Eritroderma
Eritroderma
PENDAHULUAN
Eritroderma atau dermatitis eksfoliativa adalah suatu kelainan kulit yang ditandai
dengan adanya eritema universalis (90-100%), biasanya disertai dengan
pembentukan skuama pada hampir atau di seluruh tubuh. 1 Walaupun merupakan
sebuah gangguan kulit yang langka, penyakit ini merupakan penyakit yang kronis,
etiologinya cukup banyak dan prognosanya tidak begitu baik. Oleh karena itu,
meskipun angka kejadiannya rendah tetapi diagnosa serta penanganan yang
tepat penderita eritroderma merupakan masalah yang cukup sulit bagi dokter ahli
penyakit kulit.2
Diagnosa eritroderma secara klinis tidak sulit yaitu didapatkannya eritema dengan
skuama lebar, sedang atau halus yang terletak di hampir atau seluruh tubuh dan
menetap.3 Hal yang sering menyulitkan adalah menentukan etiologi dari
eritroderma tersebut.Untuk menentukan penyebab yang menjadi dasar timbulnya
eritroderma diperlukan pengalaman dan pemeriksaan seksama. Apabila penyebab
timbulnya eritroderma tidak dapat ditemukan atau tidak tepat, maka penanganan
yang akan diberikan juga tidak tepat, sehingga penyakitnya bertambah berat
dengan berbagai akibat antara lain: hilangnya kemampuan dalam pengaturan
suhu tubuh yang dapat mengakibatkan hipotermia atau hipertermia, anemia,
penurunan protein total tubuh dan albumin serum, kegagalan jantung dan
kematian karena gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. 2
Untuk menemukan penyebab eritroderma diperlukan anamnesa yang teliti,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan juga biopsi kulit untuk
pemeriksaan histopatologi. Sebagian besar penyebab eritroderma adalah akibat
perluasan penyakit kulit sebelumnya seperti dermatitis kontak, psoriasis vulgaris,
dermatitis seborrhoik, pemphigus foliaceus dan lain-lain. Penyakit kulit tersebut
pada pemeriksaan histopatologi memberikan gambaran yang berbeda, sehingga
1
dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menegakkan diagnosa etiologi
eritroderma. Biopsi kulit mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam penentuan
penyebab eritroderma, meskipun tidak semua penyebab eritroderma bisa
ditemukan.1
I.2. TUJUAN PENULISAN
A. Tujuan Umum
Untuk memenuhi salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik di bagian
Kesehatan kulit dan kelamin Rumah Sakit Umum Daerah Syamsudin, Sukabumi.
B. Tujuan Khusus
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mempelajari dan mengetahui definisi,
anatomi dan fisiologi kulit, etiologi, patofisiologi, gambaran klinis, penatalaksanaan,
komplikasi serta prognosis dari kelainan kulit eritroderma.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi
2
Berbagai definisi yang digunakan dalam kepustakaan mengenai eritroderma
adalah sebagai berikut:
Eritroderma adalah kelainan kulit yang ditandai dengan adanya eritema di
seluruh tubuh atau hampir seluruh tubuh (90-100%), biasanya disertai
skuama. Pada definisi tersebut yang mutlak harus ada ialah eritema,
sedangkan skuama tidak selalu terdapat, misalnya pada eritroderma karena
alergi obat secara sistemik, pada mulanya tidak disertai skuama, baru
kemudian pada stadium penyembuhan timbul skuama. 1
Eritroderma ditandai dengan warna kulit yang kemerahan akibat dilatasi
yang menyebar dari pembuluh darah kutaneus. Apabila proses inflamasi
disertai dengan eritroderma secara subtansial akan meningkatkan
proliferasi sel epidermal dan mengurangi waktu transit sel melalui epidermis
yang bisa menimbulkan sisik bertanda.3
Eritroderma adalah kemerahan yang abnormal pada kulit yang menyebar
luas ke daerah-daerah tubuh.4
Eritroderma, dimana seluruh badan kalihatan kemerahan (eritema), berasa
kasakitan, kegatalan dan bersisik halus.5
II.2. Epidemiologi
3
II.3. Anatomi kulit
Struktur kulit terdiri dari tiga lapisan yaitu: kulit ari (epidermis), sebagai lapisan
yang paling luar, kulit jangat (dermis, korium atau kutis) dan jaringan penyambung
di bawah kulit (tela subkutanea,hipodermis atau subkutis).7
4
dari plasma yang merembes melalui dinding-dinding kapiler dermis ke dalam
epidermis. Pada epidermis dibedakan atas lima lapisan kulit, yaitu:
Pada telapak tangan dan telapak kaki jumlah baris keratinosit jauh lebih
banyak, karena di bagian ini lapisan tanduk jauh lebih tebal. Lapisan tanduk
ini sebagian besar terdiri atas keratin yaitu sejenis protein yang tidak larut
dalam air dan sangat resisten terhadap bahan-bahan kimia. Lapisan ini
dikenal dengan lapisan horny, terdiri dari milyaran sel pipih yang mudah
terlepas dan digantikan oleh sel yang baru setiap 4 minggu, karena usia
setiap sel biasanya hanya 28 hari. Pada saat terlepas, kondisi kulit akan
terasa sedikit kasar sampai muncul lapisan baru.
Daya elastisitas kulit pada lapisan ini sangat kecil, dan lapisan ini sangat
efektif untuk mencegah terjadinya penguapan air dari lapis-lapis kulit lebih
dalam sehingga mampu memelihara tonus dan turgor kulit, tetapi lapisan
tanduk memiliki daya serap air yang cukup besar.
5
b. Lapisan bening (stratum lucidum) disebut juga lapisan barrier, terletak tepat
di bawah lapisan tanduk, dan dianggap sebagai penyambung lapisan tanduk
dengan lapisan berbutir. Lapisan bening terdiri dari protoplasma sel-sel jernih
yang kecil-kecil, tipis dan bersifat translusen sehingga dapat dilewati sinar
(tembus cahaya). Lapisan ini sangat tampak jelas pada telapak tangan dan
telapak kaki. Proses keratinisasi bermula dari lapisan bening.
d. Lapisan bertaju (stratum spinosum) disebut juga lapisan malphigi terdiri atas
sel-sel yang saling berhubungan dengan perantaraan jembatan-jembatan
protoplasma berbentuk kubus. Jika sel-sel lapisan saling berlepasan, maka
seakan-akan selnya bertaju.Setiap sel berisi filamen-filamen kecil yang terdiri
atas serabut protein. Sel-sel pada lapisan taju normal, tersusun menjadi
beberapa baris.
Bentuk sel berkisar antara bulat ke bersudut banyak (polygonal), dan makin
ke arah permukaan kulit makin besar ukurannya. Diantara sel-sel taju
terdapat celah antar sel halus yang berguna untuk peredaran cairan jaringan
ekstraseluler dan pengantaran butir-butir melanin. Sel-sel di bagian lapis taju
yang lebih dalam, banyak yang berada dalam salah satu tahap mitosis.
Kesatuan-kesatuan lapisan taju mempunyai susunan kimiawi yang khas;
intiinti sel dalam bagian basal lapis taju mengandung kolesterol, asam amino
dan glutation.
6
dengan kedudukan tegak lurus terhadap permukaan dermis. Alas sel-sel
torak ini bergerigi dan bersatu dengan lamina basalis di bawahnya. Lamina
basalis yaitu struktur halus yang membatasi epidermis dengan dermis.
Pengaruh lamina basalis cukup besar terhadap pengaturan metabolisme
demo-epidermal dan fungsi-fungsi vital kulit. Di dalam lapisan ini sel-sel
epidermis bertambah banyak melalui mitosis dan sel-sel tadi bergeser ke
lapisan-lapisan lebih atas, akhirnya menjadi sel tanduk. Di dalam lapisan
benih terdapat pula sel-sel bening (clear cells, melanoblas atau melanosit)
pembuat pigmen melanin kulit.
7
Gambar 3. Visualisasi Penampang Lapisan Kulit Ari (Epidermis) (diunduh dari
http://biologigonz.blogspot.com/2010/02/indra-kulit-tango-reseptor.html pada 23 Januari 2010 pukul 21.08 WIB)
Kulit jangat atau dermis menjadi tempat ujung saraf perasa, tempat keberadaan
kandung rambut, kelenjar keringat, kelenjar-kelenjar palit atau kelenjar minyak,
pembuluh-pembuluh darah dan getah bening, dan otot penegak rambut
(muskulus arektor pili).
8
Keberadaan ujung-ujung saraf perasa dalam kulit jangat, membedakan
berbagai rangsangan dari luar. Masing-masing saraf perasa memiliki fungsi
tertentu, seperti saraf dengan fungsi mendeteksi rasa sakit, sentuhan, tekanan,
panas, dan dingin. Saraf perasa juga memungkinkan segera bereaksi terhadap
hal-hal yang dapat merugikan diri kita. Jika kita mendadak menjadi sangat takut
atau sangat tegang, otot penegak rambut yang menempel di kandung rambut,
akan mengerut dan menjadikan bulu roma atau bulu kuduk berdiri. Kelenjar
palit yan menempel di kandung rambut memproduksi minyak untuk melumasi
permukaan kulit dan batang rambut. Sekresi minyaknya dikeluarkan melalui
muara kandung rambut. Kelenjar keringat menghasilkan cairan keringat yang
dikeluarkan ke permukaan kulit melalui pori-pori kulit.
Pada dasarnya dermis terdiri atas sekumpulan serat-serat elastis yang dapat
membuat kulit berkerut akan kembali ke bentuk semula dan serat protein ini
yang disebut kolagen. Serat-serat kolagen ini disebut juga jaringan penunjang,
karena fungsinya dalam membentuk jaringan-jaringan kulit yang menjaga
kekeringan dan kelenturan kulit.
9
permanen, hal ini disebabkan kulit jangat tidak memiliki kemampuan
memperbaiki diri sendiri seperti yang dimiliki kulit ari.
Di dalam lapisan kulit jangat terdapat dua macam kelenjar yaitu kelenjar
keringat dan kelenjar palit.
a. Kelenjar keringat
Kelenjar keringat terdiri dari fundus (bagian yang melingkar) dan duet yaitu
saluran semacam pipa yang bermuara pada permukaan kulit membentuk
pori-pori keringat. Semua bagian tubuh dilengkapi dengan kelenjar keringat
dan lebih banyak terdapat dipermukaan telapak tangan, telapak kaki, kening
dan di bawah ketiak. Kelenjar keringat mengatur suhu badan dan membantu
membuang sisa-sisa pencernaan dari tubuh. Kegiatannya terutama
dirangsang oleh panas, latihan jasmani, emosi dan obat-obat tertentu. Ada
dua jenis kelenjar keringat yaitu :
1) Kelenjar keringat ekrin, kelenjar keringat ini mensekresi cairan jernih, yaitu
keringat yang mengandung 95 – 97 persen air dan mengandung beberapa
mineral, seperti garam, sodium klorida, granula minyak, glusida dan
sampingan dari metabolisma seluler. Kelenjar keringat ini terdapat di
seluruh kulit, mulai dari telapak tangan dan telapak kaki sampai ke kulit
kepala. Jumlahnya di seluruh badan sekitar dua juta dan menghasilkan 14
liter keringat dalam waktu 24 jam pada orang dewasa. Bentuk kelenjar
keringat ekrin langsing, bergulung-gulung dan salurannya bermuara
langsung pada permukaan kulit yang tidak ada rambutnya.
b. Kelenjar palit
Kelenjar palit terletak pada bagian atas kulit jangat berdekatan dengan
kandung rambut terdiri dari gelembung-gelembung kecil yang bermuara ke
dalam kandung rambut (folikel). Folikel rambut mengeluarkan lemak yang
meminyaki kulit dan menjaga kelunakan rambut. Kelenjar palit membentuk
sebum atau urap kulit. Terkecuali pada telapak tangan dan telapak kaki,
kelenjar palit terdapat di semua bagian tubuh terutama pada bagian muka.
Pada umumnya, satu batang rambut hanya mempunyai satu kelenjar palit
atau kelenjar sebasea yang bermuara pada saluran folikel rambut. Pada kulit
kepala, kelenjar palit atau kelenjar sebasea menghasilkan minyak untuk
melumasi rambut dan kulit kepala. Pada kebotakan orang dewasa,
ditemukan bahwa kelenjar palit atau kelenjar sebasea membesar sedangkan
folikel rambut mengecil. Pada kulit badan termasuk pada bagian wajah, jika
produksi minyak dari kelenjar palit atau kelenjar sebasea berlebihan, maka
kulit akan lebih berminyak sehingga memudahkan timbulnya jerawat.
11
Gambar4. Penampang Kulit Jangat (Dermis) (diunduh dari
http://biologigonz.blogspot.com/2010/02/indra-kulit-tango-reseptor.html pada 23 Januari 2010 pukul 21.08 WIB)
Lapisan ini terutama mengandung jaringan lemak, pembuluh darah dan limfe,
saraf-saraf yang berjalan sejajar dengan permukaan kulit. Cabang-cabang dari
pembuluh-pembuluh dan saraf-saraf menuju lapisan kulit jangat. Jaringan ikat
12
bawah kulit berfungsi sebagai bantalan atau penyangga benturan bagi organ-
organ tubuh bagian dalam, membentuk kontur tubuh dan sebagai cadangan
makanan. Ketebalan dan kedalaman jaringan lemak bervariasi sepanjang
kontur tubuh, paling tebal di daerah pantat dan paling tipis terdapat di kelopak
mata. Jika usia menjadi tua, kinerja liposit dalam jaringan ikat bawah kulit juga
menurun. Bagian tubuh yang sebelumnya berisi banyak lemak, lemaknya
berkurang sehingga kulit akan mengendur serta makin kehilangan kontur.
13
A. Fungsi kulit7,10
Kulit memiliki banyak fungsi, yang berguna dalam menjaga homeostasis tubuh.
Fungsi-fungsi tersebut dapat dibedakan menjadi fungsi proteksi, absorpsi,
ekskresi, persepsi, pengaturan suhu tubuh (termoregulasi), dan pembentukan
vitamin D.
1. Fungsi proteksi
14
2. Fungsi absorpsi
Kulit tidak bisa menyerap air, tapi bisa menyerap material larut-lipid seperti
vitamin A, D, E, dan K, obat-obatan tertentu, oksigen dan karbon dioksida.
Permeabilitas kulit terhadap oksigen, karbondioksida dan uap air
memungkinkan kulit ikut mengambil bagian pada fungsi respirasi. Selain itu
beberapa material toksik dapat diserap seperti aseton, CCl 4, dan merkuri.
Beberapa obat juga dirancang untuk larut lemak, seperti kortison, sehingga
mampu berpenetrasi ke kulit dan melepaskan antihistamin di tempat
peradangan.
3. Fungsi ekskresi
- Kelenjar sebasea
Kelenjar sebasea merupakan kelenjar yang melekat pada folikel rambut
dan melepaskan lipid yang dikenal sebagai sebum menuju lumen. Sebum
dikeluarkan ketika muskulus arektor pili berkontraksi menekan kelenjar
sebasea sehingga sebum dikeluarkan ke folikel rambut lalu ke permukaan
kulit. Sebum tersebut merupakan campuran dari trigliserida, kolesterol,
protein, dan elektrolig. Sebum berfungsi menghambat pertumbuhan bakteri,
melumasi dan memproteksi keratin.
- Kelenjar keringat
15
Walaupun stratum korneum kedap air, namun sekitar 400 mL air dapat
keluar dengan cara menguap melalui kelenjar keringat tiap hari. Seorang
yang bekerja dalam ruangan mengekskresikan 200 mL keringat tambahan,
dan bagi orang yang aktif jumlahnya lebih banyak lagi. Selain
mengeluarkan air dan panas, keringat juga merupakan sarana untuk
mengekskresikan garam, karbondioksida, dan dua molekul organik hasil
pemecahan protein yaitu amoniak dan urea.
