Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
A. Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyakit-penyakit
dengan gejala pada disfagia, pathogenesis, patologis, cara diagnosis dan
penanganan penyakit-penyakit tersebut.
B. Kegiatan yang Dilakukan dan Keluarannya
Mahasiswa membuat skenario kasus tentang disfagia dan
menyelesaikannya permasalahan kasus tersebut dengan menggunakan
beberapa tahap atau langkah-langkah.
Berikut laporan dari hasil yang telah saya dapatkan :
1. Langkah 1 : klarifikasi istilah asing
Kasus Skenario 1
Seorang pasien bernama Tn. kadek usia 45 tahun, pasien mengeluh
kesulitan makan baik makanan padat maupun cair, dia langsung muntah dan
sehabis muntah merasa tenggorokan sakit dan mengalami nyeri pada dada,
pasien juga mengeluh perutnya terasa panas, Berat badan menurun.
kata kunci :
Adapun kata kunci dalam kasus tersebut adalah sebagai berikut :
a. Tn. Kadek usia 45 tahun
b. Pasien kesulitan makan baik makanan padat maupun cair
c. Makanan dan minuman yang dikonsumsi selalu dimuntahkan
d. Sakit tenggorokan dan nyeri pada dada
e. Perut terasa panas
f. Berat badan menurun
2. Langkah 2 : Menentukan masalah dalam skenario dengan membuat beberapa
pertanyaan.
Adapun pertanyaan yang diperoleh dari hasil diskusi kelompok kami
adalah :
1. Jelaskan definisi dan klasifikasi disfagia?
2. Jelaskan dan bagaimana mekanisme dari disfagia?

1
3. Apa saja patogenesis dari disfagia?
4. Apa saja etiologi dari disfagia?
5. Apa saja faktor resiko dari disfagia?
6. Mengapa makanan dan minuman yang dikonsumsi selalu dimuntahkan serta
apa penyebab dari sakit tenggorokan,nyeri dada dan perut terasa perih yang
dialami pasien?
7. Bagaimana alur diagnosis pada skenario?
8. Apa saja diferensial diagnosis pada skenario?
9. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada skenario?
10. Bagaiimana tatalaksana pada kasus di skenario?
11. Bagaimana komplikasi, prognosis, dan preventif pada kasus di skenario?

3. Langkah 3 : Menjawab dan menjelaskan pertanyaan yang telah disusun


4. Langkah 4 : menyusun penjelasan secara sistematik
5. Langkah 5 (Belajar Mandiri )
belajar mandiri untuk mencari dasar ilmiah, mengumpulkan data-
data atau informasi yang dapat membantu meningkatkan pemahaman dan
penerapan konsep dasar dalam menyelesaikan kasus.

2
BAB II

PEMBAHASAN

1. Apa definisi dan klasifikasi disfagia?


Jawaban :
a. Definisi disfagia
Dysphagia didefinisikan sebagai kesulitan makan. Dysphagia
adalah perkataan yang berasal dari bahasa Yunani dys yang berarti
kesulitan atau gangguan, dan phagia berarti makan. Disfagia berhubungan
dengan kesulitan makan akibat gangguan dalam proses menelan. Kesulitan
menelan dapat terjadi pada semua kelompok usia, akibat dari kelainan
kongenital, kerusakan struktur, dan/atau kondisi medis tertentu. Masalah
dalam menelan merupakan keluhan yang umum didapat di antara orang
berusia lanjut, dan insiden disfagia lebih tinggi pada orang berusia lanjut
dan pasien stroke. Kurang lebih 51-73% pasien stroke menderita disfagia.
Penyebab lain dari disfagia termasuk keganasan kepala- leher, penyakit
neurologik progresif seperti penyakit Parkinson, multiple sclerosis, atau
amyotrophic lateral sclerosis, scleroderma, achalasia, spasme esofagus
difus, lower esophageal (Schatzki) ring, striktur esofagus, dan keganasan
esofagus. Disfagia merupakan gejala dari berbagai penyebab yang
berbeda, yang biasanya dapat ditegakkan diagnosanya dengan anamnesa,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang lainnya, di antaranya
pemeriksaan radiologi dengan barium
b. Klasifikasi disfagia
Berdasarkan penyebabnya, disfagia dibagi atas :
1. Disfagia mekanik
Disfagia mekanik timbul bila terjadi penyempitan lumen
esophagus. Penyebab utama disfagia mekanik adalah sumbatan lumen
esophagus oleh Massa tumor dan benda asing. Penyebab lain adalah
akibar peradangan mukosa esophagus, striktur lumen esophagus, serta

