PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
1) Untuk memenuhi tugas makalah asuhan keperawatan pada klien dengan
gangguan disfagia.
2) Untuk memberikan informasi kepada pembaca tentang asuhan
keperawatan pada klien dengan gangguan disfagia beserta
pencegahannya.
2) Disfagia Motorik
Disfagia motorik dapat terjadi akibat kesulitan dalam memulai gerakan
menelan atau abnormalitas pada gerakan peristaltik dan akibat inhibisi
deglutisi yang disebabkan oleh penyakit pada otot lurik atau otot polos
esofagus.
Penyakit pada otot lurik meliputi faring, sfingter esofagus bagian atas dan
esofagus pars proksimal. Otot lurik dipersarafi oleh komponen somatik
nervus vagus dengan badan-badan sel lower motor neuron yang terletak
dalam nukleus ambigus. Neuron-neuron ini bekerja kolinergik serta
eksitatorik dan merupakan satu-satunya faktor penentu aktivitas otot tersebut.
Gerakan peristaltik pada segmen otot lurik disebabkan oleh aktivasi sentral
sekuensial neuron-neuron yang menginervasi otot-otot pada tingkat yang
berbeda-beda di sepanjang esofagus. Disfagia motorik faring terjadi akibat
kelainan neuromuskuler yang menyebabkan paralisis otot, kontraksi
nonperistaltik simultan atau tertutupnya lubang pada sfingter esofagus bagian
atas. Hilangnya proses membuka sfingter atas disebabkan oleh paralisis
geniohioid dan otot suprahioid lain atau hilangnya inhibisi deglutif otot
krikofaringeus. Karena setiap sisi faring diinervasi oleh saraf ipsilateral, lesi
neuron motor yang terjadi hanya pada satu sisi menyebabkan paralisis faring
unilateral. Meskipun lesi otot lurik juga mengenai bagian servikal esofagus,
manifestasi klinis gangguan fungsi faring mengalihkan manifestasi akibat
terkenanya esofagus.
Penyakit-penyakit pada segmen otot polos meliputi esofagus pars torakal
dan sfingter esofagus bagian bawah. Otot polos diinervasi oleh komponen
parasimpatis serabut-serabut saraf praganglion nervus vagus dan neuron-
neuron pascaganglion dalam ganglia mienterika. Serabut-serabut saraf ini
memberikan pengaruh inhibisi yang dominan pada sfingter esofagus bagian
bawah dan menyebabkan inhibisi yang diikuti oleh kontraksi pada korpus
esofagus. Peristalsis dalam segmen ini disebabkan oleh mekanisme
neuromuskuler pada dinding esofagus sendiri. Disfagia terjadi kalau
kontraksi peristaltiknya lemah atau kalau terdapat gerakan nonperistaltik atau
kalau sfingter distal tidak dapat membuka dengan normal. Hilangnya
kekuatan kontraktil terjadi akibat kelemahan otot, seperti pada skleroderma,
atau akibat hilangnya neuron mienterik, seperti pada akalasia. Penyebab
kontraksi nonperistaltik, secara tipikal terlihat pada spasme esofagus difus,
tidak dimengerti. Kerusakan inhibisi deglutif sfingter esofagus bawah disertai
dengan defek pada saraf inhibisi terhadap sfingter, dan merupakan penyebab
utama disfagia pada akalasia.
Sebab-sebab disfagia motorik yang penting adalah paralisis faring,
akalasia krikofaringeal, skleroderma esofagus, akalasia, spasme esofagus
difus dan gangguan motorik yang terkait.
c. Stimulasi Listrik
Penggunaan stimulasi listrik untuk penanganan disfagia merupakan
terobosan baru dan menarik. Penggunaannya yang lebih sering pada
ekstremitas atas dan bawah dikarenakan otot-otot daerah tersebut yang lebih
besar sehingga lebih mudah diisolasi bila dibandingkan dengan otot-otot
daerah leher. Stimulasi listrik ialah penggunaan listrik bervoltase rendah
untuk menstimulasi otot sehingga menyebabkan serabut otot berkontraksi..
Respon neuromuskular yang terjadi dipengaruhi oleh:
a) Karakteristik aliran listrik
b) Apakah stimulasi yang diberikan bersifat kontinyu atau intermiten
c) Penempatan elektroda
d) Lamanya sesi yang diberikan kepada pasien (dosis)
e) Diberikan saat otot beristirahat atau diberikan dengan manuver otot
tertentu, keteraturan pemberian terapi.
Namun dari semua parameter ini belum ada satupun yang diteliti secara
seksama. Stimulasi listrik dengan frekuensi yang tinggi akan menghasilkan
kontraksi yang kuat, namun hal ini dapat cepat menimbulkan kelelahan.
Sebaliknya, stimulasi listrik dengan frekuensi yang rendah akan menghasilkan
kontraksi yang lebih lemah, namun hal ini mengurangi terjadinya cedera otot.
Hanya terdapat sedikit data penelitian sebelumnya yang membahas mengenai
stimulasi listrik yang adekuat untuk penganan disfagia. Ada dugaan yang
menyatakan bahwa stimulasi listrik (disebut juga dengan Functional
Neuromotor Stimulation – FNS) sangat sesuai untuk gangguan motorik yang
diakibatkan susunan sistem saraf pusat yang terganggu namun system
neuromuskular yang masih utuh.
1) Modifikasi diet
Merupakan komponen kunci dalam program pengobatan umum disfagia.
Suatu diet makanan yang berupa bubur direkomendasikan pada pasien
dengan kesulitan pada fase oral, atau bagi mereka yang memiliki retensi
faringeal untuk mengunyah makanan padat. Jika fungsi menelan sudah
membaik, diet dapat diubah menjadi makanan lunak atau semi-padat
sampai konsistensi normal.
2) Suplai Nutrisi
Efek disfagia pada status gizi pasien adalah buruk. Disfagia dapat
menyebabkan malnutrisi. Banyak produk komersial yang tersedia untuk
memberikan bantuan nutrisi. Bahan-bahan pengental, minuman yang
diperkuat, bubur instan yang diperkuat, suplemen cair oral. Jika asupan
nutrisi oral tidak adekuat, pikirkan pemberian parenteral.
3) Hidrasi
Disfagia dapat menyebabkan dehidrasi. Pemeriksaan berkala keadaan
hidrasi pasien sangat penting dan cairan intravena diberikan jika terapat
dehidrasi.
4) Pembedahan
Pembedahan gastrostomy
Pemasangan secara operasi suatu selang gastrostomy memerlukan
laparotomy dengan anestesi umum ataupun lokal.
Cricofaringeal myotomy
Cricofaringeal myotomy (CPM) adalah prosedur yang dilakukan untuk
mengurangi tekanan pada sphicter faringoesophageal (PES) dengan
mengincisi komponen otot utama dari PES. Injeksi botulinum toxin
kedalam PES telah diperkenalkan sebagai ganti dari CPM.
3) Disfagia parah
Jika kesulitan menelan mencegah mendapatkan asupan makanan dan
minuman secara memadai, maka dokter mungkin merekomendasikan:
Cairan diet khusus. Cairan ini dapat membantu anda mempertahankan
berat badan yang sehat dan terhindar dari dehidrasi.
Tabung makanan. Dalam kasus disfagia yang parah, mungkin
diperlukan selang untuk melewati bagian dari mekanisme menelan
yang tidak berfungsi normal.
2.9 Penatalaksanaan pada Aklasia
Sifat terapi pada akalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik esofagus
tidak dapat dipulihkan kerabali. Terapi dapat dilakukan dengan memberi diet
tinggi kalori, medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi, dan operasi
esofagokardiotomi (operasi Heller).
a. Terapi Non Bedah
1. Terapi Medikasi
Pemberian smooth-muscle relaxant, seperti nitroglycerin 5 mg SL
atau 10 mg PO, dan juga methacholine, dapat membuat sfingter esofagus
bawah relaksasi dan membantu membedakan antara suatu striktur
esofagus distal dan suatu kontraksi sfingter esofagus bawah. Selain itu,
dapat juga diberikan calcium channel blockers (nifedipine 10-30 mgSL)
dimana dapat mengurangi tekanan pada sfingter esofagus bawah.
Namun demikian hanya sekitar 10% pasien yang berhasil dengan
terapi ini. Terapi ini sebaiknya digunakan untuk pasien lansia yang
mempunyai kontraindikasi atas pneumatic dilatation atau pembedahan.
4. Obat-Obat Oral
Perawatan-perawatan untuk achalasia termasuk obat-obat oral,
pelebaran atau peregangan dari sphincter esophagus bagian bawah
(dilation), operasi untuk memotong sphincter (esophagomyotomy), dan
suntikan racun botulinum (Botox) kedalam sphincter. Semua keempat
perawatan mengurangi tekanan didalam sphincter esophagus bagian bawah
untuk mengizinkan lewatnya makanan lebih mudah dari esophagus
kedalam lambung.