Terdapat dua jenis kelenjar keringat, yaitu kelenjar keringat apokrin dan
kelenjar keringat merokrin.
4. Fungsi persepsi
16
terletak di dermis, badan taktil Meissner terletak di papila dermis berperan
terhadap rabaan, demikian pula badan Merkel Ranvier yang terletak di
epidermis. Sedangkan terhadap tekanan diperankan oleh badan Paccini di
epidermis. Saraf-saraf sensorik tersebut lebih banyak jumlahnya di daerah
yang erotik.
B. Keratinisasi kulit7-8
17
lalu sel basal akan berpindah ke atas dan berubah bentuknya menjadi sel
spinosum, makin ke atas sel menjadi makin gepeng dan bergranula menjadi sel
granulosum. Makin lama inti menghilang, mengalami apoptosis dan menjadi sel
tanduk yang amorf. Sel-sel yang sudah mengalami keratinisasi akan meluruh
dan digantikan dengan sel di bawahnya yang baru saja mengalami keratinisasi
untuk kemudian meluruh kembali, begitu seterusnya. Proses ini memakan
waktu sekitar empat minggu untuk epidermis dengan ketebalan 0.1 mm.
Apabila kulit di lapisan terluar tergerus, seperti pada abrasi atau terbakar, maka
sel-sel basal akan membelah lebih cepat. Mekanisme pertumbuhan ini terutama
dipengaruhi oleh hormon epidermal growth factor (EPF).
Warna pada kulit dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu pigmentasi epidermis dan
sirkulasi kapiler yang ada di lapisan dermis.
Pigmentasi epidermis dipengaruhi oleh dua pigmen, yaitu karoten dan melanin
- Karoten merupakan pigmen merah-jingga yang berakumulasi di epidermis.
Paling banyak terdapat di stratum korneum pada orang berkulit terang, juga di
jaringan lemak pada lapisan dermis dan subkutis. Perubahan warna yang
diakibatkan oleh karoten paling terlihat pada orang berkulit pucat, sedangkan
pada orang berkulit gelap sulit terlihat. Karoten dapat dikonversi menjadi
vitamin A yang diperlukan untuk pemeliharaan epitel dan sintesis fotoreseptor
di mata.
- Melanin merupakan pigmen kuning-coklat, atau hitam yang diproduksi oleh
melanosit. Melanosit sendiri berada di antara sel-sel basal dan memiliki juluran
ke sel-sel di atasnya. Perbandingan jumlah melanosit dan sel basal bervariasi,
mulai dari 1:20 sampai 1:4. Badan Golgi melanosit membentuk melanin dari
tyrosin dengan bantuan Cu dan oksigen, lalu mengemasnya menjadi vesikel-
vesikel melanosom. Melanosom ini akan dihantarkan melalui juluran melanosit
dan mewarnai sel-sel keratin di atasnya sampai didegradasi oleh lisosom.
Jumlah melanosit baik pada orang kulit hitam maupun kulit putih adalah sama,
18
yang berbeda adalah aktivitas dan produksi pigmennya (melanosit). Pada
orang kulit pucat transfer melanosom hanya sebatas stratum spinosum,
sedangkan pada orang berkulit gelap melanosom dapat dihantarkan hingga ke
stratum granulosum.
Sirkulasi darah yang ada di dalam pembuluh kapiler pada dermis juga berperan
dalam menentukan warna kulit. Hemoglobin yang fungsinya untuk mengangkut
oksigen adalah bersifat pigmen. Ketika berikatan dengan oksigen, hemoglobin
akan berwarna merah terang sehingga memberikan pewarnaan merah pada
pembuluh kapiler. Ketika pembuluh-pembuluh tersebut mengalami dilatasi,
maka warna merah pada kulit akan semakin jelas. Contohnya jika saat suhu
tubuh sedang tinggi, maka pembuluh darah akan melebar untuk melepaskan
panas dan pada saat yang sama akan menimbulkan citra merah pada kulit
tersebut. Sebaliknya ketika suplai darah berkurang (misalnya pada gagal
jantung) maka kulit akan berubah relatif pucat akibat penyempitan pembuluh
kapiler.
