Anda di halaman 1dari 6

Fatwa Syeikh Ali Jum’ah untuk Perayaan Maulid Nabi

SAW

Peringatan maulid Nabi SAW adalah representasi dari kasih-sayang Ilahi berdasarkan pada seluruh
sejarah kemanusiaan. Al-Qur’an menerangkan eksistensi Nabi SAW sebagai bentuk rahmat bagi sekalian
alam. Dan rahmat ini tidaklah terbatas, yaitu mencakup mendidik manusia, membersihkan manusia dari
keburukan, mengajari manusia, memberi petunjuk manusia kepada “shirat al-mustaqim”, dan
mengangkat manusia kepada kehidupan mereka yang bermartabat baik secara materil ataupun moril.
Sebagaimana juga tidak terbatas kepada penghuni zaman ini saja, namun menjalar di sepanjang sejarah
kehidupan manusia. Sebagaimana disebutkan di dalam surat Al-Jum’ah: 3;

َ‫يزَ ْال َحكِي ُم‬


َُ ‫َوآخ َِرينَََمِ ْن ُه َْمَلَ َّماَيَ ْل َحقُواَبِ ِه َْمَ َوه ََُوَ ْالعَ َِز‬

“Dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. dan Dia-lah
yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Perayaan dengan peringatan hari kelahiran Nabi SAW adalah termasuk amal yang paling utama dan
pendekatan diri kepada Allah yang paling mulia karena menggambarkan suka-cita dan cinta kepada Nabi
SAW. Sedangkan cinta kepada Nabi SAW adalah salah satu pokok dari pokok-pokok iman. Maka
benarlah Rasulullah yang bersabda:

‫اسَأَجْ َمعِينََ»َرواهَالبخاري‬ َْ ِ‫لَيُؤْ مِ نََُأ َ َح ُد ُك َْمَ َحتَّىَأ َ َكُونَََأ َ َحبَََّإِلَ ْي َِهَم‬


َ ِ َّ‫نَ َوا ِل ِدَِهَ َو َولَ ِدَِهَ َوالن‬ ََ .

“Tidaklah sempurna iman salah satu di antara kalian sampai aku lebih dicintainya melebihi anaknya dan
manusia semuanya. (HR Bukhari)

Ibnu Rajab berkata, “Kecintaan kepada Nabi SAW termasuk di dalam pokok keimanan dan itu sebanding
dengan kecintaan kepada Allah Azza wa Jalla. Allah sendiri yang memperbandingkannya dan
mengancam bagi siapa saja yang mendahulukan cinta kepada keduanya dengan cinta kepada sesuatu
dari perkara-perkara kecintaan yang lumrah seperti kerabat dekat, harta, negara, dan lain sebagainya.
Disebutkan di dalam Al-Qur’an:

َََ‫ض ْونَ َهاَأ َ َحبَََّإِلَ ْي ُك َْمَمِن‬


َ ‫ساكِنََُت َْر‬ َ ‫سا َدهَاَ َو َم‬ َ ‫ِيرت ُ ُك َْمَ َوأ َ ْم َوالََا ْقت ََر ْفت ُ ُموهَاَ َوتِ َج‬
َ ‫ارةَََت َ ْخش َْونَََ َك‬ َ ‫عش‬ َ ‫نَكَانَََآبَا ُؤ ُك َْمَ َوأ َ ْبنَا ُؤ ُك َْمَ َوإِ ْخ َوانُكُ َْمَ َوأ َ ْز َوا ُج ُك َْمَ َو‬ َْ ُ‫ق‬
َْ ِ‫لَإ‬
ََ‫لَ َي ْهدِيَ ْالقَ ْو ََمَ ْالفَا ِسقِين‬ ََّ ‫ّللاَُ ِبأ َ ْم ِرَِهََۗ َو‬
ََ َُ‫ّللا‬ ََ ‫صواَ َحتَّىََ َيأْت‬
ََّ َ‫ِي‬ ‫ب‬
َّ ‫َر‬
ُ َ ِ ِ َِ ‫ت‬َ ‫ف‬ ََ
‫ه‬ ‫ل‬‫ي‬‫ب‬‫س‬ َ ‫ِي‬ ‫ف‬ َ ‫اد‬
َ ‫ه‬ ‫ج‬ ‫و‬ َ َ
‫ه‬ ‫ل‬ ‫و‬
َ ِ َ ِ ِ ُ َ َ َّ ‫س‬ ‫ر‬ ‫و‬ َ ِ َ
‫ّللا‬

“Katakanlah: “Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta


kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang
kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka
tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA”. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang fasik.” (At-Taubah: 24)

Dan suatu saat Umar Bin al-Khattab kepada nabi SAW, “Engkau lebih aku cintai daripada segala seuatu
kecuali diriku sendiri.” Nabi menjawab, “Jangan begitu wahai Umar, tapi hingga aku menjadi lebih kamu
cintai daripada dirimu sendiri.” Maka Umar berkata, “Demi Allah sekarang Engkau lebih aku cintai
daripada diriku sendiri.” Nabi berkata, “Ya sekarang kamu benar Umar.” (HR Bukhari)

Perayaan Maulid Nabi SAW adalah perayaan yang ditujukan kepada Nabi SAW. Dan perayaan untuk Nabi
SAW itu adalah hal yang disepakati secara syariat, karena perayaan ini merupakan bagian pokok dari
pokok-pokok agama dan sokoguru yang utama. Maka sungguh Allah telah mengetahui derajat Nabi-Nya,
dan bahkan seluruh alam semesta ini pun mengetahui namanya, mengetahui pengutusannya,
mengetahui kedudukan dan derajatnya. Bahkan seluruh alam ini senantiasa dalam keadaan bahagia
dengan kehadirannya dengan kebahagiaan mutlak karena turunnya cahaya Allah dan keagungan-Nya,
serta karena nikmatnya kepada seluruh alam dan segala kebutuhannya.

Dan telah menjadi adat kebiasaan para ulama Salaf al-Shalih sejak abad ke-4 dan abad ke-5 Hijriyyah
untuk merayakan Maulid Nabi SAW dengan menghidupkan malam-malam Maulid dengan berbagai
macam aktivitas pendekatan diri kepada Allah dengan makan bersama, membaca Al-Qur’an, berdzikir,
menyenandungkan syair-syair, dan puji-pujian kepada Rasulullah SAW. Sebagaimana yang dinashkan
oleh lebih dari satu sejarawan yang terpercaya semisal; Ibnu Al-Jauzi, Ibnu Katsir, Al-Hafidz Ibnu Dahyah
Al-Andalusy, Al-Hafidz Ibnu Hajar, dan penutup para Hafidz Jalaluddin al-Suyuthi Rahimahumullah.

Dan berbagai kelompok ulama dan ahli fikih pun menyusun banyak karangan tentang kesunnahan
merayakan peringatan Maulid Nabi SAW. Mereka menerangkan berbagai dalil shahih tentang
kesunnahan melakukan perayaan ini. Yang mana seharusnya tidak lagi ada pengingkaran bagi mereka
yang masih memiliki akal, pehamanan, dan pemikiran yang sehat terhadap apa yang telah dilakukan
oleh para ulama salaf shalih kita berupa perayaan Maulid Nabi SAW. Hal ini dijelaskan secara panjang
lebar oleh Ibnu Hajj di dalam kitabnya yang berjudul Al-Madkhal yang membahas keistimewaan-
keistimewaan yang berkaitan dengan perayaan Maulid Nabi SAW.

