Anda di halaman 1dari 33

Psikologi & Pendidikan Anak Berkebutuhan

Khusus (Jilid 1)

Price Rp 73.000
Description
Penulis: Dr. Frieda Mangunsong
(dosen fakultas Psikologi, Universitas Indonesia)
Cetakan Pertama (2009, LPSP3 UI)

ISBN: 978-602-8137-03-4

DAFTAR ISI

BAB I Pengantar
BAB II Isu-Isu dan Arah Pendidikan Khusus
BAB III Strategi/Tehnik Pengajaran Anak Berkebutuhan Khusus
BAB IV Psikologi dan Pendidikan Anak Tunanetra
BAB V Psikologi dan Pendidikan Anak Tunarungu
BAB VI Psikologi dan Pendidikan Anak Tunawicara
BAB VII Psikologi dan Pendidikan Anak Tunagrahita
BAB VIII Psikologi dan Pendidikan Anak Autis
BAB IX Anak dengan Kesulitan Belajar Khusus

Komentar tentang buku ini:


Buku Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus yang merupakan
buku kesatu dari seri pemikir Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan
Khusus merupakan upaya yang sangat terpuji dalam menguak tabir
kehidupan anak manusia yang sejak lahir merupakan mahluk yang unik dan
berbeda masing-masing bakat, sifat maupun kemampuannya. Buku yang
dikarang Ibu Frieda Mangunsong ini bermanfaat dibaca oleh mahasiswa,
dosen, penulis dan ahli pendidikan dalam rangka memahami berbagai
dimensi penting fungsi kemanusiaan anak, terutama anak berkebutuhan
khusus. Saya sangat menganjurkan bacaan ini untuk memperdalam
pengetahuan dan pemahaman anak berkebutuhan khusus.

(Prof. Dr. Conny R.Semiawan, Pakar Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta)


{Mei 29, 2010} KARAKTERISTIK DAN PENDIDIKAN ANAK TUNA RUNGU

Pengertian dan Klasifikasi, Penyebab serta Cara Pencegahan Terjadinya Tunarungu

1. Istilah tunarungu digunakan untuk orang yang mengalami gangguan pendengaran yang
mencakup tuli dan kurang dengar. Orang yang tuli adalah orang yang mengalami
kehilangan pendengaran (lebih dari 70 dB) yang mengakibatkan kesulitan dalam
memproses informasi bahasa melalui pendengarannya sehingga ia tidak dapat memahami
pembicaraan orang lain baik dengan memakai maupun tidak memakai alat bantu dengar.
Orang yang kurang dengar adalah orang yang mengalami kehilangan pendengaran
(sekitar 27 sampai 69 dB) yang biasanya dengan menggunakan alat bantu dengar, sisa
pendengarannya memungkinkan untuk memproses informasi bahasa sehingga dapat
memahami pembicaraan orang lain.
2. Ketunarunguan dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
1. Berdasarkan tingkat kehilangan pendengaran, ketunarunguan dapat
diklasifikasikan sebagai berikut.
1. Tunarungu Ringan (Mild Hearing Loss)
2. Tunarungu Sedang (Moderate Hearing Loss).
3. Tunarungu Agak Berat (Moderately Severe Hearing Loss)
4. Tunarungu Berat (Severe Hearing Loss)
5. Tunarungu Berat Sekali (Profound Hearing Loss)

1.
1. Berdasarkan saat terjadinya, ketunarunguan dapat diklasifikasikan sebagai
berikut.
1. Ketunarunguan Prabahasa (Prelingual Deafness)
2. Ketunarunguan Pasca Bahasa (Post Lingual Deafness)

1.
1. Berdasarkan letak gangguan pendengaran secara anatomis, ketunarunguan dapat
di-klasifikasikan sebagai berikut.
1. Tunarungu Tipe Konduktif
2. Tunarungu Tipe Sensorineural
3. Tunarungu Tipe Campuran

1.
1. Berdasarkan etiologi atau asal usulnya ketunarunguan diklasifikasikan sebagai
berikut.
1. Tunarungu Endogen
2. Tunarungu Eksogen

1. Penyebab Terjadinya Tunarungu


1. Penyebab Tunarungu Tipe Konduktif:
1. Kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga luar yang dapat disebabkan
antara lain oleh:
 tidak terbentuknya lubang telinga bagian luar (atresia meatus
akustikus externus), dan
 terjadinya peradangan pada lubang telinga luar (otitis externa).

1.
1.
1. Kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga tengah, yang dapat
disebabkan antara lain oleh hal-hal berikut:
 Ruda Paksa, yaitu adanya tekanan/benturan yang keras pada
telinga seperti karena jatuh tabrakan, tertusuk, dan sebagainya.
 Terjadinya peradangan/inpeksi pada telinga tengah (otitis media).
 Otosclerosis, yaitu terjadinya pertumbuhan tulang pada kaki tulang
stapes.
 Tympanisclerosis, yaitu adanya lapisan kalsium/zat kapur pada
gendang dengar (membran timpani) dan tulang pendengaran.
 Anomali congenital dari tulang pendengaran atau tidak
terbentuknya tulang pendengaran yang dibawa sejak lahir.
 Disfungsi tuba eustaschius (saluran yang menghubungkan rongga
telinga tengah dengan rongga mulut), akibat alergi atau tumor pada
nasopharynx.

1.
1.
1.
1. Penyebab Terjadinya Tunarungu Tipe Sensorineural
1. Disebabkan oleh faktor genetik (keturunan),
2. Disebabkan oleh faktor non genetik antara lain:
 Rubena (Campak Jerman)
 Ketidaksesuaian antara darah ibu dan anak.
 Meningitis (radang selaput otak )
 Trauma akustik

1. Cara Pencegahan Terjadinya Tunarungu


1. Pada saat sebelum nikah (pra nikah) antara lain: menghindari pernikahan sedarah
atau pernikahan dengan saudara dekat; melakukan pemeriksaan darah; dan
melakukan konseling genetika.
2. Upaya yang dapat dilakukan pada waktu hamil,antara lain: menjaga kesehatan
dan memeriksakan kehamilan secara teratur; mengkonsumsi gizi yang
baik/seimbang; tidak meminum obat sembarangan; dan melakukan imunisasi
tetanus.
3. Upaya yang dapat dilakukan pada saat melahirkan, antara lain: tidak
menggunakan alat penyedot dan apabila Ibu tersebut terkena virus herpes simplek
pada daerah vaginanya,maka kelahiran harus melalui operasi caesar.
4. Upaya yang dapat dilakukan pada masa setelah lahir antara lain: melakukan
imunisasi dasar serta imunisasi rubela yang sangat penting, terutama bagi wanita;
mencegah sakit influenza yang terlalu lama (terutama pada anak); dan menjaga
telinga dari kebisingan.

Kegiatan Belajar 2
Karakteristik Anak Tunarungu

1. Karakteristik anak tunarungu dalam aspek akademik


Keterbatasan dalam kemampuan berbicara dan berbahasa mengakibatkan anak tunarungu
cenderung memiliki prestasi yang rendah dalam mata pelajaran yang bersifat verbal dan
cenderung sama dalam mata pelajaran yang bersifat non verbal dengan anak normal
seusianya.
2. Karakteristik anak tunarungu dalam aspek sosial-emosional adalah sebagai berikut:
1. Pergaulan terbatas dengan sesama tunarungu, sebagai akibat dari keterbatasan
dalam kemampuan berkomunikasi.
2. Sifat ego-sentris yang melebihi anak normal, yang ditunjukkan dengan sukarnya
mereka menempatkan diri pada situasi berpikir dan perasaan orang lain, sukarnya
menye-suaikan diri, serta tindakannya lebih terpusat pada “aku/ego”, sehingga
kalau ada keinginan, harus selalu dipenuhi.
3. Perasaan takut (khawatir) terhadap lingkungan sekitar, yang menyebabkan ia
tergantung pada orang lain serta kurang percaya diri.
4. Perhatian anak tunarungu sukar dialihkan, apabila ia sudah menyenangi suatu
benda atau pekerjaan tertentu.
5. Memiliki sifat polos, serta perasaannya umumnya dalam keadaan ekstrim tanpa
banyak nuansa.
6. Cepat marah dan mudah tersinggung, sebagai akibat seringnya mengalami
kekecewaan karena sulitnya menyampaikan perasaan/keinginannya secara lisan
ataupun dalam memahami pembicaraan orang lain.
3. Karakteristik tunarungu dari segi fisik/kesehatan adalah sebagai berikut.
Jalannya kaku dan agak membungkuk (jika organ keseimbangan yang ada pada telinga
bagian dalam terganggu); gerak matanya lebih cepat; gerakan tangannya cepat/lincah;
dan pernafasannya pendek; sedangkan dalam aspek kesehatan, pada umumnya sama
dengan orang yang normal lainnya.

Kegiatan Belajar 3
Kebutuan Pendidikan dan Layanan Anak Tunarungu

1. Sebagaimana anak lainnya yang mendengar, anak tunarungu membutuhkan pendidikan


untuk mengembangkan potensinya secara optimal. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut,
diperlukan layanan pendidikan yang disesuaikan dengan karakteristik, kemampuan, dan
ketidakmampuannya. Di samping sebagai kebutuhan, pemberian layanan pendidikan
kepada anak tunarungu, didasari oleh beberapa landasan, yaitu landasan agama,
kemanusiaan, hukum, dan pedagogis.
2. Ditinjau dari jenisnya, layanan pendidikan terhadap anak tunarungu, meliputi layanan
umum dan khusus. Layanan umum merupakam layanan yang biasa diberikan kepada
anak mendengar/normal, sedangkan layanan khusus merupakan layanan yang diberikan
untuk mengurangi dampak kelainannya, yang meliputi layanan bina bicara serta bina
persepsi bunyi dan irama.
3. Ditinjau dari tempat sistem pendidikannya, layanan pendidikan bagi anak tunarungu
dikelompokkan menjadi sistem segregasi dan integrasi/terpadu. Sistem sgregasi
merupakan sistem pendidikan yang terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak
mendengar/normal. Tempat pendidikan bagi anak tunarungu melalui sistem ini meliputi:
sekolah khusus (SLB-B), SDLB, dan kelas jauh atau kelas kunjung. Sistem Pendidikan
intergrasi/terpadu, merupakan sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada
anak tunarungu untuk belajar bersama anak mendengar/normal di sekolah umum/biasa.
Melalui sistem ini anak tunarungu ditempatkan dalam berbagai bentuk keterpaduan yang
sesuai dengan kemampuannya. Depdiknas (1984) mengelompokkan bentuk keterpaduan
tersebut menjadi kelas biasa, kelas biasa dengan ruang bimbingan khusus, serta kelas
khusus.
4. Strategi pembelajaran bagi anak tunarungu pada dasarnya sama dengan strategi
pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran bagi anak mendengar/normal, akan
tetapi dalam pelaksanaannya, harus bersifat visual, artinya lebih banyak memanfaatkan
indra penglihatan siswa tunarungu.
5. Pada dasarnya tujuan dan fungsi evaluasi dalam pembelajaran siswa tunarungu sama
dengan siswa mendengar atau normal, yaitu untuk mengukur tingkat penguasaan materi
pelajaran, serta untuk umpan balik bagi guru. Kegiatan evaluasi bagi siswa tunarungu,
harus memperhatikan prinsip-prinsip: berkesinambungan, menyeluruh, objektif, dan
pedagogis. Sedangkan alat evaluasi secara garis besar dibagi atas dua macam, yaitu alat
evaluasi umum yang digunakan dalam pembelajaran di kelas biasa dan alat evaluasi
khusus yang digunakan dalam pembelajaran di kelas khusus dan ruang bimbingan
khusus.

http://pustaka.ut.ac.id/puslata/online.php?menu=bmpshort_detail2&ID=282
{Mei 29, 2010} Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH)

Hiperaktivitas adalah salah satu aspek dari Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas
(GPPH) atau yang dikenal dengan istilah Attention Deficit with/without Hyperactivity Disorder
(ADD/HD). GPPH mencakup gangguan pada tiga aspek, yaitu sulit memusatkan perhatian,
hiperaktif, dan impulsivitas. Apabila gangguan hanya terjadi pada aspek yang pertama, maka
dinamakan Gangguan Pemusatan Perhatian (ADD), sedangkan bila ketiga aspek terkena imbas
gangguan barulah disebut GPPH (ADHD).

Anak-anak yang sulit memusatkan perhatian biasanya menampilkan ciri-ciri, seperti ceroboh,
sulit berkonsentrasi, seperti tidak mendengarkan bila diajak bicara, gagal menyelesaikan tugas,
sulit mengatur aktivitas, menghindari tugas yang memerlukan pemikiran, kehilangan barang-
barang, perhatian mudah teralih, dan pelupa.

Sedangkan, ciri-ciri dari hiperaktivitas adalah terus-menerus bergerak, memainkan jari atau kaki
saat duduk, sulit duduk diam dalam waktu yang lama, berlarian atau memanjat secara berlebihan
yang tidak sesuai dengan situasi, atau berbicara berlebihan. Sementara itu, impulsivitas
ditampilkan dalam perilaku yang langsung menjawab sebelum pertanyaan selesai diajukan, sulit
menunggu giliran dan senang menginterupsi atau mengganggu orang lain.

Bukan penyakit

Sydney Walker III, Direktur Institut Neuropsikiatris California Selatan, dalam bukunya
Hyperactivity Hoax, menyatakan bahwa kesalahan mendasar dalam penanganan GPPH adalah
memandangnya sebagai suatu diagnosa. GPPH bukanlah suatu penyakit, melainkan sekumpulan
gejala yang dapat disebabkan oleh beragam penyakit dan gangguan.

Ambillah contoh, pusing. Pusing bukanlah penyakit tetapi suatu gejala. Pusing bisa merupakan
gejala influenza. Juga bisa disebabkan terlambat makan, tekanan darah yang terlalu tinggi atau
terlalu rendah. Atau, bahkan bisa merupakan gejala tumor otak. Memberikan satu obat yang
sama untuk semua gejala pusing, jelas tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan dapat
memperburuk kondisi pasien.

Demikian pula halnya dengan GPPH. Tidaklah tepat bila memberikan obat atau pendekatan yang
sama kepada semua anak yang mengalami GPPH, tanpa memahami terlebih dahulu penyakit
atau gangguan yang melatarbelakanginya.

Faktor penyebab

GPPH dapat muncul sebagai efek dari adanya infeksi bakteri, cacingan, keracunan logam dan zat
berbahaya (Pb, CO, Hg), gangguan metabolisme, gangguan endoktrin, diabetes, dan gangguan
pada otak. Dengan mengatasi penyakit atau gangguan yang melatarbelakanginya, maka
hiperaktivitas pun dapat tertanggulangi.

Penyakit keturunan seperti Turner syndrome, sickle-cell anemia, fragileX, dan Marfan syndrome
juga dapat menimbulkan GPPH. Itulah sebabnya mengapa GPPH juga dapat ditemukan dalam
garis darah keluarga turun-temurun. Dalam kasus seperti ini, GPPH dapat dikurangi dengan
menghindari hal-hal yang menjadi keterbatasan mereka.

Selain itu, masalah dalam integrasi sensorik serta gangguan persepsi dapat melatarbelakangi
timbulnya GPPH. Terkait dengan masalah ini diperlukan terapi khusus yang terfokus pada
kekurangan tiap individu.

GPPH juga dapat bersumber pada gaya hidup yang tidak sehat. Konsumsi minuman berkafein
(kopi, teh, coklat, cola, dan lain-lain) yang berlebihan, pola makan dengan gizi tak seimbang,
serta kuantitas dan kualitas tidur yang kurang memadai disebut-sebut sebagai faktor yang turut
menyumbang munculnya masalah ini.

Terkadang GPPH hanyalah dampak dari pola kehidupan yang kurang disiplin. Tanpa
kedisiplinan yang konsisten, akhirnya mereka tumbuh menjadi anak-anak yang malas, sembrono,
sulit mengendalikan diri, dan mematuhi peraturan. Untuk menanganinya diperlukan modifikasi
perilaku dan kesediaan orangtua untuk mengubah pola asuh mereka. Dalam hal ini, psikolog
memegang peranan yang penting untuk merancang program modifikasi perilaku dan memotivasi
orangtua dalam menciptakan pola asuh yang lebih tepat.

Stimulan

Sebagian besar anak-anak yang mengalami GPPH mendapat perawatan medis berupa obat-
obatan stimulan. Stimulan dipercaya dapat meningkatkan produksi dopamine dan
norepinephrine, yaitu neurotransmiter otak yang penting untuk kemampuan memusatkan
perhatian dan mengontrol perilaku. Ritalin dengan kandungan methylphenidate adalah salah satu
stimulan yang paling banyak diresepkan.

Sementara mengonsumsi stimulan, anak akan mengikuti terapi dan modifikasi perilaku. Setelah
terapi dan modifikasi perilaku membuahkan hasil, dosis stimulan akan dikurangi secara bertahap
sampai akhirnya lepas obat sama sekali. Demikian pendekatan yang paling banyak digunakan
selama ini. C Keith Conners PhD membuktikan efektivitas pendekatan ini melalui penelitiannya
yang disponsori oleh Institut Kesehatan Mental Nasional Amerika (NIMH).

Di sisi lain, banyak juga pihak yang menentang pendekatan ini. Salah satunya adalah gerakan
Alternative Mental Health di Amerika. Mereka memandang stimulan lebih banyak
mendatangkan kerugian daripada manfaat. Para pakar yang bergabung dalam gerakan ini dengan
giat melakukan penelitian tentang peranan nutrisi, diet, dan herbal untuk mengatasi GPPH. Hasil
penelitian mereka dapat dipantau melalui situs www.alternativementalhealth.com.

Alasan yang lebih masuk akal dikemukakan oleh Sydney Walker III yang juga menentang
penggunaan stimulan. Sydney mengingatkan, bahwa GPPH adalah sekumpulan gejala yang
dilatarbelakangi beragam penyakit dan gangguan, sehingga tidaklah tepat menyamaratakan
penanganannya. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa belum ada penelitian tentang efek jangka
panjang stimulan. Penelitian Conners yang dianggap terhebat sekalipun hanya berlangsung
dalam waktu 14 bulan.
Bahkan, Sydney mulai melihat kecenderungan anak-anak yang mengonsumsi stimulan tertentu
lebih mudah menjadi pecandu narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba) di usia dewasa.
Selain struktur biokimia-nya yang mirip dengan kokain, konsumsi stimulan membuat anak-anak
terbiasa mencari jalan keluar yang instan. Kurt Cobain-penyanyi grup Rock Nirvana yang tewas
bunuh diri-diangkat oleh Sydney sebagai contoh anak hiperaktif yang mendapatkan penanganan
yang salah. Ia terjerat narkoba sampai akhir hayatnya.

Penanganan

Apa pun bentuk penanganan yang Anda pilih, dengan atau tanpa obat, hal utama yang perlu
diperhatikan adalah menerima dan memahami kondisi anak. Orangtua dan pendidik perlu
memahami bahwa tingkah laku si anak yang tidak pada tempatnya didasari oleh keterbatasan dan
gangguan yang ia alami.

Bukan berarti orangtua dan pendidik lantas mengabaikan kedisiplinan, melainkan anak dibantu
untuk memenuhi peraturan. Misalnya, agar anak dapat menyelesaikan tugas pada waktunya,
bagilah tugas ke dalam beberapa bagian kecil (beberapa nomor), tetapkan pula batas waktunya
dengan jelas. Usahakan agar ruang belajar bebas dari gangguan, seperti suara, pernak-pernik
maupun orang-orang yang hilir mudik. Menempatkan anak di barisan paling depan dan
memberikan tepukan lembut juga dapat membantunya untuk memusatkan perhatian.

Berbagai tips praktis di atas, tentu saja tidak akan bermanfaat, apabila penyebab dasarnya belum
teridentifikasi. Untuk itu diperlukan kerja sama tim yang terdiri dari dokter, dokter spesialis,
psikolog, psikiater, guru dan orangtua dalam proses identifikasi. Sesudah masalah teridentifikasi
dengan jelas, program penanganan dapat dirancang dengan akurat.

Pada beberapa kasus, anak-anak dengan gangguan ini membutuhkan terapi, seperti terapi
remedial, terapi integrasi sensori, maupun terapi lain yang sesuai dengan kebutuhannya. Pusat-
pusat terapi semacam ini telah banyak berdiri, meskipun terbatas di kota-kota besar di Indonesia.

Ketekunan, konsistensi, kerja sama dan sikap mau mengubah diri sangatlah dituntut dari pihak
orangtua dan pendidik. Dengan kasih sayang yang tulus, telah banyak orangtua dan pendidik
yang berhasil membantu anak-anaknya mengatasi masalah mereka. Jadi, hiperaktif bukanlah
masalah tanpa jalan keluar.

http://www.childcare-center.com/masalah/gpph.html

ochamutz91 @ 5:45 pm [disimpan dalam psikologi anak khusus Tinggalkan sebuah Komentar »

{Mei 29, 2010} Retardasi Mental

Keterbelakangan Mental (Retardasi Mental, RM) adalah suatu keadaan yang ditandai dengan
fungsi kecerdasan umum yang berada dibawah rata-rata disertai dengan berkurangnya
kemampuan untuk menyesuaikan diri (berpelilaku adaptif), yang mulai timbul sebelum usia 18
tahun.
Orang-orang yang secara mental mengalami keterbelakangan, memiliki perkembangan
kecerdasan (intelektual) yang lebih rendah dan mengalami kesulitan dalam proses belajar serta
adaptasi sosial.
3% dari jumlah penduduk mengalami keterbelakangan mental.

