksi ­sosial ­dalam
waktu yang relatif lama sehingga menghasilkan ­jaringan, pola ­kerja
sama, pertukaran sosial, kepercayaan, termasuk nilai dan norma
yang mendasari hubungan ­ sosial tersebut. ­
Dengan ­ demikian,
hubungan sosial FLP dapat ditelusuri secara ­ideologis, ­kelembagaan,
dan secara p ­ ersonal. Secara ideologis, hubungan FLP dengan agen
­sosial lain dapat dipetakan dengan ­mengklasifikasi agen ­sosial lain
yang satu aliran maupun yang ­berseberangan. S­ ecara ­kelembagaan,
hubungan FLP dapat dilihat dalam ­bentuk kerja sama yang dijalin
baik secara formal maupun n ­ onformal. ­Adapun secara personal,
hubungan FLP dengan agen lain tampak pada inidvidu-individu
yang ada di dalamnya.
FLP memperoleh banyak keuntungan berkat brand yang
dilekatkan dirinya sendiri sebagai organisasi yang ­memiliki visi
memberi pencerahan kepada masyarakat melalui ­tulisan. Berkat
brand itu, sebagian anggota masyarakat percaya ­bahwa ­organisasi
memiliki niat mulia dan tampak berbeda dengan organisasi lain
yang telah ada, meskipun sebagian ­anggota masyarakat ­lainnya
justru meragukannya. Citra sebagai organisasi kepenulisan
yang berorientasi dakwah ­membuat FLP dan anggotanya dapat

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 97


melakukan klaim ­bahwa ­serangkaian praktik yang dilakukannya
dilakukan ­bebas kepentingan politik dan ekonomi. Berkat citra itu
pula FLP dapat merekrut anggota dari kantong-kantong ­remaja
­Muslim di sekolah dan kampus-kampus tanpa resistensi ­berarti
dari pengelola sekolah maupun perguruan tinggi.
Citraan sebagai organisasi dakwah dapat ­ dipandang s­ebagai
kelaziman alamiah sebab para pendirinya ­ merupakan individu
yang memiliki rekam jejak pada bidang ­tersebut. N ­ amun dari aspek
produksi kultural, ­citra tersebut ­merupakan hasil yang dikonstruksi
agen untuk ­memproduksi kepercayaan dari m ­ asyarakat. Sebagai hasil
konstruksi, citra tersebut tidaklah alamiah, ­melainkan ­hasil kreativitas
yang didesain untuk ­ kepentingan ­ tertentu. Melalui citra itu FLP
membangun identitasnya di ­hadapan publik sastra, ­menempatkan
sebagai oposan bagi ­ organisasi yang tidak ­ seideologi, sekaligus
menempatkan diri sebagai mitra ­ potensial bagi agen lain yang
seideologi. Bahkan pada tingkat paling ­mendasar, deklarasi sebagai
organisasi yang berorientasi dakwah merupakan strategi komunikasi
agar organisasi ini dapat diingat dan dikenali oleh masyarakat.
Seluruh anggota FLP yang menjadi responden ­ penelitian
ini mengaku percaya bahwa FLP yang ­didirikan dan ­kemudian
diketuai oleh Helvy Tiana Rosa adalah ­ organisasi k
­epenulisan
yang berorientasi pada ­kepentingan dakwah. Berkat ­kepercayaan
itu, mereka menyatakan ­minat bergabung ­dengan ­mengirimkan
­formulir ­pendaftaran, ­mengorganisasi diri mendirikan FLP cabang
dan wilayah, bahkan ­mengeluarkan sejumlah uang pribadi untuk
keperluan tersebut. Visi dan misi organisasi yang ­
­ diketahui
anggota menjadi magnet yang menarik perhatian calon a­ nggota
­untuk bergabung. Hal itu dapat diamati pada ­pengakuan Ketua FLP
Sulawesi Selatan Taufik berikut ini:

“ Saya mengenali FLP sebagai wadah berbagi ilmu;


­keorganisasian, kepenulisan dan keislaman. Sikap ­berbahasa
­dengan santun menjadi ciri khas dari tulisan setiap a
­ nggota.
Semangat belajar tinggi juga keinginan kuat untuk saling
­

98 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


­ erbagi ilmu. ... sampai hari ini FLP secara menyeluruh ­masih
b
tetap ­memegang prinsip dakwah bil qalam.
Selain kesan terhadap visi dan misi organisasi, b
­ anyak ­anggota
yang bergabung dengan FLP karena percaya ­bahwa pendiri dan
ketua FLP Helvy Tiana Rosa memang ­mendirikan organisasi ini
untuk kepentingan dakwah. ­ Mereka tidak menaruh prasangka
bahwa para pendiri dan elit organisasi ini mendesain FLP sebagai
alat untuk meraih keuntungan sosial dan finansial. Kepercayaan
ini m
­ uncul karena calon anggota menilai rekam jejak pendiri dan
­pengurus FLP s­ esuai dengan visi organisasi.
Anggota FLP Cabang Malang Fauziah Rahmawati ­menuturkan,
sebelum bergabung dengan FLP dia mengenal Helvy Tiana Rosa
dan menilainya sebagai pribadi yang baik dan dapat dipercaya.
Oleh karena itu, ketika ditanya ­apakah ia yakin bahwa Helvy dan
para pendiri FLP mendirikan ­organisasi tersebut untuk keperluan
dakwah, ia memberikan jawaban sebagai berikut:

“ Percaya, karena selama mengenal Mbak Helvy saya m ­ elihat


jiwa sosialnya begitu tinggi. Mbak Helvy bagi saya adalah
­pribadi yang smart, penuh semangat, ­terencana, p
­ erfeksionis,
pantang ­ menyerah, visioner, dan mudah ­ bergaul dengan
berbagai ­kalangan. Karya sastra Mbak Helvy puitis, romantis,
agamis, dan menyentuh hati. M­ embuat ­pembaca tersentuh dan
tak merasa kalau cerpen beliau memberi amanah kebaikan
(menyuruh dalam kebaikan).

Jawaban senada diperoleh dari Sekretaris FLP Wilayah Bali,


Fatkur Rokhman sebagai berikut.

“ Karya-karyanya fenomenal, penuh dengan pesan ­moral,


dan sangat inspiratif. Dia sosok yang gigih, ­semangat, k­ onsisten,
­idealis, penih inspirasi dan rendah hati. Pada ­kenyataannya
karya awal beliau seperti Ketika Mas Gagah Pergi sudah
bernafaskan ­dakwah, yakni mengajak kepada kebaikan.

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 99


Modal sosial berupa kepercayaan yang diraih FLP dan Helvy
Tiana Rosa dari calon anggotanya dapat ­dikonversi ke dalam ­bentuk
modal sosial lain, yaitu jaringan ­keanggotaan. Pada ­tahun pertama
organisasi ini berdiri, sebenyak 3.000 orang menyatakan minat
bergabung dan mengirimkan a­plikasi sebagai ­ anggota. ­Jumlah
keanggotaan yang ­besar dan jaringan yang luas ini ­dikelola oleh
pengurus u ­ ntuk ­semakin membesarkan FLP. Anggota yang besar
dan ­tersebar di berbagai wilayah ini merupakan alat ­promosi masif
dan g­ ratis untuk mempromosikan FLP kepada ­lebih banyak orang.
Keuntungan ini semakin bertambah ­karena a­ nggota-anggota FLP
aktif menggunakan media online b ­ erbasis web, blog, dan jejaring
sosial untuk mewartakan diri dan ­organisasi mereka.
Pada perkembangan selanjutnya, modal sosial berupa ­jumlah
anggota memberi banyak keuntungan kepada FLP karena ­membuat
bergining position-nya terhadap ­ organisasi lain semakin tinggi.
Salah satu bentuk keuntungan itu ­adalah perhatian besar dari pers
yang diwujudkan ­dalam bentuk ­liputan dan ulasan yang semakin
meningkatkan ­popularitas FLP. Perhatian terhadap FLP tidak hanya
­diberikan oleh surat kabar yang memiliki kesamaan visi seperti
Republika, tetapi juga lembaga pers yang lebih ­independen seperti
­Tempo dan Kompas. Berkat eksistensi FLP di daerah, FLP juga
­memperoleh perhatian dari media kecil di ­daerah s­ eperti Analisa
(Medan), Suara Merdeka (Jawa Tengah), Joglosemar dan Solo Pos
(Solo), Tribun Aceh (Aceh), dan media-media lokal lain.
Republika berkomentar bahwa Helvy Tiana Rosa, Asma ­Nadia
dan para kerabat Forum Lingkar Pena membawa fenomena baru
dalam penulisan sastra dakwah ­ kontemporer di ­ Indonesia. “...
karya-karya Forum Lingkar Pena juga mendapat perhatian dan
penghargaan dari para peminat ­sastra.” Adapun Koran ­Tempo yang
­sebenarnya ­memiliki ­afiliasi kultural dengan ­Komunitas Utan Kayu
(KUK) yang dalam sejumah hal ­berbeda ­pandangan ­dengan FLP
­memberikan julukan kepada FLP sebagai pabrik penulis ­cerita.
Bersama Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Forum ­Lingkar Pena
disebut telah mematahkan ­ paradigma lama yang menyatakan
anak muda tidak bisa membuat ­sebuah ­terobosan dalam bidang

100 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


­kebudayaan (Tempo, 12 D ­esember 2008). Adapun ­ majalah
sastra Horison memberikan ­
semacam endorsement bahwa FLP
telah menyumbangkan banyak ­penulis baru bagi ­kesusasteraan
­Indonesia.
Jumlah anggota FLP yang besar dan ­ produktivitas ­ mereka
menghasilkan karya juga membuat ­ akademisi ­ tertarik untuk
mengulas keberadaan organisasi ini. ­Tidak ­hanya ­akademisi dari
­Indonesia, FLP juga menarik ­perhatian ­akademisi dari b ­ erbagai
negara seperti Jerman dan A ­ustralia. Peneliti dari Hamburg
University Jerman ­
­ Monika Arnez ­ misalnya m­ enerbitkan artikel
­Between ­Propagation And ­Mediation: ­Negotiating Islamic Norms In
­Forum Lingkar Pena. ­Adapun ­Eagling Caroline Melita dari University
of ­Tasmania ­Australia menulis tesis berjudul Socio-Political ­Issues
in W
­ omen’s Fiction of the Reformasi. Hal ini membuktikan b ­ ahwa
FLP mendapat perhatian dari masyarakat ­ internasional yang
­membuatnya semakin dikenal.
Berbagai modal sosial di atas dikelola oleh p­ engurus ­untuk
meraih keuntungan sosial, seperti jaringan kerja sama. Salah satu
tawaran kerja sama datang dari Penerbit Mizan yang mengajak FLP
untuk mendirikan LPPH. Di bidang politik, FLP memiliki hubungan
yang dekat ­dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Kedekatan ini
dapat ­ditelusuri dengan adanya anggota FLP yang menjadi kader
PKS.

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 101


102 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan
8

Jaringan, Kerja Sama,


dan Anggota

P
ADA bab ini akan diuraikan tiga hal, yaitu jaringan, ­kerja
sama, dan anggota FLP. Ketiga hal tersebut penulis uraikan
untuk menjelaskan modal sosial yang dimiliki oleh FLP
­dalam ­mengembangkan organisasinya. Modal sosial merupakan
salah satu aset terbesar FLP yang membuat ­organisasi tersebut
dapat berkembang. Untuk memperoleh pemahaman yang lebih
komprehensif, penjelasan ­
­ tentang jaringan FLP diperluas pada
jaringan ideologis, bisnis, j­aringan wilayah, dan keanggotaan.
­
Adapun kerja sama yang difokuskan pada bentuk dan jenis kerja
sama.

Jaringan Ideologis FLP


Saat didirikan pada 22 Februari 1997 Forum ­Lingkar Pena (FLP)
hanya memiliki sekitar 30 anggota yang ­merupakan ­penggagas
dan peserta diskusi di masjid ­ Ukhuwah I­slamiyah ­ Universitas
Indonesia (UI). Para pendirinya ­merupakan ­mahasiswa, aktivis
lembaga dakwah ­kampus (LDK) dan dosen yang merasa memiliki
­keprikhatinan ­tentang ­kondisi ­kesusasteraan di Tanah Air. ­Mereka
kemudian bergerak mendirikan komunitas yang tidak ­
­ terikat
­dengan organisasi mana pun yang telah ada. Dari situ tampak
bahwa secara struktural FLP merupakan komunitas yang mandiri

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 103


dan i­ndependen karena tidak menjadi s­ubordinasi ­ organisasi
atau komunitas lain. Namun demikian, secara ideologis FLP dapat
­dibaca sebagai bagian dari jaringan gerakan ­tarbiyah yang sedang
melakukan ekspansi ke Indonesia dan ­negara-negara lain.
Kenyataan bahwa FLP merupakan bagian dari j­aringan
g­ erakan tarbiyah diakui oleh Sekretaris Jenderal ­Forum Lingkar
Pena (FLP) Afifah Afra. Dalam wawancara dengan penulis, ­Afifah
Afra mengatakan bahwa FLP adalah ekses dari gerakan Islam
tarbiyah di kampus, meskipun ­tidak ada hierarki dengan gerakan
tarbiyah. Gerakan ­tarbiyah tidak hanya berbentuk gerakan politik
dan keagamaan ­tetapi juga berbentuk gerakan seni, seperti nasyid
dan sastra ­sesuai ­minat masing-masing orang. Dengan demikian,
dapat ­dikatakan bahwa FLP merupakan turunan gerakan tarbiyah
pada bidang sastra.
Premis utama yang menjadi keyakinan gerakan ­tarbiyah ­adalah
syumuliyatul Islam atau keyakinan bahwa Islam ­adalah ­agama yang
lengkap dan sempurna. Rahmat (2008) ­mengungkapkan bahwa
syumuliyatul Islam berarti Islam ­tidak ­hanya mengatur agama yang
ritual peribadatan dan urusan-urusan privat semata, ­melainkan
juga mengatur urusan publik umat Islam seperti politik, ­sosial, seni,
dan bidang lain. Oleh karena itu, untuk menjadi umat ­Islam yang
menjalankan Islam secara menyeluruh, ajaran-ajaran ­Islam dalam
berbagai bidang kehidupan itu harus dilaksanakan. ­Al-Quran dan
Hadis sebagai landasan hukum tertinggi h ­ arus dilaksanakan dalam
berbagai aktivitas kehidupan.
Dalam internal gerakan tarbiyah diyakini bahwa ­kesempurnaan
Islam mencakup empat dimensi, ­yakni ­dimensi waktu, geografis,
demografis, dan bidang ­kehidupan. Dari dimensi waktu, Islam
­tidak hanya berlaku pada masa kehidupan Rasulullah Muhammad
SAW saja, melainkan hingga akhir masa. Keyakinan demikian
didasari dalil ­naqli dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat (144)
yang berarti “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul,
­sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa rasul. Apakah jika dia
­wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang, maka ia ­tidak dapat
mendatangkan mudharat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan

104 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”
Dari aspek demografi, Islam diturunkan di dunia tidak ­hanya
bagi satu golongan atau ras, melainkan seluruh umat manusia. Hal
ini berarti, Islam dapat menjadi panduan hidup yang ­universal bagi
seluruh umat manusia dari latar belakang kesukuan mana pun.
Keyakinan demikian diturunkan atas dalil naqli Al-Quran ­surat Saba
ayat (28) yang artinya “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan
kepada seluruh umat manusia seluruhnya ­sebagai ­pembawa berita
gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.”
Dari aspek geografis diyakini bahwa kesempurnaan ­Islam
jug tampak pada jangkauannya digunakan di b ­erbagai tempat
di seluruh dunia. Meskipun diturunkan di ­jazirah Arab melalui
­seorang pria Arab Quraish, Islam ­tidak dapat diidentikkan dengan
kawasan Arab (Arabisme). I­ slam ­tidak mengenal ­sekat-sekat tanah
air, sama seperti ia tidak ­mengenal batasan-batasan etnis. ­Dengan
demikian ­diyakini ­bahwa nilai-nilai Islam dapat ­diterapkan di mana
pun l­ okasinya. Keyakinan demikian lazimnya diinterpretasi dari Al-
Quran surat At-Takwir ayat 27-28 yang berarti ­“Al-Qur’an itu tiada
lain hanyalah peringatan bagi semesta alam, (yaitu) bagi siapa di
antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus”. Pada surat Al-
Anbiya ayat 107 disebutkan “Dan tiadalah Kami ­mengutus kamu,
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. 
Adapun dari aspek bidang kehidupan, aktivis ­gerakan tarbiyah
mengimani bahwa Islam merupakan ajaran yang telah ­mencakup
keseluruhan bidang kehidupan, baik yang bersifat privat ­maupun
publik. Dalam Al-Quran dan ­hadis telah ­tersedia berbagai p
­ anduan
hidup yang dapat ­digunakan umat untuk ­memandu ­kehidupan
dari bangun tidur pada pagi hari hingga ­tidur ­kembali pada malam
hari. Agama ­Islam ­mengatur urusan domestik ­dalam rumah tangga
hingga ­urusan politik dan ekonomi ­makro. ­Agama Islam ­mengatur
ritual peribadatan sekaligus ­mengatur ­penyelenggaraan ­negara,
perdagangan, pernikahan, hak waris, juga ilmu ­ pengetahuan.
Agama Islam mengatur ­ masalah yang ­ batin seperti keimanan
dan keikhlasan sekaligus mengatur ­masalah yang lahiriah seperti

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 105


hubungan antaranggota masyarakat.
Sidiq (dalam Rahmat, 2008) menyatakan bahwa ­ gerakan
t­arbiyah Indonesia tidak hanya dipengaruhi dinamika ­internal di
Indonesia melainkan juga dipengaruhi ­dinamika ­eskternal g­ erakan
dakwah di dunia. Dapat ditarik garis ­genetis bahwa g­ erakan ­tarbiyah
di Indonesia d­ ipengaruhi oleh Gerakan Ikhwanul ­Muslimin (IM) di
­Mesir. Pola p ­ emikiran dan gerakan dakwah yang dikembangkan
­aktivis gerakan ­tarbiyah di Indonesia melalui ­kerohanian Islam
dan Lembaga Dakwah Kampus menyerupai dengan ­gerakan IM
di Mesir. K ­ esamaan tersebut dapat ditemukan ­dalam pola ­usroh,
­syumuliyatul Islam, dan Islam kaffah. Hal ini dapat ­terjadi karena
perintis gerakan tarbiyah di Indonesia ­memiliki persinggungan
pemikiran dengan tokoh-tokoh IM melalui ­berbagai buku.
Salah satu buku yang memerantarai pemikiran IM ­sehingga
diadopsi oleh aktivis gerakan tarbiyah di ­Indonesia adalah buku
Panduan Usroh yang terbit di Malaysia. Buku ini digunakan oleh
perintis gerakan tarbiyah di Masjid ­
­ Salman ­ Institut Teknologi
­Bandung (ITB). Usroh adalah sistem ­dakwah IM berupa k ­ elompok
kecil yang beranggotakan 5 sampai 10 orang yang dipimpin oleh
seorang naqib. ­Rahmat (2008) menyebut sistem usroh dibuat oleh IM
pada 1943 ­untuk ­memenuhi kebutuhan sistem dakwah yang dapat
­memenuhi prinsip imdidad umfuqy ­(perkembangan ­horizontal)
dan nuwuw tarbawy (perkembangan e­ dukatif) ­anggota ­meskipun
­dalam situasi penuh tekanan politik. Sebagaimana ­disebutkan pada
­bagian sebelumnya, di tanah asalnya Mesir, IM ­merupakan ­gerakan
bawah tanah yang berkonfrontasi ­ dengan ­ penguasa ­ setempat
sehingga ­
­ senantiasa menerima tekanan. ­ Organisasi ini bahkan
pernah dibubarkan dan dinyatakan sebagai ­organisasi terlarang,
meski eksponennya tetap aktif.
Persebaran ideologi IM kepada aktivis gerakan ­tarbiyah ­terjadi
melalui saluran literasi. Salah satu perintis ­gerakan tarbiyah di
Masjid Salman ITB Muhammad ­Imadudin ­membawa buku-buku
Hasan Al-Banna dan Sayid a­l-Qutb yang terbit di Malaysia ke
­Indonesia. Lambat laun, ­pemikiran-pemikiran IM ­terinternalisasi
oleh aktivis tarbiyah yang saat itu masih berupa lembaga ­dakwah

106 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


kampus. Ketika para aktivis ini mendirikan organisasi, azas yang
ditawarkan IM diadopsi menjadi azas gerakan dan organisasi
­
­mereka. Prinsip bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan
dan Islam tidak memisahkan satu aspek dengan aspek lainnya
­dijadikan sebagai landasan organisasi (Rahmat, 2004).
Di Indonesia gerakan tarbiyah berdiaspora ke dalam ­berbagai
bentuk organisasi. Cikal bakal gerakan ­tarbiyah ­sendiri berupa
Lembaga Dakwah Kampus (LDK) di M ­ asjid Salman ITB. Jauh
sebelum terbentuk LDK, ­aktivis ­gerakan tarbiyah ­menghimpun
diri dalam Dewan ­ Dakwah ­ Indonesia (DDI) yang pada 1974
menyelenggarakan L ­ atiham ­Mujahid Dakwah (LMD). ­Sekitar 40
perwakilan ­organisasi m ­ ahasiswa Islam dari berbagai ­perguruan
­tinggi di I­ ndonesia ­mengikuti kegiatan ini. Hal inilah yang ­membuat
­jaringan LDK ­menyebar ke berbagai perguruan ­tinggi di ­Indonesia,
­berawal di sekitar Jakarta hingga kemudian ke d ­ aerah-­daerah lain
di Indonesia. Jaringan LDK semakin luas dan kuat setelah dibentuk
Forum Silaturahmi L ­embaga Dakwah Kampus (FSLDK) sendiri
pertama kali dalam lingkup nasional ­dilaksanakan pada 24-25
Mei 1986 yang dimotori oleh Jamaah ­Shalahuddin dari ­Universitas
­Gadjah Mada (UGM) dan ­dihadiri oleh 26 peserta yang berasal
dari 13 utusan LDK s­ e-Jawa. Salah satu corak LDK ­adalah ­aktivitas
­dakwah ­dengan ­menggunakan ­masjid ­kampus ­sebagai pusat
­gerakan dan menjadikan ­dakwah­­sebagai tujuan ­utama ­gerakan
­mereka. Meskipun pada diri LDK sendiri ­berkembang pemahaman
yang ­sangat variatif, m ­ ereka ­disatukan oleh keinginan untuk hidup
dan ­ bermu’amalah ­ berdasarkan ­ pemahaman terhadap Islam
(Rahmat, 2008).
Pada tahun 1980-an, Lembaga Dakwah Kampus (LDK)
meluaskan gerakan dakwahnya dengan ­ mendirikan ­ organisasi
­keagamaan serupa namun di tingkat sekolah m ­ enengah atas (SMA)
dengan membentuk Kerohanian ­Islam ­(Rohis). Pola ­gerakan ­Rohis
hampir sama dengan LDK dengan ­menjadikan ­sekolah ­sebagai pusat
kegiatan dakwah. Dalam ­organisasi ini, siswa diperkenalkan ­dengan
konsep dakwah yang ­diadopsi pada prinsip usroh. Melalui kegiatan
­kerohanian Islam yang ­lazimnya b
­ erbentuk ­ekstrakurikuler inilah

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 107


ajaran dakwah gerakan t­ arbiyah ­mulai dikenal oleh remaja ­Muslim.
Lazimnya, ketika mereka melanjutkan ­pendidikan tinggi, mereka
akan melanjutkan ­aktivitas ­kerohisannya dengan bergabung dalam
Lembaga ­Dakwah ­Kampus.
Gerakan tarbiyah di Indonesia juga mewujud dalam ­organisasi
kemahasiswaan ekstrakurikuler bernama Kesatuan Aksi
­Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Organisasi ini merupakan
anak kandung FSLDK yang terbentuk dalam salah satu kongres
FSLDK X yang diadakan pada 1998 di Universitas ­Muhamamdiyah
Malang (UMM). Pada masa itu, aktivis LDK kampus menyimpan
keprikhatinan atas kondisi aktual politik di Tanah Air.
Para peserta yang tergabung dalam FSLDK ­merasa memiliki
kewajiban moral untuk melakukan kritik ­terhadap keadaan yang
sedang terjadi. Perdebatan muncul dalam tataran ­operasionalisasi
gagasan-gagasan tersebut, ­yakni bagaimana ­mewujudkannya ­dalam
tataran yang lebih p ­ raktis namun tanpa terjebak ­dalam politik
­praktis, lebih-­lebih ­melibatkan forum FSLDK dan LDK itu s­ e­ ndiri.
Sidiq (­dalam Rahmat, 2008) ­ mencatat, ­akhirnya ­pembahasan
­tentang hal tersebut diagendakan setelah ­forum FSLDK b ­ erakhir
­dengan membentuk tim ­formatur yang ­personelnya adalah ­anggota
FSLDK. Pembahasan tim f­ormatur ­menghasilkan dua kesimpulan.
Pertama, pembentukan ­wadah khusus bagi para ­aktivis LDK di
luar FSLDK maupun LDK untuk ­merespon krisis nasional sampai
kepada tataran aksi. Kedua, ­
­ bahwa wadah baru tersebut akan
dideklarasikan setelah ­ b­­
erakhirnya FSLDK X ­ sehingga ­ wadah
ini bukanlah hasil dari ­keputusan FSLDK X, ­tetapi kesepatakan
para peserta di luar ­agenda FSLDK berakhir. Pada 29 Maret 1998
peserta ­
­ menyepakati nama ­ organisasi yang baru didirikan itu
adalah Kesatuan Aksi ­
­ Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
dengan ketua umum pertama Fahri Hamzah yang saat ini berkiprah
sebagai politisi di Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Hanya beberapa bulan sejak didirikan, KAMMI menjadi salah
satu kelompok mahasiswa yang cukup memiliki pengaruh dan
bersama kekuatan sipil lain menuntut ­ Soeharto mundur dari
kursi presiden. Bersama kelompok mahasiswa lain, KAMMI dapat

108 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


mendesak Soeharto turun dari kursi presiden pada 21 Mei 1998.
Gerakan ­reformasi yang berujung pada ­pengunduran diri ­Soeharto
­mengubah lanskap politik di Tanah Air dari s­ ituasi otoriter pada
­situasi bebas. Kondisi ini ditangkap sebagai peluang bagi ­tokoh-
tokoh KAMMI untuk masuk dalam politik ­praktis. Sejumlah tokoh
KAMMI kemudian membentuk wadah ­ politik ­
bernama Partai
Keadilan (PK) yang dideklarasikan pada 20 Juli 1998 di Jakarta.
Partai ini kemudian b ­ erubah nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) h ­ ingga saat ini. M
­ eskipun para ­tokohnya menegaskan bahwa
KAMMI tidak memiliki hubungan formal, namun secara ­ideologis,
­historis, dan kultural KAMMI dan PKS sangat dekat. ­Sejumlah tokoh
KAMMI menjadi tokoh PKS pada ­kemudian hari.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa FLP ­memiliki ­kedekatan
ideologis dengan komunitas dan organisasi lain yang bergerak di
berbagai bidang, seperti sosial, ­keagamaan, dan politik. Hubungan
ideologis dengan komunitas dan o ­rganisasi-organisasi tersebut
merupakan modal sosial dan kultural yang sangat ­berharga dan
berkontribusi dalam perkembangan dan ekspansi FLP ke berbagai
daerah dan negara. Kerja sama dengan agen seidelogi tidak selalu
terjalin dalam bentuk kerja sama yang legal, tetapi lebih sering
dalam bentuk pewacanaan tertentu
Sementara itu, dalam internal arena sastra, FLP juga ­memiliki
kedekatan ideologis dengan sejumlah lembaga ­ kesusastraan
­seperti majalah sastra Horison. Salah satu pendiri majalah ­sastra
Horison Taufik Ismail adalah ­Muslim yang memiliki ­kecenderungan
pandangan bahwa sastra ­harus santun dan ­memiliki ­semangat
didaktis. Ketika ­ novel Saman karya Ayu Utami terbit ­ diikuti
­epigon-epigonnya, Taufik menjadi salah kritikus yang paling tajam
menyampaikan ketidaksepakatannya. Ia bahkan ­ memberikan
label peyoratif dengan menyebut ­sastra ­tersebut sebagai “sastra
selangkangan” dan “sastra alat kelamin”. Pandangan ­Taufik ­bahwa
sastra ­harus santun dan memiliki semangat ­didaktis sama ­dengan
­semangat pendiri dan Ketua FLP pertama Helvy Tiana Rosa. Oleh
karena itu, Taufik menjadi sesepuh sastra yang ­memberikan
endorsement agar FLP berkembang lebih baik. Dalam struktur

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 109


­ epengurusan FLP, Taufik Ismail pernah menjadi salah satu ­dewan
k
pembina.
Kedekatan hubungan FLP dengan majalah sastra ­Horison juga
dapat dilihat melalui tulisan Jamal D R ­ ahman, ­pemimpin ­redaksi
majalah sastra tersebut, yang berisi ­pujian mengenai ­Annida. ­Dalam
salah artikel yang ­ dipublikasikan di Horison, Rahman ­ menulis
bahwa Annida telah ­melahirkan satu generasi baru dalam sastra
Indonesia yang pada ­akhirnya menjadi sumbangan ­penting bagi
khazanah ­kesusasteraan ­Indonesia. Menurut ­Rahman, ­meskipun
Annida lebih ­ banyak ­ mengetengahkan sastra remaja, Annida
­berorientasi pada sastra serius.
Meskipun disampaikan kepada Annida, pujian Rahman di
atas juga merupkan pujian bagi FLP karena hubungan erat antara
Annida dengan FLP. Selain Annida pada masa itu dipimpin oleh
Ketua FLP Helvy Tiana Rosa, sejumlah karya sastra yang dimuat
Annida adalah karya anggota FLP. Dengan demikian, endorsment
Rahman terhadap Annida juga menjadi endorsement bagi FLP.

Jaringan Bisnis FLP
Keberadaan Forum Lingkar Pena (FLP) tidak dapat ­dipisahkan
dengan keberadaan majalah Annida yang ­diterbitkan oleh PT. Insani
Media Pratama atau Ummi ­Media Group. ­Majalah ini berkontribusi
besar dalam ­pendirian FLP k ­ arena menjadi “­ saluran resmi” yang
membuat FLP dikenal luas oleh masyarakat. Berkat publikasi
­
Annida, ­tidak kurang dari tiga ribu orang dari ­berbagai daerah di
­Indonesia mendaftarkan diri menjadi a­ nggota FLP. Oleh Helvy Tiana
Rosa, tiga ribu formulir yang masuk ­dikelola untuk mendirikan FLP
wilayah dan cabang di ­berbagai d ­ aerah, baik oleh Helvy sendiri
maupun oleh rekannya ­sesama pendiri FLP.
Nama Annida diambil dari ayat Al Quran surat Maryam 2, yang
artinya menyeru dengan lemah lembut. Nama ini ­dipilih ­sesuai
dengan keinginan awak redaksi untuk ­menjadi Annida ­sebagai
media untuk menyeru kepada yang haq ­dengan cara yang lembut.
Secara ideologis, redaksi ­menyampaikan kepada pembaca bahwa
majalah ini merupakan salah satu media dakwah, ­ persatuan

110 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


kesatuan dan pembangunan yang menyajikan berbagai macam
informasi, mulai dari masalah pendidikan, sosial budaya, ilmu
­pengetahuan, keagamaan, sampai hiburan yang dikemas dalam
rubrik-rubrik. ­Namun demikian, aspek ideologis tersebut tidak
mematahkan ­preferensi bahwa Annida merupakan institusi bisnis
yang mengejar keuntungan (profit).
Majalah Annida edisi cetak mulai terbit pada 1991 ­dengan
pemimpin redaksi Dwi Septiawati. Annida edisi cetak ­ terbit
­selama 18 tahun hingga 2009. Pada masa awal ­penerbitan, tiras
Annida tidak lebih dari seribu eksemplar. Jumlah ­tiras ­mengalami
­perkembangan hingga 100 ribu e­ ksemplar per bulan pada 1998.
Selama delapan belas tahun, majalah ini eksis dengan sasaran
­pembaca keluarga Muslim. ­Selama periode tersebut Annida ­pernah
berganti konsep dari ­majalah perempuan, majalah ­keluarga Islam,
hingga ­menjadi majalah remaja Islam.
Pada 1993 majalah Annida bergabung dengan PT Kimus yang
menerbitkan majalah Ummi dan mengubah ­segmentasi ­pembaca
menjadi remaja Muslim. Ahmad Mabruri dari ­manajemen Ummi
mengusulkan agar Annida dijadikan ­sebagai majalah ­cerita ­karena
jumlah majalah ­cerita yang ada pada masa itu masih sangat ­terbatas,
yakni hanya ­ Anita, Cemerlang, Ceria, dan Aneka. ­Menurutnya,
kesuksesan tiga majalah tersebut membuktikan b
­ ­ahwa remaja
­Indonesia menyukai cerita. Analisis ini didukung dengan hasil riset
internal Annida yang menghasilkan simpulan bahwa rubrik cerita
dan ­cerita bersambung merupakan rubrik yang paling ­digemari
pembaca Annida. Selain itu, dengan menggunakan cerita, para
penulis dan redaksi dapat menjadikan majalah ini sebagai media
dakwah tanpa harus menggurui pembaca.
Menurut Rosa (2005) kesepakatan yang dibuat ­manajamen
mengubah wajah Annida sehingga pada ­tahun 1993, 85 persen
­Annida berisi cerita. Edisi perdana Annida setelah bergabung
­dengan Ummi dicetak 15 ribu ­ eksemplar dan habis terjual.
­Segmentasi pembacanya adalah ­remaja Muslim dengan usia 13
hingga 25 tahun. Sejumlah ­ rubrik yang disajikan adalah Kias
­(cerpen), Kisma (kisah ­utama), Bingkisan (cerpen mancangera)

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 111


dan Epik (cerpen ­perjuangan). Saat itu Annida dijual dengan harga
Rp1.500. Pada 1993 Helvy Tiana Rosa yang saat itu masih kuliah di
­Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI) bergabung ­menjadi staf
redaksi bersama Inayati, Haula Rosdiana, Dewi Fitri Lestari, dan
Dian Yasmina Fajri.
Perubahan rubrikasi dan promosi yang dilakukan ­manajemen
membuat Annida semakin dikenal dan ­ laris. Tiga tahun sejak
­pergantian manajemen, atau tepatnya pada 1994, tiras majalah ini
mencapai 40 ribu eksemplar. Menurut Khaririyah (2008) ­Annida
dapat menjadi majalah yang ­memiliki nilai jual karena berbagai
faktor, antara lain penentuan sasaran konsumen yang dibidik
­
­secara spesifik, produk yang mempunyai identitas khas, ­penetapan
­harga yang ­sangat terjangkau, adanya jalur distribusi khusus, ­serta
berbagai berbagai kegiatan promosi yang mendukung ­identitas khas.
Pada 2009 Annida edisi cetak berhenti beredar. ­ Redaksi
­ engkonversi majalah ke dalam bentuk online atau ­majalah ­Annida
m
Online dengan alamat tautan www.annida-online.com. Pada ­tahun
ke-18 penerbitannya, Annida fokus ­menyoroti dunia literasi bagi
remaja. Fokus literasi inilah yang tetap dipertahankan dalam Annida
Online. Bedanya, dalam A ­ nnida Online, berita-berita yang ­disajikan
lebih luas lagi, mulai dari berita toko buku, ­ penerbit, penulis,
­komunitas ­penulis, ­sampai peristiwa literasi lainnya. ­Segmentasi
­pembaca ­Annida adalah remaja, karenanya, ­ berita-berita dan
­artikel yang disajikan dalam Annida Online dikemas dalam bahasa
yang fresh, meremaja, dan di-update setiap hari.
Terdapat tiga peran penting yang dilakukan Annida bagi
­eksistensi FLP, yakni menjadi media sosialisasi FLP, membangun
identitas FLP sebagai organisasi Islam, dan ­menampung serta
memublikasikan karya anggota FLP. Tiga peran tersebut adalah
peran minimal yang dapat penulis uraikan di sini, dimungkinkan
terdapat peran lainnya.
Sebagai media sosialisasi, Annida dijadikan oleh Helvy ­Tiana
Rosa untuk mengumumkan keberadaan FLP k ­epada puluhan
ribu pembaca Annida. Bukan hanya dalam ­bentuk pemberitahuan
(berita), pada salah satu edisi Annida ­
­ bahkan melampirkan

112 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


f­ormulir yang dapat digunakan masyarakat untuk bergabung
menjadi a­ nggota FLP. Menurut Rosa, ­selama 1999 hingga 2001,
lebih dari 3.500 anggota FLP terjaring melalui Annida. Berkat
­distribusi ­Annida yang t­ elah ­menjangkau berbagai daerah, anggota
FLP b­ erasal dari daerah, tidak hanya terbatas di Jakarta.
Sosialisasi yang dilakukan melalui Annida memberi
­keuntungan yang besar bagi FLP karena langsung pada ­sasaran.
Sebagai ­organisasi baru, FLP membutuhkan ­anggota yang ­memiliki
kesamaan visi dengan visi o
­ ­rganisasi. Pembaca Annida yang
­sebagian besar remaja muslim ­adalah calon ­anggota potensial bagi
FLP. Di wilayah ­Yogyakarta, misalnya, terdapat 76 anggota FLP
yang bergabung ­dengan ­komunitas tersebut berkat sosialisasi dan
formulir yang ­dilampirkan Annida. Sebagian besar anggota ­adalah
­mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Oleh ­karena itu,
ketika FLP wilayah Yogyakarta diresmikan pada 2000 oleh Helvy
Tiana Rosa, peresmian dilakukan di Masjid Al Mujahidin UNY
Kampus Karangmalang, Yogyakarta.
Penulis dan anggota FLP Leyla Hana adalah salah satu
c­ ontoh anggota yang bergabung dengan FLP setelah ­mengetahui
­keberadaan komunitas itu melalui Annida. ­Berawal dari FLP cabang
Universitas Diponegoro (­Undip) ­ Semarang, mengikuti berbagai
pelatihan, Leyla kini ­telah sukses menerbitkan lebih dari 10 judul
novel. Berikut ­pengakuannya:

“ Saya mendaftar sebagai anggota FLP dengan m ­ engirimkan


formulir FLP yang terdapat di Majalah ­Annida. Ketika itu, FLP
masih bekerjasama dengan Majalah Annida, k­ arena HTR masih
menjabat sebagai Pemimpin Redaksi.Saya langsung dihubungi
oleh Yeni Mulati, yang ­ternyata kakak kelas saya di Universitas
Diponegoro, Semarang. ­Berhubung dulu saya kuliah di Undip,
jadi saya masuk ke ­dalam FLP Semarang.FLP Semarang ­rupanya
baru ­terbentuk, launching perdana di halaman Fakultas S­ astra,
­diresmikan oleh Dian Yasmina Fajri yang menjabat sebagai

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 113


S­ ekretaris FLP. HTR, DYF, dan petinggi-petinggi FLP di mata
saya bak artis, yang luar biasa.