Khatimatul Hafidz Imam Jalaluddin Al-Suyuthi berkata di dalam kitabnya “Husnul Maqshad fii ‘Amalil
Maulid” setelah menerima pertanyaan tentang perayaan Maulid Nabi di bulan Rabi’ul Awwal: Apa
hukum Maulid secara syariat, apakah itu termasuk berbuatan terpuji atau tercela? Dan apakah yang
melakukannya itu mendapat pahala? Imam Al-Suyuthi berkata, “Dan jawabannya menurutku adalah
bahwa hukum asal dari Maulid itu yang dia mengumpulkan orang-orang, membaca ayat-ayat yang
mudah dari Al-Qur’an, dan menceritakan berbagai cerita yang datang di dalam masalah prinsip
menyangkut diri Nabi SAW, dan membacakan ayat-ayat yang berkaitan dengan kelahiran Nabi SAW,
kemudian mereka melanjutkan dengan hidangan makan yang mereka makan bersama dan kemudian
mereka pulang dan tidak menambahkan acara lebih dari ini maka itu merupakan bid’ah hasanah yang
diberi pahala siapa saja yang melakukannya. Karena di dalamnya terdapat pengagungan terhadap Nabi
SAW dan menampakkan dan menyebarkan kebahagiaan dengan kelahiran Nabi SAW.

Imam Jalaluddin al-Suyuthi bahkan membantah orang yang mengatakan bahwa “Saya tidak mengetahui
asal-usul perayaan Maulid ini baik di dalam Al-Qur’an atau pun Sunnah.” dengan berkata,
“‫”نفيَالعلمَلَيلزمَنفيَالوجود‬

“Ketidaktahuan akan sesuatu tidak mengharuskan ketidakadaan sesuatu.”

Ditambahkan dengan penjelasan dari Imam Al-Hafidz Abu Al-Fadhl Ibnu Hajar Al-Asqalaani rahimahullah
sungguh telah mentakhrij baginya asal-usul perayaan ini di dalam Sunnah. Dan mentakhrijnya baginya
Imam Al-Suyuthi asal-usul kedua sebagai penjelas bahwa ‘bid’ah yang tercela’ itu adalah yang tidak
masuk ke dalam dalil-dalil syar’i di dalam keterpujiannya. Ada pun jika perbuatan itu termasuk ke dalam
dalil syar’i di dalam keterpujiaannya maka itu bukanlah bid’ah yang tercela.

Imam Al-Baihaqi meriwayatkan dari Imam Al-Syafi’iy rahimahumallah berkata, “Hal-hal yang baru itu ada
dua macam. Pertama: Sesuatu yang baru yang menyelesihi Al-Qur’an, Sunnah, atsar para sahabat, atau
ijma’ para ulama maka ini termasuk bid’ah yang sesat (bid’ah dhalalah). Yang kedua: Sesuatu yang baru
yang baik yang tidak menyelisihi salah satu dari sumber-sumber hukum syariat dan ini adalah sesuatu
yang baru yang tidak tercela. Umar bin al-Khattab berkata di dalam masalah shalat tarawih di bulan
Ramadhan, “sebaik-baiknya bid’ah adalah ini”. Maksudnya adalah sesuatu yang baru yang belum pernah
ada sebelumnya, dan kalau pun sudah pernah ada maka bukan berarti ini kembali kepada sesuatu yang
sudah berlalu. Ini adalah akhir perkataan Imam Syafi’iy.

Berkata Imam al-Suyuthi: “Dan mengerjakan perayaan Maulid itu bukan termasuk menyelisihi Al-Qur’an,
tidak pula Sunnah, tidak pula atsar sahabat, dan tidak pula ijma’ para ulama. Maka itu termasuk yang
bukan tercela sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Al-Syafi’i. Dan perayaan ini termasuk perbuatan
baik yang tidak ada di masa awal Islam. Maka memakan makanan yang bersih dari campuran-campuran
dosa (makanan haram) adalah perbuatan baik. Maka jika begitu perayaan ini adalah termasuk bid’ah
yang disunnahkan. Sebagaimana telah menerangkan hal itu pimpinannya para ulama, Al-‘Izz bin
Abdussalam.

