Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

UVEITIS ANTERIOR

Disusun oleh :
Luki
406127003

Pembimbing :

dr. Nanda Lessi , Sp.M

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT MATA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIAWI
PERIODE 13 JANUARI 2014 – 15 FEBRUARI 2014
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
JAKARTA
I. IDENTITAS

Nama : Tn. As
Umur : 31 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh
Tanggal pemeriksaan : 8 Februari 2014

II. ANAMNESIS

Auto anamnesis pada tanggal 8 Februari 2014 jam 11.00 WIB

Keluhan utama
Mata kiri buram sejak ± 1 bulan yang lalu
Keluhan tambahan
Mata kiri merah, sakit kepala
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Klinik Mata RSUD Ciawi dengan keluhan pandangan buram pada

mata kiri sejak ± 1 bulan yang lalu. Awalnya tidak terlalu buram, namun buram yang

dirasakan semakin parah. Pasien juga mengaku mata kirinya hanya dapat melihat ke daerah

pinggir. Selain itu mata kiri nya merah sejak ± 6 hari yang lalu,demam (-) , gatal (+) ,

bengkak (+) ,berair (+), silau(+), rasa Riwayat Trauma (-) , Rasa Mengganjal (+).

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat TB (+) sudah dalam pengobatan selama 3 bulan
 Riwayat HIV (+)
 Riwayat DM disangkal
 Riwayat Hipertensi di sangkal
 Riwayat Alergi disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

• Riwayat Diabetes Mellitus disangkal


• Riwayat Hipertensi disangkal
• Riwayat Penyakit Jantung disangkal.
• Riwayat Asma disangkal.
• Riwayat Alergi Makanan dan Obat disangkal.
• Riwayat TB dan HIV disangkal
III. PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Keadaan umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital : Tekanan Darah: 120/80 mmHg, Frekuensi Nadi: 86
kali/menit, Frekuensi Nafas : 19 kali/menit

Kepala/leher : Pembesaran KGB preauriukuler (-)


Thorax, Jantung : Tidak ada kelainan
Paru : Tidak ada kelainan
Abdomen : Tidak ada kelainan
Ekstremitas : Deformitas (-), Edema (-) , Sianosis (-)

STATUS OPHTALMOLOGI

KETERANGAN OD OS
1. VISUS
- Visus 6/6 1/60 PHTM
- Koreksi - -
- Addisi - -
- Distansia Pupil 31mm 31mm
- Kacamata Lama - -
2. KEDUDUKAN BOLA MATA

- Eksoftalmus - -
- Enoftalmus - -
- Deviasi - -
- Gerakan Bola Mata Baik ke segala arah Baik ke segala arah
3. SUPERSILIA
- Warna Hitam Hitam
- Simetris Simetris Simetris
4. PALPEBRA SUPERIOR DAN INFERIOR
- Edema - -
- Nyeri tekan - -
- Ekteropion - -
- Entropion - -
- Blefarospasme - -
- Trikiasis - -
- Sikatriks - -
- Punctum lakrimal Normal Normal
- Fissure palpebral Normal Normal
- Tes anel Tidak dilakukan Tidak dilakukan
5. KONJUNGTIVA SUPERIOR DAN INFERIOR
- Hiperemis - -
- Folikel - -
- Papil - -
- Sikatriks - -
- Hordeolum - -
- Kalazion - -
6. KONJUNGTIVA BULBI
- Sekret - -
- Injeksi Konjungtiva - -
- Injeksi Siliar - +
- Perdarahan Subkonjungtiva - -
- Pterigium - -
- Pinguekula - -
- Nevus Pigmentosus - -
- Kista Dermoid - -
7. SKLERA
- Warna Putih Putih
- Ikterik - -
- Nyeri Tekan - -
8. KORNEA
- Kejernihan Jernih Keruh
- Permukaan Rata Rata
- Ukuran 12 mm 12 mm
- Sensibilitas Baik Baik
- Infiltrat - +
- Keratik Presipitat - +
- Sikatriks - -
- Ulkus - -
- Perforasi - -
- Arcus senilis - -
- Edema - -
- Test Placido Tidak dilakukan Tidak dilakukan
9. BILIK MATA DEPAN
- Kedalaman Cukup Cukup
- Kejernihan Jernih Keruh
- Hifema - -
- Hipopion - -
- Efek Tyndall - +
10. IRIS
- Warna Cokelat Cokelat
- Kripte + +
- Sinekia - -
- Koloboma - -
11. PUPIL
- Letak Tengah Tengah
- Bentuk Bulat Bulat
- Ukuran 3 mm 5 mm
- Refleks Cahaya Langsung + -
- Refleks Cahaya Tidak + -

Langsung
12. LENSA
- Kejernihan Jernih Jernih
- Letak Tengah Tengah
- Test Shadow Negatif Negatif
13. BADAN KACA
- Kejernihan Agak Keruh Agak Keruh
14. FUNDUS OCCULI
- Fundus Reflex Terang Kurang Terang
- Batas Tegas Tegas
- Warna Kuning kemerahan Kuning Kemerahan
- Rasio arteri : vena 2:3 2:3
- C/D rasio <0.3 <0.3
- Makula lutea Reflek + Reflek +
- Eksudat - +
- Perdarahan - -
- Sikatriks - -
- Ablatio - -
15. PALPASI
- Nyeri tekan - -
- Masa tumor - -
- Tensi Occuli N/Palpasi N/Palpasi
- Tonometry Schiotz 5/5,5 gr  17,3 7/5,5 gr  12,2

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


 Darah rutin
 Skin test
 Rontgen Thorax

V. RESUME
Telah diperiksa Tn. As berumur 31 tahun dengan keluhan pandangan buram pada
mata kiri sejak ± 1 bulan yang lalu, yang dirasakan semakin parah. Pasien juga mengaku
mata kirinya hanya dapat melihat ke daerah pinggir. Selain itu mata kiri nya merah sejak
± 6 hari yang lalu,demam (-) , gatal (+) , bengkak (+) ,berair (+), silau(+), rasa Riwayat
Trauma (-) , Rasa Mengganjal (+).
 Riwayat Penyakit Dahulu : TB (+) dalam pengobatan selama 3 bulan,HIV (+)
 Riwayat Penyakit Keluarga -
 Status Generalis : Tampak sakit sedang
 Status Ophtalmologi :
o VOD (6/6) ; VOS (1/60 PH tidak maju)
o Injeksi Silier OD (-) ; OS (+)
o Kornea: Keruh OD (-) ; OS (+) , Infiltrat OD (-) ; OS (+), Keratitik presipitat

OD (-) ; OS (+)
o Bilik mata depan : Keruh OD (-) ; OS (+),Efek Tyndal OD (-) ; OS (+)
o Pupil : Ukuran OD 3mm RC(+); OS 5mm (RC-)
o Fundus : Eksudat OD (-) ; OS (+)
VI. DIAGNOSIS KERJA
 Uveitis Anterior

VII. DIAGNOSIS BANDING


 Keratitis
 Konjungtivitis

VIII. PENATALAKSANAAN
Anti Inflamasi : Prednisolone Acelate Micronized ED 10mg/ml 6 dd gtt I
Siklopegik / Midriatikum : Cyclopentholat 1% ED 3 dd gtt 1 atau
Sulfas atropin 1% ED 3 dd gtt 1

IX. PROGNOSIS
OKULI DEXTRA (OD) OKULI SINISTRA (OS)
Ad Vitam : Bonam Bonam
Ad Fungsionam : Bonam Dubia
Ad Sanationam : Bonam Dubia
TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI DAN FISIOLOGI

Uvea merupakan lapisan vaskular di dalam bola mata yang terdiri dari iris,
korpus siliar, dan koroid. Bagian ini dilindungi oleh kornea dan sklera. Uvea ikut
memasok darah ke retina. Uvea dibagi menjadi 2 bagian yaitu uvea anterior yang
terdiri dari iris dan badan siliar dan uvea posterior yaitu koroid (Wijana, 1993;
Vaughan et al, 2000). Dalam tulisan ini hanya dibahas mengenai uveia anterior saja.

1. Iris

Iris adalah perpanjangan korpus siliare ke anterior. Iris berupa


permukaan pipih dengan apertura bulat di tengahnya yang disebut dengan
pupil. Iris terletak bersambungan dengan permukaan anterior lensa, yang
memisahkan kamera okuli anterior dan kamera okuli posterior, yang
masing-masing berisi humor aqueus. Di dalam stroma iris terdapat sfingter
dan otot-otot dilator (Wijana,1993; Voughan et al,2000).

Secara histologis terdiri dari stroma yang jarang dan diantaranya


terdapat lekukan-lekukan di permukaan anterior yang berjalan radier yang
dinamakan kripta. Di dalam stroma terdapat sel pigmen yang bercabang,
banyak pembuluh darah dan serabut saraf. Di permukaan anterior ditutupi
oleh endotel, terkecuali pada kripta, di mana pembuluh darah pada stroma
dapat berhubungan langsung dengan kamera okuli anterior. Di bagian
posterior dilapisi oleh dua lapisan epitel, yang merupakan lanjutan epitel
pigmen retina. Warna dari iris tergantung dari sel-sel pigmen yang
bercabang yang terdapat di dalam stroma yang jumlahnya dapat berubah-
ubah dan juga epitel pigmen yang jumlahnya tetap (Wijana,1993).

Ada 2 otot yang ada di dalam iris antara lain otot sfingter pupil (M.
sphincter pupillae) yang berjalan sirkuler, yang terletak di dalam dekat
pupil dan dipersarafi oleh saraf parasimpatis (N. III), dan otot dilatator
pupil (M. dilatator pupillae) yang berjalan radier dari akar iris ke pupil,
terletak di bagian posterior stroma dan disarafi oleh saraf simpatis (Wijana,
1993). Pasokan darah ke iris berasal dari circulux major iris. Kapiler-
kapiler iris memiliki lapisan endotel yang tak berlubang sehingga
normalnya tidak membocorkan fluoresin yang disuntikkan secara
intravena. Persyarafan iris adalah melalui serat-serat nervus siliare
(Voughan, 2000).

Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata.


Ukuran pupil pada prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara
konstriksi akibat aktivitas parasimpatik yang dihantarkan melalui nervus
kranialis III dan dilatasi yang ditimbulkan oleh aktifitas simpatik
(Voughan, 2000).

Cahaya yang mengenai mata diterima oleh sel-sel batang dan kerucut
di retina, diteruskan oleh N. II ke kiasma optikum, radiasio optika, setinggi
korpus genikulatum lateral, serat pupilomotor melepaskan diri ke
brachium kolikulus superior, ke midbrain, komisura posterior di daerah
pretektalis, kemudian mengadakan semidikusasi dan keduanya menuju ke
nucleus Edinger Westphal di kedua sisi. Dari sini keluar saraf eferen (saraf
parasimpatis) yang memasuki N. III, ke ganglion siliaris, serat saraf
postganglioner melalui Nn. siliaris brevis (Wijana,1993).