3
akibat penekanan lumen esophagus dari luar, misalnya pembesaran
kelenjar timus, kelenjar tiroid, kelemjar getah bening di mediastinum,
pembesaran jantung, dan elongasi aorta
2. Disfagia motorik
Keluhan disfagia motorik disebabkan oleh kelainan
neuromuscular yang berperan dalam proses menelan. Lesi di pusat
menelan di batang otak, kelainan saraf otak n. V, n. VII, n. IX, n. X dan
n. XII, kelumpuhan otot faring dan lidah serta gangguan peristaltic
esophagus dapat menyebabkan disfagia. Penyebab utama dari disfagia
motorik adalah akalasia, spasme difus esophagus, kelumpuhan otot
faring dan skleroderma esophagus
3. Disfagia oleh gangguan emosi
Keluhan disfagia dapat juga timbul bila terdapat gangguan emosi atau
tekanan jiwa yang berat. Kelainan ini dikenal sebagai globushisterikus.
Berdasarkan lokasinya, disfagia dibagi atas:
1. Disfagia orofaringeal
Disfagia orofaringeal adalah kesulitan mengosongkan bahan dari
orofaring ke dalam kerongkongan, hal ini diakibatkan oleh fungsi abnormal
dari proksimal ke kerongkongan. Pasien mengeluh kesulitan memulai
menelan, regurgitasi nasal, dan aspirasi trakea diikuti oleh batuk
2. Disfagia esophageal
Disfagia esophagus adalah kesulitan transportasi makanan ke
kerongkongan. Hal ini diakibatkan oleh gangguan motilitas baik atau
obstruksi mekanis.
2. Bagaimana mekanisme disfagia?
Jawaban :
Gangguan pada proses menelan dapat digolongkan tergantung dari fase
menelan yang dipengaruhinya.

4
a. Fase Oral
Gangguan pada fase Oral mempengaruhi persiapan dalam mulut dan
fase pendorongan oral biasanya disebabkan oleh gangguan pengendalian
lidah. Pasien mungkin memiliki kesulitan dalam mengunyah makanan padat
dan permulaan menelan. Ketika meminum cairan, pasien mungkin kesulitan
dalam menampung cairan dalam rongga mulut sebelum menelan. Sebagai
akibatnya, cairan tumpah terlalu cepat kedalam faring yang belum siap,
seringkali menyebabkan aspirasi. Logemann's Manua for the
Videofluorographic Study of Swallowing mencantumkan tanda dan gejala
gangguan menelan fase oral sebagai berikut :
1. Tidak mampu menampung makanan di bagian depan mulut karena tidak
rapatnya pengatupan bibir.
2. Tidak dapat mengumpulkan bolus atau residu di bagian dasar mulut karena
berkurangnya pergerakan atau koordinasi lidah
3. Tidak dapat menampung bolus karena berkurangnya pembentukan oleh
lidah dan koordinasinya.
4. Tidak mampu mengatupkan gigi untuk mengurangi pergerakan mandibula
5. Bahan makanan jatuh ke sulcus anterior atau terkumpul pada sulcus
anterior karena berkurangnya tonus otot bibir.
6. Posisi penampungan abnormal atau material jatuh ke dasar mulut karena
dorongan lidah atau pengurangan pengendalian lidah
7. Penundaan onset oral untuk menelan oleh karena apraxia menelan atau
berkurangnya sensibilitas mulut
8. Pencarian gerakan atau ketidakmampuan untuk mengatur gerakan lidah
karena apraxia untuk menelan
9. Lidah bergerak ke depan untuk mulai menelan karena lidah kaku.
10. Sisa-sisa makanan pada lidah karena berkurangnya gerakan dan kekuatan
lidah
11. Gangguan kontraksi (peristalsis) lidah karena diskoordinasi lidah
12. Kontak lidah-palatum yang tidak sempurna karena berkurangnya
pengangkatan lidah

5
13. idak mampu meremas material karena berkurangnya pergerakan lidah
ke atas
14. Melekatnya makanan pada palatum durum karena berkurangnya elevasi
dan kekuatan lidah
15. Bergulirnya lidah berulang pada Parkinson disease
16. Bolus tak terkendali atau mengalirnya cairan secara prematur atau melekat
pada faring karena berkurangnya kontrol lidah atau penutupan linguavelar
17. Piecemeal deglutition
18. Waktu transit oral tertunda

b. Fase Faringeal
Jika pembersihan faringeal terganggu cukup parah, pasien mungkin
tidak akan mampu menelan makanan dan minuman yang cukup untuk
mempertahankan hidup. Pada orang tanpa dysphasia, sejumlah kecil makanan
biasanya tertahan pada valleculae atau sinus pyriform setelah menelan. Dalam
kasus kelemahan atau kurangnya koordinasi dari otot-otot faringeal, atau
pembukaan yang buruk dari sphincter esofageal atas, pasien mungkin
menahan sejumlah besar makanan pada faring dan mengalami aspirasi aliran
berlebih setelah menelan.
Logemann's Manual for the Videofluorographic Study of
Swallowing mencantumkan tanda dan gejala gangguan menelan fase faringeal
sebagai berikut:
1. Penundaan menelan faringeal
2. Penetrasi Nasal pada saat menelan karena berkurangnya penutupan
velofaringeal
3. Pseudoepiglottis (setelah total laryngectomy) – lipata mukosa pada dasar
lidah
4. Osteofit Cervical
5. Perlengketan pada dinding faringeal setelah menelan karena pengurangan
kontraksi bilateral faringeal

