Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 DEFINISI
Hemofilia merupakan gangguan koagulasi herediter atau didapat yang
paling sering dijumpai, bermanifestasi sebagai episode perdarahan intermiten.
Hemofilia disebabkan oleh mutasi gen faktor VIII (F VIII) atau faktor IX (F IX),
dikelompokkan sebagai hemofolia A dan hemofilia B. Kedua gen tersebut
terletak pada kromosom X, sehingga termasuk penyakit resesif terkait-X
(Ginsberg,2008). Oleh karena itu, semua anak perempuan dari laki-laki yang
menderita hemofilia adalah karier penyakit, dan anak laki-laki tidak terkena.
Anak laki-laki dari perempuan yang karier memiliki kemungkinan 50% untuk
menderita penyakit hemofilia. Dapat terjadi wanita homozigot dengan hemofilia
(ayah hemofilia, ibu karier), tetapi keadaan ini sangat jarang terjadi. Kira-kira
33% pasien tidak memiliki riwayat keluarga dan mungkin akibat mutasi
spontan.1
Hemofilia merupakan kelainan perdarahan herediter terikat faktor resesif
yang dikarakteristikkan oleh defisiensi faktor pembekuan esensial yang
diakibatkan oleh mutasi pada kromosom X (Wiwik Handayani, 2008). Hemofilia
adalah penyakit perdarahan akibat kekurangan faktor pembekuan darah yang
diturunkan (herediter) secara sex-linked recessive pada kromosom X (Xh).
Meskipun hemofilia merupakan penyakit herediter tetapi sekitar 20-30% pasien
tidak memiliki riwayat keluarga dengan gangguan pembekuan darah, sehingga
diduga terjadi mutasi spontan akibat lingkungan endogen maupun eksogen.2
Hemofilia adalah kelompok gangguan perdarahan yang diturunksn dengan
karakteristik defisiensi faktor pembekuan darah. Hemofilia adalah kelainan
perdarahan kongenital terkait kromosom X dengan frekuensi kurang lebih satu
per 10.000 kelahiran. Jumlah orang yang terkena di seluruh dunia diperkirakan
kurang lebih 400.000. Hemofilia A lebih sering dijumpai daripada hemofilia B,
yang merupakan 80-85% dari keseluruhan.3