II.5. Etiologi
19
b. Meluasnya dermatosis ke seluruh tubuh, dapat terjadi pada liken planus ,
psoriasis , pitiriasis rubra pilaris , pemflagus foliaseus , dermatitis seboroik dan
dermatitis atopik.
c. Penyakit sistemik seperti Limfoblastoma.
II.6. Patofisiologi
Patofisiologi eritroderma belum jelas, yang dapat diketahui ialah akibat suatu
agent dalam tubuh, maka tubuh bereaksi berupa pelebaran pembuluh darah
kapiler (eritema) yang universal. Kemungkinan berbagai sitokin berperan dalam
proses ini.1
Pada eritroderma terjadi eritema dan skuama (pelepasan lapisan korneum dari
permukaan kult) serta sel – sel dalam lapisan basal kulit membagi diri terlalu cepat
sehingga sel – sel yang baru terbentuk bergerak lebih cepat ke permukaan kulit
dan tampak sebagai sisik / plak jaringan epidermis yang profus. 11
Eritema berarti terjadi pelebaran pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah
ke kulit meningkat. Peningkatan perfusi darah ini dapat mengakibatkan disregulasi
temperature (menyebabkan kehilangan panas dan hipotermia) dan kegagalan
output jantung. Kehilangan panas menyebabkan hipermetabolisme kompensator
dan peningkatan laju metabolisme basal.2
20
dapat menyebabkan dehidrasi. Bila suhu badan meningkat, kehilangan panas juga
meningkat dan pengaturan suhu terganggu. Kehilangan cairan oleh transpirasi
meningkat sebanding dengan laju metabolisme basal. 12
Pada eritroderma terjadi pelepasan stratum korneum yang mencolok yang dapat
mencapai 9 gram/m² permukaan kulit atau lebih dalam sehari sehingga
menyebabkan kehilangan protein, keseimbangan nitrogen yang negatif dan
hipoalbuminemia. Hipoproteinemia dengan berkurangnya sintesis albumin dan
meningkatnya metabolisme albumin disertai peningkatan relatif globulin terutama
globulin γ merupakan kelainan yang khas pada eritroderma. 2,5 Keadaan edema
sering terjadi, biasanya disebabkan oleh pergeseran cairan ke ruang
ekstravaskuler. Eritroderma akut dan kronis dapat mengganggu mitosis rambut
dan kuku berupa kerontokan rambut difus dan kehilangan kuku. Pada eritroderma
yang telah berlangsung berbulan-bulan dapat terjadi perburukan keadaan yang
progresif yang dapat ditandai dengan adanya peningkatan serum IgE pada
beberapa kasus, dan CD4+ sel-T limfositopenia pada infeksi HIV. 5
Mekanisme terjadinya alergi obat seperti terjadi secara non imunologik dan
imunologik ( alergik ) , tetapi sebagian besar merupakan reaksi imunologik. Pada
mekanisme imunologik, alergi obat terjadi pada pemberian obat kepada pasien
yang sudah tersensitasi dengan obat tersebut. Obat dengan berat molekul yang
rendah awalnya berperan sebagai antigen yang tidak lengkap ( hapten ). Obat /
metaboliknya yang berupa hapten ini harus berkonjugasi dahulu dengan protein
misalnya jaringan, serum / protein dari membran sel untuk membentuk antigen
obat dengan berat molekul yang tinggi dapat berfungsi langsung sebagai antigen
lengkap.13
21
Yang dimaksudkan dengan alergi obat secara sistemik ialah masuknya obat
ke dalam badan dengan cara apa saja, misalnya melalui mulut, hidung,
dengan cara suntikan/infus, melalui rektum dan vagina. Selain itu laergi
dapat pula terjadi karena obat mata, obat kumur, tapal gigi dan melalui kulit
sebagai obat luar.1 Banyak obat yang bisa menyebabkan alergi, tetapi yang
sering ialah : penisilin dan derivatnya (ampisilin, amoxilin, kloksasilin),
sulfonamid, golongan analgesik antipiretik (misalnya asam salisilat,
metamisol, parasetamol, fenibutason, piramidon) dan tetrasiklin, termasuk
jamu. Alergi obat-obatan bisa memaparkan eosinofil diantara infiltrat
eosinofil. Mikosis fungoides/sezary syndrome bisa membentuk gambaran
infiltrat seperti monotonous band yang terdiri dari sel mononuclear-
cerebriform yang besar, sepanjang dermoepidermal junction atau sekitar
pembuluh darah di dalam dermis papillary, epidermitropism tanpa spongiosis
dan mikroabses pautrier tanpa epidermis
2. Eritroderma akibat perluasan penyakit kulit
Penyakit kulit yang bisa meluas menjadi eritroderma misalnya psoriasis,
pemfigus follasius, dermatitis atopik, pitiriasis rubra pilaris, liken planus,
dermatitis seboroik pada bayi.
B. Gambaran klinis1-5
24
Keganasan yang sering yaitu sindroma sezary. Penyakit ini termasuk
limfoma, ada yang mengatakan stdium dini mikosis fungoides, terdapat pada
orang dewasa pada laki-laki usia 64 tahun dan pada wanita usia 53 tahun.
Sindroma ini ditandai dengan eritema berwarna merah membara yang
menyeluruh disertai skuama yang kasar dan berlapis-lapis dan rasa gatal
yang hebat. Selain itu juga terdapat infiltrasi pada kulit dan edema. Pada
sebagian penderita terdapat splenomegali, limpadenopati superfisial,
alopesia, hiperpigmentasi, hiperkeratosis palmaris dan plantaris, serta kuku
yang distrofik.
25
Gambar 10. Erythroderma: cutaneous T cell lymphoma (Sézary's
Syndrome)14
II.8. Tatalaksana
Beberapa prinsip tatalaksana eritroderma adalah: 12
1. Hentikan semua obat yang mempunyai potensi menyebabkan terjadinya
penyakit ini.
2. Rawat pasien di ruangan yang hangat.
3. Perhatikan kemungkinan terjadinya masalah medis sekunder (misalnya
dehidrasi, gagal jantung, dan infeksi).
4. Biopsi kulit untuk menegakkan diagnosis pasti.
5. Berikan steroid sistemik jangka pendek (bila pada permulaan sudah dapat di
diagnosis adanya psoriasis, maka mulailah mengganti dengan obat-obat
anti-psoriasis).
6. Mulailah pengobatan yang diperlukan untuk penyakit yang mela-
tarbelakanginya.
26
Umumnya pengobatan eritroderma dengan kortikosteroid. Pada golongan I, yang
disebabkan oleh alergi obat secara sistemik, dosis prednison 4 x 10 mg.
Penyembuhan terjadi cepat, umumnya dalam beberapa hari – beberapa minggu.
Pada golongan II akibat perluasan penyakit kulit juga diberikan kortikosteroid.
Dosis mula prednison 4 x 10 mg- 4 x 15 mg sehari. Jika setelah beberapa hari
tidak tampak perbaikan dosis dapat dinaikkan. Setelah tampak perbaikan, dosis
diturunkan perlahan-lahan. Jika eritroderma terjadi akibat pengobatan dengan ter
pada psoriasis, maka obat tersebut harus dihentikan. Eritroderma karena psoriasis
dapat pula diobati dengan asetretin. Lama penyembuhan golongan II ini bervariasi
beberapa minggu hingga beberapa bulan, jadi tidak secepat seperti golongan I.
Pada eritroderma yang lama diberikan pula diet tinggi protein, karena terlepasnya
skuama mengakibatkan kehilangan protein. Kelainan kulit perlu pula diolesi
emolien untuk mengurangi radiasi akibat vasodilatasi oleh eritema, misalnya
dengan salep lanolin 10%.1
II.9. Komplikasi2
- Gagal jantung
- Gagal ginjal
- Kematian mendadak akibat hipotermi sentral.
II.10. Prognosis
Eritroderma yang termasuk golongan I, yakni karena alergi obat secara sistemik,
prognosisnya baik. Penyembuhan golongan ini ialah yang tercepat dibandingkan
golongan yang lain.
27
ketergantungan kortikosteroid. Sindrome Sezary prognosisnya buruk, penderita
pria umumya akan meninggal setelah 5 tahun, sedangkan penderita wanita
setelah 10 tahun. Kematian disebabkan oleh infeksi atau penyakit berkembang
menjadi mikosis fungoides.1
BAB III
KESIMPULAN
Eritroderma atau dermatitis eksfoliativa adalah suatu kelainan kulit yang ditandai
dengan adanya eritema universalis (90-100%), biasanya disertai dengan pembentukan
skuama pada hampir atau di seluruh tubuh. Walaupun merupakan sebuah gangguan
kulit dengan angka kejadian yang rendah tetapi diagnosa serta penanganan yang tepat
bagi penderita eritroderma merupakan masalah yang cukup sulit bagi para dokter.
Diagnosa eritroderma secara klinis tidak sulit yaitu didapatkannya eritema dengan
skuama lebar, sedang atau halus yang terletak di hampir atau seluruh tubuh dan
menetap. Hal yang sering menyulitkan adalah menentukan etiologi dari eritroderma
tersebut. Berdasarkan penyebabnya, eritroderma dapat dibagikan dalam 2 kelompok
yaitu eritroderma eksfoliativa primer dimana penyebabnya adalah idiopatik dan
eritroderma eksfoliativa sekunder yang dapat diakibatkan oleh penggunaan obat secara
sistemik, perluasan dermatosis ke seluruh tubuh dan penyakit sistemik seperti
28
limfoblastoma. Oleh karena itu, untuk dapat menentukan penyebab yang menjadi dasar
timbulnya eritroderma diperlukan pengalaman dan pemeriksaan seksama.
Patofisiologi eritroderma hingga kini belumlah jelas, yang dapat diketahui ialah akibat
suatu agent dalam tubuh, maka tubuh bereaksi berupa pelebaran pembuluh darah
kapiler (eritema) yang universal. Kemungkinan berbagai sitokin berperan dalam proses
ini. Apabila tidak diobati dengan tepat dan adekuat dapat menimbulkan keadaan yang
lebih berat seperti: hilangnya kemampuan dalam pengaturan suhu tubuh yang dapat
mengakibatkan hipotermia atau hipertermia, anemia, penurunan protein total tubuh dan
albumin serum, kegagalan jantung dan kematian karena gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit.
Untuk menemukan penyebab eritroderma diperlukan anamnesa yang teliti,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan juga biopsi kulit untuk pemeriksaan
histopatologi.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi
Kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008. Hal: 197-200
2. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, et al, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. 7th ed. USA: McGraw-Hill Companies; 2008. Hal: 225-230
3. www.emedicine.com diunduh pada tanggal 23 Januari 2010 pukul 18.00 WIB
4. Siregar RS. Atlas saripati penyakit kulit edisi 2. Jakarta: EGC; 2004. Hal:236-237
5. Bruno TF, Grewal P. Erythroderma: A Dermatologic Emergency. CJEM
2009;11(3):244-246
6. Hafeez J, Shaikh ZI, Mashhood AA, et al. Frequency of various etiological factors
associated with erythroderma. Journal of Pakistan Association of Dermatologists
2010; 20: 70-74
7. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi
Kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008. Hal: 3-5
8. Daili ESS, Menaldi SL, Wisnu IE. Penyakit Kulit yang Umum di Indonesia,
Sebuah panduan bergambar. Jakarta: PT Medical Multimedia Indonesia; 2005.
Hal: 25
30
9. Tortora G, Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology. 11 th ed. USA:
John Wiley & Sons Inc; 2006. p. 145-70
10. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi
Kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008. Hal: 7-8
11. www.Health-issues.org diunduh pada tanggal 24 januari 2010 pukul 10.00 WIB
12. Hall JC, Gordon C. Sauer’s Manual of Skin Diseases 8 th edition. USA: Lippincott
Williams & Wilkins Publishers. 2000
13. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi
Kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008. Hal: 154
14. Wolff K, Johnson RA, Suurmond D, editor. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis
of Clinical Dermatology. 5th ed. USA: McGraw-Hill Companies; 2007
31