Obat-obat oral yang membantu mengendurkan sphincter esophagus
bagian bawah termasuk kelompok-kelompok obat yang disebut nitrates,
contohnya isosorbide dinitrate (Isordil) dan calcium-channel blockers,
contohnya nifedipine (Procardia) dan verapamil (Calan). Meskipun
beberapa pasien-pasien dengan achalasia, terutama pada awal penyakit,
mempunyai perbaikan dari gejala-gejala dengan obat-obat, kebanyakan
tidak. Dengan mereka sendiri, obat-obat oral mungkin menyediakan hanya
pembebasan jangka pendek dan bukan jangka panjang dari gejala-gejala
achalasia, dan banyak pasien-pasien mengalami efek-efek sampingan dari
obat-obat.
b. Terapi Bedah
Suatu laparascopic Heller myotomy dan partial fundoplication adalah
suatu prosedur pilihan untuk akalasia esofagus. Operasi ini terdiri dari suatu
pemisahan serat otot (mis: miotomi) dari sfingter esofagus bawah (5 cm) dan
bagian proksimal lambung (2 cm), yang diikuti oleh partial fundoplication
untuk mencegah refluks. Pasien dirawat di rumah sakit selama 24-48 jam, dan
kembali beraktfitas sehari-hari setelah kira-kira 2 minggu.
Secara efektif, terapi pembedahan ini berhasil mengurangi gejala sekitar
85-95% dari pasien, dan insidens refluks postoperatif adalah antara 10% dan
15%. Oleh karena keberhasilan yang sangat baik, perawatan rumah sakit yang
tidak lama, dan waktu pemulihan yang cepat, maka terapi ini dianggap
sebagai terapi utama dalam penanganan akalasia esofagus. Pasien yang gagal
dalam menjalani terapi ini, mungkin akan membutuhkan dilatasi, operasi
kedua, atau pengangkatan esofagus (mis: esofagektomi).
2. Pemeriksaan Esofagoskopi
Esofagoskopi merupakan pemeriksaan yang dianjurkan untuk semua
pasien akalasia oleh karena beberapa alasan yaitu untuk menentukan
adanya esofagitis retensi dan derajat keparahannya, untuk melihat sebab
dari obstruksi, dan untuk memastikan ada tidaknya tanda keganasan. Pada
pemeriksaan ini, tampak pelebaran lumen esofagus dengan bagian distal
yang menyempit, terdapat sisa-sisa makanan dan cairan di bagian
proksimal dari daerah penyempitan, Mukosa esofagus berwarna pucat,
edema dan kadang-kadang terdapat tanda-tanda esofagitis aldbat retensi
makanan. Sfingter esofagus bawah akan terbuka dengan melakukan
sedikit tekanan pada esofagoskop dan esofagoskop dapat masuk ke
lambung dengan mudah.
Pada kebanyakan pasien, dengan pemeriksaan esofagoskopi
ditemukan gambaran mukosa normal, kadang-kadang didapatkan
hiperemia ringan difus di bagian distal esofagus. Juga didapatkan
gambaran bercak putih pada mukosa, erosi dan ulkus akibat retensi
makanan. Dengan pemeriksaan ini dapat disingkirkan kelainan karena
striktur atau keganasan. Endoskopi pada akalasia selain untuk diagnosis
juga dapat membantu terapi,sebagai alat pemasangan kawat penunjuk arah
sebelum tindakan dilatasi pneumatik.
3. Pemeriksaan Manometrik
Gunanya untuk mengetahui fungsi motorik esofagus dengan
melakukan pemeriksaan tekanan di dalam lumen sfingter esofagus.
Pemeriksaan ini untuk memperlihatkan kelainan motorik secara-
kuantitatif dan kualitatif. Pemeriksaan dilakukan dengan memasukkan
pipa untuk pemeriksaan manometri melalui mulut atau hidung. Pada
akalasia yang dinilai adalah fungsi motorik badan esofagus dan sfingter
esofagus bawah. Pada badan esofagus dinilai tekanan istirahat dan
aktifitas peristaltiknya. Sfingter esofagus bagian bawah yang dinilai
adalah tekanan istirahat dan mekanisme relaksasinya. Gambaran
manometrik yang khas adalah tekanan istirahat badan esofagus meningkat,
tidak terdapat gerakan peristaltik sepanjang esofagus sebagai reaksi proses
menelan. Tekanan sfingter esofagus bagian bawah normal atau meninggi
dan tidak terjadi relaksasi sfingter pada waktu menelan
Kriteria Manometrik:
a) Keadaan normal:
Tekanan SEB 10-26 mmHg dengan relaksasi normal
Amplitudo peristaltik esofagus distal 50-110 mmHg
Tidak dijumpai kontraksi spontan, repetitif, atau simultan
Gelombang tunggal
5 waktu gelombang peristaltik esofagus distal rata-rata 30
detik
b) Pada akalasia:
Tekanan SEB meningkat >26 mmHg atau >30 mmHg
Relaksasi SEB tidak sempurna
Aperistaltik korpus esophagus
Tekanan intraesofagus meningkat (>lambung).
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan menelan berhubungan dengan abnormalitas pada esophagus
2. Risiko nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kurangnya
nutrisi yang adekuat.
3. Risiko terjadi aspirasi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan.