Anda di halaman 1dari 4

TUGAS diberikan oleh : dr Suskhan SpOG

Disusun oleh : Yanis Risela Tanjaya, S.Ked

Chorioamnionitis
Korioamnionitis adalah infeksi jaringan membarana fetalis beserta cairan amnion yang terjadi
sebelum partus sampai 24 jam post partum. Insidensi dari chorioamnionitis adalah 1 – 5% dari
kehamilam term dan sekitar 25% dari partus preterm(1).

Korioamnionitis merupakan inflamasi pada membrane fetal / selaput ketuban yang merupakan
manifestasi dari infeksi intrauterine (IIU). Seringkali berhubungan dengan pecahnya selabut
ketuban yang lama dan persalinan yang lama. Hal ini dapat dilihat dengan menjadi keruhnya (
seperti awan) selaput membrane. Selain itu bau busuk dapat tercium, tergantung jenis dan
konsentrasi bakteri. Ketika mono dan leukosit polimononuklear (PMN) menginfiltrasi korion,
dalam penemuan mikroskopik maka hal ini dikatakan korioamnionitis. Sel-sel tersbut berasal
dari ibu. Sebaliknya, jika leukosit ditemukan pada cairan amnion ( amnionitis ) atau selaput
plasenta ( funisitis ), sel-sel ini berasal dari fetus. (Goldenberg and co-workers, 2000). Sebelum
usia 20 minggu, hampir seluruh sel PMN berasal dari ibu, namun kemudian respon inflamasi
berasal dari ibu dan fetus ( Sampson dan kolega, 1997 ). Pembuktian mikroskopik adanya
gambaran struktur inflamasi lebih banyak ditemukan pada persalianan preterm. Para peneliti
menemukan bahwa reaksi inflamasi dapat bersifat tidak spesifik dan tidak selalu terbukti terjadi
infeksi pada ibu. Sebagai contoh, Yamada dan kolega ( 2000 ) menemukan bahwa cairan yang
terwarna mekonium merupaka penarik kimiawi bagi leukosit. Sebaliknya, Benirschke dan
Kaufmann (2000) mempercayai bahwa korioamnionitis secara mikroskopik selalu disebabkan
infeksi. Korioamnionitis sering berhubungan dengan rupture membran, kelahiran preterm,
ataupun keduanya. Seing kali sulit dibedakan apakah infeksi terlebih dahulu atau ruptur
membran terlebih dahulu yang terjadi.
Infeksi pada membran dan cairan amnion dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang
bervariasi. Bakteri dapat ditemukan melalui amniosintersis transabdominal sebanyak 20% pada
wanita dengan persalinan preterm tanpa manifestasi klinis infeksi dan dengan membrane fetalis
yang intak (Cox dan rekan kerja, 1996; Watts dan kolega, 1992). Produk viral juga ditemukan
(Reddy and colleagues, 2001). Infeksi tidak terbatas pada cairan amnion. Pada penelitian yang
dilakukan pada 609 wanita dengan sectio caesarea dengan membrane yang intak, Hauth dan
rekan kerja (1998) mengkonfirmasi bahwa organism dari korioamnion meningkat secara
signifikan dalam persalinan spontan preterm. Proses penyembuhan dari bakter patogen juga
berhubungan secara terbalik dengan usia kehamilan.

Patofisiologi
Jalur bakteri memasuki cairan amnion yang intak masih belum jelas diketahui. Gyr dan kolega
(1994) telah menunjukkan bahwa Escherichia coli dapat mempenetrasi membrane tang hidup;
sehingga, membran bukan barier yang absolut untuk infeksi ascending. Jalur lain inisiasi bakteri
pada persalinan preterm mungkin tidak membutuhkan cairan amnion. Cox dan rekan kerja
(1993) menemukan bahwa sitokin dan sel-sel mediasi imunitas dapat teraktivasi di dalam
jaringan desidual yang membatasi membrane fetalis. Pada peristiwa ini, produk bakteri seperti
endotoksin menstimulasi monosit desidual untuk memproduksi sitokin, yang kemudian
menstimulasi asam arakidonat dan produksi prostaglandin. Prostaglandin E2 dan F2 bekerja pada
parakrin untuk menstimulasi miometrium sehingga berkontraksi.

