Anda di halaman 1dari 11

7 WASTE DALAM LEAN

Lean berhubungan dengan kecepatan, efisiensi, dan eliminasi waste, dengan tujuan
mempercepat proses dengan mereduksi segala macam waste. Waste yang
dimaksud adalah segala sesuatu yang meliputi waktu, biaya, pekerjaan, bahan, alat
yang tidak memberikan nilai tambah kepada produk atau jasa kepada para
pelanggan.

Berikut 8 waste yang harus dihilangkan:


 Waste Transportasi – waste ini terdiri dari pemindahan atau pengangkutan
yang tidak diperlukan seperti penempatan sementara, penumpukan kembali,
perpindahan barang
 Waste Kelebihan Persediaan – inventori, stok atau persediaan yang
berlebihan
 Waste Gerakan – waste ini berupa waktu yang digunakan untuk mencari,
kemudian gerakan yang tidak efisien dan tidak ergonomis
 Waste Menunggu – waste ini termasuk antara lain aktivitas menunggui
mesin otomatis, menunggu barang datang dsb
 Waste Kelebihan Produksi – menghasilkan produk melebihi permintaan,
ataupun lebih awal dari jadwal
 Waste Proses Berlebih – penambahan proses yang tidak diperlukan bagi
barang produk hanya akan menambah biaya produksi
 Waste Defect – kerja ulang tidak ada nilai tambahnya (pelanggan tidak
membayar)
Sebetulnya masih ada pemborosan atau waste lainnya, yaitu kreativitas personil
yang tidak dimanfaatkan. Hilangnya waktu, ide, keterampilan, peningkatan, dan
kesempatan belajar karena tidak melibatkan atau mendengarkan karyawan.

Semua jenis waste ini sering terjadi tanpa disadari, karena telah dianggap sebagai
sesuatu yang wajar dan umum, padahal sesungguhnya sangat merugikan,
khususnya sering menyebabkan pertambahan biaya operasional (cost) yang
seharusnya bisa dihindari. Karena itu, penerapan lean dapat membantu organisasi
memotong biaya yang tidak perlu, sekaligus meningkatkan revenue.

Tahapan bagaimana kita menyikapi waste adalah:


1. Memahami konsep value
2. Mengenali waste
3. Menghilangkan waste, jika tidak bisa: mengurangi. Jika masih tidak bisa,
kurangi dampaknya.

ORGANISASI 5S DI BENGKEL DIKLAT


5S termasuk konsep dasar pengelolaan operasional di lembaga diklat, agar terjadi
perbaikan secara terus menerus dan berlanjut di lembaga tersebut. Tujuan utama
5S adalah menciptakan lingkungan kerja yang bersih dan tertata – lingkungan
dimana terdapat tempat untuk segala sesuatu dan segala sesuatu berada di
tempatnya.

Target dan manfaat

 Mengurangi aktifitas/tugas tambahan yang tidak perlu


 Mengurangi potensi kesalahan staf dan partner
 Mengurangi alokasi waktu untuk kegiatan orientasi dan pelatihan
kerja/praktek
 Mengurangi waktu untuk menata fasilitas dan bahan
 Mencegah stok berlebih, karena berkonsekuensi biaya
 Mengurangi transportasi/lalu-lintas orang dan barang
 Meningkatkan pemanfaatan/fungsi ruang
 Meningkatkan keselamatan dan moral staf, peserta diklat dan pihak lain
 Meningkatkan mutu jasa diklat
 Memperpanjang usia pakai peralatan melalui peningkatan frekuensi
pembersihan dan inspeksi

5S memberikan manfaat yang terukur. Sebagai contoh: mengukur waktu yang


diperlukan untuk menempatkan suatu barang di bengkel sebelum diterapkannya 5S
dan kemudian mengukur waktu yang dibutuhkan setelah bengkel dikelola dengan
5S. Manfaat jangka panjang dapat diukur dengan memantau banyaknya kecelakaan
di bengkel yang dilaporkan setelah penerapan 5S. Tidak hanya kecelakaan di
bengkel yang menurun, tetapi biaya pelatihan untuk staf/teknisi juga akan menurun.
Lebih mudah dan lebih cepat melatih staf/teknisi di bengkel yang telah ditata dan
ditandai dengan baik daripada melatih staf/teknisi di bengkel yang tidak tertata/rapi.

