Anda di halaman 1dari 17

Pneumokoniosis pada Pekerja Tambang yang Bekerja di

Terowongan
Kelompok D7:

1. Alfia Lania Sinta Hosio 102011094


2. Ellys Eunice Lubis 102012015
3. Nurlitha Sepadaniati 102012088
4. Elisabeth Lidia Gunawan 102012147
5. Steven Lie 102012201
6. Priscilla Natalie 102012356
7. Ogi Leksi Susanto 102012448
8. Brenda Tjoanda 102012470

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Alamat Kosrespondensi Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
Telephone: (021) – 56942061, fax: (021) – 5631731

Abstrak
Diagnosis klinis yang dapat diambil berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang adalah TBC resisten obat yang merupakan dampak dari
pneumokoniosis batubara yang disebabkan karena penurunan imun pasien. Identifikasi
penyakit akibat kerja dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan klinis (individu) yaitu
7 langkah diagnosis okupasi, antara lain diagnosis klinis, pajanan yang dialami, hubungan
pajanan dengan diagnosis klinis, jumlah pajanan yang dialami, peranan faktor individu, faktor
lain diluar pekerjaan, serta menegakkan diagnosis PAK/ bukan PAK / diperberat PAK.
Pneumokoniosis pekerja batubara, disebut juga Coal Worker Pneumokoniosis (CWP) dikenal
sebagai penyakit penambang batu bara, penyakit paru hitam, antrakosis, dan asma penambang,
merupakan penyakit pulmoner nodular progresif yang bisa berbentuk sederhana (ditandai
dengan opasitas paru kecil) atau disertai komplikasi (fibrosis raksasa progresif yang ditandai
gumpalan jaringan fibrosa dalam paru). Seseorang berisiko menderita CWP tergantung pada
durasi pajanan pasien terhadap debu batu bara (biasanya selama 15 tahun atau lebih), intensitas
pajanan (banyaknya debu, ukuran partikel), kedekatannya pada tempat penambangan, konten
silika batu bara, kerentanan pekerja. Gejala yang timbul dapat berupa gejala respirasi seperti
batuk berdahak yang cenderung menetap. Faktor yang mempengaruhi hubungan dengan
pajanan lainnya adalah didalam debu batubara terdapat silika, yang dimana pasien dapat
mengalami silikosis. Dan salah satu komplikasi dari silikosis adalah penurunan sistem imun
yang menyebabkan seseorang dengan mudah terjangkit infeksi mikobakteria
(silikotuberkulosis).

Gejala pernapasan lainnya seperti sesak napas terutama saat melakukan aktifitas dan nyeri
dada. Pencegahan merupakan tindakan yang paling penting. Regulasi dalam pekerjaan dan
kontrol pajanan debu telah dilakukan sejak lama terutama di negara industri dan terus dilakukan
dengan perbaikan-perbaikan. Tindakan preventif pada saat ini untuk mencegah terjadinya
komplikasi yang lebih parah.

Pendahuluan
Di era globalisasi ini kemajuan teknologi dan industri kian meningkat sebagai upaya
pencapaian swasembada bahan pokok. Hal ini tentunya menimbulkan dampak negatif akibat
adanya limbah hasil industri baik berupa limbah padat cair maupun gas. Limbah gas maupun
partikel padat yang melayang di udara dapat menimbulkan polusi udara yang berdampak pada
gangguan saluran pernapasan bagi pekerja maupun penduduk sekitar. Status kesehatan
pekerja akan berdampak pada performa individu selama bekerja. Pekerja yang sehat akan
lebih produktif dibandingkan pekerja yang tidak sehat. Namun, seorang pekerja tentu tidak
akan selamanya sehat, terkadang pajanan di lingkungan kerja justru menjadi faktor penting
yang menurunkan status kesehatan pekerja. Pajanan yang dapat juga diistilahkan sebagai
“hazard” terbagi mejadi beberapa jenis, yaitu physical hazard (fisik), chemical hazard
(kimia), biological hazard (biologik), ergonomic hazard (ergonomi), psychosocial hazard
(psikososial). Kesemua jenis hazard ini dapat menimbulkan gangguan pada pekerja, dengan
mekanismenya masing-masing. Salah satu yang akan dibahas di dalam makalah ini ialah
gangguan pada pekerja akibat chemical hazard akibat terpapar debu batubara. Tujuan penulisan
makalah ini adalah untuk menambah pemahaman kita mengenai pneumokoniosis serta langkah
– langkah identifikasi penyakit akibat kerja (PAK).

Skenario 3
Seorang laki – laki pekerja tambang usia 45 tahun datang ke klinik perusahaan dengan keluhan
batuk sejak 1 tahun terakhir.
Keluhan tambahan: batuk terus-menerus dengan lendir dan darah. Disertai keringat malam dan
demam. Penurunan berat adan yang drastis sejak 1 tahun terakhir. Pasien adalah pekerja
tambang yang bekerja di terowongan sejak 10 tahun yang lalu. Pasien bukan perokok dan
pasien sudah mengonsumsi OAT namun belum ada perbaikan.