PENYEBAB
Tingkat kecerdasan ditentukan oleh faktor keturunan dan lingkungan.
Pada sebagian besar kasus RM, penyebabnya tidak diketahui; hanya 25% kasus yang memiliki
penyebab yang spesifik.
Secara kasar, penyebab RM dibagi menjadi beberapa kelompok:

1. Trauma (sebelum dan sesudah lahir)


- Perdarahan intrakranial sebelum atau sesudah lahir
- Cedera hipoksia (kekurangan oksigen), sebelum, selama atau sesudah lahir
- Cedera kepala yang berat

2. Infeksi (bawaan dan sesudah lahir)


- Rubella kongenitalis
- Meningitis
- Infeksi sitomegalovirus bawaan
- Ensefalitis
- Toksoplasmosis kongenitalis
- Listeriosis
- Infeksi HIV

3. Kelainan kromosom
- Kesalahan pada jumlah kromosom (Sindroma Down)
- Defek pada kromosom (sindroma X yang rapuh, sindroma Angelman, sindroma Prader-Willi)
- Translokasi kromosom dan sindroma cri du chat

4. Kelainan genetik dan kelainan metabolik yang diturunkan


- Galaktosemia
- Penyakit Tay-Sachs
- Fenilketonuria
- Sindroma Hunter
- Sindroma Hurler
- Sindroma Sanfilippo
- Leukodistrofi metakromatik
- Adrenoleukodistrofi
- Sindroma Lesch-Nyhan
- Sindroma Rett
- Sklerosis tuberosa

5. Metabolik
- Sindroma Reye
- Dehidrasi hipernatremik
- Hipotiroid kongenital
- Hipoglikemia (diabetes melitus yang tidak terkontrol dengan baik)

6. Keracunan
- Pemakaian alkohol, kokain, amfetamin dan obat lainnya pada ibu hamil
- Keracunan metilmerkuri
- Keracunan timah hitam

7. Gizi
- Kwashiorkor
- Marasmus
- Malnutrisi

8. Lingkungan
- Kemiskinan
- Status ekonomi rendah
- Sindroma deprivasi.

GEJALA
Tingkatan Retardasi Mental

Kemampuan Usia
Kemampuan Usia
Kisaran Prasekolah Kemampuan Masa Dewasa
Tingkat Sekolah
IQ (sejak lahir-5 (21 tahun keatas)
(6-20 tahun)
tahun)
-Bisa membangun -Bisa mempelajari
kemampuan sosial pelajaran kelas 6 Biasanya bisa mencapai
& komunikasi pada akhir usia kemampuan kerja &
belasan tahun bersosialisasi yg cukup,
Ringan 52-68 -Koordinasi otot tetapi ketika mengalami
sedikit terganggu -Bisa dibimbing ke stres sosial ataupun
arah pergaulan sosial ekonomi, memerlukan
-Seringkali tidak bantuan
terdiagnosis -Bisa dididik
-Bisa memenuhi
-Bisa mempelajari
-Bisa berbicara & kebutuhannya sendiri
beberapa
belajar dengan melakukan
kemampuan sosial &
berkomunikasi pekerjaan yg tidak terlatih
pekerjaan
atau semi terlatih dibawah
Moderat 36-51 -Kesadaran sosial pengawasan
-Bisa belajar
kurang
bepergian sendiri di
-Memerlukan pengawasan
tempat-tempat yg
-Koordinasi otot & bimbingan ketika
dikenalnya dengan
cukup mengalami stres sosial
baik
maupun ekonomi yg ringan
Berat 20-35 -Bisa mengucapkan -Bisa berbicara atau -Bisa memelihara diri
beberapa kata belajar sendiri dibawah
berkomunikasi pengawasan
-Mampu
mempelajari -Bisa mempelajari -Dapat melakukan
kemampuan untuk kebiasaan hidup beberapa kemampuan
menolong diri sehat yg sederhana perlindungan diri dalam
sendiri lingkungan yg terkendali

-Tidak memiliki
kemampuan
ekspresif atau
hanya sedikit

-Koordinasi otot
jelek
-Sangat terbelakang
-Memiliki beberapa
-Memiliki beberapa koordinasi otot & berbicara
-Koordinasi
koordinasi otot
ototnya sedikit
Sangat 19 atau -Bisa merawat diri tetapi
sekali
berat kurang -Kemungkinan tidak sangat terbatas
dapat berjalan atau
-Mungkin
berbicara -Memerlukan perawatan
memerlukan
khusus
perawatan khusus

Anak dengan MR ringan (IQ 52-68) bisa mencapai kemampuan membaca sampai kelas 4-6.
Meskipun memiliki kesulitan membaca, tetapi mereka dapat mempelajari kemampuan
pendidikan dasar yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka memerlukan pengawasan dan bimbingan serta pendidikan dan pelatihan khusus.
Biasanya tidak ditemukan kelainan fisik, tetapi mereka bisa menderita epilepsi.
Mereka seringkali tidak dewasa dan kapasitas perkembangan interaksi sosialnya kurang.
Mereka mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru dan mungkin
memiliki penilaian yang buruk.
Mereka jarang melakukan penyerangan yang serius, tetapi bisa melakukan kejahatan impulsif.
Anak-anak dengan RM moderat (IQ 36-51) jelas mengalami kelambatan dalam belajar berbicara
dan keterlambatan dalam mencapai tingkat perkembangan lainnya (misalnya duduk dan
berbicara). Dengan latihan dan dukungan dari lingkungannya, mereka dapat hidup dengan
tingkat kemandirian tertentu.
Anak-anak dengan RM berat (IQ 20-35) dapat dilatih meskipun agak lebih susah dibandingkan
dengan RM moderat.
Anak-anak dengan RM sangat berat (IQ 19 atau kurang) biasanya tidak dapat belajar berjalan,
berbicara atau memahami.
Angka harapan hidup untuk anak-anak dengan RM mungkin lebih pendek, tergantung kepada
penyebab dan beratnya RM. Biasanya, semakin berat RMnya maka semakin kecil angka harapan
hidupnya.
DIAGNOSA
Seorang anak RM menunjukkan perkembangan yang secara signifikan lebih lambat
dibandingkan dengan anak lain yang sebaya.
Tingkat kecerdasan yang berada dibawah rata-rata bisa dikenali dan diukur melalui tes
kecerdasan standar (tes IQ), yang menunjukkan hasil kurang dari 2 SD (standar deviasi) dibawah
rata-rata (biasanya dengan angka kurang dari 70, dari rata-rata 100).

PENGOBATAN
Tujuan pengobatan yang utama adalah mengembangkan potensi anak semaksimal mungkin.
Sedini mungkin diberikan pendidikan dan terapi khusus, yang meliputi pendidikan dan pelatihan
kemampuan sosial untuk membantu anak berfungsi senormal mungkin.
Pendekatan perilaku sangat penting dalam memahami dan bekerja sama dengan anak RM.

http://www.childcare-center.com/masalah/retardasi-mental.html

ochamutz91 @ 5:44 pm [disimpan dalam psikologi anak khusus Tinggalkan sebuah Komentar »

{Mei 29, 2010} Gangguan Bicara dan Bahasa

Kemampuan berbahasa merupakan indikator seluruh perkembangan anak. Kurangnya stimulasi


akan dapat menyebabkan gangguan berbicara dan berbahasa bahkan gangguan ini dapat
menetap.

Penyebab gangguan perkembangan bahasa sangat banyak dan luas, semua gangguan mulai dari
proses pendengaran, penerusan impuls ke otak, otak, otot atau organ pembuat suara. Adapun
beberapa penyebab gangguan atau keterlambatan bicara adalah gangguan pendengaran, kelainan
organ bicara, retardasi mental, kelainan genetik atau kromosom, autis, mutism selektif,
keterlambatan fungsional, afasia reseptif dan deprivasi lingkungan. Deprivasi lingkungan terdiri
dari lingkungan sepi, status ekonomi sosial, tehnik pengajaran salah, sikap orangtua. Gangguan
bicara pada anak dapat disebabkan karena kelainan organik yang mengganggu beberapa sistem
tubuh seperti otak, pendengaran dan fungsi motorik lainnya.

Beberapa penelitian menunjukkan penyebab ganguan bicara adalah adanya gangguan hemisfer
dominan. Penyimpangan ini biasanya merujuk ke otak kiri. Beberapa anak juga ditemukan
penyimpangan belahan otak kanan, korpus kalosum dan lintasan pendengaran yang saling
berhubungan. Hal lain dapat juga di sebabkan karena diluar organ tubuh seperti lingkungan yang
kurang mendapatkan stimulasi yang cukup atau pemakaian dua bahasa. Bila penyebabnya karena
lingkungan biasanya keterlambatan yang terjadi tidak terlalu berat.

Terdapat tiga penyebab keterlambatan bicara terbanyak diantaranya adalah retardasi mental,
gangguan pendengaran dan keterlambatan maturasi. Keterlambatan maturasi ini sering juga
disebut keterlambatan bicara fungsional.

Keterlambatan bicara fungsional merupakan penyebab yang cukup sering dialami oleh sebagian
anak. Keterlambatan bicara fungsional sering juga diistilahkan keterlambatan maturasi atau
keterlambatan perkembangan bahasa. Keterlambatan bicara golongan ini disebabkan karena
keterlambatan maturitas (kematangan) dari proses saraf pusat yang dibutuhkan untuk
memproduksi kemampuan bicara pada anak. Gangguan ini sering dialami oleh laki-laki dan
sering terdapat riwayat keterlambatan bicara pada keluarga. Biasanya hal ini merupakan
keterlambatan bicara yang ringan dan prognosisnya baik. Pada umumnya kemampuan bicara
akan tampak membaik setelah memasuki usia 2 tahun. Terdapat penelitian yang melaporkan
penderita dengan keterlambatan ini, kemampuan bicara saat masuk usia sekolah akan normal
seperti anak lainnya.

Dalam keadaan ini biasanya fungsi reseptif sangat baik dan kemampuan pemecahan masalah
visuo-motor anak dalam keadaan normal. Anak hanya mengalami gangguan perkembangan
ringan dalam fungsi ekspresif. Ciri khas lain adalah anak tidak menunjukkan kelainan
neurologis, gangguan pendengaran, gangguan kecerdasan dan gangguan psikologis lainnya.

http://www.childcare-center.com/masalah/ganguan-bicara.html

ochamutz91 @ 5:42 pm [disimpan dalam psikologi anak khusus Tinggalkan sebuah Komentar »

{Mei 29, 2010} Multiplex Developmental Disorder

Developmental Disorder Multiplex

Sejak pertama kali diakui autisme, kontinuitas dengan skizofrenia telah menjadi bahan
perdebatan. Bahkan, sampai akhir 1970-an, anak-anak dengan autisme sering dicap sebagai
memiliki “skizofrenia masa kanak-kanak.” Dalam tiga puluh tahun terakhir, bagaimanapun,
istilah “skizofrenia masa kanak-kanak” telah mengungsi. kriteria diagnostik untuk autisme telah
ditetapkan bahwa hanya mengandalkan sosial, komunikatif dan gejala sensorimotor, tanpa
mengacu pada gangguan pemikiran khas skizofrenia.

Namun demikian, ada beberapa anak yang menampilkan defisit sosial dan komunikatif parah,
awal-muncul karakteristik autisme yang menampilkan beberapa JUGA ketidakstabilan
emosional dan proses berpikir beraturan yang menyerupai gejala skizofrenia. Cohen, et al.
(1986) yang menciptakan istilah Developmental Disorder Multiplex (MDD) untuk
menggambarkan anak-anak, walaupun mereka sering diberi diagnosis PDD-NOS oleh dokter
yang mungkin belum terbiasa dengan terminologi ini. Tidak seperti skizofrenia, gejala MDD
muncul di awal masa kanak-kanak, sering di tahun-tahun pertama kehidupan, dan bertahan
sepanjang pembangunan. Diagnostik kriteria untuk MDD meliputi:

1. Gangguan perilaku sosial / sensitivitas, mirip dengan yang terlihat pada autisme, seperti:
* Tertarik Sosial
* Detasemen, menghindari orang lain, atau penarikan
* Hubungan peer Gangguan
* Sangat ambivalen lampiran
* Terbatas kapasitas untuk berempati atau memahami apa yang dipikirkan orang lain atau
perasaan
2. Afektif gejala, termasuk:
* Gangguan regulasi perasaan
* Intense kecemasan, tidak pantas
* Berulang panik
* Emosional lability, tanpa penyebab yang jelas
3. Pemikiran gejala gangguan, seperti:
* Mendadak, gangguan yang tidak rasional pada pikiran normal
* Magical berpikir
* Kebingungan antara realitas dan fantasi
* Delusions seperti pikiran paranoid atau fantasi kekuasaan khusus

Anak-anak yang menunjukkan bukti gejala dari TIGA SEMUA kategori ini dapat
diklasifikasikan sebagai memiliki MDD.

Saat ini, MDD adalah kategori penelitian, tanpa implikasi pendidikan atau pengobatan khusus.
Karena kita tahu begitu sedikit tentang gangguan ini, terlalu dini untuk menyarankan intervensi
khusus. Anak-anak dengan gejala MDD harus ditangani dengan individual program pendidikan
khusus dikembangkan dalam kerjasama dengan orangtua, guru, dan tim multidisiplin untuk
mengatasi kekuatan yang unik dan kebutuhan mereka. Orang tua harus berkonsultasi dengan
psikiater anak lokal untuk menentukan apakah obat mungkin berguna dalam mengobati gejala-
gejala gangguan afektif terlampir dan berpikir.

http://4yu8.wordpress.com/2010/04/26/multiplex-developmental-disorder/

ochamutz91 @ 5:39 pm [disimpan dalam psikologi anak khusus Tinggalkan sebuah Komentar »

{Mei 29, 2010} Prinsip-prinsip Pembelajaran di Sekolah Inklusi – Tuna Rungu

Kegiatan belajar mengajar dilaksanakan dengan maksud untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Agar tujuan dapat tercapai secara efektif dan efisien guru perlu memperhatikan prinsip-prinsip
pembelajaran. Prinsip-prinsip pembelajaran di sekolah inklusi secara umum sama dengan
prinsip-prinsip pembelajaran yang berlaku bagi anak pada umumnya. Namun demikian, karena
di dalam kelas inkulsi terdapat anak luar biasa yang mengalami hambatan baik fisik, intelektual,
sosial, emosional dan/atau sensoris neurologis dibanding dengan anak pada umumnya, maka
guru yang mengajar di kelas inklusi di samping menerapkan prinsip-prinsip umum pembelajaran
juga harus menerapkan prinsip-prinsip khusus sesuai dengan hambatan yang dimiliki oleh anak
luar biasa.

A. Prinsip-prinsip Pembelajaran Secara Umum

1. Prinsip motivasi

Dalam pelaksanaan pembelajaran guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada siswa agar
tetap memiliki gairah dan semangat dalam melakukan pembelajaran.
1. Prinsip latar/konteks

Guru harus mengenal dan mngetahui latar belakang siswa secara lebih mendalam, dalam proses
pembelajaran penggunaan contoh-contoh, memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan
sekitar, serta menghindari pengulangan yang tidak diperlukan jika anak sudah mampu
memahami sesuatu yang dipelajari.

1. Prinsip keterarahan

Sebelum melakukan pembelajaran guru diharuskan untuk merumuskan lalu menjelaskan tujuan
yang akan dicapai setelah pembelajaran selesai dilakukan, kemudian menyiapkan bahan dan alat
yang sesuai dengan materi yang diberikan serta menggunakan strategi pembelajaran yang dapat
mempermudah siswa dalam memahami materi yang diberikan.

1. Prinsip hubungan sosial

Interaksi antar guru dengan siswa, siswa dengan siswa, siswa dengan lingkungan dan seterusnya
sangat dibutuhkan dalam mengoptimalkan pembelajaran yang diberikan sehingga tercapai tujuan
yang diharapkan.

1. Prinsip belajar sambil bekerja

Dalam melakukan pembelajaran siswa harus banyak diberikan kesempatan untuk melakukan
percobaan atau praktek sesuai dengan materi yang ada, siswa diharapkan dapat menemukan
pengertiannya dalam psoses pembelajaran sehingga hasil belajar yang dicapai dapat lebih
bermakna.

1. Prinsip Individualisasi

Kemampuan guru dalam mengenali dan memahami siswa secara individu baik kelebihan ataupu
kelemahan siswa dapat diketahui oleh guru,sehingga dalam melakukan pembelajaran guru tidak
menyamakan kemampuan siswa sehingga masing-masing siswa mendapatkan perhatian dan
perlakuan yang sesuai dengan kemampuannya.

1. Prinsip menemukan

Guru diharuskan mampu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu memancing dan
melibatkan siswa untuk aktif, baik secara fisik, mental, sosial, dan emosional.

1. Prinsip pemecahan masalah

Hendaknya pembelajaran yang dilakukan mengandung unsur pemecahan masalah sehingga


siswa dilatih untuk berfikir, merumuskan, mengumpulkan data dan menganalisis serta
menyelesaikan permasalahan yang ada.

1. Prinsip kasih sayang


Pembelajaran yang dilakukan hendaknya tidak mengesampingkan prinsip kasih sayang sehingga
siswa merasakan ketenangan dan kenyamanan dalam belajar, tanpa merasa takut dan tertekan.

B. Prinsip-prinsip Pembelajaran Secara Khusus Bagi Anak Tunarungu


Pembelajaran yang dilakukan bagia siswa mendengar berbeda dengan pembelajaran bagi anak
tunarungu, anak tunarungu lebih mengandalkan visualnya serta pembelajaran dapat mudah
dipahami jika guru melakukan prinsip-prinsip di bawah ini:

1. Prinsip keterarahwajahan

Dalam menyampaikan materi pembelajaran, guru harus berdiri di depan sehingga wajah guru
khususnya mulut guru dapat dilihat oleh anak tunarungu tanpa terhalang apapun, sehingga anak
tunarungu dapat memahami apa yang disampaikan oleh gurunya.Hindari memberikan penjelasan
sambil berjalan baik di depan kelas maupun ke belakang kelas.Ketika berbicara dengan
tunarungu harus berhadapan langsung (face to face) sehingga pesan yang disampaikan dapat
dipahami dan pembelajaran dapat lebih dimengerti.

1. Prinsip keterarahsuaraan

Bagi anak tunarungu suara tidak perlu keras dan kencang, namun guru harus berbicara jelas
dengan artikulasi yang tepat sehingga dapat dipahami oleh tunarungu. Dengan demikian
pembelajaran yang dilakukan tidak sia-sia.

1. Prinsip Intersubyektifitas

Dalam pembelajaran guru dan siswa tunarungu sebagai unsur yang penting harus dapat
membangun suatu kesamaan dalam proses pengamatan, apa yang akan diucapkan oleh anak
dengan perantara visualnya harus segera direspon dan dibahasakan kembali oleh guru.

1. Prinsip kekonkritan

Dalam memberikan pembelajaran kepada anak tunarungu harus konkrit hal ini dikarenakan anak
tunarungu daya abstraksinya rendah dibandingkan anak mendengar karena minimnya bahasa
yang dimiliki. Segala sesuatu yang diajarkan hendaknya disertai dengan contoh-contoh nyata dan
yang mudah dipahami.

1. Prinsip Visualisasi

Pendengaran anak tunarungu tidak dapat berfungsi maka melalui indera penglihatannya anak
tunarungu berusaha memperoleh informasi, untuk itu semua pembelajaran yang diberikan oleh
guru hendaknya dapat diilustrasikan dalam bentuk gambar yang bercerita tentang materi yang
diberikan atau lebih dikenal dengan visualisasi yang berguna untuk memudahkan anak tunarungu
mengerti akan maksud dan isi pembelajaran.

1. Prinsip Keperagaan
Setiap kata yang keluar dari mulut guru hendaknya diulas lebih lanjut hingga anak tunarungu
betul-betul paham maksud dari kata tersebut, kemudian memperagaan atau mempraktekkannya
akan lebih memudahkan anak tunarungu untuk mengerti apa yang diajarkan serta upayakan
semua pembelajaran yang dilakukan dapat diperagakan secara pengalaman oleh anak sehingga
anak mudah memahami dan mengerti apa yang diajarkan guru.

1. Prinsip pengalaman yang menyatu

Pengalaman visual cenderung menyatukan informasi yang diterima, Mengajak anak tunarungu
untuk “mengalami” secara nyata dapat memudahkan anak untuk mengerti akan hubungan-
hubungan yang ada.

1. Prinsip belajar sambil melakukan

Pembelajaran hendaknya dapat bermakna bagi semua siswa tidak terkecuali bagi anak tunarungu,
untuk itu segala sesuatu yang dipelajari harus dapat dipraktekkan dan dilakukan oleh anak
tunarungu. Penggunaan strategi pembelajaran yang langsung melibatkan anak lebih bermanfaat
dibandingkan anak hanya mendengarkan saja.

http://www.bintangbangsaku.com/content/prinsip-prinsip-pembelajaran-di-sekolah-inklusi-tuna-
rungu

ochamutz91 @ 5:37 pm [disimpan dalam psikologi anak khusus Tinggalkan sebuah Komentar »

{Mei 29, 2010} Penempatan Anak Tunarungu di Kelas Inklusi

Sebelum melakukan penempatan anak berkebutuhan khusus di dalam kelas inklusi, sebaiknya
dilakukan identifikasi dan asesmen terlebih dahulu. Istilah identifikasi dan asesmen sering
dipergunakan secara bergantian. Identifikasi merupakan tahapan awal yang masih bersifat
global/kasar, identifikasi dimaknai sebagai proses penjaringan anak berkebutuhan khusus yang
mengalami penyimpangan, kelainan, hambatan baik secara fisik, intelektual, sosial, emosional
dan tingkah laku dalam rangka pemberian layanan pendidikan yang sesuai.

Hasil dari identifikasi adalah ditemukannya anak-anak berkebutuhan khusus yang memerlukan
layanan pendidikan khusus melalui program pendidikan inklusi. Selanjutnya jika sudah
diidentifikasi lalu ditemukan anak tunarungu dengan derajat ketulian misalnya 90 dB, barulah
dilanjutkan dengan asesmen.

Dengan asesmen akan diketahui kelemahan/kesulitan anak dalam hal tertentu, serta diketahui
pula kekuatan/potensi/kemampuan yang masih dapat dikembangkan juga kebutuhan layanan
khusus yang diperlukan untuk mengatasi hambatan yang dimiliki anak. Setelah dilakukan
asesmen dan diketahui kelebihan serta kelemahan anak, barulah guru dapat menempatkan anak
tunarungu berdasarkan kemampuan bahasa yang dimilikinya, selain itu dengan hasil asesmen
guru dapat membuat program pembelajaran yang sesuai dengan potensi yang dimiliki anak.
Dengan program tersebut diharapkan pembelajaran yang dilakukan anak tunarungu dapat
bermakna.

Setelah dilakukan asesmen barulah dilakukan penempatan dengan program pembelajaran


individual (PPI).Penempatan anak tunarungu di sekolah inklusi di Indonesia pada dasarnya lebih
sama dengan model mainstreaming seperti pendapatVaughn,Bos & Schumn (2000),yaitu:

1. Kelas regular (inklusi penuh)

Anak tunarungu belajar bersama dengan anak mendengar sepanjang hari di kelas regular dengan
menggunakan kkurikulum yang sama.

1. Kelas regular dengan cluster

Anak tunarungu belajar bersama dengan anak mendengar di kelas regular dengan kelompok
khusus.

1. Kelas regular dengan pull out

Anak tunarungu belajar bersama anak mendengar di kelas regular namun dalam waktu-waktu
tertentu anak tunarungu ditarik dari kelas regular ke ruang sumber untuk belajar dengan guru
pembimbing khusus.

1. Kelas regular dengan cluster dan pull out

Anak tunarungu belajar bersama dengan anak mendengar di kelas regular dalam kelompok
khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas regular untuk belajar dengan guru
pembimbing khusus.

1. Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian

Anak tunarungu di dalam kelas khusus pada sekolah regular, namun dalam bidang-bidang
tertentu dapat belajar bersama dengan anak mendengar di kelas regular.

1. Kelas khusus penuh

Anak tunarungu belajar di dalam kelas khusus pada sekolah regular.

Anak tunarungu di kelas inklusi hendaknya duduk dalam posisi tidak terhalang pandangannya
untuk melihat mulut guru saat menjelaskan, sehingga prinsip keterarahwajahan dan
keterarahsuaraan dapat dilakukan. Guru dalam memberi penjelasan tidak harus bersuara keras,
yang paling penting adalah ujaran yang keluar dari mulut guru dapat jelas dan mudah ditangkap
oleh anak tunarungu.

http://www.bintangbangsaku.com/content/penempatan-anak-tunarungu-di-kelas-inklusi
ochamutz91 @ 5:35 pm [disimpan dalam psikologi anak khusus Tinggalkan sebuah Komentar »

{Mei 29, 2010} Konsep Sekolah Inklusi

Pendidikan Luar Biasa (Special Education) telah berkembang dari sistem segregasi (Sekolah
Luar Biasa atau Sekolah Khusus) dimana layanan pendidikan bagi anak luar biasa
diselenggarakan di sekolah luar biasa atau sekolah khusus yang terpisah dari teman sebaya pada
umumnya, dengan layanan pendidikan yang sama bagi semua tanpa membedakan perbedaan
individual. Secara berangsur-angsur sistem berkembang sampai sesepenuhnya integrasi (terpadu)
yaitu dimana anak luar biasa diterima di sekolah regular dengan keharusan anak menyesuaikan
kurikulumyang digunakan oleh sekolah tersebut, pada mata pelajaran tertentu anak luar biasa ada
di kelas khusus hingga anak luar biasa berada di dalam kelas biasa dengan bimbingan khusus
untuk mata pelajaran tertentu.

Layanan pendidikan bagi anak luar biasa mengalami banyak perubahan . Perubahan-perubahan
dalam pendidikan bagi anak luar biasa ini termasuk perubahan dalam kesadaran dan sikap,
keadaan, metodologi, penggunaan konsep-konsep terkait dan sebagainya. Layanan pendidikan
bagi anak luar biasa terus berkembang dan diperjuangkan agar anak luar biasa mendapatkan hak
yang sama dengan anak pada umumnya dalam pendidikan. Muncullah pendidikan inklusi yang
merupakan perkembangan terkini dari model bagi anak luar biasa yang secara formal kemudian
ditegaskan dalam pernyataan Salamanca pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Berkelainan
pada bulan Juni 1994 bahwa “prinsip mendasar dari pendidikan inklusi adalah selama
memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan
ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka”.

Pendidikan inklusi memiliki pengertian yang beragam. Stainback dan Stainback (1990)
mengemukakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas
yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menentang, tetapi sesuai
dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa maupun bantuan dan dukungan yang dapat
diberikan oleh para guru agar siswa-siswanya berhasil. Lebih dari itu, sekolah inklusi juga
merupakan tempat setiap anak dapat diterima menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling
membantu dengan guru dan teman sebayanya maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan
individualnya dapat terpenuhi.

Pendidikan inklusi adalah layanan pendidikan yang semaksimal mungkin mengakomodasi semua
anak termasuk anak yang memiliki kebutuhan khusus atau anak luar biasa di sekolah atau
lembaga pendidikan (diutamakan yang terdekat dengan tempat tinggal anak) bersama dengan
teman-teman sebayanya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan yang dimiliki oleh
anak.(Tim Pendidikan Inklusi Jawa Barat, 2003:4)

Pendapat lain mengatakan Pendidikan Inklusi adalah pendidikan yang memberikan layanan
kepada setiap anak tanpa terkecuali. Pendidikan yang memberikan layanan terhadap semua anak
tanpa memandang kondisi fisik, mental, intelektual, sosial, emosi, ekonomi, jenis kelamin, suku,
budaya, tempat tinggal, bahasa dan sebagainya. Semua anak belajar bersama-sama, baik di kelas/
sekolah formal maupun nonformal yang berada di tempat tinggalnya yang disesuaikan dengan
kondisi dan kebutuhan masing-masing anak. (Pendidikan yang Terbuka Bagi Semua, Djuang
Sunanto, 2004:3)

Dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusi adalah:


1)Pendidikan yang mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual,
emosional, sosial maupun kondisi lainnya.
2)Pendidikan yang memungkinkan semua anak belajar bersama-sama tanpa memandang
perbedaan yang ada pada mereka.
3)Pendidikan yang berupaya memenuhi kebutuhan anak sesuai dengan kemampuannya.
4)Pendidikan yang dilaksanakan tidak hanya di sekolah formal, tetapi juga di lembaga
pendidikan dan tempat lainnya.

http://www.bintangbangsaku.com/content/konsep-sekolah-inklusi

ochamutz91 @ 5:33 pm [disimpan dalam psikologi anak khusus Tinggalkan sebuah Komentar »

{Mei 29, 2010} Implementasi Model Pembelajaran Anak Tunarungu di Kelas Inklusi

Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi tidaklah mudah. Sebelum menempatkan anak
tunarungu di kelas inklusi, sebaiknya persyaratan dibawah ini dapat dipenuhi, yaitu:

1. Anak tunarungu harus memiliki bahasa yang cukup. Artinya sebelum anak tunarungu
dimasukan dalam kelas inklusi terlebih dahulu harus memiliki bahasa yang dapat
menjembatani pembelajaran yang dilakukan dikelas inklusi dan mampu berkomunikasi
dengan baik. Hal ini sangat diperlukan agar anak tunarungu mampu mengikuti
pembelajaran dengan anak regular lainnya tanpa harus menjadi penonton di dalam kelas.
Tanpa bahasa yang cukup anak tunarungu hanya sebagai hiasan di kelas inklusi tanpa
bisa mencerna dan memahami pembelajaran yang diberikan oleh guru.
2. Sekolah yang di dalamnya menyertakan anak berkebutuhan khusus harus memiliki guru
pendamping yang berlatarbelakang PLB, lebih baik lagi jika guru pendamping tersebut
berlatarbelakang dari sekolah luar biasa dengan bidang kajian yang sama dengan anak
berkebutuhan khusus yang ada di kelas inklusi.
3. Guru regular hendaknya memahami karakteristik anak tunarungu serta sedapat mungkin
mampu berempati terhadap anak tunarungu agar pembelajaran yang diberikan dapat
dipahami dengan mudah.
4. Guru regular mampu menggunakan prinsip-prinsip pembelajaran bagi anak tunarungu
seperti prinsip keterarahwajahan, keterarahsuaraan, prinsip intersubyektivitas dan prinsip
kekonkritan.
5. Lingkungan di sekolah inklusi harus kondusif dan dapat menerima keberadaan anak
berkebutuhan khusus.
6. Sarana dan prasarana yang mendukung bagi anak berkebutuhan khusus.

Jika persyaratan diatas telah dipenuhi, maka selanjutnya pembelajaran di kelas inklusi bagi anak
tunarungu dapat dilakukan. Pembelajaran tunarungu yang paling utama dan terutama adalah
pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa ini diperoleh melalui percakapan. Untuk mencapai
kepada pembelajaran yang bermakna bagi tunarungu dibutuhkan pendekatan khusus
yaitu metode maternal reflektif.(MMR).

Pembelajaran bagi tunarungu berbeda dari pembelajaran yang ada pada umumnya. Hal ini
dikarenakan tunarungu tidak dapat menerima informasi melalui pendengarannya dan untuk itu
maka diperlukan adanya visualisasi untuk lebih memudahkan tunarungu menyerap informasi.

Melalui metode maternal reflektif ini tunarungu diolah bahasanya. Mulai dari mengeluarkan
suara, mengucapkan kata dengan benar sesuai dengan artikulasinya, hingga tunarungu mampu
berkomunikasi dengan menggunakan beberapa kalimat yang baik dan benar.Secara garis besar,
kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode ini terdiri atas kegiatan percakapan,
termasuk di dalamnya menyimak, membaca dan menulis yang dikemas secara terpadu dan utuh.
Dengan ini anak memahami dan dapat menemukan sendiri kaidah-kaidah percakapan.

1. Kegiatan Percakapan

Kegiatan percakapan menjadi ciri utama dalam menggunakan metode maternal reflektif, karena
penyampaian materi ajar semua bidang studi dilakukan melalui percakapan. Dalam metode ini
dikenal dua jenis percakapan, yaitu percakapan dari hati ke hati atau conversation form heart to
heart dan percakapan linguistik atau linguistic conversation (Uden, 1977).

Percakapan dari hati ke hati merupakan percakapan yang spontan, fleksibel untuk
mengembangkan empati anak. Ungkapan yang dimaksud anak melalui kata-kata atau suara yang
kurang jelas, gesti atau gerakan-gerakan lainnya dan isyarat ditangkap oleh guru (seizing
method) dan dibahasakan sesuai dengan maksudnya kemudian meminta anak untuk
mengucapkannya kembali (play a double part). Namun dalam kegiatan ini guru tetap menjaga
lajunya percakapan dan pertukaran yang terjadi di antara anggota yang bercakap (anak dengan
anak atau anak dengan guru) misalnya berupa persetujuan, penyangkalan, imbauan, atau
komentar atau pertanyaan untuk memperjelas pesan komunikasi.