Menurut Wijana (1993), bila seseorang melihat suatu objek pada jarak
dekat, maka terjadi trias akomodasi yaitu :

 Kontraksi dari otot siliaris yang berguna agar zonula Zinii


mengendor, lensa dapat mencembung, sehingga cahaya yang
datang dapat difokuskan ke retina.
 Konstriksi dari otot rektus internus, sehingga timbul konvergensi
dan mata tertuju pada benda itu.

 Konstriksi otot konstriksi pupil dan timbullah miosis, supaya


cahaya yang masuk tak berlebih, dan terlihat dengan jelas.

2. Korpus Siliaris

Pada potongan melintang korpus siliare secara kasar berbentuk cincin


segitiga yang membentang ke depan dari ujung anterior khoroid ke pangkal
iris (± 6mm). Terdiri dari dua zona, yaitu zona anterior dengan permukaan
berjonjot lekuk dan menonjol yang disebut dengan pars pikata (± 2mm), dan
zona posterior yang datar dengan permukaan licin disebut pars plana (± 4mm).
Processus siliaris ini berasal dari pars plikata. Processus siliaris ini terutama
terbentuk dari kapiler-kapiler dan vena yang bermuara ke vene-vena vorteks.
Kapiler-kapilernya besar dan berlobang-lobang sehingga membocorkan
fluoresin yang disuntikkan secara intravena. Ada dua lapis epitel siliaris: satu
lapisan tanpa pigmen di sebelah dalam, yang merupakan perluasan neuroretina
ke anterior, dan lapisan berpigmen di sebelah luar, yang merupakan perluasan
lapisan epitel pigmen retina. Prosessus siliaris dan epitel siliaris
pembungkusnya berfungsi sebagai pembentuk humor aquaeus (Voughan,
2000; Ghozie, 2002).

Korpus siliaris mengandung otot polos yang tersusun longitudinal,


sirkular, dan radial. Otot-otot ini berfungsi untuk menarik dan mengendorkan
serabut zonula Zinni, yang menghasilkan perubahan tegangan pada kapsul
lensa. Ketegangan kapsul lensa yang berubah akan menyesuaikan kekuatan
lensa mata sesuai dengan jarak benda yang dilihat agar bayangannya tepat di
retina (Ghozie, 2002).

Procesus siliaris mengandung terutama pembuluh kapiler dan venanya


yang menumpahkan darahnya ke luar melalui vena vorticosa. Kapilernya besar
dan mudah dirembesi larutan suntikan fluresin. Pars plana terdiri atas selapis
tipis otot siliaris dan pembuluh siliar yang diselimuti epitel siliar. Serabut
zonula berorigo di lekukan dari procesus siliaris (Ghozie, 2000).

Pembuluh darah dibadan siliar berasal dari sirkulus iridis mayor,


sedang syaraf sensoris berasal dari syaraf siliaris (Voughan, 2000; Ghozie,
2002).

UVEITIS ANTERIOR

DEFINISI

Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan bagian depan korpus siliare
(pars plikata), kadang-kadang menyertai peradangan bagian belakang bola mata,
kornea dan sklera (Ardy, 1993). Menurut American Optometric Association (AOA)
tahun 2004, uveitis anterior adalah suatu proses inflamasi intraokular dari bagian uvea
anterior hingga pertengahan vitreus. Penyakit ini dihubungkan dengan trauma bola
mata, dan juga karena berbagai penyakit sistemik seperti juvenile rheumatoid, artritis,
ankylosing spondilitis, Sindrom Reiter, sarcoidosis, herpes zoster, dan sifilis.

EPIDEMIOLOGI

Di Indonesia belum ada data yang akurat mengenai jumlah kasus uveitis . Di
Amerika Serikat ditemukan angka kejadian uveitis anterior adalah 8-12 orang dari
100.000 penduduk per tahun. Insidensinya meningkat pada usia 20-50 tahun dan
paling banyak pada usia sekitar 30-an (Sjamsoe, 1993; AOA, 2004). Menurut AOA
(2004), berdasarkan etiologinya ada beberapa faktor resiko yang menyertai kejadian
uveitis anterior antara lain, penderita toxoplasmosis dan yang berhubungan dengan
hewan perantara toxoplasma. Beberapa penyakit menular seksual juga meningkatkan
angka kejadian uveitis anterior seperti sifilis, HIV, dan sindroma Reiter.

KLASIFIKASI

Berdasarkan spesifitas penyebabnya uveitis anterior dapat dibagi atas uveitis


infeksius, uveitis non infeksius, dan uveitis tanpa penyebab yang jelas. Uveitis
infeksius dapat disebabkan oleh bakteri, jamur, dan virus. Uveitis non infeksius dapat
disebabkan oleh agen non spesifik (endotoksin dan mediator peradangan lainnya),
agen spesifik pada mata (oftalia simpatika, uveitis imbas lensa), dan penyakit sistemik
seperti Behcet, sarkoidosis, sindroma Reiter, dll (Sjamsoe,1993).

Berdasarkan asal nya uveitis anterior dibedakan menjadi, uveitis eksogen dan
uveitis endogen. Uveitis eksogen pada umumnya dikarenakan oleh trauma, operasi
intra okuler, ataupun iatrogenik. Sedangkan uveitis endogen dapat disebabkan oleh
fokal ifeksi di organ lain maupun reaksi autoimun ( Anonim,2008).

Secara klinis (menurut cara timbul dan lama perjalanan penyakitnya) uveitis
anterior dibedakan menjadi uveitis anterior akut dan uveitis anterior kronis. Uveitis
anterior akut biasanya timbulnya mendadak dan perjalanan penyakitnya kurang dari 5
minggu. Sedangkan yang kronik mulainya berangsur-angsur, dan perjalanan
penyakitnya dapat berbulan-bulan maupun tahunan (Ardy, 1993). Klasifikasi uveitis
anterior berdasarkan patologi anatominya terdiri dari tipe granulomatosa dan non
granulomatosa. Tipe granulomatosa infiltratnya terdiri dari sel epiteloid dan
makrofag. Sedangkan tipe non granulomatosa infiltratnya terdiri dari sel plasma dan
limfosit (Ardy,1993; anonim, 2008).