Cara lain untuk mengukur manfaat 5S di bengkel adalah dengan mengambil


gambar. Gambar sangat efektif untuk menvisualkan penampakan dan tatanan di
bengkel yang telah diperbaiki. Hasil pengukuran (ket: data) merupakan pelengkap
bagi gambar-gambar tersebut, untuk menguatkan momentum memberlanjutkan 5S.

6.1. S1 – SORT
S1 merupakan praktek perawatan semua peralatan, bahan, dllnya, di bengkel.
Perawatan item-item esensial yang dirawat. Praktek S1 akan mengurangi resiko
terjadinya kekacauan (ket: semrawut) dan bahaya akibat adanya/banyaknya item-
item tidak esensial yang berada di bengkel.

Item-item tidak esensial di tandai dengan label merah (red tag) dan disimpan di area
khusus label merah untuk beberapa waktu, biasanya 5 hari. Jika tidak ada yang
menginginkan/ membutuhkan, maka item-item tersebut disingkirkan dari bengkel
dengan cara dijual, didonasikan, didaur ulang atau ke tempat sampah.

Penetapan kriteria pemberian label merah mencegah timbulnya ketidakjelasan pada


peserta diklat, pengajar diklat dan staf/teknisi dalam membedakan item esensial dan
tidak esensial untuk operasional di bengkel. Harus ada acuan/panduan untuk
memutuskan apa yang harus tetap dirawat dan apa yang harus disingkirkan.
Pemisahan item esensial dan tidak esensial, menghindarkan peserta diklat, pengajar
diklat dan staf/teknisi dari melaksanakan tindakan-tindakan atau aktifitas yang tidak
inti operasional kerja.

Pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab saat mengaplikasikan S1 adalah:

 Apakah ini?
 Kapan terakhir digunakan?
 Apakah kritis dan khas untuk bengkel dan unit kerja?
 Jika disimpan, berapakah minimal jumlah/volume yang diperlukan untuk
jadual praktek?

Langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin kesuksesan pelaksanaan S1:

 Memilih bengkel yang dijadikan ‘pilot’ penerapan S1 dan mengambil gambar


“before”-nya.
 Meninjau kriteria–kriteria pemilahan yang direkomendasikan: frekuensi
penggunaan, kekritisan, dan kuantitas yang diperlukan untuk operasional
praktek.
 Menentukan area label merah: tandai sudut atau ruang untuk menempatkan
area lokal label merah.
 Label, rekam dan pindah item-item berlabel merah ke area yang telah
ditentukan: pelihara/simpan catatan-catatannya sehingga lembaga dapat
melacak keberadaan aset-asetnya.
 Ambil gambar “after” pada area bengkel yang telah rapi dan area untuk item-
item berlabel merah.

 Item-item berlabel merah yang tidak diminta oleh suatu kelompok kerja dalam
beberapa hari, akan dipindahkan ke area label merah tingkat lembaga.

6.2. S2 – SHINE
Langkah S2 mencakup tiga aktifitas-aktifitas primer: pembersihan dan perawatan
tempat kerja beserta item-item esensialnya dan penggunaan peralatan-peralatan
kebersihan.

Pembersihan tempat kerja bertujuan menghilangkan kotoran, debu, cairan/ceceran,


dan puing-puing. Setiap bagian harus dilengkapi dengan perangkat kebersihan yang
tidak membahayakan peralatan dan area kerja. Pembersihan dilakukan pada; lantai,
pencahayaan, mesin, peralatan, permukaan aktifitas kerja, mebel, area
penyimpanan, dan hal-hal lain yang mempengaruhi aktifitas praktek.

Perlakukan S2 sebagaimana proses inspeksi. Saat melaksanakan pembersihan juga


melakukan identifikasi kondisi abnormal atau kerusakan awal, sekecil apapun.

Bekerja atau praktek pada lingkungan yang bersih memungkinkan peserta diklat,
pengajar diklat, dan staf/teknisi untuk bisa mengamati malfungsi pada mesin seperti
kebocoran, getaran, kerusakan, dan tidak presisi. Proses S2 tidak boleh hanya
menjadi tanggungjawab bagian kerumahtanggaan. Setiap individu dari setiap bagian
unit kerja berpartisipasi dan bekerjasama, memantapkan jadual regular pembersihan
rutin, dan pembersihan yang lebih mendalam/intens.