Hukum asal menurut kesepakatan Ulama dalam menampakkan syiar maulid nabi adalah sunnah dan
termasuk bentuk pendekatan (kepada Allah dan rasul-Nya). Hal tersebut karena kelahiran Nabi
Muhammad saw merupakan nikmat yang paling agung bagi kita, dan syariat juga telah mendorong
manusia untuk menampakkan bentuk dari mensyukuri nikmat-nikmatNya. Pendapat ini telah
diunggulkan oleh Ibn al-Hajj dalam kitab Al-Madkhal ila al-Sunan al-Kubra ketika beliau berkata: “ Karena
dalam bulan ini Allah telah memberikan karunia kepada kita dengan lahirnya pemimpin para umat
terdahulu dan akhir zaman, maka wajib bagi kita untuk memperbanyak ibadah dan kebaikan, serta rasa
syukur kepada-Nya atas nikmat agung yang dikaruniakan kepada kita”.

Dasar yang dipakai oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar tentang pelaksanaan Maulid Nabi adalah sunnah yang
tertera dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Hadits tersebut menjabarkan ketika Nabi datang
ke Madinah, beliau menemukan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura’ (10 Muharram),
kemudian nabi bertanya dan mereka menjawab: “hari ini adalah hari dimana Allah telah
menenggelamkan Fir’aun dan menyelamatkan Musa, maka kita berpuasa pada hari tersebut sebagai
wujud syukur kepada Allah”. Al-Hafidz mengambil faidah dari hadits tersebut tentang refleksi bentuk
syukur kepada Allah pada hari tertentu untuk mengganti nikmat ataupun menolak bencana. Dan
kembali seperti itu di dalam menunggu hari itu setiap tahunnya. Dan ungkapan syukur itu tercermin ke
dalam berbagai macam bentuk ibadah seperti sujud, puasa, sedekah, dan tilawah Al-Qur’an. Dan nikmat
yang mana yang lebih besar dari nikmat lahirnya Nabi yang mulia ini? Nabi yang menebarkan kasih
sayang pada hari itu?

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolaani mendukung atas adanya fenomena perayaang tersebut. Dan dia
berkata, “Kita pantas untuk membatasi atas ungkapan syukur kita kepada Allah atas apa yang sudah
disebutkan tadi dengan berbentuk tilawah Al-Qur’an, makan-makan bersama, menyenandungkan
pujian-pujian kenabian dan kezuhudan yang bergerak dari dalam hati hingga berbentuk perbuatan baik
dan amal ibadah untuk bekal akhirat dan hal-hal yang diperbolehkan yang bisa mewakili rasa gembira
akan datangnya hari itu dan tidak mengapa jika seseorang ikut menghadirinya.”

Dan Imam Al-Suyuthi menukil dari Imam para qori’ Al-Hafidz Syamsuddin bin Al-Jauzi dari kitabnya “’Urf
al-Ta’rif bi al-Maulid al-Syarif” yang dia berkata: “Sesungguhnya telah diriwayatkan secara shahih bahwa
Abu Lahab diringankan siksanya di neraka setiap malam senin, karena dia memerdekakan Tsuwaibah Al-
Aslamiyah ketika Tsuwaibah memberinya kabar gembira dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dan
jika Abu Lahab yang kafir yang salah satu surat dari Al-Qur’an turun dalam rangka mencelanya saja diberi
balasan dengan diringankan azabnya di neraka hanya karena pernah ikut bergembira akan kelahiran
Nabi Muhammad SAW, lantas bagaimana dengan seorang muslim yang mengesakan Allah yang
merupakan umat Nabi Muhammad SAW. ikut bergembira dengan hari kelahiran Nabi SAW? Dan dia
mengerahkan segenap kemampuannya demi mencintai Nabi SAW? Demi umurku sesunggungnya
balasan untuknya (orang yang ikut bergembira dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW) adalah dari
Allah Yang Maha Mulia dengan memasukkannya dengan karunianya ke dalam surga Al-Na’im.

Sampai-sampai Al-Hafidz Syamsuddin Al-Dimisqi di dalam kitabnya yang dinamai “Maurid Al-Shadiy fi
Maulid Al-Hadiy:

Jika dia yang kafir yang celaan diturunkan khusus kepadanya

Dan dirinya celaka di dalam neraka Al-Jahim

Senantiasa didatangkan kepadanya setiap hari senin

Keringanan siksa hanya karena kegembiraannya akan lahirnya Ahmad (Muhammad)

Maka apa yang disangkakan kepada seorang hamba yang selama hidupnya

Merasa bahagia dengan kelahiran Ahmad (Muhammad) dan dia mati dalam keadaan bertauhid?