Manifestasi Klinis
Ruptur membrane yang memanjang berhubungan dengan morbiditas infeksi yang meningkat (Ho
dan kolega, 2003). Jika korioamnionitis terdiagnosis, usaha untuk mempengaruhi persalinan,
pervaginam yang disarankan, segera dimulai. Tanda dan gejala yang dapat ditemukan :
 Demam, suhu di atas 38°C (100.4°F) atau lebih tinggi disertai ruptur membrane
menandakan adanya infeksi.
 Leukositosis pada ibu tersendiri ridak ditemukan berhubungan secara signifikan oleh para
peneliti.
 takikardia ibu dan takikardia fetus
 uterine tenderness
 vaginal discharge yang berbau.

Dengan adanya korioamnionitis, morbiditas fetus meningkat secara substansif. Alexander dan
kolega (1998) mempelajari 1367 neonatus dengan berat lahir sangat rendah yang dilahirkan di
Rumah Sakit Parkland. Sejumlah 7 persen dilahirkan olej wanita dengan korioamnionitis, dan
hasil akhir dibandingkan dengan bayi baru lahir tanpa infeksi secara klinis. Para bayi yang baru
lahir dengan grup terinfeksi mempunyai insidensi yang lebih tinggi menderita sepsis, respiratory
distress syndrome, kejang dengan onset awal, perdaraham intraventrikular, dan leukomalasia
periventrikular. Para peneliti mengkonklusi bahwa bayi-bayi dengan berat badan sangat rendah
tersebut rentan terhadap perlukaan neurologis karena korioamnionitis. Pada penelitian lain (
Yoon dan kolega, 2000) menemukan bahwa infeksi intra amnion pada bayi preterm berhubungan
dengan meningkatnya resiko cerebral palsy pada usia 3 tahun. Petroya dan kolega (2001)
mempelajari lebih dari 11 juta kelahiran hidup dari 1995 hingga 1997 yang terdaftar pada
National Center for Health Statistics linked birth-infant death cohort. Selama persalinan, 1,6
persen wanita yang mengalami demam berhubungan secara erat denga infeksi yang
menyebabkan kematian baik bayi term maupu preterm. Bullard dan rekan sejawat (2002)
melaporkan hasil yang sama(2).

Pemeriksaan penunjang
Uji laboratorium untuk diagnosis seperti pemeriksaan hapusan Gram atau kultur pada cairan
amnion biasanya tidak dilakukan. Pemeriksaan amniosentesis biasanya dilakukan pada preterm
labour yang refrakter (supaya dpt diputuskan apabila tokolisis tetap dilanjutkan atau tidak) dan
pada pasien yang PROM (apakah induksi perlu dilakuka). Indikasi lain dari amniosentesis
adalah untuk mencari diagnosis diferensial dari Infeksi intramnion, prenatal genetic studies,
memprediksi lung maturity. (3)

Tatalaksana
Setelah diagnosis ditegakkan maka percepatan persalinan dan antibiotik sistemik merupakan
terapi pilihan.
Untuk antibiotik empiris biasanya diberikan Ampicillin 2g IV setiap 6 jam dengan Gentamycin
1,5mg/kgBB. Pemberian antibiotik untuk kuman anaerob seperti Metronidazole 500mg IV tiap 8
jam atau Clindamycin 900mg IV tiap 8 jam dapat diberikan apabila pasien direncanankan untuk
operasi sectio cesar.(4) Untuk pasien dengan alergi terhadap penisilin dapat diberikan vancomycin

Pemberian antibiotik ini biasanya diberikan sampai pasien tidak demam dan asimptomatik
selama 24 – 48 jam post partum. (5)

Daftar Pustaka

1. 1.William Obstetricss, 22 nd. “ Abnormal of the Plasenta, Umbilical Cord and


Membranes”. 2007; chapter 36: p 866, chapter 6:p 178, chapter 36: p 859 )

2. Gibbs RS, Duff P. Progress in pathogenesis and management of clinical intraamniotic


infection. Am J Obstet Gynecol. 1991; 164(5, pt. 1):1317-26
3. Duff P. Maternal and perinatal infection. In: Gabbe SG, Niebyl JR, Simpson JL, eds.
Obstetrics: normal and problem pregnancies, 4th ed. Philadelphia, PA: Churchill
Livingston; 2002:1301-3
4. ACOG educational bulletin. Antimicrobial therapy for obstetric patients. Number 245,
March 1998. Int J Gynaecol Obstet. 1998; 61:299-308.
5. Intauterine infection and preterm delivery, NEJM vol 342 no 20

Anda mungkin juga menyukai