Klasifikasi uveitis anterior berdasarkan ICD-9-CM dibagi atas:

 Uveitis Anterior Akut

a. Uveitis anterior traumatik

b. Uveitis anterior idiopatik

c. Uveitis berhubungan dengan HLA-B27

d. Sindrom Behcet

e. Uveitis anterior terinduksi lensa

f. Sindrom Masquerade

 Uveitis Anterior Kronis

a. Juvenile rheumatoid arthritis

b. Uveitis anterior dengan uveitis posterior primer


c. Fuchs’ heterocromic iridocyclitis

ETIOLOGI

Penyebab terjadinya uveitis anterior dibagi menjadi beberapa golongan antara


lain: autoimun, infeksi, keganasan, dan lain-lain. Penyebab autoimun terdiri dari:
artritis Rhematoid juvenile, spondilitis ankilosa, sindrom Reiter, kolitis ulseratif,
uveitis terinduksi-lensa, sarkoidosis, penyakit crohn, psoriasis. Penyebab infeksi
terdiri dari: sipilis, tuberkulosis, lepra, herpes zooster, hepes simpleks, onkoserkiasis,
adenovirus. Untuk penyebab keganasan terdiri dari: sindrom masquerada,
retinoblastoma, leukemia, limfoma, melanoma maligna. Sedangkan yang lainnya
berasal dari: iridopati, uveitis traumatika, ablatio retina, gout, dan krisis
glaukomatosiklitik (Voughan, 2000).

Selain itu menurut Rosenbaum (2007) etiologi dari uveitis anterior


digolongkan menurut agen penyebab infeksi, seperti dalam tabel berikut:

Tabel 1. Etiologi uveitis anterior menurut golongkan agen penyebab infeksi

BACTERIAL/ VIRAL FUNGAL PARASITIC

SPIROCHETAL

Atypical mycobacteria Cytomegalovirus Aspergillosis Acanthamoeba

Brucellosis Epstein-Barr Blastomycosis Cystercercosis

Catscratch disease Herpes simplex Candidiasis Onchocerciasis

Herpes zoster
Leprosy Coccidioido- Pneumocystis
Human T cell leukemia mycosis carinii
Leptospirosis
virus
Cryptococcosis Toxocariasis
Lyme disease
Mumps
Histoplasmosis Toxoplasmosis
Propionibacteri-um
Rubeola
Sporotrichosis
Syphilis Vaccinia

Tuberculosis
Whipple's disease HIV-1

West Nile virus

Masih menurut Rosenbaum (2007) beberapa penyakit sistemik dapat


berhubungan dengan uveitis, penyakit-penyakit tersebut diantaranya adalah:

 Spondyloarthritides

 Crohn's disease

 Sarcoidosis

 Behcet's disease

 Hypersensitivity reactions

 Tubulointerstitial nephritis

 Juvenile rheumatoid arthritis

 Kawasaki disease, multiple sclerosis, and relapsing polychondritis

 Multiple sclerosis

 Relapsing polychondritis

 Sjögren's syndrome
 Systemic lupus erythematosus

 Systemic vasculitis

 Granulomatous angiitis of the central nervous

 Vogt-Koyanagi-Harada syndrome

 AIDS

 Blau syndrome

Uveitis anterior juga dapat disebabkan oleh infeksi fokal seperti: gigi, telinga,
hidung, tenggorokan, traktus urogenitalis, traktus digestivus, kulit, dan lain-lain.
Trauma perforata dan oftalmia simpatika juga dapat menyebabkan uveitis anterior
(Wijana, 1993)

PATOFISIOLOGI

Peradangan traktus uvealis banyak penyebabnya dan dapat mengenai satu atau
ketiga bagian secara bersamaan. Bentuk uveitis paling sering terjadi adalah uveitis
anterior akut (iritis), umumnya unilateral dan ditandai dengan adanya riwayat sakit,
fotopobia dan penglihatan kabur, mata merah, dan pupil kecil serta ireguler.

Penyakit peradangan traktus uvealis umumnya unilateral, biasanya terjadi


pada oreng dewasa dan usia pertengahan. Pada kebanyakan kasus penyebabnya tidak
diketahui. Berdasarkan patologi dapat dibedakan dua jenis besar uveitis: yang non-
granulomatosa (lebih umum) dan granulomatosa.

Uveitis non-granulomatosa terutama timbul di bagian anterior traktus ini, yaitu


iris dan korpus siliaris. Terdapat reaksi radang, dengan terlihatnya infiltrat sel-sel
limfosit dan sel plasma dengan jumlah cukup banyak dan sedikit mononuklear. Pada
kasus berat dapat terbentuk bekuan fibrin besar atau hipopion di kamera okuli anterior
(Vaughan, 2000).

Badan siliar berfungsi sebagai pembentuk cairan bilik mata (humor aqueus)
yang memberi makanan kepada lensa dan kornea. Dengan adanya peradangan di iris
dan badan siliar, maka timbullah hiperemi yang aktif, pembuluh darah melebar,
pembentukan cairan bertambah, sehingga dapat menyebabkan glaukoma sekunder.
Selain oleh cairan bilik mata, dinding pembuluh darah dapat juga dilalui oleh sel
darah putih, sel darah merah, dan eksudat yang akan mengakibatkan tekanan osmose
cairan bilik mata bertambah dan dapat mengakibatkan glaukoma. Cairan dengan lain-
lainya ini, dari bilik mata belakang melalui celah antar lensa iris, dan pupil ke kamera
okuli anterior. Di kamera okuli anterior, oleh karena iris banyak mengandung
pembuluh darah, maka suhunya meningkat dan berat jenis cairan berkurang, sehingga
cairan akan bergerak ke atas. Di daerah kornea karena tidak mengandung pembuluh
darah, suhu menurun dan berat jenis cairan bertambah, sehingga di sini cairan akan
bergerak ke bawah. Sambil turun sel-sel radang dan fibrin dapat melekat pada endotel
kornea, membentuk keratik presipitat yang dari depan tampak sebagai segitiga dengan
endapan yang makin ke bawah semakin besar. Di sudut kamera okuli anterior cairan
melalui trabekula masuk ke dalam kanalis Schlemn untuk menuju ke pembuluh darah
episklera. Bila keluar masuknya cairan ini masih seimbang maka tekanan mata akan
berada pada batas normal 15-20 mmHg. Sel radang dan fibrin dapat pula menyumbat
sudut kamera okuli anterior, sehingga alirannya terhambat dan terjadilah glaukoma
sekunder. Galukoma juga bisa terjadi akibat trabekula yang meradang atau sakit
(Wijana,1993)

Elemen darah dapat berkumpuk di kamera okuli anteror dan timbullah hifema
(bila banyak mengandung sel darah merah) dan hipopion (yang terkumpul banyak
mengandung sel darah putihnya). Elemen-elemen radang yang mengandung fibrin
yang menempel pada pupil dapat juga menagalami organisasi, sehingga melekatkan
ujung iris pada lensa. Perlekatan ini disebut sinekia posterior. Bila seluruh iris
menempel pada lensa, disebut seklusio pupil sehingga cairan yang dari kamera okuli
posterior tidak dapat melalui pupil untuk masuk ke kamera okuli anterior, iris
terdorong ke depan, disebut iris bombe dan menyebabkan sudut kamera okuli anterior
menyempit, dan timbullah glaukoma sekunder. Perlekatan-perlekatan iris pada lens
menyebabkan bentuk pupil tidak teratur. Pupil dapat pula diisi oleh sel-sel radang
yang menyebabkan organisasi jaringan dan terjadi oklusi pupil. Peradangan badan
siliar dapat pula menyebabkan kekeruhan pada badan kaca, yang tampak seperti
kekeruhan karena debu. Dengan adanya peradangan ini maka metabolisme pada lensa
terganggu dan dapat mengakibatkan katarak. Pada kasus yang sudah lanjut, kekeruhan
badan kaca pun dapat mengakibtakan organisasi jaringan yang tampak sebagai
membrana yang terdiri dari jaringan ikat dengan neurovaskularisasi dari retina yang
disebut retinitis proloferans. Pada kasus yang lebih lanjut lagi dapat mengakibatkan
ablasi retina (Wijana, 1993).

GAMBARAN KLINIS

1. Gejala Subyektif

Gejala subyektif uveitis anterior dapat berupa rasa nyeri, fotofobia , lakrimasi,
dan mata kabur.

2. Gejala Objektif

Pemeriksaan dilakukan dengan lampu celah, oftalmoskopik direk dan indirek,


bila diperlukan angiografi fluoresen atau ultrasonografi. Menurut Ardy (1993)
pada pemeriksaan akan ditemukan hasil di bawah ini :

 Hiperemis

Hubungan derajat hiperemi dengan kelainan kornea mengikuti


pembagian Hogan (1959).

• Derajat 0 : Hiperemi sekitar kornea dan kelainan kornea tidak


ada.

• Derajat 1 : Hiperemi sekitar kornea dan edema kornea ringan.

• Derajat 2 : Hiperemi sekitar kornea jelas dan difus, disertai


hiperemi pembuluh darah episklera dan konjungtiva. Edema
stroma dan epitel kornea difus dengan lipatan membran
Descemet.

• Derajat 3 : Hiperemi hebat sekitar kornea disertai hiperemi


difus episklera dan konjungtiva. Edema difus stroma dan epitel
kornea, lipatan Descemet, vaskularisasi perifer disertai
permulaan fibrosis daerah tertentu stroma kornea.
• Derajat 4 : Injeksi kornea, hiperemi pembuluh darah
konjungtiva, kemosis. Edema hebat stroma, keratitis bulosa dan
vaskularisasi perifer.

 Perubahan Kornea

 Keratitik Presipitat

Terjadi karena pengendapan agregasi sel radang dalam bilik mata


depan pada endotel kornea akibat aliran konveksi aquos humor, gaya
berat dan perbedaan potensial listrik endotel kornea. Lokalisasi dapat
di bagian tengah dan bawah dan juga difus

 Kekeruhan Bilik Mata

Kekeruhan dalam bilik mata depan dapat disebabkan oleh


meningkatnya kadar protein, sel, dan fibrin

 Efek Tyndal

Efek tyndal menunjukkan ada atau menetapnya peradangan dalam bola


mata

 Fibrin

 Hipopion

Merupakan pengendapan sel radang pada sudut bilik mata depan


bawah. Pengendapan terjadi bila derajat sel dalam bilik depan lebih
dari 4+. Hipopion dapat ditemui pada uveitis anterior hiperakut dengan
sebutan sel lekosit berinti banyak, biasanya karena rematik, juga pada
penyakit Behcet, dan fakoanafilaktik.Hipopion harus dibedakan dari
pseudohipopion yang disebutkan juga kelompok sindrom masquerade.
Untuk membedakan harus dilakukan pemeriksaan dengan pupil yang
telah dilebarkan dengan midriatik. Sindrom Masquerade disebabkan
oleh iridoskisis, atrofi iris esensial, limfoma maligna, leukemi,
sarkoma sel retikulum, retinoblastoma, pseudoeksfoliatif dan tumor
metastasis.