Membaca dan menulis penyandang tunarungu dikembangkan melalui percakapan. Pada awalnya
perilaku berbahasa mereka berada pada taraf pengungkapan diri melalui gesti atau gerakan-
gerakan lainnya, isyarat, dan suara-suara yang kurang jelas maknanya yang kemudian
dibahasakan oleh guru melalui seizing method dan play a double part. Anak menerima masukan
bahasa tersebut melalui membaca ujaran dan atau melalui pemanfaatan sisa pendengarannya.
Ungkapan-ungkapan bahasa yang belum ditangkap secara sempurna dari diucapkannya dalam
kegiatan percakapan itu dituliskan atau divisualkan dalan bentuk tulisan yang kemudian
dibacanya.

Bacaan visualisasi hasil percakapan dipahami anak secara global intutif karena apa yang ditulisi
dan dibacanya merupakan ide-ide mereka sendiri. Oleh karena itu membaca merupakan ide-ide
mereka sendiri. Oleh karena itu membaca permulaan pada anak tunarungu menurut MMR
merupakan membaca ideo visual. Pengenalan bunyi fonem (vokalisasi dan konsonan) diberikan
menyatu dalam kata dan pengucapannya sehingga lebih bermakna yang pada akhirnya anak
mengenal huruf, kata, cara pengucapan, dan cara penulisannya. Dengan demikian dapat
diaktakan bahwa perkembangan kemampuan berbahasa anak berlangsung secara serempak.
Pelaksanaan pembelajaran di kelas inklusi bagi guru reguler hendaknya mengikuti teknik atau
kaidah-kaidah guru sekolah luar biasa dalam membelajarkan anak tunarungu, prinsip-
prinsip MMR harus dipahami oleh guru reguler, sehingga sekalipun di dalam kelas regular anak
tunarungu tetap dilibatkan dalam proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Kemampuan
guru dalam melibatkan anak tunarungu dalam proses pembelajaran memang tidak semudah
membelajarkan anak-anak yang mendengar, dikarenakan setiap kata yang diucapkan oleh guru
harus dimengerti dan dipahami anak terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam substansi materi
yang akan diberikan.

Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi haruslah benar-benar terprogram dan selalu
berbasis pada pengembangan bahasa anak yang dilakukan secara berkesinambungan, karena
tanpa bahasa yang dikuasai anak tunarungu, maka pembelajaran di kelas inklusi tidak akan
bermanfaat.

1. BKPBI dan Bina Wicara Sebagai Pendukung dalam Pembelajaran Tunarungu di


Sekolah Inklusi

Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama (BKPBI) ialah pembinaan dalam penghayatan
bunyi yang dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja, sehingga sisa-sisa pendengaran dan
perasaan vibrasi yang dimiliki anak-anak tunarungu dapat dipergunakan sebaik-baiknya untuk
berintegrasi dengan dunia sekelilingnya yang penuh bunyi.

Pembinaan secara sengaja yang dimaksud adalah bahwa pembinaan itu dilakukan secara
terprogram; tujuan, jenis pembinaan, metode yang digunakan dan alokasi waktunya sudah
ditentukan sebelumnya. Sedangkan pembinaan secara tidak sengaja adalah pembinaan yang
spontan karena anak bereaksi terhadap bunyi latar belakang yang hadir pada situasi pembelajaran
di kelas, sepeti bunyi motor, bunyi helikopter atau halilintar, kemudian guru membahasakannya.
Misalnya, “Oh kalian dengar suara motor ya ? Suaranya „brem… brem… brem…‟ benar begitu
?”.Kemudian guru mengajak anak menirukan bunyi helikopter dan kembali meneruskan
pembelajaran yang terhenti karena anak bereaksi terhadap bunyi latar belakang tadi

Secara singkat tujuan BKPBI adalah sebagai berikut :

 Agar anak tunarungu dapat terhindar dari cara hidup yang semata-mata tergantung pada
daya penglihatan saja, sehingga cara hidupnya lebih mendekati anak normal.
 Agar kehidupan emosi anak tunarungu berkembang dengan lebih seimbang.
 Agar penyesuaian anak tunarungu menjadi lebih baik berkat dunia pengalamannya yang
lebih luas.
 Agar motorik anak tunarungu berkembang lebih sempurna.
 Agar anak tunarungu mempunyai kemungkinan untuk mengadakan kontak yang lebih
baik sebagai bekal hidup di masyarakat yang mendengar.

Dalam hal kemampuan berbicara, BKPBI dapat membantu agar anak tunarungu dapat
membentuk sikap terhadap bicara yang lebih baik dan cara berbicara yang lebih jelas. Sarana
BKPBI mencakup :
1. Ruang Khusus untuk kegiatan pembelajaran yang sebaiknya dilengkapi dengan medan
pengantar bunyi (sistem looping).
2. Perlengkapan terdiri atas perlengkapan nonelektronik dan perlengkapan elektronik.
3. Alat-alat penunjang yaitu perlengkapan bermain.
4. Tenaga khusus pelaksana BKPBI hendaknya memenuhi beberapa persyaratan, antara lain
memiliki latar belakang pendidikan guru anak tunarungu, memiliki dasar pengetahuan
tentang musik, dan memiliki kreativitas dalam bidang seni tari dan musik.

Sekolah yang di dalamnya terdapat anak tunarungu,hendaknya memiliki ruang BKPBI sebagai
pendukung dalam membelajarkan anak tunarungu dalam mengolah bahasanya. Sehingga
kemampuan berbahasa anak tunarungu dapat ditingkatkan dan semakin berkembang. Guru
berlatarbelakang pendidikan luar biasa kajian tunarungu, sangat diperlukan dalam
mengembangkan bahasa anak tunarungu melalui BKPBI dan Bina Wicara.Untuk itu sekalipun
berada di kelas inklusi namun anak tunarungu tetap mendapatkan latihan strong>BKPBI
dan Bina Wicara. strong>BKPBI danBina Wicara ini sebaiknya diberikan secara rutin dan
terus menerus hingga kosa kata anak bertambah banyak dan pada akhirnya mampu
berkomunikasi dengan baik dan benar.

Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi yang dipaparkan diatas adalah salah satu contoh
bentuk pembelajaran yang memasukan anak tunarungu di kelas regular untuk bersama-sama
belajar dengan anak mendengar lainnya namun dalam waktu tertentu anak tunarungu tersebut
diberikan latihan-latihan yang mampu membantu anak untuk memperoleh bahasa dan mengolah
bahasa yang sudah dimilkinya melalui pendekatan MMR lalu ditunjang dengan latihan
strong>BKPBI dan Bina Wicara.

Memasukan anak tunarungu ke dalam kelas inklusi tanpa memberikan layanan yang sesuai
dengan kebutuhan anak tersebut hanyalah sia-sia dan menambah penderitaan anak tunarungu
saja. Untuk itu agar tidak menjadi penderitaan anak tunarungu sebaiknya sekolah harus benar-
benar memberikan semua kebutuhan anak tunarungu dalam proses pembelajarannya melalui
kegiatan-kegiatan pembelajaran dengan pendekatan MMR melalui percakapan dengan didukung
strong>BKPBI dan Bina Wicara. Dengan demikian pembelajaran anak tunarungu yang
dilakukan di kelas inklusi dapat bermakna, sehingga anak tunarungu keberadaanya di sekolah
inklusi bukan hanya sekedar diterima namun juga terlayani secara kebutuhannya yang terkait
dengan kemampuannya untuk berbahasa dan berkomunikasi tanpa harus
mendiskriminasikannya.

DAFTAR PUSTAKA

 Bunawan, Lani dan C. Susila Yuwati (2000), Penguasaan Bahasa Anak Tunarungu,
Yayasan Santi Rama, Jakarta
 Departemen Pendidikan Nasional (2000), Pengajaran Bina Persepsi Bunyi dan Irama
untuk Anak Tunarungu, Jakarta
 Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2004), Pedoman Pendidikan Terpadu/Inklusi Alat
Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus, Dirjen Dikdasmen, Depdiknas, Jakarta
 Dardjowidjoyo, Soenjono (2003), Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa
Manusia, Yayasan Obor Indonesia, Unika Atmajaya, Jakarta
 Gatty (1994), Mengajarkan Wicara kepad anak-anak Tunarungu, Alih bahasa
Hartotanojo, Yayasan Karya Bakti, Wonosobo
 Griffey, Nicholas (1981), A Survey of Present Metods of Developing Language in Deaf
Children
 Hargrove, Linda and James Poteet (1984), Assessment in Special Education (the
education evaluation), Prentice Hall. Inc, New Jersey
 Nugroho Bambang (2004), Pentingnya Intervensi Dini Secara Edukatif Bagi Anak
Tunarungu, Makalah Pelatihan Teknis Tunarungu, Jakarta

http://www.bintangbangsaku.com/content/implementasi-model-pembelajaran-anak-tunarungu-
di-kelas-inklusi

ochamutz91 @ 5:30 pm [disimpan dalam psikologi anak khusus Tinggalkan sebuah Komentar »

{Mei 29, 2010} KESULITAN BELAJAR MENULIS (DISGRAFIA) – HANDWRITING

A. LATAR BELAKANG

Kesulitan belajar (learning disabilities) pada anak, bila tidak dideteksi secara dini dan tidak
dilakukan terapi secara benar, bisa menyebabkan kegagalan dalam proses pendidikan anak.
Kepedulian orang tua yang tinggi dapat membantu dalam deteksi dini kesulitan belajar ( learning
disabilities) pada anak. Ada dua jenis kesulitan belajar (learning disabilities), yaitu yang
bersifat developmental dan yang bersifat akademis. Komponen utama dari developmental
learning disabilities adalah perhatian, memori, persepsi, dan kerusakan persepsi motori, selain
kerusakan berpikir dan kekurangan bahasa. Di dalam kelompok ini, sejumlah anak yang
memiliki kesulitan belajar khusus ( specific learning difficulty, SpLD) atau kesulitan belajar
akademis dideskripsikan sebagai mereka yang memiliki kesulitan dalam aspek bahasa, membaca,
mengeja, dan matematika. Meskipun fungsi inteligensinya normal dalam arti intelektual, mereka
mengalami kesulitan yang signifikan sekalipun tingkat kinerjanya secara umum baik.

Untuk selanjutnya, paper ini relatif banyak akan menjelaskan mengenai kesulitan menulis
(disgrafia) terutama handwritingkarena kecenderungan yang terjadi saat ini, dimana banyak
siswa-siswa Sekolah Dasar (permulaan SD, kelas I – III) yang mengalami kesulitan dalam
menulis, bukan karena tulisan mereka yang buruk, mungkin cara dan strateginya yang belum
tepat diterapkan pada siswa-siswa tersebut sehingga mereka mengalami kesulitan sewaktu
menulis. Padahal, kemampuan menulis sangatlah diperlukan, baik dalam kehidupan di sekolah
maupun di masyarakat guna keperluan penyelesaian tugas-tugas sekolah. Sedangkan, di dalam
kehidupan bermasyarakat, orang memerlukan kemampuan menulis untuk keperluan berkirim
surat, mengisi formulir, ataupun membuat catatan. Jadi, menulis bukan hanya kegiatan menyalin
tetapi juga mengekspresikan pikiran, ide, dan perasaan ke dalam lambang-lambang tulisan.

B. PEMBAHASAN

1. PENYEBAB
Sebagai langkah awal dalam menghadapinya, orang tua harus paham bahwa disgrafia bukan
disebabkan tingkat intelegensi yang rendah, kemalasan, asal-asalan menulis, dan tidak mau
belajar. Gangguan ini juga bukan akibat kurangnya perhatian orang tua dan guru terhadap si
anak, ataupun keterlambatan proses visual motoriknya. Namun, kita dapat mengenali ciri-ciri
ataupun gejala-gejala yang muncul pada anak yang mengalami disgrafia, antara lain:

1. Terdapat ketidakkonsistenan bentuk huruf dalam tulisannya.


2. Saat menulis, penggunaan huruf besar dan huruf kecil masih tercampur.
3. Ukuran dan bentuk huruf dalam tulisannya tidak proporsional.
4. Anak tampak harus berusaha keras saat mengkomunikasikan suatu ide, pengetahuan, atau
pemahamannya lewat tulisan.
5. Sulit memegang bolpoin maupun pensil dengan mantap. Caranya memegang alat tulis
seringkali terlalu dekat bahkan hampir menempel dengan kertas.
6. Berbicara pada diri sendiri ketika sedang menulis, atau malah terlalu memperhatikan
tangan yang dipakai untuk menulis.
7. Cara menulis tidak konsisten, tidak mengikuti alur garis yang tepat dan proporsional.
8. Tetap mengalami kesulitan meskipun hanya diminta menyalin contoh tulisan yang sudah
ada.

Setelah melihat adanya gejala, maka kita dapat mengidentifikasi untuk mengetahui penanganan
selanjutnya karena menulis merupakan suatu proses dimana proses belajar menulis ini
melibatkan rentang waktu yang panjang. Selain itu, proses belajar menulis tidak dapat dilepaskan
kaitannya dengan proses belajar berbicara dan membaca.

2. ASESMEN

Tujuan utama dalam pengajaran menulis adalah keterbacaan. Untuk dapat mengkomunikasikan
pikiran dalam bentuk tertulis, pertama-tama anak harus dapat menulis dengan mudah dan dapat
dibaca. Oleh karena itu, perlu dilakukan asesmen. Asesmen itu sendiri dapat dilakukan secara
tidak langsung dan asesmen langsung.

a) Asesmen Tidak Langsung

 Untuk melakukan asesmen tidak langsung terhadap anak, kita dapat mengumpulkan
informasi-informasi penting mengenai kemampuan mengeja dan menulis melalui
asesmen secara langsung.
 Analisa yang dilakukan harus relevan antara data yang ada dengan observasi langsung
atau tidak teridentifikasi melalui observasi langsung yang didapat dan telah memenuhi
informasi-informasi penting sebagai hipotesa akhir.
 Persepsi Guru
 Data yang ada: Sumber data bisa didapat dari berbagai sumber, antara lain: data dari
sekolah, latihan yang diberikan, tanggapan guru, dan contoh tugas harian.
 Mengatur dan mengklasifikasikan informasi yang didapat melalui asesmen secara tidak
langsung, hasilnya akan valid dan menjadi hipotesa apabila telah melalui asesmen secara
langsung.
 Lakukanlah pencatatan untuk menganalisa kesalahan dalam penulisan huruf yang
dilakukan oleh siswa.

b) Asesmen Langsung

Asesmen secara langsung terdiri dari 3 bagian tugas yang harus dipenuhi, yaitu:

 Melakukan observasi terhadap siswa dalam melakukan pembelajaran di dalam kelas.


 Melakukan interview pada siswa.
 Mengatur dan menjelaskan tes secara individual.

Form: Asesmen Handwriting

Tanggal Tahap Perkembangan Tanggal


Asesmen Dicapai
Anak memasukkan krayon ke mulut dan meremas kertas
Anak menusukkan krayon ke kertas
Anak dapat mencoret scribbles secara acak
Anak dapat membuat coretan scribble secara spontan dengan arah
vertikal
Anak dapat membuat coretan scribble secara spontan dengan arah
vertikal
Anak dapat membuat scribble secara spontan dengan arah memutar
Anak dapat mengimitasi scribble dengan arah horisontal
Anak dapat mengimitasi scribble dengan arah vertikal
Anak dapat mengidentifikasikan posisi: kanan – kiri
Anak dapat mengidentifikasikan posisi: atas – bawah
Anak dapat mengidentifikasikan posisi: tengah
Anak mampu mengimitasi garis horisontal
Anak mampu mengimitasi garis vertikal
Anak mampu mengimitasi garis melingkar
Anak mampu mengkopi garis horizontal
Anak mampu mengkopi garis vertical
Anak mampu mengkopi lingkaran
Anak mampu mengimitasi tanda plus
Anak mampu mengkopi tanda plus
Anak mampu mengimitasi garis diagonal ke bawah dan ke atas
dengan arah ke kanan
Anak mampu mengkopi garis diagonal ke bawah dan ke atas dengan
arah ke kanan
Anak mampu mengimitasi bentuk kotak
Anak dapat mengkopi bentuk kotak
Anak mampu mengimitasi garis diagonal ke bawah dan ke atas
dengan arah ke kiri
Anak mampu mengkopi garis diagonal ke bawah dan ke atas dengan
arah ke kiri
Anak mampu mengimitasi tanda X
Anak dapat mengkopi tanda X
Anak mampu mengimitasi bentuk segitiga
Anak dapat mengkopi bentuk segitiga
Anak mampu mengimitasi bentuk belah ketupat
Anak dapat mengkopi bentuk belah ketupat

Tanggal Asesmen:

Komentar:

______________________________________________________________________________
______________________________________________________

3. STRATEGI

Untuk para orang tua/guru/orang-orang yang dekat dengan anak, kesulitan belajar menulis
(disgrapia) sering terkait dengan beberapa hal di bawah ini, antara lain :

 Positioning => Untuk mendukung pada tulisan anak, ingatkan agar duduk dengan posisi
yang benar karena kestabilan trunk akan mendukung pada kontrol lengan yang baik pula.
 Ukuran Kursi yang Tepat => Ingatkan anak agar duduk dengan posisi:

1. 1. kaki flat di lantai dan posisi paha paralel dengan lantai.


2. 2. Pergelangan kaki, lutut, dan paha membentuk sudut 900.
3. 3. Pastikan tempat duduk tidak terlalu lebar, sehingga anak dapat bersandar dengan
nyaman. Lebar lutut belakang ke kursi sekitar 2″. Kita harus dapat meletakkan satu jari
atau dua jari di sela paha dan kursi.
4. 4. Pastikan sudut kursi tidak membuat anak mengarah ke belakang.

 Posisi Kursi yang Benar => Pastikan anak duduk secara nyaman dan agak condong ke
depan dan ke arah depan. Lengan saat diletakkan di atas meja berada di sudut 300.
 Modifikasi => Pemberian alat Bantu bidang miring akan membantu anak supaya duduk
lebih tegak, sehingga tidak banyak menekuk lehernya dan ketika sedang mengerjakan
tugas pada bidang miring itu akan membuat secara otomatis ekstensi pergelangan
tangannya sehingga mampu menulis.
 Posisi kertas
o Saat duduk dengan tepat, anak seharusnya meletakkan kertas di atas meja dan di
bawah yang menulis membentuk formasi segitiga.
o Sudut kertas seharusnya:

1. 200-450, bagi anak yang tangan kanannya dominan.


2. 300-450, bagi anak yang tangan kirinya dominan.
C . KESIMPULAN DAN SARAN

1. KESIMPULAN

Menulis adalah salah satu komponen sistem komunikasi yang menggambarkan pikiran, perasaan,
dan ide ke dalam bentuk lambang-lambang dan bahasa grafis. Menulis tidak dapat dilepaskan
kaitannya dengan proses belajar bicara dan membaca. Oleh sebab itu, untuk dapat
mengkomunikasikan pikirannya dengan mudah dalam bentuk tertulis, anak harus dapat menulis
dengan benar dan dapat dibaca.

Dengan demikian, pengajaran menulis pada tahap awal haruslah difokuskan pada cara
memegang alat tulis dengan benar, menulis huruf cetak dan huruf bersambung dengan benar, dan
menjaga jarak serta proporsi huruf secara benar dan konsisten.

Untuk itu, hal yang perlu diingat dalam mengajarkan menulis adalah kemampuan anak dalam
keterampilan berbahasa lainnya, yaitu mendengarkan, berbicara, dan membaca haruslah
ditingkatkan penguasaannya karena untuk dapat menulis dengan baik, seorang anak harus dapat
berpikir, membaca, dan memahami bahasa orang lain secara logis dan rasional.

2 . SARAN

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan orang tua/guru untuk membantu anak yang mengalami
gangguan ini, diantaranya:

1. Memahami keadaan anak/siswa.


Sebaiknya pihak orang tua, guru, atau pendamping memahami kesulitan dan keterbatasan
yang dimiliki anak disgrafia. Berusahalah untuk tidak membandingkan anak seperti itu
dengan anak-anak lainnya. Sikap itu hanya akan membuat kedua belah pihak, baik orang
tua/guru maupun anak merasa frustrasi dan stres. Jika memungkinkan, berikan tugas-
tugas menulis yang singkat saja. Atau bisa juga orang tua
2. Meminta kebijakan dari pihak sekolah untuk memberikan tes kepada anak dengan
gangguan ini secara lisan, bukan tulisan.
3. Menyajikan tulisan cetak
Berikan kesempatan dan kemungkinan kepada anak disgrafia untuk belajar menuangkan
ide dan konsepnya dengan menggunakan komputer atau mesin tik. Ajari dia untuk
menggunakan alat-alat agar dapat mengatasi hambatannya. Dengan menggunakan
komputer, anak bisa memanfaatkan sarana korektor ejaan agar ia mengetahui
kesalahannya.
4. Membangun rasa percaya diri anak
Berikan pujian wajar pada setiap usaha yang dilakukan anak. Jangan sekali-kali
menyepelekan atau melecehkan karena hal itu akan membuatnya merasa rendah diri dan
frustrasi. Kesabaran orang tua dan guru akan membuat anak tenang dan sabar terhadap
dirinya dan terhadap usaha yang sedang dilakukannya.
5. Latih anak untuk terus menulis
Libatkan anak secara bertahap, pilih strategi yang sesuai dengan tingkat kesulitannya
untuk mengerjakan tugas menulis. Berikan tugas yang menarik dan memang diminatinya,
seperti menulis surat untuk teman, menulis pada selembar kartu pos, menulis pesan untuk
orang tua, dan sebagainya. Hal ini akan meningkatkan kemampuan menulis anak
disgrafia dan membantunya menuangkan konsep abstrak tentang huruf dan kata dalam
bentuk tulisan konkret.

D . BAHAN BACAAN

1. Abdurrahman, Mulyono. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta


2. Gunadi, Tri. Pelatihan Terapis di Hotel Marcopolo, Jakarta.
3. http://www.bintangbangsaku.com/
4. http://ld-online.com/
5. http://members.aol.com/signwrite2/kids/
6. Yusuf, Mumawir (2005). Pendidikan Bagi Anak Dengan Problema Belajar. Jakarta

http://www.bintangbangsaku.com/kumpulan-paper-dan-makalah/kesulitan-belajar-menulis

ochamutz91 @ 5:28 pm [disimpan dalam psikologi anak khusus Tinggalkan sebuah Komentar »

{Mei 29, 2010} Mengenal Anak Tunalaras dan Variasinya

Istilah gangguan emosi dan kelainan perilaku sebenarnya lebih banyak digunakan oleh para
psikiater dan psikolog. Perilaku menyimpang (behavioral impairment) merupakan istilah
berkaitan dengan kelainan perilaku yang banyak dibicarakan oleh para pendidik. Variasi istilah
ini berkaitan dengan perbedan pandangan terhadap aspek dan kelainan, seperti aspek emotional,
social, behavior dan personal.

Rhoides menganjurkan pendekatan ekologi dalam memaknai gangguan gangguan perilaku. Ia


menggambarkan ketidakstabilan emosi dan perilakulebih merupakan suatu produk budaya,
masyarakat, dan lingkungan keluarga di mana orang itu ada sebagai individu hasil dari
lingkungan tersebut. Para antropolog budaya telah mengenali bahwa perilaku normal dalam
suatu budaya mungkin dianggap tidak normal oleh budaya lainnya. Dalam konteks Amerika,
misalnya PL 94-142 mengajukan istilah ketidak stabilan emosi yang serius diambil untuk
kategori ketidakmampuan ini. Istilah ini dipilih, paling tidak sebagian adalah untuk menegaskan
bahwa ketidak stabilan emosi saja merupakan bagian pengalaman yang normal dari setiap orang.

Kelainan perilaku anak yang menyimpang dari perilaku normal, diakibatkan adanya
pertentangan dengan orang dan masyarakat sekitarnya. Kebanyakan dari mereka mempunyai
skor rendah dalam belajar dan tes inteligensi. Prevalensi terjadinya anak-anak dengan hendaya
perilaku menyimpang bervariasi, namun diperkirakan berkisar antara dua hingga 22 persen dari
anak-anak usia sekolah, dan diidentifikasikan banyak terjadi pada anak-anak laki-laki daripada
anak perempuan.

Pendapat lain, bahwa privalensi dari anak dengan hendanya perilaku menyimpang berkisar lima
hingga 20 persen atau bahkan lebih dari populasi anak usia sekolah ,em>(Kauffman, J.M.,
1985:25). Adanya tekanan-tekanan yang sering terjadi di masyarakat terhadap anak, ditambah
dengan ketidakberhasilan anak bersangkutan dalam pergaulan lingkungannya seringkali menjadi
penyebab perilaku-perilaku yang menyimpang. Dapat juga terjadi, bila seorang anak kurang
memahami akan aturan-aturan yang ada dalam kehidupan masyarakat atau juga dapat terjadi oleh
karena adanya suatu pendangan yang keliru terhadap sekelompok minoritas tertentu, dapat
menjadi sebab anak yang suka melawan hukum atau aturan-aturan tertentu dan selalu
memberontak untuk melawan orang yang berkuasa.

Perilaku sosio-adaptif perlu dipertimbangkan dalam memberikan reaksi dan melakukan


penyesuaian oleh seseorang saat merespon terhadap pengalaman-pengalaman hidup yang
diperoleh dalam lingkungannya. Faktor-faktor sosio-adaptif antara lain perkembangan
kedewasaan, penyesuaian sosial, dan kemampuan belajar. Jika seseorang mempunyai
penyimpangan tingkat penyesuaian normal secara kronologis, dapat dipastikan menjadi anak
yang kurang dapat menyesuaikan diri dan berperilaku menyimpang.

Identifikasi terhadap kasus kelainan perilaku menyimpang dapat juga dipakai sebagai patokan
untuk menggunakan program penyembuhan. Sebagai contoh, jika seorang anak mempunyai
masalah psikologis maka diperlukan model psikoanalitis yang lebih menekankan pada
psikodinamis. Di sisi lain, jika seorang anak menunjukkan penyimpangan perilaku dalam
bermasyarakat maka diperlukan penanganan dengan model perilaku, yaitu dengan cara
memodifikasi untuk belajar berperilaku yang benar daripada membetulkan kasus-kasusnya.

Tipe perilaku yang tampak, merupakan refleksi-refleksi dari perasaan diri seperti marah, merasa
sering menemui kegagalan, takut, frustasi, ketakutan tanpa sebab, konsep diri yang kurang, tidak
merasa aman, penerimaan terhadap dirinya yang kurang, masalah-masalah identitas, merasa
diacuhkan oleh orang lain. Perilaku semacam ini sering diikuti dengan masalah-masalah lain
berkaitan dengan kegagalan dalam belajar dan berbicaranya gagap.

Ada tiga perilaku utama yang tampak pada seorang anak dengan kelainan perilaku menyimpang,
yaitu: agresif, suka menghindar diri dari keramaian, dan sikap bertahan diri.

Sikap bertahan diri, merupakan perilaku yang dilakukan untuk melindungi diri dari situasi
berbahaya secara psikologis. Mekanisme ini selalu digunakan oleh semua orang dalam populasi
secara umum tetapi bila digunakan secara berlebihan oleh seseorang maka ia mempunyai
hendaya kelainan perilaku salah suai, karena cara-cara perlindungan diri sendiri yang
dilakukannya dilakukan secara tidak wajar. Contohnya, suka menyalahkan orang lain bila dirinya
melakukan kesalahan atau kekurangan, berperilaku kekanak-kanakan, suka melamun atau
berfantasi untuk lari dari kenyataan yang sebenarnya, tindakan-tindakannya selalu menggunakan
alasan-alasan yang tidak masuk akal, adanya hambatan atau kelangkaan ingatan disebabkan
sering mendapatkan kejadian-kejadian yang penuh ketegangan, suka mengembangkan
keterampilan khusus atau bakat tertentu untuk penyesuaian terhadap kekurangan dirinya,
menganggap dirinya seperti seseorang yang ia kagumi

Penggolongan anak tunalaras dapat ditinjau dari segi gangguan atau hambatan dan kualifikasi
berat ringannya kenakalan, dengan penjelasan sebagai berikut :

1. Menurut jenis gangguan atau hambatan


1. Gangguan Emosi

Anak tunalaras yang mengalami hambatan atau gangguan emosi terwujud dalam tiga jenis
perbuatan, yaitu: senang-sedih, lambat cepat marah, dan releks-tertekan.
Secara umum emosinya menunjukkan sedih, cepat tersinggung atau marah, rasa tertekandan
merasa cemas

1. Gangguan Sosial

Anak ini mengalami gangguan atau merasa kurang senang menghadapi pergaulan. Mereka tidak
dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan hidup bergaul. Gejala-gejala perbuatan itu adalah
seperti sikap bermusuhan, agresif, bercakap kasar, menyakiti hati orang lain, keras kepala,
menentang menghina orang lain, berkelahi, merusak milik orang lain dan sebagainya. Perbuatan
mereka terutama sangat mengganggu ketenteraman dan kebahagiaan orang lain.

2. Klasifikasi berat-ringannya kenakalan


Ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan pedoman untuk menetapkan berat ringan kriteria itu
adalah:

1. Besar kecilnya gangguan emosi, artinya semikin tinggi memiliki perasaan negative
terhadap orang lain. Makin dalam rasa negative semakin berat tingkat kenakalan anak
tersebut.
2. Frekwensi tindakan, artinya frekwensi tindakan semakin sering dan tidak menunjukkan
penyesalan terhadap perbuatan yang kurang baik semakin berat kenakalannya.
3. Berat ringannya pelanggaran/kejahatan yang dilakukan dapat diketahui dari sanksi
hukum.
4. Tempat/situasi kenalakan yang dilakukan artinya Anak berani berbuat kenakalan di
masyarakat sudah menunjukkan berat, dibandingkan dengan apabila di rumah.
5. Mudah sukarnya dipengaruhi untuk bertingkah laku baik. Para pendidikan atau orang tua
dapat mengetahui sejauh mana dengan segala cara memperbaiki anak. Anak “bandel” dan
“keras kepala” sukar mengikuti petunjuk termasuk kelompok berat.
6. Tunggal atau ganda ketunaan yang dialami. Apabila seorang anak tunalaras juga
mempunyai ketunaan lain maka dia termasuk golongan berat dalam pembinaannya.

Penyimpangan Perilaku atau Emosi (Emotional or Behavioral Disorders/ EBD) merujuk pada
suatu kondisi di mana respon perilaku atau emosi dari seseorang di sekolah berbeda dari
umumnya norma-norma yang diterima, sesuai-usia, etnis, atau kultural yang memberikan
pengaruh buruk terhadap performansi pendidikannya di bidang seperti perawatan-diri,
hubungan sosial, penyesuaian pribadi, kemajuan akademik, perilaku di ruang kelas, atau
penyesuaian kerja. EBD lebih dari sekedar sebuah respon yang sementara dan diharapkan
terhadap pemberi tekanan (stressors) dalam lingkungan anak atau pemuda serta akan bertahan
bahkan dengan intervensi-intervensi pribadi, seperti umpan balik terhadap individu, konsultasi
dengan orang tua dan keluarga, dan/atau modifikasi dari lingkungan pendidikan

Keputusan yang memenuhi syarat harus didasarkan pada berbagai sumber data tentang fungsi
perilaku dan emosi individu. EBD harus ditunjukkan setidak-tidaknya dalam dua setting, yang
salah satunya harus berkaitan dengan sekolah. EBD dapat muncul bersamaan dengan kondisi
handikap yang lain seperti diuraikan pada bagian lain hukum ini [IDEA] … Kategori ini dapat
meliputi anak-anak atau pemuda yang mengalami schizoprenia, penyimpangan kasih sayang
(affective disorders), atau yang mengalami gangguan tingkah laku, perhatian, atau penyesuaian
diri (Dewan bagi Anak-anak Berkelainan – Council for Exceptional Children, 1991, hal. 10)

Definisi yang baru diusulkan ini memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan definisi
federal:

1. definisi tersebut memasukkan kecacatan (impairments) dari perilaku adaptif seperti


terbukti pada perbedaan-perbedaan emosi, sosial, atau perilaku;
2. definisi tersebut menggunakan standar asesmen normatif dari sumber yang bermacam-
macam, termasuk pertimbangan faktor-faktor kultural dan/atau etnis;
3. definisi tersebut memeriksa intervensi pra-referal dan usaha-usaha lain guna membantu
anak-anak sebelum secara formal mereka diklasifikasikan sebagai cacat/disabled;
4. definisi tersebut memiliki potensi untuk memasukkan anak-anak yang sebelumnya diberi
label penyimpangan sosial dengan kata lain tak dapat menyesuaikan diri secara sosial
atau tunalaras (maladjusted socially).

http://www.bintangbangsaku.com/content/mengenal-anak-tunalaras-dan-variasinya

Anda mungkin juga menyukai