Terowongan
Kelompok D7:
Abstrak
Diagnosis klinis yang dapat diambil berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang adalah TBC resisten obat yang merupakan dampak dari
pneumokoniosis batubara yang disebabkan karena penurunan imun pasien. Identifikasi
penyakit akibat kerja dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan klinis (individu) yaitu
7 langkah diagnosis okupasi, antara lain diagnosis klinis, pajanan yang dialami, hubungan
pajanan dengan diagnosis klinis, jumlah pajanan yang dialami, peranan faktor individu, faktor
lain diluar pekerjaan, serta menegakkan diagnosis PAK/ bukan PAK / diperberat PAK.
Pneumokoniosis pekerja batubara, disebut juga Coal Worker Pneumokoniosis (CWP) dikenal
sebagai penyakit penambang batu bara, penyakit paru hitam, antrakosis, dan asma penambang,
merupakan penyakit pulmoner nodular progresif yang bisa berbentuk sederhana (ditandai
dengan opasitas paru kecil) atau disertai komplikasi (fibrosis raksasa progresif yang ditandai
gumpalan jaringan fibrosa dalam paru). Seseorang berisiko menderita CWP tergantung pada
durasi pajanan pasien terhadap debu batu bara (biasanya selama 15 tahun atau lebih), intensitas
pajanan (banyaknya debu, ukuran partikel), kedekatannya pada tempat penambangan, konten
silika batu bara, kerentanan pekerja. Gejala yang timbul dapat berupa gejala respirasi seperti
batuk berdahak yang cenderung menetap. Faktor yang mempengaruhi hubungan dengan
pajanan lainnya adalah didalam debu batubara terdapat silika, yang dimana pasien dapat
mengalami silikosis. Dan salah satu komplikasi dari silikosis adalah penurunan sistem imun
yang menyebabkan seseorang dengan mudah terjangkit infeksi mikobakteria
(silikotuberkulosis).
Gejala pernapasan lainnya seperti sesak napas terutama saat melakukan aktifitas dan nyeri
dada. Pencegahan merupakan tindakan yang paling penting. Regulasi dalam pekerjaan dan
kontrol pajanan debu telah dilakukan sejak lama terutama di negara industri dan terus dilakukan
dengan perbaikan-perbaikan. Tindakan preventif pada saat ini untuk mencegah terjadinya
komplikasi yang lebih parah.
Pendahuluan
Di era globalisasi ini kemajuan teknologi dan industri kian meningkat sebagai upaya
pencapaian swasembada bahan pokok. Hal ini tentunya menimbulkan dampak negatif akibat
adanya limbah hasil industri baik berupa limbah padat cair maupun gas. Limbah gas maupun
partikel padat yang melayang di udara dapat menimbulkan polusi udara yang berdampak pada
gangguan saluran pernapasan bagi pekerja maupun penduduk sekitar. Status kesehatan
pekerja akan berdampak pada performa individu selama bekerja. Pekerja yang sehat akan
lebih produktif dibandingkan pekerja yang tidak sehat. Namun, seorang pekerja tentu tidak
akan selamanya sehat, terkadang pajanan di lingkungan kerja justru menjadi faktor penting
yang menurunkan status kesehatan pekerja. Pajanan yang dapat juga diistilahkan sebagai
“hazard” terbagi mejadi beberapa jenis, yaitu physical hazard (fisik), chemical hazard
(kimia), biological hazard (biologik), ergonomic hazard (ergonomi), psychosocial hazard
(psikososial). Kesemua jenis hazard ini dapat menimbulkan gangguan pada pekerja, dengan
mekanismenya masing-masing. Salah satu yang akan dibahas di dalam makalah ini ialah
gangguan pada pekerja akibat chemical hazard akibat terpapar debu batubara. Tujuan penulisan
makalah ini adalah untuk menambah pemahaman kita mengenai pneumokoniosis serta langkah
– langkah identifikasi penyakit akibat kerja (PAK).
Skenario 3
Seorang laki – laki pekerja tambang usia 45 tahun datang ke klinik perusahaan dengan keluhan
batuk sejak 1 tahun terakhir.
Keluhan tambahan: batuk terus-menerus dengan lendir dan darah. Disertai keringat malam dan
demam. Penurunan berat adan yang drastis sejak 1 tahun terakhir. Pasien adalah pekerja
tambang yang bekerja di terowongan sejak 10 tahun yang lalu. Pasien bukan perokok dan
pasien sudah mengonsumsi OAT namun belum ada perbaikan.