Anamnesis
Anamnesis merupakan wawancara riwayat kesehatan pasien baik secara langsung atau tidak
langsung yang memiliki tiga tujuan utama yaitu mengumpulkan informasi, membagi informasi,
dan membina hubungan saling percaya untuk mendukung kesejahteraan pasien. Informasi atau
data yang dokter dapatkan dari wawancara merupakan data subjektif berisi hal yang diutarakan
pasien kepada dokter mulai dari keluhan utama hingga riwayat pribadi dan sosial yang
mencakup identitas, keluhan utama, penyakit saat ini, riwayat penyakit dahulu, riwayat
penyakit keluarga, riwayat penyakit keluarga, riwayat sosial. Pada kasus ini, anamnesis
mengenai keluhan utama dapat dimulai dari menanyakan batuk yang dialami sudah sejak
kapan, sifat batuknya (kering/berdahak), konsistensi batuk, apakah batuk disertai dengan darah.
Apakah disertai keluhan lain (flu, demam, malaise). Apakah pasien pernah mengalami keluhan
yang sama sebelumnya. Apakah di keluarga pasien ada yang mengalami batuk-batuk seperti
pasien juga. Perlu ditanyakan juga, apakah pasien tinggal di lingkungan yang padat penduduk.
Bagaimana tingkat kesehatan warga disekitar tempat tinggal pasien. Bagaiman keadaan rumah
pasien (kebersihan, ventilasi), dalam 1 rumah, pasien tinggal dengan siapa saja. Sebelumnya
apakah pasien sudah mengonsumsi obat-obatan, apakah di keluarga atau lingkungan tempat
tinggal pasien ada yang mengonsumsi OAT juga atau tidak.

Anamesis selanjutnya mengarah ke riwayat pekerjaan pasien. Perlu ditanyakan pasien bekerja
dimana dan bekerja dibagian apa, sudah berapa lama pasien bekerja ditempat itu, riwayat
pekerjaan sebelumnya (apa pekerjaan ditempat sebelumnya), bahan dan peralatan apa saja yang
digunakan untuk bekerja, bagaimana proses kerjanya, apa barang yang diproduksi / dihasilkan,
berapa lama waktu bekerja dalam 1 hari, apa saja pajanan/ kemungkinan pajanan yang dialami
oleh pasien, apakah pasien menggunakan alat pelindung diri (APD) atau tidak, APD apa yang
digunakan oleh pasien, apakah ada hubungan gejala batuk dengan waktu kerja pasien, apakah
teman sekerja pasien ada yang mengalami keluhan batuk yang sama dengan pasien.

Pemeriksaan Fisik
- Inspeksi bagian thorax anterior
- Palpasi permukaan thorax
- Perkusi thorax
- Auskultasi suara napas

Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan, karena dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisik TB paru sulit dibedakan dengan pneumonia biasa. TempAt
kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks (puncak) paru. Bila
dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan perkusi yang redup dan
auskultasi suara napas bronkial. Akan didapatkan juga suara napas tambahan berupa ronki
basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi penebalan pleura, suara nafasnya
menjadi vesikular melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan
suara hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara amforik.
Pada TB paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi
otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi menciut dan menarik isi mediastinum atau
paru lainnya. Bila TB mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru yang sakit terlihat
agak tertinggal dalam pernapasan. Perkusi memberikan suara pekak, dan auskultasi
memberikan suara napas yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali.1

Pemeriksaan Penunjang
- Bakteriologi secara mikroskopis dan kultur sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman BTA,
diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Di samping itu pemeriksaan sputum juga
dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Pemeriksaan
ini mudah dan murah sehingga dapat dikerjakan di lapangan (puskesmas). Tetapi
kadang-kadang tidak mudah untuk mendapat sputum, terutama pasien yang tidak batuk
atau batuk yang non produktif Dalam hal ini dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan
sputum, pasien dianjurkan minum air sebanyak + 2 liter dan diajarkan melakukan
refleks batuk. Dapat juga dengan memberikan tambahan obat-obat mukolitik eks-
pektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. Bila masih
sulit, sputum dapat diperoieh dengan cara bronkos kopi diambil dengan brushing atau
bronchial washing atau BAL (bronchn alveolar lavage). BTA dari sputum bisa juga
didapat dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak karena
mereka sulit mengeluarkan dahaknya. Sputum yang akan diperiksa hendaknya sesegar
mungkin.
Pemeriksaan mikroskopis dapat dengan pewarnaan Ziehl-Nielsen atau dengan
fluorosens pewarnaan auramin-rhodamin. Sedangkan, pemeriksaan kultur dilakukan
dengan metode konvensional, yaitu dengan menggunakan media Lowenstein-jensen.
Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah:
3 positif atau 2 positif + 1 negatif: BTA positif1

- Pemeriksaan radiologi.

Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk
menemukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya lebih
dibandingkan pemeriksaan sputum, tetapi dalam beberapa hal ia memberikan
keuntugan seperti pada tuberkulosis anak-anak dan tuberlailosis milier. Pada kedua hal
di atas diagnosis dapat diperoleh malalui pemeriksaan radiologis dada, sedangkan
pemeriksaan sputum hampir selalu negatif.

Lokasi lesi tuberkulosis umurnnya di daerah aneks paru (segmen apikal lobus atas atau
segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian inferior)
ataau di daerah hilus menyerupai tumor paru (misalnya pada tuberkulosis
emdobronkial). Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang-sarang pneu-
monia, gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas
yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa
bulatan dengan bafas yang tegas. Lesi ini dikenal sebagai tuberkuloma.

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Gambaran yang dicurigai sebagai lesi TB
aktif adalah:
1. Bayangan berawan/nodular di segmen apical dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah
2. Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular
3. Bayangan bercak milier
4. Efusi pleura unilateral/bilateral

- Uji tuberkulin (tes Mantoux)


Uji ini menjadi alat diagnostik utama pada kasus TB. Sebanyak 0,1 ml tuberkulin jenis
PPD-RT 23 2 TU atau PPD-S 5 TU disuntikan intrakutan di bagian volar lengan bawah.
Setelah 48-72 jam, daerah suntikan dibaca dan dilaporkan diameter indurasi yang
terjadi dalam satuan milimeter. Perlu diperhatikan bahwa diameter yang diukur adalah
diameter indurasi bukan diameter eritema. Hasil uji tuberkulin dapat dipengaruhi oleh
status BCG . Pengaruh BCG terhadap reaksi positif tuberkulin paling lama berlangsung
hingga 5 tahun setelah penyuntikan. Jadi, ketika membaca uji tuberkulin pada anak di
atas 5 tahun, status BCG dapat dihiraukan.
Uji tuberkulin dinyatakan positif apabila diameter indurasi ≥5 mm pada anak dengan
faktor risiko seperti menderita HIV dan malnutrisi berat; dan ≥10 mm pada anak lain
tanpa memandang status BCG.
- Pemeriksaan darah.
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya kadang-kadang
meragukan, hasilnya tidak sensitif dan juga tidak spesifik. Pada saat tuberkulosis baru
mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung
jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju endap darah
mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan
jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi.
Hasil pemeriksaan darah lain didapatkan juga:
1). Anemia ringan dengan gambaran normokrom dan normositer;
2). Gama globulin meningkat;
3). Kadar natrium darah menurun.
Pemeriksaan tersebut di atas nilainya juga tidak spesifik.
Pemeriksaan serologis yang pernah dipakai adalah reaksi Takahashi. Pemeriksaan ini
dapat menunjukkan proses tuberkulosis masih aktif atau tidak. Kriteria positif yang
dipakai di Indonesia adalah titer 1/128. Pemeriksaan ini juga kurang mendapat
perhatian karena angka-angka positif palsu dan negatif palsunya masih besar.1
- Pemeriksaan faal paru memerlukan pemeriksaan volume paru dengan
spirometri dan pemeriksaan kapasitas difusi. Pemeriksaan faal paru diperlukan
untuk menilai hendaya yang telah terjadi. Pada pemeriksaan spirometri pada
pneumokoniosis dapat ditemukan penurunan nilai fungsi paru yang berarti, bisa
juga terjadi obstruksi, restriksi ataupun campuran.2

Pemeriksaan Tempat Kerja


Pemeriksaan tempat kerja misalnya penerangan, kebisingan, dan kelembaban. Jika
memungkinkan akan jauh lebih baik dilakukan survey pada tempat kerja, yang perlu dinilai
adalah tentang bahan baku, proses produksi, dan hasil produksi, aspek kimia, mekanik,
ergonomi, biologi, psikososial, data tenaga kerja menunjukkan jumlah populasi yang terpajan),
pelayanan kesehatan yang tersedia, serta fasilitas pendukung lainnya.3

Dalam kedokteran okupasi penting untuk dilakukan pemantauan (monitoring) tempat kerja,
antara lain:3

- Kadar bahan di udara dimonitor (frekuensi)


- Apakah hasil diatas menunjukkan adanya bahaya kesehatan
- Apakah dilakukan pengukuran monitoring biologik
- Ventilasi ruangan yang digunakan
- Inspeksi alat pelindung diri (APD)
- Kesejahteraan dan hygiene perorangan