Kedua, Annida digunakan Helvy Tiana Rosa untuk ­membangun


brand bahwa FLP merupakan komunitas yang ­islami. Branding
demikian diperlukan agar FLP dapat ­ merekrut ­ anggota yang
­memiliki kesamaan visi dan misi. Branding bahwa FLP adalah
organisasi yang islami dan ­didirikan untuk tujuan dakwah yang
ditanamkan ­
­ dalam persepsi pembaca merupakan keuntungan
­sosial yang ­sangat berharga. ­Berkat branding itu, para ­pembaca­
Annida yang memiliki ­kesadaran bahwa dirinya memiliki kewajiban
­berdakwah tergerak ­b­­ergabung dengan organisasi ini.
Branding FLP sebagai organisasi islami melalui ­Annida dapat
terjadi dengan skema sintagmatik. Skema ini memungkinkan
­sesuatu yang disandingkan ­dengan ­sesuatu yang lain maka akan
dipersepsi memiliki sifat yang kurang lebih sama. Jika A ­dipersepsi
memiliki sifat baik dan A ­bersandingan dengan B maka orang
akan mempersepsi ­bahwa B juga baik. Pada kasus Annida dan FLP,
puluhan ribu ­pembaca yang ­telah mempersepsi bahwa ­Annida
adalah majalah i­slami akan mempersepsi bahwa FLP m ­ emiliki
sifat ­kurang lebih sama karena Annida memberikan ­endorsement
dan r­ ekomendasi kepada FLP. Tanpa harus m ­ enjelaskan visi dan
misinya ­sebagai komunitas yang memiliki visi ­dakwah, FLP telah
menyampaikan hal itu ketika profil dan ­formulirnya dimuat dan
dipublikasikan oleh Annida yang telah dikenal masyarakat sebagai
majalah yang memiliki visi dakwah.
Kesan bahwa FLP adalah organisasi islami yang ­ dibangun
melalui Annida merupakan modal kultural yang sangat ­berharga
karena telah mempengaruhi ribuan orang ­memutuskan ­bergabung
dengan organisasi ini. Annida ­ menjadi semacam ­ produsen
wacana yang ­
­ berkontribusi ­ besar mengonstruksi pemahaman
­publik ­terhadap FLP. ­Wacana yang dikembangkan melalui Annida
­kemudian direspon oleh p ­ ublik, antara lain dengan ketertarikan.
Mekanisme d
­ ­emikian merupakan mekanisme negosiasi ­ antara
­anggota masyarakat sebagai subjek dengan realitas sebagai objek.

114 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


Kedua hal itu berhubungan satu sama lain ­sehingga ­menghasilkan
­tindakan (praktik) berupa ­keputusan bergabung dengan FLP.
Ketiga, Annida memuat dan memublikasikan karya ­anggota
FLP. Hal ini sangat dimungkinkan karena ­Annida ­memiliki ­sejumlah
rubrik cerita yang dapat diisi oleh ­pembaca. ­Anggota FLP yang telah
mengikuti pelatihan menulis dan ­sudah cukup percaya diri akan
­mengirimkan naskahnya ­kepada redaksi A ­ nnida. Kerja sama ­seperti
ini ­menguntungkan dua pihak sekaligus. Pada satu sisi ­Annida
memperoleh naskah yang akan diterbitkan melalui ­rubrikasinya.
Pada sisi lain, penulis FLP memperoleh m ­ anfaat karena karyanya
dipublikasikan dan dibaca oleh ribuan orang. Bagi penulis baru,
pemuatan naskahnya ­memberi tiga manfaat ­sekaligus. Pertama,
mereka senang karena karya mereka ­ diapresiasi oleh banyak
orang. ­Apresiasi ini m
­ enjaga semangat mereka agar terus berkarya.
Kedua, m ­ ereka ­memperoleh m ­ anfaat sosial dan k­ ultural ­karena
dikenal oleh pembaca Annida di ­berbagai daerah. Ketiga, mereka
memperoleh manfaat ekonomi berupa ­honorarium.
Sekretaris Jenderal FLP Afifah Afra adalah salah satu ­anggota
FLP yang mengawali karier kepenulisan dengan menulis di ­Annida,
meskipun bukan satu-satunya. ­Awalnya ia menulis cerita pendek
untuk majalah tersebut. Karier Afra terus berkembang hingga ia
menjadi salah satu ­anggota FLP paling produktif yang telah menulis
lebih dari 50 judul buku.
Jaringan bisnis FLP tidak hanya terjalin dengan Annida, tetapi
juga dengan beberapa lembaga bisnis lain. Salah satu kerja sama yang
paling penting dalam sejarah FLP ­adalah ­kerja sama ­dengan penerbit
Mizan untuk ­mendirikan L ­ ingkar Pena Publishing House (LPPH).
Perusahaan yang ­didirikan pada 2003 itu m ­ enjadi salah satu lini
­penerbitan ­Mizan yang secara khusus dirancang untuk menerbitkan
karya a­nggota-anggoat FLP. Dengan ­ pembagian ­ kepemilikan 20
persen bagi FLP dan 80 persen bagi Mizan, LPPH didesain menjadi
lembaga penerbitan yang bisa ­menyalurkan karya anggota FLP pada
satu sisi, namun dapat menghasilkan profit pada sisi lain.
Kepada penulis, mantan editor pada Penerbit Mizan Ali
­Muakhir ­menjelaskan, ketertarikan Mizan menggandeng FLP u
­ ntuk

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 115


mendirikan LPPH didasari pada pengamatan ­bahwa ­buku-buku
karya anggota FLP diminati pasar. Buku-buku tersebut bahkan
mendapat memiliki segmen pembeli yang sangat loyal, yaitu
anggota FLP itu sendiri. Analisis ini didukung oleh pengalaman
Mizan dalam menerbitkan buku-buku anggota FLP. Dengan jumlah
tiras 3.000, buku itu bisa terhasil terjual hanya dalam dua pekan.
Buku-buku itu kemudian dicetak ulang hingga beberapa kali. “Saat
itu, jualan buku seperti jualan kacang goreng. Hari ini ­cetak, dua
minggu kemudian sudah sold out,” katanya. Alasan yang sama
disampaikan Rahmadiyanti, mantan CEO LPPH ­ (dalam ­ Azwar,
2008) sebagaimana dapat ­dibaca dalam ­kutipan ­­berikut ini:

“ Pertimbangan Mizan mendirikan LPPH ­ semata-mata


k­ arena bisnis, dulu kan Mizan banyak membuat lini ­penerbitan,
selain itu juga mengakuisisi Bentang,kemudian membuat
berbagai lini. Zaman itu memang industri buku sangat
menjanjikan. Kondisinya lagi bagus.

Kondisi pada awal tahun 2000-an inilah yang menarik ­minat


Mizan untuk bekerja sama dengan FLP mendirikan LPPH. ­Sepanjang
kerja sama Mizan dan FLP ini berhasil ­menerbitkan setidaknya 300
judul buku dengan ­segmentasi utama ­remaja ­muslim. Beberapa
tahun ­kemudian, LPPH juga menerbitkan buku anak-anak seperti
Kecil-kecil ­Punya Karya dengan ­memberdayakan ­penulis anak-anak
yang ­tergabung dalam FLP Kids. Beberapa buku yang ­diterbitkan
LPPH seperti Catatan Hati Seorang Istri karya Asma ­Nadia mendapat
sambutan baik di pasaran. ­Penerbit ini juga ­mengorbitkan nama-
nama penulis baru seperti Iva ­Afiantu yang menulis Facebook in
Love, Facebook On Love 2: True Love Ways, ­Friendloveship, Love in
Rainy Days, dan Cinta Semusim. ­Beberapa buku karya Sinta Yudisia
seperti The Road the Empire dan Ayin and The Gang juga termasuk
buku yang mendapat respon baik dari pasar. Adapun buku karya
Boim Lebon yang laris adalah Batmen and Bidin dan Maju Pantang
Mundur.

116 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


Meski demikian, tidak semua buku terbitan LPPH ­sukses di
pasar. Beberapa buku seperti Pengantin Shubuh karya ­ Zelfeni
­Wimra hanya terjual sekitar 2.000 eksemplar. Buku Bukavu karya
Helvy Tiana Rosa yang diterbitkan LPPH juga hanya terjual 4.000
eksemplar dan tidak ­ dicetak ulang. ­
Angka 2.000 hingga 4.000
­eksemplar merupakan a­ ngka yang terhitung kecil dan tidak bisa
menutupi seluruh biaya produksi. Dengan demikian, penerbit
mengalami kerugian.
Kondisi merugi sering dialami LPPH karena buku yang
­diterbitkannya kurang diminati pembaca. ­Akibatnya ­perusahaan
tidak lagi memperoleh profit dari kegiatan bisnisnya. Seiring
­dengan melesunya industri ­penerbitan buku, secara bisnis LPPH
tidak lagi menguntungkan. ­Kondisi ini diperparah dua kondisi yang
tidak m
­ enguntungkan bagi keberlangsungan bisnis LPPH. ­Pertama,
semakin banyak kompetitor penerbit yang menggarap fiksi ­islami
­untuk remaja. Kedua, kejenuhan pembaca akibat ­masifnya ­produksi
buku fiksi islami. Perusahaan hasil kongsi itu ­akhirnya ­dibubarkan.
Kemitraan antara Mizan dengan Yayasan ­Lingkar Pena berakhir dan
LPPH dikembalikan Mizan kepada Yayasan Lingkar Pena. Berikut
penjelasan Rahmadiyanti (dalam Azwar):

“ Dulu anak-anak FLP, buku apapun yang ditulis ­anggota


FLP yang lain pastibeli. Pokoknya ada logo FLP dibeli semua,
ada buku Mbak Asma, buku Mbak ­ Sinta, buku Mbak Helvy
­anak-anak rame-rame beli buku, b ­ ahkan buku anak-anak
baru pun kalau ada logo FLP d ­ ibeli semua. Dari situ dapat
dilihat ­komunitas sudah ­tidak ­men-support lagi karya –
karya ­anggotanya. ­Perubahan ­komunitas ini juga barangkali
­karena dulu anak FLP barangkali baca buku yang itu-itu
saja, m ­ aksudnya yang karya anak FLP saja, sekarang kan
­sudah ­enggak, semuanya dibaca. Dan akhirnya ditambah lagi
­akumulasi p­ erubahan ­habit budaya baca danteknologi itu.
Dan akhirnya M ­ izan melihat bahwa komunitas tidak bisa
­diandalkan lagi ­untukmembaca karya anggota FLP.

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 117


Kongsi bisnis FLP dengan Mizan tidak hanya ­membuahkan
LLPH. Kerja sama FLP dengan Mizan juga ­ sempat ­melahirkan
lini penerbitan yang spesifik ­menerbitkan fiksi terjemahan,
­yakni Orange Book. Namun, lini bisnis yang satu ini juga tidak
sukses. Eksperimen yang tidak berhasil inilah yang membuat
­
­Mizan kemudian memutus kongsi bisnis dengan FLP. Pemutusan
­hubungan bisnis ini diakui oleh pengurus FLP telah merugikan
mereka. Berikut pendapat Helvy Tiana Rosa (dalam Azwar, 2012)
mengenai hal tersebut:

“ Desember ini saham yang 20 persen itu d ­ ikembaliin ke


FLP dalam bentuk buku. Dulu itu kan Mbak ­rintis ­ ­dengan
Yayasan Lingkar Pena, yang sama FLP p ­ usat gak diakui karena
yayasan kan gak boleh punya anggota. Tapi akhirnya kan
mereka bikin yayasan baru ­karena FLP ­harus ada badan
­hukumnya. Dulu rintisannya kan memang Yayasan, tapi
mbak gak ­pernah ­ngambil ­keuntungan. Kita kan kerja suka
rela. Makanya mbak gak pernah mikir dapat apa, tapi setahun
terakhir ini Mbak dapat satujuta ­sebulan. Tapi Mbak bilang ke
Mizan kayaknya h­ abis m
­ anis sepah dibuang deh.

Bisnis dengan Penerbit Mizan bukan ­satu-satunya yang ­dijalani


FLP dan anggotanya. Baik pengurus ­ pusat ­maupun ­ pengurus
wilayah pernah mendirikan sekolah menulis. S­ ekolah menulis yang
dikelola oleh anggota dan ­pengurus FLP ­memiliki fungsi ­ganda.
Dari fungsi bisnis, ­sekolah ini digunakan untuk meraih uang bagi
diri anggota dan ­organisasi. Dari fungsi ­kaderisasi, ­sekolah ­menulis
ini d
­ igunakan untuk mendorong lahirnya ­penulis-penulis baru.
Sepanjang keberadaan FLP, telah ada lima ­sekolah ­menulis
yang didirikan dan dikelola oleh anggota dan ­pengurus FLP. Di
Padang, pengurus FLP Wilayah S­ umatera Barat ­mendirikan Bengkel
Menulis. Meskipun didirikan ­ untuk tujuan ­kaderisasi, Bengkel
Menulis juga ­menyelenggarakan pelatihan ­menulis ­berbayar. Di
Ciputat, Mantan Ketua FLP Jakarta Raya Arul Khan membuka
­
­sekolah menulis ­berbasis online melalui website menulisyuk.com.

118 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


Menulisyuk.com m­ enyelenggarakan pelatihan ­berbayar dan gratis.
­Pengurus FLP Pusat periode 2001-2005 Jon Riah Ukur atau Jonru
membuka Sekolah Menulis Online (SMO). Selain ­menyelenggarakan
pelatihan menulis secara online, ­
Jonru juga menyelenggarakan
seminar menulis secara tatap muka ­dengan memungut bayaran
kepada para pesertanya.

Jaringan Cabang
Hingga tahun 2015, Forum Lingkar Pena (FLP) ­memiliki 132
cabang dan wilayah yang tersebar di berbagai daerah di I­ ndonesia
dan cabang istimewa di luar negeri. ­ Pembentukan wilayah,
cabang, dan cabang istimewa dilakukan dengan dua ­mekanisme,
yakni top down dan bottom up. Mekanisme top down berarti
inisiatif p
­embentukan berasal dari ­ pengurus ­
pusat. Pengurus
­menghimpun calon ­anggota di daerah ­untuk kemudian dilantik
menjadi p ­engurus wilayah dan cabang. Mekanisme bottom up
berarti inisiatif p
­embentukan ­
berasal dari calon anggota yang
mengajukan ­
­ permohonan k­epada ­ pengurus. Pengurus pusat
kemudian merespon ­dengan ­mengunjungi dan melantik pengurus
cabang setempat.
Mekanisme top down terjadi terutama pada masa awal
­pendirian. Helvy Tiana Rosa menggunakan majalah ­Annida yang saat
itu ­dipimpinnya untuk menyebarkan ­pengumuman ­pendaftaran
­menjadi anggota FLP. Pengumuman ini ­disertai d ­ engan ­formulir
yang memungkinkan ­pembaca yang ­berminat dapat segera ­mengisi
dan ­mengirimkannya. ­Dengan cara ini Helvy berhasil ­menghimpun
sekitar 3.000 peminat yang berasal dari berbagai daerah di
Indonesia. F­­ormulir yang terkumpul ­dikelompokkan berdasarkan
wilayah agar dibentuk pengurus wilayah. Helvy ­memanfaatkan
jaringan persahabatan dengan orang-orang di berbagai daerah
untuk membentuk FLP cabang dan wilayah.
Cabang FLP pertama yakni FLP Bontang terbentuk ­dengan
mekanisme top down atas inisiatif Muti, salah satu pengurus FLP
Pusat. Ketika Muti berpindah tempat tinggal ke Bontang, ­Kalimantan
Timur, dalam waktu yang singkat ia mendirikan FLP Cabang

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 119


Bontang. Ia kemudian ­mengontak Helvy Tiana Rosa agar cabang
yang baru dibentuknya dapat diresmikan. Berikut ­penjelasan Helvy
Tiana mengenai ­peristiwa tersebut.

“ Tahun 1998 Muti di Kalimantan Timur buka cabang


pertama. Ini lucu, karena kita sebenarnya waktu itu belum siap.
Itu ceritanya aneh, tiba-tiba Muti telpon, Mbak aku udah bikin
FLP di Bontang, trus Mbak Tanya kan? Siapa yang ngajarnya?
Dia bilangya udah nanti kita rame-rame aja, kalau ada waktu
kita telpon-telponan aja.

Afifah Afra yang pada tahun 1998 masih berkuliah di


­ niversitas Diponegoro (Undip) Semarang m
U ­ endapatkan “tugas
“dari Helvy Tiana Rosa untuk mendirikan FLP Cabang Semarang.
Tugas itu ia laksanakan dengan ­menghimpun kawan-kawannya dan
membentuk FLP Cabang ­Semarang dengan anggota awal berasal
dari Undip. Setelah d ­ idirikan di Undip, FLP Cabang S­emarang
berkembang ­dengan ­bertambahnya anggota dari ­universitas lain
seperti ­Universitas Negeri Semarang (Unnes), UIN Walisongo,
dan IKIP PGRI Semarang. Setelah lulus dari Undip dan ­berpindah
tempat tinggal ke Solo, ia kembali membentuk FLP Cabang Solo.
Ia memanfaatkan jaringan persahabatan dengan mahasiswa di
berbagai perguruan tinggi ­seperti di Universitas Muhammadiyah
Surakarta (UMS) dan ­Universitas Sebelas Maret (UNS).
Hal yang sama dilakukan oleh Koko Nata, anggota FLP
yang berasal dari Palembang. Ia mendapatkan amanah untuk
­membentuk kepengurusan FLP Wilayah Sumatera Bagian ­Selatan
yang meliputi Provinsi Sumatera Selatan, Lampung, Jambi, dan
Riau. FLP Cabang Sumatera Bagian Selatan pun terbentuk ­dengan
pusat kegiatan di ­Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang. ­Anggota
cabang ini ­ berasal dari berbagai provinsi di Sumatera bagian
selatan, ­namun tidak seluruhnya menjadi anggota aktif. Faktor
jarak ­menyebabkan ­anggota aktif didominasi oleh anggota yang
bermukim di ­Palembang.

120 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


Tidak ada mekanisme baku dan persyaratan ­khusus u ­ ntuk
mendirikan FLP cabang dan wilayah. Oleh karena itu, anggota lama
yang berpindah tempat tinggal dapat ­membentuk cabang baru
di daerah yang ­ditinggalinya. Inilah yang membuat FLP memiliki
cabang di berbagai ­negara. Anggota yang ­melanjutkan pendidikan
ke luar negeri ­menghimpun ­mahasiswa asal ­Indonesia lain ­untuk
mendirikan FLP cabang istimewa, ­
­ seperti di A­ merika, ­Kanada,
Turki, Mesir, Yaman, Australia, Arab Saudi, dan ­Malaysia. ­Khusus di
Hongkong, inisiator ­pendirian FLP ­bukanlah ­mahasiswa, ­melainkan
para pekerja migran. Cabang Hongkong didirikan pada 15 Februari
2004 oleh Endang Pratiwi dan ­memiliki sekitar 32 anggota yang
semuanya adalah pekerja migran perempuan.
Ketika FLP semakin populer, minat masyarakat ­ untuk
­ ergabung menjadi anggota FLP semakin tinggi. Mereka ­berinisiatif
b
menghubungi pengurus pusat dan ­menanyakan cara bergabung
menjadi anggota. Mereka juga bertanya­a­ pakah cabang FLP di daerah
mereka sudah terbentuk? Jika belum, ­pengurus mengarahkan agar
mereka menghimpun sejumlah orang yang memiliki ketertarikan
pada bidang kepenulisan dan merintis cabang FLP. Cabang yang
baru ­didirikan itu kemudian diresmikan oleh pengurus pusat atau
ketua wilayah.
Di Jawa Tengah, misalnya, hingga pertengahan ­tahun 2015 ­telah
berdiri 16 cabang, meliputi Kota Semarang, ­Kabupaten Semarang,
Pekalongan, Magelang, ­Surakarta, ­Tegal, Jepara, ­Kudus, Wonosobo,
Salatiga, Klaten, ­Sukoharjo, ­Purworejo, C
­ ilacap, ­Demak, dan Pati.
Jumlah akan segera b ­ ertambah ­karena ada i­nisiatif dari ­sejumlah
warga ­ Kabupaten K ­ebumen ­ untuk mendirikan FLP Cabang
Kebumen. Ketua FLP Jawa Tengah Ali ­ Marghosin ­ menjelaskan,
pihaknya memberikan ­keleluasaan ­kepada anak muda di Kebumen
untuk menghimpun diri ­ terlebih ­
dahulu. Jika telah terbentuk
kepengurusan, pihaknya akan datang ­untuk meresmikan sekaligus
memberikan penguatan atau ­motivasi.

Jaringan Keanggotaan
Dalam catatan Rosa (2007), Forum Lingkar Pena (FLP)

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 121


memiliki lebih dari 10.000 anggota, baik yang b
­ erada di I­ ndonesia
­maupun di luar negeri. Sekitar 3.000 ­anggota adalah anggota
yang bergabung pada masa awal pendirian ­organisasi. Mereka
mengetahui keberadaan FLP melalui ­majalah ­Annida kemudian
­mengirimkan f­ormulir p ­ endaftaran. Namun, pada periode awal
ini status ­keanggotaan ­sangat cair dan cenderung tidak jelas.
­Seseorang diakui ­menjadi a­ nggota hanya dengan ­mendaftarkan
diri tanpa harus mengikuti pendidikan dan pelatihan yang
diselenggarakan organisasi. Status keanggotaan pun tidak
dilegalkan ­dengan kartu anggota atau nomor registrasi anggota.
Anggota yang jarang atau sama sekali tidak mengikuti kegiatan
organisasi tidak diberikan tindakan berupa pencabutan status
anggota.
Dalam Anggaran Dasar (AD) FLP disebutkan ­bahwa ­ ke­
anggotaan yang terdapat di dalam FLP diklasifikasikan ­menjadi
­empat jenis, yakni Dewan Pendiri, Dewan P­ ertimbangan, ­Pengurus,
dan Anggota. Dewan ­Penasihat adalah lembaga ­beranggotakan
sejumlah orang yang ­ bertugas ­
menasihati o ­rganisasi. Dewan
Penasihat dapat dipilih dan diganti dalam musyawarah yang
­
­berlaku di ­organisasi sesuai dengan kebutuhan. Dewan Penasihat
terdiri dari tokoh yang memberikan sumbangsih ­keberlangsungan
organisasi.
Dewan Pertimbangan adalah lembaga yang bertugas
­ engawasi dan mengontrol gerak operasional ­
m organisasi.
Dewan ­Pertimbangan memiliki jumlah anggota ganjil, ­sekurang-
kurangnya 3 (tiga) orang, sesuai dengan ­keputusan Musyawarah
Nasional terkait. Masa bakti anggota Dewan Pertimbangan
­
berlangsung selama empat ­tahun dan dapat dipilih kembali pada
­Musyawarah ­Nasional berikutnya. Jika karena satu atau lain hal
yang ­diatur dalam ­Anggaran ­Rumah Tangga seorang anggota
­Dewan ­Pertimbangan ­tidak dapat menjalankan tugasnya maka
akan ­ digantikan oleh ­
seorang a­nggota yang ditunjuk oleh
sidang D
­ ­ ewan P
­ertimbangan. ­Anggota Dewan Pertimbangan
dipilih b
­ ­erdasarkan ­persyaratan dalam bidang keagamaan,
kepenulisan, dan k
­ ­eorganisasian. K
­riteria dan syarat rinci

122 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


anggota yang dapat diajukan dan dipilih sebagai anggota Dewan
­Pertimbangan diatur ­dalam ­Anggaran Rumah Tangga. Anggota
­Dewan ­Pertimbangan dipilih oleh Musyawarah Nasional dari
­calon-calon yang ­diajukan oleh FLP Wilayah. Aturan ­pengajuan
calon ­anggota Dewan ­Pertimbangan ­secara rinci diatur dalam
Anggaran Rumah Tangga.
Setelah organisasi ini mulai rapi, pengurus ­mengategorikan
anggota berdasarkan kemampuannya menulis dalam ­beberapa
jenjang. Penjenjangan ini ­dilakukan untuk ­memudahkan proses
pendidikan agar dapat diberikan secara tepat sesuai ­kebutuhan.
Anggota dibagi ­menjadi tiga jenjang, yakni ­anggota mula, ­nggota
madya, dan ­anggota lanjut. Anggota mula memiliki ­karakteristik
­memiliki ­keinginan, ketekunan untuk menulis, namun ­belum
memiliki ­
­ pengalaman dan ­ pengetahuan menulis. ­ Mereka
­memperorleh sejumlah ­pelatihan agar mampu menulis karya
fiksi atau nonfiksi yang belum pernah dipublikasikan di media
massa.
Pengurus akan melakukan evaluasi terhadap anggota mula
untuk menentukan apakah anggota tersebut dinaikkan menjadi
anggota madya atau tetap dipertahankan sebagai anggota mula.
Anggota yang dapat menjadi anggota madya adalah mereka yang
memenuhi kriteria: telah menghasilkan karya di media massa lokal
atau nasional, ­memenangkan sayembara penulisan tingkat daerah
atau nasional. Mereka akan memperoleh pendidikan tingkat
madya supaya dapat menghasilkan karya bermutu, aktif menulis di
berbagai ­media massa, dan membukukan karyanya.
Anggota madya akan kembali dievalusi untuk ­menentukan
apakah mereka akan menjadi anggota andal atau tetap ­menjadi
­anggota madya. Kriteria untuk ­menjadi a­ nggota andal adalah
aktif menulis di berbagai media, ­
­ telah membukukan karya-
karyanya, menjuarai ­sayembara ­penulisan tingkat nasional atau
­menjadi ­akademisi pada bidang s­ astra atau bidang jurnalistik,
serta ­menjadi ­pembicara dalam berbagai acara yang berkaitan
dengan ­kepenulisan. Mereka dididik dengan pendidikan tingkat
lanjut agar menjadi “Kader FLP yang diakui kapasitas dan

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 123


kredibilitasnya.”
Proses penjenjangan anggota dalam FLP dapat dilihat pada
bagan berikut ini:

Alur penerimaan anggota baru FLP

Sejak kepengurusan Sinta Yudisia pada 2013 pengurus


­ elakukan pendataan ulang untuk memperoleh data ­pasti ­jumlah
m
­anggota. Registrasi ulang dilaksanakan secara ­daring melalui laman
flp.or.id. Anggota yang telah melakukan ­registrasi ­memperoleh
nomor registrasi anggota (NRA) dan kartu ­ anggota sehingga
keanggotaan lebih bersifat legal. Dengan NRA dan kartu ­anggota
ini pula pengurus berusaha menegaskan anggota yang tidak ­aktif
­untuk bergabung atau keluar dari FLP. ­Pendataan ­dilakukan dengan
­melibatkan ­ketua cabang untuk ­memvalidasi status ­keanggotaan.
Dengan demikian, hanya anggota yang ­
­ benar-benar aktif yang
dapat melakukan registrasi dan kemudian mendapat NRA dan
kartu anggota. Manfaat lain yang diharapkan dari ­proses r­ egistrasi
ulang adalah terlacaknya anggota jika melakukan perpindahan dari

124 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


cabang satu ke cabang lain.
Setelah setahun registrasi ulang dilakukan, pada ­pertengahan
tahun 2015 terdapat sekitar 1.200 ­anggota yang ­terdata. Data
tersebut digunakan pengurus pusat s­ebagai data resmi yang
­
­diyakini keakuratannya. Tidak ­hanya nama dan asal wilayah atau
cabang, dalam proses registrasi ini ­diperoleh data lain ­seperti
alamat, n ­omor telepon, email, riwayat pendidikan, jenjang
­keanggotaan, dan ­karya-karya yang pernah dihasilkan. ­Meskipun
dengan ­jumlah a­ nggota terdata jauh lebih sedikit dibandingkan
dengan data ­ terdahulu, pengurus meyakini jumlah tersebut
­merupakan “aset” yang sangat besar jika dikelola dengan baik.
Terlebih, ­jumlah ­anggota yang terdata ini dinilai sebagai anggota
aktif yang senantiasa berpartisipasi dalam kegiatan organisasi.
Anggota merupakan salah satu modal terbesar yang ­dimiliki
FLP. Eksistensinya sebagai organisasi sastra diakui, salah ­satunya,
karena memiliki anggota dalam jumlah ­ besar dan t­ersebar ke
berbagai daerah dan negara. Jumlah ­
­ anggota yang ­besar dan
­tersebar luas merupakan ­keuntungan ­sosial yang dapat ­dikonversi
ke bentuk keuntungan lain, ­misalnya, sosial dan ekonomi. Pada
masa awal dan hingga buku ini ditulis, ­anggota ­merupakan pasar
potensial yang ­memungkinkan karya ­anggota FLP terserap pasar
dengan baik. Selain itu, ­anggota yang banyak juga dapat dikonversi
­sebagai ­produsen n ­ askah yang produktif untuk pengembangan
­industri ­sastra. ­Jumlah anggota yang besar juga ­memungkinkan
FLP melakukan manuver kebudayaan yang berdampak luas di
masyarakat, misalnya mengembangkan Rumah Membaca dan
­
Berkarya (Rumah Cahaya), menggalang bantuan untuk warga
­Palestina, dan aktivitas sosiokultural lain.
FLP dapat memiliki anggota yang banyak ­karena ­organisasi
ini didesain bersifat inklusif, terbuka bagi ­masyarakat dari ­kelas
sosial mana pun. Kebijakan ini ­berbeda dengan organisasi bidang
kesusasteraan lain ­ seperti K ­omunitas Utan Kayu (KUK) yang
­cenderung terbatas, hanya dapat dimasuki oleh seseorang dengan
bekal intelektual dan latar belakang ­ pendidikan tertentu. FLP
tidak melakukan seleksi ­terlalu ketat untuk memutuskan apakah

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 125


seseorang dapat ­menjadi ­anggota atau tidak. Sebaliknya, pengurus
berkeyakinan, ­semakin banyak jumlah anggota justru akan semakin
baik, sebagaimana dapat kita temukan dalam pernyataan Rosa
(2007) berikut ini:

“ FLP bedanya dengan komunitas lain adalah FLP itu


­organisasi yang bersifat social educational entrepreneurship.
Kalau komunitas lain ­
­ seperti Komunitas Utan Kayu kalau
melihat ada orang pinter ­lewat m ­ ereka akan tarik, tapi kalau
ada tukang b­ ecak, ­pemulung, ­mereka akan b­iarin. ­Sementara itu
FLP nggak, kita adalah ­organisasi t­ erbuka yang bisa ­menerima
siapa saja, dari ­tukang becak sampai mahasiswa.”

Keputusan pengurus FLP untuk menjadikan dirinya menjadi


organisasi inklusif didasari keyakinan para ­pendiri bahwa p
­ rofesi
sebagai penulis bukanlah profesi elit dan ­keterampilan ­menulis
dapat dipelajari. Keyakinan ­ demikian dapat ditemukan pada
­penjelasan Rosa (dalam Azwar, 2011) b ­ erikut ini:

“ Inklusivitas FLP didasari keyakinan para pendiri dan


­engurus bahwa aktivitas menulis dapat dilakukan “Saya
p
percaya keahlian menulis itu gifted, seperti kata Sutardji
Calzoum Bachri, namun saya juga yakin bahwa sampai pada
tahap tertentu menulis itu bisa diajarkan melalui berbagai
tahap latihan. Saya dan FLP  tak akan pernah bisa ­mencetak
­seseorang seperti Sutardji atau Goenawan Mohammad, n ­ amun
bisa memotivasi dan mengajarkan m ­ enulis pada ­siapa pun yang
memiliki tekad dan mau latihan agar ia m
­ emiliki skill yang kelak
bisa menambah kualitas kehidupannya.”