Sebagaimana kita bisa mengambil dari dalil dari lafaz umum firman Allah Ta’alaa:

ِ‫ّللا‬ َِ ‫َوذَك ِْر ُه َْمَ ِبأَي‬


ََّ َ‫َّام‬
Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah. (QS Ibrahim: 5)

Maka tidaklah meragukan lagi bahwa hari kelahiran Nabi SAW termasuk ke dalam “Hari-harinya Allah”
maka perayaan akan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW adalah bagian dari pelaksanaan perintah
Allah. Maka yang seperti itu bukan lah bid’ah akan tetapi sunnah yang baik, meskipun tidak dilaksanakan
dan tidak ada di masa Rasulullah SAW.

Dan kita merayakan Maulid Nabi SAW karena kita mencintainya. Dan bagaimana mungkin kita tidak
mencintainya padahal seluruh alam semesta mengenal dan mencintainya? Dan ini juga terjadi pada
sebatang pohon yang Ia adalah benda bukan manusia yang turut merasakan kecintaan yang sangat
besar kepada Rasulullah SAW, merasakan keterikatakan kepadanya, dan merasakan kerinduan yang
mendalam kepadanya. Dan bahkan karena begitu rindunya dia ke Nabi SAW pecahlah tangisan dia yang
begitu hebat. Dan kisah tentang tangisan pohon ini sudah diriwayatkan secara mutawatir dan menjadi
kabar yang bisa dipegang dan dipercaya. Dan diriwayatkan dari banyak sekali sahabat dari sahabat-
sahabat Rasulullah SAW. radhiyallahu anhum bahwa ketika Nabi SAW berkhutbah sambil berdiri Beliau
berpegang pada sebatang pohon kurma dan bersandar kepadanya. Apabila Rasulullah SAW sudah terlalu
lama berdiri maka Nabi meletakkan kedua tangannya ke batang pohon kurma itu. Dan ketika kaum
muslimin sudah semakin banyak para sahabat membuatkan mimbar untuk Nabi SAW. Dan Nabi tidak
lagi berkhutbah dengan bersandar ke batang pohon tadi. Maka ketika Nabi SAW keluar dari rumahnya
pada hari jum’at hendak menuju mimbar, dan Beliau melewati batang kurma yang dulu biasa menjadi
tempatnya berkhutbah tiba-tiba batang kurma itu berseru dengan keras, dan mendamba dengan penuh
kesakitan hingga dinding-dinding masjid pun bergetar dan batang bohon itu berderak dan tidak mau
tenang. Hingga akhirnya Nabi SAW turun dari mimbar dan menghampiri batang pohon itu dan
meletakkan tangannya di batang pohon itu, mengusapnya, dan kemudian memeluknya hingga dia
kembali tenang. Dan kemudian Nabi SAW memberinya kabar gembira dengan memilihnya menjadi
pohon yang akan tumbuh di antara pohon-pohon surga, yang akar-akarnya akan meminum air yang
mengalir dari sungai-sungai di surga, dan akan kembali menjadi pohon yang berbuah seperti di dunia,
maka Nabi SAW memilih sebatang pohon itu sebagai pohon yang akan tumbuh di surga, maka Nabi SAW
bersabda, “Lakukanlah (mencintaiku dengan sangat), Insya Allah, lakukan lah Insya Allah, lakukan lah
Insya Allah.” Nabi SAW melanjutkan, “Dan demi Zat yang diriku berada di Tangan-Nya kalau seandainya
aku tidak menenangkannya maka dia akan terus merintih mendambakanku sampai hari kiamat karena
rindunya yang amat sangat kepada Rasulullah SAW.”

Dari apa yang telah kami sebutkan di atas berupa perkataan para imam seperti Ibnu Hajar Al-Asqalaani,
Ibnu Al-Jauzi, Imam Suyuthi, dan lain-lainnya, dan menerangkan bahwa para imam ini
menyelenggarakan maulid sejak abad ke-5 hijriyah, kita dapat melihat kesunnahan merayakan Maulid
Nabi yang sesuai dengan kebiasaan para imam, dan mengisi perayaan dengan tilawah Al-Qur’an,
berdzikir, makan bersama, dan dengan tidak mengisinya dengan kegiatan-kegiatan tercela seperti
berjoget dan melakukan maksiat, dan hal-hal lain yang dilarang agama. Dan tidak ada penjelasan
tentang kesesatan tentang kesepakatan akan suatu kegiatan umum umat atau pun perkataan para imam
tersebut, dan begitu pula tidak ada dalil yang melarang perayaan untuk Nabi SAW ini, nabi yang penuh
rahmat, yang membawa petunjuk, Sang Kekasih Tuhan sekalian alam. Dan di akhir fatwa ini kami
menukilkan sepotong syair dari pengarang Burdah.

َ َّ‫ئَالن‬
َ‫س ِم‬ َُ ‫ــار‬
ِ ‫طفَاَهَُ َح ِبيـْـــــــــــــبًاَ َب‬ ْ ‫ـــــــو َرت ُ َه ََََََََََََََُثُمََا‬
َ ‫ص‬ ْ ‫ص‬ُ ‫يَت َََّمَ َم ْعنَاَهَُ َو‬ ِ َ‫فَ ْه ََو‬
َْ ‫الذ‬

Dialah nabi yang sempurna baik batin atau lahirnya


Kemudian Rosululloh Saw, terpilih sebagai kekasih Allah ta’ala, pencipta manusia

َ‫غي َُْرَ ُم ْنقَس ِِم‬ َِ ‫َرَ ْال ُحس‬


َ َ‫ْنَفِ ِي َِه‬ َُ ‫يَ َم َحــــــا ِسنِ َِهََََََََََََََفَ َج ْوه‬ َ ََ‫ُمن ََّزه‬
َْ ‫ع‬
َْ ِ‫نَش َِريكََف‬

Dia sang nabi yang suci dari persamaan dalam segala kebaikan

Inti kebaikan pada diri nabi tak mungkin terbagi

َ‫صارىَفِيَنَبِي ِه َِمََََََََََََ َواحْ ُك َْمَبِ َماَ ِشئْتَََ َم ْد ًحاَفِ ْي َِهَ َواحْ تَك ِِم‬
َ َّ‫عتْ َهَُالن‬ َْ ‫َد‬
َ ‫عَ َمااد‬

Tinggalkan tuduhan kaum nasrani, tuduhan yang dilontarkan kepada nabi-nabi mereka

Tetapkanlah untaian pujian kepada nabi pujian apapun yang engkau suka

َ ‫نَ ِع‬
َ‫ظ ِم‬ َْ ِ‫سبََْ ِإلىََقَد ُْرَهَُ َماَ ِشئْتَََم‬ َْ ‫سبََْ ِإلَيَذَاتِـــــــــــــ َِهَ َماَ ِشئْتَََم‬
ُ ‫ِنَش ََرفََََََََََََََ َوا ْن‬ ُ ‫َوا ْن‬

Nisbahkan kepada dzat nabi segala kemulian yang engkau kehendaki

Nisbahkan kepada martabat nabi segala keagungan yang engkau kehendaki

ِ ‫ع ْن َه َُنَـــــــــــــــاطِ قََبِف‬
َ‫َـــــم‬ ََ ‫ْسَلَ َه َََََََََََََََََََََََُ َحدََفَيُ ْع ِر‬
َ َ‫ب‬ ََ ‫ّللاَِلَي‬
َ َّ َ‫ل‬
َِ ‫سـو‬
ُ ‫لَ َر‬ ْ َ‫فَإِنََف‬
ََ ‫ض‬

Karena keutamaan Rasulallah Saw, tiada tepi batasnya

Sehingga mengurai mudah terasa, bagi lisan yang berkata

Anda mungkin juga menyukai