ASWAJA
Disusun oleh:
Aan Anwarul Falah
Kehidupan yang terus mengalami perubahan pada semua aspek baik sosial, budaya, ekonomi,
dan politik menuntut pembaruan pemahaman aswaja yang menjadi pedoman dalam
menjalankan syariat dan pembinaan umat. Bukan menggeser isi dan substansi namun
menyelaraskan metode kajian (manhaj) agar hasil pemaknaan teks yang sudah ada menjadi lebih
dapat memberikan manfaat nyata dalam menyikapi berbagai perkembangan dan perubahan.
Dalam kehidupan sosial umat tidak lagi berhubungan terbatas antar orang yang memiliki
ideologi sama akan tetapi dengan berbagai lapisan kelompok masyarakat yang berlatar belakang
bermacam-macam kebutuhan dan kepentingan. Kondisi itu membutuhkan sikap terbuka tidak
hanya membatasi pada basis kesamaan ideologi, agar terjadi kenyamanan berinteraksi serta
mudah membangun hubungan kerjasama dan bermitra dengan pihak lain berdasar kepentingan
organisasi.
Beragam kebutuhan umat tidak lagi dapat dipenuhi oleh fasilitas hidup seadanya yang tersedia
di lingkungan. Meningkatnya beragam kebutuhan menjadi pertanda berkembangnya budaya
warga yang membutuhkan perimbangan sarana untuk memenuhinya. Tingkat pemenuhan
kebutuhan sudah menjadi gaya hidup (life style) yang tidak lagi dapat dihindari, selain menjadi
symbol status sosial (social stratification) juga menjadi pertanda bahwa kesejahteraan warga
telah ada perkembangan. Agar tidak terjadi kesenjangan budaya (cultural gap) diperlukan
strategi bagaimana harus mengonsumsinya sehingga membutuhkan sikap dan pengetahuan
tentang berbudaya yang maju serta tidak mengabaikan aturan dan norma sosial
keagamaan (syariat).
Tuntutan perbaikan hidup tidak terlepas dari keinginan warga untuk memperbaiki kondisi
perekonomian. Naluri ekonomi warga senantiasa tertantang untuk menangkap setiap peluang
ekonomi yang dapat mendatangkan manfaat yang berakhir dengan peningkatan kesejahteraan
(taraf hidup). Permasalahannya adalah bagaimana warga dapat merasa ‘enjoy’ dalam
mengembangkan usaha tanpa harus dihadapkan dengan kendala hukum syariat, sementara
pekerjaan sudah menunggu untuk berkompetisi dengan pihak lain. Dibutuhkan dukungan
sikap enterpreneurship yang tinggi serta ‘kenyamanan’ berusaha baik secara material maupun
immaterial untuk dapat merubah kualitas hidup warga.
Berhubungan dengan dunia politik memang tidak dapat dihindari, namun perlu sikap yang
mengacu pada prinsip yang tegas. Kearifan berpolitik dengan lebih mengedepankan organisasi
sebagai kekuatan politik bukan lembaga politik menjadi sebuah keniscayaan, sehingga terhindar
dari pertautan langsung dengan politik praktis yang berdampak pada pengambilan manfaat yang
serba terbatas. Menggerakkan kekuatan politik (political power) untuk membangun dan
meningkatkan kepeloporan dalam pemberdayaan masyarakat (social empowering) dan
demokratisasi memiliki manfaat yang lebih besar karena memiliki posisi tawar yang positif
kepada kekuasaan yang dapat berpengaruh pada kesediaan kerjasama dalam pengambilan
kebijakan publik untuk kesejahteraan warga.
Keinginan kuat untuk memberikan yang terbaik terutama bagi generasi muda, menjadi dasar
gerakan pembaruan dalam memahami rumusan aswaja agar lebih dapat memberikan kebebasan
untuk mengembangkan potensi dan kreativitas berpikir dan bertindak sehingga lebih produktif.