Kebersihan bengkel, peralatan dan mesin dipelihara dengan cara-cara S2.


Housekeeping secara berlanjut adalah salah satu cara untuk menjaga bengkel tetap
bersih, tetapi metode yang lebih baik adalah pertama-tama mencegah segala
sesuatu menjadi kotor. Temukan cara-cara untuk menjaga kebersihan bengkel
dengan mengeliminasi sumber-sumber kontaminasi. Analisis akar permasalahan
ketidakbersihan di area kerja, untuk mengetahui akar penyebabnya, dan gunakan
peralatan-peralatan pencegahan untuk menjaga agar bengkel bersih dan tertata.

Mesin yang dijaga kebersihannya akan berfungsi secara lebih efisien, meminimalisir
terjadinya perbaikan yang tak terjadual, dan mengurangi biaya perbaikan. Beberapa
organisasi menemukan bahwa keselamatan dan produktifitas meningkat sejalan
dengan perawatan dan housekeeping telah menjadi norma/budaya organisasi.

Ikuti langkah-langkah aksi berikut untuk menjamin kesuksesan:

 Definisikan “bersih” – Anda bisa menemui konflik definisi-definisi bersih yang


benar untuk bengkel Anda.
 Temukan definisi yang didukung setiap staf.
 Gunakan hanya bahan dan alat pembersih yang tepat – yakinkan untuk
mengidentifikasi bahan/alat pembersih yang tepat untuk area kerja Anda.
Beberapa cairan pembersih dapat membahayakan mesin sementara
peralatan pembersih lainnya membahayakan peralatan-peralatan
kerja/praktek. Konsultasikan dengan pakarnya untuk mendapatkan
bimbingan.
 Ambil gambar-gambar “before” – rekaman kondisi Anda saat ini (sebelum
pelaksanaan S2) sebagai pengingat kondisi buruk yang terjadi sehingga
menimbulkan motivasi untuk menjaga segala sesuatu bersih.
 Bersihkan bengkel – berbagi beban kerja diantara staf/kelompok kerja.
 Eliminasi ketidaksempurnaan dengan aktifitas pembersihan dan inspeksi.
 Ambil gambar-gambar “after” – manfaatkan foto-foto untuk menunjukkan
hasil-hasil pelaksanaan S2.

6.3. S3 – SET IN ORDER


Fase Perencanaan
Pada S3, anggota-anggota tim pengembang 5S bersama-sama berbagi pengalaman
selama penerapan S1 and S2. Tim menganalisis kondisi bengkel setelah penerapan
S1 dan S2, untuk kemungkinan pengembangan selanjutnya yang bisa dilakukan dan
mencari cara untuk mereduksi sumber-sumber sampah dan kesalahan-kesalahan
sehingga bengkel secara visual menjadi “instruktif”.

Tim melakukan brainstorming solusi-solusi potensial. Konsolidasi dengan setiap


pihak yang berkaitan, dengan bengkel ‘pilot’, sebelum membuat perubahan-
perubahan.

Berikut panduan upaya-upaya merancang ulang bengkel untuk meningkatkan


kinerja:

 Fasilitas/mesin/alat-alat: Fokus pada mengorganisasi dan melabel fasilitas,


mesin dan alat.

 Pipa, kabel, saluran gas, silinder gas dan sistem kelistrikan diberi
nama dan dilabel dengan jelas untuk mempermudah pelacakan jalur.
 Peralatan untuk operator harus terdapat di dekat titik penggunaan,
terorganisir dan dilabel.
 Alat ukur dan indikator harus ditandai sehingga kondisi abnormal dapat
dideteksi dengan segera.

 Keselamatan: Fokus pada menyiagakan orang-orang terhadap potensi situasi


berbahaya dan untuk tindakan-tindakan pencegahan dan pengendalian
kondisi tidak aman.

 Menyediakan peringatan berbahaya dan instruksi-instruksi kerja aman


pada tiap titik yang diperlukan.
 Memastikan lokasi-lokasi untuk menempatkan pengaman alat-alat, pos
mencuci mata, pos pertolongan pertama, dan shower keselamatan, dll,
dan ditandai dengan jelas.
 Memastikan bahwa Alat Pelindung Diri (APD) mudah diakses dan siap
digunakan.