Selain itu, pengurus juga menilai bahwa visi besar ­organisasi


adalah melakukan dakwah melalui tulisan ­(dakwah bil qalam) akan
lebih memiliki dampak jika dikerjakan oleh lebih banyak orang.
Dakwah dalam arti luas diartikan ­sebagai mengajak orang pada

126 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


kebaikan merupakan seruan FLP yang didasarkan pada ­keyakinan
agama. Seruan untuk melakukan kebaikan akan memiliki ­jangkauan
lebih luas jika dilakukan oleh lebih banyak orang.
Namun demikian, jumlah anggota yang besar juga ­ kerap
­memiliki efek negatif bagi organisasi. Organisasi yang ­besar ini tidak
dapat bergerak lincah sebagaimana ­komunitas k ­ ecil. D
­ iperlukan
dana besar untuk melakukan pembinaan dan p ­ endidikan secara
berkelanjutan. Pada sisi lain, ­pengurus sulit ­melakukan komunikasi
yang efektif kepada seluruh anggota. Ketua FLP Bidang ­Jaringan
Wilayah Koko Nata mengatakan komunikasi ­biasanya dilakukan
secara online di grup Facebook. Adapun secara lebih terbatas, para
­pengurus melakukan komunikasi melalui grup WhatsApp.

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 127


128 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan
9

Strategi Budaya:
Antara Kontestasi
dan Kooperasi

S
EBAGAIMANA produksi barang simbolis lain, ­ produksi
karya sastra tidak hanya melibatkan barang ­berupa buku
­dalam wujud harfiah, melainkan juga produksi wacana dan
­kepercayaan. Keberhargaan sebuah karya sastra tidak diperoleh
­berdasarkan hitung-hitungan ekonomis ­semata, melainkan juga
­hitung-hitungan sosial yang melibatkan ­pengaruh, kepercayaan,
dan otoritas ­kultural pada arena tersebut. Nilai sebuah karya,
dengan ­
­ demikian, berkaitan dengan relasinya dengan ­ elemen-
elemen sosial yang fungsi dan keberadaannya diakui dalam arena
sastra.
Dalam analisis Bourdieu (2010) kondisi sastra yang ­selalu
­ erada dalam tegangan nilai merupakan ­konsekuensi dari ­proses
b
­produksi kultural dan nilai-nilai. Produksi k
­ ultural, yang ­termasuk di
dalamnya adalah seni sebagai ­objek ­kultural, ­berbeda dari ­produksi
objek-objek pada ­umumnya, karena di ­dalamnya ­kebudayaan harus
­memproduksi bukan hanya objek dalam ­dimensi materialitasnya,
namun juga nilai dari objek tersebut, ­yakni ­pengakuan terhadap
­legitimasi artistiknya. Produksi ­kultural, dengan demikian, tidak
bisa dipisahkan dari produksi seniman s­ ebagai pencipta nilai yang
berelasi dengan subjek lain.

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 129


Ringkasnya, dalam arena produksi kultural terdapat tiga
produksi yang diproduksi, yaitu objek material ­
­ (lukisan/­ sastra
­dengan segala kualitas terindranya), pencipta ­(dengan ­segala latar
historis serta arena kulturalnya sendiri), dan ­nilai-nilai l­egitimasi
yang ada di dalam (dan di regangan) ­objek akibat status ­penciptanya
dan kekuatan luar. Kekuatan luar yang ­dimaksudkan ialah kritikus
atau kurator sebagai pengkaji; institusi pedagogis sebagai ­peletak
hukum-hukum; ­ lembaga-lembaga seni sebagai wadah (kawan
­sekaligus lawan) bagi para seniman; dan museum sebagai wadah
­legitimasi objek, yang kesemuanya memiliki ­kemampuan l­ egitimasi
di arena seni (dan arena kekuasaan secara tidak langsung).
Dalam arena produksi kultural karya sastra ­dipandang ­sebagai
objek yang otonom sekaligus heteronom. ­ Sebagai o ­bjek yang
otonom, karya sastra hidup dalam arena ­sastra yang ­memiliki
kemandirian struktur. ­
­ Hukum-hukum yang digunakan untuk
­menilai karya sastra adalah unik dan ­spesifik pada ­arena ­tersebut
dan berbeda dengan ­ keteraturan dalam arena lain, ­ seperti
seni ­mudik atau ­fashion. Namun di sisi lain, karya sastra juga
­berada di arena yang lebih luas, yakni arena ekonomi dan ­politik
sehingga takluk pada ­
­ hukum-hukum yang berlaku pada arena
­tersebut. ­Sebagai objek yang ­heteronom sastra memiliki relasi
dengan ­penulis, struktur, dan kekuatan-kekuatan kultural yang
­mendukung atau justru ­menegasikan keberadaannya. Karya ­sastra
juga b ­ erhubungan dengan karya sastra lain melalui tipe ­hubungan
dominasi dan terdominasi.
Karya sastra yang dihasilkan oleh anggota Forum ­Lingkar Pena
(FLP) juga tidak bisa lepas dari hukum yang berlaku dalam arena
kultural di atas. Oleh karena itu, ­untuk melihat bagaimana “sastra
dakwah” diproduksi oleh FLP ­ tidak cukup dilakukan ­ dengan
menganalisis anasir-anasir produksi seperti penulis, percetakan,
penerbit, dan ­distributor buku. Keterlibatan agen seperti ­kritikus,
kurator, dan ­peneliti ­sastra juga aspek yang sangat penting ­untuk
dianalisis. Jika ­penulis, penerbit, percetakan,­d
­ istributor ­terlibat
dalam ­produksi barang, maka kritikus, kurator, dan peneliti ­sastra
terlibat dalam ­
­ produksi wacana yang menentukan nilai karya

130 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


­sastra ­tersebut.
Untuk melihat bagaimana produksi kultural dalam FLP, pada
bagian-bagian berikutnya buku ini dipaparkan konsep estetis
sastra dakwah, p ­ embentukan citra islami, konsekrasi karya sastra,
serta politik ­endorsement. Namun sebelum sampai pada bagian
tersebut, penting u ­ ntuk ­dijelaskan posisi FLP dalam arena sastra,
posisinya dalam ­kontestasi karya sastra, serta tipe hubungannya
dengan pemilik otoritas kultural.

Arena, Kontestasi, dan Otoritas Kultural


Konsep arena dimunculkan Pierre Bourdieu sebagai ­strategi
untuk mengombinasikan pandangan ­ subjektivisme dengan
­pandangan objektivisme yang dalam ­pandangannya sama-sama
memiliki ketidakakuratan. Pandangan ­subjektivisme ­menempatkan
praktik sebagai keputusan ­bebas agen yang dilakukan sebagai ­hasil
atas interpretasi atas realitas di sekitarnya. Kekhasan pandangan
­subjektivisme adalah keyakinan bahwa manusia adalah agen yang
memiliki kebebasan akal untuk menentukan jenis praktik yang
akan dilakukannya. Adapun objektivisme menganggap ­fenomena
atau realitas sosial sebagai realitas objektif yang bebas dari ­peran
subjektif agen. Subjektivisme gagal ­memahami landasan ­sosial yang
membentuk kesadaran. ­Sebaliknya, ­objektivisme gagal ­mengenali
realitas sosial di tataran ­tertentu yang dibentuk oleh konsepsi dan
representasi yang dilakukan individu terhadap dunia sosial.
Untuk mengatasi dikotomi tersebut Bourdieu ­mengemukakan
konsep subjektivisme objektif yang menampung gagasan tentang
kemandirian akal namun ­tidak menafikan hukum objektivisme
fenomena. Terminologi yang ­dilahirkan Bourdieu adalah arena,
semacam ruang sosial yang memiliki kemandirian hukum, dihuni
oleh agen-agen yang ­menempati posisi dan melakukan serangkaian
praktik untuk m
­ ­ emenangkan perebutan dalam aktivitas posisi
dan disposisi. Dengan konsep itu, Bourdieu ­mengungkapkan gaya
berpikir rasional yang menempatkan agen-agen ­tidak b ­ ertindak
dalam ruang hampa, melainkan dalam ­ situasi-situasi konkret
yang diatur dalam oleh seperangkat relasi sosial yang objektif.

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 131


Dalam bahasa ­Johnson (2010) pengantar yang ditulis untuk buku
Arena Produksi Kultural, arena didefinisikan sebagai ruang yang
terstrktur ­dengan kaidah ­keberfungsiannya sendiri, dengan ­relasi-
relasi ­kekuasaannya sendiri.
Berdasarkan penjelasan di atas, arena sastra dapat ­dipahami
sebagai sebuah ruang sosial yang dihuni oleh agen-agen ­seperti
penulis, kritikus, penerbit, peneliti ­sastra, bahkan melibatkan pula
masyarakat pembaca. Dalam ­ arena sastra kaidah-kaidah yang
­digunakan bersifat otonom ­karena relasi antaragen ­didefinisikan
dengan ­kaidah-kaidah sendiri yang berbeda dengan kaidah yang
berfungsi di ­arena lain, seperti arena politik dan ekonomi. Di ­dalam
arena, para agen ­melahirkan berbagai tindakan yang ­spesifik ­untuk
meraih posisi paling menguntungkan (dominan) ­dalam ­bentuk
praktik. Agen satu dengan agen lain senantiasa ­terlibat ­perebutan
posisi paling menguntungkan dalam kontestasi. Untuk memahami
“kaidah keberaturan” dalam arena sastra, perlu diulas dua hal
berikut ini.
Pertama, arena kekuasaan yang mendominasi arena seni.
Arena adalah ruang yang terstruktur dengan ­ kaidah-kaidah
keberfungsiannya sendiri, dengan relasi ­
­ kekuasaannya s­endiri
yang melingkupi berbagai arena seperti politik, ekonomi, ­kultural,
dan seterusnya (Bourdieu, 2010: xvii). Setiap ­ arena ­memiliki
­otonominya sendiri yang relatif, dan saling ­terkait satu sama lain.
Keterkaitan ­antararena ­menimbulkan ­arena-arena ­terdominasi dan
­mendominasi karena p ­ erubahan posisi-posisi agen di d
­ alamnya
selalu memberikan kemungkinan pergeseran kekuasaan arena,
­sehingga lahir suatu arena kekuasaan.
Arena seni berada di posisi terdominasi oleh arena yang l­ebih
berkuasa, yang mempengaruhinya. Tetapi ia memiliki ­ otonomi
relatif yang mampu menolak ­pengaruh dari arena kekuasaan, ­walau
tidak sepenuhnya bebas ­dominasi. ­Arena ­otonom ini ­disebut oleh
Bourdieu (2010: 216) sebagai coin de folie (­ pojok ­kegilaan) yang di
­dalamnya ­agen-agen ­berpartisipasi ­dalam ­dominasi-mendominasi,
suatu ­struktural ­kontradiktif. Mereka menempati sebuah ­posisi
terdominasi dalam kelas dominan. Para seniman s­ebagai agen
­

132 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


arena seni, menurut Bourdieu, ­menempati ­posisi ­genting yang
­menakdirkan ­mereka mengalami ­sejenis ­ketidakpastian objektif
­sekaligus objektif: citra yang ­dikirimkan ­kembali kepada ­mereka
oleh orang lain, ­terutama mereka yang ­mendominasi di ­arena
kekuasaan ­ sebenarnya juga di arena seni sendiri, yakni ­ pihak
pelegitimasi ­nilai ­suatu karya– ­ditandai oleh ­ambivalensi yang
­diciptakan ­semua masyarakat karena ­menjadi ­penentang ­klasifikasi
umum, atau pendeknya, memiliki status rangkap ­antara ­peran yang
berkuasa dan peran sebagai ­pengacau ­ilusi-ilusi s­ osial. B­ ourdieu
­sebenarnya juga ­mengkategorikan ­seniman ­dalam ­arena ini ­sebagai
individu kelas ­dominan-minus-uang, atau ­diistilahkannya parents
pauvres (kerabat miskin), namun ini ­sulit kita ikut sertakan melihat
sekarang banyak timbul ­individu kaya modal ekonomi yang sengaja
tertarik ke arena seni.
Kedua, segala unsur yang membentuk sekaligus ­terlibat di
­dalam arena seni. Unsur-unsur ini ­sederhananya ­diklasifikasikan:
(1) ­semesta besar atau arena (sudah ­dijabarkan di atas) yang
­melingkupi segalanya, semesta ­sesungguhnya, tempat ­terjadinya
­akumulasi ­bentuk-bentuk modal tertentu, sekaligus tempat ­relasi-
relasi kekuasaan ­berlangsung; (2) pihak-pihak, ­institusi ­maupun
individu, yang memiliki kompetensi artistik untuk memberi
­
­legitimasi terhadap ciptaan dan pencipta; (3) ­pihak-pihak, komun
­maupun individu, yang menjadi konsumen tanpa ­memiliki latar
belakang artistik; (4) karya seni, yakni segala objek ­kultural yang
memenuhi syarat-syarat bahwa objek ­tersebut mampu ­disebut
karya seni; dan (5) seniman, sebagai p­ encipta ciptaan.
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa sebagai agen
FLP adalah agen yang berada dalam arena sastra dan ­hidup d­ engan
kaidah-kaidah yang berlaku pada arena ­sastra. Selain FLP adalah
agen, ribuan anggota FLP juga m ­ erupakan agen yang menghuni
arena sastra dan hidup dengan ­kaidah-kaidah tersebut. Anggota FLP
melahirkan s­erangkaian tindakan seperti menulis, menerbitkan
buku, mempromosikan buku, menjalin hubungan dengan agen lain
dalam bentuk praktik. Anggota FLP menjalin ­hubungan dengan agen
lain baik sesama anggota FLP ­maupun agen lain dalam arena yang

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 133


sama serta terlibat perebutan p­ osisi yang p
­ aling menguntungkan.
Untuk memenangkan ­ kontestasi dan m ­ emperoleh posisi yang
paling ­menguntungkan, ­anggota FLP melakukan berbagai ­tindakan
yang ­berorientasi pada tujuan spesifik (strategi).
Arena sastra merupakan ruang yang otonom sekaligus
­eteronom terhadap arena lain, seperti politik dan ekonomi.
h
­Sebagai arena yang otonom, arena sastra ­memiliki ­keberaturan atau
huku-hukum tersendiri, yang ­berbeda atau ­bahkan ­menegasikan
keberaturan pada arena lain. Meskipun ­berada sepenuhnya ­dalam
arena kekuasaan, ­ arena ­ kultural tetap memiliki ­
otonomi yang
relatifkuat untuk menolak ­determinasi-determinasi ekonomi
dan politik. ­Bourdieu (2010) menyebutkan ada dua modal yang
­sangat ­penting ­dalam ­arena kultural, yakni modal ­simbolik dan
modal ­kultural. ­Modal simbolik mengacu pada derajat ­akumulasi
­prestise, ketersohoran, konsekrasi atau kehormatan, dan ­dibangun
atas ­ dialektika pengetahuan (connaisaance) dan pengenalan
­(reconnaisscance). Adapun modal kultural ada berkaitan dengan
bentuk-bentuk pengetahuan kultural, ­ kompetensi-kompetensi,
atau disposisi-disposisi tertentu.
Dua modal itulah yang membedakan arena sastra ­ dengan
a­rena ekonomi yang menjadikan nilai ekonomis sebagai m ­ odal
­paling besar. Dalam modal ekonomi, kekayaan dan ­penguasaan atas
­sektor-sektor produksi merupakan ­modal utama yang ­d­­iperlukan
untuk melakukan disposisi yang ­ menguntungkan. Oleh karena
itu, untuk ­memenangkan perebutan kontrol ­kepentingan dalam
bidang ekonomi para agen saling bersaing demi modal ekonomi
dengan ­melakukan berbagai strategi investasi. Berbeda lagi ­dengan
arena ­politik yang menjadikan dukungan sosial sebagai ­ modal
paling penting. Dalam politik memang dikenal pula modal sosial,
modal simbolik, dan modal intelektual. ­Namun ketiga ­jenis modal
tersebut baru dapat memberi makna politis jika dapat ­dikonversi ke
bentuk dukungan politik. Dalam arena ­politik, agen-agen ­berupaya
menguasai dengan mengakumulasi modal politik untuk meraih
posisi politik tertentu.
Sebagai arena yang heteronom, arena sastra merupakan

134 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


a­ rena yang bermukim dalam arena yang lebih luas, yakni ­arena
sosial dan politik. Oleh karena itu, dalam arena sastra juga ­berlaku
­keteraturan-keteraturan yang bersumber dari ­keteraturan ­sosial
dan politik. Kondisi inilah yang membuat arena ­ sastra juga
homolog dengan arena ekonomi. Dalam hal distribusi ­
­ modal,
misalnya, layaknya modal ekonomi, modal dalam arena ­ sastra
terdistribusi tidak merata di ­antara kelas-kelas sosial atau ­fraksi-
fraksi kelas. ­Sastrawan ­tertentu memiliki modal ­ simbolik dan
kultural melimpah ­ sehingga menempati posisi yang jauh lebih
menguntungkan, ­
­ sedangkan sastrawan lain hanya memiliki
modal ­simbolik dan kultural minimal sehingga menempati posisi
yang ­kurang menguntungkan. Jika sastrawan kedua ingin meraih
modal lebih banyak, ia harus melakukan serangkaian praktik yang
­memungkinkan terjadinya disposisi dari posisi tertentu ke posisi
lain yang lebih meng­untungkan.
Rekrutmen anggota besar-besaran yang ­ dilakukan FLP
pada masa awal pendirian organisasi merupakan ­praktik yang
­dilakukan untuk mengakumulasi ­modal ­kultural ­berupa ­jaringan
dan ­keanggotaan. Langkah itu diiringi oleh para pengurus ­dengan
membangun jaringan ­ kepada ­ sastrawan-sastrawan lain yang
­memiliki reputasi dan ­ketersohoran. Beberapa ­sastrawan ­tersebut
direkrut ­masuk dalam lingkaran organisasi menjadi anggota,
dewan ­
­ pertimbangan, atau anggota kehormatan. Tindakan ini
dapat dibaca sebagai upaya pengurus FLP mengakumulasi modal
kultural agar organisasi yang baru berdiri dan menduduki posisi
kurang menguntungkan dapat melakukan disposisi menuju posisi
baru yang lebih menguntungkan.
Dalam internal FLP, para anggota juga melakukan ­ praktik
yang homolog demi memperoleh lebih banyak modal kultural
yang dapat dijadikan sarana meraih ­posisi lebih ­menguntungkan.
­Anggota yang baru bergabung, ­sebagai contoh, berusaha ­menguasai
keterampilan minimal yang dipersyaratkan agar ia bisa menulis.
Mereka ­mengikuti ­pelatihan mengenai plot, ­mengenai ketokohan,
setting, dan pengetahuan lain yang baik ­secara ­sadar maupu tidak
­sadar d
­ iperlukannya untuk meraih ­modal kultural lebih ­banyak.

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 135


­ etika sudah bisa menulis, ia berusaha m
K ­ engirimkan n
­ askah atau
mengupayakan penerbitan ­
­ independen agar ­ keterampilannya
memperoleh pengakuan orang lain. ­Ketika bukunya telah terbit,
ia berupaya melakukan promosi ­dengan ­menuliskan resensinya
di Goodreads atau Facebook s­ ehingga nama dan karyanya dikenal
oleh lebih banyak orang. ­Akumulasi modal kultural tersebut terus
berlangsung.
Kecenderungan demikian telah menunjukkan bahwa FLP dan
anggota-anggotanya senantiasa terlibat ­ kontestasi dalam ­ arena
sastra. Agen yang dapat mengakumulasi ­ modal kultural ­ lebih
b­anyak akan menempati posisi ­kultural lebih dominan. Jika agen
berhenti melakukan praktik yang menyebabkan ­akumulasi modal
kulturalnya ­terhenti atau justru semakin hilang, ia akan menempati
posisi paling tidak menguntungkan. Jika proses itu berlangsung
hingga mengalami defisit hingga modal minimal tidak terpenuhi,
maka dia terpinggirkan dan tidak menjadi agen yang diakui pada
arena kultural bersangkutan lagi.
Melalui FLP telah lahir puluhan penulis produktif yang
t­ ersohor, mencatatkan penjualan best seller dan cetak ulang, ­bahkan
memperoleh penghargaan dari ­ lembaga-lembaga ­ kultural yang
­legitimate. Namun pada saat yang sama, ada ribuan ­anggota FLP yang
justru berhenti pada ­posisi tertentu ­sehingga tidak ­memperoleh
posisi apa pun yang cukup dipheritungkan Ada banyak ­anggota
yang meskipun ­telah aktif menjadi anggota, ternyata ­tidak dapat
menulis apalagi menerbitkan buku. Dengan ­
­ demikian, anggota
­bersangkutan tidak akan dikenal publik, tidak ­memperoleh ­pujian
dari ­
pembaca, apalagi memperoleh penghargaan dari ­ lembaga
yang legitimate.
Proses produksi dan akumulasi modal oleh agen d­ alam ­arena
tertentu sering disebut dengan kontestasi yang ­merujuk ­kepada
semacam aktivitas perlombaan yang ­ diselenggarakan ­ untuk
mencari sesuatu yang paling ­
­ memenuhi kriteria baik. Dalam
­kontestasi, pemenang ditentukan oleh juri yang memiliki otoritas.
Peserta kontestasi yang paling ­memenuhi kriteria kebaikan ­versi
juri atau bahkan mempengaruhi ­standar kebaikan juri memiliki

136 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


­esempatan lebih besar ­
k untuk menjadi pemenang. Akumulasi
modal dilakukan melalui ­lintasan dan strategi.
Dalam arena sastra di Indonesia, ada demikian banyak ­kontestan
yang berpartisipasi memperebutkan ­ posisi-posisi d
­ominan. FLP
berkontestasi dengan komunitas sastra lain ­ seperti Komunitas
Sastra Indonesia (KSI), K ­ omunitas Utan Kayu (KUK), Komunitas
Sastra Simpang Lima, ­Lembaga ­Bumiputera, majalah Sastra Horison,
Lesbumi, d ­ ewan k
­ esenian di berbagai d­ aerah, dan komunitas sastra
lain. ­Masing-masing ­komunitas tersebut ­memiliki anggota yang juga
berkontestasi satu d ­ engan lain. ­Kontestasi a­ ntaragen dalam arena
sastra membentuk ­jaringan yang rumit. ­Dalam satu wacana, agen
satu mendukung agen yang lain, ­namun dalam wacana yang berbeda
dapat saling menegasikan. Demi kepentingan spesifik tertentu satu
komunitas dapat bekerja sama namun dapat pula saling mengganggu
demi kepentingan spesifik lain.
Jika kontestasi dalam arena sastra dianalogikan sebagai ­kontes
kecantikan, para pemenang ditentukan oleh para juri, yakni ­pihak-
pihak yang memiliki otoritas kultural untuk melakukan penilaian
sesuai selera estetiknya. M ­ ereka adalah agen, kelompok, atau
institusi yang b
­ erada pada ­posisi dominan dan memiliki legitimasi
untuk ­melakukan penilaian. Dengan modal kultural yang dimilikinya,
­mereka dapat memberikan penilaian dan justifikasi terhadap
kualitas objek tertentu. Dengan pengaruh yang dimilikinya, juri
­
dapat menggiring masyarakat untuk ­meyakini bahwa ­penilaiannya
atas karya sastra tersebut adalah ­benar. ­Dalam wujud yang paling
mudah diamati, para juri tersebut ­adalah ­kritikus p
­ engasuh kolom
sastra di media, peneliti sastra di perguruan tinggi, penerbit, dan
lembaga pemberi ­penghargaan.
Pada angkatan Pujangga Baru dan Angkatan 45, salah satu sosok
yang memiliki otoritas kultural untuk ­menjadi juri adalah HB Jassin.
Pengetahuan, wawasan, ­pengaruh, ­jaringan, dan dokumentasi yang
dimilikinya m
­ ­ embuatnya menjadi ­ kritkus s­astra yang memiliki
pengaruh. ­
­ Tulisan-tulisannya dibaca dan dipercaya oleh ­ banyak
orang. ­Penilaian-penilainnya terhadap karya sastra dinilai sebagai
penilaian yang bermutu ­tinggi sehingga patut ­dipercaya. Dengan

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 137


modal ­kultural itulah HB Jassin ­memiliki ­modal kultural ­memadai
untuk ­mengatakan secara ­“benar” bahwa satu karya sastra baik
sementara yang ­lainnya ­buruk. ­Dengan ­pengaruh itu pula ia bisa
­membesarkan ­sastrawan ­tertentu ­dengan cara ­memberikan pujian
dan endorsement. Pada saat yang sama ia dapat menghentikan karier
­kepengarangan ­seseorang ­dengan ­memberikan ­penilaian ­buruk.
­Sepeninggal HB ­Jassin ­Indonesia ­memiliki ­kritikus yang berperan
­sebagai juri ­dalam ­kontestasi s­ astra di I­ ndonesia. Dengan kapasitas
dan o ­toritas k­ultural yang ­ berbeda, ada Maman S ­ Mahayana,­
Suminto A ­Sayuti, ­Sapardi Djoko D
­
­ amono, dan Budi ­Dharma. Pada
­angkatan yang jauh lebih muda kini muncul nama Jamal D Rahman
dan Bandung Mawardi.
Para redaktur sastra juga merupakan juri yang ­memiliki ­otoritas
kultural dengan takaran tertentu untuk ­membangun ­wacana apakah
karya sastra tertentu ­berkualitas atau ­tidak. ­Harian Kompas memiliki
Putu Fajar Arcana dan Bre ­Redana. Majalah ­Tempo memiliki Leila
S Chudori. ­ Koran ­
Tempo ­ memiliki Nirwan Dewanto. Republika
memiliki ­Ahmadun Yosi Herfanda. Suara Merdeka memiliki
­Triyanto T
­ riwikromo. Selain di ­media-media tersebut, ada belasan
­redaktur yang memainkan peran yang sama di ­me­ dia-media lain,
seperti Femina, Kartini, Intisari, bahkan di ­media yang “derajat”
kesusastrannya dianggap tidak lebih tinggi dari ­
­ mereka, seperti
Ummi, Femina, atau Kartini.
Dalam organisasi keredaksian, para redaktur ­adalah orang yang
memiliki wewenang untuk menerbitkan ­cerpen dan p ­ uisi pada ­edisi
Minggu koran mereka. Dengan ­kewenangan itu, para redaktur juga
dapat meminta tokoh tertentu untuk ­menulis ­ulasan tertentu untuk
­dipublikasikan di halaman sastra yang ­diasuhnya. Bahkan mereka
sendiri dapat menggunakan ruang yang ­dikelolanya ­untuk ­menulis
resensi, ulasan, atau kritik untuk menilai bobot karya sastra. Dengan
kewenangan itu, para redaktur memiliki ­otoritas k ­ultural untuk
mendorong karya sastra ­tertentu agar ­dikenal luas oleh masyarakat
sekaligus memiliki ­otoritas k ­ ultural ­untuk mencegah karya sastra
tertentu agar tidak ­memperoleh poularitas di masyarakat. Majalah
Tempo, ­ misalnya, ­memiliki suplemen karya sastra terbaik versi

138 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


Tempo yang berisi u
­ lasan karya-karya sastra yang menurut redaksi
Kumpulan cerpen Murjangkung karya AS Laksana
berkualitas. ­
pernah mendapat penghormatan sebagai karya sastra terbaik versi
majalah Tempo sehingga berpeluang untuk ­dibaca oleh lebih banyak
orang.
Selain kritikus dan redaktur sastra, lembaga pemberi­p­ enghargaan
juga memiliki otoritas kultural. ­Lembaga ini ­lazimnya menyatakan
sebagai lembaga independen ­ sehingga memiliki o ­bjektivitas
tinggi dalam melakukan ­ penilaian. ­ Sebelum ­ menganugerahkan
penghargaan, ­mereka ­membangun wacana bahwa pihak mereka
tidak memiliki kepentingan dalam ­proses ­pemberian penghargaan.
Pada sisi yang lain, mereka b ­ erusaha meyakinkan publik ­bahwa
mereka cukup kompeten untuk ­memberikan penghargaan ­tersebut.
Klaim bahwa mereka ­lembaga yang ­kompeten b ­ iasanya dikonstruksi
dengan menyebutkan ­ adanya juri yang memiliki kapasitas baik
di belakang mereka. Bagi ­ lembaga yang telah berpengalaman
memberikan ­ penghargaan, rekam jejak selama beberapa tahun
juga kerap dijadikan sebagai modal untuk meyakinkan masyarakat
bahwa mereka adalah pihak yang pantas memberikan penghargaan
tersebut.
Klaim pertama menyisakan persoalan karena menurut ­Bourdieu
(2010) selalu ada kepentingan dalam ­ ketidakberkepentingan.
­Keputusan sebuah lembaga untuk ­memberikan ­penghargaan ­adalah
tindakan yang memiliki motif. Keputusan untuk ­menyatakan ­bahwa
­lembaganya tidak berkepentingan ­sendiri m ­ erupakan t­ indakan yang
­ditumpangi kepentingan tertentu. ­Selain itu,­­lembaga ini ­diisi oleh
agen yang telah memiliki ­pereferensi estetis ­tertentu. Dengan bekal
pengetahuan dan standar estetis yang sudah terbentuk, sangat sulit
bagi mereka bertindak secara ­objektif terhadap objek seni.
Dalam arena sastra Indonesia dikenal sejumlah ­ lembaga
­ emberi penghargaan kepada sastrawan. Ikatan Penerbit ­Indonesia
p
(Ikapi) adalah salah satu lembaga yang ­memiliki tradisi ­memberikan
penghargaan kepada pengarang melalui Anugerah Adikarya ­Ikapi.
Ada Khatulistiwa Literary Award, Anugerah ­Sastra Balai ­Pustaka,
Anugerah ­ Pembaca ­ Indonesia yang dipelopori Goodreads, Pena

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 139


Award, dan Ummi Award. Freedom Institute yang diketuai oleh
Rizal Mallarangeng dan memperoleh sokongan dana dari ­keluarga
Bakrie juga memberikan penghargaan kepada ­sastrawan ­bersama
­tokoh-tokoh dari bidang lain yang dinilai m
­ emiliki ­kontribusi ­besar
bagi bangsa. Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) juga ­memiliki anualitas
­menyelenggarakan ­sayembara penulisan novel untuk memberikan
penghargaan ­ kepada para pengarang. Pada tingkat regional ada
­Penghargaan Penulis Asia Tenggara atau The S.E.A. Write Award
yang dianugerahkan setiap tahun sejak 1979.
Tidak hanya lembaga-lembaga lama dan besar, ­untuk ­kepentingan
tertentu juga memungkinkan didirikan l­embaga baru yang digunakan
sebagai alat mengukuhkan pengaruh karya ­sastra atau sastrawan
tertentu. Di I­ ndonesia misalnya ­Kepustakaan ­Populer Gramedia (KPG)
pernah ­menerbitkan 33 Tokoh Sastra ­ Paling Berpengaruh dalam
Sejarah Indonesia. Buku memuat ­profil 33 ­tokoh sastra lintas ­angkatan
yang oleh ­ editor buku ­ dianggap ­ memiliki pengaruh paling ­ besar.
Buku ini memasukkan pendiri FLP Helvy Tiana Rosa ­sebagai salah
satu tokoh paling ­berpengaruh bersama ­Chairil Anwar dan HB Jassin
serta tokoh-tokoh sastra lain. Buku ini menjadi kontroversial karena
memasukkan nama Deny JA sebagai salah satu tokoh berpengaruh
karena dinilai ­berjasa memperkenalkan puisi esai.
Meskipun para kritikus, redaktur, dan lembaga ­ pemberi
­penghargaan karya sastra telah berusaha membangun ­kepercayaan
bahwa dirinya memiliki otoritas kultural, ­ namun sikap mereka
­bukanlah hasil yang memiliki ­kekuatan mutlak. Dalam arena ­sastra
tidak ada juri ultima yang ­dikukuhkan secara legal untuk bisa menilai
kualitas atau nilai sastra ­karena keduanya tidak ­pernah stabil dan te­
rus berubah-ubah sepanjang waktu (Bourdieu, 2010). ­Dalam ­konteks
ini, para ­pemilik otoritas pun berlaku sebagai agen yang terlibat
kontestasi untuk meraih kepercayaan dan ­mencapai posisi d ­ ominan.
Arena sastra Indonesia seperti itulah yang ­menjadi ­ruang FLP
lahir, hidup, dan berkembang. Uraian di atas disajikan peneliti
­sebagai latar agar analisis-analisis pada bagian ­berikutnya mengenai
estetika sastra ­dakwah, branding sastra islami, politik konsekrasi,
dan politik ­endorsement dapat dipahami dengan lebih kontekstual.