Pendekatan Klinis Untuk Mendiagnosis Penyakit Akibat Kerja

Identifikasi penyakit akibat kerja dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan


klinis (individu) yaitu 7 langkah diagnosis okupasi, antara lain:4,5
1. Diagnosis Klinis
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, diagnosis
klinis yang dapat diambil adalah tuberkulosis resisen obat. Tuberkulosis merupakan
suatu penyakit infeksi kronik yang dihubungkan dengan tempat tinggal didaerah
yang padat yang mempermudah proses penularan. Proses terjadinya infeksi oleh M.
Tuberculosis biasanya secara inhalasi. Penularan penyakit ini sebagian besar
melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei, khususnya yang didapat
dari pasien TB paru dengan batuk darah atau dahak yang mengandung basil tahan
asam (BTA).
Tuberkulosis resisten obat disebabkan oleh M. Tuberculosis yang resisten terhadap
obat. Resisten terhadap obat harus sudah diwaspadai yakni bila 1-2 bulan
pengobatan intensif tidak terlihat perbaikan. Sebab-sebab kegagalan pengobatan
antara lain karena paduan obat tidak adekuat, dosis obat tidak cukup, minum obat
tidak teratur atau tidak sesuai dengan petunjuk yang diberikan, jangka waktu
pengobatan kurang dari yang semestinya.
2. Pajanan yang Dialami
Penyakit akibat kerja dapat disebabkan oleh faktor kondisi lingkungan dan manusia.
Faktor-faktor bahaya yang disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja antara lain:
a. Faktor fisik meliputi penerangan, suara, radiasi, suhu, kelembaban dan tekanan
udara, serta ventilasi.
b. Faktor biologi meliputi mikroorganisme (virus, bakteri, jamur, parasit),
tumbuhan (debu organik).
c. Faktor kimia meliputi gas, uap, debu, kabut, asap, awan, cairan, abu terbang dan
benda padat.
d. Faktor ergonomi atau fisiologis meliputi sikap dan cara kerja.

e. Faktor mental-psikologis meliputi suasana kerja, hubungan di antara pekerja


dan atasannya.

Untuk itu diperlukan anamnesis lebih lanjut kepada pasien, meliputi:


- Penjelasan mengenai semua pekerjaan yang telah dilakukan oleh penderita secara
kronologis
- Lamanya melakukan masing-masing pekerjaan
- Bahan yang diproduksi
- Materi (bahan baku) yang digunakan
- Jumlah pajanannya
- Pemakaian alat perlindungan diri (masker)
- Pola waktu terjadinya gejala.
- Informasi mengenai tenaga kerja lain (apakah ada yang mengalami gejala serupa)
- Informasi tertulis yang ada mengenai bahan-bahan yang digunakan (MSDS,
label, dan sebagainya)
Dalam kasus ini pajanan yang didapat oleh pasien adalah berupa pajanan debu batubara.

3. Hubungan Pajanan dengan Diagnosis Klinis


Complicated CWP ditandai oleh timbulnya fibrosis yang luas dan hampir selalu
terdapat di lobus atas. Fibrosis masif progresif didefinisikan sebagai lesi dengan
diameter melebihi 3 cm, terjadi oleh karena satu atau lebih faktor berikut, yaitu:

o Terdapat silika dalam debu batubara.


o Konsentrasi debu batubara yang sangat tinggi.
o Infeksi mikobakteria tipikal atau atipik.
o Faktor imunologi penderita yang buruk.
Hubungan pajanan dengan diagnosis klinis ternyata berkaitan dengan faktor yang
terakhir yaitu faktor imunologi penderita yang buruk, dimana seseorang yang
mempunyai sistem imun rendah mudah sekali untuk terjangkit penyakit infeksi salah
satunya adalah TBC.
Faktor yang mempengaruhi hubungan dengan pajanan lainnya adalah didalam debu
batubara terdapat silika, yang dimana pasien dapat mengalami silikosis. Dan salah satu
komplikasi dari silikosis adalah penurunan sistem imun yang menyebabkan seseorang
dengan mudah terjangkit infeksi mikobakteria (silikotuberkulosis).
4. Jumlah Pajanan yang Dialami
Pengamatan langsung (mengobservasi tempat dan lingkungan kerja) penting untuk
mengetahui jumlah pajanan yang dialami. Secara kualitatif dapat pula diketahui dari
cara/proses kerja, dan lamanya bekerja dalam sehari.
5. Peranan Faktor Individu
Status kesehatan fisik dari masing-masing individu mempengaruhi berat-ringannya
penyakit ini.
- Kerentanan dan status kesehatan individu yang lemah misalnya pada orang yang
menderita penyakit parah atau penggunaan obat-obat yang menurunkan daya
tahan tubuh, merupakan faktor lain yang memudahkan penyebaran infeksi.
- Kebersihan (hygiene) perorangan sangat penting dalam munculnya penyakit ini.
Kebersihan perorangan yang baik, meminimalisasikan adanya pajanan yang
dapat masuk ke dalam tubuh seseorang.
- Semakin meningkatnya usia seseorang maka lebih rentan terhadap suatu
penyakit.

Dalam kasus ini, faktor individu yang perlu kita tanyakan kepada pasien adalah
apakah pasien mempunyai riwayat penyakit paru sebelumnya.
6. Faktor Lain di luar Pekerjaan
Selain daripada kualitas dan kuantitas paparan dalam pekerjaan, juga dapat
ditimbulkan dari faktor lain di luar pekerjaan seperti kebiasaan, pekerjaan di rumah
atau pekerjaan sambilan. Kebiasaan yang buruk seperti merokok, juga membuat
lebih rentan pada infeksi oleh karena zat yang terkandung di dalamnya dapat
merusak sistem pertahanan alami dalam tubuh kita, sehingga tidak dapat berfungsi
sebagaimana mestinya. Selain itu rokok juga dapat memperberat kondisi pasien
terhadap penyakit, bahkan dengan merokok seseorang lebih mungkin mengalami
bentuk lanjut daripada penyakit itu sendiri dan bahkan mempercepat munculnya
komplikasi yang berat.

7. Diagnosis Okupasi
Diagnosis okupasi dapat ditegakkan jika diagnosis klinis, pajanan, hubungan
penyakit dengan pajanan, jumlah pajanan menunjukan adanya hubungan dengan
keluhan pasien sekarang, sedangkan faktor individu dan faktor di luar pekerjaan
tidak berhubungan dengan keluhan pasien. Tetapi, jika ternyata semua menunjukan
adanya hubungan maka diagnosis pasien adalah penyakit yang diperberat akibat
pekerjaan, bukan penyakit akibat pekerjaan. Sedangkan jika diagnosis klinis,
pajanan, hubungan penyakit dengan pajanan, jumlah pajanan tidak menunjukan
hubungan, melainkan faktor individu dan faktor di luar individu yang menunjukan
hubungan maka diagnosisnya bukan penyakit akibat pekerjaan. Kemudian jika
informasi dari pasien tidak jelas, maka diagnosis okupasi tidak dapat ditegakkan
dan butuh informasi lebih lanjut dari pasien.

Istilah pneumokoniosis berasal dari bahasa yunani yaitu “pneumo” berarti paru dan
“konis” berarti debu. Terminologi pneumokoniosis pertama kali digunakan untuk
menggambarkan penyakit paru yang berhubungan dengan inhalasi debu mineral.
International Labour Organization (ILO) mendefinisikan pneumokoniosis sebagai
suatu kelainan yang terjadi akibat penumpukan debu dalam paru yang
menyebabkan reaksi jaringan terhadap debu tersebut. Reaksi utama akibat pajanan
debu di paru adalah fibrosis. Penyebab Pneumokoniosis adalah inhalasi debu
mineral. Pneumokoniosis digunakan untuk menyatakan berbagai keadaan berikut :
a. Kelainan yang terjadi akibat pajanan debu anorganik seperti silika (silikosis),
asbes (asbestosis) dan timah (stannosis).
b. Kelainan yang terjadi akibat pekerjaan seperti pneumokoniosis batubara.
c. Kelainan yang ditimbulkan oleh debu organik seperti kapas (bisinosis).
Pneumokoniosis pekerja batubara, disebut juga Coal Worker Pneumokoniosis
(CWP) dikenal sebagai penyakit penambang batu bara, penyakit paru hitam, antrakosis,
dan asma penambang, merupakan penyakit pulmoner nodular progresif yang bisa
berbentuk sederhana (ditandai dengan opasitas paru kecil) atau disertai komplikasi
(fibrosis raksasa progresif yang ditandai gumpalan jaringan fibrosa dalam paru). Karena
pada debu batubara terkadang juga terdapat debu silika, maka pneumokoniosis juga
sering disertai dengan penyakit silicosis. Bila hal ini terjadi maka penyakitnya disebut
silikoantrakosis. Perbedaan ini mudah dilihat dari foto toraks yang menunjukkan
kelainan pada paru-paru akibat adanya debu batubara dan debu silika

Terdapat beberapa jenis pneumokoniosis:6


1. Silikosis
Penyakit ini disebabkan oleh penimbunan debu-debu silika dalam paru-paru, biasanya
silikosis ini terdapat pada pekerja-pekerja di perusahaan pertambangan timah, tambang
granit, dan tambang-tambang lainnya yang daerah operasinya adalah pada batuan asam.
Masa inkubasinya tergantung pada banyaknya debu silika yang tertimbun dalam paru-
paru, biasanya masa inkubasinya itu 2-4 tahun.
Silikosis tingkat 1 (ringan) gejalamya adalah : nafas sesak dan makin lama makin berat,
gangguan pada kemampuan kerja sedikit sekali atau bahkan tidak ada. Silikosis tingkat
2 (sedang) gejalanya : sesak nafas agak berat sehingga mengganggu kemampuan kerja.
Silikosis tingkat 3 (berat) gejalanya : sesak nafas berat, sehingga pekerja tidak mampu
menjalankan tugasnya lagi.