6
6. isa makanan pada vallecular karena berkurangnya pergerakan posterior
dari dasar lidah
7. Perlengketan pada depresi di dinding faring karena jaringan parut atau
lipatan faringeal
8. Sisa makanan pada puncak jalan napas karena berkurangnya elevasi laring
9. Penetrasi dan aspirasi laringeal karena berkurangnya penutupan jalan
napas
c. Fase Esophageal
Gangguan fungsi esophageal dapat menyebabkan retensi makanan dan
minuman di dalam esofagus setelah menelan. Retensi ini dapat disebabkan oleh
obstruksi mekanis, gangguan motilitas, atau gangguan pembukaan Sphincter
esophageal bawah.
Logemann's Manual for the Videofluorographic Study of
Swallowing mencantumkan tanda dan gejala gangguan menelan pada fase
esophageal sebagai berikut:
1. Aliran balik Esophageal-ke-faringeal karena kelainan esophageal
2. Tracheoesophageal fistula
3. Zenker diverticulum
4. Reflux
3. Patogenesis disfagia
Obstruksi lumen esofagus atau orofaring akibat lesi intrinsik pada dinding,
kompresi ekstrinsik atau benda asing dalam lumen.
Penyebab meliputi :
1. Keganasan (primer atau sekunder)
2. Striktur peptik
3. Cedera kimiawi (misalnya korosif)
4. “Oesophageal web”
5. Cincin perbatasan skuamo-kolumnar (cincin Schatzki)
6. Divertikulum esofagus
7. Infeksi esofagus (misalnya kandidiasis)
8. Benda asing

7
9. Vaskular (misalnya atrium kiri raksasa)
Kelainan neuromuskular yang mengganggu koordinasi aliran makanan dan
cairan yang normal dari esofagus ke lambung.
Penyebab meliputi:
1. Kecelakaan serebro-vaskular
2. Penyakit motor neuron
3. Sklerosis multipel
4. Miastenia gravis
5. Polimiositis, dermatomiositis, Skleroderma
6. Miopati tirotoksik

Beberapa upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.


a. Pelayanan promotif dan preventif adalah pelayanan bagi kelompok
masyarakat yang sehat, agar kelompok ini tetap sehat dan bahkan
meningkat statuskesehatannya. Pada dasarnya pelayanan ini dilakukan
oleh kelompok profesikesehatan masyarakat.
b. Pelayanan kuratif dan rehabilitatif adalah pelayanan kesehatan masyarakat
yangsakit, agar kelompok ini sembuh dari penyakit dan menjadi pulih
kesehatannya.Pada prinsipnya pelayanan jenis ini dilakukan kelompok
profesi kedokteran.
1. Upaya Promotif
a. Adalah upaya promosi kesehatan untuk meningkatkan status atau
derajat kesehatan yang optimal
b. Tujuannya adalah agar masyarakat mampu meningkatkan kesehatannya
c. Sasarannya adalah kelompok orang yang sakit Dengan cara
memberikan informasi kepada orang yang menderita penyakit disfagia
2. Upaya Preventif
a. Adalah upaya promosi kesehatan untuk mencegah terjadinya penyakit
b. Tujuannya adalah agar masyarakat tidak jatuh sakit dan terkena
penyakit(primary prevention)

8
c. Sasarannya adalah kelompok masyarakat yang beresiko tinggi terkena
penyakit
3. Upaya Kuratif
a. Adalah upaya untuk mencegah penyakit menjadi lebih parah
melalui pengobatan
b. Tujuannya adalah mencegah penyakit menjadi lebih parah
(secondary prevention)
c. Sasarannya adalah orang sakit ( pasien ) terutama penyakit kronis
Dengan cara pemeriksaan dan pengobatan yang tepat kepada pasien yang
menderita penyakit disfagia
4. Upaya Rehabilitatif
a. Adalah upaya untuk memelihara dan memulihkan kondisi atau
mencegah kecacatan
b. Tujuannya adalah pemulihan dan pencegahan kecacatan (tertiery
prevention)
c. Sasarannya adalah kelompok orang yang baru sembuh dari penyakit
Dengan cara pemulihan keadaan pasca sakit dan juga istirahat yang
cukup.
4. Etiologi dari disfagia
Jawaban :

Berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi :

a. Disfagia mekanik, timbul bila terjadi penyempitan lumen esofagus.


Penyebab : sumbatan lumen esofagus oleh massa tumor dan benda asing,
peradangan mukosa esofagus, striktur lumen esofagus, penekanan
esofagus dari luar, arteri subklavia yang abnormal (disfagia lusoria).
b. Disfagia motorik, timbul bila terjadi kelainan neuromuscular yang
berperan dalam proses menelan (N. V, N.VII, N.IX, N.X, dan N.XII).
Penyebab : akalasia, spasme difus esofagus, kelumpuhan otot faring, dan
scleroderma esofagus.

9
c. Disfagia oleh gangguan emosi atau tekanan jiwa yang berat dikenal
sebagai globus histerikus.

Berdasarkan letaknya :

a. Fase orofaringeal : penyakit serebrovaskular, miastenia gravis, kelainan


muscular, tumor, divertikulum Zenker, gangguan motilitas/sfingter
esofagus atas.
b. Fase esofangeal : inflamasi, striktur esofagus, tumor, ring/web, penekanan
dari luar esofagus, akalasia, spasme esofagus difus, dan skleroderma.
5. Apa saja faktor resiko disfagia?
Jawaban :
a. Usia lanjut
b. Pasien stroke 51-73%
c. Penyakit neurologik seperti parkinson
d. Multiple sclerosis
e. Amyothropic lateral sclerosis
f. Schleroderma
g. Achalasia
h. Striktur esofagus
i. Parkinson
Degenerasi sel saraf secara bertahap pada otak bagian tengah yang
berfungsi mengatur pergerakan tubuh. Gejala umumnya adalah tremor atau
gemetaran.
j. Multiple Sclerosis
Penyakit auto imun yang menyebabkan radang kronis pada sistem
saraf pusat – otak dan saraf tulang belakang.
k. Amyothropic lateral sclerosis
Penyakit yang tergolong dalam penyakit saraf motor atau motor
neuron disease.

10
l. Schleroderma
Penyakit langka yang menyerang sistem pertahanan tubuh terdapat 2
jenis sistemik dan localized .

m. Achalasia
Ketidakmampuan untuk menyalurkan makanan pada esofagus ke
dalam lambung.

6. Mengapa makanan dan minuman baik dalam bentuk padat maupun cairan yang
dikonsumsi selalu dimuntahkan serta apa penyebab dari sakit tenggorokan,
nyeri dada dan perut terasa perih yang dialami pasien?
Jawaban :

Pasien yang mengalami muntah pada saat mengkonsumsi makanan baik


padat maupun cair disebabkan oleh sebuah obstruksi mekanik, yang
disebabkan oleh masalah motilitas pada saluran cerna yang menyebabkan
kelainan pada saat ingin mencerna makanan baik itu padat ataupun cair,
namun keadaan semakin buruk apabila pasien tidak dapat mencerna makan
cair.

Penyebab dari sakit tenggorokan pada pasien bisa disebabkan adanya


kerusakan saraf pada kerongkongan. Terdapat lingkaran otot pada suatu titik
dimana kerongkongan dan perut bertemu, yang disebut sphincter
kerongkongan bawah. Biasanya, otot ini mengendur ketika Anda menelan.
Orang-orang yang menderita akalasia tidak mengendurkan otot ini. Selain itu,
aktivitas normal otot dalam kerongkongan terganggu.

Bila dicurigai achalasia pada pemeriksaan barium, selanjutnya lakukan


nanometri untuk menegakan diagnose achalasia.

11
7. Bagaimana alur diagnosis pada skenario?
Jawaban :
a. Anamnesis
KU : Keluhan Utama
KT : Keluhan Tambahan
RPD : Riwayat Penyakit Dahulu
RDK : Riwayat Penyakit Sekarang
RPsi : Riwayat Psikososial
b. Identitas pasien
Autoanamnesis/alloanamesis
Nama : Tn. kadek
Umur : 45 tahun
Pekerjaan :-
Alamat :-
Status pernikahan :-

c. KU : Setiap makan makanan padat maupun cair muntah


1. Apakah muntah sebelum makanan atau sesudah makan?
2. Bagaimana bentuk muntahnya?
3. Apakah hilang timbul atau terus menerus muntahnya?
4. Hal apakah yang dapat memperberat dan memperingan muntah?
5. Apakah saat anda muntah terasa asam/ pahit atau tidak ada rasa?
6. Apakah anda merasa saat makan ada yang mengganjal/ sesuatu nyangkut
ditenggorokan?
7. Apakah ada gangguan saat menelan? jika : Iya, apakah lebih mudah
menelan makanan padat atau makanan cair? Makanan cair lebih susah
ditelan daripada makanan padat.
d. KT :
1. Apakah nafsu makanan anda menurun?
2. Apakah disertai penurunanan berat badan ? Iya , Bagaimana cara anda
mengetahuinya?

12
3. Apakah disertai nyeri dada? Menjalar atau tidak? Jika iya : menjalarnya
dari mana sampai mana ?
4. Saat kapan dan aktivitas apa yang dapat memperberat dan memperingan
nyeri dada?
5. Apakah disertai batuk? Batuknya berdahak/berdarah/kering? Batuk terjadi
pada malam/pagi/ siang/
e. RPD : Pernah mengalami seperti ini sebelumnya?
f. RPK : Apakah keluarga mengalami hal yang sama? Siapa? Sejak kapan?
g. Riwayat Psikososial :
1. Bagaimana lingkungan tempat tinggal/lingkungan kerja?
2. Apakah anda mengkonsumsi makanan yang diolah dirumah atau beli diluar
rumah?
3. Bagaimana pola makan anda? Jenis makanan apa saja yang anda konsumsi?
4. Apakah anda mengkonsumsi makanan berlemak?
5. Apakah anda mengkonsumsi minum alkohol?
6. Apakah sedang mengkonsumsi obat-obatan tertentu dalam jangka panjang
(kortikosteroid)? obat apa?
7. Apakah anda merasa stress terhadap pekerjaan/aktivitas anda sehari-hari?
8. Apakah anda mengkonsumsi bahan-bahan korosif? Apakah sebelumnya
anda melakukan operasi pada bagian esophagus?
h. RPO : Apakah pernah diobati sebelumnya?Obat jenis apa?Bagaimana
hasilnya?
i. Riwayat Alergi : Apakah anda memiliki riwayat alergi pada serbuk tumbuhan,
debu, dll?

Pemeriksaan Fisis

a. Inspeksi :
a.tanda anemis-> konjungtiva pucat, akral tangan dan kaki terasa dingin,
b. BB : turun
c. Palpasi : -
d. Perkusi : -

13
e. Auskutasi : -
Notes : Pemfis tidak banyak membentu dalam menentukan diagnosis
AKALASIA.
8. Apa saja diferensial diagnosis pada skenario?
1. Akalasia esofagus
a. Definisi Akalasia esofagus
suatu keadaan khas yang ditandai dengan tidak adanya peristaltis
korpus esofagus bagian bawah dan sfingter esofagus bagian bawah (SEB)
yang hipertonik sehingga tidak bisa mengadakan relaksasi secara
sempurna pada waktu menelan makanan.
b. Epidemiologi
Sebagian besar kasus terjadi pada umur pertengahan dan sering
terjadi pada wanita. Sebagian besar pada usia 25-60 tahun dan sedikit
pada anak-anak. Dari data Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI/RSCM didapatkan 48 kasus dalam kurun waktu 5
tahun (1984-1988). Dari suatu penelitian internasional didapatkan bahwa
angka kematian ini dari 28 populasi yang berasal dari 26 negara
didapatkan angka kematian tertinggi tercatat di Selandia Baru dengan
angka kematian standar 259 sedangkan yang terendah didapatkan dengan
angka kematian standar 0. Kelainan ini tidak diturunkan dan biasanya
memerlukan waktu bertahun-tahun hingga menimbulkan gejala.

c. Etiologi
Etiologi akalasia dibagi menjadi 2:
1. Akalasia primer
Penyebab yang jelas kelainan ini tidak diketahui. Diduga disebabkan
oleh virus neurotropik yang berakibat lesi pada nukleus dorsalis vagus
pada batang otak dan ganglia misenterikus pada esofagus.
2. Akalasia sekunder
3. Kelainan ini dapat disebabkan oleh infeksi (eg: penyakit Chagas), tumor
intraluminer seperti tumor kardia atau oendorongan ekstra luminer seperti

14
pseudokista pankreas. Kemungkinan lain dapat disebabkan oleh obat
antikolinergik atau paska vagotomi.
d. Patofisiologi
Menurut Castell ada dua efek penting yang didapatkan pada pasien akalasia:
1. Obstruksi pada sambungan esofagus dan gaster akibat peningkatan SEB
basal jauh di atas normal dan gagalnya SEB untuk relaksasi sempurna.
Beberapa penulis menyebutkan adanya hubungan kenaikan SEB dengan
sensitifitas terhadap hormon gastrin. Panjang SEB manusia 3-5 cm,
sedangkan tekanan SEB basal normal rata-rata 20 mmHg. Pada akalasia
tekanan SEB meningkat kurang lebih dua kali yaitu sekitar 50 mmHg.
Gagalnya relaksasi SEB ini disebabkan penurunan tekanan sebesar 30-
40% yang dalam keadaan normal turun sampai 100% yang akan
mengakibatkan bolus makanan tidak dapat masuk ke dalam gaster.
Kegagalan ini berakibat tertahannya makanan dan minuman di esofagus.
Ketidakmampuan relaksasi sempurna akan menyebabkan adanya tekanan
residual; bila tekanan hidrostatik disertai dengan gravitasi dapat melebihi
tekanan residual makanan dapat masuk ke dalam gaster.
2. Peristatltis esofagus yang tidak normal disebabkan karena aperistaltis dan
dilatasi 2/3 bagian bawah korpus esofagus. Akibat lemah dan tidak
terkordinasinya peristaltis, sehingga tidak efektif dalam mendorong bolus
makanan melewati SEB.

Gejala klinis

a. Disfagia, baik untuk makanan padat maupun cair, yang didaptkan pada lebih
dari 90% kasus Regurgitasi pada 70% kasus, pasien tidak merasa asam atau
pahit
b. Penurunan berat badan
c. Nyeri dada pada 30% kasus
d. Batuk-batuk dan pneumonia aspirasi akibat komplikasi retensi makanan

15
2. Striktur esofagus
a. Definisi
Penyempitan lumen esofagus karena fibrosis dinding esofagus,
dapat karena tumor atau penyebab lain. Proses striktur terjadi akibat reaksi
inflamasi dan nekrosis esofagus yang disebabkan oleh macam-macam
penyebab.
b.Epidemiologi
Striktur pasca operasi diperkirakan sekitar 10 % dan striktur
korosif sekitar kurang dari 5%. Striktur peptik didapatkan 10 kali lipat
lebih sering pada etnik kulit putih dibandingkan kulit hitam atau Asia,
walau masih kontroversi. Ditemukan 2-3 kali lipat lebih sering pada pria
dibandingkan wanita dan pada usia tua. Di RSUPN Cipto Mangunkusumo
Indonesia pada tahun 1994 dari 21 pemeriksaan endoskopi saluran cerna
bagian atas atas indikasi disfagia, didaptkan 6 (28,57%) kasus striktur
esofagus.
c. Etiologi
Penyakit yang dapat menimbulkan striktur esofagus dapat
diklasifikasikan menjadi 3:
1. Penyakit intrinsik yang menyempitkan lumen esofagus melalui
inflamasi, fibrosis, atau neoplasia
2. Penyakit ekstrinsik yang menyempitkan lumen esofagus melalui
invasi langsung atau pembesaran kelenjar limfe
3. Penyakit-penyakit yang merusak peristaltik esofagus dan atau fungsi
sfingter esofagus bawah (LES) melalui efek penyakit pada otot polos
esofagus dan persarafannya.

Etiologi striktur esofagus:

1. Jinak (Benigna)
2. Bahan korosif/kaustik (eksogen):
-Alkali –Asam
Cairan lain yang mengandung asam asetat, asam sitrat, asam HCL

16
3. Penyakit esofagus refluks (endogen): terjadi karena adanya iritasi asam
lambung (refluks gastroesofageal). Biasanya striktur terjadi pada 1/3
distal.
4. Pascabedah transeksi esofagus: striktur terjadi pada 1/3 distal.
5. Pascaskleoterapi endoskopik: striktur terjadi pada 1/3 distal.
6. Maligna (tumor/kanker esofagus)
Patogenesis dan patofisiologi
1. Disfungsi sfingter esofagus bawah dan gangguan motilitas yang
mengakibatkan memburuknya kemampuan pembersihan esofagus.
2. Hernia hiatal
3. Sekresi asam dan pepsin
4. Gangguan pengosongan lambung
Gejala klinis
1. Disfagia, lebih jelas terhadap makanan padat
2. Rasa nyeri atau terbakar substernal/dada, rasa tak enak di dada
3. Mual dan muntah sehabis makan
4. Malnutrisi
5. Anemia berupa konjungtiva pucat
6. Aspirasi pneumonia: ronki, sesak napas, sianosis
3. Karsinoma esofagus
a. Definisi
Suatu keganasan yang terjadi pada saluran cerna bagian atas, yaitu pada
saluran yang menghubungkan mulut dengan lambung (esofagus).
b. Epidemiologi
Lebih sering terjadi pada laki-laki dan usia tua. Insidens karsinoma
esofagus di Inggris adalah 6 per 100.000 dengan sebagian besar penderita
laki-laki dan gambaran histopatologi utama karsinoma sel skuamosa
(98%). Insidens karsinoma esofagus jenis karsinoma sel skuamosa yang
tinggi di daerah Iran, Cina, dan Afrika Selatan. Di Amerika Serikat
ditemukan peningkatan insidens adenokarsinoma esofagus. Insidens

17
karsinoma esofagus pada kelompok carrier mencapai 95% pada usia 63
tahun dengan rerata usia awal saat diagnosis adalah 45 tahun.
c. Etiologi
1. Kebiasaan merokok
2. Konsumsi alkohol
3. Tingkat status ekonomi
4. Obesitas
5. Penyakit: Akalasia, Barrett esofagus, GERD, infeksi Helicobacter
pylori dan HPV
d. Patogenesis
Karsinoma sel skuamosa
Diawali dengan terjaidnya displasia: epitel esofagus normal dan
diakhiri dnegan terjadinya karsinoma sel skuamosa esofagus.
1. Adenokarsinoma esofagus
Terjadi perubahan dari esofagus normal, diikuti dengan terjadinya
metaplasia intestinal, berlanjut menjadi displasia low grade dan
displasia high grade serta diakhiri dengan terjadinya adenokarsinoma
esofagus.

e. Gejala klinis
1. Disfagia, awalnya makanan padat lama kelamaan makanan/minuman cair
2. Penurunan berat badan
3. Odinofagia
4. Nyeri retrosternal akibat invasi ke mediastinum
5. Nyeri tulang akibat metastasis
6. Batuk dan suara serak
7. Pneumonia

18
9. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada skenario?
Jawaban :
pada aklasia perlu dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang seperti
radiologis (esofagogram), endoskopi saluran cerna atas dan manometri.
Pemeriksaan radiologi dengan poto polos dada akan menunjukan
gambaran kontur ganda diatas mediastinum bagian kanan, seperti
mediastinum melebar gambaran batas cairan dan udara. Keadaan ini akan
didapatkan pada stadium lanjut. Pada pemeriksaan fluroskopi terlihat tidak
adanya konstraksi esophagus. Pada pemeriksaan radiologis dengan barium
pada aklasia berat akan terlihat adanya dilatasi esophagus. Sering berkelok –
kelok dan memanjang dengan ujung distal merncing disertai permukaan halus
Terdapat gambaran menyerupai paruh burung, beak like appearance atau
mouse tail appearance. Pemeriksaan ini penting untuk menyingkirkan kelainan
seperti striktura esofagus dan keganasan. Pemeriksaan radiologi lain yang dpat
dilakukan adlah skintigrafi dengan memberikan makanan yang mengandung
radioisotope dan akan memperlihatkan dilatasi esophagus tanpa kontraksi.
Disamping itu juga didapatkan pemanjangan waktu transit makanan kedalam
gaster akibat gangguan pengosongan esophagus.
Pemeriksaan endoskopi pada pasien ini harus dipersiapkan dengan baik
dalam bentuk kumbah esofgus denganmemakai kanul besar. Tujuan kumbah
esophagus ini untuk membersihkan makanan paadat atau cair yang terdapat
dalam esophagus, meskipun sudah dalam waktu yang cukup lama. Seperti
sigmoid, endoskopi agak sukar penilaiannya banyaknya lengkungan dan
belokan.
Pada kebanyakan pasien didapatkan mukosa normal. Kadang-kadang
didapatkan hyperemia ringan difus pada bagian distal esophagus. Juga dapat
ditemukan gambaran bercak putih pada mukosa, erosi dan ulkus akibat
retensi makanan. Bila ditiupkan udara akan menampakan kontraksi
esophagus distal. Bila pemeriksaan diteruskan ke segmen gastroesoefageal,
sering dirasakan tahanan ringan dan bila dengan hati-hati alat didorong

19
sampai kedalam gaster. Bila sukar melewati batas esophagus gaster harus
difikirkan kemungkinan keganasan atau striktur jinak.
Daerah kardia gaster harus dievaluasi secermat mungkin untuk
menyingkirkan kemungkinan aklasia sekunder akibat kanker. Biopsi harus
dilakukan bila didapatkan gambaran tidak normal pada kardia teruama pada
pasien diatas umur 50 tahun dengan gejala cepat berkembang dalam waktu
pendek. Endoskopi pada aklasia selain untuk diagnostic juga dapat untuk
membantu terapi, sebagai alat pemasangan kawat petunjuk arah sebelum
tindakan dilatasi pneumatic.

Pemeriksaan manometrik esophagus penting untuk konfirmasi


diagnostic. Pemeriksaan manometrik bertujuan untuk menilai fungsi motorik
esofagus. Dengan mengukur tekanan dalam lumen esofagus dan tekanan
sfingter esofagus dapat dinilai gerakan peristaltik secara kualitatif dan
kuantitatif.

10. Bagaimana tatalaksana pada kasus di skenario?


Jawaban :

Pengobatan akalasia antara lain dengan cara medikamentosa oral, dialtasi


atau peregangan SEB, esofagomotomi dan injeksi toksin botolinum (botox) ke
sfingter esofagus.

1. Pengobatan oral
Akalasia dapat diobati secara konservatif dengan meregangkan area
esofagus yang menyempit disertai dilatasi pneumatik.Sifat terapi pada
akalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik esofagus tidak dapat
dipulihkan kembali. Terapi dapat dilakukan dengan memberi diet tinggi
kalori, medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi, dan operasi
esofagokardiotomi (operasi Heller) (8,9). Klien diobati dengan terapi
medikasi yaitu obat-obat oral seperti metoclopramid (antiemetik)dan
ranitidine (tukak lambung). Obat-obat oral yang membantu mengendurkan
sphincter esophagus bagian bawah termasuk kelompok-kelompok obat yang

20
disebut nitrates, contohnya isosorbide dinitrate (Isordil) dan calciumchannel
blockers contohnya nifedipine (Procardia) dan verapamil (Calan). Meskipun
beberapa pasien-pasien dengan akalasia, terutama pada awal penyakit,
mempunyai perbaikan dari gejala-gejala dengan obat-obat, kebanyakan
tidak.Dengan mereka sendiri, obat-obat oral mungkin menyediakan hanya
pembebasan jangka pendek dan bukan jangka panjang dari gejala-gejala
akalasia, dan banyak pasien-pasien mengalami efek samping dari obat.
2. Dilatasi / Peregangan SEB
Pengobatan dengan cara dilatasi secara bertahap akan mengurangi
keluhan sementara. Cara yang sederahana dengan businasi hurst, yang terbuat
dari bahan karet berisi air raksa dalam ukuran F (french) mempunyai 4 jenis
ukuran. Prinsip kerjanya berdasarkan gaya berat dipakai dari ukuran yang
terkecil sampai terbesar secara periodik. Keberhasilan businasi ini hanya 50%
kasus tanpa kambuh, 35% terjadi kambuh, sedangkan 15% gagal.
Cara yang dianjurkan dilatasi SEB dengan alat yang dinamakan dilatasi
pneumatik. Cara ini dipakai lebih dari 30 tahun dengan hasil yang cukup baik.
hasil dilatasi akan lebih memuaskan setelah dilakukan bebrapa kali. Jarang
didapatkan komplikasi seperti refluks gastroesofageal atau perforasi esofagus.
Pengobatan caa ini memerlukan seni dan pengalaman operatornya. Sebelum
pemasangan balon ini harus dilakukan dulu pengecekan, tentang simetrinya,
garis tengahnya harus diukur agar tidak bocor.
Pasien puasa sejak malam hari dan keesokan harinya dilakukan
pemasangan dengan panduan fluoroskopi. Posisi balon setengah berada diatas
diafragmatika dan setengah lagi dalam gaster. Balon dikembangkan secara
maksimal dan secepat mungkin agar pengembangan SEB seoptimal mungkin,
selama 60 detik setelah itu dikempiskan. Selanjutnya setelah 60 detik balon
dikembangkan kembali untuk beberapa menit lamanya untuk satu kali
pengobatan pengembangan balon tidak melebih 2 kali. Tanda tanda
pengobatan berhasil bila pasien merasakan nyeri bila balon ditiup dan segera
menghilang bila balon dikempiskan. Bila nyeri menetap, kemungkinan
adanya perforasi. Sesudah dilator dikeluarkan dimasukan kontras barium