140 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


10
Bertarung
”Berebut” Keindahan

K
EHADIRAN sebuah komunitas tidak bisa ­dilepaskan dari
peran agen dan situasi sosiokultural di sekitarnya pada
­konteks ruang dan waktu tertentu. Forum Lingkar Pena (FLP)
juga ­lahir dari rahim sosiokultural pada saat ­komunitas ini ­dirintis
dan ­didirikan. Kelahiran dan ­kemudian ­perkembangan komunitas
ini d
­ ipengaruhi d ­ inamika ­ruang sosial tempat ­komunitas itu hadir.
Oleh karena itu, ­untuk mengetahui proses pendirian FLP, p ­ enting
ditinjau k ­ ondisi ruang sosial pada periode tersebut. Ruang sosial
yang ­spesifik perlu ditinjau adalah ruang sosial sastra dan ­ruang
sosial seni. Namun, ruang sosial lain seperti politik dan agama juga
merupakan ruang yang memiliki pengaruh ­terhadap k ­ ehadiran FLP
di Indonesia. Tinjauan secara ­internal dan ­lintas bidang ­diperlukan
karena arena satu dengan arena lainnya ­memiliki ­pengaruh satu
sama lain.
Bourdieu (2010) menyebut ruang sosial dengan istilah a­ rena.
Dalam pengertian sederhana, arena adalah ruang ­sosial yang ­dihuni
oleh seseorang sebagai agen yang ­memiliki keteraturan (otonom)
dari ruang sosial lainnya. ­ Namun ­ demikian, arena satu dapat
pula ­saling ­mempengaruhi satu sama lain ­(heteronom). Bourdieu
­mempersoalkan ­dikotomi o ­ bjektivisme dan ­subjektivisme, antara
lain, ­untuk ­menguraikan cara agen ­melakukan b ­ erbagai t­indakan
(praktik) dalam ­sebuah ­arena. ­Objektivisme adalah ­realitas sosial

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 141


yang ada dan terbaca ­sebagai fenomena. Adapun ­subjektivisme
adalah ­bagaimana agen m ­ enginterpretasikan r­ealitas ­
sosial di
­sekitarnya ­sesuai ­dengan ­kapasitas ­kediriannya. ­Dikotomisasi itu
tidak dapat memahami ­objektivitas s­ubjektif atau ­subjektivitas
objektif. ­
­ Subjektivisme gagal memahami ­ landasan sosial yang
­membentuk kesadaran. ­Sebaliknya, ­objektivisme gagal ­mengenali
realitas sosial di tataran ­tertentu yang ­dibentuk oleh konsepsi dan
­representasi yang dilakukan individu t­ erhadap dunia sosial.
Melalui teori itu Bourdieu hendak mengatakan bahwa ada
hubungan yang erat antara praktik agen dengan ­realitas ­sosial
yang melingkupinya. Dengan demikian, tindakan ­ seseorang
dalam sebuah ruang sosial tidak ­
­ semata-mata ­ sebagai pilihan
­bebas ­individu, melainkan akibat ­pengaruh kondisi sosial pada
saat itu. Ia mempersoalkan teori ­kehendak bebas yang ­meyakini
­individu memiliki kekuatan untuk ­menentukan tindakan yang akan
­dilakukannya demi meraih keuntungan sosial. Menurut Bourdieu,
apa yang ­direpresentasikan individu dan kelompok melalui ­praktik
dan properti adalah bagian integral dari realitas sosial. ­Sebuah ­kelas
ditentukan oleh bagaimana mereka dipersepsi dan bagaimana ia
mempersepsi lingkungannya.
Dalam internal arena sastra, para agen ­ menduduki ­ posisi
tertentu dan bergerak dinamis untuk memperoleh posisi ­paling
menguntungkan. Dalam wujud yang paling mudah dikenali ­adalah
adanya sejumlah sastrawan yang ­berkelompok dalam ­berbagai
komunitas. Masing-masing ­ komunitas m ­ enempati posisi ­sosial
tertentu dan ­
berelasi dengan ­ komunitas lain dengan ­ berbagai
kemungkinan ­ bentuk ­ relasi. Bahkan dalam satu komunitas,
­eksponen-eksponennya juga menempati posisi yang berbeda dan
berelasi dengan b
­ erbagai bentuk relasi dengan eksponen lain pada
­komunitas yang sama.
Fragmentasi ideologis yang cukup tajam ­antarsastrawan di
­Indonesia pernah terjadi antara sastrawan yang ­terhimpun d
­ alam
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang cenderung ­berideologi
sosialis dan Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang ­ memiliki
kecenderungan ideologi liberal ­
­ (Herlambang, 2013). ­ Meskipun

142 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


dua lembaga itu secara ­harfiah tidak lagi ­eksis sejak ­tahun 1965,
namun ­fragmentasi sosialis dan l­iberal tetap ­mengemuka ­dalam
perkembangsan sastra di Tanah Air. Pada saat yang sama ­muncul
pula ­ sastrawan yang ­terhimpun dalam ­ organisasi ­ kesenian
­Nahdatul ­Ulama (NU), yakni Lesbumi. ­Ketiga kelompok ­komunitas
sastrawan ini, juga kemungkinan adanya kelompok sastrawan
­
lain, ­berhubungan sama satu sama lain dengan bentuk relasi yang
spesifik.
Jauh hari sebelum Forum Lingkar Pena (FLP) ­lahir, i­nstitusi
kesusastraan yang telah lama eksis adalah Majalah ­ Horison.
­Majalah ini menjadi tempat bernaung sekaligus ­menjadi ­institusi
­kebudayaan yang melahirkan agen-agen ­sastra seperti Mochtar
­Lubis, Arief Budiman, Taufik Ismail, Joni Ariadinata, dan ­kemudian
Jamal D ­Rahman. Pada tahun 1997, yakni tahun ­berdirinya FLP,
ada ­sejumlah ­komunitas atau organisasi sastra yang berdiri dan
memiliki identitas ­
­ kultural masing-masing. ­ Komunitas Sastra
Indonesia (KSI) adalah salah satunya. ­
­ Komunitas ini d ­idirikan
di T­angerang Selatan pada 1996 dengan salah satu ­ tokohnya
Saut ­Situmorang. Pada tahun yang sama, di Jakarta ­telah ­berdiri
­Komunitas Utan Kayu (KUK) yang ­berafiliasi dengan ­Intitut ­Studi
Arus ­Informasi (ISAI), Radio 68H, dan ­kemudian pada ­tahun 1998
memiliki Teater Salihara. ­ Komunitas Utan Kayu ­ didirikan oleh
penyair ­Goenawan Mohamad dan kemudian turut melahirkan
sastrawan yang memiliki pengaruh dalam ­kesusasteraan Tanah Air
seperti Ayu Utami dan Laksmi Pamuntjak.
Menurut Noor (2012) selain komunitas sastra yang ­memiliki
spektrum bersifat nasional, di Indonesia ­ telah ada ­berbagai
­komunitas atau institusi sastra yang ­bersifat ­kedaerahan. ­Gejala
ini menandai bahwa kegiatan sastra ­tidak lagi terpusat di kota
­besar seperti Jakarta, Bandung, atau ­Yogyakarta. Menurut Noor,
­beberapa komunitas dan ­institusi sastra di daerah adalah Jurnal
Citra Yogya dari ­Yogyakarta, Cak dari Denpasar, Kolong Budaya dari
Magelang, Menyimak dari Riau, Lingkar dari Serang atau Puitika
dari T­asikmalaya misalnya, meski bentuknya sangat sederhana
­namun cukup “berwibawa” hingga banyak penyair dari daerah lain

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 143


yang merasa bangga jika puisinya dimuat di sana.
Terdapat hubungan antara satu agen dengan agen lain ­dalam
arena sastra. Hubungan tersebut dapat terjalin ­dengan ­kerumitan
tertentu yang memperlihatkan adanya ­kolaborasi dan ­kemitraan
pada satu waktu namun ber­ kompetisi pada waktu yang lain.
­Hubungan demikian tidak hanya terjadi ­antaragen yang ­hidup dan
­berkembang pada kurun ­waktu yang sama, ­melainkan juga dapat
terjadi antaragen yang ­hidup pada periode waktu yang ­berbeda.
Secara ­
­ diakronis dapat ­diamati bahwa agen satu ­ merupakan
kelahiran ­
­ kembali agen yang ­ pernah ada ­ sebelumnya atau
­sebaliknya: agen satu ­merupakan bentuk konfrontasi dan negasi
dari agen lain yang telah ada sebelumnya. ­Kerumitan ­hubungan
­antaragen semakin ­bertambah lantaran tipe hubungan ­kultural
­senantiasa dialektis dan dinamis, saling memengaruhi satu sama
lain dan dapat berubah seiring waktu.
Dari teropong dialektika kultural, kelahiran Forum ­Lingkar
Pena (FLP) pada tahun 1997 juga tidak dapat ­dipisahkan dari
situasi internal arena sastra. ­Komunitas ini mulai ­berdiri ­sejak 22
Februari 1997 melalui tiga t­ okoh pendiri, yakni Helvy T ­ iana Rosa,
Asma Nadia, dan ­Maimoon H ­ erawati. Namun ­secara f­aktual, ada
lebih ­banyak orang yang berpartisipasi dalam ­proses ­pendirian
komunitas ini. Sebab, ­komunitas tersebut lahir berkat diskusi yang
­diselenggarakan sejumlah orang di Masjid ­Ukhuwah I­slamiyah,
Universitas Indonesia, Depok. Dalam diskusi t­ersebut (Rosa,
2005) para peserta sampai pada ­kesepakatan ­bahwa m ­ asyarakat
memerlukan bacaan yang bermutu. Di sisi lain, para ­peserta ­diskusi
juga melihat bahwa banyak anak muda yang mau berkiprah di
bidang penulisan, tetapi potensi mereka ­kerap tak ­tersalurkan atau
­intensitas menulisnya m ­ asih rendah, di ­antaranya karena ­tiadanya
pembinaan ­untuk ­peningkatan kualitas tulisan. Lebih dari itu, semua
yang hadir m ­ enyadari betapa ­efektifnya ­menyampaikan ­gagasan
melalui tulisan. Untuk mengatasi dua ­masalah itu para ­peserta
diskusi s­epakat untuk membantuk ­Forum Lingkar Pena ­sebagai
badan otonom atas Yayasan Prima. Pada awa masa ­pendirian,
sejumlah 30 anggota telah bergabung dan Helvy ­
­ Tiana Rosa

144 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


t­ erpilih menjadi ketua pertama ­komunitas ­tersebut. Helvy ­terpilih
secara aklamasi karena di antara 30 ­anggota yang ­hadir ­dalam
­rapat tersebut dialah s­ atu-satunya ­anggota yang telah ­menulis dan
menerbitkan buku sehingga dinilai lebih ­berpengalaman.
Menurut Rosa (2005) komunitas ini lahir sebagai alat ­resistansi
terhadap budaya popular yang mainstream ketika itu ­(akhir ­tahun
1990-an). Para pendiri FLP beranggapan bahwa ­mereka ­memegang
peranan penting sebagai kaum intelektual kontra ­hegemonik yang
di antara tugas mereka adalah ­mengorganisir dan ­mereorganisasi
terus-menerus kehidupan sadar dan tak ­sadar yang dijalani massa
popular nasional ketika itu. Para ­anggota dan pengurus FLP ­sendiri
menyadari adanya relasi saling menegasikan antara ­ sastrawan
satu dengan sastrawan lain secara ideologis. Hubungan ­ saling
menegasikan itu kemudian menurun dalam ­bentuk karya. Artinya,
sebuah karya dapat memiliki muatan ­ ideologis yang ­berifat
konfrontatif dan saling menegasikan dengan karya sastra lain yang
memuat ideologi yang berlawanan.
Sejak awal didirikan, FLP telah dideklarasikan sebagai
­ omunitas penulis yang diharapkan dapat memberikan ­pencerahan
k
kepada masyarakat atau umat. Dalam frasa “pencerahan ­kepada
masyarakat atau umat”, para ­pendiri, pengurus, dan kemudian
­anggota FLP mengasumsikan bahwa pada ­periode tersebut ada
karya sastra yang “tidak mencerahkan”. Dalam ­ungkapan yang ­lebih
asertif, terdapat karya sastra yang ­bertentangan ­dengan ­standar
keindahan dan kebenaran yang mereka yakini. ­Untuk ­melawan
karya sastra yang demikian, mereka sepakat untuk ­melahirkan
karya sastra yang memiliki ideologi berlawanan. Menurut Azwar
(2012) secara spesifik, karya sastra yang dinilai para aktivis FLP
sebagai karya yang kurang baik itu ­adalah ­novel-novel ­terjemahan
Barat yang kebanyakan bertema percintaan, ­pernikahan ­terlarang,
dan seks bebas. ­Selain itu toko-toko buku Indonesia pada akhir
dekade 1990-an itu juga dibanjiri ­komik-komik asing yang tidak
­hanya lucu, ­tetapi juga “lucah”. Komik-komik yang t­ idak ­hanya
berkisah ­tentang keseharian anak-anak tetapi juga ­komik-
komik yang ­menceritakan dan menggambarkan dengan detail

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 145


t­ entang cara berhubungan badan yang hebat, b ­ agaimana cara
agar tidak hamil ketika berhubungan intim, atau komik yang
­mengajarkan secara detail bagaimana ­trik-trik bermesraan di
area sekolah yang bisa ­memanfaatkan ­kamar mandi, bahkan
ruangan kantor guru. Pada sisi lain, para pendiri FLP merasa tidak
bisa mengharapkan ­pencerahan datang dari sastrawan-sastrawan
yang pada saat itu ­telah eksis pada panggung sastra Indonesia.
Meskipun tidak tepat jika dihadapkan secara face to face,
­ahadiran FLP merupakan jawaban atas ­
k maraknya karya
sastra yang secara vulgar mendeskripsikan alat ­
­ kelamin dan
­persetubuhan. Momentum yang menandai ­konfrontasi ­ideologis ini
antara lain adalah ­dimenangkannya ­novel ­Saman karya Ayu Utami
oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) ­sebagai pemenang Sayembara
Novel ­Dewan ­Kesenian J­akarta tahun 1998. Novel itu kemudian
diterbitkan oleh ­Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) pada April
di tahun yang sama dan sukses di pasaran. Dalam catatan ­Yudiono
KS (2009) d ­ alam tempo tiga tahun saja, Saman telah dicetak 17
kali atau ­dicetak sebanyak 55 ribu eksemplar. Kesuksesan S­ aman
kemudian diikuti oleh terbitnya karya sastra lain yang ­memiliki
topik ­seksualitas dengan gaya bertutur yang sama vulgar, seperti
Nayla (Djenar Maesa Ayu) dan sejumlah novel lain.
Konfrontasi antara FLP sebagai representasi agen ­ sastra
berideologi Islam dengan penulis yang ­berideologi ­liberal dapat
dibaca dalam polemik yang muncul di ­surat kabar. ­Taufik ­Ismail
yang pernah menjadi ­Ketua D ­ ewan ­Pertimbangan ­Forum ­Lingkar
Pena ­mengkritik keras ­novel-novel yang mengambil topik seks
dengan gaya ­penceritaan ­vulgar ­sebagaimana Saman. Dalam ­pidato
­kebudayaan ­Budidaya Malu Dikikis Habis Gerakan S­ yahwat Merdeka,
Ismail (2006) ­menyebut karya satra tersebut ­sebagai ­sastra mazhab
­selangkangan (SMS) atau ­fiksi alat kelamin (FAK). Ia m ­ enyebut ada
tiga belas pihak yang ­mempromosikan gerakan syahwat merdeka
dengan ­ menempatkan penulis setengah s­astra sebagai salah
­satunya. Hidayat (2007) membela Ayu Utami dan Djenar dengan
mengatakan ­Taufik melakukan ­generalisasi. ­Menurutnya, sastra
yang disebut Taufiq ­sastra FAK itu, ­bukan ­sastra FAK atau sastra SMS.

146 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


Penyebutan alat kelamin dan ­adegan seks ­menurutnya h ­ anyalah
strategi bertutur penulis ­untuk ­mengungkapkan ­permasalahan lain
yang lebih serius. Hidayat ­berpendapat, pada ­cerpen-cerpennya
­Djenar memang m ­ enyebutkan alat kelamin, tapi alat kelamin itu
sekadar ­pintu masuk untuk makna lain, yakni penderitaan sang
anak yang menjadi ­korban kekerasan keluarga. Melalui ­deskripsi
alat kelamin itu si penulis berupaya mengajak pembaca ­untuk
bersimpati kepada korban kekerasan.
Pada masa awal pendiriannya, dalam internal ­ komunitas
muncul kesadaran bahwa menulis ­
­ merupakan ­bagian integral
gerakan dakwah. Adapun gerakan dakwah merupakan kewajiban
yang melekat pada setiap Muslim ­sebagaimana telah disebutkan
dalam Al-Quran. Melalui ­ tulisan, anggota FLP percaya, ­mereka
dapat ­ mengajak ­ pembaca menyampaikan kebaikan. Dengan
menulis karya-karya ­sastra yang dapat mengarahkan pembaca ke
arah ­kebaikan, mereka percaya sedang melakukan ­dakwah ­dengan
melawan karya sastra mainstream yang justru ­“menganjurkan”
­kemaksiatan. Oleh karena itulah, ­tumbuh kesadaran dalam ­anggota
bahwa gerakan yang mereka ­ lakukan melalui FLP ­bukanlah
­gerakan yang ­berorientasi keduniaan semata, melainkan gerakan
yang berorientasi pada akhirat.
Selain dialektika yang hidup dalam internal arena sastra,
­kelahiran FLP juga dipengaruhi kejadian yang berlangsung di arena
politik. Sejak 1970-an, di Indonesia telah ­muncul ­gerakan Tarbiyah
yang dipengaruhi oleh Al-Ikhwanul Al-Muslimin ­ (Persaudaraan
Muslim) di Mesir. Menurut Rahmat (2008) ­Ikhwanul Muslimin
sendiri dirikan oleh Hasan Al-Banna pada 1928 dengan tujuan
­menegakkan nilai-nilai Islam secara benar di berbagai penjuru
dunia. Gerakan ini merupakan respon atas Perang Dunia I yang
membuat sejumlah negara Eropa dan ­Amerika ­menguasai wilayah
­negara Islam. Kekuasaan Barat tidak hanya ­secara geografis
dan politik tetapi juga mulai melebar pada hal-hal yang ­bersifat
­ideologis dan kultural. Kondisi itu ­memembuat Hasan a­ l-Banna
­prihatin sehingga merancang gerakan ­untuk ­melakukan p ­ erubahan
di M ­ esir. Perubahan ­dilakukan dengan dua cara, yakni gerakan

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 147


­tasawuf dan pendidikan (tarbiyah).
Pengaruh gerakan tarbiyah Ikhwanul Muslimin ­meluas pada
negara-negara lain, termasuk di ­Indonesia. Menurut ­Putra (2008)
gerakan tarbiyah di Indonesia d ­ ibawa oleh ­sejumlah intelektual
Indonesia yang memiliki latar ­belakang pendidikan santri ­seperti
Ir. T.M. ­Soelaiman, Prof. Drs. ­Ahmad Sadali dan adiknya, Ir. Nukma
yang bekerja ­sebagai dosen di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Pada awal pergerakannya, mereka menjalankan salat Jumat
­berjamaah di Masjid ­Salman yang terleak di kampus ITB. Pada
perkembangannya, masjid salman ITB tidak hanya ­
­ digunakan
untuk kegiatan salat semata, tetapi juga sebagai sentral kegiatan
keislaman. Masjid Salman ITB ­memiliki berbagai ­kegiatan yang
secara umum kegiatan tersebut ­terbagi menjadi dua; kegiatan yang
ditujukan ­dalam ­rangka dakwah kepada masyarakat yang lebih
luas dan kegiatan yang dimaksudkan untuk ­kaderisasi para ­aktivis
dakwah. Kegiatan yang ­pertama antara lain program ­peribadatan,
bimbingan ­belajar dan ­kursus-kursus bagi pemuda, pelajar dan
­mahasiswa, pembinaan ­anak-anak, ­kursus ­kesejahteraan rumah
tangga bagi kaum ibu, penyediaan dan ­ pengiriman ­ guru-guru
­agama ke rumah-rumah, program ­penerjemahan dan ­penerbitan
buku-buku keagamaan, dan lainnya. Adapun program kedua antara
lain dilakukan melalui kegiatan pengajian dalam bentuk liqo.
Orang yang memiliki pengaruh dalam transmisi ­pemikiran
Ikhwanul Muslimin ke Indonesia adalah Ir. Muhammad Imaduddin
Abdulrahim, MSc yang biasa disapa Bang Imad. Pada tahun ­1960-
an Bang Imad menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus ­Besar
Lembaga Dakwah Mahasiswa (PB LDMI), ­
­ selanjutnya ­ sebagai
Sekjen ­International Islamic Federation of Student ­Organization
(IIFSO) menjadi bekal Bang Imad menyusun konsep ­pengkajian
­keislaman di ­Masjid Salman ITB yang kemudian konsep inilah yang
menjadi m
­ odel dan berkembang di hampir seluruh masjid k ­ ampus
di Indonesia. Metode dakwah dan kaderisasi yang ­hampir sama
juga ­dilakukan oleh kelompok mahasiswa di ­Yogyakarta, ­yakni
­kelompok ­mardliyah (masjid Kampus IKIP ­Yogyakarta), ­Kelompok
Masjid Syuhada dan kelompok Masjid Jamaah ­Salahudin (Masjid

148 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


Kampus UGM), Universitas Islam ­Indonesia (UII), dan Universitas
Pembangunan Nasional Veteran (UPN Veteran). Adapun di ­Jakarta
­tidak luput juga lingkungan Universitas Indonesia (UI) menjadi
target dakwah gerakan ini (Rahmat, 2008).
Gerakan tarbiyah di perguruan tinggi lazimnya ­berkembang
di kampus universitas dengan ­ organisasi k ­erohanian Islam
­(rohis). Demikian pula di ­Universitas I­ndonesia, gerakan ­tarbiyah
berkembang di Masjid U
­ ­khuwah Islamiyah yang merupakan
­masjid universitas. Di masjid inilah Helvy Tiana Rosa yang saat itu
berkuliah di Jurusan Sastra Asia Barat Fakultas Sastra ­berkegiatan,
­selain di ­Senat Mahasiswa Fakultas Sastra, dan Teater ­Bening.
Sebagai ­
­ aktivis masjid, Helvy memiliki jaringan persahabatan
­dengan ­sesama aktivis rohis di berbagai u­ niversitas. Kelak, ­jaringan
perkawanannya dengan aktivis rohis di berbagai p ­ erguruan tinggi
menjadi modal sosial yang sangat mendukung ­ekspansi FLP ke
berbagai daerah.
Hubungan historis antara gerakan tarbiyah ­ dengan ­ Forum
Lingkar Pena (FLP) menjadikan keduanya m ­ emiliki ­
sejumlah
kesamaan. Kesamaan induk pada ­gerakan ­tarbiyah yang ­berasal
dari Mesir inilah yang membuat FLP juga dekat secara ­ideologis
dan kemudian ­politis ­dengan ­gerakan-gerakan ­tarbiyah seperti
kerohanian ­Islam ­(Rohis) di sekolah, ­Lembaga Dakwa Kampus (LDK)
di p
­ erguruan ­tinggi, ­Kesatuan Aksi Mahasiswa ­Muslim ­Indonesia
­(KAMMI), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). K ­ edekatan ­ideologis
FLP dengan gerakan ­tarbiyah itu memberi ­keuntungan ­sosial yang
­sangat berharga pada masa awal pendirian FLP. ­Jaringan R ­ ohis dan
LDK ­berkontribusi ­menyosialisasikan FLP ­kepada anak-anak muda
di ­sekolah-sekolah ­dan­perguruan tinggi. ­Pembentukan ­jaringan
melalui Rohis dan LDK inilah yang membuat FLP lebih berkembang
di kantong-kantong anak muda terpelajar, meskipun membuka diri
untuk ­anggota dari latar ­belakang lain.
Kedekatan ideologis sebagai organisasi dakwah pula yang
­membuat FLP memiliki kedekatan dengan Partai Keadilan (PK) yang
berdiri tahun 1998. Keduanya kerap b
­ erkolaborasi ­mewujudkan
agenda yang menurut ­ mereka “memiliki ­ tujuan yang sama”.

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 149


Segmentasi pemilih PKS dengan segmentasi p ­ engkaderan FLP kerap
sama ­sehingga b­ eberapa orang ­anggota FLP ­adalah juga anggota PKS.
­Secara tersurat Presiden PKS (saat itu) Anis ­Matta pada 2013 ­bahkan
mengatakan bahwa Forum ­Lingkar Pena m ­ erupakan ­tempat anak-
anak muda PKS berkarya ­(Tempo, 2013). Ia juga ­menyebut, penulis
novel Ayat-Ayat Cinta ­ Habiburahan ­ El-Shirazy yang ­ merupakan
mantan anggota FLP Mesir, ­merupakan kader p ­ artainya.
Kesamaan induk gerakan membuat hubungan FLP dan PKS
berkembang tidak terbatas pada hal-hal yang ­bersifat ­kultural,
­melainkan juga politis. Pendiri sekaligus ketua pertama FLP Helvy
Tiana Rosa ­pernah ­diminta oleh PKS menjadi calon anggota legislatif
pada ­pemilu tahun 2004. Sempat menyatakan tidak berminat,
namun Hidayat Nur Wahid (salah satu tokoh sentral PKS) meminta
langsung kepada suaminya. Namun Helvy tidak terpilih.
Kedekatan antara FLP dengan PKS diakui oleh ­ Sekretaris
J­ enderal FLP Afifah Afra, namun sebagai ­tidak ­bersifat ­struktural
dan kelembagaan. Dalam w ­awancara dengan penulis, ­ Afra
­mengatakan, ­komunitasnya ­menghargai aspirasi politik ­anggotanya,
­membebaskan ­anggota ­bergabung dengan ­partai politik mana pun,
­sebagaimana dapat disimak dalam kutipan ­berikut:

“ Kami menghargai hak politik setiap anggota. ­Mereka b


­ ebas
bergabung dengan partai politik mana pun. Mau ­bergabung
­dengan partai nasionalis silakan, mau bergabung dengan ­partai
­Islam juga silakan. Kalaupun banyak ­anggota FLP yang jadi
­anggota PKS ya karena memang ada ­kesamaan kultur. Memang
ada anggota FLP yang menjadi anggota PKS, banyak banget.
Tapi yang menjadi anggota partai lain juga ada.

Keterangan yang sama juga diberikan Ketua Bidang ­Jaringan


dan Wilayah FLP Koko Nata. Banyak ­anggota FLP yang ­terlibat dan
menjadi kader partai politik, namun tidak ada hubungan resmi apa
pun antara FLP dengan partai ­politik. Hubungan itu terjalin karena

150 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


organisasinya memberikan kebebasan berpolitik kepada ­ setiap
anggota. Kebebasan memilih politik, ­menurutnya, adalah hak
yang harus diberikan kepada setiap warga n ­ egara. ­Menurutnya,
komunitas tidak mengarahkan anggota untuk ­menyalurkan ­aspirasi
politiknya melalui partai tertentu.
Latar sosial lain yang turut mempengaruhi kelahiran dan
perkembangan FLP adalah situasi politik ­Indonesia pada ­tahun
1997 dan setelahnya. Pada masa itu, di ­Indonesia ­terjadi krisis
­moneter yang berdampak pada gerakan ­reformasi. P ­ emerintah
Soeharto yang telah ­ lebih dari tiga dekade k ­okoh berkuasa
mendapat guncangan dari ­mahasiswa, ­tokoh i­ntelektual, dan pers.
­Puncak gerakan reformasi ­terjadi pada 21 Mei 1998 ketika P
­ residen
­Soeharto semakin terdesak dan memutuskan m ­ engundurkan diri.
Ia digantikan oleh Wakil Presiden Baharudin Jusuf Habibie yang
bersikap lebih ­akomodatif terhadap agenda reformasi.
Turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan dan d ­ imulainya
era reformasi membawa dampak yang luas di bidang politik dan
sosial. Di bidang sosial dan politik, era ­
reformasi mendorong
lahirnya berbagai organisasi ­
­ kemasyarakatan dengan ­ berbagi
­bentuk, seperti ­lembaga swadaya masyarakat (LSM), ­komunitas,
dan organisasi ­ kemasyarakatan (ormas). Hak berkumpul dan
berserikat yang meskipun telah dijamin konstitusi mendapat
­
tekanan pada Soeharto kembali diperoleh masyarakat setelah
­tahun 1998. Di samping bebas mendirikan organisasi, masyarakat
juga bebas menyelenggarakan berbagai kegiatan tanpa ­kontrol dan
represi dari alat negara.
Pada bidang informasi, perubahan besar yang ­terjadi pada
awal era reformasi adalah pencabutan ­ ketentuan ­ Surat Izin
­Usaha ­Penerbitan dan Pers (SIUPP) yang ­tertera pada ­Peraturan
­Menteri Penerangan (Permenpen) N ­ omor 01 T
­ ahun 1984 ­dengan
menerbitkan Permenpen ­
­ Nomor 1 T ­ahun 1998. Pada masa
­pemerintahan Soeharto, ­Permenpen tersebut ­dijadikan alat ­kontrol
negara ­terhadap kegiatan pers dan penerbitan buku. Peraturan ini
kerap ­dijadikan dasar ­yuridis bagi pemerintah ­untuk m­ elakukan
pembredelan ­
­ surat kabar yang menerbitkan ­ berita yang ­tidak

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 151


­ enguntungkan pemerintah. Peraturan ini juga memuat ­ketentuan
m
mengenai peredaran buku. Dengan peraturan ini pemerintah
­
­memiliki legitimasi untuk melarang sebuah atau ­beberapa buku
­diedarkan jika dinilai “berbahaya” bagi ­kepentingan ­pemerintah.
Efek dari penerbitan Permenpen tentang p ­ encabutan ­Permenpen
Nomor 1 Tahun 1984 adalah d ­iperolehnya k ­embali ­ kebebasan
menerbitkan. Sejumlah surat kabar, ­ tabloid, dan ­ majalah yang
telah diberedel memiliki hak u ­ ntuk ­kembali ­menerbitkan ­produk
jurnalistiknya. Kebebasan ­menerbitkan ­media juga ­dimanfaatkan
pendatang baru untuk merintis ­produk ­jurnalistik dalam berbagai
bentuk. Pada saat yang sama, ­masyarakat ­menyambut keputusan ini
dengan mendirikan usaha pada bidang penerbitan. Menurut Makka
(2008) sejak penerbitan Permenpen Nomor 1 T ­ ahun 1998 pada
Mei 1998 hingga Juni 1999 p ­ emerintah telah ­menerbitkan lebih
dari 400 SIUPP. K ­ ondisi d
­ emikian ­semakin ­dimantapkan dengan
terbitnya ­Undang-Undang Pers pada ­tanggal 23 ­September 1999.
Dalam ketentuan ini dengan ­tegas diatur mengenai penghapusan
penyensoran, pelarangan penyiaran, dan masalah pembredelan
Selain menghidupkan kembali media, kondisi ­ politik pada
tahun 1998 juga membangkitkan kembali ­
­ industri ­
penerbitan
buku. ­ Kebangkitan industri penerbitan buku yang ­ ditandai
dengan kelahiran berbagai perusahaan ­
­ penerbit membuat
­penerbit ­memerlukan lebih banyak ­naskah. ­Peluang ­penulis ­untuk
­menerbitkan naskah dan memperoleh keuntungan ekonomi dan
sosial dari ­
­ naskahnya juga semakin terbuka. Bagi orang yang
memiliki ­ ambisi menjadi penulis, kesempatan itu dapat diraih
antara lain dengan melatih diri atau bergabung dengan komunitas-
komunitas penulisan. ­ Dalam konteks ini, Forum Lingkar Pena
menawarkan fasilitas pelatihan dan jaringan bagi calon penulis
untuk meraih impiannya.
Pada awal masa berdirinya, para pendiri FLP ­memanfaatkan
jaringan personal dan majalah Annida ­sebagai sarana ­sosialisasi
kepada calon anggota. Strategi ini terbukti efektif dan dapat
­
menarik minat calon ­anggota di berbagai daerah untuk b
­ ergabung.
Ketika Helvy Tiana Rosa sebagai ketua FLP sekaligus ­pemimpin

152 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


redaksi A ­nnida ­
menerbitkan formulir pendaftaran di majalah
­Annida, ­lebih dari tiga ribu pembaca mengirimkan formulir itu dan
­menyatakan ­keinginannya bergabung. Formulir tersebut ­kemudian
­disortir berdasarkan wilayah, kemudian diserahkan ­kepada ­orang-
orang terdekat Helvy agar didirikan FLP cabang.
Namun demikian, sosialisasi bukanlah ­ satu-satunya kunci
kesuksesan FLP dalam merekrut ­ anggota dan membentuk
jaringan di seluruh ­Indonesia. Hal yang ­lebih mendasar adalah
tawaran visi FLP u ­ ntuk menjadikan karya sastra sebagai sarana
­berdakwah. ­Dalam anggaran dasar FLP disebutkan ­bahwa visi FLP
adalah ­menjadi ­organisasi yang mencerahkan ­pembaca melalui
tulisan. Para pengurus FLP sepakat ­
­ menggunakan kata ­ “sastra
mencerahkan” sebagai karya sastra yang ­
­ menginspirasi dan
menggerakkan pembaca melakukan ­kebaikan berdasarkan ­anjuran
agama Islam. Pada ­perkembangannya, ­“mencerahkan” dimaknai
lebih universal sebagai k­ebaikan-kebaikan yang bersifat umum
dan tidak didasarkan pada anjuran dalam agama. ­Ambisi untuk
mencerahkan masyarakat melalui tulisan ­itulah yang ­menarik minat
banyak muslim untuk bergabung. Mereka ­mempersepsi bahwa
dengan bergabung dengan FLP dan mengembangkan kemampuan
menulis, berarti mereka juga melakukan dakwah. Adapun dakwah
adalah kewajiban yang menurut mereka selalu melekat kepada
setiap umat Islam (Muslim) sepanjang hayat.
Dari sudut pandang produksi kultural, pilihan pengurus untuk
menjadikan FLP sebagai ­ organisasi yang bercitra “islami” dan
menjadikan ­“dakwah” ­sebagai ­orientasi gerakan adalah pilihan
kultural yang ­sangat menguntungkan. ­Dengan strategi itu, FLP
bermain di ­
­ ceruk yang sangat luas ­ sehingga memiliki potensi
meraih ­ dukungan dari khalayak. Sebab, jumlah umat Islam di
­Indonesia ­mencapai 200 juta orang, terbesar di dunia. ­Sebagai
­identitas, “islami” adalah identitas yang populer bagi masyarakat
Indonesia. Selain itu, orientasi “dakwah” yang ditawarkan FLP
­
menyentuh motif yang sangat ­esensial dalam diri setiap Muslim.
Sebab, setiap umat Islam memiliki tanggung jawab melakukan
dakwah sebagaimana ­diwajibkan Tuhan melalui Ali Imron ayat

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 153


104, An-Nahl ayat 125, Al-Qashash ayat 87.
Sejak awal FLP telah mendeklarasikan diri sebagai ­komunitas
yang inklusif, terbuka bagi siapa pun. ­ Kondisi ini membuat
segmentasi dan pangsa pasar FLP ­
­ semakin luas. FLP ­ menjadi
­ruang terbuka yang memungkinkan Muslim dari berbagai harakah
(gerakan) bergabung dan m ­empelajari kepenulisan. Tidak
­hanya dari orang-orang yang ­berlatar ­belakang gerakan tarbiyah
­ enerima anggota baru dari harakah lain
­Ikhwanul ­Muslimin, FLP m
­seperti ­Hizbut Tahrir, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Salafi,
Jamaah Tabligh, dan harakah lainnya. Di beberapa cabang ­bahkan
ada anggota beragama Kristen dan Katolik yang ­bergabung untuk
mengikuti pelatihan menulis. Kepada ­ anggota yang beragama
Kristen atau Katolik pengurus ­mengaku sejak awal ­menyampaikan
bahwa FLP memiliki visi dakwah.

