Anda di halaman 1dari 2

Politik Profetik

Saudaraku, tanpa maksud menabur angin pesimisme, perlulah kita sadari bahwa bangsa ini
mengalami krisis lahir dan batin: kelesuan perekonomian di sepanjang keterpurukan nilai keadaban.

Untuk krisis sedalam dan seluas ini, perbaikan prosedur dan popularitas pemimpin saja tidaklah
cukup untuk menyelesaikannya. Indonesia harus menyelam lebih dalam menjangkau dimensi
struktural dan spiritual dengan panduan kepemimpinan profetik.

Tetapi masalahnya, figur profetik itu tak hadir di sini. Partai politik, yang diharapkan menjadi tempat
persemaian intelektual organik yang mampu mengorganisasikan dan mengartikulasikan amanat hati-
nurani rakyat, berhenti sebagai pusat percaloan kekuasaan. Civil society, yang mestinya menjadi
pusat pembibitan para penjaga keadaban (societas civilis), berhenti sebagai arena perpanjangan dan
perebutan proyek. Bahkan komunitas dan para pemimpin keagamaan, yang mestinya menjadi
tumpuan terakhir dalam mengawal misi-misi profetik, berlomba menghancurkan dirinya sendiri
lewat politisasi dan komersialisasi agama.

Dalam ketiadaan figur, harapan tinggal bertumpu pada penguatan otonomi individu. Seperti sabda
Nabi, “Setiap kamu pemimpin, dan setiap pemimpin pasti akan diminta pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya.” Pada tahap ini, setiap individu harus memasuki fase “pengosongan". Suatu
momen transenden untuk menisbikan status diri, ikatan primordial dan egosentrisme; membiarkan
diri telanjang demi mencerap bahasa ummi (awam) untuk merasakan denyut terlemah dari
kehidupan masyarakat agar mampu membuka diri penuh cinta untuk yang lain.

Situasi "pengosongan" merupakan pangkal pemulihan adikrisis. Sebab tantangan terberat dalam
situasi krisis tanpa kepemimpinan yang kuat adalah bagaimana menemukan basis spiritualitas yang
mendorong ke arah unifikasi politik. Dari momen transendensi, yang meluluhkan sekaligus
memperkuat diri, berturut-turut diharapkan bisa terengkuh pengetahuan/visi baru, ketegaran
asketik, kemampuan empati, kelapangan altruistik dan akhirnya kesadaran bahwa semua adalah
satu.

Jika rasa sensibilitas dan sosiabilitas itu telah tertanam, tantangan selanjutnya adalah menghidupkan
kembali jiwa politik. Menambatkan kembali politik pada jangkar moralitas—sesuatu yang pada
mulanya terintegrasi tetapi saat ini seperti air dengan minyak—merupakan hal yang fundamental
untuk mentransformasikan kehidupan politik kita.

Di balik permukaan krisis ekonomi, sosial-budaya dan politik yang mendera, kita sesungguhnya
tertanam penyakit spirit dan moralitas yang melanda jiwa bangsa. Kehidupan publik kita
merefleksikan nilai-nilai moralitas kita, demikian pula sebaliknya. Sebegitu jauh, kehidupan politik
selama ini lebih merefleksikan nilai-nilai buruk. Oleh karena itu, kehidupan politik baru memerlukan
pengukuhan sumber daya spiritual yang berakar pada tradisi luhur keagamaan dan kemasyarakatan.

Dalam hal ini, kita dituntut untuk menyelamatkan pesan moral agama dalam kehidupan publik dari
pengerdilan oleh politisisasi agama di satu sisi dan penyingkiran agama di sisi yang lain.

Kita harus menekankan keterpautan yang erat antara spiritualitas dan politik, dengan tetap
mempertahankan batas yang tepat antara agama dan negara, dan terhindar dari kehidupan
keagamaan yang dikontrol negara. Tantangan ke depan, bagaimana mendukung pembedaan relatif
antara agama dan negara tanpa memisahkan nilai-nilai moral dan spiritual dari kehidupan politik.

Krisis, seperti dilukiskan dalam simbol China, merupakan kombinasi dari kata “bahaya” dan
“peluang”. Zaman aksial, dilukiskan oleh Karl Jaspers, sebagai fase jeda di antara dua momen
kegemilangan. Kita pun yakin, dengan mengukuhkan komitmen dan perjuangan kita untuk
menjalankan misi profetik, masih ada cahaya di ujung terowongan gelap. Semoga!

(Makrifat Pagi)

Anda mungkin juga menyukai