21
sebanyak 15-30 ml sampai bagian distal esofagus melalui tuba nasogastrik,
dengan posisi pasien berdiri.
Bila pada pemeriksaan barium didapatkan perforasi kecil, harus
dilakukan observasi secermat mungkin, bila tetap tanpa gejala dan terdapat
kenaikan suhu, perlu segera diberikan antibiotik. Pada keadaan ini cukup
dengan pengobatan konservatif saja. Akan tetapi bila terjadi barium mengisi
mediastinum dan dada kiri, perlu segera dilakukan tindakan operasi.
3. Tindakan bedah
Tindakan bedah esofagomiotomi dianjurkan bila terdapat :
1. Beberapa kali (>2 kali) dilatasi pneumatik tidak berhasil
2. Adanya ruptur esofagus akibat dilatasi
3. Kesukaran menempatkan dilator pneumatik karena dilatasi esofagus yang
sangat hebat
4. Tidak dapat menyingkirkan kemungkinan tumor esofagus
5. Akalasia pada anak berumur kurang dari 12 tahun
4. Injeksi toksin botolinum
injeksi botulinum toksin intra-spinchter dapat digunakan untuk
menghambat pelepasan asetilkolin pada bagian spinchter esofagus bawah,
yang kemudian akan mengembalikan keseimbangan antara neurotransmiter
eksitatorik dan inhibitorik. Dengan menggunakan endoskopi, toksin diinjeksi
dengan memakai jarum skleroterapi yang dimasukkan ke dalam dinding
esophagus dengan sudut kemiringan 45°, di mana jarum dimasukkan sampai
mukosa kira-kira 1-2 cm di atas squamocolumnar junction. Lokasi
penyuntikan jarum ini terletak tepat di atas batas proksimal dari spinchter
esofagus bawah dan toksin tersebut diinjeksi secara kaudal ke dalam
spinchter. Dosis efektif yang digunakan, yaitu 80-100 unit/ml yang dibagi
dalam 20-25 unit/ml untuk diinjeksikan pada setiap kuadran dari spinchter
esofagus bawah. Injeksi diulang dengan dosis yang sama 1 bulan kemudian
untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Namun demikian, terapi ini
mempunyai penilaian yang terbatas, di mana 60% pasien yang telah diterapi
masih tidak merasakan disfagia 6 bulan setelah terapi; persentasi ini

22
selanjutnya turun menjadi 30% walaupun setelah beberapa kali penyuntikan
dua setengah tahun kemudian. Sebagai tambahan, terapi ini sering
menyebabkan reaksi inflamasi pada bagian gastroesophageal junction, yang
selanjutnya dapat membuat miotomi menjadi lebih sulit. Terapi ini sebaiknya
diaplikasikan pada pasien lanjut usia, yang mempunyai kontraindikasi
terhadap pneumatic dilation atau tindakan pembedahan.
Baru-baru ini, injeksi intra-sphincter dari toksin botulinum neurotoksin
telah berhasil digunakan pada pasien dengan achalasia. Aman dan efektif
pada kebanyakan pasien, sangat efektif pada orang tua dan telah mendapatkan
tempat dalam penatalaksanaan pasien yang dianggap tidak sesuai untuk
dilakukan terapi dilatasi atau miotomi. Prosedur ini melibatkan suntikan
padaspinchter esofagus bagian bawah yang menyebabkan denervasi kimiawi
dari sphincter. Dua puluh sampai dua puluh lima unit toksin botulinum
disuntikkan ke setiap kuadran dari sfingter esofagus bagian bawah dengan
jarum skleroterapi menggunakan teknik endoskopi. Meskipun yang paling
aman dari teknik yang tersedia, injeksi toksin botulinum memiliki durasi efek
terbatas, yang berlangsung rata-rata satu tahun. Pengobatan harus diulangi
diperlukan untuk menjaga efek relaksasi pada spinchter esophagus bagian
bawah. Beberapa pasien mungkin mengalami nyeri dada ringan dan terdapat
ruam kulit setelah perawatan.
11. Bagaimana komplikasi, prognosis, dan preventif pada kasus di skenario?
Jawaban :
Komplikasi yang dapat ditimbulkan seperti pneumonia, bronkhitis dan
perforasi esofagus. Untuk prognosis bergantung pada durasi penyakit dan
banyak sedikitnya gangguan motilitas, semakin singkat durasi penyakitnya
dan semakin sedikit gangguan motilitasnya maka prognosis untuk kembali ke
ukuran esofagus normal setelah pembedahan memberikan hasil yang sangat
baik.

23
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan kasus pada skenario yang ada, kelompok kami
menyimpulkan diferensial diagnosis utama pada kasus di skenario tersebut
adalah akalasia.

24
DAFTAR PUSTAKA

Robbins&Coatran, 2005, Dasar Patologis Penyakit. Edisi 7. Jakarta: EGC.


Price, Sylvia. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6.
Jakarta: EGC.

Lazarus, Cathy. 2006. Management of Dysfagia, Head & Neck Surgery-


Otolaryngology.Edisi 4. Philadelphia.

Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Ed. 6. Jakarta:
Buku Kedokteran EGC
Guyton, A.C and Hall, J.E. 2007. Textbook of Medical Physiology. 11th ed.
Philadelphia, PA, USA: Elsavier Saunders
Moore, Keith L &Dalley, F. Arthur. 2013. Anatomi Berorientasi Klinis Jilid I edisi
5. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Paulsen, F danWaschke, J. 2013. Sobotta: Atlas Anatomi Manusia Jilid I edisi 23.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

25

Anda mungkin juga menyukai