Konstruksi Estetik Sastra Dakwah


Keindahan atau estetika merupakan nilai yang ­ dipersepsi
melekat pada objek tertentu sebagai ­ konstruksi subjek dan
­masyarakat. Untuk menilai objek estetis atau tidak, dua ­komponen
perlu diperhitungkan dengan sama baiknya, ­yaitu sifat empiris
objek dan bagaimana ­
­ subjek ­
menginterpretasikannya. Dengan
­demikian, keindahan m­ erupakan hasil persinggungan objek estetis
yang ­direspon oleh subjek dengan cara tertentu yang kemudian
menghasilkan pengalaman estetik.
Salah satu konsep estetika paling populer d­ irumuskan oleh
Thomas Aquinas (dalam Sutrisno, 2010) sebagai ­ sesuatu yang
“... berkaitan dengan pengetahuan, kita ­ menyebut ­ sesuatu itu
indah jika sesuatu itu ­
­ menyenangkan mata sang pengamat”.
­Labih lanjut “Keindahan h­ arus ­mencakup tiga kualitas: ­integritas
atau ­ kelengkapan, ­proporsi, atau ­keselarasan yang benar dan
­kecemerlangan.” Aquinas ­mengajukan peranan dan rasa si ­subjek
dalam proses ­terjadinya keindahan. Ia menggarisbawahi betapa
pentingnya pengetahuan dan pengalaman ­
­ empiris-aposteriori
yang ­terjadi dalam diri manusia.
Sebagaimana penilaian terhadap karya seni lain, penilaian estetik

154 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


terhadap karya sastra tidak semata-mata bertumpu pada eksistensi
empiris objek bersangkutan. Hal itu berarti, penilaian terhadap
karya sastra tidak ­hanya ­didasarkan pada unsur ­intrinsik seperti
alur, konflik, ­setting, dan penokohan, melainkan juga pada wacana
kesusastraan yang ­
­ melingkupinya. Adapun wacana ­ senantiasa
berkaitan dengan pengetahuan dan informasi yang diserap ­subjek
­bersangkutan. Kondisi inilah yang menyebabkan penilaian terhadap
nilai estetik karya sastra senantiasa bersifat ­personal.
Untuk mengetahui konsep keindahan sastra ­dakwah, p ­ enting
untuk terlebih dahulu dipahami bagaimana ­pemahaman ­terhadap
keindahan tentang sastra dakwah dikonstruksi. Sebab, para
­pengarang sebagaimana para ­seniman lain telah ­memiliki ­konsep
estetik dalam dirinya yang digunakan sebagai dasar ­proses ­kreatif.
­Konsep itu diperoleh melalui berbagai sarana, baik melalui jalur­
­pendidikan maupun pengalaman estetis yang ­dialaminya ­ketika
berhadapan dengan objek seni. Konsep ­estetik b
­ erisi pengetahuan
tentang kriteria keindahan ideal s­ekaligus ­ pengetahuan untuk
mewujudkan kriteria tersebut ke ­ dalam objek seni. Kriteria
keindahan adalah konsep-konsep m
­ ­ engenai mana yang indah
dan mana yang tidak indah. ­Adapun pengetahuan ­tentang cara
mewujudkan konsep ­estetis adalah pengetahuan praktis tentang
mewujdukan konsep estetis yang abstrak ke ­dalam objek estetik
yang konkret. Konsep estetika demikian dimiliki melalui proses
pemerolehan yang bersifat akumulatif.
Para pengarang FLP adalah para pengarang yang ­pernah hidup
pada ruang sosial tertentu. Dari ruang ­sosial itu m
­ ereka menyerap
konsep keindahan tertentu dan m ­ enginternalisasikannya menjadi
konsep individu. K­ etika ­mereka bergabung dengan FLP, mereka
juga ­mengikuti pendidikan internal yang ­diselenggarakan oleh
pengurus. ­
­ Beberapa program pendidikan internal yang ­ diikuti
­anggota adalah kajian keislaman, pendidikan ­kepenulisan dasar,
dan Forum Kepenulisan yang diselenggarakan ­rutin. ­Konsep e­ stetik
yang dimiliki oleh anggota FLP dari ­ ruang sosial ­ sebelumnya
berpadu dengan konsep ­ estetik yang ­ diperolehnya melalui
proses pendidikan internal tersebut. Dua konsep itu dapat saling

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 155


memperkuat, saling ­menegasikan, atau mengalami ­sinkretisasi.
Berdasarkan data yang diperoleh melalui wawancara ­terhadap
anggota FLP, dapat diketahui bahwa ­anggota FLP ­memiliki konsep
estetik yang hampir sama. ­ Mereka menilai keindahan karya
sastra terletak pada muatan p ­ esan ­moral dan kekuatannya untuk
mempengaruhi pembaca ­ untuk melakukan kebaikan. ­ Adapun
kebaikan, menurut ­
­ mereka, adalah kebaikan yang bersumber
dari ­ajaran I­ slam, baik ­bersifat ekslusif hanya bagi pemeluk ­Islam
­maupun ­kebaikan yang bersifat universal. Kriteria karya sastra
­demikian, pada periode awal keberadaan FLP disebut ­dengan ­istilah
sastra islami. Namun istilah tersebut mendapat ­gugatan dari luar
karena menjadikan Islam sebagi brand bagi karya-karya mereka.
Istilah lain yang kerap ­digunakan untuk menggantikan istilah islami
adalah “sastra dakwah” atau “sastra yang mencerahkan”.
Tabel di bawah ini berisi pendapat anggota FLP ­mengenai
kriteria sastra islami menurut mereka.

No
Definisi Sastra Dakwah
­Responden

1 Yang mengandung pesan dan nilai ­moral. Menga-


jarkan kebaikan dengan tidak ­menggurui.

2 Satra dakwah adalah karya sastra yg ­mengandung


pesan kebaikan baik secara tersirat ataupun ter-
surat dikemas dengan cara yang tidak melang-
gar aturan Islam dan ­aturan/norma yang berlaku.
Karya sastra ­dakwah d­ itulis dengan menyisipkan
pesan2-pesan ­kebaikan, moral, hikmah (dakwah)
dalam karya ­sastra dengan bahasa yang univer-
sal ­sehingga dapat dicerna oleh semua ­golongan,
­bahkan oleh non-muslim sekalipun. ­Karena ­Islam
­bersifat universal maka harus juga ­disampaikan
secara universal dengan bahasa yg ­
­ mudah
­dimengerti baik langsung maupun tak langsung
melalui karya sastra.

156 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


3 Sastra dakwah adalah sastra dapat ­membawa
arah peradaban manusia yang berakhlak dan ke-
hormatan yang lebih tinggi. Sastra dawkah mem-
beri isi dalam cerita kehidupan yang baik.

4 Sastra dakwah adalah yang mengandung nilai


pembelajaran.

5 Sastra dakwah itu karya sastra yang ­ memiliki


pesan baik secara tersurat ataupun ­tersirat. Tidak
harus yang ada e­ mbel-embel ­Assalamu’alaykum,
afwan, syukron, tapi ­kebaikan secara universal.

6 Sastra merupakan wujud dari esensi ­pemikiran


suatu zaman dan menjadi salah satu sumber ilmu
pengetahuan yang ­sangat otentik. Sastra dakwah
tidak menyalahi ­prinsip-prinsip keislaman.

7 Dalam Al-Qur’an sendiri, sebagian besar ayat-ayat


yang mengandung nasehat, ilmu ­ pengetahuan,
hikmah, larangan, anjuran, dll, berupa cerita. Mu-
lai dari cerita tentang Nabi dan Rasul, maupun
tentang kaum ­terdahulu. Di sini dapat kita lihat
keutamaan cerita. ­ Selain itu, karya satra yang
dikemas dengan baik akan lebih dapat diterima
oleh m­ asyarakat sehingga ideologi penulis yang
disampaikan lewat tulisannya akan ­ sampai ke
masyarakat. Nah, sastra dakwah harus ­dikemas
menarik, sesuai perkembangan ­jaman, menyatu
dengan pembaca, namun tidak menghilangan es-
ensi dakwah dengan nilai-nilai yang terkandung
di dalamnya.

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 157


8 Sastra dakwah ya yang berisi pemahaman ­agama
yang tidak arogan dan menekan. ­ Islam adalah
agama indah dan damai. Dengan menuliskan kem-
bali kisah dalam Al-Qur’an insyaAllah penyebaran
kebaikan lewat karya akan lebih berhasil direkam
dalam ingatan.

9 Semua lini tulisan bisa menjadi dakwah, tak ter-


kecuali sastra. Dalam nvel misalnya, jika kita
bisa menggambarkan tokoh baik dalam balutan
kata-kata yang bisa ­menginspirasi pembacanya
untuk mengikuti kehidupan baiknya, itu dina-
makan dakwah. Atau ­menuliskan tentang tokoh
buruk yang mana bisa menginsirasi pembacanya
untuk ­menjauhi sifat tokoh tersebut, hal itu juga
dinamakan dakwah. Dengan bahasa yang san-
­
tun, menginspirasi, dan bisa membuat pembaca
benar-benar larut dalam emosi ­pesan yang ditulis.

10 Sastra dakwah menyuguhkan ­tulisan yang baik


dengan tema religi yang ­ disampaikan ­ secara
halus, tidak ­menggurui dan ­memberikan ­tauladan
melalui ­karakteristik t­ okoh-tokohnya. Saat men-
ulis, itu saya ­terjemahkan ke dalam tiga ­strategi.
Pertama, membuat tema-tema ­
­ membumi dan
mudah dipahami. Kedua, dakwah ­sebagian besar
­ditujukan untuk ­remaja, cari celah di mana remaja
­menyukai suatu hal untuk memancing mereka mau
membaca karya sastra yang bermuatan dakwah.
Ketiga, lebih banyak memberikan contoh/perilaku
melalui tokoh dan bukan berbentuk nasihat.

158 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


Berdasarkan data pada tabel di atas, dapat ­disimpulkan ­bahwa
menurut anggota FLP keindahan karya sastra ­terletak pada nilai
moral dan kekuatannya untuk ­ mengajak ­ pembaca melakukan
­kebaikan. Pada periode awal FLP, nilai moral yang terdapat ­dalam
karya sastra hampir selalu ­didasarkan pada pemahaman ­mereka
terhadap ajaran ­Islam. Dengan d ­ emikian, karya sastra ­menjadi
versi retelling atau ­
­ penuturan kembali pemahaman mereka
­terhadap ajaran ­Islam, ­seperti anjuran berjilbab, anjuran menjadi
remaja yang taat ­beribadah, dan anjuran berpoligami. Selain berisi
anjuran, karya sastra karya FLP juga memperagakan kisah atau
gaya hidup yang dalam persepsi penulisnya islami.
Selain berisi pesan moral, anggota FLP juga ­ meyakini
­keindahan karya sastra terletak pada kemampuannya ­mengajak
pembaca melakukan kebaikan tersebut. Hal ini berarti, sastra
­bersifat didaktis, berisi himbauan dan ajakan kepada pembaca
­untuk melakukan kebaikan tertentu (sesuai ajaran Islam).
Kriteria demikian tentu saja berbeda dengan kriteria estetik
yang dikembangkan komunitas sastra lain. Ada komunitas sastra
tertentu yang mengonstruksi konsep estetiknya melalui “doktrin”
bahwa keindahan karya sastra terletak pada kemampuannya
menggerakkan jiwa manusia menjadi bebas. Di komunitas yang
lain lagi, konsep estetik dikonstruksi melalui pembentukan
kesadaran bahwa yang menyenangkan adalah yang indah.
Dengan menyandarkan konsep estetik “sastra dakwah”-nya, FLP
mendudukkan diri sebagai komunitas yang berbeda.

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 159


160 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan
11
Menghidupkan Islami
sebagai Brand

I
SLAM telah disepakti oleh pendiri dan pengurusnya Forum
Lingkar Pena (FLP) untuk dijadikan ideologi organisasi.
Konsekuensinya, nilai-nilai yang ­berlaku ­dalam ­komunitas itu
harus senantiasa dirujuk kepada dasar hukum ­ tertinggi ­
Islam,
yaitu Al-Quran dan Hadis. Kesepakatan ini dilembagakan melalui
dokumen resmi organisasi, didoktrinkan melalui pelatihan dan
diskusi, juga dipraktikkan dalam serangkaian aktivitas.
Dari sudut pandang keagamaan, patut dipercaya bahwa
pilihan individu-individu dalam FLP untuk menjadikan Islam
sebagai ideologi berkarya merupakan ekspresi atas keyakinan
keberagamaan mereka. Artinya, pilihan untuk menjadikan Islam
sebagai jalan hidup organisasi bersifat ideologis dan murni. Di sini
Islam dipandang oleh individu-individu sebagai way of live yang
baik sehingga perlu diikuti.
Tetapi dari perspektif produksi kultural, pilihan untuk
menjadikan Islam sebagai landasan ideologis merupakan pilihan
budaya yang dilandasi motif kebudayaan tertentu dan membawa
dampak kebudayaan tertentu pula. Sebagai pilihan budaya,
pembentukan brand sebagai komunitas sastra yang islami
dilakukan melalui serangkauan praktik budaya tertentu pula.
Pada bab ini penulis mengulas strategi kebudayaan FLP dalam

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 161


menjadikan Islam dan islami sebagai brand ­organisasinya. Ulasan
ini penting karena brand islami ­adalah salah satu faktor kunci yang
memengaruhi dinamika dan pertumbuhan organisasi.

Brand Islami Pendiri


Sebagai pendiri sekaligus ketua FLP selama dua periode, Helvy
Tiana Rosa identik dengan Forum Lingkar Pena (FLP). ­Kiprahnya
sebagai sastrawan senantiasa dikaitkan dengan ­organisasi yang
didirikannya tersebut. Kondisi demikian menempatkan Helvy
­
sebagai indeks bagi keberadaan FLP itu sendiri. Masyarakat
­
­membaca dan menilai FLP melalui perempuan ­kelahiran Aceh ini.
Helvy memiliki brand yang kuat, senantiasa dilekati dengan nilai-
nilai tertentu.
Citra pribadi (personal brand) Helvy sebagai muslimah,
sastrawan, perempuan yang terpelajar, memiliki ­
­ semangat
­berdakwah juga menjadi bahan pertimbangan anggota ­masyarakat
untuk ­bergabung dengan FLP. Bagi sebagian ­anggota, kiprah Helvy
­selama ini merupakan jaminan (guarantee) ­bahwa FLP merupakan
organisasi kepenulisan yang berorientasi dakwah. Berkat latar
­
­belakang Helvy yang dinilai k ­ onsisten menggunakan sastra u ­ ntuk
­keperluan dakwah, anggota ­yakin bahwa FLP adalah ­organisasi
yang ­ bersifat ideologis. Kondisi ini pula yang turut membuat
­anggota FLP memiliki militansi belajar, berorganisasi, dan ­berkarya
tinggi.

Persepsi Anggota FLP terhadap Sosok Helvy Tiana Rosa

No
Persepsi terhadap Helvy
Responden
1 Orang yang menginspirasi banyak orang.

2 sosok yang gigih, semangat, konsisten, idealis, penih


inspirasi dan rendah hati. Karya-karyanya fenomenal,
penuh dengan pesan moral, dan sangat inspiratif.

162 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


3 wanita yang bersemangat dakwah dan berbudi bahasa
intelektual. Karyanya inspiratif , berpikir kritis

4 Saya tidak terlalu mengenal beliau, sebatas yang saya


tahu beliau orang baik dan tidak pernah saya dengar
kabar tentang prilaku buruk beliau. Novel dan cerpen2
beliau yg pernah say abaca sangat memotivasi untuk
berkarya.

5 Mbak Helvy bagi saya adalah pribadi yang smart,


penuh semangat, terencana, perfeksionis, pantang
menyerah, visioner, dan mudah bergaul dengan
berbagai kalangan.
Karya sastra Mbak Helvy puitis, romantis, agamis,
dan menyentuh hati.
Membuat pembaca tersentuh dan tak merasa kalau
cerpen beliau memberi amanah kebaikan (menyuruh
dalam kebaikan)

6 Sebagai sosok seorang penulis yang mampu


mensinerginakan antara kepenulisan dan keislaman.
Juga sebagai sebagai seorang organisator andal yang
mampu menyatukan sikap penulis yang cenderung
individualis dalam satu wadah organisasi dengan
sangat baik.

7 HelvyTiana Rosa adalah tokoh yang sangat luar biasa


karena beliau bersama dua orang sahabatnya memiliki
pemikiran yang visioner yaitu mendirikan FLP yang
hingga saat ini tetap eksis bahkan telah menjadi
komunitas kepenulisan terbesar di Indonesia. Pun
dengan visi FLP yang digagas beliau dan sahabat-
sahabatnya.Beliau juga sangat gigih dan memiliki
prinsip yang kuat.

8 Dia orang yang sangat bersemnagat berdakwah.


Karena sejak awal menulis, tulisan tulisan beliau
sudah menuju, merujuk arah dakwah. Misi FLP
pun seirama dengan kehidupan sehari hari, yakni
kewajiban menyampaikan kebajikan meski hanya
lewat pena. smile emotikon

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 163


9 Sejauh ini saya sangat percaya dengan ideology beliau
dalam dunia kepenulisan yang memang ditujukan
untuk dakwah. Tentunya FLP juga termasuk. Hal ini
bisa dibuktikan dengan keinginan keras beliau untuk
isa memfilmkan novelnya dengan biaya sendiri hasil
dari patungan sukarela dari donator.

10 Di mata saya Helvy Tiana Rosa merupakan sosok


perempuan tangguh, berprinsip kuat, mempunyai
jiwa sosial tinggi, tekun, suka berbagi, down to earth
dan selalu menebarkan semangat.

11 Dia sosok yang inspiratif. Seorang penulis sekaligus


organisator yang baik.

12 Mba Helvy itu, rendah hati, pejuang sejati dan jiwa


sosialnya tinggi

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa Helvy ­memiliki


keuntungan kultural berupa kepercayaan dari para anggota dan
pengurus FLP. Berdasarkan data di atas dapat dirangkum ­setidaknya
terdapat lima sifat baik yang ­hampir selalu dilekatkan dengan Helvy,
yaitu memiliki semangat d ­ akwah baik, menginspirasi, intelektual
(cerdas), ­memiliki ­ideologi yang kuat, dan tangguh. Dari perspektif
­produksi ­kultural, citraan-citraan tersebut merupakan ­pencapaian
yang diraih melalui strategi kultural tertentu. Sebagai agen, Helvy
­berhasil ­memproduksi simbol-simbol tertentu yang ­dibaca atau
dimaknai orang lain pada makna tertentu yang ­
­ diinginkan. Ia
juga memelihara agar makna atas simbol tersebut ajek dengan
memproduksi simbol-simbol lain yang mendukung makna simbol
sebelumnya.
Pada diri Helvy Tiana Rosa, produksi kultural ­ untuk
­membangun citra pribadi sebagai pribadi yang islami ­dilakukan
melalui empat komponen yaitu rekam jejak, sikap, karya, ­simbol
visual, dan simbol auditoris. Dalam ­produksi kultural, masa lalu
dan rekam jejak adalah hal yang ­sangat penting karena dapat

164 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


­ igunakan untuk ­memproduksi ­citraan tertentu. Rekam jejak dapat
d
digunakan seseorang untuk mengklaim sesuatu ­sehingga klaimnya
tampak logis, memiliki dasar yang kuat, dan tidak ­mengada-ada.
Masa lalu yang relevan dengan nilai atau citraan tertentu dapat
dikelola untuk memperkuat nilai atau citraan yang dibangun pada
saat ini atau masa yang akan datang.
Pada diri Helvy, masa lalu sebagai anak yang lahir dari ­keluarga
muslim dan gemar membaca sejak kanak-kanak ­ adalah modal
kultural yang mendukung citraan yang ­
­ selama ini ­ dibangunnya.
­Untuk kepentingan itulah masa lalu Helvy ­beberapa kali ­disampaikan
dan dipublikasikan ­kepada ­masyarakat luas, baik ­secara lisan maupn
tulisan. ­Secara lisan, masa lalu itu ­kerap ­diceritakan dalam obrolan.
­Adapun secara tertulis, masa lalu itu diceritakan dalam ­biografi yang
tertulis pada bukunya. Secara ­tertulis pula, masa lalunya ­disinggung
di berbagai tulisan Helvy yang terpublikasikan di blog berbasis
multyply dan blog ­pribadinya saat ini ­sastrahelvy.com. Informasi itu
direproduksi melalui ­situs ­ensiklopedia umum Wikipedia sehingga
­memungkinkannya ­diakses oleh masyarakat luas.
Mengenai kehidupan pribadinya di masa kecil, tertulis di
­Wikipedia bahwa Helvy adalah anak dari seorang pencipta lagu
asal Aceh. Atribusi “pencipta lagu” dan “Aceh” ­adalah ­atribusi
yang penting untuk menanamkan ­ persepsi t­ertentu kepada
­pembacanya. ­Terlepas apakah tulisan di ­Wikipedia ­ditulis atau
dikonsep oleh Helvy sendiri atau bukan, k ­ eterangan d­ emikian
dapat ­ dipastikan berasal dari Helvy yang diperoleh penulis
­Wikipedia. Artinya, ­ketika Helvy ­diwawancara oleh si penulis,
Helvy m­ emberikan k ­eterangan tersebut sehingga keterangan
tersebut dinilai p ­enting oleh si penulis untuk dituliskan.
Pengakuan ­
­ tentang latar ­ belakang orang ­ tuanya disambung
dengan ­keterangan ­mengenai ­pergaulannya dengan seni yang
disebutkan “sejak usia muda” ­sebagaimana dapat dibaca pada
kutipan berikut ini:

“ Helvy merupakan anak pertama dari pasangan Amin


­Usman atau lebih dikenal dengan nama Amin Ivo’s, seorang

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 165


pencipta lagu asal Aceh, dan Maria Arifin Amin, seorang
perempuan keturunan Cina yang lahir di Medan. ... Sejak usia
muda, Helvy sudah mengakrabi dunia seni, ­utamanya puisi
dan prosa. Selain ­tulis-menulis, dia juga menggeluti dunia
seni peran dengan bergabung dengan Teater 78 dan menulis
beberapa naskah drama.

Hal lain yang dianggap penting oleh Helvy agar ­ diketahui


oleh masyarakat adalah proses pertemuannya dengan karya
sastra. ­
­ Informasi mengenai hal ini dianggap penting s­ehingga
dipublikasikan Helvy dalam berbagai tulisannya. Mengenai
­
pertemuannya dengan karya sastra ketika ­
­ masih belia, Helvy
menulisnya dalam esai berjudul Sastra yang ­Menggerakkan yang ia
sampaikan dalam Seminar Nasional Sastra dan Perubahan Sosial
yang diadakan   Fakutas ­Sastra dan Seni Rupa,  Universitas S­ ebelas
Maret (UNS), Surakarta, 17 April 201. Tulisan itu kemudian ia
publikasikan di blog pribadinya, sastrahelvy.com sebagai berikut:

“ Saya jatuh cinta pada cerpen sejak saya bisa membaca.


­ ukan h
B ­anya cerpen sebenarnya, tapi pada semua jenis
­tulisan, terutama fiksi. Saya takjub bahwa seorang ­pengarang
bisa menciptakan r­ ealitas lain dari imajinasi, perasaan dan
wawasannya. Maka ­sejak duduk di sekolah lanjutan, saya
putuskan: itulah dunia saya. Setiap hari saya berkunjung
ke perpustakaan sekadar meminjam buku karya sastrawan
terkemuka Indonesia dan dunia.

Pada bagian lain dalam tulisannya, ia menyebutkan ­sejumlah


sastrawan yang karyanya ia baca ketika masih muda dan ­dinilainya
turut membentuk identitasnya. Tiga nama yang ia sebut ­adalah
­Muhammad Iqbal, A. Hasjmy, dan ­Tetsuko Kuroyanagi yang ­secara
berurutan ­merupakan penulis Javid Nama, Apa Tugas ­Sastrawan
­sebagai Khalifah ­Allah, dan Totto Chan. Helvy mengakui ­sudah
membaca ketiga buku ­tersebut ketika masih duduk di bangku

166 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


Sekolah ­Menengah Pertama (SMP) sebagimana dapat dilihat dalam
kutipan berikut:

“ Saya bertanya pada diri saya sendiri, adakah buku sastra


yang bisa mengubah atau membentuk saya? Buku yang
­membuat saya ­“menjadi”, atau paling tidak turut ­mewarnai
kehidupan saya? Setelah diingat-ingat, ternyata cukup
­banyak. Tetapi k­ alau boleh ­hanya menyebutkan tiga, saya
akan sebut: Javid Nama (­Muhammad Iqbal), Apa Tugas
Sastrawan sebagai Khalifah A ­ llah (A. ­Hasjmy) dan Totto
Chan (Tetsuko Kuroyanagi). Ketiganya saya baca saat saya
duduk di bangku SMP.

Pilihan Helvy untuk memunculkan tiga nama ­tersebut dan


­tidak menyebutkan nama-nama lain yang ­karyanya ­pernah ia baca
merupakan tindakan (praktik) ­kultural ­dengan tujuan ­tertentu.
Secara ilkoutif, informasi itu ­
­ disampaikan ­ untuk meyakinkan
­pembaca dan p
­ endengarnya bahwa ia t­ elah menjadi pembaca ­sastra
tingkat tinggi ­sejak masih muda. Dengan demikian, Helvy juga
­berusaha ­menyampaikan kepada masyarakat bahwa ­dunia sastra
adalah dunia yang ia gauli sejak lama. Secara ­perlokutif, ­informasi
itu ­disampaikan supaya masyarakat pembaca atau ­ pendengar
mengakui kredibilitasnya sebagai sastrawan.
Pilihan Helvy untuk menyebut nama Javid Nama dan ­Muhamad
Iqbal pada urutan pertama juga merupakan ­tindakan ­kultural yang
dilakukan untuk tujuan tertentu. ­ Dengan ­ menyebutkan ­ bahwa
­dirinya telah membaca Javid Nama, ia mendeklarasikan diri ­bahwa
telah membaca karya sastra klasik asing pada usia muda. ­Informasi
yang ­disampaikan oleh Helvy ­tersebut juga dapat ­bermotif ­kultural
untuk ­ mengukuhkan diri ­ sebagai ­penikmat karya ­ sastrawan
­Muslim. Sebab, Muhamad Iqbal dikenal luas ­sebaga penulis berlatar
belakang kultural Muslim, ­berasal dari Iran, dan menulis isu-isu
tentang Islam. Muhamad Iqbal memiliki latar belakang keluarga

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 167


Muslim yang taat di India.
Strategi demikian juga dilakukan Helvy dengan ­ menyebut
nama Ali Hasjmy sebagai sastrawan yang turut membentuk
­kepribadiannya dan menyebut buku Apa ­Tugas Sastrawan ­sebagai
Khalifah Allah sebagai buku yang ­telah ­dibacanya ketika masih
SMP. Jika dianaisis dari ­aspek ­wacana, ­bentuk informasi tersebut
hanyalah sebuah ­pemberitahuan. ­Namun di balik pemberitahuan
itu Helvy berusaha ­mengendalikan pembaca dengan ­menanamkan
persepsi tertentu. ­ Persepsi yang ingin dibangun oleh Helvy
­antara lain, dia ­membaca dan mengafirmasi gagasan Ali Hasjmy.
Oleh karena dia menyetujui pemikiran Ali ­Hasjmy, ia berusaha
­melaksanakan nilai-nilai yang ditawarkan Ali Hasjmy dalam ­karier
­kesusasterannya. ­Sebagaimana ­keputusan untuk ­menyebutkan
nama Muhamad Iqbal, keputusan Helvy u ­ ntuk menyebut nama
Ali Hasjmy juga menunjukkan ­motifnya agar ia dipersepsi sebagai
sastrawan yang seideologis dengan sastrawan sekaligus ulama.
Sebab telah diketahui secara luas bahwa Ali Hasjmy merupakan
sastrawan asal Aceh yang mempromosikan nilai-nilai Islam ­dalam
karya-karyanya. Motif iu bahkan dikemukakan secara tersurat pada
bagian lain tulisannya, sebagai berikut:

“ Apa Tugas Sastrawan sebagai Khalifah Allah karya A.


­Hasjmy, membuat saya ingin menjadi seorang sastrawan
yang bisa ­ menyampaikan kebajikan secara estetik pada
pembacanya, dan menjadi sastrawan yang memiliki
­
­komitmen ­dalam berkarya—mungkin ini terdengar aneh:
selaras a
­ ntara karya dan perbuatan.

Selain menggunakan kisah masa lalu untuk ­ membangun


i­dentitas personalnya sebagai pribadi yang islami, Helvy juga
menggunakan simbol visual. Hal yang paling ­mudah diamati ­adalah
pada gaya berbusananya. Pada setiap ­kemunculannya di hadapan
publik, Helvy senantiasa ­menggunakan ­pakaian ­muslimah yang
tertutup. Demikian pula fotonya yang ­beredar di media cetak dan

168 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


media online, selalu dalam ­kondisi ­menggunakan jilbab berukuran
sedang hingga besar. Melalui kerudung ini Helvy m ­ enyampaikan
pesan kepada ­publik bahwa dirinya adalah ­muslimah yang taat
­menjalankan ­ajaran Islam. Pesan ini ini penting untuk ­memperkuat
dan mendukung gerakan kulturalnya sebagai sastrawan, pendiri
dan Ketua FLP.
Di antara sekian banyak potensi pesan visual yang dapat
diberdayakan seseorang untuk membangun ­
­ identitas, t­ubuh
­berpotensi menjadi medium yang paling utama. ­Tubuh ­merupakan
identitas utama yang menandai ­keotentikan identitas seseorang.
Tubuh menjadi identitas sekaligus ­medium pencapaian identitas.
Dalam pandangan ­filsafat ­fenomenologi tubuh menduduki peran
penting karena ­merupakan hakikat yang materil. Tubuh adalah
materi yang otonom dan terbebas dari intervensi pikiran dan nilai.
Justru melalui persinggungan antara tubuh dengan realitaslah
­
­manusia membangun pikiran, persepsi, dan ­pengetahuannya.
Manurung (2004) menyebut bahwa pada regim of ­looking,
hal yang bersifat visual menempati kedudukan yang ­lebih ­penting
­sebagai identitas dibandingkan hal lain yang ­bersifat ­nonvisual. Hal
yang bersifat visual ­diperlakukan sebagai tanda untuk ­dimaknai
­tidak semata-mata ­sebagai hal ­visual, tetapi hal-hal yang berkaitan
dengan ­pemikiran, nilai, dan kebudayaaan. Tubuh adalah identitas
­biologis yang ­menerangkan ras dan hal-hal yang bersifat ­genetis,
namun cara manusia memperlakukan dan ­
­ menilai ­tubuhnya
merupakan wilayah kultural. Melalui tubuh orang ­
­ membangun
dan mendeklarasikan identitas kulturalnya. Pada saat yang sama,
orang menjadikan tubuh orang lain sebagai semesta tanda untuk
dimaknai.
Dengan demikian, keputusan Helvy untuk ­ mengenakan
­jilbab setiap kali di tempat publik dapat dimaknai dari dua sudut
pandang sekaligus. Secara ekspresif, ­
­ tindakan itu ­ dilakukan
untuk menggambarkan sistem nilai yang ­
­ diyakininya benar.
­Ajaran ­Islam yang diperoleh Helvy ­terinternalisasi sebagai bagian
­tidak terpisahkan ­dalam ­dirinya sehingga ­tergambar pula dalam
­aktivitas dan ­keputusannya. Di sisi lain, ­tindakan itu juga dapat

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 169


­ ipandang secara pragmatik. Melalui ­tindakan itu Helvy berupaya
d
­mengomunikasikan sebuah pesan ­kepada pembaca ­dirinya agar
pembaca ­ memahami atau ­ mempersepsi dirinya ­ sebagaimana
ia harapkan. Baik ­perspektif pertama maupun perspektif kedua
menunjukkan adanya hubungan dialektis antara Helvy sebagai
pribadi yang subjektif dengan realitas di sekitarnya sebagai objek
yang objektif.
Selain melalui busana, citranya sebagai perempuan ­ islami
juga dikukuhkan melalui sikapnya terhadap sesuatu, baik yang
­dinyatakan secara lisan maupun ia nyatakan ­secara tertulis. Sikap
terhadap sesuatu bukanlah keputusan ­ singkat. Dalam arena
­produksi kultural, sikap yang ­diambil ­seseorang untuk merespon
realitas di sekitarnya dipengaruhi nilai, keyakinan, dan p
­ engalaman
hidupnya. Oleh karena itu, pernyataan dan sikap juga dapat ­dikelola
sebagai modal ­kultural untuk meraih modal kultural lain.
Pada diri Helvy, sikapnya dalam menghadapi ­ sesuatu di
depan publik senantiasa dikembalikan pada ajaran ­
­ agama.
­Selain ­menggunakan ajaran Al-Quran dan Al-Hadis ­sebagai ­basis
­argumentasi, Helvy juga kerap mengutipnya ­secara t­ ersurat. ­Untuk
­menjelaskan konsep tertentu ia juga ­menggunakan ­istilah-istilah
khas yang selama ini digunakan pada komunitas Muslim. ­Strategi
demikian ­ berimplikasi ­
terhadap terpeliharanya kepercayaan
publik bahwa ­
­ dirinya adalah seorang muslim yang taat dan
­konsisten m­ elaksanakan ajaran Islam.
Saat menghadapi tuduhan plagiasi yang dituduhkan ­sebagian
orang terhadap adiknya, Asma Nadia, Helvy ­ menggunakan
­argumentasi-argumentasi yang berlandaskan pada pemikiran ­Islam.
Ia menulis artikel berjudul Ketika Fitnah... pada blog ­pribadinya.
Berikut kutipan atas tulisan tersebut yang menyatakan sikapnya
dalam menghadapi tuduhan plagiasi terhadap Asma ­Nadia:

“ Si Kakak berpikir, ia dan adiknya sejak remaja ­sama-sama


­menulis puluhan buku, ribuan tulisan. Dari jumlah itu si ­Kakak
pernah salah mengutip, pernah mengalami ­minim ­rujukan di

170 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


saat deadline. Hal-hal yang ­membuatnya bertekad ke depan
lebih ­berhati-hati. Namun apa yang d
­ ialami sang adik saat
terjadi hal yang kurang lebih sama, sungguh mengerikan;
dihujat secara viral, dianggap s­ebagai bagian dari aliran
menyimpang, yang tak pernah sedikit pun ­terlintas dalam
benak mereka.

Ah, siapakah yang menyebarkan fitnah keji itu? Tak ada


lagikah tabayyun? Atau bila ingin menegur, tidakkah bisa
bil hikmah wa mau’izhah al-hasanah? Laa haula wa laa
quwwata illaa billah.


Hal lain yang menumbuhkan kepercayaan ­ publik ­terhadap
Helvy Tiana sebagai pribadi islami adalah ­tutur ­katanya. ­Dengan
keterampilan berbicara tertentu, Helvy dapat ­ menyampaikan
pikirannya kepada audience. ­ Keterampilan berbicara ­ membuat
­keyakinan, konsep, dan gagasan yang dimilikinya dapat ­diverbalisasi
­sehingga dapat dipahami dengan baik oleh mitra ­tutur. D ­ engan
keterampilan itu pula Helvy dapat meyakinkan kepada ­
­ mitra
­tuturnya bahwa ia ­menguasai konsep, pengetahuan, dan ­informasi
yang ­diperlukan.
Dalam proses pembentukan identitas seseorang, ­keterampilan
berbicara memiliki dua peran sekaligus. ­Pertama, ­keterampilan
berbicara mendukung seseorang ­
­ mengutarakan gagasannya
­sehingga ia dapat d ­ ipahami orang lain d
­ engan baik. ­Keterampilan
berbicara yang ­ memadai ­ memungkinkan pengetahuan dan
­wawasan yang ­dimiliki seseorang ­diekspresikan sehingga ia ­benar-
benar tampak sebagai orang yang memiliki pengetahuan. Kedua,
­keterampilan berbicara itu sendiri merupakan sebuah ­identitas.
Keterampilan ­ berbicara dapat menunjukkan jati diri ­ sebagai
intelektual, pribadi yang mudah bergaul, dan ­citra positif lainnya.