 Hiperemis Iris

 Miosis Pupil

Pupil mengecil karena edema dan pembengkakan stroma iris karena


iritasi akibat peradangan langsung pada sfingter pupil. Reaksi pupil
terhadap cahaya lambat disertai nyeri.

 Sinekia iris

 Granuloma iris

Tabel 2. Perbedaan Uveitis Granulomatosa dan Non Granulomatosa

Non Granulomatosa Granulomatosa

Onset Akut Tersembunyi

Sakit Nyata Tak ada atau ringan

Fotofobia Nyata Ringan

Penglihatan kabur Sedang Nyata

Merah Sirkumkorneal Nyata Ringan

Keratitik presipitat Putih halus Kelabu besar

Pupil Keecil dan tak teratur Kecil dan tak teratur

Sinekia Posterior Kadang – kadang Kadang – kadang

Nodul iris Kadang – kadang Kadang – kadang

Tempat Uvea anterior Uvea anterior dan


posterior
Perjalanan Akut Menahun

Rekurensi Sering Kadang- kadang

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan laboratorium yang mendalam umumnya tidak diperlukan untuk


uveitis anterior, apalagi untuk tipe non-granulomatosa. Tes kulit terhadap tuberkulosis
dan histoplasmosis dapat berguna demikian juga antibodi terhadap toksoplasmosis.
Berdasarkan tes-tes ini dan gambaran kliniknya, seringkali dapat ditegakkan diagnosa
etiologinya (Vaughan, 2000). Beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat
mendukung dalam penegakan diagnosa dan etiologi adalah radiografi thorak dan
fluorescent treponemal antibody absorption (FTA-ABS). Berikut adalah pemeriksaan
dan indikasi pada penegakan diagnosa dan etiologi uveitis anterior menurut George
(2007) dan AOA (2004):

 Radiografi thorak untuk Sarkoidosis dan TB

 Tes darah rutin untuk membedakan penyebab bakteri atau virus dan
mengetahui keganasan seperti limfoma dan leukimia.

 FTA-ABS test untuk Sifilis

 VRDL untuk sifilis

 Purified protein derivative (PPD) test untuk TB

 Angiotensin-converting enzyme (ACE) test untuk Sarkoidosis

 Antinuclear antibody (ANA) untuk SLE dan juvenile rheumatoid


arthritis.

 HLA-B27 typing untuk ankylosing spondilytis, sindrom Reiter,


inflammantory bowel disease, psoriasis artritis, sindrom Behcet.

 Gallium scan untuk Sarkoidosis

 Anergy evaluation untuk Sarkoidosis


 Toxoplasmosis enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding uvetis anterior menurut Vaughan (2000) antara lain:

 Konjungtivitis: penglihatan tidak kabur, respon pupil normal, ada tahi


mata dan umumnya tidak ada sakit, fotofobia, atau injeksi siliaris.

 Keratitis atau keratokunjungtivitis: penglihatan dapat kabur dan ada


rasa sakit dan fotofobia. Beberapa penyebab keratitis seperti herpes
simpleks dan herpes zooster dapat menyertai uveitis anterior
sebenarnya.

 Glaukoma akut: pupil melebar, tidak ada sinekia posterior, dan


korneanya beruap.

 Setelah serangan berulang kali,uveitis non-granulomatosa dapat


menunjukkan ciri uveitis granulomatosa

TERAPI

Tujuan terapi uveitis anterior menurut AOA (2004), antara lain::

 Mengembalikan tajam penglihatan,

 Mengurangi rasa nyeri di mata,

 Mengeliminasi peadangan atau penyebab pradangan,

 Mencegah terjadinya sinekia iris,

 Mengendalikan tekanan intraokular.

Sedangkan prinsip pengobatan uveitis menurut Sjamsoe (1993) antara lain:

 Menekan peradangan,
 Mengeliminir agen penyebab,

 Menghindari efek samping obat yang merugikan pada mata dan organ
tubuh di luar mata.

1. Terapi Non Spesifik

Tiga jenis obat yang digunakan sebagai terapi non spesifik pada uveitis yaitu
midriatik-sikloplegik, kortikosteroid, dan imunosupresan.

Midriatik-sikloplegik

Semua sikloplegik merupakan agen antagonis kolinergik yang bekerja dengan


menghambat neurotransmiter pada reseptor sfingter iris dan korpus silier. Pada
pengobatan uveitis anterior sikloplegik bekerja dengan 3 cara yaitu:

1) Mengurangi nyeri karena imobilisasi iris

2) Mencegah adesi iris ke kapsula lensa anterior (sinekia posterior), yang dapat
meningkatkan tekanan intraokular dan menyebabkan glaukoma sekunder.

3) Menyetabilkan blood-aqueous barrier dan mencegah terjadinya flare.

Agen sikloplegik yang digunakan dalam terapi uveitis anterior menuruut AOA (2004)
antara lain:

o Atropine 0,5%, 1%, 2%

o Homatropin 2%, 5%

o Scopolamine 0,25%

o Cyclopentolate 0,5%, 1%, 2%.

o Kortikosteroid

Semua orang setuju bahwa kortikosteroid merupakan terapi non spesifik yang
bermanfaat pada uveitis. Efek samping baik topikal maupun sistemik telah kita
ketahui, akan tetapi tidak ada salahnya diingatkan kembali tentang cara kerja
variasi efek anti inflamasi, efek samping dan potensi preparat steroid yang dipakai
dalam pengobatan uveitis. Pengobatan peradangan intra okular dengan
kortikosteroid dimulai pada tahun 50-an. Ada 2 cara pengobatan kortikosteroid
pada uveitis yaitu local dan sistemik.

2. Terapi Spesifik

• Toxoplasmosis

Pengobatan anti toxoplasma yang paling ideal adalah terapi kombinasi.

• Sulfadiazin atau trisulfa :

Dosis 4 kali 0.5–1 gr/hari selama 3–6 minggu.

• Pirimetamin :

Dosis awal 75–100 mg pada hari pertama, selanjutnya 2 kali 25


mg/hari selama 3–6 minggu.

• Trimethoprim-sulfamethoxazol (Bactrim®) :

Dosis 2 kali 2 tablet Bactrim® selama 4–6 minggu. Preparat sulfa


mencegah konversi asam paraaminobenzoat menjadi asam folaL
Preparat pirimetamin bekerja menghambat terbentuknya
tetrahidrofolat. Asam folat dibutuhkan oleh organisme toxoplasma
untuk metabolisme karbon. Pada pemakaian pirimetamin dapat terjadi
depresi sumsum tulang, maka kontrol darah tepi tiap minggu, apabila
trombosit diindikasi penghentian terapi. Untuk mencegah depresi
sumsum tulang diberikan preparat tablet asam folinat 5 mg tiap 2 hari.

• Klindamisin :

Sebagai pengganti pirimetamin, yang bekerja sinergik dengan preparat


sulfa. Secara invivo pada experimen obat ini dapat menghancurkan
kista toxoplasma pada jaringan retina.

Dosis: 3 kali 150–300 mg/hari/oral. Pemberian sub-konjungtiva


klindamisin 50 mg dilaporkan memberi hasil baik.

• Spiramisin :
Diberikan pada wanita hamil dan anak-anak karena efek samping yang
minimal. Obat ini kurang efektif dalam mencegah rekurensi.

• Minosiklin :

Dosis 1–2 kapsul sehari selama 4–6 minggu.

• Fotokoagulasi dengan laser apabila tidak ada respon terapi


medikamentosa.

• Infeksi virus

• Herpes simplex :

Pada keratouveitis Herpes simplex diberikan topikal antivirus seperti


asiklovir dan sikloplegik. Apabila epitel kornea intact/sembuh maka
dapat diberikan topikal steroid bersama antivirus. Diberikan juga
asiklovir 5 kali 200 mg/hari selama 2–3 minggu yang kemudian
diturunkan 2 atau 3 tablet/hari. Pada kasus retinitis Herpes simplex dan
ARN (Acute retinal necrosis) diberikan asiklovir intravena dengan
dosis awal 5 mg/kgBB/kali yang dapat diberikan 3 kali per hari.

• Herpes zoster :

Diberikan asiklovir 5 kali 400 mg pada keadaan akut selama 10–14


hari. Kortikosteroid sistemik diberikan pada orang tua untuk mencegah
terjadi post herpetic neuralgia. Pada uveitis anterior diberikan steroid
dan sikloplegik topikal.

• Sitomegalovirus :

DHPG (Gancyclovir) 5 mg/kgBB/dalam 2 kali pemberian intravena Foscarnet:


20 mg/kgBB/perinfus.

Menurut Wiyana (1993), selama pemberian obat harus diperhatikan beberapa


hal diantaranya:

• Berat badan. Bila berat badan naik dengan cepat berarti ada
penumpukan air, karena adanya Na retensi, makanya pada pemberian
kortekosteroid yang lama harus disertai pemberian KCl.
• Tensi darah harus diperiksa setiap hari

• Pemeriksaan kadar K, Na dalam darah

• Pemeriksaan kadar gula dalam darah, harus dilakukan satu kali dalam
setiap minggu

• Adanya mimpi buruk, merupakan tanda adanya psikose.

Berhasil tidaknya pengobatan tergantung oleh daya tahan tubuh serta adanya
virulensi dari faktor penyebab iridosiklitis. Oleh karenanya pemberian
kortikosteroid tidak akan berhasil apabila tidak disertai pengobatan
penyebabnya. Keadaan umum diperbaiki untuk memperbaiki daya tahan
tubuh. Istirahat di tempat tidur, terlindung dari cahaya, tidak boleh membaca,
dilarang minum alkohol (dapat menyebabkan hiperemi), memakan makanan
yang mudah dicerna, dan memakai kaca mata hitam. Selain itu jangan lupa
memeriksa bagian-bagian tubuh yang lain seperti: gigi, telinga, hidung,
tenggorokan, traktus urogenitalis, traktus digestivus, kulit, dan bagian lain. Hal
ini dimaksudkan untuk mengetahui penyebab dan juga mengobati penyebab
tersebut (Wijana, 1993).

KOMPLIKASI

Ada empat komplikasi utama uveitis anterior antara lain: katarak, glaukoma,
band keratopathy, dan cystoid macular edema (CME) (AOA,2004). Katarak
subcapular posterior merupakan salah satu komplikasi dari pengobatan uveitis
anterior berupa penggunaan kortikosteroid topikal jangka panjang (AOA, 2004).
Glaukoma sekunder yang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme, antara
lain: (AOA, 2004)

 Gangguan sirkulasi humor aqueous karena tersumbat oleh sel radang

 Sinekia posterior memungkinkan humor aqueous terkumpul di


belakang iris.

 Sinekia anterior peripheral prograsif menutup sudut bilik mata


 Cortikosteroid topikal yang digunakan pada terapi dapat meningkatkan
tekanan intra okular

 Rubeosis iridis menyebabkan neovaskular glaucoma

Band keratopathi terjadi pada uveitis yang lama. Terjadi karena penumpukan
calsium pada kornea anterior (AOA, 2004). Edema kistoid makuler dapat terjadi pada
uveitis anterior yang lama. CME mungkin disebabkan karena penurunan kadar
prostaglandin (AOA, 2004).

PROGNOSIS

Dengan pengobatan, serangan uveitis non-granulomatosa umumnya


berlangsung beberapa hari sampai minggu dan sering kambuh. Uveitis granulomatosa
berlangsung berbulan-bulan sampai tahunan, kadang-kadang dengan remisi dan
eksaserbasi, dan dapat menimbulkan kerusakan permanen dengan penurunan
penglihatan yang nyata. Prognosis bagi lesi korioretinal perifer lokal jauh lebih baik,
sering sembuh tanpa gangguan penglihatan yang berarti (Vaughan, 2000)

RESUME

1. Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan bagian depan korpus siliare
(pars plikata), kadang-kadang menyertai peradangan bagian belakang bola
mata, kornea dan sklera.

2. Berdasarkan spesifitas penyebabnya uveitis anterior dapat dibagi atas uveitis


infeksius, uveitis non infeksius, dan uveitis tanpa penyebab yang jelas.

3. Berdasarkan asal nya uveitis anterior dibedakan menjadi, uveitis eksogen dan
uveitis endogen.

4. Secara klinis (menurut cara timbul dan lama perjalanan penyakitnya) uveitis
anterior dibedakan menjadi uveitis anterior akut dan uveitis anterior kronis.

5. Klasifikasi uveitis anterior berdasarkan patologi anatominya terdiri dari tipe


granulomatosa dan non granulomatosa.

6. Penyebab terjadinya uveitis anterior dibagi menjadi beberapa golongan antara


lain: autoimun, infeksi, keganasan, dan lain-lain.
7. Terjadinya uveitis anterior juga berhubungan dengan beberapa penyakit
sistemik, antara lain: Spondyloarthritides, Crohn's disease, Sarcoidosis,
Behcet's disease Hypersensitivity reactions, Tubulointerstitial nephritis
,Juvenile rheumatoid arthritis, Kawasaki disease, multiple sclerosis, and
relapsing polychondritis, Multiple sclerosis,Relapsing polychondritis,
Sjögren's syndrome, Systemic lupus erythematosus, Systemic vasculitis,
Granulomatous angiitis of the central nervous, Vogt-Koyanagi-Harada
syndrome, AIDS, Blau syndrome.

8. Gejala-gejala uveitis anterior meliputi: mata merah, fotofobia, lakrimasi, rasa


sakit, clan penglihatan kabur. Mata yang terkena biasanya satu pihak, disertai
dengan adanya flare dan sel di dalam bilik mata depan; jarang dijumpai
adanya hipopion. Variasi gejala sering dijumpai, hal ini berhubungan dengan
faktor penyebab.

9. Diagnosis banding uvetis anterior antara lain: konjungtivitis, keratitis atau


keratokunjungtivitis, glaukoma akut.

10. Tujuan terapi uveitis anterior antara lain: mengembalikan tajam penglihatan,
mengurangi rasa nyeri di mata, mengeliminasi peadangan atau penyebab
pradangan, mencegah terjadinya sinekia iris,m engendalikan tekanan
intraokular.

11. Prinsip pengobatan uveitis antara lain: menekan peradangan, mengeliminir


agen penyebab, menghindari efek samping obat yang merugikan pada mata
dan organ tubuh di luar mata.

12. Terapi uveitis anterior terdiri dari terapi non spesifik dan terapi spesifik. Terapi
non spesifik menggunakan obat-obat midriatik-sikloplegik, kortikosteroid dan
imunosupresan. Sedangkan terapi spesifik didasarkan pada penyebabnya.

13. Ada empat komplikasi utama uveitis anterior antara lain: katarak, glaukoma,
band keratopathy, dan cystoid macular edema.
DAFTAR PUSTAKA

American Optometric Association, 2004, Anterior Uveitis, dalam Optometric Clinical


Practice Guideline, American Optometric Association, St. Louis

Anonim,2007,UveitisAnterior,http://exdeathhealth.blogspot.com/2008/03/uveitis-
anterior.html

Ardy, H., 1993, Diagnosis Etiologik Uveitis Anterior, dalam Cermin Dunia
Kedokteran no 87. sept 1993, Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Jakarta: 47-54

Ghozie, M., 2002, Kornea, Uvea, dan Lensa, dalam Hand Book of Ophtalmology,
Yogyakarta

Hodge, W. G., 2000, Traktus Uvealis & Sklera, dalam Vaughan, D. G., Asbury, T. dan
Riodan, P., Oftalmologi Umum, Widya Medika, Jakarta : 155-174

Riodan, P., 2000, Anatomi & Embriologi Mata, dalam Vaughan, D. G., Asbury, T. dan
Riodan, P., Oftalmologi Umum, Widya Medika, Jakarta : 1-29

Rosenbaum, J,T, 2007, Up to Date: Canada, http://www.uptodate.com


Sjamsoe, S., 1993, Penatalaksanaan Uveitis, dalam Cermin Dunia Kedokteran no 87.
sept 1993, Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Jakarta: 55-58

Suhardjo dan Gunawan, S., 1993. Gambaran Klinis Uveitis Anterior Akuta pada
HLA-B27 positif, FK UGM, Yogyakarta

Wijana, N., 1993, Uvea, dalam Ilmu Penyakit Mata, Abadi Tegal, Jakarta: 126-153

Anda mungkin juga menyukai