 Prosedur-prosedur: Fokus pada pendayagunaan kemampuan staf/teknisi


untuk melaksanakan tanggungjawab pelaksanaan tugas di bengkel
sebagaimana alur kerja.
 Memastikan bahwa versi terbaru instruksi kerja dan alat bantu kerja
tersedia.
 Menggunakan tanda visual atau suara yang menyiagakan operator-
operator pada kondisi-kondisi abnormal.
 Menggunakan perlengkapan yang bisa menunjukkan terjadinya
kesalahan untuk mencegah terjadinya kesalahan-kesalahan manusia
dan mesin.

 Kualitas: Fokus pada penyajian, secara grafis atau fisik, standar kualitas.

 Standar-standar kualitas harus dirancang secara visual dan disajikan


dengan benar.
 Memberikan contoh-contoh output yang dapat diterima dan tidak dapat
diterima di area publik.
 Menyampaikan secara visual kecenderungan kualitas kinerja.

 Inventarisasi/penanganan bahan: Fokus pada identifikasi efektif bahan-bahan


produksi dan ‘maintenance and repair’ operasional, organisasi ruang
penyimpanan, dan perpindahan bahan. Ditentukan dengan jelas:

 Elemen inventarisasi (jenis inventaris, kuantitas max/min, lokasi, dll.).


 Ruang penyimpanan (label-label untuk laci, rak dan wadah; penanda-
penanda stok ulang; barkod, dll.).
 Prosedur-prosedur penyerahan/penempatan dan penghapusan
inventaris.

Fase Implementasi

Fase implementasi menonjolkan keutamaan/keunggulan bengkel: terdapat tempat


untuk segala sesuatunya dan menyediakan sinyal-sinyal visual untuk membantu
staf/teknisi agar sukses mengelola bengkel. Fase implementasi berfokus pada
perlunya mengatur alat-alat dan mesin dalam suatu tatanan yang mendukung aliran
kerja optimal.

Adanya lokasi-lokasi untuk semua ‘item’ sebagaimana rancangan, akan


mempermudah staf/teknisi mengontrol operasional tugas masing-masing.
Staf/teknisi bisa dengan segera mengetahui jika sesuatu tidak berada ditempatnya
dan jika bahan, alat dan perangkat dipesan melebihi keperluan kegiatan praktek
diklat.

Keberhasilan implementasi S3 tergantung pada performa tindakan-tindakan berikut:


 Tempatkan pembatas di sekeliling mesin dan obyek-obyek yang diletakkan di
lantai. Hal tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan dengan jelas bahwa
disitulah lokasi mesin dan untuk memperingatkan orang-orang agar tidak
berlalu-lalang terlalu mendekat.

 Menggunakan sistem alamat (dan peta) untuk mengidentifikasi lokasi-lokasi


operasi, area-area penyimpanan dan lokasi-lokasi bertingkat (tidak rata).
 Melabel alat-alat, perlengkapan, pengangkut, dll, untuk mempermudah
identifikasi silang dengan informasi di lokasi penyimpanan.
 Bila mungkin, gunakan gambar-gambar dan grafik-grafik untuk memfasilitasi
identifikasi. Staf/teknisi dapat mengimplementasikan aspek S3 ini dengan
menempatkan bagian-bagian atau gambar-gambar dari bagian-bagian di atas
lokasi penyimpanan atau menciptakan profil-profil bayangan di papan-papan
alat.

Langkah-langkah fase implementasi mencakup:

 Mengambil gambar-gambar “before”. Pengambilan gambar ini adalah untuk


visual masa lalu sebelum pengembangan dilakukan.
 Mengimplementasikan perubahan-perubahan bengkel. Merencanakan untuk
melaksanakan….dan melaksanakan yang direncanakan. Pastikan untuk
berkolaborasi dengan pihak lain yang terkait.
 Tata lokasi dengan membuat alamat dan menerapkan label, penanda, dan
kode warna. Telaah standar-standar untuk warna dan ukuran karakter
(huruf/angka) sebelum menata dalam urutan, bila perlu buat standar khusus
untuk internal lembaga yang disepakati bersama. Verifikasi rancangan
tersebut dengan seseorang yang bertugas pada fasilitas atau perawatan,
untuk mendapatkan input.
 Ambil gambar “after”. Gambar-gambar tersebut akan mengingatkan
kesuksesan atau perbaikan yang telah terjadi dan menjadi rekaman lembaga
yang bernilai.