Pembentukan Brand Islami pada Organisasi


Daya tarik Forum Lingkar Pena (FLPI ­dibandingkan ­dengan

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 171


komunitas atau organisasi kepenulisan lain ­ adalah ­ ketegasan
sikap ideologinya yakni sebagai organisasi ­dakwah. Dalam ­internal
pengurus dan anggota FLP, ­
­ ideologi itu ­dinyatakan ­dalam visi
­organisasi untuk menjadi organisasi yang ­memberikan ­pencerahan
melalui tulisan. ­Keberanian pendiri dan pengurus untuk ­menyatakan
secara verbal b ­ahwa organisasinya adalah ­ organisasi d ­akwah
membuat ­ anggota masyarakat yang ­ memiliki ­ideologi s­ejenis
tertarik untuk bergabung. Di negara yang ­mayoritas p ­ enduduknya
­adalah muslim, ideologi dakwah adalah ­ideologi ­populer dengan
segmentasi yang cukup luas. Dengan deklarasi ­ideologi itu, FLP
meraih keuntungan kultural berupa ­dukungan dari s­ ejumlah umat
Islam. Salah satu bentuk ­dukungan umat ­Islam terhadap o­ rganisasi
ini adalah keputusan mereka ­untuk ­bergabung menjadi anggota.
Berdasarkan data yang diperoleh melalui ­wawancara ­dengan
pengurus dan anggota FLP, mereka menyatakan ­bahwa dirinya
tertarik untuk bergabung karena ­telah ­mengetahui bahwa FLP
adalah organisasi yang ­ didirikan ­untuk kepentingan ­ dakwah.
Sebagai umat Islam yang ­
­ merasa memiliki kewajiban untuk
­melaksanakan dakwah, mereka merasa bahwa FLP bisa menjadi
saluran yang baik. Selain motif spiritual itu, FLP bersifat ­inklusif
dengan membuka diri kepada anggota masayarakat mana pun
­
­untuk bergabung menjadi anggota. Sebagai organisasi penulis, FLP
tidak membatasi diri hanya menerima anggota yang telah menjadi
penulis. Sebaliknya, FLP membuka diri dan ­menyediakan ruang
agar anggota dapat menulis.

No Peran di FLP Persepsi Awal terhadap FLP


Responden

1 Pendiri FLP Aceh Sangat senang dengan


keberadaan organisasi ini.
Selain belajar menulis,
saya belajar menyampaikan
kebaikan kepada orang lain.

2 Sekretaris FLP Bali Kesannya baik, orangnya


ramah dan bersahabat.

172 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


3 Ketua FLP Cabang Menurut saya FLP adalah
Banyuwangi organisasi yang produktif dan
visioner. Orang-orangnya
menulis untuk kebaikan
dirinya sekaligus kebaikan
orang lain.

4 Anggota Andal FLP Menarik, asyik, banyak


Cabang Malang penulis perempuan yg masih
muda dan berbakat. Yang lebih
penting adalah di sana tidak
sekedar menulis, tapi berusaha
menginspirasi orang lain.

5 Anggota FLP Malang Saya menemukan banyak


sahabat yang memiliki hobi
sama di FLP, motivasi menulis
semakin tinggi, dan dapat
banyak referensi bacaan yang
keren (hobi saya membaca).

6 Koordinator Humas Sikap berbahasa dengan


FLP SulSel santun menjadi ciri khas
dari tulisan setiap anggota.
Semangat belajar tinggi juga
keinginan kuat untuk saling
berbagi ilmu.

7 Ketua FLP Wilayah Karena FLP memiliki visi


Yogyakarta yang sama dengan saya
FLP sudah cukup diakui di
bidang keorganisasiannya
maupun kepenulisannya. FLP
adalah tempat para penulis
berkumpul.

8 Ketua FLP Wilayah Saya diawal mengetahui


Hongkong keberadaan FLP adalah
kesan beberapa anggota nya
sukses membuat pembacanya
menangis dan terinspirasi
untuk menulis dan menjadi
bagian dari FLP.

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 173


9 Ketua FLP Yaman Kesan yang saya dapatkan
sejak pertama bertemu FLP
tentu rasa percaya diri saya
bahwa kelak saya akan bisa
lebih banyak menuliskan
karya dan memiliki buku solo
sendiri sebagai media dakwah
ilmu yang saya ketahui.
Perlu diketahui, sebelum
bergabung dengan FLP, saya
hanya menulis sekedarnya
tanpa tahu arah dan tujuan
serta kemana tulisan saya
harus dibawa. Pada saat itu,
pengetahuan saya tentang
tulis-menulis lebih dalam
sangatlah sedikit, bahkan
tentang menulis di media
pun saya tidak mengerti. Dan
keyakinan saya benar, sejak
bergabung dengan FLP, bakat
menulis saya semakin terasah,
meskipun masih dalam standar
biasa saja. Karya-karya saya
juga banyak diantologikan di
penerbit nusantara, dan satu
hal yang menjadi mimpi saya,
saya bisa memiliki buku solo
sendiri yang memang ‘pure’
berisikan dakwah, meskipun
hanyalah karya solo biasa.

10 Penulis, anggota FLP Kesannya : disiplin. FLP itu


Wilayah Hongkong organisasi yang disiplin dalam
hal pelatihan kepenulisan
khususnya FLP HKG yaa...
karena setiap FLP mungkin
mempunyai kebijakan dan
aturan yg berbeda. Saya
dituntut untuk bisa menulis
karya dan dibedah bersama-
sama, jadi semangat tersendiri
buat saya untuk giat belajar
menulis.

174 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


11 Anggota FLP Tegal Ketua Flp Tegal yang waktu
itu Mba Sinta Yudisia (
sekarang ketua Flp Pusat )
ramah, religius, dan selalu
memberi semangat bahwa
suatu hari saya bisa menjadi
penulis. Di Flp juga setiap
pertemuan ada tilawah sebagai
pembuka acara. Mba Sinta
yang rendah hati, membuat
anggota Flp Tegal dari
berbagai kalangan. Sering
ngundang wartawan atau
sastrawan, penulis dari Flp
cabang lain untuk ngasih
materi,

12 Anggota FLP Semarang Pertimbangan saya memilih


FLP lebih ke unsur keagaamn.
Karena saya anak rohis
dan setahu saya organisasi
kepenulisan yang mengangkat
sisi-sisi Islami ya baru FLP.
Saya kan sekolah di SMA
Negeri, jadi tahu tentang Islam
ya yang umum-umum saja.
Jadi saya berharap bisa tahu
tentang Islam lebih banyak di
FLP.

Data di atas menunjukkan bahwa kepercayaan ­anggota ­kepada


FLP sebagai organisasi yang memiliki ­nilai-nilai ­kebaikan adalah
awal keputusan untuk bergabung. ­Berdasarkan data di atas dapat
dirangkum bahwa ilai-nilai kebaikan yang dinilai anggota melekat
pada FLP adalah ­ islami, organisasi kepenulisan, dan inspiratif.
Kepercayaan yang tumbuh pada diri calon anggota adalah sebuah
­modal sosial yang diraih melalui proses kultural. FLP ­memperoleh

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 175


keuntungan sosial itu dengan startegi yang melibatkan ­ modal
­sosial, finansial, dan intelektual yang dikonversi ­menjadi modal
sosial.
Jika keputusan anggota FLP dihomologkan d ­ engan ­tindakan
konsumsi, calon anggota FLP menempuh e­ mpat ­proses ­sebelum
memutuskan untuk mendaftar ­menjadi a­ nggota. ­Keempat ­proses
tersebut adalah ­identifikasi ­kebutuhan, ­pencarian informasi,
­perbandingan, dan ­pengambilan ­keputusan. ­Pertimbangan-
pertimbangan k ­ ultural seperti estetika, ­pengetahuan dan wacana,
serta ­selera selalu hadir pada setiap tahapan.
Pada tahap pertama, seseroang akan ­mengindentifikasi
­kebutuhannya sesuai dengan rangsangan psikologis dan s­ osial di
sekitarnya. Rangsangan psikologis dan sosial itu ­
menimbulkan
rasa membutuhkan. Dalam teori ekonomi klasik disebutkan rasa
membutuhkan menciptakan ­ permintaan dan dipenuhi ­ dengan
diciptakannya barang (suply and demand). Namun dalam teori
­
­kultural, suply dan demand bisa bersifat sangat dialektis. S­ ebuah
barang dapat diciptakan karena adanya kebutuhan, ­
­ namun
sebaliknya rasa membutuhkan dapat diciptakan karena telah
­
­tersedia ­barang.
Tahap kedua adalah pencarian informasi tentang ­produk yang
dapat memenuhi kebutuhan. Pada tahap ini ­bertanya, ­membaca,
atau melakukan aktivitas lain yang ­bertujuan spesifik ­mengetahui
keberadaan dan sifat ­produk yang ­dibutuhkannya. Dalam ­proses
ini elemen kultural seperti informasi, pengetahuan, reputasi, dan
kepercayaan sangat berpengaruh. Produk yang ­ditopang ­dengan
sistem ­promosi yang baik akan mudah diperoleh i­nformasinya.
Produk yang memiliki reputasi dan pengaruh baik akan
­direkomendasikan pengguna kepada pengguna lain. Oleh karena
itu, produk ini memiliki peluang lebih besar untuk dipilih oleh lebih
banyak orang.
Pada tahap berikutnya, orang yang sedang ­berusaha ­memenuhi
kebutuhannya akan membandingkan satu ­produk dengan ­produk
yang lainnya. Perbandingan dapat ­didasarkan pada ­pertimbangan
rasional dan irasional. ­Pertimbangan ­rasional berkaitan ­dengan

176 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


nilai manfaat yang diperoleh, h ­arga yang ­ harus dibayar, dan
­kemudahan ­menggunakan. ­Adapun ­pertimbangan irasional
­berkaitan dengan ­kepercayaan, reputasi, dan ­loyalitas. Produk yang
dapat memanfaatkan nilai manfaat ­lebih besar, ­dengan ­harga ­relatif
lebih m
­ ­ urah, serta direkomendasikan oleh sumber ­ terpercaya
menempati posisi teratas dalam daftar ­ imajiner yang dibuat
­seseorang. Sebaliknya, produk yang ­menawarkan nilai manfaat
rendah dengan harga lebih ­mahal yang ­tidak ­direkomendasikan
akan ­menempati posisi bawah dalam data ­imajiner calon pembeli.
Dalam praktik, ­pertimbangan rasional dan irasional sama-sama
memiliki ­pengaruh yang kuat.
Ketika telah memiliki daftar nama dan jenis produk yang
diperolehnya melalui proses perbandingan, ­
­ seseorang baru
memutuskan untuk melakukan transaksi atau ­pembelian. ­Proses
pengambilan keputusan akan mudah dan berlangsung ­
­ dengan
singkat jika daftar produk dalam data imajiner ­menunjukkan
perbedaan yang jelas. Namun ­ pengambilan keputusan dapat
berlangsung sulit jika nilai yang diberikan seseorang tidak
­
menunjukkan perbedaan. Dalam kasus pembelian barang atau
­
jasa, ­
pilihan menjadi ­ problematik karena barang dengan nilai
manfaat lebih baik biasanya diimbangi dengan harga yang lebih
tinggi. ­Kondisi dilematis juga dapat terjadi karena barang ­dengan
harga relatif lebih rendah biasanya menawarkan nilai manfaat yang
rendah.
Proses pembelian barang seperti peneliti ­kemukakan di atas
merupakan kondisi yang sering terjadi dalam ­pembelian barang
ekonomi. Namun demikian, mekanisme d ­ emikian juga terjadi
dalam proses pembelian ­barang-barang ­kultural dan simbolik,
­termasuk dalam menentukan ­komunitas atau organisasi apa
yang akan digunakan untuk ­ mengaktualisasikan diri. Ketika
anggota FLP akan ­mendaftarkan diri, mereka juga melakukan
identifikasi kebutuhan, pencarian i­nformasi, perbandingan,
dan pengambilan keputusan. ­Pertimbangan rasional maupun
irasional memiliki ­determinasi dalam p
­ roses pengambilan calon
anggota.

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 177


No Sumber Informasi Alasan Memilih FLP
Responden tentang FLP

1 Saat SMA di SMA Negeri Lebih ke unusr keagaamn.


4 Semarang saya aktif di Karena saya anak rohis
kegiata kerohanian Islam. dan setahu saya organisasi
Di masjid ada majalah An- kepenulisan yang
Nida. mengangkat sisi-sisi Islami
ya baru FLP.

2 Dari buku Karena hanya FLP yang


saya tahu

3 Dari teman kerja dan guru Karena di FLP tidak


SMA hanya sekedar belajar
menulis, namun juga ikatan
pertemanan / persaudaraan
yang kuat, kaderisasi yg
baik, dan jaringan yg luas,
serta punya banyak penulis
besar yg lahir dari FLP.

4 media massa Kesamaan visi-misi.


Karena saya muslimah dan
ingin berkontribusi untuk
memajukan Islam.

5 Majalah Ummi (grup Pada tahun 2000 saya tidak


Annida) tahu info komunitas sastra
lainnya.

6 dari seminar menulis di Karena hati saya saat itu


Universitas Negeri Malang meminta saya memilih FLP
dengan pembicara Kru
Annida.

7 Teman Konsep organisasi


mengedepankan sastra yang
mendidik sesuai ajaran
Islam.

178 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


8 Dari buku, teman, internet. Karena FLP memiliki visi
yang sama dengan saya
FLP sudah cukup diakui di
bidang keorganisasiannya
maupun kepenulisannya.

9 Saya mengetahui Saya memilih FLP karena


keberadaan FLP dari buku basis kepenulisannya adalah
buku yang saya baca. Dan dakwah bil qalam, cocok
majalah yang memuat dengan saya yang ingin
beberapa karya anggota belajar menulis sebagai
FLP sarana dakwah

10 saya mengetahui nama Saya ingin bisa menulis dan


FLP sejak di Indonesia. mengeluarkan unek-unek
Hanya saja baru mengenal di dalam pikiran saya yang
lebih dalam dan bergabung bagi saya harus diketahui
justru ketika di luar negeri, oleh masyarakat umum,
tepatnya di Yaman. karena dengan berkarya,
insyaallah pesan yang kita
sampaikan akan abadi
sepanjang masa.

11 Dari salah satu buku Karena FLP setahu saya


kumcer FLPHK terbitan adalah komunitas penulis
LPPH yang ada di toko nasional yang cukup besar
buku kemudian hunting dan terkenal. Sejak di
lokasi base camp FLPHK. Indonesia, saya mendengar
tentang FLP, tapi tidak
terpikir untuk joint karena
saya tidak kuliah  selain
itu tidak tahu link untuk
menjadi anggota.

12 Majalah Annida, buku- Di FLP selain belajar


buku yang ditulis anggota menulis, belajar
Flp, dll berorganisasi dan berdakwah
lewat pena

Berdasarkan data di atas dapat dijelaskan ­bahwa i­nformasi


merupakan faktor penting dalam proses ­pengambilan ­keputusan
anggota FLP. Mereka yang ­ merasa ­membutuhkan komunitas

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 179


untuk belajar menulis s­elama ini ­ tidak ­
memperoleh ­ informasi
mengenai komunitas yang dapat memfasilitasi mereka. Ketika
mereka ­memperoleh ­informasi tentang keberadaan FLP, ­mereka
­menemukan s­esuatu yang mereka butuhkan selama ini. ­Untuk
itulah, produksi i­nformasi yang dilakukan pendiri FLP dan
­
­didistribusikan secara masif melalui Annida, Ummi, dan ­media lain
memiliki pengaruh besar terhadap keputusan calon anggota.
Selain menyebarkan informasi melalui Annida dan Ummi,
pendiri FLP juga mencantumkan identitas mereka sebagai ­anggota
FLP pada biografi. Melalui cara itu, para penulis pada periode awal
FLP tidak hanya ­memperkenalkan diri kepada masyarakat tetapi
juga memperkenalkan organisasi mereka.
Sebagian besar responden mengaku mereka ­ bergabung
­dengan FLP karena menganggap organisasi itu dapat ­memfasilitasi
mereka untuk belajar menulis. Pilihan ­mereka terhadap FLP juga
dipengaruhi keyakinan bahwa FLP ­ bukan sekadar organisasi
kepenulisan, tetapi yang ­memiliki landasan keagamaan yang kuat.
Dua faktor inilah yang ­membuat FLP memiliki daya tarik bagi
masyarakat ­muslim yang selama ini menginginkan ruang belajar
­menulis. ­Ketika FLP hadir dan menyatakan diri sebagai o
­ rganisasi
yang ­ inklusif, masyarakat muslim yang ingin belajar menulis
­merasa mendapatkan ­kesempatan yang baik.
Keyakinan calon anggota bahwa FLP adalah ­ organisasi
kepenulisan yang berlandaskan pada nilai-nilai ­
­ keislaman
merupakan ­
­ sebuah modal kultural yang membuat ­ organisasi
ini dapat segera besar. Modal kultural berupa kepercayaan ini
­diperoleh FLP dari berbagai tindakan yang ­berorientasi pada ­tujuan
­spesifik (strategi) yang dilakukan FLP ­secara ­terus-menerus.
­Beberapa strategi tersebut antara lain deklarasi sebagai o
­ rganisasi
yang ­memberikan ­pencerahan, ­menjadikan Al-Quran sebagai dasar
­hukum tertinggi ­organisasi, dan penggunaan simbol-simbol Islam
dalam pelaksanaan kegiatan organisasi.
Strategi pertama, yaitu deklarasi FLP sebagai ­ organisasi
kepenulisan yang bertujuan memberikan pencerahan, ­dilakukan
sejak awal ketika organisasi ini didirikan pada 1997. Secara ­yuridis,

180 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


visi tersebut dikuatkan dengan cara ­dicantumkan dalam ­anggaran
dasar dan anggaran rumah tangga. Selain itu, pada pasal 2 ­Anggaran
Dasar juga telah disebutkan bahwa organisasi FLP berazaskan
Islam. Azas dan visi organisasi ini disosialisasikan kepada dua pihak
sekaligus, yakni masyarakat luas dan internal organisasi. Kepada
masyarakat luas visi ini disampaikan melalui ­website resmi dan
blog-blog FLP Wilayah dan Cabang. Adapun di lingkungan internal
organisasi, visi ini dibahas melalui ­berbagai diskusi dan pelatihan.
Istilah pencerahan yang digunakan FLP merupakan ­ hasil
negosiasi setelah istilah “islami” yang pernah mereka ­gunakan
mendapat kritik dari luar. Sekretaris Jenderal FLP Afifah Afra
mengatakan, banyak pihak yang tidak sepakat jika karya anggota
FLP dilabeli sebagai sastra islami ­karena dinilai menjadikan ­Islam
sebagai label yang ­cenderung ­digunakan secara ekslusif. ­Padahal
islami m
­ emiliki ­makna yang jauh lebih luas dan merupakan nilai
yang ­sangat ­universal. Protes itulah yang disikapi FLP d ­ engan
cara menggunakan istilah “pencerahan”. Dalam ­ pengertian
yang ­dipahami pengurus dan anggota, sastra yang ­memberikan
pencerahan adalah sastra yang dapat mengajak orang lain
­
­melakukan ­kebaikan, baik kebaikan yang spesifik ­didefinisikan
­Islam maupun ­kebaikan dalam arti lebih luas.
Strategi kedua adalah menjadikan Al-Quran sebagai h ­ ukum
tertinggi organisasi. Ketetapan ini termuat pada p
­ asal 24 ­Anggaran
Dasar yang selengkapnya berbunyi s­ebagai berikut: Tata ­urutan
dasar hukum yang berlaku di FLP adalah sebagai berikut:
a. Al-Qur’an dan As-Sunnah;
b. Ketetapan Musyawarah Nasional;
c. Anggaran Dasar;
d. Anggaran Rumah Tangga;
e. Ketetapan Dewan Pertimbangan FLP;
f. Keputusan Ketua Umum;
g. Keputusan Badan Pengurus Pusat;
h. Ketetapan Musyawarah Wilayah;
i. Keputusan Pengurus FLP Wilayah;
j. Ketetapan Musyawarah Cabang;

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 181


k. Keputusan Pengurus FLP Cabang;
l. Ketetapan Musyawarah Ranting, dan
m. Keputusan pengurus FLP Ranting.

Penggunaan frasa “tata urutan” pada pasal 24 di atas


­ enunjukkan bahwa dasar hukum yang ­
m dicantumkan ­ tersebut
­disusun secara urut dari prioritas tertinggi ke p ­ rioritas t­erendah.
Frasa tersebut memiliki ­perlokuasi ­bahwa FLP ­adalah ­organisasi
yang serius dalam ­ melaksanakan ­ ajaran-ajaran Islam. ­ Mereka
­menjadikan sumber hukum ­tertinggi dalam agama Islam ­yaitu Al-
Quran, sebagai ­sumber hukum tertinggi bagi ­organisasi ­mereka.
­Ketegasan ini menghasilkan efek persepsi yang kuat ­sehingga FLP
­memiliki identitas yang jelas sebagai organisasi yang ­berlandaskan
pada ajaran Islam. Dengan cara itulah FLP membangun daya
pembeda (distinction) dengan komunitas lain yang telah ada.
Strategi ketiga yang dilakukan FLP adalah ­ menggunakan
simbol-simbol islami dalam pelaksanaan kegiatan ­
­ organisasi.
­Dalam kategori CS Pierce, semesta tanda ­terbagi ­menjadi tiga ­jenis
­yaitu ikon, indeks, dan simbol. Dalam ­pengertian ­sederhana, ikon
adalah pola yang ­menampilkan ­kembali ­objek yang ­ditandainya,
melalui bentuk tetapi dengan m ­ enghadirkan bagian paling ­esensial
dari bentuk ­tersebut. Indeks adalah sesuatu yang dapat dilihat,
­didengar, ­dicium atau ­secara luas dapat ditangkap dengan indra
yang ­menghubungkannya dengan objek tertentu. Adapun ­simbol
adalah tanda yang diberdayakan untuk ­ menghasilkan ­ asosiasi
tertentu. Oleh pengurus dan anggota FLP, ketiga jenis ­
­ tanda
itu digunakan untuk memperkuat identitas ­ organisasi ­sebagai
­organisasi kepenulisan yang berlandaskan pada ­ajaran Islam.
Secara visual, ikon yang ditunjukkan secara ­konsisten oleh
FLP adalah busana. Mayoritas anggota FLP ­menggunakan ­busana
yang kriteria dan penggunaannya ­ disesuaikan d­engan ­ syariat
Islam, yaitu busana yang dapat menutup aurat. Bagi ­
­ anggota
­perempuan, penggunaan ­jilbab adalah ikon yang sangat kuat untuk
­menyampaikan pesan bahwa ­organisasi ­mereka dijalankan dengan
­ajaran ­Islam. ­Meskipun tidak menjadi ikon yang kuat, ­penggunaan

182 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


­ usana pada ­anggota ­laki-laki yang santun dan menutup aurat juga
b
­merupakan ikon. Penggunaan ikon yang ­menunjukkan ­ketaatan
­terhadap ajaran agama menjadi khas karena pada saat yang sama
organisasi seni dan sastra pada umumnya ­menggunakan ­ikon-ikon
kebebasan, seperti rokok, ­berambut gondrong, atau tato.
Indeks yang digunakan secara konsisten oleh FLP ­ antara
lain berupa penggunaan salam Islam yaitu ­ Assalamualaikum
­Warahmatullahi Wabarakatuh sebagai pembuka kegiatan dan
­Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh sebagai salam
­penutup kegiatan. Dua salam tersebut ­merupakan salam khas yang
hanya berlaku pada komunitas Islam. ­Penggunaan salam tersebut
dalam aktivitas organisasi l­ebih dari cukup untuk ­menunjukkan
bahwa mereka adalah ­komunitas atau ­organisasi umat Islam. Di
beberapa cabang dan wilayah, ­aktivitas pertemuan juga diawali
dengan ­pembacaan ­ surat Al-Fatihah, surat pertama dalam ­ Al-
Quran yang ­kerap ­disebut sebagai umul kitab atau ibunya kitab.
Dalam ­komunitas Islam memang telah dianjurkan untuk ­membaca
Al-Fatihah atau setidak-tidaknya ayat pertama dari surat Al-Fatihah
untuk mengawali kegiatan.
Selain salam dan Al-Fatihah, pembacaan ayat Al-­Quran ­secara
qiroah juga merupakan indeks yang sangat kuat ­untuk ­menyatakan
jati diri ideologis mereka. ­Pembacaan ayat suci Al-Quran dapat
­menimbulkan kekhasan yang kuat ­karena Al-Quran ­merupakan
­kitab suci yang hanya ­dimiliki oleh umat Islam. Namun, ­pembacaan
ayat ­Al-Quran tidak ­digunakan pada setiap kegiatan, ­melainkan
pada ­ kegiatan-kegiatan ­tertentu seperti musyawarah nasional
­sebagaimana dapat ­dilihat pada lampiran 15.
Adapun simbol digunakan FLP antara lain dalam logo
­organisasi. Huruf “F” pada logo FLP dimaknai sebagai ­keterbukaan
yang berarti FLP merupakan organisasi yang ­ terbuka bagi
siapa pun yang ingin belajar menulis. Huruf L yang ­bentuknya
menyerupai buku yang terbuka ­ dimaknai ­ sebagai ­ aktivitas
membaca. Dalam ­
­ keyakinan aggota FLP, ­ aktivitas ­membaca
­merupakan tottem pro parte bagi k ­ eseluruhan ­aktivitas belajar dan
mencari ilmu. Huruf L juga didesain bentuknya agar membentuk

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 183


mata pena, yang menunjukkan bahwa organisasi ini merupakan
organisasi dalam bidang kepenulisan. ­Penggunaan tanda mata
pena juga ­menunjukkan keinginan FLP untuk menjadi ­organisasi
yang produktif ­melahirkan para penulis yang ­produktif ­berkarya.
Gabungan huruf L dan P pada logo menunjukkan ­bentuk yang
menyerupai gerakan rukuk. Rukuk adalah salah satu rukun dalam
ibadah salat. Adapun salat adalah salah satu ­ibadah paling ­utama
dalam Islam yang disebut sebagai tiang agama. ­ Penggunaan
tanda ini diberdayakan untuk menunjukkan Islam sebagai azas
­organisasi.

Pembentukan Brand Islami pada Anggota


Bagi FLP, anggota adalah salah satu modal sosial ­paling ­besar.
Jumlah anggota yang banyak dan tersebar di ­berbagai wilayah dan
negara membuat FLP dapat ­mengkonversi modal sosial ­tersebut
ke dalam bentuk modal lain. ­Modal sosial berupa ­jumlah ­anggota
dapat digunakan untuk meraih keuntungan ­ sosial lain ­seperti
kepercayaan, ­ reputasi, maupun jaringan ­ informasi. ­ Ketiga hal
tersebut dapat diraih karena baik secara langsung maupun ­tidak
langsung para anggota menjadikan diri mereka ­sebagai p ­ ublic
­relation bagi organisasi. Sebagai public relation, salah satu ­tugas
­mereka ­menyosialisasikan keberadaan FLP kepada ­komunitas yang
lebih luas. Mereka juga membawa reputasi organisasi ­sehingga
didengar dan dipahami oleh orang lain.
Baik pada proses pendirian maupun awal masa ­berdiri, FLP
merupkan lembaga sastra yang minim pengakuan dari ­ tokoh
atau lembaga yang memiliki otoritas kultural. ­ Mereka tidak
memperoleh pengakuan dan apalagi ­
­ pujian bahwa ­ organisasi
tersebut diisi oleh orang-orang yang memiliki kompetensi
estetis tinggi. S­ebaliknya, oleh para sastrawan dan kritikus,
mereka m ­ emperoleh cibiran melalui ­penyebutan “mualaf sastra”.
­Penggunaan istilah mualaf sastra, di mana mualaf berarti orang
yang yang baru saja ­ berpindah ­agama untuk memluk Islam,
merupakan bentuk cibiran yang dapat diartikan bahwa anggota
FLP hanyalah sekumpulan ­pendatang baru. Ketiadaan pengakuan
dari ­tokoh atau ­lembaga yang legitim dikompensasi FLP ­dengan

184 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


cara membentuk jaringan yang luas dan merekrut ­anggota dalam
jumlah besar. Strategi ini memang tidak dapat ­ menggantikan
pengakuan yang sebetulnya mereka ­perlukan namun memberi
modal sosial lain yang sangat ­ berharga ­untuk ­ membangun
eksistensi mereka.
Pada perekrutan tahap awal saja FLP telah menerima ­sekitar
3.000 aplikasi menjadi anggota. Aplikasi tersebut diterima K­ etua
FLP Helvy Tiana Rosa berkat kerja sama yang dibangunnya ­dengan
majalah Annida. Saat itu, ia ­merupakan pemimpin r­ edaksi majalah
yang beroplah ­sekitar 100 ribu eksemplar per bulan ­tersebut.
­Jumlah pendaftar yang banyak memberi keuntungan ­sosial yang
besar bagi organisasi yang baru berdiri tersebut karena mereka
berasal dari berbagai daerah dan profesi.
Dari latar belakang ideologis, anggota FLP yang ­bergabung
pada awal perekrutan sebenarnya memiliki latar belakang yang
homogen. Sebagian besar dari ­mereka ­adalah pembaca ­majalah
Annida, muslim, dan ­ memiliki latar ­belakang sebagai ­ aktivis
organisasi kerohanian I­slam di ­
­ sekolah atau kampus. Mereka
memiliki motivasi yang ­hampir sama, ­yaitu belajar menulis. ­Namun
demikian, latar ­belakang yang ­homogen dikelola oleh pengurus FLP
­sehingga ­melahirkan modal sosial lain, yaitu kesamaan visi dalam
berorganisasi. Dengan demikian, FLP menjadi o ­ rganisasi yang solid
dan memiliki visi yang kuat.
Pengurus menyadari, anggota yang bergabung dengan FLP
pada masa awal tidak memiliki kompetensi estetik yang cukup
baik untuk berkontestasi dalam arena sastra. Oleh karena itu,
FLP ­ memberikan pendidikan dan pelatihan yang didesain
untuk dua ­ tujuan sekaligus, yaitu pemantapan ­ ideologi dan
­peningkatan ­kapasitas anggota. Pemantapan ideologi dilakukan
dengan ­ memberikan pendidikan tentang keislaman, adapun
­peningkatan kapasitas anggota dilakukan dengan memberikan
pelatihan bidang kepenulisan. Kedua hal itu dijalankan organisasi
dari tingkat cabang, wilayah, hingga pusat sehingga mereka
menjadi ­anggota yang ­loyal kepada organisasi sekaligus memiliki
­kompetensi e­ stetik yang lebih baik.

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 185


Data pada tabel berikut ini menunjukkan bahwa setiap ­anggota
memperoleh pelatihan dan pendidikan pada masa awal bergabung
dengan FLP yang berimplikasi terhadap peningkatan kompetensi
masing-masing anggota.

No
Pelatihan yang Diikuti Manfaat yang Dirasakan
Responden

1 Ada training kecil- Saya bisa belajar menulis


kecilan di FLP. Saya lebih baik lagi dari
diajakn diskusi tentang sebelumnya.
hakikat keislaman,
keutaman dakwah, dan
materi menulis.

2 Berupa kegiatan atau bisa lebih baik lagi dalam


pertemuan rutin tiap 2 menulis dan terlatih dalam
minggu, semacam kajian keorganisasian serta punya
kepenulisan. Materinya banyak teman yg baik.
ya materi tentang
kepenulisan, sikap
penulis, tujuan menulis,
dll.

3 Inspirasi kreatif menulis. Lebih terampil menulis.

4 Saya malahga pernah Saya hanya aktif sebentar


ngikuti pelatihan sbg ketua, saya non aktif
di flp, pernah ketika hamil anak pertama
menyelenggarakan talk krn ada gangguan emesis
show kepenulisan 2 x shg tdk bisa aktif, waktu itu
menghadirkan Asma digantikan pjs, tapi saya kok
Nadia dan Izatul jannah sdh lupa siapa namanya. Jadi
dan saya berperan sbg waktu itu manfaatnya ya
moderator. Materinya baru bisa sekedar menambah
masih seputar motivasi teman tapi belum kepikir
menulis di th 2000-2001 berjaringan. Setahun terakhir
ini baru dihubungi lagi oleh
adik2 pengurus FLP, dan ikut
gabung di pertemuannya baru
1 kali, manfaatnya ya, sbg
refreshing dan mulai mencoba
berjaringan tapi belum

186 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


5 Ada kegiatan sharing Kemampuan menulis saya
karya dan seminar meningkat, mempunyai
penulisan. Tidak ada banyak saudara, tulisan
pelantikan aggota. dimuat di media, dan skrg
sudah memiliki beberapa
buku.

6 Training Of Writing and Wawasan kesusastraan,


Recruitment. Latihan informasi kegiatan
kepenulisan, dasar kepenulisan, lomba, relasi
keorganisasian dan yang bertambah banyak dan
wawasan sastra islami. banyak hal lainnya.

7 Ada pelatihan khusus Banyak. Diantaranya


bernama PDKT dan mendapatkan lingkungan yang
Empatik 1 yang baik untuk belajar tentang
merupakan pelatihan kepenulisan. Mendapatkan
dasar kepenulisan bagi keluarga baru. Mendapatkan
anggota baru. Materi ilmu yang melimpah. Bertemu
dasar kepenulisan, orang-orang hebat dll.
keorganisasian FLP, dan
pengenalan tiga pilar
FLP yaitu keislaman,
keorganisasian dan
kepenulisan.

8 Saat bergabung di FLP Manfaatnya banyak. Bisa


butuh proses minimal 2 menulis, bisa berorganisasi.
bulan. Proses pengenalan Lewat FLP pula saya bisa
dan kemantapan menjadi kontributor sebuah
bergabung. Karena para majalah dan mengelola
pengurus tidak ingin perpustakaan
anggotanya hanya asal
gabung yang kemudian
keluar. Sebelunm.resmi
menjadi anggota, kami
diwajibkan setor karya,
entah itu puiai, cerpan,
atau esai. Sebelum
bergabung dengan FLP
saya aktif di organisasi
dakwah,belajar membaca
AlQur’an beserta
tafsirnya.keorganisasian.

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 187


9 saya mengikuti pelatihan Alhamdulillah, bakat menulis
sastra, diberi materi saya semakin terasah. Saya
kemudian praktek banyak belajar berbagai
menulis langsung, macam genre tulisan, belajar
mengikuti perlombaan menulis yang baik, sesuai
di dalam lingkup FLP EYD, dan menjadi kader yang
sendiri maupun di luar bisa menemani FLP’ers junior
FLP. dalam belajar menulis.

10 Tidak ada pelantikan, Banyak, saya jadi tahu


hanya langsung ilmu kepenulisan, EYD dan
bergabung dan mengikuti karakter atau genre dalam
kegiatan terutama bedah karya sastra. Juga mengenal
karya dan menulis di banyak sekali penulis senior
buletin bulanan FLPHK. yang kemudian melecut
semangat saya menjadi
penulis seperti mereka.

11 Pelatihan biasanya Banyak manfaatnya.


diadakan sebulan Salah satunya ya belajar
sekali. Itu teori menulis. berorganisasi. Kalau tentang
Trainiernya biasanya dari kepenulisan, saya tidak
internal. Tapi kadang banyak. Meskipun sudah
ambil dari luar tapi tidak bergabung di FLP, tapi
sering karena berkaitan kemampuan menulis harus
dengan anggaran. diasah sendiri.
Pelatihan menulis
novel, karya novelette,
buletin, sampai membuat
scenario.
Sastra, nonsastra, cara
menulis buletin dan tata
letaknya.