Anamnesis
Anamnesis merupakan wawancara riwayat kesehatan pasien baik secara langsung atau tidak
langsung yang memiliki tiga tujuan utama yaitu mengumpulkan informasi, membagi informasi,
dan membina hubungan saling percaya untuk mendukung kesejahteraan pasien. Informasi atau
data yang dokter dapatkan dari wawancara merupakan data subjektif berisi hal yang diutarakan
pasien kepada dokter mulai dari keluhan utama hingga riwayat pribadi dan sosial yang
mencakup identitas, keluhan utama, penyakit saat ini, riwayat penyakit dahulu, riwayat
penyakit keluarga, riwayat penyakit keluarga, riwayat sosial. Pada kasus ini, anamnesis
mengenai keluhan utama dapat dimulai dari menanyakan batuk yang dialami sudah sejak
kapan, sifat batuknya (kering/berdahak), konsistensi batuk, apakah batuk disertai dengan darah.
Apakah disertai keluhan lain (flu, demam, malaise). Apakah pasien pernah mengalami keluhan
yang sama sebelumnya. Apakah di keluarga pasien ada yang mengalami batuk-batuk seperti
pasien juga. Perlu ditanyakan juga, apakah pasien tinggal di lingkungan yang padat penduduk.
Bagaimana tingkat kesehatan warga disekitar tempat tinggal pasien. Bagaiman keadaan rumah
pasien (kebersihan, ventilasi), dalam 1 rumah, pasien tinggal dengan siapa saja. Sebelumnya
apakah pasien sudah mengonsumsi obat-obatan, apakah di keluarga atau lingkungan tempat
tinggal pasien ada yang mengonsumsi OAT juga atau tidak.
Anamesis selanjutnya mengarah ke riwayat pekerjaan pasien. Perlu ditanyakan pasien bekerja
dimana dan bekerja dibagian apa, sudah berapa lama pasien bekerja ditempat itu, riwayat
pekerjaan sebelumnya (apa pekerjaan ditempat sebelumnya), bahan dan peralatan apa saja yang
digunakan untuk bekerja, bagaimana proses kerjanya, apa barang yang diproduksi / dihasilkan,
berapa lama waktu bekerja dalam 1 hari, apa saja pajanan/ kemungkinan pajanan yang dialami
oleh pasien, apakah pasien menggunakan alat pelindung diri (APD) atau tidak, APD apa yang
digunakan oleh pasien, apakah ada hubungan gejala batuk dengan waktu kerja pasien, apakah
teman sekerja pasien ada yang mengalami keluhan batuk yang sama dengan pasien.
Pemeriksaan Fisik
- Inspeksi bagian thorax anterior
- Palpasi permukaan thorax
- Perkusi thorax
- Auskultasi suara napas
Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan, karena dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisik TB paru sulit dibedakan dengan pneumonia biasa. TempAt
kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks (puncak) paru. Bila
dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan perkusi yang redup dan
auskultasi suara napas bronkial. Akan didapatkan juga suara napas tambahan berupa ronki
basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi penebalan pleura, suara nafasnya
menjadi vesikular melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan
suara hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara amforik.
Pada TB paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi
otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi menciut dan menarik isi mediastinum atau
paru lainnya. Bila TB mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru yang sakit terlihat
agak tertinggal dalam pernapasan. Perkusi memberikan suara pekak, dan auskultasi
memberikan suara napas yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali.1
Pemeriksaan Penunjang
- Bakteriologi secara mikroskopis dan kultur sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman BTA,
diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Di samping itu pemeriksaan sputum juga
dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Pemeriksaan
ini mudah dan murah sehingga dapat dikerjakan di lapangan (puskesmas). Tetapi
kadang-kadang tidak mudah untuk mendapat sputum, terutama pasien yang tidak batuk
atau batuk yang non produktif Dalam hal ini dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan
sputum, pasien dianjurkan minum air sebanyak + 2 liter dan diajarkan melakukan
refleks batuk. Dapat juga dengan memberikan tambahan obat-obat mukolitik eks-
pektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. Bila masih
sulit, sputum dapat diperoieh dengan cara bronkos kopi diambil dengan brushing atau
bronchial washing atau BAL (bronchn alveolar lavage). BTA dari sputum bisa juga
didapat dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak karena
mereka sulit mengeluarkan dahaknya. Sputum yang akan diperiksa hendaknya sesegar
mungkin.
Pemeriksaan mikroskopis dapat dengan pewarnaan Ziehl-Nielsen atau dengan
fluorosens pewarnaan auramin-rhodamin. Sedangkan, pemeriksaan kultur dilakukan
dengan metode konvensional, yaitu dengan menggunakan media Lowenstein-jensen.
Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah:
3 positif atau 2 positif + 1 negatif: BTA positif1
- Pemeriksaan radiologi.
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk
menemukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya lebih
dibandingkan pemeriksaan sputum, tetapi dalam beberapa hal ia memberikan
keuntugan seperti pada tuberkulosis anak-anak dan tuberlailosis milier. Pada kedua hal
di atas diagnosis dapat diperoleh malalui pemeriksaan radiologis dada, sedangkan
pemeriksaan sputum hampir selalu negatif.
Lokasi lesi tuberkulosis umurnnya di daerah aneks paru (segmen apikal lobus atas atau
segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian inferior)
ataau di daerah hilus menyerupai tumor paru (misalnya pada tuberkulosis
emdobronkial). Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang-sarang pneu-
monia, gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas
yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa
bulatan dengan bafas yang tegas. Lesi ini dikenal sebagai tuberkuloma.
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Gambaran yang dicurigai sebagai lesi TB
aktif adalah:
1. Bayangan berawan/nodular di segmen apical dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah
2. Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular
3. Bayangan bercak milier
4. Efusi pleura unilateral/bilateral
Dalam kedokteran okupasi penting untuk dilakukan pemantauan (monitoring) tempat kerja,
antara lain:3
Dalam kasus ini, faktor individu yang perlu kita tanyakan kepada pasien adalah
apakah pasien mempunyai riwayat penyakit paru sebelumnya.
6. Faktor Lain di luar Pekerjaan
Selain daripada kualitas dan kuantitas paparan dalam pekerjaan, juga dapat
ditimbulkan dari faktor lain di luar pekerjaan seperti kebiasaan, pekerjaan di rumah
atau pekerjaan sambilan. Kebiasaan yang buruk seperti merokok, juga membuat
lebih rentan pada infeksi oleh karena zat yang terkandung di dalamnya dapat
merusak sistem pertahanan alami dalam tubuh kita, sehingga tidak dapat berfungsi
sebagaimana mestinya. Selain itu rokok juga dapat memperberat kondisi pasien
terhadap penyakit, bahkan dengan merokok seseorang lebih mungkin mengalami
bentuk lanjut daripada penyakit itu sendiri dan bahkan mempercepat munculnya
komplikasi yang berat.
7. Diagnosis Okupasi
Diagnosis okupasi dapat ditegakkan jika diagnosis klinis, pajanan, hubungan
penyakit dengan pajanan, jumlah pajanan menunjukan adanya hubungan dengan
keluhan pasien sekarang, sedangkan faktor individu dan faktor di luar pekerjaan
tidak berhubungan dengan keluhan pasien. Tetapi, jika ternyata semua menunjukan
adanya hubungan maka diagnosis pasien adalah penyakit yang diperberat akibat
pekerjaan, bukan penyakit akibat pekerjaan. Sedangkan jika diagnosis klinis,
pajanan, hubungan penyakit dengan pajanan, jumlah pajanan tidak menunjukan
hubungan, melainkan faktor individu dan faktor di luar individu yang menunjukan
hubungan maka diagnosisnya bukan penyakit akibat pekerjaan. Kemudian jika
informasi dari pasien tidak jelas, maka diagnosis okupasi tidak dapat ditegakkan
dan butuh informasi lebih lanjut dari pasien.
Istilah pneumokoniosis berasal dari bahasa yunani yaitu “pneumo” berarti paru dan
“konis” berarti debu. Terminologi pneumokoniosis pertama kali digunakan untuk
menggambarkan penyakit paru yang berhubungan dengan inhalasi debu mineral.
International Labour Organization (ILO) mendefinisikan pneumokoniosis sebagai
suatu kelainan yang terjadi akibat penumpukan debu dalam paru yang
menyebabkan reaksi jaringan terhadap debu tersebut. Reaksi utama akibat pajanan
debu di paru adalah fibrosis. Penyebab Pneumokoniosis adalah inhalasi debu
mineral. Pneumokoniosis digunakan untuk menyatakan berbagai keadaan berikut :
a. Kelainan yang terjadi akibat pajanan debu anorganik seperti silika (silikosis),
asbes (asbestosis) dan timah (stannosis).
b. Kelainan yang terjadi akibat pekerjaan seperti pneumokoniosis batubara.
c. Kelainan yang ditimbulkan oleh debu organik seperti kapas (bisinosis).
Pneumokoniosis pekerja batubara, disebut juga Coal Worker Pneumokoniosis
(CWP) dikenal sebagai penyakit penambang batu bara, penyakit paru hitam, antrakosis,
dan asma penambang, merupakan penyakit pulmoner nodular progresif yang bisa
berbentuk sederhana (ditandai dengan opasitas paru kecil) atau disertai komplikasi
(fibrosis raksasa progresif yang ditandai gumpalan jaringan fibrosa dalam paru). Karena
pada debu batubara terkadang juga terdapat debu silika, maka pneumokoniosis juga
sering disertai dengan penyakit silicosis. Bila hal ini terjadi maka penyakitnya disebut
silikoantrakosis. Perbedaan ini mudah dilihat dari foto toraks yang menunjukkan
kelainan pada paru-paru akibat adanya debu batubara dan debu silika
2. Antrakosis
Penyakit ini disebabkan karena penimbunan debu batubara, terutama batubara jenis
antrasit, yang paling banyak menderita penyakit antrakosis ini adalah pekerja pekerja
tambang batubara. Gejala-gejalanya adalah : batuk-batuk dan pernafasan sesak,
dahaknya berwarna kehitam-hitaman, dada penderita menjadi bulat dan ujung jari-
jarinya membengkak.