6.4. S4 – STANDARDIZE
Selama fase implementasi ini, tim mengidentifikasi cara-cara untuk memantapkan
praktik-praktik di bengkel yang telah dikembangkan, sebagai standar. Tujuan
standarisasi adalah untuk menciptakan praktek-praktek terbaik dan untuk diterapkan
oleh setiap pekerja secara seragam.

Untuk menstandarkan, peran dan tanggungjawab harus terurai jelas dan secara
konsisten diterapkan. Hal tersebut dapat terealisasi melalui panduan visual seperti
kode warna, diagram alir, ceklis, dan pelabelan untuk membantu pemahaman
sehingga seragam.

Penyelia bengkel perlu berkomitmen terus berikhtiar untuk memberikan bimbingan


dan dukungan secara umum kepada tim. Anggota-anggota tim sebaliknya juga
harus menerapkan prinsip-prinsip 5S dan praktik-praktiknya untuk membantu
implementasi perubahan-perubahan tersebut di bengkel.

Standar-standar 5S yang ditetapkan diadopsi oleh setiap bengkel di lembaga diklat.


Setiap bengkel mengembangkan pendekatan-pendekatan dan metode-metode yang
khas untuk memenuhi tugas-tugas dan tujuan-tujuan spesifik masing-masing. Setiap
anggota tim yang bekerja di bengkel tertentu harus menerima pelatihan tentang
spesifikasi pendekatan dan metode di bengkelnya. Diusahakan alat-alat yang
digunakan untuk menstandarkan dan memberlanjutkan upaya 5S disamakan, untuk
semua lintas bengkel-bengkel di lembaga diklat.

Penyamaan alat-alat tersebut diupayakan melalui proses:

 Brainstorming ide-ide untuk menyusun perubahan-perubahan 5S di Prosedur


Operasi Standar (SOP). Perbaruan terhadap prosedur, ceklis, alat bantu
kerja, diagram, dll, di tempat kerja.
 Perbaruan dokumentasi untuk merefleksikan perubahan-perubahan.
Koordinator International Standard for Organization (ISO) lembaga dilibatkan
untuk memastikan kesesuaiannya dengan persyaratan ISO terkini.
 Pastikan semua pihak yang terkait sadar tentang standar baru -
menginformasikan dan mengedukasi.

6.5. S5 – SUSTAIN
Tujuan dari S5 adalah untuk menjaga momentum yang dihasilkan selama awal
kegiatan atau proyek S1 sd S4.

Proses audit manajemen dilakukan untuk memastikan bahwa para staf/teknisi


memahami bahwa memelihara mutu pengelolaan tempat kerja adalah sasaran
utama. Audit manajemen berfokus pada pemastian bahwa spesifikasi standar-
standar pada S4 dilaksanakan secara rutin dan terjadual dan terpelihara dengan
benar. Audit juga memberikan peluang istimewa pagi seluruh bagian lembaga diklat
untuk mengajukan pertanyaan dan memberikan saran-saran yang menstimulasi
pengembangan berikutnya.

Selanjutnya, penerapan 5S perlu diperluas di area kerja-area kerja lainnya atau


multiplikasi. Perbandingkan hasil penerapan di area kerja-area kerja yang berbeda
melalui sharing ide dan pengalaman masing-masing. Publikasikan berita
keberhasilan penerapan 5S dan berikan pengakuan/penghargaan kepada tim
pengembang dan pelaksana 5S. Newsletters, displays, and awards 5S adalah media
dan cara terbaik untuk membangun moral dan motivasi staf/teknisi untuk terus
menerapkan,merawat dan mengembangkan 5S.

Harus dipahami bahwa 5S adalah suatu proses atau perjalanan. Staf/teknisi


didorong untuk memberlanjutkan pengembangan di bengkelnya masing-masing
berbasis regular. Bengkel dijadualkan untuk menindaklanjuti aktifitas-aktifitas 5S per
6 bulan atau per tahun. Perbaikan berkelanjutan harus menjadi bagian dari aktifitas
rutin di bengkel dan lembaga diklat. Bila pengembangan berhenti, mutu pengelolaan
bengkel tidak hanya stagnan tetapi secara bertahap akan menurun. Untuk
menghindari hal tersebut, setiap staf/teknisi secara kontinu mencari cara-cara untuk
mengembangkan kualitas kondisi kerjanya.

Langkah-langkah untuk implementasi S5:

 Audit untuk memastikan bahwa proses-proses yang ditetapkan selama P4


diimplementasikan dan dipelihara.
 Menggunakan bengkel “pilot” sebagai model untuk bengkel lainnya sebagai
penyesuaian awal, dan tim pengembang 5S berbagi pandangan dan
pengalamanya dengan pekerja di bengkel-bengkel lainnya.
 Menggunakan newsletters, displays dan media komunikasi lainnya untuk
mempublikasikan keberhasilan penerapan 5S sebagai penghargaan atas
upaya-upaya yang sudah begitu luar biasa. Penghargaan tersebut juga
merupakan bentuk pengakuan.
 Mengevaluasi efektifitas 5S dan melanjutkan pengembangannya. Melakukan
review meeting secara regular untuk mengidentifikasi peluang-peluang
pengembangan 5S.

7. KESIMPULAN
Lembaga diklat harus mampu untuk mengidentifikasi kebutuhan dari guru dan tenga
kependidikan, dan apa yang dipentingkan oleh guru dan tenaga kependidikan,
khususnya dalam hal ini adalah praktek di bengkel. Pendekatan ini merupakan
filosofi dasar untuk mengoptimalkan performansi program diklat. Melalui continous
improvement maka dapat terlihat gap antara penerapan sistem secara optimal (5S)
dengan sistem sebelumnya. Konsep Lean Thinking diterapkan, melalui:

1. Specify Value
Menentukan apa yang dapat atau tidak dapat memberikan nilai (value) dari suatu
program praktek di bengkel, dipandang dari sudut pandang guru dan tenaga
kependidikan (bukan dari sudut pandang lembaga diklat). Lembaga diklat harus
fokus pada customer needs.

2. Identify Whole Value Stream

Mengidentifikasi tahapan-tahapan yang diperlukan, mulai dari proses desain,


pemesanan dan pembuatan program praktek di bengkel berdasarkan
keseluruhan value stream untuk menemukan pemborosan yang tidak memiliki
nilai tambah (non value adding activity).

3. Flow

Melakukan aktivitas yang dapat menciptakan suatu nilai tanpa adanya gangguan,
proses rework, aliran balik (backflow), aktivitas menunggu (waiting), dan juga
sisa kegiatan praktek di bengkel.

4. Pulled

Mengetahui aktivitas-aktivitas penting yang digunakan untuk membuat apa yang


diinginkan oleh peserta diklat.

5. Perfection

Berusaha mencapai kesempurnaan dengan menghilangkan waste (pemborosan)


secara bertahap dan berkelanjutan, sehingga waste yang terjadi dapat
dihilangkan secara total dari proses praktek di bengkel yang ada.
Secara garis besar, konsep Lean dapat di integrasikan dengan Total Quality
Management yang mampu meningkatkan kepuasan stakeholder, termasuk
didalamnya adalah customer. Sebagaimana layaknya rumah, atau bangunan
dimana lembaga diklat menjadikan customer sebagai fokus utama, maka mutu
layanan lembaga diklat dan standarisasi praktek bengkel, salah satunya, harus
menjadi pondasi yang kokoh sehingga dapat menopang keinginan pelanggan yang
dalam hal ini adalah guru dan tenaga kependidikan yang berkeinginan memperoleh
kompetensi sebagaimana ditargetkan.

Namun, sekuat apapun sistem yang dibangun suatu lembaga diklat, jika tidak
didukung oleh sumber daya manusia sebagai pelaksana dan inisiatif dalam
organisasi, maka lembaga diklat akan menjadi rumah yang kosong, dan tanpa
aktivitas. Kalau sudah begini, maka akan memberikan efek negatif terhadap fungsi
marketing dan public relation lembaga diklat itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai