Oleh:
Neva Arsita, S.Ked. 04054821618024
Pembimbing:
dr. H. Amir Fauzi, Sp.OG(K)
1. Gambaran Umum
a. Latar Belakang
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang ditandai dengan adanya deplesi pada
penyimpanan zat besi dan kurangnya cadangan zat besi dalam jaringan. Kadar
hemoglobin pada ibu hamil dibagi dalam berbagai macam tingkatan; pada masa awal
kehamilan, ditandai dengan penurunan kadar hemoglobin yang meruupakan suatu hal
yang normal dan diikuti dengan sedikit peningkatan mendekati akhir kehamilan.
Menurunnya kadar hemoglobin pada ibu hamil merupakan salah satu dampak dari
peningkatan massa sel darah merah dan kebutuhan zat besi pada janin yang berlebihan
sehingga mengurangi penyimpanan zat besi dalam tubuh. WHO mendefinisikan
anemia dalam kehamilan sebagai suatu kondisi yang memiliki kadar hemoglobin di
bawah 11 gr/dL.
Ada dua faktor yang bertanggung jawab terhadap keterjadian anemia defisiensi besi
(ADB) dalam kehamilan; Pertama, penyimpanan zat besi pada wanita pada masa
konsepsi. Kedua, jumlah zat besi yang diserap selama kehamilan. Kenyataannya,
anemia sering terjadi dalam kehamilan pada negara berkembang merupakan suatu
indikasi bahwa penyimpanan zat besi tidak adekuat dan andaptasi psikologis terhadap
kehamilan tidak sesuai dengan kebutuhan zat besi yang semakin meningkat.
Pemberian suplemen zat besi pada ibu hamil menjadi kegiatan yang rutin dilakukan
sebagai pencegahan anemia defisiensi besi dalam kehamilan di negara berkembang.
Suatu bahasan mengenai keefektivitasan pencegahan anemia defisiensi besi dalam
kehamilan dibuat untuk mengetahui sejauh mana kemajuan yang dapat terjadi.
c. Hasil
Pada penelitian ini, dari 100 kasus perdarahan antepartum, 54 di antaranya merupakan
plasenta previa, 34 solusio plasenta dan 12 pasien mengalami perdarahan yang tidak
terklasifikasi. Insiden terjadinya plasenta previa, solusio plasenta dan perdarahan yang
tidak terklasifikasi secara berurutan adalah 1,31%, 0,82% dan 0,29%. Keseluruhan
insiden perdarahan antepartum adalah 2,43%.
Tabel 2. Tipe plasenta previa dan jenis persalinan
Semua kasus plasenta previa tipe IV melahirkan melalui operasi caesar. Bahkan 80 %
plasenta previa tipe III melahirkan melalui operasi caesar, sementara 75 % kasus plasenta
previa tipe I melahirkan per vaginam. Pada 2 kasus plasenta previa tipe III, setelah
dirawat, migrasi plasenta terjadi dan pasien ini melahirkan per vaginam.
41% pasien dengan solusio plasenta berada pada derajat II dan 10 pasien dengan
solusio plasenta mengalami toksemia dalam kehamilan. Tiga pasien solusio plasenta
derajat III mengalami kelainan koagulasi dan 2 pasien dengan solusio plasenta derajat III
mengalami gagal ginjal akut.
Tabel 5. Jarak plasenta dari os servikal dari USG pada plasenta previa dan jenis persalinan
95% kasus plasenta previa dengan plasenta yang kurang dari 2 cm dari os yang dilihat
dari USG melahirkan LSCS.
Tabel 6. Analisis jenis tatalaksana yang diberikan kepada pasien dan persalinan pada perdarahan antepartum
40,7% pasien dengan plasenta previa harus dilakukan LSCS segera. 44,4% pasien
dengan plasenta previa dilakukan manajemen konservatif dan LSCS dilakukan setelah
manajemen ekspektatif. 61,76% pasien dengan solusio plasenta harus diterminasi per
vaginam dengan segera.
d. Diskusi
Perdarahan antepartum merupakan penyebab penting morbiditas dan mortalitas ibu.
Pada penelitian ini, insiden perdarahan antepartum adalah 2,43%. Insiden dari plasenta
previa, solusio plasenta dan perdarahan yang tidak terklasifikasi secara berturut-turut
adalah 1,31% (n=54), 0,82% (n=34) dan 0,29% (n=12) [Tabel-1]. Hasil ini serupa dengan
penelitian dari Arora dkk yang menyatakan bahwa insiden dari perdarahan antepartum
adalah 2,53%. Plasenta previa 1,17%, solusio plasenta 0,63% dan yang tak terklasifikasi
0,52%.
Pada penelitian ini sebanyak 29,4% dari solusio plasenta berhubungan dengan
toksemia dalam kehamilan dan kebanyakan dari pasien ini memiliki derajat solusio
plasenta yang lebih tinggi (derajat II dan III) [Tabel-3]. Hal ini sebanding dengan
penelitian dari Abdella dkk yang menunjukkan insiden kehamilan dengan toksemia dan
solusio plasenta adalah 26,8%.9
Penelitian ini menunjukkan tidak ada kasus koagulopati atau gagal ginjal akut pada
solusio plasenta derajat I dan II, sementara pada derajat III, ada 3 kasus koagulopati
(33,3%) dan 2 kasus gagal ginjal (20%) [Tabel-3].
Hal ini mirip dengan penelitian dari Menon dkk yang melaporkan insiden kegagalan
koagulasi pada solusio plasenta derajat III sebesar 24,8% dari 125 kasus.10
Pada penelitian ini 87,2% pasien dengan plasenta previa dan 70,6% pasien dengan
solusio plasenta memerlukan transfusi darah [Tabel-4]. Brenner dkk melaporkan insiden
kasus plasenta previa yang memerlukan transfusi darah sebesar 36%11 dan William
melaporkan transfusi darah diperlukan pada 52,4% dari 189 kasus solusio plasenta.12
Insiden yang lebih tinggi pada transfusi darah dalam penelitian ini terjadi karena
tingginya prevalensi anemia pada pasien dalam penelitian ini.
Insiden dari operasi caesar pada penelitian ini menurun dari 95% menjadi 35,7% jika
tepi plasenta berjarak lebih besar dari 2 cm dari os. [Tabel-5]. Bhide dkk juga menyatakan
hal yang sama, operasi caesar pada 90% kasus ketika jarak tepi plasenta dengan os sekitar
0,1 sampai 2 cm maka akan menurun menjadi 37% ketika jaraknya di atas 2 cm.13
Pada penelitian ini, dari 54 kasus plasenta previa, 9 kasus mengalami perdarahan post
partum karena atonia uteri (16,6%), 3 kasus mengalami syok hemoragik (5,5%), 2 kasus
(3,7%) mengalami skar dehiscence, 2 kasus mengalami retensio plasenta (3,7%) dan 2
kasus (3,7%) mengalami plasenta akreta. Histerektomi emergensi dilakukan pada 2 pasien
(3,7%), satu pada pasien plasenta akreta dan yang lainnya pada perdarahan post partum
karena atonia uteri [Tabel-7]. Crane dkk juga melaporkan hal yang serupa, komplikasi
plasenta previa seperti perdarahan post partum (20%), syok hemoragik (7%), skar
dehiscence sebesar 5% dan plasenta akreta sebanyak 5%.
Manajemen bedah dari perdarahan post partum dilakukan pada 5 kasus. Pada 3 kasus
dilakukan ligasi arteri uteri bilateral dan 2 lainnya memerlukan ligasi ateri iliaka interna
bilateral untuk mengontrol perdarahan post partum. Pada satu pasien, diperlukan
tambahan penjahitan B-lynch untuk mengontrol perdarahan post partum [Tabel-7].
Penggunaan ligasi arteri uteri bilateral, ligasi arteri iliaka interna bilateral dan penjahitan
B-lynch untuk mengontrol perdarahan post partum juga dilaporkan pada beberapa
penelitian.15-17
Anemia post partum merupakan komplikasi lambat yang paling banyak terjadi pada
penelitian ini, 71% pasien dengan perdarahan antepartum mengalami anemia post partum
[Tabel-8].
Insiden dari mortalitas ibu hamil sebesar 2% pada perdarahan antepartum di
penelitian ini. Hal ini serupa dengan penelitian dari Motwani dkk yang melaporkan
insiden yang sama.18 6% mortalitas ibu terjadi pada solusio plasenta. Hasil ini mirip
dengan literatur yang dipublikasikan.19 Tidak ada mortalitas ibu yang terjadi pada kasus
plasenta previa dan perdarahan yang tak terklasifikasi. Tidak ada mortalitas pada ibu
dengan plasenta previa di penelitian ini kemungkinan karena diagnosis yang lebih awal
dengan USG, manajemen ekspektatif, transfusi darah berulang dan kelahiran melalui
operasi caesar.
e. Kesimpulan
Menganalisis insiden dari perdarahan post partum, kami menyatakan hal ini masih
merupakan masalah obstetri yang signifikan. Walaupun mortalitas ibu telah menurun
dengan manajemen modern dari perdarahan antepartum, mortalitas perinatal masih tinggi.
Satu-satunya faktor penting dalam menurunkan mortalitas ibu adalah persalinan
melalui operasi caesar pada kasus dengan solusio pasenta. Persalinan per vaginam cocok
pada kasus plasenta previa yang terpilih.
Penelitian ini mengungkapkan bahwa mendidik ibu hamil tentang pentingnya
antenatal care dan aksesibilitas yang mudah ke pelayanan antenatal akan menurunkan
morbiditas dan mortalitas ibu yang terkait dengan pendarahan antepartum, ultrasonografi
untuk memutuskan waktu intervensi dan pelaksanaan operasi caesar di rumah sakit yang
dilengkapi dengan ketersediaan pelayanan transfusi darah, akan membantu untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitas ibu.
2. Telaah Kritis
Berdasarkan jurnal yang diakses dari International Journal of Reproduction,
Contraception, Obstetrics and Gynecology merupakan bagian dari kedokteran berbasis bukti
(evidence-based medicine) diartikan sebagai suatu proses evaluasi secara cermat dan
sistematis suatu artikel penelitian untuk menentukan reabilitas, validitas, dan kegunaannya
dalam praktik klinis. Komponen utama yang dinilai dalam critical appraisal adalah validity,
importancy, applicability. Tingkat kepercayaan hasil suatu penelitian sangat bergantung dari
desain penelitian dimana uji klinis menempati urutan tertinggi. Telaah kritis meliputi semua
komponen dari suatu penelitian dimulai dari komponen pendahuluan, metodologi, hasil, dan
diskusi. Masing-masing komponen memiliki kepentingan yang sama besarnya dalam
menentukan apakah hasil penelitian tersebut layak atau tidak digunakan sebagai referensi.
Telaah kritis meliputi semua komponen dari suatu penelitian dimulai dari komponen
pendahuluan, metodologi, hasil, dan diskusi. Masing-masing komponen memiliki
kepentingan yang sama besarnya dalam menentukan apakah hasil penelitian tersebut layak
atau tidak digunakan sebagai referensi.
Randomization
Was the randomization list concealed from patients, clinicians, and researchers?
Randomisasi tidak dijelaskan secara rinci pada jurnal ini.
III. Applicability
Are your patient so different from these studied that the results may not apply to them?
Tidak. Studi ini juga bisa diaplikasikan pada pasien di Indonesia, karena karakteristik
dan gaya hidup pada kedua negara hampir sama.
Is your environment so different from the one in the study that the methods could not be
use there?
Tidak. Secara geografis di Indonesia cukup mirip dengan India. Indonesia dan India
sama-sama merupakan negara berkembang sehingga penelitian yang sama juga bisa
diterapkan di Indonesia.
Kesimpulan: Jurnal ini valid, penting, dan dapat diterapkan sehingga jurnal ini dapat
digunakan sebagai referensi.