1.2 ETIOLOGI
Hemofilia disebabkan oleh factor gen atau keturunan. hemofilia A dan B,
kedua gen tersebut terletak pada kromosom X, sehingga termasuk penyakit
resesif terkait –X. Oleh karna itu semua anak perempuan dari laki-laki yang
menderita hemofilia adalah karier penyakit, dan anak laki-laki tidak terkena.
Anak laki-laki dari perempuan yang kerier memiliki kemungkinan 50% untuk
menderita penyakit hemofilia dapat terjadi pada wanita homozigot dengan
hemofilia (ayah hemofilia, ibu karier) tetapi keadaan ini sangat jarang terjadi
.kira-kira 30% pasien tidak memiliki riwayat keluarga dan mungkin akibat
mutasi spontan.4
Hemofilia juga dapat disebabkan oleh mutasi gen. (Muscari, Mary E.
2005). Menurut Robbins (2007) 70-80% penderita Hemofilia mendapatkan
mutasi gen resesif X-linked dari pihak Ibu. Gen F VIII dan F IX terletak pada
kromosom X dan bersifat resesif., maka penyakit ini dibawa oleh perempuan
(karier, XXh) dan bermanifestasi klinis pada laki-laki (laki-laki, XhY); dapat
bermanifestasi klinis pada perempuan bila kromosom X pada perempuan terdapat
kelainan (XhXh). Penyebab hemofilia karena adanya defisiensi salah satu faktor
yang diperlukan untuk koagulasi darah akibat kekurangna faktor VIII atau XI,
terjadi hambatan pembentukan trombin yang sangat penting untuk pembentukan
normal bekuan fibrin fungsional yang normal dan pemadatan sumbat trombosit
yang telah terbentuk pada daerah jejas vaskular. Hemofilia A disebabkan oleh
defisiensi F VIII, sedangkan hemofilia B disebabkan karena defisiensi F IX.
Terdapat faktor risiko pada penyakit hemofilia yaitu riwayat keluarga dari
duapertiga anak-anak yang terkena menunjukkan bentuk bawaaan resesif terkait-
x. Hemofilia A (defisiensi faktor VIII terjadi pada 1 dari 5000 laki-laki. Hemofilia
B ( defisiensi faktor IX) terjadi pada seperlimanya.
1.3 EPIDEMIOLOGI
Individu dengan defek faktor koagulasi yang diturunkan secara herediter,
baik homozigot maupun heterozigot. Level aktivitas faktor berkisar 0-25% pada
seseorang yang homozigot dan antara 15-100% pada seseorang yang
heterozigot.Pada banyak negara berkembang, prevalensi sebenarnya dari kondisi
hemofilia sulit diketahui akibat adanya keterbatasan fasilitas diagnostik, namun
berdasarkan data dari negara maju, dapat diasumsikan bahwa prevalensi
hemofilia A yaitu 30-100 tiap 1 juta penduduk (1 dari 10.000 laki-laki), tetapi
mungkin 30% diantaranya merupakan kelainan genetik yang bersifat spontan
tanpa adanya riwayat keluarga dan prevalensi hemofilia B yaitu 1 dari 50.000
laki-laki.2,5 Studi internasional pada decade terakhir menunjukkan bahwa angka
terjadinya hemofilia dalam populasi meningkat sekitar 2% tiap tahunnya.
Berdasarkan data yang dikemukakan oleh Ketua Himpunan Masyarakat
Hemofilia Indonesia (HMHI), Prof. Djajiman Gatot, memprediksi bahwa jumlah
penderita hemofilia di Indonesia berkisar 20.000 orang. Insidensi hemofilia di
negara berkembang memiliki rasio 1 dari 10.000 orang pada tahun 2012.
Kemungkinan penderita hemofilia ini sudah meninggal sebelum sempat
didiagnosis, misalnya ketika seseorang dilakukan sirkumsisi atau menjalani
operasi kemudian mengalami perdarahan terus-menerus dan akhirnya meninggal.
Penanganan hemofilia di Indonesia kini lebih baik dibandingkan 20 tahun
yang lalu dimana penderita hemofilia yang dapat mencapai usia dewasa hanya
berkisar 10 orang. Kini penderita hemofilia yang dapat bertahan hidup hingga
usia dewasa sudah mencapai 77 orang. Anak-anak yang menderita hemofilia
dapat tumbuh dan berkembang secara normal apabila mendapatkan perawatan
yang tepat dan tentunya ditunjang pula dengan dukungan dari keluarga. Satu-
satunya asuransi kesehatan di Indonesia yang menanggung biaya perawatan
hemofilia yaitu Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola Badan Penyelenggara
Jaminan keluarga.
Hemofilia A dan B merupakan kelainan X-linked resesif dan oleh karena
itu penyakit ini dapat secara eksklusif hanya terjadi pada laki-laki dengan ibu dan
saudara perempuan dari laki-laki yang terkena hemofilia tersebut merupakan
karier obligat. Namun, perempuan juga bisa bermanifestasi sebagai bentuk
hemofilia yang simtomatik melalui salah satu dari mekanisme ini:
1. Keturunan perempuan homozigot yang berasal dari laki-laki yang terkena
hemofilia dan perempuan yang karier.
2. Derajat ionisasi yang tinggi (inaktivasi kromosom X yang tidak simetris)
dari alel perempuan karier.
3. Perempuan homozigot yang bersamaan dengan sindrom Turner.
BAB II
PATOFISIOLOGI
Hemofilia adalah penyakit kelainan koagulasi darah congenital karena
anak kekurangan faktor pembekuan VIII (hemofilia A) atau faktor IX (hemofilia
B, atau penyakit Christmas). Penyakit kongenital ini diturunkan oleh gen resesif
terkait-X dari pihak ibu. F VIII dam F IX adalah protein plasma yang merupakan
komponen yang yang diperlukan untuk pembekuan darah; faktor-faktor tersebut
diperlukan untuk pembentukan bekuan fibrin pada tempat cidera vascular.5
Proses hemostasis tergantung pada faktor koagulasi, trombosit dan
pembuluh darah. Mekanisme hemostasis terdiri dari respons pembuluh darah,
adesi trombosit, agregasi trombosit, pembentukan bekuan darah, stabilisasi
bekuan darah, pembatasan bekuan darah pada tempat cedera oleh regulasi
antikoagulan, dan pemulihan aliran darah melalui proses fibrinolisis dan
penyembuhan pembuluh darah.
Cedera pada pembuluh darah akan menyebabkan vasokonstriksi
pembuluh darah dan terpaparnya darah terhadap matriks subendotelial. Faktor
von Willebrand (vWF) akan teraktifasi dan diikuti adesi trombosit. Setelah
proses ini, adenosine diphosphatase, tromboxane A2 dan protein lain trombosit
dilepaskan granul yang berada di dalam trombosit dan menyebabkan agregasi
trombosit dan perekrutan trombosit lebih lanjut. Cedera pada pembuluh darah
juga melepaskan tissue faktor dan mengubah permukaan pembuluh darah,
sehingga memulai kaskade pembekuan darah dan menghasilkan fibrin.
Selanjutnya bekuan fibrin dan trombosit ini akan distabilkan oleh faktor XIII.
Kaskade pembekuan darah klasik diajukan oleh Davie dan Ratnoff pada
tahun 1950an dapat dilihat pada Gambar 1. Kaskade ini menggambarkan jalur
intrinsik dan ekstrinsik pembentukan thrombin. Meskipun memiliki beberapa
kelemahan, kaskade ini masih dipakai untuk menerangkan uji koagulasi yang
lazim dipakai dalam praktek sehari-hari.
Pada penderita hemofilia dimana terjadi defisit F VIII atau F IX maka
pembentukan bekuan darah terlambat dan tidak stabil. Oleh karena itu penderita
hemofilia tidak berdarah lebih cepat, hanya perdarahan sulit berhenti. Pada
perdarahan dalam ruang tertutup seperti dalam sendi, proses perdarahan terhenti
akibat efek tamponade. Namun pada luka yang terbuka dimana efek tamponade
tidak ada, perdarahan masif dapat terjadi. Bekuan darah yang terbentuk tidak
kuat dan perdarahan ulang dapat terjadi akibat proses fibrinolisis alami atau
trauma ringan.
Defisit F VIII dan F IX ini disebabkan oleh mutasi pada gen F8 dan F9.
Gen F8 terletak di bagian lengan panjang kromosom X di regio Xq28, sedangkan
gen F9 terletak di regio Xq27.2,14 Terdapat lebih dari 2500 jenis mutasi yang
dapat terjadi, namun inversi 22 dari gen F8 merupakan mutasi yang paling
banyak ditemukan yaitu sekitar 50% penderita hemofilia A yang berat. Mutasi
gen F8 dan F9 ini diturunkan secara x-linked resesif sehingga anak laki-laki
atau kaum pria dari pihak ibu yang menderita kelainan ini. Pada sepertiga kasus
mutasi spontan dapat terjadi sehingga tidak dijumpai adanya riwayat keluarga
penderita hemofilia pada kasus demikian.
Wanita pembawa sifat hemofilia dapat juga menderita gejala perdarahan
walaupun biasanya ringan. Sebuah studi di Amerika Serikat menemukan bahwa 5
di antara 55 orang penderita hemofilia ringan adalah wanita (Muscari, Mary E.
2005).
BAB III
DIAGNOSIS
3.1 ANAMNESIS
Penegakkan diagnosis diperoleh dengan cara anamnesis yang meliputi
riwayat keluarga yang masih merupakan cara terbaik untuk melakukan tapisan
pertama terhadap kasus hemofilia, riwayat perdarahan memanjang setelah trauma
atau tindakan tertentu dengan atau tanpa riwayat keluarga serta masalah-masalah
medis ( obat-obatan yang pernah dipakai).

3.2 PEMERIKSAAN FISIS


Derajat berat hemofilia secara klinis ditentukan oleh derajat berat
defisiensi faktor pembekuannya, bila kurang dari 1% disebut hemofilia berat,
kadar Faktor VIII (FVIII) 1-5% disebut hemofilia sedang dan bila kadar FVIII 5-
25 % disebut hemofilia ringan. Pendarahan yang umumnya terjadi seperti
hematoma yang kebiruan pada berbagai bagian tubuh, hemarthrosis ataupun
perdarahan yg sukar berhenti. Tanda klinis dari hemofilia berat yang khas adalah
terjadinya perdarahan spontan pada sendi dan otot yang berulang disertai nyeri
dan gejala ini mulai nampak ketika anak mulai belajar merangkak. Kadang
penderita menunjukkan perdarahan gastrointestinal, hematuria dan perdarahan
otak.

3.3 PEMERIKSAAN LAB


A. Pemeriksaan Skrinning
1. Hitung Trombosit
I. Fase Kontras
a. Pra Analitik
1) Persiapan pasien
Tidak memiliki persiapan khusus
2) Prinsip
Darah diencerkan dengan ammonium oksalat 1% maka sel-sel
selain trombosit dilisiskan dan darah menjadi lebih encer
sehingga sel trombosit lebih mudah di hitung. jumlah sel
trombosit dihitung, dengan bilik hitung dibawah mikroskop.
3) Alat
a) Bilik hitung Improved Neubauer
b) Kaca penutup
c) Pipet eritrosit/Mikro pipet
d) Tabung reaksi
e) Cawan petri
f) Pipet Pasteur
g) Mikroskop fase kontras
4) Bahan
a) Larutan ammonium oksalat 1%
b) Larutan pewarna giemsa
c) Buffer fosfat pH 6,4
b. Analitik
a) Mengencerkan sampel darah dengan larutan ammonium oksalat
1%
b) Sampel darah dihomogenkan lalu di pipet dengan pipet eritrosit
sampai tanda 0,5 dan diencerkan dengan larutan ammonium
oksalat 1% sampai tanda 101 (Pengenceran 200x). kocoklah
pipet dan diamkan 3-5 menit
c) Jika menggunakan tabung reaksi, maka pipetlah 2 ml (200 ul)
larutan ammonium oksalat 1% di masukkan ke dalam tabung
reaksi dan tambahkan 0,01 ml (10 ul) sampai darah tercampur
hingga homogeny.
d) Siapkan bilik hitung dan kaca penutup.
e) Isi bilik hitung dengan larutan yang diencerkan tersebut.
f) Letakkan bilik hitung dalam cawan petri yang ditempeli kertas
saring basah selama 15 menit.
g) Amati pada mikroskop dengan pembesaran sedang (40x) di
sepuluh kotak kecil dalam bidang besar. trombosit akan terlihat
bersinar terang dengan latar belakang gelap.
c. Pasca Analitik
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑆𝑒𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔
Jumlah trombosit = 𝑥 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑏𝑖𝑙𝑖𝑘 ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔

II. Metode Rees-Ecker


a. Pra Analitik
1) Persiapan pasien
Tidak memiliki persiapan khusus
2) Prinsip
darah diencerkan dengan larutan ress-ecker, maka sel-sel
selain trombosit dilisiskan dan darah menjadi lebih encer
sehingga sel trombosit lebih mudah di hitung. jumlah sel
trombosit dihitung, dengan bilik hitung dibawah mikroskop.
3) Alat
a) Bilik hitung Improved Neubauer
b) Kaca penutup
c) Pipet eritrosit/Mikro pipet
d) tabung reaksi
e) cawan petri
f) pipet Pasteur
g) mikroskop
4) Bahan
a) larutan ress-ecker yang dibuat dari natrium sitrat 3,8 gr,
brilian cresly blur 0,1 gr, formalin 0,2 gr dan aquades 100
ml
b) larutan pewarna giemsa
c) buffer fosfat pH 6,4
d) Methanol absolut
b. Analitik
a) Mengencerkan sampel darah dengan larutan ress-ecker
b) Sampel darah dihomogenkan lalu di pipet dengan pipet eritrosit
sampai tanda 0,5 dan diencerkan dengan larutan ress-ecker
sampai tanda 101 (Pengenceran 200x). kocoklah pipet dan
diamkan 3-5 menit
c) Jika menggunakan tabung reaksi, maka pipetlah 2 ml (200 ul)
larutan ress-ecker di masukkan ke dalam tabung reaksi dan
tambahkan 0,01 ml (10 ul) sampai darah tercampur hingga
homogen.
d) Siapkan bilik hitung dan kaca penutup.
e) Isi bilik hitung dengan larutan yang diencerkan tersebut.
f) Letakkan bilik hitung dalam cawan petri yang ditempeli kertas
saring basah selama 15 menit.
g) Amati pada mikroskop dengan pembesaran sedang (40x) di
sepuluh kotak kecil dalam bidang besar. Trombosit akan
terlihat refraktil, mengkilat, berwarna biru muda, berbentuk
lonjong, bulat atau koma, tersebar atau begerombol.
c. Pasca analitik
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑆𝑒𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔
Jumlah trombosit = 𝑥 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑏𝑖𝑙𝑖𝑘 ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔

2. Masa Protrombin (PT)


a. Pra Analitik
1) Persiapan pasien
Tidak dilakukan persiapan khusus
2) Persiapan sampel
a) Sampel darah dapat diperoleh melalui vena punksi.
b) Anti koagulan yang dipakai adalah sodium citrate 3,2% atau
3,8% dengan perbandingan 9 : 1 (9 bagian darah : 1 bagian
natrium sitrat). Sampel darah disentrifus selama 10-15 menit
dengan kecepatan 2000 rpm.
c) Penampung tidak boleh terbuat dari bahan yang dapat
menginduksi aktivasi kontak seperti gelas berlapis silicon atau
plastic.
3) Prinsip
Protrombin time, PT tahap pertama mengukur waktu bekuan
dari plasma setelah penambahan faktor jaringan (trombolastin)
dan kalsium. Rekalsifikasi dari plasma dengan adanya faktor
jaringan menimbulkan aktivasi faktor X, akibatnya membentuk
thrombin dan berakhir menjadi bekuan fibrin.
4) Alat

a) Tabung reaksi
b) Incubator
c) Rak tabung
d) Batang pengaduk
5) Bahan
a) Plasma sitrat
b) Reagen tromboplastin dan CaCl2
b. Analitik

1) Reagen tromboplastin 200 µl dimasukkan dalam tabung 1


2) Plasma sitrat 200 µl dimasukkan dalam tabung 2Tabung 1 dan 2

diinkubasi selama 3 menit dalam inkubator yang bersuhu 370C


3) Ambil plasma 100 µl pada tabung 2, masukkan dalam tabung 1
4) Jalankan stopwatch, aduk amati hingga terjadi bekuan
5) Hentika stopwatch ketika sudah tampak bekuan fibrin
6) Tes diulang pada plasma control
c. Pasca Analitik
Nilai Rujukan : 10 – 14 detik
INR 2,0 – 3,0

3. Masa Tromboplastin Partial (PTT)


a. Pra Analitik
1) Persiapan pasien
Tidak dilakukan persiapan khusus
2) Persiapan sampel
a. Sampel darah dapat diperoleh melalui vena punksi
b. Anti koagulan yang dipakai adalah sodium citrate 3,2% atau
3,8% dengan perbandingan 9 : 1 (9 bagian darah : 1 bagian
natrium sitrat). Sampel darah disentrifus selama 10-15
menit dengan kecepatan 2000 rpm.
c. Penampung tidak boleh terbuat dari bahan yang dapat
menginduksi aktivasi kontak seperti gelas berlapis silicon
atau plastic.
3) Prinsip
Protrombin time, PT tahap pertama mengukur waktu bekuan
dari plasma setelah penambahan faktor jaringan (trombolastin)
dan kalsium. Rekalsifikasi dari plasma dengan adanya faktor
jaringan menimbulkan aktivasi faktor X, akibatnya membentuk
thrombin dan berakhir menjadi bekuan fibrin.
4) Alat
a. Tabung reaksi
b. Incubator
c. Rak tabung
d. Batang pengaduk
5) Bahan
a. Plasma sitrat
b. Reagen tromboplastin dan CaCl2
b. Analitik
a. Reagen tromboplastin 200 µl dimasukkan dalam tabung 1
b. Plasma sitrat 200 µl dimasukkan dalam tabung 2
c. Tabung 1 dan 2 diinkubasi selama 3 menit dalam inkubator yang

bersuhu 370C
d. Ambil plasma 100 µl pada tabung 2, masukkan dalam tabung 1
e. Jalankan stopwatch, aduk amati hingga terjadi bekuan
f. Hentika stopwatch ketika sudah tampak bekuan fibrin
g. Tes diulang pada plasma control
c. Pasca Analitik
Nilai Rujukan : 10 – 14 detik