12 Ada training menulis. Belajar menulis,


Di FLP ada silabusnya, berorganisasi, bertemu dengan
misalnya tentang materi penulis besar dari Pipiet
keislaman apa saja Senja, Helvy Tiana Rosa,
yang dibahasa, materi Kang Abik, Asma Nadia
kepenulisan apa saja, dlsb, jadi belajar agama lebih
isalnya ada materi intens karena Flp kan benang
menulis cerpen dll. merahnya komunitas penulis
islami

188 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


Tabel di atas menunjukkan bahwa setiap anggota FLP p ­ ernah
terlibat mengikuti pelatihan yang ­ diselenggarakan oleh FLP.
Proses ini dapat dipandang sebagai ­ strategi ­ organisasi ­ untuk
mengakumulasi modal intelektual pada diri ­
­ masing-masing
anggota. Akumulasi modal ­
­ intelektual yang berdampak pada
meningkatnya pengetahuan dan ­keterampilan anggota membuat
anggota memiliki ­kontribusi yang lebih banyak bagi organisasi.
Dari aspek lain, ­peningkatan ­kapasitas dan pengetahuan ­anggota
membuat citra organisasi yang tampak pada anggota semakin baik.
Ada sejumlah strategi produksi kultural yang d ­ilakukan
­anggota FLP yang berdampak pada terbangunnya ­citra ­bahwa FLP
merupakan organisasi kepenulisan yang ­islami. ­Beberapa ­strategi
tersebut antara lain, aktif ­menulis, ­memilih topik dari ­Al-Quran atau
sunah, serta ­menggunakan ­simbol-simbol Islam ­dalam ­kehidupan
sehari-hari. ­ Sebagaimana strategi lain yang bersifat ­ personal,
strategi penciptaan citra pada anggota ini juga dilakukan dengan
melibatkan mekanisme kesadaran dan ­ketidaksadaran.
Strategi pertama, untuk menunjukkan bahwa ­mereka adalah
anggota sebuah organisasi kepenulisan, mereka ­ terus-menerus
menghasilkan tulisan. Sebagaimana telah disinggung pada bab
­sebelumnya, dalam proses ­pelatihan anggota memperoleh p ­ elatihan
menulis fiksi, menulis esai, resensi, dan menulis ­berita. Produk
terbanyak anggota FLP adalah karya fiksi, baik yang ­berupa prosa
maupun puisi. ­Pilihan untuk memilih jenis ini ­disesuaikan dengan
­kompetensi estetik masing-masing anggota dan respon lingkungan
terhadap karya mereka. Dialektika ­demikian ­terjadi karena ­setiap
penulis menginginkan karyanya ­diapresiasi oleh orang lain. Salah
satu apreisasi diperoleh dengan memublikasikan arya tersebut ke
media sehingga ­dibaca oleh orang lain. Respon dan daya tampung
media turut mempengaruhi pilihan ­anggota dalam menentukan
­jenis karya fiksi yang akan ­ditulisnya.
Sutono, sebagai contoh, adalah anggota FLP Cabang T ­ egal. Ia
menulis cerita berupa cerita pendek dan cerita anak ­karena dua
jenis cerita inilah yang paling sering dimuat di media. Ia ­mengaku
tujuan bergabung dengan FLP a­ dalah untuk belajar menulis agar
“tulisan bisa dimuat di media, bisa bermanfaat bagi orang lain ­lewat

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 189


tulisan.” Tujuan itu antara lain diraih dengan cara ­mengirimkan
tulisan ke ­koran dan majalah. Hal itu merupakan kondisi s­ ubjektif
yang ­menempatkannya sebagai penulis yang memiliki berbagai
­pilihan untuk menulis jenis karya apa pun. Pada sisi lain, tidak
seluruh tulisan yang dikirimkan akan dimuat oleh ­ pengelola
­media. Dalam manajemen keredaksian m ­ edia terdapat ­mekanisme
­kompetisi yang membuat satu ­rubrik ­diperebutkan oleh banyak
penulis. Selain itu, ­redaksi ­memiliki kebijakan ­untuk menggilir
penulis agar muncul ­variasi. Bagi Sutono sebagai ­penulis, kebijakan
redaksi ­adalah situasi ­objektif yang berada di luar ­kehendaknya.
Sutono merespon dengan hanya m ­ engirimkan jenis tulisan tertentu
kepada media tertentu agar peluangnya dimuat lebih besar.
Terus memproduksi karya adalah cara terbaik untuk
­ emelihara citra diri sebagai penulis sekaligus menjaga ­
m citra
organisasi bahwa FLP adalah organisasi kepenulisan. ­
­ Sebagian
anggota FLP yang ­ berhasil membangun citra ­ sebagai penulis,
­memperoleh p ­ enghargaan sosial sebagai penulis, karena ­mereka
terus ­menulis. ­Nama-nama penulis dari FLP yang memiliki ­reputasi
dan k­ etersohoran antara lain Asma Nadia, ­Habiburahman ­El-Shirazy,
Afifah Afra, Izzatul Jannah, Leyla Hana, ­Tasaro GK, dan ­beberapa
lainnya. Adapun anggota FLP yang karena ­kompetensi estetiknya
tidak memadai biasanya berhenti ­menulis. Dia ­kehilangan ­modal
sosial sebagai penulis dan tidak dikenal ­ sebagai ­penulis. Oleh
­karena itu, ia tidak dapat ­berkontribusi ­membangun citra bahwa
FLP adalah organisasi penulis yang ­produktif.
Strategi berkarya merupakan strategi yang dilakukan oleh
penulis mana pun dari organisasi mana pun. Bagi FLP, ­konsistensi
menulis diiringi dengan pilihan topik yang ­sesuai dengan citra
organisasi. Mereka memilih menulis topik-topik yang ­ mereka
minati, sesuai organisasi, s­ekaligus ­
­ mendapatkan respon yang
baik dari pembaca. Mekanisme ini merupakan buah dari d ­ ialektika
subjektivisme dan ­objektivisme sebagaimana dijelaskan di atas.
Pilihan p­ enulis ­untuk memilih topik tertentu tidak semata-mata
dipengaruhi oleh selera dan kompetensi estetiknya, melainkan
­
juga f­akto objektif yang tidak dapat diintervensi penulis, seperti

190 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


­mekanisme industri buku dan selera pembaca.
Salah satu buku laris Asma Nadia berjudul Surga yang Tak
Dirindukan merupakan contoh yang relevan untuk ­ memahami
negosiasi antara kehendak bebas penulis, visi ­organisasi, sekaligus
mekanisme pasar buku. Topik buku yang kemudian ­diadapatasi
menjadi film ini ­menunjukkan bahwa di satu sisi Asma Nadia
memiliki ketertarikan ­pribadi untuk menulis tentang ­permasalah
rumah tangga, ­khsusunya ­poligami. Fakta ini didukung oleh b ­ uku-
buku karya Asma Nadia sebelumnya yang memiliki topik yang sama
­seperti Karenamu Aku Cemburu (Lingkar Pena K ­ reativa, 2007),
Sakinan Bersamamu (Asma Nadia Publishing House, 2010), dan
Catatan Hati Seorang Istri (Lingkar Pena P
­ ublishing House, 2007).
Di sisi lain, Asma juga ­mempertimbangkan ­ ideologi ­organisasi
FLP yang berazaskan Islam. Oleh ­karena itu, ­topik-topik di atas
ditulis Asma Nadia dengan ­framing seorang muslim. ­Penilaian-
penilaiannya melalui narasi ­ maupun tokoh ­ didasarkan pada
pemahamannya terhadai ajaran Islam.
Di sisi yang berbeda, pilihan topik atau tema ­tersebut juga
dilakukan dengan pertimbangan industri buku. ­ Setiap ­ penulis
menginginkan agar bukunya dapat laku atau ­sebisa mungkin best
seller. Tujuan itu hanya bisa diraih jika topik buku yang ­ditulis a­ dalah
topik yang populer dan ­diminati oleh masyarakat luas. ­Pilihan Asma
untuk memilih topik tentang poligami a­ dalah ­pilihan topik yang
didasari pada ­pertimbangan pasar, ­meskipun bukan ­satu-satunya
­pertimbangan. Salah satu fakta yang ­mendukung ­analisis ini adalah
bahwa perbincangan tentang poligami ­merupakan ­terus-menerus
diproduksi di Indonesia. Tema itu ­bersifat kontroversial karena
melibatkan sejumlah subjek yang memiliki perbedaan pandangan.
Selain melalui pilihan topik, citraan pada penulis juga dilakukan
melalui simbol-simbol tertentu pada tubuh ­penulis. ­Sebagaimana
dijelaskan pada bagian sebelumnya, di antara sekian banyak ­potensi
pesan visual yang dapat diberdayakan ­seseorang untuk ­membangun
identitas, ­tubuh ­berpotensi menjadi m ­ edium yang paling utama.
Tubuh ­ merupakan identitas utama yang menandai keotentikan.
Tubuh ­menjadi identitas sekaligus m ­ edium ­pencapaian identitas.

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 191


Dalam pandangan filsafat fenomenologi ­tubuh menduduki ­peran
penting karena merupakan hakikat yang materil. Tubuh ­ adalah
materi yang otonom dan terbebas dari i­ntervensi pikiran dan nilai.
Justru melalui ­
persinggungan antara tubuh dengan realitaslah
manusia membangun pikiran, persepsi, dan pengetahuannya.
Manurung (2004) menyebut bahwa pada regim of ­ looking,
hal yang bersifat visual menempati kedudukan yang ­lebih ­penting
­sebagai identitas dibandingkan hal lain yang ­bersifat ­nonvisual. Hal
yang bersifat visual ­diperlakukan ­sebagai tanda untuk ­dimaknai tidak
semata-mata ­sebagai hal ­visual, t­ etapi hal-hal yang berkaitan dengan
­pemikiran, nilai, dan ­kebudayaaan. Tubuh adalah idetnitas ­biologis
yang ­menerangkan ras dan hal-hal yang bersifat ­genetis, ­namun cara
manusia memperlakukan dan ­menilai ­tubuhnya ­merupakan wilayah
kultural. Melalui tubuh orang ­membangun dan mendeklarasikan
identitas kulturalnya. Pada saat yang sama, orang menjadikan tubuh
orang lain sebagai semesta tanda untuk dimaknai.

Gambar di atas merupakan dokumentasi k ­ egiatan ­pembukaan


Musyawarah Nasional (Munas) 3 di Bali. Dari ­gambar tersebut
dapat diamati bahwa terdapat ­stereotip cara berbusana anggota
FLP yang homogen, ­yaitu cara ­berbusana yang sesuai ­ajaran Islam di
Indonesia. ­Selain ­secara ­ekspresif digunakan untu mengungkapkan

192 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


i­ deologi, cara berbusana merupakan ­strategi k
­ ultural yang ­berguna
untuk ­
­ mengukuhkan citra FLP sebagai organisasi ­ kepenulisan
yang berazaskan Islam. Citraan tersebut ­berperan menumbuhkan
kepercayaan pada masyarakat luas.

Pembentukan Citra Islami pada Karya


Selain jumlah anggota, modal sosial lain yang ­dimiliki ­Forum
Lingkar Pena (FLP) adalah karya sastra, baik yang dihasilkan penulis
secara solo maupun berupa antologi. ­Organisasi itu ­tidak memiliki
data yang pasti dan dapat ­dipertanggungjawabkan ­mengenai jumlah
karya ­sastra yang dihasilkan anggotanya. Aturan supaya setiap kali
anggota ­
­ menerbitkan buku memberikan ­ laporan melalui pesan
­singkat tidak berjalan efektif. Selain itu, sejak 1997 ­hingga 2013,
status keanggotaan tidak memiliki legalitas dam ­kepastian. Pada
periode sebelum 2013, anggota tidak ­diberikan kartu tanda anggota.
Meski demikian, jumlah karya sastra yang dihasilkan oleh
anggota FLP dapat diestimasi dengan ­ menginventarisasi karya
yang telah dihasilkan tokoh-tokohnya. Penulis FLP dikenal sangat
produktif dalam menulis. Pada satu sisi ­produktivitas dipandang
sebagai representasi ­kematangan dalam berkarya. Namun pada
sisi lain, produktivitas m
­ enjadikan FLP lebih menyerupai mesin
penulisan. Sebagai contoh, pendiri FLP Helvy Tiana Rosa telah
menerbitkan setidaknya 56 judul bulu. Pendiri FLP lainnya Helvy
Asma Nadia telah menulis lebih dari 60 buku, baik solo maupun
antologi. Izzatul Jannah telah menghasilkan lebih dari 38 judul
buku. Adapun Afifah Afra telah menerbitkan 53 judul buku.
Sekretaris Jenderal FLP Afifah Afra menyebutkan, ­puncak
produktivitas anggota FLP terjadi pada tahun 2000 ­ hingga
2005. Pada sat itu FLP merupakan ­organisasi ­kepenulisan yang
dapat ­mengakumulasi aneka modal ­sehingga memenuhi seluruh
­persyaratan yang diperlukan untuk menjadi ­organisasi ­kepenulisan
yang produktif. Dari segi penulis, FLP memiliki penulis yang
­produktif dari ­hasil proses pendidikan internal yang berlangsung
secara rutin. Dari aspek penerbit FLP telah ­membangun ­jaringan
­dengan penerbit Mizan, Syamil, dan merintis penerbit ­sendiri ­seperti

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 193


Lingkar Pena Publishing House. A­ dapun dari aspek ­distribusi FLP
memiliki jaringan berupa pengurus wilayah dan cabang di seluruh
Indonesia. Bahkan dari segi ­konsumen, pada saat itu FLP berhasil
membangun ­pasar ­sendiri, antara lain ­anggota yang berjumlah
ribuan dan tersebar di berbagai daerah.
Dari perspektif produksi kultural, hubungan ­ antara penulis
dengan karyanya merupakan hubungan yang ­dialektis. ­Bourdieu
(2010) menolak teori mimetis yang m ­ endudukkan karya ­ sastra
sebagai tiruan realitas zaman. Di sisi lain ia ­tidak menerima ­pandangan
ekspresif yang m ­ enyatakan ­bahwa karya sastra ­adalah ­ekspresi batin
­penulisnya. Dengan ­rumusan objektivitas ­subjektif ia menempatkan
karya sastra sebagai hasil negosiasi antara ­kondisi batin penulis,
antara lain kreativitas, dengan kondisi sosial yang melatarbelakangi
kelahirannya. Berikut perkataan Bourdieu ­mengenai hal itu:
Teori arena mengarah pada penolakan terhadap ­ kaitan
langsung biografi individual dengan karya sastra (atau yang
­berkaitan ­dengan ‘kelas sosial’ yang menjadi asal suatu karya)
­maupun pada penolakan terhadap analisis internal karya ­individual
bahkan analilis intertekstualnya. Karena yang estinya kita lakukan
adalah melakukan keduanya secara bersamaan.
Pendapat Bourdieu di atas dapat digunakan ­untuk ­menganalisis
karakteristik karya bukan saja sebagai ­produk k
­ reatif p
­ engarangnya
atau produk zaman yang ­melahirkannya, melainkan dialog antara
kedua hal tersebut. Elemen-elemen dari kedua hal itu memiliki
determinasi yang sama dalam mempengaruhi ­karakteristik karya
sastra. Hal ini berarti, ketika penulis menghasilkan karya sastra
­mereka tidak berada pada posisi otonom, melainkan dipengaruhi
kondisi objektif di sekitarnya. Namun pada saat bersamaan, ­penulis
bukanlah juru bicara yang mengutarakan realitas zaman apa
adanya, sebab ia menulisnya dengan kompetensi estetis ­tertentu.
Dengan demikian, hubungan penulis dengan karya yang
­dihasilkannya tidak dapat ditarik lurus sebagai ­hubungan ­penulis
dengan karya sebagaimana digambarkan sebagai teori ­ekspresif.
Hubungan penulis dengan karya ­adalah ­hubungan antara ­penulis
(yang dipengaruhi situasi ­sosial ­ketika ­penulis berkarya) dan

194 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


­aryanya. Hubungan ­
k antara ­
situasi sosial dengan karya sastra
juga tidak dapat ­digambarkan secara lurus sebagaimana ­dipahami
­selama ini dengan teori mimetis. Hubungan situasi sosial ­dengan
karya sastra adalah hubungan situasi sosial (yang ditangkap ­penulis
sesuai kompetensi estetisnya) dengan karya sastra.
Data pada tabel di bawah ini menunjukkan bahwa ­anggota
FLP telah memiliki kriteria estetik berupa konsep sastra ­dakwah
sebelum mereka menghasilkan karya sastra. Konsep estetik yang
dimiliki oleh anggota FLP diperoleh melalui berbagai proses ­sosial,

No Kriteria Sastra Bernilai Strategi Memproduksi


Responden Dakwah Sastra Dakwah
1 Yang mengandung pesan Ya. Karya yang dihasilkan
dan nilai moral para tokoh FLP seperti Helvy
Tiana Rosa dan Asma Nadia
telah memenuhi criteria
sebagai karya sastra untuk
dkawah.

2 kriteria karya sastra dengan menyisipkan pesan2


yg mengandung pesan kebaikan, moral, hikmah
kebaikan baik secara (dakwah) dalam karya sastra
tersirat ataupun tersurat dengan bahasa yg universal
dikemas dgn cara yg sehingga dapat dicerna oleh
tidak melanggar aturan semua golongan, bahkan oleh
Islam dan aturan / norma non-muslim sekalipun. Karena
yg berlaku. Islam bersifat universal maka
harus juga disampaikan
secara universal dengan
bahasa yg mudah dimengerti
baik langsung maupun tak
langsung melalui karya sastra.

3 Yg dapat membawa Member isi dalam cerita


arah peradaban manusia kehidupan yang baik
yg berakhlak dan
kehormatan yg lebih
tinggi

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 195


4 Mengandung nilai Kalau saya ya dituangkan
pembelajaran dalam tulisan

5 karya sastra yang melalui tulisan, cerita yang


memiliki pesan baik menyentuh kehidupan riil
secara tersurat ataupun masyarakat, dan prilaku
tersirat. Tidak harus penggiat sastra yang terpuji
yang ada embel-embel
Assalamu’alaykum,
afwan, syukron,
tapi kebaikan secara
universal.

6 Tidak menyalahi prinsip- Dalam bentuk puisi


prinsip keislaman.

7 Karya sastra yang Dengan terelbih dulu


dikemas menarik, memahami nilai-nilai Islam,
sesuai perkembangan kemudian nilai-nilai tersebut
jaman, menyatu dengan dimasukan kedalam karya
pembaca, namun tidak satra dengan pengeaan tersirat
menghilangan esensi maupun tersurat.
dakwah dengan nilai-
nilai yang terkandung
didalamnya.

8 Kriteria bisa berupa Tidak menjawab.


wacana artikel, cerpen,
dan novel. Yang berisi
pemahaman agama
yang tidak arogan dan
menekan. Islam adalah
agama indah dan damai.
Dengan menuliskan
kembali kisah dalam
Al-Qur’an insyaAllah
penyebaran kebaikan
lewat karya akan lebih
berhasil direkam dalam
ingatan.

196 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


9 Dengan bahasa yang Tidak menjawab.
santun, menginspirasi,
dan bisa membuat
pembaca benar-benar
larut dalam emosi pesan
yang ditulis.

10 Menyuguhkan tulisan Membuat tema-tema


yang baik dengan tema membumi dan mudah
religi yang disampaikan dipahami.
secara halus, tidak Dakwah sebagian besar
menggurui dan ditujukan untuk remaja,
memberikan tauladan cari celah di mana remaja
melalui karakteristik menyukai suatu hal untuk
tokoh2nya. memancing mereka mau
membaca karya sastra yang
bermuatan dakwah.

11 Apa pun tulisannya,


selama tidak mengandung
unsur-unsur yang buruk
itu masih kita terima.
Kita menekankan yang
bahasa dulu. Pertama,
kita tidak menggunakan
bahasa-bahasa umpatan.
Tidak memperlihatkan
orang pacaran, minum-
minuman keras.
Selama bisa memotivasi
orang untuk berbuat baik.

12 Cerita yang menyebarkan Mengasah tulisan dan


kebaikan kriterianya menyebarkan baik ke media
tidak mengandung unsur massa, buku atau media sosial.
pornograpi, Sara dll.
Cerita yang menyebarkan
kebaikan artinya gara-
gara membaca Ketika
Mas Gagah Pergi, seorang
mahasiswi memutuskan
berjilbab misalnya

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 197


salah satunya melalui proses pendidikan (pencekokan) yang
diselenggarakan organisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemahaman ­antara satu anggota FLP dengan anggota lain ­mengenai
karya s­ astra yang menenuhi kriteria estetik sebagai s­ astra dakwah
relatif homogen.
Data pada kolom kedua menunjukkan orientasi spesifik
­anggota FLP. Orientasi berupa kriteria estetik sastra dakwah ini
­diperoleh melalui proses pencekokan selama ­mengikuti pelatihan
kepenulisan, baik pelatihan kepenulisan dasar maupun ­ Forum
Kepenulisan. Adapun data pada kolom ­ ketiga menunjukkan
strategi, yakni rangkaian tindakan yang perlu dilakukan untuk
meraih tujuan spesifik.
Jika dianalisis lebih lanjut, perbandingan antara orientasi
dan strategi pada tabel di atas menunjukkan ­bahwa a­ nggota FLP
­berusaha menyampaikan pesan kepada masyarakat ­bahwa karya
sastra mereka telah memenuhi ­nilai-nilai ­tertentu. Jika ­hendak
diurutkan berdasarkan prioritas, k
­ ­esan yang ingin ­ dibangun
adalah islami, mengandung pesan ­kebaikan, dan dituturkan dengan
­

­santun. Untuk memenuhi ­tujuan tersebut, para penulis ­meraihnya


dengan memilih topik spesifik, judul yang ­berorientasi pada makna
spesifik, menggunakan framing yang bersumber pada ajaran ­Islam,
menggunakan pilihan kata yang santun, serta ­memproduksi pesan
visual melalui sampul.
Produksi kesan pertama-tama dilakukan melalui ­pilihan topik
atau tema, yakni dengan menaruh perhatian ­ terhadap hal-hal
yang dianggap penting bagi umat Islam. Pada masa awal berdiri,
topik yang paling banyak ­dituliskan oleh a­ nggota FLP adalah topik
yang berkaitan dengan ­kehidupan seorang anak muda muslim. Ini
­berkaitan ­dengan latar ­belakang ­anggota FLP yang ­merupakan
aktivis ­
­ lembaga dakwah kampus (LDK) dan k ­erohanian ­Islam.
Mereka mengulas ­ kehidupan mereka sebagai remaja ­ muslim
­beserta ­pandangan hidup mereka sebagai muslim. ­Bahkan ­secara
verbal, tokoh-tokoh yang digunakan menggunaan tokoh yang
­mewakili komunitas mereka, seperti berjilbab, berkoko, ­bahkan
lebih spesifik: berjenggot. Oleh karena itu, jenis karya ini mendapat
sebutan sebagai “sastra masjid” karena berkaitan ­dengan kehidupan

198 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


di sekitar rumah ibadah.
Namun seiring perkembangan pergaulan anggota FLP, yang
setelah lulus dari kampus bekerja di berbagai bidang, ­citra ­keislaman
yang diangkat dalam karya mulai berubah. ­Citra ­keislaman tidak
hanya diwakili secara visual sebagai orang-orang yang ­berjilbab dan
menggunakan koko, ­tetapi mengangkat nilai-niai Islam yang lebih
universal seperti k­ ejujuran, kebaikan, dan kedamaian. ­Anggota FLP
bahkan mulai menulis topik-topik yang dianggap sensitif, misalnya
pelacuran, pertikaian Indonesia dengan Timor Timur, dan poligami.
Menurut Sekjen FLP ­Afifah Afra, ­perkembangan semacam ini
terjadi karena anggota FLP mengalami ­perubahan perspektif dalam
memaknai ­ karakteristik ­sastra yang islami. Namun, perubahan
ini tidak semata-mata ­terjadi karena sebab internal penulis, yakni
perubahan ­perspektif dan semakin luasnya pergaulan, melainkan
juga sebagai strategi bernegosiasi dengan topik yang berkembang di
masyarakat, selera pembaca, dan tuntutan industri.
Hal ini terbukti dengan semakin luasnya topik ­tulisan anggota
FLP yang terbit baru-baru ini. Mereka tidak lagi memilih ceruk
topik yang sempit berkaitan dengan ­hal-hal yang secara langsung
berkaitan dengan keyakinan dan ­ kehidupan beragama, namun
meluas pada topik lain yang berkaitan dengan kehidupan ­manusia
secara ­universal. ­Nilai-nilai keislaman kemudian ­dialihkan pada
framing, ­yaitu sudut pandang penulis terhadap sebuah masalah
yang ­didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam. Framing itu pun ­mulai
sangat kendor akibat ketiadaan kontrol kualitas dari ­pengurus
­terhadap karya-karya anggota FLP.
Selain pada pilihan topik, citraan sebagai sastra ­islami yang
mencerahkan ditampilkan melalui pilihan ­ judul. ­Karya-karya
anggota FLP memiliki kekhasan karena ­menggunakan ­judul atau
bagian judul yang diambil dari ­ terminologi atau istilah yang
­bereferensi pada hal-hal ­spesifik dalam Islam. ­Strategi ini ­berguna
untuk ­ meyakinkan ­ pembaca bahwa karya ­ tersebut merupakan
karya yang ­mengulas persoalan yang berkaitan dengan kehidupan
umat Islam. Judul-judul novel Habiburahman El-Shirazy ­misalnya
adalah Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Dalam Mihrab C ­ inta,

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 199


dan Di Atas S­ ajadah Cinta. Kata “ayat” ­merujuk bagian ­surat ­dalam
Al-Quran, meskipun kemudian ­dipakai untuk ­menyebut ­bagian
bab dalam undang-undang. Kata “tasbih” ­bereferensi pada alat
ibadah yang digunakan umat Islam ­ketika berzikir. Kata ­“mihrab”
bereferensi pada ­ bagian masjid atau musala yang biasanya
digunakan sebagai tempat imam memimpin salat ­berjamaah.
­
Adapun “sajadah” bereferensi pada alas seperti karpet berukuran
kecil yang digunakan sebagai alas saat beribadah.
Penggunaan judul untuk memunculkan kesan islami juga
­digunakan penulis lain seperti Asma Nadia. Sejumlah novel Asma
yang sukses antara lain Assalamualikaum ­Beijing, Surga yang Tak
­Dirindukan, Sakinah Bersamamu, Catatan Hati di Setiap Sujudku,
dan Muhasabah Cinta Seorang Istri. ­Meskipun dengan prosentase
yang lebih kecil, strategi yang sama ­digunakan Izzatul Jannah pada
­novel Festival Syahadah, B ­ erjuta Hidayah, 10 Bersaudara Bintang
Al Qur’an, Padang Seribu Malaikat, Gadis di Ujung Sajadah, dan
Mengeja C
­ ­inta dalam Nama-Nya. P ­ enulis FLP lain Pipiet Senja
­menggunakan strategi yang sama pada novel Menggapai Kasih-Mu,
Merah di Jenin: Kado Cinta untuk Palestina, Kalbu (Trilogi Kalbu-
Nurani-Cahaya #1), Sungguh, Aku Mencintaimu Karena Allah, Cinta
Dalam Sujudku, dan Menoreh Janji di Tanah Suci.
Eksplorasi judul pada karya-karya anggota FLP ­merupakan
negosiasi penulis dengan penerbit dan ­industri buku ­secaraluas.
Penulis sebenarnya memiliki judul ­ketika menyelesaikan ­naskahnya,
namun judul tersebut tidak ­selalu diterima oleh ­penerbit. Untuk
keperluan pemasaran ­penerbit menyarankan ­judul yang ­memiliki
daya jual. ­ Dalam sejumlah kasus, terjadi perdebatan antara
penulis dengan penerbit mengani judul novel. Namun penerbit
­lazimnya memiliki daya tawar lebih tinggi sehingga penulis lebih
­memilih mengalah. Menurut Azwar (2012), sterotip judul dengan
­mengekplorasi termonologi Islam adalah strategi untuk m­ engikuti
­kesuksesan buku sebelumnya.

...ketika Ayat-Ayat Cinta karangan ­Habiburrahman ­laris


maka lahir lebih kurang 300 judul karya yang ­terinspirasi
dari Ayat-Ayat Cinta atau meniru tema dan gaya novel laris

200 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


tersebut. Tidak hanya itu bahkan ­karya-karya besar seperti
Da Vinci Code karya Dan Brown juga ­tidak luput ­diplesetkan
oleh ­penulis-penulis ini seperti munculnya judul buku Da Peci
Kode. Ketika The Lost Symbol karya Dan Brown ­lainnya laris
maka muncul Lost Sambel yang merupakan karya p ­ lesetan
dari karya Dan Brown itu.

Judul yang dirancang dengan kata yang ­bereferensi pada ­istilah


Islam diperkuat dengan ilustrasi atau foto ­sampul. ­Gambar atau
ilustrasi pada foto menjadi identitas yang s­ angat penting karena
berfungsi sebagai silence marketer. D ­ esain sampul adalah bagian
­paling provokatif selain judul yang dapat ­mengintervensi calon
pembaca untuk memilih buku tersebut. Gambar bahkan lebih
­unggul karena secara visual lebih berdaya untuk menarik ­perhatian
calon ­pembaca.
Jika didesain dengan foto benda, foto tersebut ­didominasi oleh
benda yang menunjukkan ­ keterkaitan langsung dengan ­ Islam,
seperti masjid, sajadah, atau ­tasbih. Jika sampul ­menggunakan
foto konsep, objek atau benda yang digunakan adalah ­benda yang
secara semiotis m ­ enyatakan keagungan Tuhan, seperti ­ bulan,
matahari, ­
­ langit. Adapun jika sampul menggunakan ­ gambar
­persona atau yang ­menggunakan sosok orang, karya anggota FLP
selalu menggunakan gambar perempuan berkerudung atau ­laki-
laki dalam pakaian santun.

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 201


Sebagaimana judul, penggunaan gambar sampul ­merupakan
negosiasi antara penulis untuk mendukung pemasaran karya. ­Selera
pembaca yang berubah membuat gambar sampul karya ­anggota
FLP juga berubah. Hal ini tampak pada novel ­berjudul Aku Juliet
karya Lelya Hana yang menampilkan perempuan ­menggunakan
rok mini. Novel Nun karya Afifah Afra juga ­menjauhi tren awal
desain sampul FLP karena menggunakan ilustrasi ­
­ bergambar
­perempuan berkemben. Sebagai penulis Afifah ­mengaku sudah
­bekerja keras agar novel yang ditulisnya ­tidak ­disampuli ­ilustrasi
yang menunjukkan aurat perempuan, ­namun ­argumentasinya ­tidak
diterima penerbit. Mizan tetap ­menerbitkan Nun dengan ­ilustrasi
perempuan seperti pada gambar ­berikut ini.

202 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


12

Berjibaku
Memasarkan Selera

D
ALAM produksi benda-benda kultural, sastra salah s­ atunya,
harga sebuah benda tidak dihitung ­ berdasarkan ­ongkos
produksi dan waktu yang dihabiskan pengarang ­
­ untuk
­menulisnya. ­Harga simbolik ditentukan oleh ­tingkat ­kepercayaan
masyaraka­ t ­
tentang nilai simbolik yang melekat pada benda
tersebut. K
­ epercayaan semacam ini ­hanya dapat diperoleh melalui
tokoh atau ­ lembaga-lembaga yang ­ memiliki otoritas simbolik.
Rangkaian praktik yang ­dilakukan oleh tokoh atau lembaga tersebut
dapat membuat benda-benda kultural memiliki nilai simbolik yang
­melambung melebihi nilai ekonomisnya.

Posisi dan Disposisi Penulis FLP


Dalam dunia sastra, para pencipta karya sastra ­adalah para
­pengarang, yakni mereka yang berimajinasi dan ­menuangkannya
dalam rangkaian kata-kata. Namun ­bukan mereka yang ­menentukan
harga atas karya yang telah ­ ditulisnya. Para ­pemilik ­otoritas
kulturallah yang ­ menentukan apakah novel tersebut ­ dianggap
­berharga atau sebaliknya: hanya dianggap karya ­kelas rendah. Proses
ini diistilahkan oleh Pierre Bourdieu dengan ­ proses konsekrasi,
sebuah ­istilah yang diambil dari ritual umat Katolik. Melalui ­proses­
­konsekrasi, para pengarang FLP berusaha ­memperoleh ­pengakuan

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 203


dari pemilik otoritas kultural bahwa diri dan karya yang ditulisnya
adalah penulis atau karya yang cukup berharga.
Menurut Sekretaris Jenderal FLP Afifah Afra, saat FLP ­didirikan,
para anggotanya berusaha menempatkan ­organisasi itu sebagai
avant garde yaitu menempati posisi oposan terhadap genre sastra
yang telah mapan. Mereka ­berusaha menandingi pengaruh dan
popularitas genre ­sastra yang telah ada dengan menciptakan genre
baru. Mereka menciptakan standar estetik sendiri yang berbeda
dengan standar estetik yang digunakan oleh sastrawan ­mainstream.
Standar estetik ini ditetapkan berdasarkan ideologi m
­ ereka sebagai
organisasi yang melakukan pencerahan melalui ­tulisan.
Untuk menjadi organisasi oposan yang d ­ iperhitungan, FLP perlu
memperoleh popularitas dan pengakuan dari para p ­ emilik otoritas
kultural sehingga melakukan ­berbagai p ­ raktik yang ­berorientasi
spesifik pada ­pemerolehan ­pengakuan tersebut. ­Beberapa strategi
yang digunakan FLP antara lain, medapatkan ­ endorsment dari
tokoh ­sastra dan ­akademisi, menulis di m
­ edia-media nasional dan
­berpengaruh, ­memenangkan lomba, serta berusaha ­memperoleh
penghargaan.
Sebagaimana Michele Foucault, Pierre Bourdieu memercayai
bahwa kekuasaan menyebar dan terdapat pada setiap bentuk
­relasi. Distribusi kekuasaan antara agen yang satu dengan agen
yang lain berbeda, bergantung pada kuantitas dan kualitas modal
yang diakumulasinya. Para sastrawan senior yang telah menulis
banyak buku menempati posisi dominan dibandingkan sastrawan
junior yang baru memulai kariernya. Namun, sastrawan senior
tersebut menempati posisi terdominasi dibandingkan ­sastrawan
senior lain yang telah dikenal luas, memiliki lembaga kesenian
­besar, dan ­telah mendapatkan penghargaan internasional. ­Relasi
antara penerbit dengan penulis juga berdimensi kekuasaan ­dengan
menempatkan penerbit pada posisi dominan. Namun ­
­ penerbit
tersebut bisa ­ menempati posisi terdominasi dalam relasinya
­dengan penerbit kompetitor yang memiliki modal lebih banyak
dan jaringan ­distribusi lebih luas. Relasi kekuasaan demikian juga
dapat ditemukan antara kritikus dengan penulis. Kritikus memiliki

204 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


serangkaian modal sosial dan intelektual yang ­memungkinkannya
melakukan penilaian terhadap karya sastra, namun kritikus ini
dapat ­menempati posisi terdominasi dibandingkan dengan k
­ ritikus
lain yang memiliki pengalaman lebih banyak, gelar akademik lebih
tinggi, dan tingkat kepercayaan lebih besar.
Supaya agen dapat melakukan disposisi dari posisi ­terdominasi
ke posisi lain yang lebih menguntungkan ia ­ perlu ­
melakukan
­serangkaian praktik yang dapat meningkatkan ­akumulasi ­modal.
Dalam dunia sastra, akumulasi modal sosial ­berupa ­ketersohoran dan
kepercayaan antara lain diperoleh dengan memperoleh ­pengakuan
dari pemilik otoritas. Jika para ­pelukis ­berusaha ­memajang karyanya
di galeri-galeri ternama, para ­penulis ­berkompetisi ­menerbitkan
karyanya melalui ­koran-koran ­besar dan penerbit-penerbit besar.
Jika para produsen film berusaha ­meriah penghargaan dalam festival
film, para penulis berusaha meraih penghargaan dalam festival
sastra. Mereka juga ­memperebutkan ruang dalam koran dan majalah
agar karyanya memperoleh pujian dan semakin dikenal.

Mengakumulasi Ketersohoran
Ketersohoran atau popularitas adalah modal sosial yang mula-
mula harus dimiliki penulis agar ia dapat ­mengakumulasi modal
sosial yang lain. Penulis-penulis FLP memahami ­mekanisme ini
sehingga mereka berusaha membangun basis penggemar ­sejak awal
mereka memulai karier kepenulisan. Beberapa kiat yang dilakukan
oleh penulis FLP adalah (1) membuat dan mengelola website atau
blog pribadi sebagai pangkalan data diri dan kekaryaan yang dapat
diakses secara luas; (2) memuat biografi dan ­resensi karya pada
situs pembaca buku Goodreads; (3) membuat dan mengelola media
sosial sebagai alat promosi, baik berupa akun ­personal maupun
fanpage; (4) memperebutkan halaman sastra pada koran ternama
seperti Kompas, Jawa Pos, Republika, dan Koran Tempo; dan (5)
memperebutkan ruang resensi.
Bagi penulis FLP, ketersohoran adalah modal sosial yang
penting karena kerap dijadikan pertaruhan oleh penerbit untuk
menerbitkan naskahnya atau justru menolaknya. Berkat pelatihan

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 205


dan persinggungannya dengan pelaku industri buku, para anggota
FLP telah memahami bahwa kualitas naskah bukan satu-satunya
aspek yang dipertimbangkan oleh penerbit. Kualitas naskah dan
popularitas penulis menjadi dua hal yang bobotnya sama dalam
pertimbangan penerbit. Hal ini dikarenakan, popularitas penulis
menentukan perilaku pembeli yang pada akhirnya mempengaruhi
hasil penjualan buku. Hubungan kualitas naskah dan popularitas
penulis dapat digambarkan melalui bagan berikut:

Naskah Naskah
berkualitas, Kurang
penulis berkualitas,
populer penulis
populer

Naskah Naskah
berkualitas, Tidak
penulis berkualitas,
Tidak penulis
populer Tidak
populer

Bagan di atas menunjukkan pola pertimbangan penerbit


­ketika menilai apakah sebuah naskah buku akan diterbitkan atau
tidak. Kondisi paling ideal adalah kondisi kiri atas, yaitu ­naskah
­berkualitas yang ditulis oleh penulis populer. Adapun posisi ideal

206 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


kedua dapat diisi oleh kondisi kanan atas dan kiri bawah, ­bergantung
pada ­pertimbangan spesifik yang dilakukan oleh ­penerbit. Kedua
­posisi tersebut bisa saling menggantikan satu ­dengan yang lain.
Jika ­penerbit sedang memiliki agenda untuk mengkader penulis,
penerbit berusaha memilih naskah yang berkualitas meskipun
­
­ditulis oleh penulis baru. Pilihan ini dapat berisiko pada ­penjualan
buku yang rendah. Namun dengan melakukan hal ini penerbit
­sedang melakukan investasi dengan memperkenalkan penulis baru
kepada masyarakat. Penerbit berharap, setelah naskah ­perdana
terbit, penulis akan dikenal masyarakat sehingga kondisi berubah
menjadi posisi kiri atas.
Jika penulis sedang berorientasi pada hasil penjualan, ­penerbit
lebih memilih penulis popoler meskipun dengan naskah yang
kurang berkualitas. Penulis dengan nama populer biasanya telah
memiliki basis penggemar sendiri. Para penggemar membeli buku
tersebut karena pernah membaca karya sebelumnya dari penulis
yang sama. Perilaku pembaca demikian membuat penerbit berani
mengambil risiko meskipun mempertaruhkan nama baik penulis
dan penerbit itu sendiri.
Kondisi paling tidak ideal bagi penerbit adalah kondisi kanan
bawah, yaitu naskah kurang berkualitas yang ditulis oleh ­penulis
tidak populer. Naskah dengan kondisi demikian hampir dapat
­dipastikan ditolak oleh penerbit. Namun demikian, tidak berarti
naskah ini tidak dapat diterbitkan. Melalui mekanisme s­ pons­orship
dan penerbitan indie, naskah buruk oleh penulis kurang ­populer
tetap dapat diterbitkan. Kelemahannya, pihak sponsor harus
mengeluarkan ongkos produksi yang kemungkinan besar tidak
akan kembali.
Posisi popularitas penulis dalam bagan di atas menunjukkan
bahwa popularitas merupakan modal sosial yang sangat berharga.
Penulis-penulis FLP menyadari kondisi itu sehingga melakukan
serangkaian tindakan untuk mengakumulasi popularitas. Pada era
teknologi informasi, cara para penulis mengakumulasi popualitas
daapat diamati pada cara mereka menggunakan website, blog, dan
media sosial. Pada beberapa penulis, pemanfaatan aneka media

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 207


tersebut tidak hanya dilakukan secara gratis, tetapi juga dengan
membayar sarana publikasi seperti Facebook Ads.
Website atau blog pribadi dapat menjadi sarana yang ­efektif
agar nama seorang penulis lebih populer. Melalui website inilah
para penulis FLP memublikasikan biografinya, karya yang ­telah
dihasilkannya, penghargaan yang diraihnya, testimoni dari
­
­pembaca karyanya, bahkan artikel-artikel berisi gagasan ­tentang
topik ­ populer tertentu. Kelima jenis isi tersebut ­ berorientasi
pada keterkenalan dan terciptanya kesan baik dalam p ­ersepsi
­masyarakat. Penulis populer seperti Helvy Tiana Rosa, Asma N ­ adia,
Afifah Afra, Izzatul Jannah, Leyla Hana, Ali ­Muakhir, Melvy Yendra,
dan Irfan Hidayatullah menggunakan website ­berbayar. Adapun
­penulis seperti Sinta Yudisia, Mell Shaliha, Iva Afianti, Azzura
Dayana menggunakan blog gratis berbasis bordpress dan blogspot.
Berikut daftar website atau blog pribadi anggota Forum Lingkar
Pena (FLP):
Ketersohoran juga diraih penulis FLP dengan ­memanfaatkan
media sosial seperti Facebook dan Twitter. Melalui media sosial
­itulah para penulis FLP berinteraksi dengan masyarakat pembaca,
baik dengan melaporkan aktivitas sehari-hari, menulis gagasan,
maupun mempromosikan buku baru. Interaksi melalui media
­
­sosial dapat membuat nama seorang penulis melekat pada ­anggota
masyarakat yang mengakses atau mengikutinya. Lebih dari itu,
melalui media sosial para penulis dapat membangun identitas
personal atau mempromosikan buku yang dapat mengintervensi
keputusan masyarakat dalam menyikapi karya-karya mereka.
Situs komunitas pembaca buku Goodreads juga ­dimanfaatkan
oleh para penulis FLP untuk meningkatkan popularitas diri dan
karyanya. Situs ini digunakan oleh pengguna di ­Indonesia dan
pengguna internasional sehingga informasi di dalamnya dapat
­
diakses oleh masyarakat di seluruh dunia. Melalui ­ Goodreads
para penulis FLP mempublikasikan profil dirinya, memajang
foto sampul karya mereka, sekaligus membuat ulasan yang
dapat ­ menstimulasi minat pengguna untuk membaca ­ buku-
buku ­ mereka. Keberadaan k ­olom ulasan memungkinkan para

208 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


­engguna ­
p memberikan ­ komentar terhadap sebuah judul buku
yang ­terpajang ­sehingga memberi kesempatan kepada penulis,
­penerbit, atau ­penggemar untuk menyisipkan ­komentar-komentar
baik yang ­semakin meningkatkan kesan baik terhadap penulis atau
karya ­bersangkutan. Melalui Goodreads pula para pengarang FLP
menunjukkan produktivitasnya dengan memajang daftar (list)
­
karya mereka yang jumlahnya di atas rata-rata penulis lain. Berikut
tampilan profil dan daftar buku sejumlah penulis FLP pada situs
Goodreads.
Selain dengan media-media online di atas, ketersohoran juga
diraih anggota FLP dengan memperebutkan ruang sastra pada
­media-media konvensional seperti koran dan majalah. Pada satu sisi
mereka enggan berkompromi menyesuaikan ­karakteristik karya
mereka dengan standar estetis koran-koran yang ­memiliki genre
sastra berbeda. Namun di sisi lain mereka menganggap ­bahwa
publikasi di koran atau majalah ternama adalah bentuk pencapaian
yang perlu diupayakan. Sikap seperti ini membuat ­anggota FLP
dalam posisi mendua, berdiri antara hasrat untuk memanfaatkan
ruang sastra dengan ego untuk bertahan pada genre sastra yang
diyakini mereka lebih bermanfaat.
Kondisi ini membuat anggota FLP yang dapat menembus
­koran nasional tidak banyak. Salah satu anggota FLP yang ­cukup
produktif mengisi halaman “Cerpen” koran adalah Mashdar
Zainal. Keberhasilan Mashdar membuatnya dianggap memiliki
­
pengetahuan dan keterampilan yang lebih baik. Oleh karena itu
Mashdar beberapa kali diundang oleh pengurus pusat, wilayah,
atau cabang untuk memberikan pelatihan kepada anggota FLP agar
dapat menulis di media cetak ternama. Cerpen-cerpen ­Mashdar
yang sempat terpublikasi di media cetak antara lain ­Danau, ­Sinyo,
dan Seorang Bocah Bertopi Gatsby (Suara ­Merdeka, 14 June, 2015),
Tulang Ikan di Tenggorokan (Suara Merdeka, 4 January 2015), Meja
Makan yang Menggigil (Media Indonesia, 7 September, 2014), Debu-
Debu Tuhan (Republika, 4 Mei 2014), Pelukan (Suara Merdeka, 24
February 2013), Pelajaran Hujan ­(Republika, 9 Desember 2012),
Kabut Ibu (Kompas, 8 Juli 2012), Pohon Hayat (Kompas, 29 Januari

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 209


2012), Laron (Kompas, 6 Maret 2011).
Meskipun dengan produktivitas di bawah Mashdar, sejumlah
penulis FLP lain juga turut berebut ruang sastra di media umum.
Desi Puspitasari antara lain menulis Heute Herbst (Koran Tempo,
20 November 2011), Gembok (Media Indonesia, 1 Februari 2015),
Skarf (Koran Tempo, 26 Agustus 2012), Close E (Koran Tempo,
4 Maret 2012), dan Ayahmu Mati (Jawa Pos, 16 Oktober 2011).
­Sementara itu, Izzatul Jannah pernah menulis Syahid Sang Azazil
(Republika, 27 Mei 2012), Fahri Asiza yang pernah menulis Mali
(Republika, 23 Mei 2010), S Gegge Mappangewa yang menulis
Komidi Pintar (Republika, 5 Juni 2011).
Bagi penulis di Indonesia, ruang sastra di koran edisi ­minggu
menjadi ruang yang dinilai penting untuk ­mengukuhkan ­karier
kepenulisannya. Keyakinan demikian ada dalam diri ­ penulis
­karena koran memiliki persentuhan yang sangat intensif d ­ engan
­pembaca. Selain terbit setiap minggu, oplah koran ­relatif ­lebih ­besar
dibandingkan dengan oplah terbitan buku sastra. ­Berdasarkan data
­perusahaan, Kompas terbit 300 ribu eksemplar setiap hari dan
terdistribusi ke 34 provinsi di seluruh Indonesia. Koran nasional
Jawa Pos juga memiliki oplah besar, yakni ­sekitar 150 ribu. ­Adapun
Republika sekitar 60 ribu. Dengan jumlah ­ cetakan yang besar
dan distribusi yang luas, ruang sastra pada koran Minggu dapat
­digunakan para penulis untuk memopulerkan diri dan karyanya
sekaligus membangun kesan positif di hadapan masyarakat.
Lebih dari itu, di Indonesia koran memiliki wibawa tersendiri
karena mekanisme seleksi yang berjalan dalam internal redaksi.
Keterbatasan ruang pada koran edisi Minggu membuat redaksi
harus melakukan seleksi yang ketat untuk memutuskan naskah
yang akan diterbitkan. Mekanisme seleksi yang ketat melahirkan
kompetisi antarpenulis yang menempatkan para redaktur sebagai
juri. Kondisi ini melahirkkan keyakinan pada masyarakat ­pembaca
bahwa karya-karya yang terbit pada koran adalah karya-karya yang
memiliki kualitas lebih baik dibandingkan dengan karya lain yang
dikirimkan kepada redaksi namun tidak dipublikasikan. ­Keyakinan
demikian juga dipengaruhi pengetahuan bahwa ­halaman sastra

210 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


edisi Minggu dikelola oleh wartawan yang memiliki reputasi baik.
Halaman sastra Kompas dikelola oleh Bre Redana, Koran Tempo
oleh Nirwan Dewanto, Republika dikelola oleh Ahmadun Yosi
Herfanda, dan Suara Merdeka dikelola oleh Triyanto Triwikromo
dan kemudian Saroni Asikin.

Konsekrasi Melalui Endorsement


Konsekrasi dalam produksi karya sastra diperlukan untuk
memproduksi keyakinan dan kepercayaan masyarakat bahwa karya
sastra tersebut memiliki kualitas yang baik. Pengakuan dari tokoh
yang memiliki otoritas kultural digunakan sebagai alat ­legitimasi
bahwa karya tersebut mencapai standar estetik tinggi. Bourdieu
(2010) mengungkapkan bahwa dalam semesta kepercayaan, harus
dipertimbangkan “...bukan hanya produksi material tetapi juga
produksi simbolis karya sastra, yaitu produksi nlai sebuah karya
atau, yang agak mirip, kepercayaan pada nilai karya.”
Dalam industri karya sastra, salah satu strategi ­konsekrasi
­adalah dengan menggunakan endorsment atau persetujuan dari
­tokoh tertentu pada buku-buku yang akan diterbitkan. ­Endorsment
berupa komentar singkat yang berisi pendapat tokoh tentang
karya sastra bersangkutan. Dengan memanfaatkan komentar
singkat yang biasanya berisi apresaasi dan pujian itu penulis dan
penerbit berupaya meyakinkan calon pembaca bahwa sebuah
karya memiliki kualitas yang baik. Agar endorsement memiliki daya
persuasif yang kuat dan luas, tokoh yang dimintai endorsement
lazimnya merupakan tokoh yang memiliki kepakaran tertentu dan
telah dikenal oleh masyarakat luas. Dengan endorsement, pembaca
diharapakan memiliki persepsi positif terhadap buku tersebut dan
memutuskan untuk membelinya.
Penggunaan endorsment untuk mendukung popularitas dan
penjualan banyak digunakan anggota FLP untuk ­ memasarkan
­karyanya, termasuk oleh Habiburahman El-Shirazy ­ketika ­pertama
akan menerbitkan novel Ayat-Ayat Cinta. Dalam ­Fenomena ­Ayat-
Ayat Cinta (El-Shirazy, 2008) menceritakan bahwa ide ­ untuk
memberikan endorsment berasal dari adik ­Haiburahman, ­yakni

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 211


Anif Sirsaeba. Menurut Anif, endorsemnt memiliki dua manfaat
sekaligus, yakni untuk memperluas jangkauan pemasaran dan
menguji kualitas karya dari kacamata para sastrawan. Untuk
­tujuan itulah Anif memberikan ide agar meminta endorsment dari
tokoh selebritis dan sastrawan nasional. Dua nama dari kalangan
berbeda tersebut adalah Ratih Sang dan Ahmad Tohari. Namun
pada perkembangannya, tokoh yang dimintai endorsement untuk
Ayat-Ayat Cinta bertambah, termasuk Ustaz Fauzil Adhim.
Pada terbitan keduanya, novel Ketika Mas Gagah Pergi karya
Helvy Tiana Rosa juga dilengkapi dengan berbagai ­endorsement.
Salah satu endorsment bahkan dimunculkan di sampul buku
­sehingga sangat mudah terbaca oleh siapa pun yang melihat buku
ini. E
­ ndorsment tersebut berasal dari adik Helvy s­ endiri, ­yakni Asma
Nadia, yang telah dikenal luas oleh masyarakat ­sebagai novelis
yang produktif dan memiliki banyak penggemar. ­Berikut komentar
Asma pada novel karangan kakaknya tersebut: ­“Dikembangkan dari
karya legendaris yang sangat ­menggetarkan dan ­membangkitkan
semangat belajar Islam remaja Indonesia s­ ejak pertama diterbitkan
di majalah Annida pada 1993 hingga sekarang.”
Dari perspektif produksi kultural, endorsment menunjukkan
bekerjanya pemegang otoritas kultural dalam ­mengarahkan dan
memproduksi kepercayaan barang-barang simbolis. ­Tokoh-tokoh
yang memberikan endorsment merupakan tokoh yang secara
kultural memiliki legitimasi kultural berkat akumulasi modal
­
kultural yang berlangsung lama. Mereka bertindak layaknya
­
kurator yang ­
­ berusaha mempengaruhi penilaian masyarakat
­terhadap ­lukisan dengan wacana dan reputasi yang dimilikinya.
Jika tokoh ini c­ ukup legitim, ucapan dan wacananya menjadi bahan
­pertimbangan ­penikmat lukisan untuk membeli atau mengabaikan
karya lukisan tersebut.
Kharisma yang cukup pada seseorang menempatkan mereka
pada posisi yang tinggi dalam mata rantai ­ produksi ­ barang-
barang simbolik. Bourdieu (2010) menyebut peran ­ tersebut
sebagai ­pencipta dari “pencipta”. Jika penulis adalah pencipta
karya ­sastra, maka para pemilik otoritas kultural ­adalah ­pihak

212 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


yang ­“menciptakan” para penulis. Dengan otoritas ­kultural yang
­dimilikinya, mereka dapat mengkonsekrasi penulis baru ­sehingga
diakui bakat dan kualitas karyanya oleh masyarakat luas. ­Dengan
otoritas k
­ ulturalnya pula, mereka dapat mencegah atau ­membiarkan
sebuah karya seni tetap menjadi karya biasa tanpa nilai kultural
yang membuatnya semakin berharga. Peran ­ demikian disebut
Bourdieu sebagai “pencipta belakang layar” ­untuk menunjukkan
peran besar mereka pada satu sisi, namun ketidaknampakkan
mereka pada sisi lain.
Sebagai contoh, pekerjaan mengkonsekrasi karya sastra ­pernah
dilakukan Ahmadun Yosi Herfanda ketika ia ­memutuskan memuat
secara berkala Ayat-Ayat Cinta pada rubrik sastra R­ epublika yang
dikelolanya. Ia kemudian terlibat mengemas ulang Ayat-Ayat
Cinta yang terbit sebagai cerita bersambung di R
­ epublika menjadi
novel. Novel tersebut mendapatkan sambutan baik dari ­pembaca,
antara lain berkat prestise Ahmadun yang selama ini d ­ikenal
sebagai sastrawan yang secara ideologis dekat dengan ­
­ Islam.
Dengan merekomendasikan Ayat-Ayat Cinta, Ahmadun sedang
­menginvestasikan prestise yang telah diakumulasinya pada sebuah
arena kepercayaan. Rekomendasi tersebut diberikan di belakang
layar kepada Habiburahman El-Shirazy yang berperan sebagai
­aktor di atas panggung.
Rekomendasi Ahmadun hanya dapat berfungsi jika dia m ­ emiliki
kharisma yang memungkinkan nasihat dan ­opininya dipercaya oleh
orang lain. Adapun kepercayaan dapat ­terjalin ­karena A ­ hmadun
memiliki “kredit” dalam relasinya dengan ­agen-agen lain. Sebagai
redaktur dia memiliki modal sosial ­berupa otoritas struktural ­untuk
memilih puisi dan cerpen yang akan ­dipublikasikannya melalui
rubrik yang diasuhnya. ­ Otoritas ­ struktural dikonversi menjadi
ketersohoran dan reputasi, ­yakni asumsi agen terhadap dirinya.
Reputasi sebagai redaktur dan ­sastrawan membuatnya ­dipersepsi
sebagai seorang ahli yang memiliki kapasitas untuk menentukan
mana karya sastra yang berkualitas dan kurang berkualitas. ­Dengan
kepercayaan itu, ­ Ahmadun dapat mempengaruhi orang yang
mempercayainya ­untuk melakukan sesuatu yang diinginkannya.

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 213


“Kredit” atau nilai pada seseorang tidak selalu diakui
­keberadaannya pada setiap orang atau komunitas. Kondisi ­demikian
membuat kharisma seseorang memiliki keterbatasan jangkauan.
Sebagai sastrawan dan redaktur sastra, Ahmadun memiliki
­jangkauan pada pembaca karya sastra Islam namun ­tidak memiliki
pengaruh pada komunitas Islam nonpembaca karya ­sastra. Oleh
karena itu, pada edisi perdananya Ayat-Ayat Cinta juga memuat
­endorsment dari Ahmad Tohari, sastrawan yang ­memiliki rekam
­jejak panjang. Dengan rekam jejak yang ­dimilikinya, ­Ahmad Tohari
memiliki pengaruh di kalangan pembaca karya ­sastra ­kebanyakan.
Dengan memanfaatkan pengaruh Ahmad ­Tohari, Ayat-Ayat Cinta
diharapkan dapat menjangkau calon pembaca dari latar belakang
pembaca karya sastra umum (non-Islam).
Namun demikian, hubungan pemberi endorsment dengan
penulis karya sastra tidak betul-betul sama dengan hubungan
­
­kurator dengan pelukis. Para pemberi endorsment tidak bersikap
netral dengan hanya menunjukkan pujian, alih-alih ­memberikan
catatan kritis terhadap sebuah karya. Para pemberi endorsment
sering secara murahan menjadikan endorsment-nya hanya
­
­sebagai juru ­bicara penerbit yang digunakan untuk mempersuasi
calon ­pembeli. Kondisi demikian kerap membuat para pemberi
­endorsment kehilangan setidak-tidaknya sebagian legitimasi
kulturalnya karena menunjukkan keberpihakan pada penerbit.
Padahal para pembaca berharap para pemberi endorsment
memberikan rekomendasi dan komentar yang jujur dari para tokoh
sastra tersebut.
Eksploitasi kewibawaan dalam industri sastra melahirkan
keraguan pada calon pembaca karena dua sebab. Pertama, lebih
banyak endorsment berisi pujian yang menunjukkan ketidaknetralan
pemberi endorsment. Menurut Wardhana (2014) pembaca bersikap
kritis jika membaca endorsment yang berisi terlalu banyak pujian
karena menyadari bahwa endorsment tersebut dengaja digunakan
untuk mempromosikan buku. Jarang ditemukan endorsment yang
berisi kritikan sebagai kajian yang murni berdasarkan pada kajian
akademik. Kedua, belakangan muncul endorsment dari tokoh
yang tidak memiliki kompetensi dengan karya sastra atau tema

214 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


yang berkaitan dengan karya tersebut. Para pemberi endorsment
jenis ini biasanya berasal dari kalangan selebritas atau pejabat
yang ­sengaja dimintai pendapat oleh penerbit untuk mengkatrol
penjualan buku.
Situasi demikian menunjukkan bahwa mekanisme ­konsekrasi
melalui endorsment tidak serta-merta berhasil m ­ emproduksi
kepercayaan masyarakat. Keberhargaan endorsment terletak
­
pada kepercayaan publik terhadap tokoh yang ­memberikannya.
Kepercayaan ini berkaitan dengan kredit yang dimiliki dalam
­
­relasinya dengan sastrawan yang karyanya di-endors, ­relasinya
dengan ­ masyarakat pembaca, dan relasinya dengan ­ penerbit.
Jika tokoh pemberi e­ndorsment tidak dapat menunjukkan
­ketidakberkepentingannya, maka kredit yang dimiliki di ­hadapan
masyarakat pembaca juga akan hilang. Hal ini berakibat pada
­hilangnya kepercayaan masyarakat pembaca terhadap endorsment
tersebut.

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 215


216 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan
Daftar Pustaka

Azwar. 2011.“Komodifikasi, Standarisasi, dan Massifikasi ­dalam


Industri Fiksi Indonesia (Kajian Budaya Terhadap ­Forum
Lingkar Pena (FLP))”.Jurnal Komunikata ­ Kajian Budaya
­Media, Volume I/No.3 November-Desember 2011. ­Lembaga
Pengembangan Studi Informasi (LPSI) ­Universitas Islam
Negeri Jakarta (UIN), Jakarta.
_____ . 2012. Fiksimorfosis Forum Lingkar Pena (FLP): Dari I­ deologi
Ke Industri. Tesis. Depok: Universitas Indonesia.
Arnez, Monika. 2009. Dakwah By The Pen. Indonesia and the Maya
World. Vol. 37 No 107 March 2009. Hlm. 45-64.
____2010. Between Propagation And Mediation: Negotiating ­Islamic
Norms In Forum Lingkar Pena. Hamburg: Hamburg University.
Bourdieu, Pierre. 2010. Arena Produksi Kultural. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Cone, Malcolm. 2002. Neo Modern Islam in Suharto’s ­Indonesia.
New Zealand Journal of Asian Studies 4, 2 (December, 2002).
Hlm. 52-67.
Damono, Sapardi Djoko. 2010. Sosiologi Sastra. Ciputat: Editum
Eagling, Caroline Melita. 2007. Socio-Political Issues in Women’s
Fiction of the Reformasi. Tesis. University of Tasmania.
El-Shirazy, Anif Sirsaeba. 2006. Fenomena Ayat-Ayat Cinta. ­Jakarta:
Republika dan Pesantren Basmala.

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 217


Escarpit, Robert. 2005. Sosiologi Sastra. Penerjemah Ida Sundari
Husen. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Haryanto, Sindung. 2015. Sosiologi Agama: Dari Klasik Hingga
Posmodern. Jakarta: Arruz Media

Hendropuspito. 1983. Sosiologi Agama. Jakarta: Penerbit Kanisius.

Herlambang, Wijaya. 2013. Kekerasan Budaya Pasca-1965:


Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui
Sastra dan Film. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.

Hidayat, Hudan. 2006. Sastra yang Menjauh dari Tuhannya. Jawa


Pos. Edisi Minggu, 6 Mei 2007.

Ismail, Taufik. 2006. Budaya Malu Dikikis Habis Gerakan ­Syahwat


Merdeka. http://www.republika.co.id/koran_detail.
asp?id=276485&kat_id=3. Diakses pada 6 Agustus 2015.

Kailani. 2009. “Budaya Populer Islam Di Indonesia: Jaringan


Dakwah Forum Lingkar Pena”. Jurnal UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Volume II Nomor 2. Hlm.

Khairiyah, Ira Yuniarty. 2008. Strategi Komunikasi ­Pemasaran


Majalah Islam: Studi Kasus pada Majalah Islam dengan
­
Segmen Remaja, Majalah Annida dan Majalah Muslimah. ­Tesis.
­Universitas Indonesia.
Mahayana, Maman S. 2013. “Sastra Islam atau Sastra Islami”. ­Dalam
www.mahayan-mahadew.net. Diakses pada 5 April 2014.
Makka, A Makmur. 2008. True Life of Habibie: Cerita ­Kesuksesan.
Bandung: Pustaka Iman.
Manurung, Pappilon Halomoan. 2004. “Membaca ­ Representasi
Tubuh dan Identitas sebagai Sebuah Tatanan Simbolik ­dalam
Majalah Remaja” . Jurnal Ilmi Komunikasi. Volume 1, ­Nomor 1,
Juni 2004. Hlm. 37-72

218 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


Mohammad, Goenawan. 2013. Sutan Takdir Alisyahbana
dan ‘Seni Untuk Seni’: Sebuah Catatan Pendek. http://
goenawanmohamad.com/2013/10/15/sutan-takdir-
alisyahbana-dan-seni-untuk-seni-sebuah-catatan-pendek.
Diakses pada 15 April 2014.
Noor, Acep Zamzam. 2012. Komunitas Sastra. http://­ sastra-
acepzamzamnoor.blogspot.co.id/2012/08/7-artikel-sastra.
html. Diakses pada 10 Juli 2015.
Pradopo, Rahmat Djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik,
serta Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Putra, Purnama. 2008. Manifestasi Gerakan Tarbiyah. ­Bagaimana


Sikap FSLDK ?. https://putrapurnama.wordpress.
com/2008/08/13/manifestasi-gerakan-tarbiyah-­bagaimana-
sikap-fsldk/. Diakses pada 19 Junli 2015.

Rahayu, Azimah. 2004. Anda Menulis, Maka Anda Hidup. ­Modul


Pelatihan. FLP Jakarta Raya.
Rahmat, Imadun. 2008. Ideologi Politik Partai Keadilan ­Sejahtera.
Yogyakarta: LKiS.
Rosa, Helvy Tiana. 2005. “Majalah Remaja Annida; Konsep, Strategi
dan Pola Representasi dalam Delapan Cerpennya Tahun 1990-
an”. Tesis. Universitas Indonesia.
____. 2007. Forum Lingkar Pena: Sejarah, Konsep dan Gerakan.
Makalah dalam Konferensi Internasional HISKI, di Fakultas
Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. 8 Agustus 2007.
____. 2010. Sastra yang Menggerakkan. Seminar Nasional Sastra dan
Perubahan Sosial yang diadakan   Fakutas Sastra dan Seni
Rupa,  Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 17 April 2010.
Rampan, Korrie Layun. 1999. Aliran-Jenis Cerita Pendek. Jakarta:
Balai Pustaka.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik ­Penelitian
Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 219


Rusdin. 2005. “Islam dan Sastra Melayu Klasik”. Jurnal Hunafa. Vol.
2 No. 3 Desember 2005: 273-286.
Syarifudin. 2012. “Sastra Qur’ani dan Tantangan Sastra Islam di
Indonesia”. Proceeding. Annual Conference on Islami ­Studies
(AICIS) XII. Hlm. 1260-1279.
Supriadi, Asep. 2006. Transformasi Nilai-Nilai Ajaran Islamd
Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy: Kajian
Interteks. Tesis. Magister Susastra Universitas Diponegoro.
Sutrisno, Mudji dna Verhaar. Estetika: Filsafat Keindahan.
­Yogyakarta: Kanisius.
Tempo. 2008. Terobosan Baru dalam Sastra. Diakses pada 8
­November 2015.
Toroczkai, Ciprian Iulian dan Daniela Preda. 2014. Religion and
Literature Case Study – Mythanalysis. European Journal of
Science and Theology. February 2014, Vol.10, No.1. Hlm.
125-132
Wardhana, Veven Sp. 2013. “Kritik Sastra Sampul Belakang”.
Kompas. Edisi 27 Januari 2013.
Yudiono, K.S. 2009. Pengkajian Kritik Sastra Indonesia. Jakarta:
Penerbit Grasindo.

220 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


Glosarium

Apokaliptik : gaya penulisan dengan menggunakan


banyak simbol
Auto-financement : penulis membiayai sendiri biaya
hidupnya
Boheme : petualang
coin de folie : pojok kegilaan
devotional poetry : puisi renungan
Disposisi : perpindahan agen dari posisi satu ke ­
posisi lain
Distinction : daya pembeda
Eksistensialis : penganut eksistensialisme
Ekstrinsik : unsur eksternal karya sastra
Endorsment : dorongan, pernyataan singkat sebagai
dukungan
Epigon : karya sastra pengikut tren
Express : majalah Perancis yang terbit
tahun 1950- an
Ghazwul fikri : perang pemikiran
Harakah : serikat (kelompok) keagamaan
Hardcover : edisi buku dengan sampul yang tebal
dan keras
Imdidad umfuqy : (Arab) (perkembangan horizontal
Intifada : melempar batu untuk melawan
Intrinsik : unsur internal karya sastra
Jagad cilik : mikrokosmos
Jagad gede : makrokosmos
Konsekrasi : pemuliaan oleh tokoh yang memiliki ­
otoritas

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 221


Mecenet : (Perancis) penyeponsoran
Naqli : dasar argumentasi yang bersumber
dari kitab suci atau hadis
Nuwuw tarbawy : (Arab) perkembangan edukatif
Posisi : letak agen dalam lanskap sosial
Public theoriq : publik yang diteorikan
Regim of looking : era yang mengutamakan penampakan
visual
Rigweda : salah satu kitab sastra umat Hindu
Rohis : kerohanian Islam
Roman : karangan prosa yang melukiskan ­
perbuatan pelakunya
Royalti : bayaran yang diterima pengarang
Samarveda : salah satu kitab sastra umat Hindu
Singiran : lagu pujian kepada Tuhan
Surealis : melepaskan diri dari aturan realisme
Syumuliyatul Islam : Islam bersifat universial
Tasawuf : ajaran mendekatkan diri langsung
kepada Tuhan
Thriler : cerita horor penuh ketegangan
Tipografi : penataan jenis huruf
Trubadur : pencerita keliling
Ultima : yang paling superior
Usroh : pengajian dalam kelomok-kelompok
kecil
Variabel : unsur yang penjadi peubah
Yajurveda : salah satu kitab sastra umat Hindu

222 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


Indeks

Afra, Afifah, 167


Annida, 53, 102
Anwar, Chairil, 25
Aquinas, Thomas, 142
Ayat-Ayat Setan, 4
Ayu, Djenar Mahesa, 132
Bourdieu, Pierre, 120, 183
Brown, Dan, 183
Brown, Father, 36
Bucolica, 30
Cervantes, Miguel de, 12
Chesterton, GK, 36
Comte, Auguste, 6
Damono, Sapardi Djoko, 12
Danarto, 16
Eliot, TS, 35
El-Saadawi, Nawaal, 5
El-Zhirazy, Habiburahman, 16, 132
Escarpit, Robert, 8
Foucault, Michele, 183
Goodreads, 56 183,
Hasjmy, Ali, 152
Horison, 52, 64, 102
Ismail, Taufiq, 53, 102
Jannah, Izzatul, 175
Koentowijoyo, 14
Lekra, 130
Manikebu, 130

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 223


Muslimin, Ikhwanul, 41, 45, 47
Nadia, Asma, 36
Navis, AA, 16
Rigweda, 31
Rosa, Helvy Tiana, 36, 36, 64, 70, 146
Rusdi, Salman, 4
Saman, 52, 102
Scott, Walter, 10
Taylor, Jeremy, 36
Ultima, 6
Ummi, 164
Utami, Ayu, 53

224 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan


Tentang Penulis

Rahmat Petuguran adalah dosen pada Jurusan Bahasa dan Sastra


Indonesia ­Universitas Negeri Semarang (Unnes). Ia menyelesaikan
­pendidikan pada Jurusan Bahasa dan Sastra ­Indonesia Unnes dan
Magister Ilmu Susastra ­Universitas Diponegoro. Beberapa buku
yang telah diterbitkan ­ adalah Bonang (2009), Melawan Kuasa
Perut (2014), dan Politik ­Bahasa Penguasa (2016). Selain menulis
buku ia ­menulis ­secara lepas untuk berbagai surat kabar ­seperti
Wawasan, Suara Merdeka, Media Indonesia, Detik.com dan ­Kompas.
Penulis dapat dihubungi melalui rahmatpetuguran@gmail.com
atau Instagram: rahmat.­petuguran

Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan 225


226 Sastra Agama : Teks, Spiritualitas, dan Keindahan
View publication stats

Anda mungkin juga menyukai