Jika potensi tersebut dibiarkan ada beberapa kemungkinan: pertama, mandegnya kegiatan
pengembangan kajian segala yang berhubungan dengan faham aswaja sebagai akibat ruang
yang memberikan kebebasan berpikir terbelenggu oleh pembatasan yang kaku dengan
pemahaman yang telah ada. Kedua, terputusnya jaringan hubungan kemasyarakatan baik yang
bersifat kelembagaan, kelompok, dan perorangan karena tidak adanya akses akibat tidak ada
keberanian secara aktif dari warga untuk melakukan hubungan kerja sama apa lagi
kemitraan. Ketiga, lemahnya rasa kebanggaan dan
kepemilikan (ownership) terhadap aswaja karena dirasa tidak ada lagi sesuatu yang patut
dibanggakan sehingga pada saatnya akan terjadi krisis kader dan umat yang bersedia menjadi
pengikut.
Pada sisi lain, di tingkat masyarakat terjadi gelombang Islamisasi yang cukup massif dengan
munculnya gerakan-gerakan keislaman yang mengaspirasikan ideologi Islam garis keras dan
Islam transnasional melalui kemunculan organisasi-organisasi keislaman seperti Majlis
Mujahidin Indonesia, Front Pembela Islam, Hizbut Tahrir Indonesia, Laskar Jihad, dan
semacamnya. Agenda politik di balik kemunculan organisasi-organisasi ini adalah hendak
mengusung Islamisasi masyarakat yang selama ini dianggap gagal dilaksanakan oleh organisasi-
organisasi sosial-kemasyarakatan.
Semaraknya ideologi Islam ke ruang publik, memunculkan sejumlah kekhawatiran yang bisa
mengancam komunitas Islam aswaja. Pertama, terjadinya perebutan massa di akar rumput yang
menyebabkan eksodus ideologis warga organisasi Islam moderat ke ideologi Islam radikal.
Ancaman “pengambilan” atau perpindahan ideology ini bukan saja dialami oleh NU, tetapi juga
terjadi di ormas lain seperti Muhammadiyah. Hal ini terjadi salah satunya akibat “pengosongan
atau pembiaran” tempat-tempat ibadah seperti langgar, mushalla dan masjid yang sebelumnya
diurus oleh kelompok Islam aswaja kemudian diambil alih oleh sekelompok Muslim yang
berhaluan garis keras.
Kedua, ancaman juga bisa berupa simpati atau dukungan diam-diam (tacit support) yang datang
dari kelompok Islam aswaja untuk aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh kaum Islam garis
keras. Perpindahan ideology dari Islam aswaja ke Islam radikal hanya membutuhkan satu
langkah saja, yakni munculnya simpati dan dukungan dari kelompok Islam aswaja ke Islam
garis keras. Mereka berdalih bahwa kaum Islamis ini sedang berjihad melawan “musuh-musuh”
Allah, sebuah kondisi yang membutuhkan solidaritas dari seluruh ummat Islam. Ummat Islam
dibayangkan sebagai sebuah entitas tunggal yang saling tergantung, membutuhkan dan
menolong satu sama lain, dengan mengibaratkan sebuah organisme, maka sebuah organ akan
merasa sakit jika organ lainnya sedang sakit.
Hal yang perlu digaris bawahi dari penjelasan di atas adalah pentingnya merumuskan kembali
faham aswaja yang telah menjadi doktrin organisasi, agar cara-cara yang ditempuh oleh umat
tidak terjerembab pada cara-cara radikal yang jelas kontra produktif dengan upaya membangun
citra Islam ramah, toleran dan inklusif (aswaja). Akibat terbatasnya informasi dan pengetahuan
tentang Islam aswaja yang benar, maka masyarakat lain membaca dan melihat bahwa Islam di
Indonesia disama-ratakan yakni semua memiliki haluan garis keras, padahal kenyataan
sesungguhnya tidak demikian.
Dikutip dari Aswaja Center NU Kab. Pati, oleh DR. Abdul Karim, M.Pd