3. Asbestosis
Penyebabnya adalah penimbunan debu asbes di dalam paru-paru, gejalanya adalah
batuk-batuk, banyak dahaknya dan sesak nafas. Dengan pemeriksaan Rontent akan
nampak bahwa pada paru-paru penderita asbestosis ini ada noda-nodanya. Penderita
asbestosis banyak dijumpai pada pekerja-pekerja tambang asbes dan industry-industri
tekstil yang menggunakan asbes.
4. Stanosis
Penyebabnya adalah penimbunan debu timah putih dalam paru-paru. Banyak terdapat
pada pekerja -pekerja tambang timah putih, penyakit ini tidak begitu berbahaya, tetapi
karena timah putih ada hubungannya dengan batuan asam maka biasanya penderita
Stanosis ini disertai dengan silikosis.
5. Siderosis
Penyebabnya adalah penimbunan debu siderite (besi karbonat) dalam paru-paru,
penyakit ini banyak terdapat pada pekerja-pekerja tambang bijih besi. Penyakit
siderosis ini tidak begitu berbahaya hanya kadang-kadang penyakit ini disertai silikosis
barulah penyakit siderosis ini berbahaya.
6. Talkosis
Penyebabnya adalah penimbunan debu talk pada paru-paru, karena talk ini suatu silikat,
maka kadang-kadang talkosis disertai pula dengan silikosis. Penyakit ini banyak
terdapat pada pekerja-pekerja tambang talk, tidak berbahaya.
Pneumokoniosis Batubara
Seseorang berisiko menderita CWP tergantung pada:7
1. Durasi pajanan pasien terhadap debu batu bara (biasanya selama 15 tahun atau lebih)
2. Intensitas pajanan (banyaknya debu, ukuran partikel)
3. Kedekatannya pada tempat penambangan
4. Konten silika batu bara
5. Kerentanan pekerja.
Silikosis
Tempat kerja yang beresiko silikosis:
- Pertambangan, pembuatan terowongan, galian, dll
Permukaan tanah: batubara, besi, logam, bukan besi
- Penggalian granit, pasir, batu tulis, tukang batu, granit, pembuatan monumen
- Penuangan logam, penggosokan, keramik.
Pencegahan
Pencegahan merupakan tindakan yang paling penting. Regulasi dalam pekerjaan dan
kontrol pajanan debu telah dilakukan sejak lama terutama di negara industri dan terus
dilakukan dengan perbaikan-perbaikan. Tindakan preventif pada saat ini untuk mencegah
terjadinya komplikasi yang lebih parah. Untuk menegakkan diagnosis dari penyakit ini
diperlukan anamnesis yang cermat terhadap:
a. Keluhan yang dirasakan oleh penderita.
b. Riwayat pekerjaan seperti lama bekerja, penempatan tugas, dan lingkungan.
c. Kebiasaan penderita seperti menggunakan alat pelindung diri (APD) dan kebiasaan
merokok.
Penatalaksanaan
- Menghindari pajanan lebih lanjut
- Pemberian oksigen
- Pemberian antibiotik
- Pemberian OAT
- Pencucian bronkus
- Pemberian kortikosteroid
Kesimpulan
Pneumokoniosis adalah penyakit dalam pekerjaan yang kronik akibat menghirup debu
dalam waktu yang lama, dengan ditandai adanya inflamasi di alveolus, sehingga
berdampak pada kelainan paru yang irreversible. Pneumokoniosis batu bara atau yang
disebut CWP (Coal Worker’s Pneumokoniosis) merupakan penyakit saluran pernapasan
yang disebabkan pajanan debu yang berasal dari industri batu bara dari berbagai tahap
produksinya yang akan menimbulkan gejala klinis batuk progresif dengan dahak
berwarna hitam, sesak napas, dan nyeri dada. CWP dapat menjadi fibrosis paru jika terus
terpapar selama kurang lebih 10 tahun. Pemakaian APD bermanfaat untuk melindungi
tenaga kerja dan juga merupakan salah satu upaya mencegah terjadinya penyakit akibat
kerja.
Daftar pustaka
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam Jilid III Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. h.2231-46
2. Pneumoconiosis and Advanced Occupational Lung Disease Among Surface Coal
Miners | Coal Worker’s Pneumoconiosis J MAJORITY | Volume 4 Nomor 1| 56 16
States, 2010–2011. / Vol. 61 / No. 23. p. 431.