2. Antrakosis
Penyakit ini disebabkan karena penimbunan debu batubara, terutama batubara jenis
antrasit, yang paling banyak menderita penyakit antrakosis ini adalah pekerja pekerja
tambang batubara. Gejala-gejalanya adalah : batuk-batuk dan pernafasan sesak,
dahaknya berwarna kehitam-hitaman, dada penderita menjadi bulat dan ujung jari-
jarinya membengkak.
3. Asbestosis
Penyebabnya adalah penimbunan debu asbes di dalam paru-paru, gejalanya adalah
batuk-batuk, banyak dahaknya dan sesak nafas. Dengan pemeriksaan Rontent akan
nampak bahwa pada paru-paru penderita asbestosis ini ada noda-nodanya. Penderita
asbestosis banyak dijumpai pada pekerja-pekerja tambang asbes dan industry-industri
tekstil yang menggunakan asbes.
4. Stanosis
Penyebabnya adalah penimbunan debu timah putih dalam paru-paru. Banyak terdapat
pada pekerja -pekerja tambang timah putih, penyakit ini tidak begitu berbahaya, tetapi
karena timah putih ada hubungannya dengan batuan asam maka biasanya penderita
Stanosis ini disertai dengan silikosis.
5. Siderosis
Penyebabnya adalah penimbunan debu siderite (besi karbonat) dalam paru-paru,
penyakit ini banyak terdapat pada pekerja-pekerja tambang bijih besi. Penyakit
siderosis ini tidak begitu berbahaya hanya kadang-kadang penyakit ini disertai silikosis
barulah penyakit siderosis ini berbahaya.
6. Talkosis
Penyebabnya adalah penimbunan debu talk pada paru-paru, karena talk ini suatu silikat,
maka kadang-kadang talkosis disertai pula dengan silikosis. Penyakit ini banyak
terdapat pada pekerja-pekerja tambang talk, tidak berbahaya.

Pneumokoniosis Batubara
Seseorang berisiko menderita CWP tergantung pada:7
1. Durasi pajanan pasien terhadap debu batu bara (biasanya selama 15 tahun atau lebih)
2. Intensitas pajanan (banyaknya debu, ukuran partikel)
3. Kedekatannya pada tempat penambangan
4. Konten silika batu bara
5. Kerentanan pekerja.

Patogenesis Pneumokoniosis Batubara


Faktor utama yang berperan pada patogenesis pneumokoniosis adalah partikel debu dan
respons tubuh khususnya saluran napas terhadap partikel debu tersebut. Bentuk kelainan
yang terjadi pada CWP biasanya berupa peradangan dan pembentukan jaringan fibrosis.
Debu yang berukuran 0.1 – 10 mikron mudah terhirup pada saat kita bernapas. Debu
yang berukuran lebih dari 5 mikron akan mengendap disaluran napas bagian atas. Debu
berukuran 3-5 mikron akan menempel disalurun napas bronkiolus, sedangkan yang
berukuran 1-3 mikron akan sampai ke alveoli. Komposisi kimia, sifat fisis, dosis dan
lama pajanan menentukan dapat atau mudah tidaknya terjadi pneumokoniosis.
Patogenesis pneumokoniosis dimulai dari respons makrofag alveolar terhadap debu yang
masuk ke unit respirasi paru. Terjadi fagositosis debu oleh makrofag dan proses
selanjutnya sangat tergantung pada sifat toksisitas partikel debu. Reaksi jaringan
terhadap debu bervariasi menurut aktivitas biologi debu. Jika pajanan terhadap debu
anorganik cukup lama maka timbul reaksi inflamasi awal. Gambaran utama inflamasi ini
adalah pengumpulan sel di saluran napas bawah. Alveolitis dapat melibatkan bronkiolus
bahkan saluran napas besar karena dapat menimbulkan luka dan fibrosis pada unit
alveolar yang secara klinis tidak diketahui. Sebagian debu seperti debu batubara tampak
relatif inert dan menumpuk dalam jumlah relatif banyak di paru dengan reaksi jaringan
yang minimal. Debu inert akan tetap berada di makrofag sampai terjadi kematian oleh
makrofag karena umurnya, selanjutnya debu akan keluar dan difagositosis lagi oleh
makrofag lainnya, makrofag dengan debu di dalamnya dapat bermigrasi ke jaringan
limfoid atau ke bronkiolus dan dikeluarkan melalui saluran napas. Pada debu yang
bersifat sitoktoksik, partikel debu yang difagositosis makrofag akan menyebabkan
kehancuran makrofag tersebut yang diikuti dengan fibrositosis.

Silikosis
Tempat kerja yang beresiko silikosis:
- Pertambangan, pembuatan terowongan, galian, dll
Permukaan tanah: batubara, besi, logam, bukan besi
- Penggalian granit, pasir, batu tulis, tukang batu, granit, pembuatan monumen
- Penuangan logam, penggosokan, keramik.

Terdapat 3 kriteria mayor yang dapat membantu untuk diagnosis pneumokoniosis:8


1. Pajanan yang signifikan dengan debu mineral yang dicurigai dapat menyebabkan
pneumokoniosis dan disertai dengan periode laten yang mendukung. Oleh karena itu,
diperlukan anamnesis yang teliti mengenai kadar debu di lingkungan kerja, lama pajanan
dan penggunaan alat pelindung diri serta kadang diperlukan pemeriksaan kadar debu di
lingkungan kerja. Gejala seringkali timbul sebelum kelainan radiologis seperti batuk
produktif yang menetap dan atau sesak napas saat aktivitas yang mungkin timbul 10-20
tahun setelah pajanan.
2. Gambaran spesifik penyakit terutama pada kelainan radiologi dapat membantu
menentukan jenis pneumokoniosis. Gejala dan tanda gangguan respirasi serta
abnormalitas faal paru sering ditemukan pada pneumoconiosis tetapi tidak spesifik untuk
mendiagnosis pneumokoniosis.
3. Tidak dapat dibuktikan ada penyakit lain yang menyerupai pneumokoniosis.
Pneumokoniosis kemungkinan mirip dengan penyakit interstisial paru difus seperti
sarkoidosis, idiophatic pulmonary fibrosis (IPF) atau interstitial lung disease (ILD) yang
berhubungan dengan penyakit kolagen vaskular
Gejala Klinis Pneumokoniosis Batubara

Pneumokoniosis penambang batubara simpleks dapat berkembang menjadi kompleks


dalam waktu 1 tahun. Pneumokoniosis penambang batubara kompleks biasanya disertai
dengan gejala. Gejala yang timbul dapat berupa gejala respirasi seperti batuk berdahak
yang cenderung menetap. Batuk pada CWP kompleks yang progresif dapat disertai
dengan dahak berwarna kehitaman. Hal ini biasanya diakibatkan oleh komplikasi infeksi
yang terjadi pada penderita.
Gejala pernapasan lainnya seperti sesak napas terutama saat melakukan aktifitas dan
nyeri dada. Gejala non respirasi yang mungkin terjadi adalah terdapat bengkak di kaki
dan tungkai yang merupakan komplikasi lanjut. Pada pemeriksaan spirometri ditemukan
penurunan nilai fungsi paru yang berarti.9

Pencegahan

Pencegahan merupakan tindakan yang paling penting. Regulasi dalam pekerjaan dan
kontrol pajanan debu telah dilakukan sejak lama terutama di negara industri dan terus
dilakukan dengan perbaikan-perbaikan. Tindakan preventif pada saat ini untuk mencegah
terjadinya komplikasi yang lebih parah. Untuk menegakkan diagnosis dari penyakit ini
diperlukan anamnesis yang cermat terhadap:
a. Keluhan yang dirasakan oleh penderita.
b. Riwayat pekerjaan seperti lama bekerja, penempatan tugas, dan lingkungan.
c. Kebiasaan penderita seperti menggunakan alat pelindung diri (APD) dan kebiasaan
merokok.

Alat Pelindung Diri (APD)


Pemakaian APD bermanfaat untuk melindungi tenaga kerja dan juga merupakan salah
satu upaya mencegah terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja oleh bahaya
potensial pada suatu perusahaan yang tidak dapat dihilangkan atau dikendalikan.
Masker digunakan pada lingkungan kerja dengan paparan debu berkonsentrasi tinggi.
Masker digunakan untuk melindungi dari debu atau partikel-partikel yang lebih kasar
yang masuk ke dalam saluran pernafasan. Masker terbuat dari kain dengan ukuran
poripori tertentu.10 Terdiri atas beberapa jenis yaitu :
1. Masker penyaring debu Masker ini berguna untuk melindungi pernafasan dari serbuk-
serbuk logam, penggerindaan atau serbuk kasar lainya.
2. Masker berhidung Masker ini dapat menyaring debu atau benda sampai ukuran 0,5
mikron, bila kita sulit bernafas waktu memakai alat ini maka hidungnya harus diganti
karena filternya tersumbat oleh debu. Alat pelindung pernapasan/masker diperlukan di
tempat kerja dimana udara didalamnya tercemar. Pencemaran udara berkisar dari
pencemaran yang tidak berbahaya sampai pada pencemaran yang sangat berbahaya.
Bahan pencemaran udara biasanya dalam bentuk debu, uap, gas, asap, atau kabut. Untuk
menentukan alat pelindung diri pernapasan, maka lebih dahulu ditentukan jenis dan kadar
bahan pencemar yang ada serta dievaluasi tingkat bahayanya.
3. Masker bertabung Masker bertabung mempunyai filter yang baik daripada masker
berhidung. Masker ini sangat tepat digunakan untuk melindungi pernafasan dari gas
tertentu. Bermacam-macam tabungnya tertulis untuk macam-macam gas yang sesuai
dengan jenis masker yang digunakan.
4. Masker kertas Masker ini digunakan untuk menyerap partikel-pertikel berbahaya dari
udara agar tidak masuk ke jalur pernafasan. Pada penggunaan masker kertas, udara
disaring permukaan kertas yang berserat sehingga partikel-partikel halus yang
terkandung dalam udara tidak masuk ke saluran pernafasan.
5. Masker plastik Masker ini digunakan untuk menyerap partikel-partikel berbahaya dari
udara agar tidak masuk jalur pernafasan. Ukuran masker ini sama dengan masker kertas,
namun ada lubang-lubang kecil dipermukaannya untuk aliran udara, tetapi tidak bisa
menyaring udara, fungsi penyaring udara terletak pada sebuah tabung kecil yang
diletakkan di dekat rongga hidung. Didalam tabung ini diisikan semacam obat yang
berfungsi sebagai penawar racun.
Respirator berguna untuk melindungi pernafasan dari debu, kabut, uap, logam, asap dan
gas. Alat ini dibedakan menjadi :
1. Respirator pemurni udara Membersihkan udara dengan cara menyaring atau menyerap
kontaminan dengan toksisitas rendah sebelum memasuki sistem pernafasan. Alat
pembersihnya terdiri dari filter untuk menangkap debu dari udara atau tabung kimia yang
menyerap gas, uap dan kabut.
2. Respirator penyalur udara Membersihkan aliran udara yang terkontaminasi secara
terus menerus. Udara dapat dipompa dari sumber yang jauh (dihubungkan dengan selang
tahan tekanan) atau dari persediaan yang portable (seperti tabung yang berisi udara bersih
atau oksigen). Jenis ini biasa dikenal dengan SCBA (Self Contained Breathing
Apparatus) atau alat pernafasan mandiri. Digunakan untuk tempat kerja yang terdapat
gas beracun atau kekurangan oksigen. Dengan mengenakan masker, diharapkan pekerja
melindungi dari kemungkinan terjadinya gangguan pernafasan akibat terpapar udara
yang kadar debunya tinggi. Walaupun demikian, tidak ada jaminan bahwa dengan
mengenakan masker, seorang pekerja akan terhindar dari kemungkinan terjadinya
gangguan pernafasan.

Penatalaksanaan
- Menghindari pajanan lebih lanjut
- Pemberian oksigen
- Pemberian antibiotik
- Pemberian OAT
- Pencucian bronkus
- Pemberian kortikosteroid

Kesimpulan
Pneumokoniosis adalah penyakit dalam pekerjaan yang kronik akibat menghirup debu
dalam waktu yang lama, dengan ditandai adanya inflamasi di alveolus, sehingga
berdampak pada kelainan paru yang irreversible. Pneumokoniosis batu bara atau yang
disebut CWP (Coal Worker’s Pneumokoniosis) merupakan penyakit saluran pernapasan
yang disebabkan pajanan debu yang berasal dari industri batu bara dari berbagai tahap
produksinya yang akan menimbulkan gejala klinis batuk progresif dengan dahak
berwarna hitam, sesak napas, dan nyeri dada. CWP dapat menjadi fibrosis paru jika terus
terpapar selama kurang lebih 10 tahun. Pemakaian APD bermanfaat untuk melindungi
tenaga kerja dan juga merupakan salah satu upaya mencegah terjadinya penyakit akibat
kerja.

Daftar pustaka
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam Jilid III Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. h.2231-46
2. Pneumoconiosis and Advanced Occupational Lung Disease Among Surface Coal
Miners | Coal Worker’s Pneumoconiosis J MAJORITY | Volume 4 Nomor 1| 56 16
States, 2010–2011. / Vol. 61 / No. 23. p. 431.

3. Rom WN. Enviromental and occupational medicine. Edisi ke-4. Lippincott


Williams & Wilkins; United State of America: 2007. h. 1220-3.
4. Harrianto R. Buku ajar kesehatan kerja. Jakarta: EGC; 2009.h.16-8
5. Arief, Erwin dan Winariani. Pneumokoniosis Coal Worker Pada Penderita Tb Paru
dan efusi pleura. Majalah Kedokteran Respirasi Unair .2010
6. Ngurah Rai IB. Pneumokoniosis. Patogenesis dan gangguan fungsi. In: Abdullah
A, Patau J, Susilo HJ, Saleh K, Tabri NA, Mappangara, et al. Naskah Lengkap
Pertemuan Ilmiah Khusus (PIK) X Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Makassar:
Sub-bagian paru Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin; 2003 : 183-8
7. Susanto, Agus Dwi. Pneumokoniosis. Pengembangan Pendidikan Keprofesian
Berkelanjutan- IDI. J Indon Med Assoc; 2011 (61): 12.
8. Antao VC, Petsonk EL, Sokolow LZ, et al. Rapidly progressive coal workers’
pneumoconiosis in the United States: geographic clustering and other factors.
Occup Environ Med 2005: 670–4.
9. Laney AS, Attfield MD. Coal workers’ pneumoconiosis and progressive massive
fibrosis are increasingly more prevalent among workers in small underground coal
mines in the United States. Occup Environ Med 2010; 67: 428–31
10. Vincoli JW. Risk management for hazardous chemicals. Volume 1. United States
of America: CRC; 2004.p.529-34

Anda mungkin juga menyukai