INR 2,0 – 3,0

4. Masa Tromboplastin Teraktivasi (APTT)


a. Pra Analitik
1. Persiapan pasien
Tidak lakukan persiapan khusus
2. Persiapan sampel
a. Sampel darah dapat diperoleh melalui vena punksi
b. Anti koagulan yang dipakai adalah sodium citrate 3,2 % atau
3,8 % dengan perbandingan 9 : 1 (9 bagian darah : 1 bagian
natrium sitrat). Sampel darah disentrifus selama 10 - 15 menit
dengan kecepatan 2000 rpm.
c. Penampung tidak boleh terbuat dari bahan yang dapat
menginduksi aktivasi kontak seperti gelas berlapis silicon atau
plastik.
3. Prinsip

Tes APTT adalah tes yang dilakukan dengan menambahkan reagen


APTT yang mengandung aktivator plasma dan fosfolipid pada
sampel tes. Fosfolipidberfungsi sebagai pengganti platelet.
Campuran diinkubasi selama 3 - 5 menit untuk aktivasi optimum,
kemudian direkalsifikasi dengan kalsium klorida dan beberapa saat
terbentuk bekuan.

4. Alat
a. Tabung reaksi
b. Incubator
c. Rak tabung
d. Batang pengaduk
e. Stopwatch
5. Bahan
a. Plasma sitrat
b. Reagen APTT
c. Kalsium klorida (CaCl2) 0,025 M
b. Analitik

a) CaCl2 0,025 M secukupnya diinkubasi dalam waterbath 370C


b) Ke dalam tabung reaksi dimasukkan 0,1 ml (100 µl) plasma
penderita, kemudian tabung dimasukkan kedalam waterbath dan
dibiarkan selama 1 menit.
c) Ditambahkan 0,1 ml (100 µl) tromboplastin parsial (fosfolipid),
dikocok sebentar dan dibiarkan dalam waterbath selama 2 - 3
menit.
d) Ditambahkan 0,1 ml (100 µl) larutan CaCl2 0,025 M yang telah
diinkubasi dan pada saat yang sama stopwatch dihidupkan.
e) Dicek adanya bekuan fibrin dengan menggunakan ose
tumpul/bulat. Tepat pada saat terlihat benang fibrin stopwatch
dimatikan dan dicatat waktu pembekuaannya. Atau dengan
mengangkat tabung dari waterbath kemudian menggoyangkan
tabung ke muka dan ke belakang sampai tampak bekuan.
f) Dengan cara yang sama, dikerjakan pula control plasma normal.
c. Pasca Analitik
Nilai Rujukan : 30 - 45 detik

5. Masa Pendarahan (BT)


a. Pra Analitik
1) Persiapan Pasien
a) Jelaskan bahwa tes waktu perdarahan digunakan untuk
mengukur waktu berhentinya perdarahan atau terjadinya
koagulasi.
b) Jelaskan bahwa tidak ada larangan makan atau minum sebelum
tes.
c) Jelaskan hal yang diperlukan.seperti dipasangi alat pengukur
tekanan darah, diinsisi kecil dua garis dan akan nada
perdarahan sekitar 10-20 menit.

d) Ditanyakan apakah pasien mengkomsumsi obat sebelum tes


yang dapat memperpanjang perdarahan seperti thiazid,
sulfonamide, antineoplastik, antikoagulan atau anti inflamasi,
aspirin.
2) Alat dan Bahan
a) Lanset
b) Kapas Alkohol
c) Kertas saring atau tissue
d) Plester
e) Stopwatch
f) Tensimeter
b. Analitik
1. Cara Duke
a) Disinfeksi cuping telinga dengan kapas alkohol 70% dan biarkan
kering.
b) Tusuklah pinggir anak daun telinga dengan lanset sedalam 2-4
mm jika terlihat darah mulai keluar jalankan stopwatch.
c) Lap dengan kertas saring atau tissue tiap 30 detik sampai
perdarahan berhenti, tanpa menyentuh permukaan kulit.
d) Hentikan stopwatch pada waktu darah tidak keluar lagi.
e) Catat waktu perdarahan tersebut.
2. Cara Ivy
a) Bersihkan bagian voler lengan bawah dengan alcohol 70% dan
biarkan kering lagi.
b) Kenakan ikatan sfigmomamometer pada lengan atas dan
pompalah sampai tekanan 40 mmHg. Selama percobaan
berlangsung tekanan harus tetap.
c) Tegangkanlah kulit lengan bawah dengan sebelah tangan dan
tusuklah dengan lanset darah pada satu tempat kira-kira 3 jari
dibawah siku sampai 3 mm dalamnya.
d) Jika darah mulai keluar jalankan stopwatch.
e) Isaplah tetes darah yang keluar jalankan stopwatch.
f) Isaplah tetes darah yang keluar tiap 30 detik memakai tissue
atau kertas saring, jagalah jangan sampai menekan kulit waktu
mengisap darah.
g) Hentikan stopwatch pada waktu darah tidak dapat diisap lagi
dan catatlah waktunya.

c. Pasca Analitik
Nilai Rujukan
1. Metode Duke : 1-7 menit
2. Metode Ivy : 1-8 menit

6. Masa Pembekuan Darah (CT)


a. Pra Analitik
1) Persiapan pasien
Tidak ada
2) Persiapan sampel
Sampel darah tidak menggunakan antikoagulan
3) Prinsip
Darah diambil dengan melakukan pungsi vena. saat darah mulai
keluar langsung dilakukan pencatatan dan darah dimasukkan ke
dalam tabung. di catat waktu hngga darah sebagai Masa
Pembekuan.
4) Alat
a) Spoit
b) Tabung reaksi
c) Pencatat waktu (stopwact atau timer)
5) Bahan
a) Alkohol
b. Analitik
a) Dilakukan pungsi vena dengan semprit (spoit), saat darah
tampak masuk ke dalam spoit jalankan stopwatch.
b) masukkan darah dalam spoit ke dalam 4 tabung masing-masing
sebanyak 1 ml
c) Setiap 30 detik, tabung pertama dimiringkan secara perlahan
untuk melihat apakah telah terjadi pembekuan
d) saat darah pada tabung pertama telah membeku, lanjutkan
tindakan pada tabung kedua
e) tindakan sama juga dilakukan pada tabung ke 3 dan ke 4.
f) catat waktu ketika darah pada tabung 4, hentikan stopwatch
g) jika telah lewat 10 menit perdarah masih berlangsung, hentikan
pemeriksaan.
c. Pasca Analitik
Normal : 4-10 menit

7. Analisis Fungsional Faktor VIII dan Faktor IX (Assay Test)

B. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Sgot dan Sgpt
a. Pra Analitik
1) Persiapan Pasien
Tidak ada persiapan khusus
2) Persiapan sampel
Darah yang ada di dalam tabung tersebut kemudian disentrifuge
selama 10 menit dengan kecepatan 3000 rpm hingga menghasilkan
serum. Setiap sampel dilakukan pemeriksaan enzim SGOT dan
SGPT dan dibaca mengunakan Fotometer Sunostik.
3) Prinsip
Enzim SGOT dan SGPT setelah dicampur dengan serum akan
membentuk warna turbidimetri (kekeruhan) dengan metode kinetik.
4) Alat
a) Fotometer Sunostik
b) Mikropipet 1000 dan 100 ul
c) Tiv biru dan kuning
d) Tabung reaksi
e) Rak tabung reaksi
f) Spuit
g) Torniquet
h) Centrifuge
5) Bahan
a) Reagen SGOT dan SGPT kit
b) Faktor SGOT
c) Kapas alkohol 70%
d) Tissue
e) Serum
b. Analitik
a) Dipipet reagen SGOT sebanyak 1000 µl kemudian dimasukkan
kedalam tabung reaksi sebagai larutan test.
b) Dipipet reagen SGPT sebanyak 1000 µl kemudian dimasukkan
kedalam tabung reaksi sebagai larutan test
c) Dipipet serum (sampel) sebanyak 100 µl, dimasukkan kedalam
tabung reaksi test untuk SGOT dan SGPT tersebut lalu diinkubasi
selama 1 menit,pada suhu 37º
d) Kemudian dibaca menggunakan fotometer dengan panjang
gelombang 546 nm.

c. Pasca Analitik
Nilai Normal : Kadar SGOT dalam serum normal adalah 10 – 45 U/L
Kadar SGPT dalam serum normal adalah 10 – 36 U/L

2. Pemeriksaan Fosfatase Alkali


a. Pra Analitik
1) Persiapan pasien
Tidak memerlukan persiapan khusus
2) Persiapan sampel
Darah yang ada di dalam tabung tersebut kemudian disentrifuge
selama 10 menit dengan kecepatan 3000 rpm hingga menghasilkan
serum.
3) Prinsip
Alkali phosphatase mengkatalisa dalam media alkali yang
mentransfer 4-nitrophenilphosphat dan 2-amino-2-metil-1-propanol
(AMP) menjadi 4-nitrophenol. Kenaikan 4-nitrofenol diukur
secara fotometri pada panjang gelombang 405 nm yang sebanding
dengan aktivitas alkali phosphatase dalam sampel.
4) Alat
a) Fotometer
b) Mikro Pipet
5) Bahan
a) Aquadest
b) Reagen ALP
c) Sampel
b. Analitik
a) Siapkan dua buah tabung, tabung pertama sebagai blanko yang
berisi aquades. Tabung yang kedua sebagai tes yang berisi 1000 µl
monoreagen ALP FS kemudian ditambah 20 µl sampel serum.
Tabu Aqua Reag Sampel
ng des en
ALP
20 µl 1000 -
Blan
µl
ko
- 1000 20 µl
Tes
µl

b) Campur, tunggu selama 1 menit untuk membiarkan agar reaksi


berlangsung optimal
c) Setelah 1 menit, masukkan ke dalam kuvet dan diukur absorbansi
pada panjang gelombang 405 nm
d) Baca absorbansi kembali tepat setelah menit 1,2,3 menit.
c. Pasca Analitik
Laki-laki : 61- 232 U/L
Perempuan : 49-232 U/L

3. Pemeriksaan Bilirubin
a. Pra Analitik
1) Persiapan pasien
Tidak memerlukan persiapan khusus
2) Prinsip
Bilirubin bereaksi dengan diazotized sulphanitic acid (DSA) untuk
membentuk larutan azo merah. Absorbsi dari larutan pada 546 nm
sesuai dengan kadar bilirubin dalam sampel. Bilirubin glucoronida
yang larut dalam air bereaksi langsung (direct) dengan DSA
sedangkan bilirubin yang terikat pada albumin bereaksi tak
langsung (indirect) dengan DSA dengan adanya acellerator. Total
bilirubin = bilirubin direct + bilirubin indirect.
3) Alat
a) Tabung reaksi
b) Mikropipet Blue tip dan yellow tip
c) Tisu
d) Fotometer
e) Parafilm
4) Bahan
a) Sampel Serum
b) Reagen pereaksi
b. Analitik
I. Total Bilirubin
a) Persiapan Sampel
Blanko Sampel
– 40 μl
Reagen total nitrit
1000 μl 1000 μl
Reagen total bilirubin

Campur dan inkubasi selama 5 menit.


Blanko Sampel
100 μl 100 μl
Sampel serum

Campur dan inkubasi selama 10-30 menit pada suhu kamar.

b) Ukur menggunakan Fotometer dengan panjang gelombang 546


nm
II. Direct Bilirubin
a) Persiapan Sampel
Blanko Sampel
– 40 μl
Reagen direct nitrit
direct 1000 μl 1000 μl
Reagen
bilirubin

Campur dan inkubasi selama 5 menit.

Blanko Sampel

100 μl 100 μl
Sampel serum
Campur dan inkubasi pada suhu ruang tepat 5 menit.
b) Fotometer Ukur menggunakan Fotometer dengan panjang
gelombang 546 nm
c. Pasca Analitik
Nilai Normal Bilirubin Total Bilirubin
Pada saat lahir : s.d. 5 mg/dl atau 85,5 mmol/liter
Umur 5 hari : s.d. 12 mg/dl atau 205,0 mmol/liter
Umur s.d. 1 bulan : s.d. 1,5 mg/dl atau 25,6 mmol/liter
Dewasa : s.d. 1,1 mg/dl atau 18,8 mmol/liter

Direct Bilirubin Dewasa : s.d. 0,25 mg/dl atau 4,3 mmol/liter


DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai